• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi NO.93 PUU-X 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi NO.93 PUU-X 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Kehadiran Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di

Indonesia pada tahun 1992, terjadi berkat dukungan Undang-undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan.1 Hadirnya Bank Muamalat Indonesia ini merupakan

jawaban tersendiri bagi umat Islam yang menginginkan transaksi yang bebas riba

seperti yang terdapat di bank konvensional dan merupakan bank umum Islam pertama

yang menerapkan sistem bagi hasil yang berbeda dengan sistem perbankan yang

selama ini dikenal oleh masyarakat Indonesia. Bank syariah didirikan dengan tujuan

untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah

dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang

terkait.2

Perkembangan perbankan syariah yang pesat sejak tahun 1999 merupakan hasil

dari dukungan regulasi yang memadai yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan undang-undang Nomor

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004.3 Pada tahun 1998 dimulai penerapan dual banking systemdi Indonesia dengan lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

1Yusuf Wibisono,Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume 16,

Nomor 2, Mei–Agustus 2009, hlm.105

2Zainul Arifin,Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta : Adzkia Publisher, Cetakan

ke-7, 2009) hlm.3

(2)

Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengizinkan perbankan

konvensional untuk membuka unit usaha syariah. Regulasi baru ini memicu ekspansi

industri perbankan syariah nasional secara signifikan dan sekaligus secara resmi

menandai penerimaan Bank Indonesia terhadap eksistensi bank syariah dalam dual banking system.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menegaskan

tanggung-jawab bank sentral atas regulasi dan supervisi sistem perbankan nasional

termasuk bank syariah. Melalui undang-undang ini, bank sentral juga mendapat

kewenangan untuk melakukan pengelolaan moneter berbasis syariah. Tugas pokok

tersebut mempertegas bahwa Bank Indonesia berkewajiban mengembangkan bank

syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai

dengan karakteristik bank syariah.

Dukungan undang-undang inilah yang kemudian melahirkan Biro Perbankan

Syariah di Bank Indonesia pada tahun 2001 yang kemudian pada tahun 2004

ditingkatkan statusnya menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Berbekal otoritas ini

pula, Bank Indonesia memperkenalkan instrumen moneter syariah pertama yaitu

Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) di tahun 1999. Di tahun 2000, Bank

Indonesia bergerak maju dengan memperkenalkan Pasar Uang Antar-bank

berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Peran Bank Indonesia ini semakin diperkuat

dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-undang

Nomor 23 Tahun 1999.4

(3)

Di tahun 2002, Bank Indonesia memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah

melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 tentang Perubahan

Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan

Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh

Bank Umum Konvensional yang mengatur mengenai :5

1. Konversi bank konvensional menjadi bank syariah; 2. Konversi cabang konvensional menjadi cabang syariah; 3. Konversi kantor kas konvensional menjadi cabang syariah; 4. Pembukaan sub-cabang syariah di cabang konvensional; dan 5. Pembukaan unit syariah di cabang konvensional.

Melalui berbagai dukungan regulasi inilah, industri perbankan syariah tumbuh

pesat dan terhitung sejak tanggal 16 Juli tahun 2008, industri perbankan syariah

Indonesia secara resmi memasuki era baru. Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perbankan Syariah yang telah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak

pertengahan 2005 sebagai RUU inisiatif DPR, telah disahkan sehingga Indonesia kini

resmi memiliki regulasi perbankan syariah yaitu undang-undang nomor 21 tahun

2008 tentang Perbankan Syariah.6

Dibentuknya sistem perbankan syariah di Indonesia sebagai pilihan bagi

masyarakat untuk secara demokratis menggunakan jasa pelayanan perbankan, yaitu

pilihan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah. Penerapan dual banking system harus berlandaskan pada karakteristik dari masing-masing sistem. Perbedaan keduanya adalah bank umum melaksanakan kegiatan usaha secara

(4)

konvensional dengan system bunga yang diyakini umat Islam sebagai yang

diharamkan.7

Untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan

kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha

yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak

mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.8 Berdasarkan prinsip syariah, bank syariah dalam melakukan aktivitas usahanya tidak berdasarkan

kepada bunga, tetapi dengan sistem pola bagi hasil terhadap keuntungan atau

kerugian.9

Perbankan syariah merupakan praktik perbankan yang memiliki kekhususan

dibandingkan dengan perbankan konvensional. Perbankan syariah adalah segala

sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup

kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan

usahanya.10 Secara khusus bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan

usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum

Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).11 Adapun mengenai

prinsip adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa

7Muhaimin,Eksistensi Bank Syariah dan Pengembangannya di Indonesia, Tesis, UNDIP, 2001,

hlm.8

8Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, hlm.

