• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Tidak Sehat Ibu yang Menjadi Fa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perilaku Tidak Sehat Ibu yang Menjadi Fa (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

141 Artikel diterima 01/04/2014; disetujui 01/06/2014 Vol. 2, No. 3, Sept ember 2014, Hal 141-147 ISSN: 2338-9117

141

Perilaku Tidak Sehat Ibu yang Menjadi Faktor Resiko

Terjadinya ISPA Pneumonia pada Balita

Siti Sundari, Pratiwi, Khairudin

Politeknik Kesehatan-Kementerian Kesehatan Malang Jl. Besar Ijen No.77C Malang. E-mail: ndaripoltekkes@gmail.com

Abstract: The research aims to explore the healthy life behavior as dominant factors of ISPA on

tod-dlers. This control cased-epidemiologic study observes the affect of mother’s unhealthy behavior on ISPA incidents. There are 54 samples consisting of 24 mothers of toddles with ISPA as the case while another 30 people as the control group. The data collection uses questioners for risk factor analysis by means of Relative Ratio (RR). As a result, 18 of 20 unhealthy factors (RR>1) are categorized as ISPA risk factors. These results clearly show that ISPA may easily occur on toddlers with insanitary mothers.

Key Words: risks, mothers behavior, pneumonia on toddlers

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku tidak sehat ibu yang menjadi faktor

do-minan terjadinya ISPA pneumonia pada Balita. Desain penelitian menggunakan studi epidemiologi dengan rancangan kasus kontrol mempelajari pengaruh paparan perilaku tidak sehat ibu terhadap kejadian ISPA Pneumonia Balita. Besar sampel 54 orang, yaitui 24 Ibu Balita penderita ISPA Pneumonia (kelompok kasus) dan 30 ibu Balita Sehat (kelompok kontrol). Pengambilan data menggunakan kuesio-ner, untuk menganalisis besarnya faktor resiko digunakan perhitungan Rasio Relatif (RR). Terdapat 18 perilaku tidak sehat ibu yang menjadi faktor resiko terjadinya ISPA pneumonia Balita. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, ISPA akan lebih mudah terjadi pada balita yang ibunya berperilaku tidak sehat.

Kata kunci: resiko, perilaku ibu, pneumonia balita

L

ebih dari 2 (dua) dasawarsa ini penyakit Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) selalu menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia. ( Depkes RI, 2011). ISPA merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan agen infeksius yang ditularkan dari manu-sia ke manumanu-sia (WHO, 2007). ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan ad-neksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan juga pleura ( Depkes RI, 2006 ). Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari penya-kit tanpa gejala sampai penyapenya-kit parah dan memati-kan. tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan pejamu. Data 10 Besar Penyakit ter-banyak pada pasien rawat jalan Rumah Sakit di Indo-nesia tahun 2009, menempatkan Infeksi saluran na-pas bagian atas pada urutan pertama dengan total kasus sebanyak 488.794, sedangkan pada pasien

ra-wat inap menempati urutan ke tujuh dengan total ka-sus 36.048 serta CFR 0,45% (Depkes RI,2010).

Penyakit ISPA sering terjadi pada anak Balita, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah Kejadian batuk pilek pada balita di Indonesia diper-kirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk-pilek 3 sam-pai 6 kali setahun. Penyakit ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, bersin, udara pernapasan yang me-ngandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernapasannya. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, se-ring terjadi pada semua golongan umur, tetapi ISPA yang berlanjut menjadi Pneumoni sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene.

(2)

terja-dinya infeksi akut pada bronkhus yang disebut Bro-khopneumonia. Dalam pelaksanaan pengendalian penyakit ISPA semua bentuk pneumonia (baik pneu-monia maupun bronkhopneupneu-monia), disebut “Pneu-monia” saja (Depkes RI 2006). Pnemonia sampai saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak beru-sia dibawah lima tahun (Balita). Menurut survei kese-hatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi, dan 22,8% kematian balita disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.

