BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Informasi sangat penting bagi investor dalam pengambilan keputusan
investasi. Perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) diwajibkan melaporkan laporan keuangan secara berkala sebagai salah satu
sumber informasi bagi investor dan kreditor. Bagi investor informasi itu
digunakan untuk pengambilan keputusan investasi para pelaku pasar. Kegagalan
dalam memahami laporan keuangan mengakibatkan beberapa perusahaan
mengalami kesalahan penilaian (misvalued), baik undervalued maupun
overvalued, seperti kasus Enron, Worldcom, dan Kimia Farma. Akibatnya muncul
pertanyaan mengenai transparansi, pengungkapan informasi, dan peran akuntansi
dalam menghasilkan informasi keuangan yang relevan dan dapat dipercaya,
sehingga pemakai informasi akuntansi menerima sinyal tentang kondisi
perusahaan yang sebenarnya.
Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan berupa kinerja
perusahaan dan aktivitas perusahaan. Laporan keuangan yang disajikan harus
mengungkapkan informasi yang sebenarnya sehingga bermanfaat bagi para
pemakainya. Informasi yang bermanfaat adalah informasi yang mempunyai
relevansi. Salah satu indikator suatu informasi akuntansi yang relevan adalah
adanya reaksi pemodal pada saat diumumkannya suatu informasi yang dapat
merupakan salah satu bagian dari laporan keuangan yang banyak mendapat
perhatian.
Pentingnya informasi laba bahwa selain untuk menilai kinerja manajemen,
laba juga membantu mengestimasi kemampuan laba yang representatif, serta
untuk menaksir risiko dalam investasi atau kredit. Laba merupakan ukuran
keberhasilan atau kinerja bagi suatu perusahaan, digunakan oleh investor dan
kreditur. Kreditur dan investor menggunakan laba untuk pertimbangan
pengambilan keputusan melakukan investasi atau memberikan tambahan kredit.
Laba menjadi perhatian pihak-pihak tertentu terutama dalam menaksir kinerja atas
pertanggungjawaban manajemen dalam pengelolaan sumber daya yang
dipercayakan kepada mereka, serta dapat dipergunakan untuk memperkirakan
prospeknya di masa depan (Paramita, 2012). Laporan mengenai informasi laba
yang tidak menunjukkan informasi sebenarnya mengenai kinerja manajemen
dapat menyesatkan para pemakai laporan keuangan.
Perubahan harga saham yang terjadi akibat pengumuman laba perusahaan
dapat dijelaskan dengan contoh perusahaan berikut dengan periode tahun
2010-2013. Perubahan harga saham yang terjadi pada periode pengamatan 2010 maka
menggunakan perbandingan laba tahun 2010 dan 2011. Tahun 2010 PT. Aneka
Tambang Tbk (ANTM) memperoleh laba sebesar Rp1.683.399.992.000 dan
meningkat pada tahun 2011 menjadi 1.927.889.549.000 diikuti dengan kenaikan
harga saham dari harga Rp2.400 menjadi 2,475. Tahun 2012 laba diperoleh
sebesar Rp2.989.024.589.000 dan mengalami peningkatan dari tahun 2011 dan
Laba yang diperoleh tahun 2013 mengalami penurunan dari tahun 2012 menjadi
Rp410.135.469.000, sedangkan harga saham mengalami kenaikan dari harga
Rp1.260 menjadi Rp1.280.
PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP) pada tahun 2010
memperoleh laba sebesar Rp3.224.941.885.000 dan mengalami peningkatan tahun
2011 menjadi Rp3.601.526.000.000, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan harga
saham pada saat publikasi. Harga saham malah mengalami penurunan dari harga
Rp16.200 menjadi Rp16.050. Laba tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun
2011 menjadi Rp4.763.388.000.000, tetapi harga saham mengalami penurunan
dari harga Rp17.200 menjadi Rp17.150. Tahun 2013 laba perusahaan mengalami
peningkatan dari tahun 2012 menjadi Rp5.012.294.000.000, tetapi harga saham
mengalami penurunan dari Rp22.850 menjadi Rp22.650.
PT Kimia Farma Tbk (KAEF) pada tahun 2010 memperoleh laba sebesar
Rp138.716.459.000, mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi
Rp171.763.176.000 dan diikuti dengan peningkatan harga saham dari harga
Rp158 menjadi Rp163. Pada tahun 2013 laba perusahaan Rp215.642.330.000
mengalami peningkatan dari tahun 2012 yaitu Rp205.763.997.000, sedangkan
untuk harga saham tetap sampai pada saat publikasi yaitu Rp720. Laba tahun
2010 PT Mayora Indah Tbk (MYOR) Rp501.980.669.000 mengalami penurunan
tahun 2011 menjadi Rp483.826.230.000 dan mengalami penurunan juga untuk
harga saham dari Rp10.850 menjadi Rp10.800. Tahun 2013 laba
Rp742.836.955.000, namun tidak demikian dengan harga saham mengalami
penurunan dari Rp19.700 menjadi Rp19.600.
PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) memperoleh laba tahun 2010
Rp141.855.147.000 mengalami peningkatan tahun 2011 menjadi
Rp161.939.226.000, dan untuk harga saham tetap yaitu Rp840. Laba tahun 2012
mengalami peningkatan menjadi Rp177.849.242.000, tetapi untuk harga saham
mengalami penurunan dari Rp990 menjadi Rp950. PT Tempo Inti Media Tbk
(TMPO) memperoleh laba tahun 2010 sebesar Rp5.352.205.000 mengalami
peningkatan tahun 2011 menjadi Rp10.379.454.000, namun untuk harga saham
mengalami penurunan dari Rp86 menjadi Rp84. Laba tahun 2013 mengalami
penurunan dari tahun 2012 yaitu Rp29.642.693.000 menjadi Rp7.356.264.000,
namun untuk harga saham mengalami peningkatan dari Rp145 menjadi Rp150.
Berikut ini pada tabel 1.1 adalah daftar laba bersih dan perubahan harga
saham pada saat publikasi beberapa perusahaan yang terdaftar di BEI.
Tabel 1.1 Laba Bersih dan Harga Saham Periode Tahun 2010-2013
(Persero) Tbk 1,683,399,992 1,927,889,549 2,400 2,475 2,989,024,589 1,610 1,620 410,135,469 1,260 1,280
INTP
Indocement Tunggal
Prakasa Tbk 3,224,941,885 3,601,526,000 16,200 16,050 4,763,388,000 17,200 17,150 5,012,294,000 22,850 22,650
KAEF
Kimia Farma
Tbk 138,716,459 171,763,176 158 163 205,763,997 295 330 215,642,330 720 720
MYOR
Mayora Indah
Tbk 501,980,669 483,826,230 10,850 10,800 742,836,955 13,200 14,250 1,053,624,812 19,700 19,600
Melalui penjelasan di atas menunjukkan bahwa kenaikan laba perusahaan
tidak selalu diikuti dengan kenaikan harga saham, demikian sebaliknya penurunan
laba perusahaan maka tidak selalu diikuti penurunan harga saham. Fenomena
tersebut menjadi perhatian khusus investor karena ketidakstabilan harga saham.
Fenomena kenaikan dan penurunan harga saham di pasar modal membuat investor
cenderung melakukan analisis harga saham untuk memilih saham yang bisa
menghasilkan return yang terbaik dan risiko terkecil dalam berinvestasi.
Salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur hubungan antara laba
dan return saham adalah Earnings Response Coefficient (ERC) atau Koefisien
Respon Laba. Layak tidaknya suatu perusahaan diinvestasikan modalnya oleh
investor dapat dinilai atau diukur dari tingkat laba akuntansi dan tingkat return
saham perusahaan tersebut. Earnings Response Coefficient atau koefisien respon
laba didefinisikan sebagai ukuran atas tingkat return abnormal saham dalam
merespon komponen unexpected earnings (Scott, 2003). Secara umum Earnings
Response Coefficient diukur dengan menunjukkan slope koefisien dalam regresi
return abnormal saham dengan laba atau unexpected earnings. Hal ini
menunjukkan bahwa Earnings Response Coefficient adalah reaksi terhadap laba
yang diumumkan oleh perusahaan. Reaksi yang diberikan tergantung dari kualitas
laba yang dihasilkan perusahaan.
Tahun 2007 diperkirakan bisnis properti mencapai puncaknya dan menuju
titik balik sehingga developer sudah mengantisipasi kemungkinan risiko yang
muncul pada periode yang akan datang. Prediksi ini tidak didukung oleh
penurunan. Padahal indikator ekonomi makro pada tahun 2006 lebih baik
dibandingkan dengan indikator ekonomi makro pada tahun 2005. Oleh sebab itu,
seharusnya bisnis properti pada tahun 2006 mengalami perkembangan yang lebih
baik dari pada tahun 2005. Kondisi ekonomi makro yang semakin membaik,
seharusnya membuat kinerja keuangan sektor properti semakin membaik, karena
dengan turunnya tingkat bunga dan inflasi serta naiknya pendapatan bruto dapat
menaikkan daya beli masyarakat terhadap properti yang ditawarkan oleh
pengembang, sehingga menaikkan jumlah transaksi atas properti yang ditawarkan.