26

9Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Respon Terhadap Persoalan Ekonomi Kontemporer, (Bandung : Cipta Pustaka Media, 2002) hlm.105

10Penjelasan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, hlm.

11Penjelasan Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

(5)

yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di

bidang syariah.12

Selain itu terdapat pula kekhususan yang lain, yaitu mengenai lembaga yang

menjadi forum penyelesaian manakala terjadi sengketa yang terdapat pada pasal 55

undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah :

Ayat (1) : “penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilandalam lingkungan peradilan agama.”

Ayat (2) : “dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.”

Ayat (3) : “penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.”

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menimbulkan ketidakpastian hukum yang

memunculkan mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara

pihak bank syariah dengan nasabah, ketentuan tersebut selengkapnya berbunyi :

“Yang dimaksud dengan ‘penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad’ adalah upaya sebagai berikut :

(a) Musyawarah, (b) Mediasi perbankan,

(c) Melalui BASYARNAS atau lembaga arbitrase lain dan atau, (d) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum”.

Kemunculan pasal 55 ayat (2) termasuk penjelasannya memberikan ruang

kepada para pihak untuk membuat pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariahnya selain melalui proses litigasi di pengadilan agama baik itu

melalui proses litigasi di pengadilan negeri maupun melalui proses non litigasi

melalui musyawarah, mediasi perbankan dan melalui basyarnas atau lembaga

12 Penjelasan Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

(6)

arbitrase lain selama hal tersebut diperjanjikan di dalam akad dengan catatan

mekanisme penyelesaian sengketa tersebut sesuai dengan prinsip syariah.

Terdapat kontradiktif yang jelas di mana yang satu secara tegas menyebutkan

dan yang lainnya membebaskan untuk memilih, maka lahirlah penafsiran

sendiri-sendiri sehingga makna kepastian hukum menjadi tidak ada dan bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28D ayat (1). Ketika peradilan ada dua,

kemudian para pihak yang bersengketa diberikan kesempatan untuk memilih, hal

tersebut akan menimbulkan pertentangan antara lembaga penyelesaian sengketa

(conflict of dispute settlement) seperti basyarnas dengan pengadilan agama atau antara basyarnas dengan pengadilan negeri atau antara pengadilan agama dengan

pengadilan negeri, yang mungkin muncul karena tidak terpenuhinya kepentingan para

pihak atau hasil dari penafsiran masing-masing pihak terhadap ketentuan pasal 55

ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dan penjelasannya tersebut, sehingga

akan menimbulkan kekacauan hukum(legaldisorder). Selain itu, akan menimbulkan disparitas keputusan, sebab ketika putusan A lahir dari peradilan agama, sementara

putusan B lahir dari pengadilan umum untuk kasus yang sama, maka akan terjadi

keanehan bagi para pihak yang menerima.13

Apabila telah dipilih penggunaan jasa perbankan syariah maka konsekuensi

pilihan substansi hukum yang mengaturnya adalah hukum yang berdasarkan prinsip

syariah dan forum untuk menyelesaikannya secara litigasi adalah pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama dan untuk menyelesaikannya secara non-litigasi adalah

(7)

forum penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution atau ADR) berdasarkan hukum syariah yang juga terkait dengan pengadilan dalam lingkungan

peradilan agama, seperti melalui musyawarah yang dipimpin oleh hakim di

lingkungan peradilan agama.14

Merupakan hal yang tepat jika penyelesaian perkara perbankan syariah

dilakukan dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal

yang terkait dengan nilai-nilai syariat Islam. Apabila diserahkan pada sistem

peradilan yang tidak menerapkan aturan-aturan syariah, yang akan muncul adalah

ketidaksinkronan antara praktik akad dengan penyelesaian sengketanya. Akad

dilakukan di dalam sistem syariah, sementara penyelesaiannya dilakukan dalam

lingkungan peradilan yang tidak menggunakan aturan dan asas-asas syariah.