Penemuan penderita ISPA BALITA di Kota Ma-lang pada tahun 2012 sebanyak 30.387 ISPA bukan Pneumoni dan 1349 ISPA Pneumoni, dimana Pus-kesmas Dinoyo merupakan PusPus-kesmas dengan pene-muan penderita Pneumonia tertinggi (399 Balita atau 82,9% dari target) diantara 15 Puskesmas di wilayah Kota Malang). Rata-rata penemuan penderita ISPA Pneumonia di Puskesmas Kota Malang tahun 2012 adalah 21,8% dengan variasi antara 0 s/d 82,9%, di-mana dua Puskesmas yaitu Puskesmas Arjuno dan Mulyorejo tidak menemukan ISPA Pneumoni, namun penderita ISPA Non Pneumoni pada Balita penderita-nya cukup bapenderita-nyak (Dinas Kesehatan Kota Malang tahun 2012).

Bagian penting dalam pencegahan penyakit ISPA adalah memutus rantai penularan. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Faktor pencegah-an penularpencegah-an menitikberatkpencegah-an pada penpencegah-anggulpencegah-angpencegah-an faktor resiko penyakit seperti lingkungan dan perilaku. (Widoyono, 2008). Perilaku hidup bersih dan sehat dapat mencegah terjadinya masalah kesehatan terma-suk pencegahan, penularan dan mempercepat kesem-buhan ISPA yang prevalensinya di Kota Malang cu-kup tinggi.

Beberapa teori perilaku telah dicoba untuk mengungkap faktor penentu atau determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perila-ku, khususnya perilaku kesehatan antara lain adalah teori Lawrence Green (1980), pada Notoatmodjo, 2007, menyatakan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes), dan faktor diluar perilaku (non behavior causes). Perilaku itu ditentu-kan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu: faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana yang diperlukan. Misalnya pus-kesmas, obat-obatan, air bersih dll. Faktor-faktor pen-dorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perila-ku masyarakat.

Dikaitkan dengan terjadinya penyakit ISPA pada balita, maka yang perlu dianalisis adalah perilaku ti-dak sehat apakah yang menjadi faktor penyebab ter-jadinya ISPA Pneumonia pada Balita di wilayah ker-ja Puskesmas Dinoyo. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui perilaku hidup sehat yang menjadi faktor dominan terhadap resiko kejadian ISPA Pneu-monia pada Balita.Tujuan khususnya adalah mengi-dentifikasi karakteristik penderita ISPA Pneumonia pada Balita. Mengidentifikasi faktor perilaku hidup sehat ibu yang berkaitan dengan kejadian ISPA Pneu-monia pada Balita. Menganalisis faktor dominan peri-laku hidup sehat ibu terhadap resiko kejadian ISPA Pneumonia pada anak Balita di wilayah kerja Puskes-mas Dinoyo Kota Malang.

METODE

Penelitian ini termasuk studi epidemiologi analitik dengan rancangan kasus-kontrol yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian), dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Dalam rancangan penelitian ini peneliti mengikuti pro-ses perjalanan penyakit ke arah belakang, berdasar-kan urutan waktu (retrospektif). Dengan kata lain kasus kontrol menggunakan paradigma akibat ke se-bab yang merupakan kebalikan dari penelitian pros-pektif (Hikmawati, Isna, 2011).

(3)

Analisis dilakukan dengan menghitung Rasio Re-latif (RR) atau Rasio Insiden KomuRe-latif yang menya-takan besarnya resiko (kemungkinan) untuk menderi-ta bagi mereka yang terpapar dibanding mereka yang tidak terpapar atau memperlihatkan besarnya penga-ruh keterpaparan terhadap timbulnya penyakit. Be-sarnya RR menunjukkan berapa kali resiko untuk mengalami sakit Pneumonia pada Balita terpapar pe-rilaku tidak sehat ibunya dibanding dengan Balita yang tidak terpapar perilaku tidak sehat ibunya.

