• Tidak ada hasil yang ditemukan

T B.IND 1402468 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T B.IND 1402468 Chapter1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Penelitian

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia salah satu yang harus dikuasai siswa adalah keterampilan berbicara, melalui aktivitas ini seseorang mampu berkomunikasi dengan manusia lain. Berbicara tidak hanya menyampaikan pesan melainkan proses mengolah pesan itu sendiri bisa berupa ide, gagasan, atau pemikiran yang dikemukakan seseorang. Keterampilan berbicara tidak hanya berperan dalam pembelajaran bahasa tetapi berperan penting juga dalam pembelajaran lain.

Siswa yang mempunyai keterampilan berbicara akan mudah berkomunikasi dengan orang lain, berbeda dengan siswa yang tidak mempunyai keterampilan berbicara akan sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Banyak faktor yang menyebabkan siswa sulit untuk berinteraksi dengan orang lain atau berbicara di depan umum. Faktor tersebut diantaranya, tidak terbiasa berbicara di depan umum, sering mengalami kecemasan ketika berhadapan dengan orang banyak, kurang percaya diri terhadap kemampuannya, takut tidak bisa menjawab pertanyaan temannya dan lain-lain.

Thornbury (2005, hlm. 25) mengemukakan bahwa “terdapat sejumlah faktor yang menentukan mudah atau sulitnya berbicara yaitu faktor kognitif, faktor afektif, dan faktor performa”. Brown (2001, hlm. 269) pun berpendapat bahwa “salah satu kendala utama pembelajar yang harus diatasi dalam belajar berbicara adalah kecemasan yang menyebabkan pembelajar melontarkan hal-hal yang salah atau tidak bisa dimengerti”. Senada dengan pendapat tersebut Apollo (2007, hlm. 17-32) menjelaskan bahwa “perasaan cemas sebenarnya merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan adanya perasaan tidak berdaya”.

(2)

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis”.

Kecemasan adalah suatu kondisi adanya tekanan fisik dan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan lingkungan (Rathus dan Nevid, 2005, hlm. 163). Seseorang dapat mengalami kecemasan ketika mengalami tekanan dalam dirinya akibat tuntutan-tuntutan yang berasal dari dalam diri dan lingkungannya. Kecemasan tidak selalu berdampak negatif pada diri individu, tetapi kecemasan dapat berdampak positif. Kecemasan dapat bermanfaat bila memotivasi kita untuk belajar dengan baik, akan tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman (Rathus dan Nevid, 2005, hlm. 163). Perbedaan dampak kecemasan pada diri individu disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik masing-masing individu. Perbedaan karakteristik tersebut akan menentukan respon individu terhadap stimulus yang menjadi sumber kecemasan, sehingga respon setiap individu akan berbeda-beda meskipun stimulus yang menjadi sumber kecemasannya sama.

Rogers (2004, hlm. 20) menyatakan bahwa “kecemasan dapat menyebabkan gangguan pada komponen fisik, proses mental dan komponen emosional”. Individu yang mengalami kecemasan cenderung mengalami gangguan pada komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan, seperti detak jantung yang semakin cepat, kaki gemetar, gangguan tidur dan berkeringat. Komponen proses mental seperti kekacauan fikiran yang menyebabkan adanya kesulitan dalam konsentrasi dan kesulitan dalam mengingat. Gangguan emosi yang sering dialami oleh individu adalah ketidakstabilan emosi seperti mendadak munculnya perasaan tidak berdaya, munculnya rasa panik dan malu setelah pembicaraan berakhir.

(3)

the tongue), kesalahan melafalkan kata-kata yang tidak sering didengar disebabkan kesaratan beban (over loading)”.

Hal tersebut didorong oleh perasaan was-was karena menghadapi ujian atau pertemuan dengan orang yang ditakuti, terpengaruh oleh perasaan afektif, atau karena penutur kurang menguasai materi sehingga konsentrasinya terputus dan pikiran serta ucapan tidak tersambung dengan baik. Rakhmat (dalam Wahyuni, 2014) menjelaskan bahwa “ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension”. Seseorang yang aprehensif dalam berkomunikasi, akan menarik diri dari pergaulan, berusaha untuk menghindari komunikasi dengan orang lain, dan hanya akan berbicara apabila sudah sangat mendesak.