Naiknya jumlah transaksi akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan
properti yang tercermin dalam laporan keuangan perusahaan. Membaiknya
indikator ekonomi makro tahun 2006 belum menampakkan efeknya terhadap
peningkatan volume penjualan properti di tanah air. Hal ini meragukan banyak
investor bisnis properti, dan menimbulkan pertanyaan apakah prediksi tentang
akan boomingnya bisnis properti pada tahun 2007 bisa dijadikan pedoman untuk
berinvestasi dengan aman di saham properti.
Fenomena yang terjadi mengenai Earnings Response Coefficient bisa
terlihat dari bisnis properti selama tahun 2006 mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2005. Sebagian pengembang perusahaan properti mulai
menurunkan ekspansi bisnisnya sambil melihat peluang pasar yang masih bisa
digarap untuk tahun 2007. Sebagian besar pengembang masih menyelesaikan
proyek yang sudah berjalan sejak tahun 2004. Pada tahun 2007, krisis finansial
global dan kejatuhan nilai saham terjadi akibat subprime mortgage. Subprime
mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang diberikan
kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi.
Walaupun demikian masih ada beberapa pengembang besar yang optimis melihat
peluang pasar tahun 2007 dan terus melanjutkan proyeknya seperti, Bakrieland
Development dengan proyek Episentrum Rasuna, Agung Podomoro dengan Blok
M Trade Centre, Latumenten City, Jakarta City Center, CBD Pluit, dan Permata
Hijau Residence, Duta Pertiwi dengan BSD City Business Park. Secara Umum
puncak nilai kapitalisasi bisnis properti terjadi pada tahun 2005, yang mencapai
Rp 92,01 triliun. Sejak tahun itu nilai kapitalisasi menurun terus, tahun 2006
mencapai Rp 79,51 triliun dan diperkirakan akan mengalami penurunan lagi pada
tahun 2007, yaitu sekitar 15,75% menjadi Rp 66,99 triliun (detikfinance, 17
Agustus 2007).
Fenomena tersebut mengakibatkan harga saham real estate dan properti
menjadi perhatian khusus investor karena harga saham real estate dan properti
mengalami ketidakstabilan pada tahun-tahun terakhir ini. Fenomena kenaikan dan
penurunan harga saham di pasar modal real estate dan properti ini membuat
investor cenderung melakukan analisis harga saham untuk memilih saham yang
bisa menghasilkan return yang terbaik dan risiko terkecil dalam berinvestasi.
Laba yang dipublikasikan dapat memberikan respon yang bervariasi, yang
menunjukkan adanya reaksi pasar terhadap informasi laba (Cho dan Jung, 1991).
Reaksi yang diberikan tergantung dari kualitas laba yang dihasilkan oleh
perusahaan. Dengan kata lain, laba yang dilaporkan memiliki kekuatan respon
(power of response). Besaran yang menunjukkan hubungan antara laba dan return
saham disebut dengan Earnings Response Coefficient (ERC). Kuatnya reaksi
Coefficient, menunjukkan laba yang dilaporkan berkualitas, dan sebaliknya
lemahnya reaksi pasar terhadap informasi laba yang tercermin dari rendahnya
Earnings Response Coefficient menunjukkan laba yang dihasilkan kurang
berkualitas. Hubungan return dan laba perusahaan saat ini sering menunjukkan
ketidaksinkronan nilai, sehingga unexpected earning sebagai respon dari ERC
tidak menunjukkan hasil yang maksimal, mengakibatkan investor enggan untuk
melakukkan investasi. Earnings Response Coefficient yang tinggi dinilai mampu
menghasilkan unexpected earnings yang maksimal serta harapan untuk return
yang tinggi namun pada kenyataannya sering berbeda. Rendahnya Earnings
Response Coefficient menunjukkan bahwa laba kurang informatif bagi investor
untuk membuat suatu keputusan ekonomi. Ball dan Brown (1968)
mengungkapkan tentang isi informasi dengan analisis apabila perubahan
unexpected earning positif maka memiliki abnormal rate of return rata-rata
positif dan jika tidak memiliki isi informasi yaitu negatif, maka memiliki
abnormal rate of return rata-rata negatif.
Informasi mengenai perusahaan diperlukan untuk mengurangi asimetri
informasi. Menurut teori keagenan, asimetri informasi dapat timbul antara
manajer (agen) dan pemegang saham (prinsipal) (Jensen dan Meckling, 1976).
Asimetri informasi dapat berupa hidden action maupun hidden information.