Rasio relatif merupakan nilai perbandingan/ rasio antara rate insiden kelompok terpapar dengan kelom-pok tidak terpapar dengan perhitungan sebagai beri-kut: Resiko Relative (RR) = CI Terpapar / CI Tidak terpapar.

Kriteria hasil analisis: (a) apabila nilai RR = 1 artinya tidak ada pengaruh antara keterpaparan peri-laku tidak sehat ibu dengan kejadian penyakit ISPA Pneumonoa pada Balita; (b) apabila nilai RR > 1 ar-tinya ada pengaruh antara keterpaparan perilaku tidak sehat ibu dengan kejadian penyakit ISPA Pneumonoa pada Balita tidak sehat ibu dengan kejadian penyakit ISPA Pneumonoa pada Balita; (c) apabila nilai RR < 1 artinya keterpaparan perilaku tidak sehat ibu bu-kan merupabu-kan resiko kejadian penyakit ISPA Pneu-monia pada Balita.

HASIL

Karakteristik Balita penderita ISPA Pneumoni dan Balita Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Dino-yo. Gambaran karakteristik Balita penderita ISPA yang berobat ke Puskesmas Dinoyo Maret s.d Juli 2013 seperti dalam Tabel 1, 2, 3.

Sebagian besar pendidikan ibu Balita berpendi-dikan menengah, sedangkan proporsi pendiberpendi-dikan da-sar dan menengah lebih beda-sar pada kelompok sakit daripada kelompok sehat, sebaliknya proporsi pendi-dikan ibu Balita perguruan tinggi, lebih besar kelom-pok sehat daripada kelomkelom-pok sakit. Sebagian besar status pekerjaan ibu Balita adalah tidak bekerja, se-dangkan proporsi bekerja pada kelompok Balita sehat lebih besar daripada kelompok Balita sakit Pneumo-nia (Tabel 4).

Tabel 5 menunjukkan, bahwa perilaku tidak se-hat ibu yang paling tinggi resikonya untuk terjadinya ISPA Pneumonia Balita adalah perilaku ibu tidak me-nutup hidung dan mulut ketika batuk, yakni angka kesakitannya sebesar 61% sedangkan angka kesakit-an ISPA Pneumonia pada Balita ykesakit-ang ibunya menu-tup hidung sebesar 11%. Balita yang terpapar perilaku ibunya tidak menutup hidung dan mulut ketika batuk memiliki 5,5 x lebih besar (RR=5.5) kemungkinannya untuk terjadi ISPA Pneumoni daripada Balita yang ibunya menutup hidung dan mulut ketika batuk. Perila-ku ibu yang tidak berpengaruh terhadap kejadian Pneumonia Balita adalah perilaku negatif 19 dan 20 karena nilai RR < 1.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa usia pen-derita ISPA Pneumonia bayi (0–1 tahun) sebanyak 33,33% dan (1-5) tahun sebanyak 66,67%, hal ini kemungkinan terjadi karena bayi dibawah 3 bulan memiliki fungsi pelindung antibodi keibuan, infeksi meningkat setelah berumur (3-6) bulan. Ketika anak umur 5 tahun, infeksi pernapasan yang disebabkan

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Penderita ISPA Pneumonia pada Balita Berdasarkan Usia

Usia (tahun) Jumlah % < 1 8 33,33 1s/d <5 16 66,67 Jumlah 24 100

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Penderita ISPA Pneumoni pada Balita Berdasarkan Jenis

Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah % Laki-laki 11 45,83 Perempuan 13 54,17 Jumlah 24 100

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Balita Penderita ISPA Pneumoni dan Balita Sehat Berdasarkan Pendidikan Ibunya

Pendidikan Balita Sakit Pneumonia Balita Sehat Jumlah Jumlah % Jumlah %

(4)

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Balita Sakit Pneumonia dan Balita Sehat Berdasarkan Status Pekerjaan Ibunya