Akad atau perjanjian merupakan hukum yang mengikat bagi para pihak yang

melakukan akad atau perjanjian tersebut. Perjanjian atau akad tersebut harus

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata, “untuk

sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1.sepakat, 2.cakap, 3.suatu hal

tertentu, 4.suatu sebab yang halal”.

Dibuatnya akad atau perjanjian tersebut harus sesuai dengan ketentuan pasal

1337 KUHPerdata (suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh

undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum).

Perjanjian atau akad yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi batal demi hukum.

Demikian halnya perjanjian atau akad mengenai penyelesaian sengketa perbankan

(8)

syariah harus pula memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata dengan ancaman

batal demi hukum berdasarkan pasal 1337 KUHPerdata. Sebab, suatu akad atau

perjanjian meskipun telah disepakati para pihak tidak dapat mengenyampingkan

kewenangan absolut pengadilan yang telah ditentukan dalam undang-undang.15

Pada penerapan akad-akad syariah, bank syariah harus mengacu pada hukum

positif yang ada. Akad-akad tersebut adalah prinsip, bukan jenis perjanjian bank

syariah. Dalam hal ini, bank syariah memberikan fasilitas pembiayaan, bukan

menjual atau menyewakan suatu barang. Akad jual beli atau sewa menyewa hanyalah

prinsip yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logisnya, dalam

surat perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah selayaknya tidak

menggunakan istilah-istilah perjanjian jual-beli atau sewa-menyewa, melainkan

perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.16

Sejak tumbuh dan berkembangnya aktifitas perbankan syariah di tahun 1998

penyelesaian sengketa perbankan syariah rata-rata dilakukan melalui proses Arbitrase

oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang berdiri secara resmi

tanggal 21 Oktober 1993 dan kemudian berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS) pada tanggal 24 Desember 2003 melalui Surat Keputusan

Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003 karena rata-rata akad

(perjanjian) antara bank syariah dengan nasabahnya selalu mencantumkanarbitration clause.

15Ibid, hlm. 44

16 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi ketiga (Jakarta :

(9)

Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen

hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam

lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya.

Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Mariam Darus

Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa bisnis

yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan

mempergunakan hukum Islam.17

Namun sejak lahirnya undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan

atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama muncul dispute settlement option(pilihan penyelesaian sengketa yang baru, karena pasal 49 huruf (i) undang-undang ini memberikan tugas dan kewenangan penyelesaian sengketa

ekonomi syariah termasuk di dalamnya perbankan syariah kepada pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama.

Secara eksplisit peradilan agama dalam undang-undang nomor 50 tahun 2009

yang mengubah undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama

dikatakan secara langsung bahwa salah satu kompetensi absolut peradilan agama

adalah menyelesaikan perkara-perkara sengketa ekonomi syariah dan perbankan

syariah masuk dalam bagian dari ekonomi syariah.18 Penyelesaian sengketa yang

mungkin timbul pada perbankan syariah selain akan dilakukan melalui pengadilan di

lingkungan peradilan agama, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa

17Majelis Ulama Indonesia,Sejarah BASYARNAS,

http://www.mui.or.id/content/sejarah-BASYARNAS, terakhir diakses pada tanggal 4 Juni 2014

(10)

melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan

di lingkungan peradilan umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak.

Pembagian kewenangan absolut masing-masing peradilan juga telah ditegaskan

oleh undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

menegaskan kewenangan peradilan agama sebagai berikut :

Pasal 25 ayat (3), “Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan

menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan

ketentuanperaturan perundang-undangan”.

Jika suatu undang-undang mempersilahkan untuk memilih menggunakan

fasilitas negara (lembaga peradilan), sedangkan ayat lainnya secara tegas telah

menentukan peradilan mana yang harus dipakai, maka dengan adanya dibebaskan

memilih akan menimbulkan berbagai penafsiran dari berbagai pihak apalagi

selanjutnya ayat lain mengisyaratkan harus memenuhi prinsip-prinsip dalam hal ini

prinsip syariah sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini dikarenakan

masing-masing lingkungan peradilan hanya berwenang mengadili terbatas pada kasus

yang dilimpahkan undang-undang.19 Oleh sebab itu, pada hakekatnya sebenarnya

pelemparan kompetensi absolut kepada selain lembaga yang tertulis secara langsung

adalah penyimpangan dari asas kepastian hukum yang diatur dalam UUD 1945, yaitu

pasal 28D Bab 10A tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin tentang kepastian

hukum bagi warganya.