Penelitian Clark dan Clark (dalam Musfiroh, 2002, hlm. 59) menunjukkan bahwa “kesalahan dalam berbicara disebabkan oleh faktor psikologis berupa ketergesaan, keterbatasan pelafalan, tekanan, keterbatasan pengetahuan tentang topik”. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam berbicara disebabkan oleh faktor kognitif dan faktor efektif pembicara.

Di jenjang pendidikan sekolah dasar masih banyak guru yang memperlakukan sama antara pembelajaran berbicara dengan membaca nyaring namun tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada jenjang pendidikan sekolah pertama dan menengah, siswa lebih banyak dilatih menulis dan membaca sehingga kemampuan berbicara sangat rendah, pembelajaran berbicara yang berlangsung monoton dan kurang merangsang gairah siswa untuk belajar.

Berbicara dengan teman dekat dan orang tua sudah menjadi kebiasaan sehari-hari namun apabila seseorang dihadapkan untuk berbicara di depan banyak orang akan mengalami beberapa kesulitan atau kendala terutama bagi orang yang tidak terbiasa melakukannya. Maka kemampuan berbicara harus dilatih secara terus-menerus. Arsjad (1993, hlm. 1) mengemukakan “kemampuan berbicara secara formal memerlukan latihan dan pengarahan atau bimbingan yang intensif.”

(4)

menanamkan nilai-nilai edukatif dan moral. Seperti yang dikemukakan oleh Majid (2008, hlm 7) bahwa “cerita berada pada posisi pertama dalam mendidik etika kepada anak. Mereka cenderung menyukai dan menikmatinya, baik dari segi ide, imajinasi, maupun peristiwa-peristiwanya”. Trostle dan Hicks (dalam Isbell. dkk., 2004, hlm. 158) melakukan penelitian tentang anak-anak yang mendengar cerita yang diceritakan mempunyai pemahaman dan kosa kata yang lebih baik daripada anak-anak yang mendengar cerita dengan cara dibacakan.

Dalam pelaksanaanya di sekolah, keterampilan bercerita masih memiliki beberapa kendala. Seperti yang dikemukakan oleh Rahmanto (1988, hlm. 113) bahwa “beberapa guru menganggap aktivitas penceritaan kembali suatu cerita sering hanya hafalan dan terlalu mekanis”. Berdasarkan penelitian Lestari dkk. (2014, hlm. 2) menyebutkan bahwa “siswa masih kesulitan merangkai kata-kata ketika menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan bahasa sendiri dan kurang percaya diri bercerita di depan teman-temannya”.

Riswan (2015, hlm. 195) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa “beberapa permasalahan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan bercerita siswa yaitu faktor internal dan faktor eksternal”. Faktor internal meliputi pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, media atau sumber pembelajaran. Faktor eksternal yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan bercerita yaitu pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi.

(5)

temannya, bahkan lupa apa ingin dikatakan ketika berhadapan dengan banyak orang.

Siswa merasa sulit untuk menghidupkan dan memahami cerita dengan sekali membaca. Rahmanto (1988, hlm. 113) menjelaskan bahwa “menghidupkan cerita dapat dilaksanakan dengan mengungkapkan perasaan yang dialami tokoh, menceritakan hubungan tokoh satu dengan tokoh lain, atau mengungkapkan jiwa serta suasana yang ceria seperti keingintahuan, kekaguman, kecemasan dan lain-lain”.

Dengan demikian siswa tidak hanya menghapal isi cerita, tetapi mengungkapkan kembali apa yang mereka serap. Isbell dkk. (2004, hlm. 158-159)

mengemukakan bahwa “bercerita tidak perlu menghapal kata-kata tetapi

diceritakan secara spontan, aktif, dan adanya interaksi dengan pendengar”. Sejalan dengan pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa ketika siswa bercerita menggunakan kata-kata, istilah, mupun dialog yang tidak ada dalam teks, guru tidak perlu menyalahkannya yang lebih penting adalah siswa dapat mengungkapkan kembali isi cerita dengan baik dan memperhatikan komponen yang ada dalam bercerita.