Usia Balita Sakit Pneumonia Balita Sehat Jumlah Jumlah % Jumlah %

Bekerja 4 16,67 8 26,67 12 Tidak bekerja 20 83,33 22 73,33 42 Jumlah 24 100 30 100 54

Tabel 5. Pengaruh Faktor Perilaku Tidak Sehat Ibu terhadap Resiko Kejadian ISPA Pneumoni pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Dinoyo Tahun 2013

Urutan faktor

dominan

Faktor Resiko Perilaku tidak Sehat Terhadap Kejadian ISPA Pneumonia Balita

Insidens komulatif (CI) Relatif Resiko (RR) Terpapar

perilaku tidak sehat ibu

Tidak Terpapar perilaku sehat ibu

1 Ibu tidak menutup hidung dan mulut ketika batuk 0,61 0,11 5,5 2 Ibu tidak menjauhkan anak dari orang sakit ISPA 0,74 0,14 5 3 Ibu tidak segera membawa Balita ke fasilitas

pelayanan kesehatan apabila Balita sakit ISPA dengan panas dan sesak napas

0,81 0,19 4,36 4 Ibu tidak segera cuci tangan dengan sabun apabila

terkena cairan mulut dan hidung ketika batuk

0,6 0,15 3,8 5 Ibu tidak mencuci tangan dg sabun apabila tangan

kontak dengan hidung dan mulut ketika batuk

0,52 0,16 3,1 6 Ibu tidak biasa membuka jendela kamar tidur 0,61 0,22 2,81 7 Ibu tidak menjauhkan Balita sakit dari anggota

keluarga lainnya

0,61 0,21 2,8 8 Ibu tidak membawa Balita untuk dilakukan

imunisasi lengkap

1 0,38 2,6 9 Perilaku merokok dalam rumah adalah hal yang

biasa dilakukan keluargauarga maupun tamu

0,51 0,23 2,21 10 Ibu tidak memberi ASI Eksklusif ketika Balita

masih bayi

0,56 0,29 1,94 11 Penghuni rumah ada yang merokok dalam rumah 0,52 0,3 1,8 12 Tidak selalu ada buah dan sayur dalam menu

makanan sehari-hari

0,51 0,34 1,5 13 Ibu tidak memakai masker ketika kontak dengan

Balita sakit

0,45 0,33 1,35 14 Ibu biasa menggantung baju dan menyimpan

barang-barang / buku dalam kamar tidur

0,45 0,33 1,35 15 Ibu tidak menjauhkan anak dari orang yang sedang

merokok

0,5 0,39 1,3 16 Ibu tidak pernah/ memberi vit A pada Balita usia >

6 bulan

0,53 0,41 1,29 17 Ibu tidak terbiasa membuka jendela ruang keluarga 0,5 0,42 1,18 18 Ibu sering membakar sampah disekitar rumah 0,5 0,44 1,13 19 Ibu tidak memberi susu formula setiap hari kepada

Balita

(5)

oleh virus berkurang frekuensinya, tetapi pengaruh infeksi mycoplasma pneumoni dan grup A-B Hymo-litic Streptococcus akan meningkat, beberapa Virus membuat sakit ringan pada anak yang lebih tua, na-mun menyebabkan sakit yang hebat pada sistem pernapasan bawah (Depkes RI, 2006).

Proporsi jenis kelamin laki-laki memang rendah, namun belum tentu morbiditas Balita laki-laki masih tetap lebih rendah, karena kenyataannya penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki dan diasumsi-kan Balita perempuan juga lebih banyak dari Balita laki-laki