(11)

Idealnya penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di lingkungan

peradilan agama karena berkaitan dengan muamalah Islam (bisnis Islam) dan

kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah telah diberikan oleh

undang-undang sejak tahun 2006. Hal ini membuktikan bahwa belum efektifnya

penerapan dan pelaksanaan undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan

syariah, khususnya mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah yang akhirnya

diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 ini merupakan

respon dari gugatan yang diajukan oleh Ir. H. Dadang Achmad20(Direktur CV. Benua

Enginering Consultant) terhadap uji materiil pasal 55 ayat (2) dan (3) undang-undang

nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap pasal 28 ayat (1) UUD

1945 yang didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19

Oktober 2012 dengan nomor perkara 93/PUU-X/2012, pemohon uji materi sendiri

merupakan salah seorang nasabah Bank Muamalat Indonesia cabang Bogor dengan

melakukan akad dengan bank tersebut pada tanggal 9 Juli 2009 dan memperbaharui

akadnya dengan akad pembiayaan musyarakah pada tanggal 8 Maret 2010 di hadapan

Notaris Catur Virgo di Jakarta.

Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh

perlindungan dan kepastian hukum sebagai warga negara atas penjelasan pasal 55

20 Harian Merdeka

(12)

ayat (2) undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dinilai

bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk mendapatkan gambaran yang utuh

mengenai akibat hukum terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka

dilakukan penelitian dan analisis permasalahan-permasalahan yang ada hubungannya

dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Oleh karena itu dipilihlah judul

“Analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian

sengketa perbankan syariah di Indonesia.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka yang

menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimanakah dasar pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi terhadap

penyelesaian sengketa perbankan syariah pada putusan No.93/PUU-X/2012 ?

2. Bagaimanakah akibat hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi

No.93/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian sengketa Perbankan Syariah?

3. Bagaimanakah kesiapan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa

Perbankan Syariah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan Majelis Hakim

Konstitusi terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah pada putusan

(13)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum pasca putusan

Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian sengketa

Perbankan Syariah.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kesiapan Peradilan Agama dalam

menyelesaikan sengketa perbankan syariah pasca putusan Mahkamah

Konstitusi No.93/PUU-X/2012.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan

sebagai bahan kajian dan kepustakaan khususnya tentang penyelesaian sengketa

perbankan syariah.

2. Secara Praktis

Dengan mengetahui penjelasan dan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi

No.93/PUU-X/2012 diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para

mahasiswa dan masyarakat mengenai penyelesaian sengketa pada perbankan syariah

dengan jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak pula

bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi penelusuran di kepustakaan lingkungan Magister

(14)

Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa

Perbankan Syariah di Indonesia” belum pernah ada yang meneliti. Akan tetapi ada

tesis tahun 2009 di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

oleh mahasiswa yang bernama RACHMANSYAH PURBA yang juga membahas

tentang penyelesaian sengketa perbankan Syariah dengan judul “Penyelesaian

Sengketa Pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama.” Perumusan masalah tesis tersebut adalah :

1. Bagaimana cara penyelesaian sengketa yang terjadi terkait dengan

penyelenggaraan perbankan syariah?

2. Bagaimanakah kesiapan peraturan hukum dalam menyediakan dasar hukum

dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah?

3. Pilihan forum apa saja yang tersedia dalam penyelesaian sengketa perbankan

syariah?

Pembahasan tesis ini mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah

sebelum dan sesudah berlakunya undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, hukum yang dijadikan pedoman oleh hakim peradilan agama

dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dan pilihan forum yang tersedia

dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dari segi permasalahan tesis

tersebut berbeda dengan tesis ini.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai topik

(15)

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional.