Berdasarkan permasalahan di atas, sudah selayaknya keterampilan bercerita harus ditingkatkan dan perlu adanya kesadaran dari berbagai elemen pendidikan yang terlibat. Keterampilan bercerita harus dilakukan dengan orientasi yang benar untuk membina kreativitas siswa sejak memperoleh ide sampai dengan performa berbicaranya, sehingga siswa mempunyai keterampilan bercerita yang baik. Oleh karena itu, guru harus memanfaatkan kreativitas yang dimiliki siswa dan memotivasinya supaya siap dalam bercerita.

(6)

Peneliti menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis kecerdasan kinestetik untuk meningkatkan keterampilan bercerita. Lie (2008, hlm. 71) mengemukakan bahwa “dalam kegiatan bercerita berpasangan, siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan berimajinasi”. Teknik bercerita berpasangan ini melibatkan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu mengaktifkan skemata tersebut agar

bahan pelajaran lebih bermakna. Teknik ini juga dapat merangsang kemampuan

berpikir dan berimajinasi siswa, hasil dari buah pemikiran mereka akan dihargai

sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar.

Model pembelajaran ini mengutamakan kerjasama dan melibatkan aktivitas siswa secara kinestetik atau olah tubuh dalam menerapkan keterampilan bercerita. Tujuan model pembelajaran ini adalah untuk menumbuhkan sikap percaya diri dan berani pada diri siswa dalam mengembangkan kemampuan bercerita yang dimilikinya sehingga hasil belajarnya menjadi lebih baik.

Pembelajaran kooperatif lebih mengutamakan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi pengalaman, belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, dan membantu ketika yang teman yang lain mendapat kesulitan dalam belajar. Isjoni (2014, hlm. 6) mengemukakan bahwa “tujuan utama penerapan model kooperatif adalah agar siswa dapat belajar secara berkelompok dengan saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok”.

(7)

pengalaman itu diikuti dengan berfungsinya struktur kognitif siswa secara lebih optimal sehingga akan berkesan lama dalam ingatan”.

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat mengidentifikasikan masalah yang terjadi dalam pembelajaran berbicara khususnya bercerita diantaranya sebagai berikut.

1. Kemampuan bercerita siswa masih rendah.

Kemampuan bercerita tidak diperoleh secara langsung diperlukan latihan yang terus menerus. Berdasarkan hasil observasi, kemampuan bercerita siswa masih rendah. Beberapa hal yang membuat kemampuan berceita siswa rendah yaitu pada umumya siswa belum mampu bercerita dengan urutan yang baik, seiswa masih menghapal cerita sehingga ketika tampil untuk bercerita siswa terkadang lupa apa yang ingin diceritakan, mempunyai rasa kurang percaya diri untuk tampil di depan banyak orang, dan gugup ketika berdiri di depan banyak orang.

2. Kurangnya perhatian guru terhadap pembelajaran bercerita.

Pembelajaran bercerita di sekolah masih terlihat monoton sehingga tidak membangkitkan semangat belajar siswa. Guru tidak memberikan contoh kegiatan bercerita, sehingga siswa kurang paham bagaimana cara bercerita dengan menarik dan tidak membosankan.

3. Pemilihan strategi, model, teknik, dan media pembelajaran sangat penting. Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik apabila pemilihan strategi, model, metode, teknik, dan media pembelajaran sudah direncanakan secara terstruktur. Pemilihan strategi, model, metode, teknik, dan media pembelajaran harus dilakukan oleh guru untuk membuat proses belajar mengajar lebih bermakna dan dapat menumbuhkan minat belajar siswa.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

(8)

2. Bagaimanakah proses pelaksanaan pembelajaran model kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis kecerdasan kinestetik pada siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng?