Tingkat pendidikan ibu Balita kelompok kasus dan kelompok kontrol sebagian besar dalam katagori menengah (SMP & SMA), namun tingkat pendidikan tinggi lebih besar pada kelompok kontrol, dan tingkat pendidikan rendah lebih besar pada kelompok kasus. Demikian sebagian besar responden adalah tidak be-kerja, dan proporsi tidak bekerja lebih besar pada kelompok kasus. Ibu dengan pendidikan tinggi memilki cenderung pengetahuan lebih banyak dari pada i-bu yang berpendidikan rendah sehingga lebih berpo-tensi bersikap dan bertindak positif untuk berperilaku hidup sehat daripada yang berpendidikan rendah. Pe-rilaku yang didasari dengan pengetahuan dan sikap akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak dida-sari pengetahuan dan sikap. Tingkat pendidikan juga berpengaruh pada keadaan sosial ekonomi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perilaku sehat ibu dikaitkan dengan kesehatan Balita

Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemu-kakan Hartono (2012) bahwa faktor yang mempenga-ruhi terjadinya ISPA adalah fator intrinsik umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, masalah kesehatan, pendidikan orang tua, status ekonomi dan penggunaan fasilitas kesehatan. Menurut Rahajoe (2008) bahwa tingkat pendidikan orang tua menunjukkan hubungan terbalik antara kejadian dengan kematian ISPA. Ting-kat pendidikan berhubungan erat dengan sosial ekono-mi dan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengeta-huan menyebabkan sebagian kasus ISPA Pneumoni tidak diketahui dan diobati yang dapat berakibat ketangan berobat ke tempat pelayanan kesehatan da-lam keadaan sudah parah atau terda-lambat. Menurut Depkes RI, 2006 bahwa faktor resiko yang mening-katkan insidens pneumonia adalah umur, laki-laki, gizi kurang, tidak mendapat ASI memadai, imunisasi tidak memadai dan defisiensi vitamin A.

Menurut Notoatmojo (2010), bahwa perilaku ke-sehatan diklasifikasikan menjadi perilaku pemelihara-an kesehatpemelihara-an (heath maintenpemelihara-ance); perilaku

penca-rian dan penggunaan fasilitas pelayanan atau pencari-an pengobatpencari-an (health seeking behavior ); perilaku kesehatan lingkungan (envaronment health behav-ior).

Perilaku pemeliharaan kesehatan tidak sehat yang dilakukan ibu yang memiliki resiko terjadinya Pneumonia pada Balita dimulai dari yang paling domi-nan meliputi kebiasaan ibu tidak menutup hidung dan mulut ketika batuk; ibu tidak menjauhkan anak dari orang yang sedang sakit infeksi saluran pernapasan akut; ibu tidak segera mencuci tangan dengan sabun apabila tangan terkena cairan hidung dan mulut ketika batuk; ibu tidak mencuci tangan dengan sabun apabila tangan kontak lansung dengan hidung dan mulut keti-ka batuk; ibu tidak menjauhketi-kan Balita sakit dari ang-gota keluarga lainnya; ibu tidak membawa Balita un-tuk diimunisasi lengkap; ibu tidak selalu menyediakan buah dan sayur dalam menu makanan sehari-hari; ibu tidah pernah memberi vit A pada > 6 bulan. Ibu Balita yang melakukan perilaku pemeliharaan kese-hatan yang tidak sehat tersebut di atas memungkin-kan terjadinya penularan penyakit ISPA Pneumonia pada Balita, dimana pola penyebaran ISPA yang uta-ma adalah melalui droplet yang keluarga dari hidung dan mulut penderita saat batuk atau bersin. Resiko terjadinya pneumonia pada Balita tersebut dapat di-kurangi atau dicegah apabila ibu Balita melakukan perilaku pemeliharaan kesehatan untuk menghindari Balita kontak dengan droplet yang keluar hidung dan mulut penderita sera perbaikan gizi dengan pemberi-an sayur dpemberi-an buah setiap hari, dpemberi-an pemberipemberi-an vitamin A bagi Balita dan bayi > 6 bulan. Penelitian ini sesuai dengan WHO 2007, bahwa penularan juga dapat ter-jadi melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan oleh secret saluran pernapasan, hidung dan mulut) dan melalui udara. Langkah pengendalian sumber infeksi harus dilakukan untuk semua orang yang memperli-hatkan gejala infeksi pernapasan melalui kebersihan pernapasan dan etika batuk.