Hidden action mendorong munculnya moral hazard, sementara hidden information mendorong munculnya adverse selection. Asimetri informasi dapat
muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek
Untuk mengurangi asimetri informasi ini maka manajer berusaha
memberikan sinyal kepada investor berupa pengungkapan informasi yang relevan
dengan kebutuhan para investor. Pengungkapan informasi oleh perusahaan
disampaikan dalam bentuk pengungkapan wajib (mandatory disclosure) maupun
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) sebagai tambahan pengungkapan
minimun yang telah ditetapkan (Devina et al, 2004).
Pengungkapan sukarela yang termasuk dalam kategori ini adalah
pengungkapan tambahan terkait informasi keuangan perusahaan dan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Kedua pengungkapan sukarela
perusahaan ini sering kali diungkapkan dalam bentuk laporan tahunan (annual
report) walaupun sekarang ini cukup banyak pula perusahaan yang menerbitkan
laporan tanggung jawab sosial perusahaan yang terpisah dari laporan tahunan
(annual report) dalam bentuk laporan keberlanjutan (sustainability reporting)
(Kartadjumena, 2010).
Widiastuti (2002) melakukan pengujian empiris atas pengaruh luas
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) dalam laporan tahunan terhadap
Earnings Response Coefficient. Penelitian tersebut tidak menunjukkan hasil yang
konsisten dengan prediksi bahwa luas pengungkapan sukarela berpengaruh negatif
terhadap Earnings Response Coefficient. Hal ini kemungkinan karena investor
tidak cukup yakin dengan informasi pengungkapan sukarela yang diungkapkan
manajemen sehingga investor tidak melakukan informasi tersebut sebagai dasar
diungkapkan perusahaan tidak cukup memberikan informasi tentang expected
return earnings.
Penelitian tentang hubungan luas pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure) dengan Earnings Response Coefficient masih jarang dilakukan dengan
hasil yang tidak konsisten. Murwaningsari (2008) menguji faktor yang
mempengaruhi tingkat pengungkapan menemukan bahwa perusahaan yang
mempunyai korelasi return dan earnings rendah lebih banyak melakukan
pengungkapan, dengan kata lain Earnings Response Coefficient berhubungan
negatif dengan luas pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Berbeda
dengan hasil penelitian Adhariani (2005) menunjukkan bahwa tingkat keluasan
pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan berhubungan positif dengan
current Earnings Response Coefficient. Dengan kata lain makin tinggi tingkat
pengungkapan sukarela maka makin tinggi tingkat kepercayaan investor atas laba
yang dilaporkan perusahaan.
Banyak penelitian yang telah dilakukan yang mengamati beberapa faktor
yang mempengaruhi besaran koefisien respon laba. Penelitian tentang ERC selalu
dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi ERC. Beberapa faktor yang
diidentifikasi mempengaruhi Earnings Response Coefficient yaitu risiko
sistematik (Collins dan Kothari, 1989), profitability (Naimah dan Utama, 2006),
pertumbuhan (Collins dan Kothari, 1989), persistensi laba (Kormendi dan Lipe
1987; Collins dan Kothari, 1989; Lipe, 1990), ukuran perusahaan (Collins dan
Kothari, 1989), voluntary disclosure (Widastuti, 2002), leverage (Dhaliwal et.al,
empiris atas koefisien respon laba. Dari penelitian-penelitian tersebut adanya
masalah antara firm size, leverage dan profitability terhadap Earnings Response
Coefficient.
Selain pengungkapan sukarela yang terbukti mempengaruhi Earnings
Response Coefficient, peneliti lain mencoba mengaitkan size dengan Earnings Response Coefficient (Easton dan Zmijewski,1989 dalam Murwaningsari 2008). Firm Size secara langsung akan mencerminkan tinggi rendahnya aktivitas operasi
maupun investasi perusahaan. Investor biasanya lebih memiliki kepercayaan pada
perusahaan besar, karena perusahaan besar dianggap mampu untuk meningkatkan
kinerja perusahaannya dengan berupaya meningkatkan kualitas labanya dengan
memiliki total aktiva yang besar sehingga dapat menarik investor untuk
menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Penelitian Mulyani, et al.
(2006) menemukan bahwa firm size memberikan pengaruh positif signifikan
terhadap Earnings Response Coefficient. Namun hasil yang berbeda ditemukan
oleh Murwaningsari (2008) yang menyimpulkan bahwa firm size memiliki
pengaruh negatif signifikan terhadap Earnings Response Coefficient. Menurut
Paramita (2012) bahwa firm size tidak memiliki pengaruh terhadap Earnings
Response Coefficient.