3. Apakah model kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis kecerdasan kinestetik efektif dalam meningkatkan pembelajaran bercerita pada siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng?

D. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. mendeskripsikan profil pembelajaran bercerita dengan model terlangsung pada siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng;

2. mengetahui proses pembelajaran model kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis kecerdasan kinestetik pada siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng; 4. mengetahui keefektifan model kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis

kecerdasan kinestetik dalam meningkatkan pembelajaran bercerita pada siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kekayaan pengetahuan khususnya dalam bidang model, metode, dan teknik pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya dalam upaya untuk meningkatkan keterampilan bercerita.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru, siswa, dan bidang keilmuan.

(9)

2. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman baik untuk mengelola kognitif, afektif, psikomotor maupun interaksi sosial dalam menguasai keterampilan bercerita.

3. Bagi bidang keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia, sebagai instrumen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menjadi masukan dalam hal penyediaan sumber belajar yang lebih variatif.

F. Paradigma Penelitian

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan wawancara dengan guru bahasa Indonesia mengenai pembelajaran bercerita, observasi dan kajian literatur. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa kemampuan siswa dalam pembelajaran bercerita masih perlu ditingkatkan. Terdapat beberapa permasalahan yang ditemukan dalam keterampilan bercerita yaitu, siswa mendapat kesulitan dalam mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya, masih terpengaruh dengan bahasa daerahnya, masih gugup ketika berdiri di depan teman-temannya, takut salah dan ditertawakan oleh temannya, bahkan lupa apa ingin dikatakan ketika berhadapan dengan banyak orang, dan siswa merasa sulit untuk menghidupkan serta memahami cerita dengan sekali membaca.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis mengkaji kurikulum yang dipakai di SMPN 1 Cikoneng yaitu KTSP. Dalam KTSP, pembelajaran bercerita termasuk ke dalam pembelajaran berbicara, standar kompetensinya adalah mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui kegiatan bercerita dan kompetensi dasarnya adalah bercerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat.

(10)

Video bercerita digunakan agar pembelajaran di kelas lebih bervariasi, menarik dan tidak membosankan serta membantu siswa untuk berlatih bercerita. Dalam model ini dilakukan prates, perlakuan ke-1, ke-2, ke-3, dan pascates.

Bagan 1.1. Paradigma Penelitian Teori Model Kooperatif,

Bercerita Berpasangan

Teori Bercerita Teori Kecerdasan

Kinestetik

Analisis Konsep Model Kooperatif tipe Bercerita Berpasangan

berbasis Kecerdasan Kinestetik

Model Kooperatif tipe Bercerita Berpasangan berbasis Kecerdasan Kinestetik

Perlakuan

Analisis Berbantuan Komputasi

Hasil Perlakuan

ke- 1

Perlakuan ke- 2

Perlakuan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyusunan rencana dan kegiatan Tahun 2015 dan Permenkes 77 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan maka KKP mempunyai

MSWG berpendapat, Pengerusi mesyuarat bertanggungjawab mengemukakan setiap Resolusi yang Dicadangkan seperti yang disenaraikan dalam Notis mesyuarat untuk undian, dengan

senyawa-senyawa tersebut mempunyai efek biologis yang sangat berbeda. Contohnya pada S-karvona dan R-karvona, contoh yang telah ditampilkan pada awal modul ini. Kedua

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Sebagaimana disebutkan dalam Instruksi Kepada Peserta Lelang, sebagai akibat dari adanya perubahan- perubahan yang diperlukan dalam dokumen pemgadaan, maka dengan ini Pokja

Melakukan klasifikasi data sesuai dengan fokus penelitian yaitu perilaku keagamaan varian abangan, santri, dan priyayi yang ada dalam novel Reinkarnasi karya Sinta

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah perkembangan Website yang lebih baik, didapat bahwa kualitas kegunaan dan kualitas informasi berpengaruh positif terhadap

Dengan terbitnya Perda tentang pembentukan kecamatan tersebut diatas, maka kantor kementerian agama Kab.Lampung Utara mempersiapkan pembentukan KUA Kecamatan