(6)

pen-derita ISPA disertai panas dan sesak napas tidak se-gera dibawa berobat ke fasilitas pelayanan kesehat-an, maka Pneumonia pada Balita tidak dapat terdetek-si secara dini. Hal ini akan berakibat konditerdetek-si penderita semakin parah, dan ISPA pada Balita dapat berkem-bang menjadi Pneumonia. Sebaiknya ibu Balita me-ngetahui gejala dini ISPA Pneumonia, sehingga apabi-la Balita sakit dengan gejaapabi-la Pneumonia akan segera membawa berobat ke fasilitas kesehatan sehingga terjadinya kesakitan dan kematian Pneumonia pada Balita dapat dicegah.

Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak diobati diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah. Indidens ISPA sebesar 60% dari kunjungan rawat jalan di Puskesmas, dan 20-40% dari kunjung-an rawat jalkunjung-an dkunjung-an rawat inap di rumah sakit (Depkes RI, 2006).

Perilaku kesehatan lingkungan (envaronment health behavior) tidak sehat yang dilakukan ibu Bali-ta dan memiliki resiko terjadinya Pneumonia, meliputi perilaku tidak membuka jendela kamar tidur setiap hari; perilaku merokok dalam rumah; perilaku ada penghuni yang merokok dalam rumah; perilaku ibu menggantung baju dan menyimpan buku dalam ka-mar tidur; tidak menjauhkan anak dari orang yang sedang merokok; tidak membuka jendela ruang kelu-arga; serta perilaku membakar sampah di sekitar ru-mah.Seluruh perilaku tidak sehat tersebut akan bera-kibat timbulnya pencemaran udara di dalam dan di luar rumah, sehingga kualitas udara pernapasan tidak memenuhi syarat yang pada akhirnya akan berpenga-ruh terhadap terjadinya ISPA Pneumonia pada Balita. Menurut Hartono (2012) bahwa Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik dalam maupun dari luar rumah berhu-bungan dengan beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan ling-kungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respi-ratori. Salah satu penyebab terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas udara di dalam maupun di luar rumah, baik secara biologis. Fisik maupun kimia, kua-litas udara tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain bahan bangunan (misalnya asbes), struktur bangunan (misalnya ventilasi), bahan pelapis forniture, kepadatan hunian, kualitas udara luar rumah (ambien air quality), radiasi dari radon, formaldehid debu, dan kelembaban. Selain itu kualitas udara juga dipe-ngaruhi oleh kegiatan dalam rumah, misalnya

peng-gunaan energi tidak ramah lingkungan, pengpeng-gunaan energi batubara dan kayu, perilaku merokok dalam rumah, penggunaan pestisida, bahan kimia pembersih, dan kosmetika. Bahan-bahan kimia tersebut dapat mengeluarkan polutan dan bertahan lama di dalam rumah (Depkes RI, 2011).

Hasil penelitian tersebut di atas sesuai dengan penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan publikasi ilmiah, dilaporkan bahwa faktor resiko baik yang meningkatkan insidens (morbiditas) mau-pun kematian (mortalitas) akibat Pneumonia antara lain :umur < 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI memadai, polusi u-dara,imunisasi yang tidak memadai, membedong a-nak, defisiensi Vitamin A, pemberian makanan terlalu dini (Depkes RI, 2006).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik Penderita ISPA Pneumonia Balita di Wilayah kerja Puskesmas Dinoyo lebih banyak pada Balita dengan usia (1-5) tahun dari pada usia bayi (0-1) tahun dan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Dari 20 item perilaku yang diduga menjadi faktor resiko dominan, hasil analisis menunjukkan terdapat 18 perilaku tidak sehat yang menjadi faktor resiko terjadinya penyakit Pneumonia pada Balita dengan nilai RR > 1, dengan rentang ni-lai RR (1,13 – 5,5) yang artinya Balita yang ibunya berperilaku tidak sehat memiliki resiko (1,13 -5,5) kali lebih besar akan terjadi ISPA Pneumonia daripa-da Balita yang ibunya berperilaku sehat.