1. Kerangka Teori.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis

mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan

teoritis.21

Teori berasal dari kata theoria yang berasal dari bahasa latin yang artinya pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan biasanya diartikan

sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan

kegiatan yang bersifat praktis.22Agar kerangka teori meyakinkan, maka harus mampu

mengidentifikasi masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori

merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti untuk

memahami persoalan yang diteliti dengan bernar dan sesuai dengan kerangka berpikir

ilmiah.23

Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum

dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian

menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan

suatu filsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.24

Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan

21\M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Manda, Mandar Maju, 1994)

hlm.80

22Sudikno Mertokusumo,Teori Hukum,(Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka, 2012) hlm.4

23Zamakhsyari Hasballah,Teori-teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih,(Bandung :

Citra Pustaka Media Perintis, 2013) hlm.94

(16)

sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum dan teori as-sulhdipergunakan sebagai teori pendukung.

Tuntutan kehidupan yang semakin kompleks dan modern memaksasetiap

individu dalam masyarakat mau tidak mau, suka atau tidak suka menginginkanadanya

kepastian, terutama kepastian hukum, sehingga setiap individu dapat menentukan hak

dan kewajibannya dengan jelas dan terstruktur.25

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum

itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh

Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara

putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa

yang telah di putuskan.26

Menurut Scheltema adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi:27 a. Adanya legalitas;

b. Adanya Undang-Undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan; c. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut;

d. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.

25 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : P3S,

2006) hlm.63

26Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group,

2008) hlm.158

(17)

Kepastian hukum menurut M. Solly Lubis ada 2 (dua) yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan berlain-lain.28

Sedangkan teori as-sulh menurut pandangan Zamakhsyari Hasballah adalah merupakan akad untuk menyelesaikan suatu pertengkaran atau perselisihan menjadi

perdamaian.29

Hendi Suhendi berpendapat bahwa sulh adalah suatu akad yang bertujuan mengakhiri perselisihan ataupun persengketaan.30

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun akad as-sulh itu hanya ijab

(ungkapan penawaran damai) dan qabul (ungkapan penerimaan damai). Menurut Jumhur ulama, rukunas-sulhitu ada 4 (empat), yaitu31:

a. Kedua belah pihak yang melakukanas-sulh. b. Shighat as-sulh,yaitu Lafaz ijab dan qabul. c. Ada kasus yang dipersengketakan.

d. Perdamaian yang disepakati kedua belah pihak.

Timbulnya sengketa dalam perbankan syariah yang terjadi antara nasabah dan

Bank Syariah, disebabkan adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau

merasa dirugikan dan juga diakibatkan oleh tidak adanya pengaturan tentang

kepastian hukumyang jelas pada pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah.

Di satu sisi Undang-Undang Perbankan Syariah menetapkan pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama sebagai forum penyelesaian sengketa Perbankan

Syariah (Pasal 55 ayat 1). Tetapi di sisi lain, Undang-Undang Perbankan Syariah

28M. Solly Lubis,op. cit,hlm.43 29Zamakhsyari Hasballah,op.cit.,hlm.52

(18)

memungkinkan penyelesaian sengketa di luar lingkungan Peradilan Agama sesuai

dengan isi akad yang diperjanjikan para pihak (Pasal 55 ayat 2). Pada prinsipnya

memang pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan

mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki sesuai dengan prinsip

syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang

dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di

bidang syariah.

Dalam sistem perbankan syariah sebelum menyalurkan pembiayaan dari Bank

Syariah ke nasabah diwajibkan untuk membuat kesepakatan tertulis antara Bank

Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing

pihak sesuai dengan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut akad. Apa yang

dimaksud dengan akad disini adalah ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh pihak

yang berakad yang menunjukkan kerelaannya untuk berkontrak.32 Bank Indonesia

dalam beberapa ketentuannya telah juga memberikan defenisi akad yaitu Perjanjian

Tertulis yang memuat Ijab (Penawaran) dan Kabul (Penerimaan) antara Bank dan

pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak, sesuai dengan prinsip

syariah. Seperti antara lain yang disebutkan dalam peraturan Bank Indonesia Nomor :

7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi Bank yang

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.33

32Abdul Halim El-Muhammady,Undang-Undang Muamalat & Aplikasinya Kepada Produk-Produk Perbankan Islam, (Selangor Darul ehsan : Aras Mega (M) SDN. BHD, 2006) hlm.41

(19)

Alasan yang melatarbelakangi didirikannya perbankan syariah karena adanya

keinginan umat Islam untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin melalui

kegiatan bisnis yang sesuai dengan perintah agamanya dan yang terakhir, adanya

keinginan umat Islam untuk mempunyai alternative pilihan dalam mempergunakan

jasa-jasa perbankan yang dirasakan lebih sesuai.34 Dengan demikian bahwa setiap

kata yang menyebutkan syariah berarti sama dengan penerapan khusus terhadap

semua aturan Islam.