Saran

Mengingat Pneumonia masih merupakan penya-kit yang mengancam kelangsungan hidup dan per-kembangan anak usia Balita maka hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan materi promosi kesehatan dalam pencegahan dan pengenda-lian pneumonia pada Balita yang ditekankan pada faktor resiko dominan perilaku tidak sehat terhadap kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada Balita.

DAFTAR RUJUKAN

Depkes RI. 1992. Pedoman Pemberantasan Penyakit

In-feksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta:

(7)

Depkes RI. 2000. Buku Pedoman Pembinaan Program

Perilaku hidup Bersih dan Sehat di Tatanan Ru-mah Tangga. Jakarta: Dirjen Kesehatan

Masyara-kat.

Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit

In-feksi Saluran Pernapasan Akut Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Dirjen PP&PL.

Depkes RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka

Pan-jang Kesehatan 2004-2025.

Depkes RI. 2006. Modul dan Materi Promosi Kesehatan

untuk Politeknik/D3. Pusat Promosi Kesehatan.

Depkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Penyakit

Infek-si Saluran Pernapasan Akut, Untuk Penanggu-langan Pneumoni pada Balita.

Hikmawati, Isna. 2011. Buku Ajar Epidemiologi. Yogya-karta: Nuha Medika.

Kemenkes RI. 2011. Permenkes RI Nomor 2269/Menkes/ Per/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan

Peri-laku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Machfoedz, I. 2007. Metodologi Penelitian Bidang

Kese-hatan, Keperawatan, dan Kebidanan, Cetakan

Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya.

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu

Perila-ku. Jakarta: Rineka Cipta.

Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

dan Penanggulangannya. Medan: FKM

Universi-tas Sumatera Utara.

Alfarisi. 2012. Sepuluh Besar Penyakit Terbanyak di Indonesia. (Online), (http://doc-alfarisi.blogspot. com/2011/04/10-besar -penyakit-terbanyak-di.html, diakses tanggal 22 Desember 2012).

WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian ISPA yang

Cenderung Menjadi Epidemi & Pandemi di Fa-silitas Pelayanan Kesehatan. Pedoman Interim

Gambar

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Balita Penderita ISPA Pneumoni dan Balita Sehat BerdasarkanPendidikan Ibunya
Tabel 5. Pengaruh Faktor Perilaku Tidak Sehat Ibu terhadap Resiko Kejadian ISPA Pneumonipada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Dinoyo Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Kepemilikan Institusional merupakan kepemilikan saham oleh pihak institusi atau lembaga-lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan bank.Besarnya proporsi

Hasil pengujian ini sejalan dengan hasil penelitian Steffi Sigilipu (2013) yang menunjukkan bahwa sistem informasi akuntansi manajemen, sistem pengukuran kinerja dan sistem

Dari kajian ini, disarankan beberapa hal sebagai berikut: (1) Perbaikan aspek-aspek GMP, antara lain: desain ruang pengolahan, fasilitas pabrik, peralatan produksi, dan

The Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Syrian Arab Republic shall establish a Joint Indonesian - Syrian Commission on Economic,

 Individu dapat mencapai ketergantungan satu sama lain  Kelompok sebaya mengajar moral orang dewasa  Individu dapat mencapai kebebasan sendiri. Masyarakat

[r]

Keterkaitan fakta dengan opini dalam dunia jurnalis ialah para jurnalis dapat memberitakan sebuah hal atau kejadian yang berdasarkan fakta dengan cara observasi sederhana

Hasil pembuktian hipotesis yang ketiga dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan ROE (Return On Equity) yaitu besarnya jumlah laba bersih yang dihasilkan dari