Penerapan sistem perekonomian dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah

yang disebut juga dengan fiqih muamalah di negara yang mayoritas muslim ini, merupakan hal yang sudah seharusnya dan bukan dengan sistem ekonomi kapitalis

atau sosialis yang jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah seperti

bebas riba, bebas gharrar (ketidakjelasan dan ketidakpastian), bebas maysir (spekulatif), bebas produk haram dan bebas dari praktek akad yang fasid. Dengan demikian bank syariah dapat memberikan keuntungan bagi para nasabah tanpa timbul

perasaan memperoleh keuntungan haram bagi para nasabah tersebut pada akhirnya

diharapkan akan turut meningkatkan perekonomian nasional.

2. Konsepsi.

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah

sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada

34Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio,Apa dan Bagaimana Bank Islam,

(20)

dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia

teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”35.

Konsep merupakan dasar dari semua pemikiran dan komunikasi, namun sering

kurang diperhatikan apa konsep itu dan masalah yang ditemui dalam penggunaannya.

Di dalam penelitian, masalah khusus sangat membutuhkan ketepatan suatu konsep

dan keahlian untuk menemukannya atau menciptakannya (inventiveness).36

Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud

dengan konsep. Menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan defenisi

operasional.“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi

operasional.”37

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda

tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan

konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut :

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh

pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.38

b. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah suatu putusan oleh Majelis Hakim

Kontitusi, yang juga merupakan lembaga penafsir akhir konstitusi dan lembaga

35 Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1999) hlm.34 36J.Supranto,Metode Penelitian Hukum Dan Statistik,(Jakarta : Rineka Cipta, 2003) hlm.70 37Sumandi Suryabrata,Metodologi Penelitian, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1998) hlm.3 38Dwi Prastowo dan Rifka Juliaty,Analisis Laporan Keuangan, Cetakan Kedua,(Yogyakarta :

(21)

pelindung hak konstitusioal warga negara, yang dituangkan dalam bentuk

tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan bertujuan untuk mengakhiri

atau menyelesaikan suatu gugatan yang bersifat final.

c. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di

samping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.39

d. Sengketa adalah permasalahan yang diajukan nasabah atau perwakilan nasabah

kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses

penyelenggaraan pengaduan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan

Bank Indonesia tentang penyelesaian pengaduan nasabah.40

e. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank

Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta

cara dan proses dalammelaksanakan kegiatan usahanya.41

f. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau

beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian

di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli.42

39 Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi (Konstitusi Press,

Jakarta & Citra Media, Yogyakarta, 2006) hlm.118

40Pasal 1 Angka 4 PBI Nomor 8/5/PBI/2006

41Pasal 1 Bab 1 Undang-undang Perbankan Syariah No. 21Tahun 2008

42 Pasal 1 angka 10 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Tahun

(22)

g. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam yang bertugas, berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang -orang

yang beragama Islam di bidang, perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf;

zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.43

G. Metode Penelitian

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefenisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan.44 Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah

yang disebut dengan metodologi penelitian.45 Sebagai suatu penelitian ilmiah maka

rangkaian kegiatan penelitian diawali dengan pengumpulan data hingga analisis data

yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut :

1. Sifat dan Jenis Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, maksudnya penelitian hukum dalam

rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.46

Jenis penelitian yang diterapkan memakai metode pendekatan yuridis normatif

yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum47,

43Pasal 2 dan Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama 44Muslan Abdurrahman,Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang : UMM Press,

2009) hlm.91

45 Sutrisno Hadi,Metodologi Research, (Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi

UGM, 1973) hlm.5

46Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)

(23)

penelitian dilakukan dengan cara menitikberatkan penelitian pada data sekunder atau

data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini, kemudian

menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga ditemukan

suatu doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk

menganalisis permasalahan yang dibahas.48

Di samping itu, untuk mendukung penelitian ini juga menggunakan penelitian

hukum empiris yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan

kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif, hasil pengumpulan dan

informasi melalui studi kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang

dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian tesis ini untuk

mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yg terjadi ketika suatu sistem norma

tersebut bekerja di dalam masyarakat.49

2. Sumber Data.

Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai

data. Dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data

sekunder.

a. Data Primer.

Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli.

Data primer didapat melalui wawancara, yaitu dengan :

47 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang : PT. Ghalia Indonesia, 1996)

hlm.3

48 Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian HukumNormatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995) hlm. 13

49 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(24)

- Hakim Pengadilan Agama Medan

- Notaris di Medan dan Binjai, yang dilakukan dengan berpedoman pada

pertanyaan yang telah disusun.

b. Data Sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang

dilakukan dengan mencari, mengumpulkan dan mengkaji bahan hukum primer,

sekunder dan tersier50. Hal ini sebagai dasar pengetahuan dan titik acuan dalam

melakukan pembahasan melalui sumber data tertulis seperti buku-buku ilmiah,

peraturan perundang-undangan, putusan, maupun dokumen resmi yang dikeluarkan

pemerintah.

1. Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat

sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.51 Bahan hukum

primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) maupun berbagai macam perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan obyek

penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder bahan hukum primer yang

digunakan adalah Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, Undang-undang No. Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan

perubahannya No. Tahun 2009, peraturan-peraturan tentang Perbankan, dan

putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012.

50Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji,op.cit.,hlm.13

51Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia

(25)

2. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang isinya memperkuat dan memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer52, berupa buku-buku hukum, tulisan

para ahli, makalah-makalah yang disampaikan dalam seminar, jurnal, sumber

data dari media elektronik berupa internet, majalah, dan surat kabar mengenai

penyelesaian sengketa perbankan syariah.

3. Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan

yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer

dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data.

Teknik pengumpulan data diartikan sebagai proses atau kegiatan yang

dilakukan untuk mengungkap atau menjaring berbagai informasi sesuai dengan

lingkup penelitian. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan

ini adalah dengan metode penelitian kepustakaan (library research) dan data yang langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research).

Penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dan informasi serta

memelajarai dokumen-dokumen, buku-buku, teori-teori, peraturan

perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa

perbankan syariah. Selain itu dilakukan pengumpulan data menggunakan pedoman

wawancara dengan narasumber.

(26)

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung

secara lisan bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau

keterangan-keterangan.53 Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara

terstruktur, dimana hal-hal yang akan ditanyakan telah ditetapkan sebelumnya

mengenai aspek-aspek dari masalah yang diteliti.

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode kuantitatif.

Metode kuantitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.54 Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari

asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat kompleks, padanya

terdapat regulitas atau pola tertentu, namun penuh keragaman.55

Kegiatan analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data

primer dan data sekunder, selanjutnya dilakukan pengelompokkan dan penyusunan

data secara berurutan dan sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan

metode deskriptif analisis. Selanjutnya ditarik kesimpulan agar diperoleh gambaran

secara menyeluruh tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah setelah

keluarnya putusan MK No.93/PUU-X/2012.

53Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001)

hlm. 81

54 Lexy J. Meolong,Metode Kualitatif,(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) hlm. 3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

In reality, the nation of Balda Ṭayyiba Wa Rabb Ghafūr requires an Islamic administration that covers various aspects, including politics, rabbānī holistic education system,

Dalam dasar pertimbangan hakim di putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari

3) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan

Nilai koefisien Motivasi Kerja sebesar 0,106.Pengaruh Kepemimpinan, Iklim Organisasi, dan Motivasi Kerja Secara Simultan terhadap variabel Kinerja Karyawan di

Tenaga kerja (TK) adalah orang yang bekerja pada sentra industri pengolahan makanan dan minuman (industri kecil menengah) yang ada di Kecamatan Batu yang

Pemilik memberikan rjin dan menjamin serta dengan tanpa memungut pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun atas hakuntuk menggunakan atau hak untuk

Pertanaman pepaya di Desa Matungkas merupakan lokasi yang paling tinggi terserang dan bagian tanaman yang banyak terserang adalah pada bagian daun dengan persentase 93,33% pada