Leverage merupakan pengukuran besarnya aktiva yang dibiayai dengan
hutang. Hutang yang digunakan membiayai aktiva berasal dari kreditor, bukan
berasal dari investor. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi berarti
memiliki utang yang lebih besar dibandingkan modal. Dengan demikian jika
al. (1991) menunjukkan bahwa Earnings Response Coefficient berhubungan
negatif dengan tingkat leverage. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian
Murwaningsih (2008). Hasanzade et al. (2013) menghasilkan bahwa variabel
leverage berpengaruh positif signifikan terhadap Earnings Response Coefficient.
Sedangkan menurut Paramita (2012) bahwa leverage memiliki pengaruh yang
tidak signifikan terhadap Earnings Response Coefficient.
Profitability merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan
manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba
yang dihasilkan. Menurut Riyanto (2001:35) profitabiltas perusahaan
menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang
menghasilkan laba. Dengan kata lain profitabilitas adalah kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Kemampuan menghasilkan laba
yang dimaksud dalam penelitian ini tentunya adalah kemampuan menghasilkan
laba dengan menggunakan modal sendiri. Menurut Naimah dan Utama (2006)
serta Hasanzade (2013) bahwa Profitability memiliki pengaruh yang positif
signifikan terhadap Earnings Response Coefficient. Berbeda dengan penelitian
menurut Arfan dan Antasari (2008) bahwa Profitabilty tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap Earnings Response Coefficient.
Lebih luas lagi, penelitian meliputi faktor yang mempengaruhi voluntary
disclosure diantaranya size, status perusahaan, net profit margin, dan KAP
dialakukan oleh Fitriani (2001). Hasil penelitiannya dimana diperoleh bahwa size
dan net profit margin (profitabilitas) berpengaruh signifikan terhadap voluntary
signifikan terhadap voluntary disclosure. Sedangkan menurut Murwaningsari
(2008) bahwa leverage berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure.
Penelitian ini dimotivasi dari penelitian terdahulu yang dilakukan baik di
negara lain maupun di Indonesia, banyak faktor yang mempengaruhi Earnings
Response Coefficient namun hasil yang diperoleh masih menunjukkan banyak
perbedaan (inkonsistensi) misalnya, pada faktor leverage, firm size, profitability
dan voluntary disclosure. Hal ini mendorong peneliti melakukan penelitian
tentang pengaruh dari leverage, firm size, dan profitability baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap Earnings Response Coefficient melalui voluntary
disclosure sebagai variabel intervening.
Penelitian ini menggunakan pooled data yaitu penggabungan cross
sectional dan time series, karena beberapa penelitian yang meneliti Earnings Response Coefficient yang banyak dilakukan menggunakan time series seperti
penelitian Paramita (2012), Murwaningsari (2008), Pradipta dan Purwaningsih
(2012). Perbedaan dari penelitian Paramita (2012) yaitu peneliti mencoba
menambahkan variabel profitability sebagai variabel yang mempengaruhi
Earnings Response Coefficient.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Pengaruh Firm Size, Leverage dan Profitability terhadap Earnings Response Coefficient (ERC) dengan Voluntary Disclousure sebagai Variabel
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan rumusan masalah yaitu:
1. Apakah firm size, leverage, profitability dan voluntary disclosure
berpengaruh langsung signifikan terhadap Earnings Reponse Coefficient
secara simultan dan parsial ?
2. Apakah firm size, leverage dan profitability berpengaruh tidak langsung
signifikan terhadap Earnings Reponse Coefficient melalui voluntary
disclosure sebagai variabel intervening ? 1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisis pengaruh langsung signifikan firm size, leverage,
profitability dan voluntary disclosure terhadap Earnings Response Coefficient secara simultan dan parsial.
2. Untuk menganalisis pengaruh tidak langsung signifikan firm size, leverage
dan profitability terhadap Earnings Reponse Coefficient melalui voluntary
disclosure sebagai variabel intervening. 1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan bahan masukan kepada BEI dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dalam menetapkan kebijakan dan peraturan dalam penyajian
informasi penting dalam laporan tahunan perusahaan dan terkait dengan
tahunan perusahaan yang terdaftar di BEI untuk memberikan perlindungan
kepada investor atau pemegang saham.
2. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan dan wawasan tentang Earnings Response Coefficient.
3. Memberikan masukan kepada perusahaan/emiten mengenai informasi
yang disajikan dalam laporan keuangan sehingga investor dapat
menganalisis dan membuat keputusan yang tepat.
4. Memberikan kontribusi kepada pengembangan ilmu akuntansi dengan
menambah literatur tentang pengaruh firm size, leverage dan profitability
terhadap ERC dengan voluntary disclosure sebagai variabel intervening
yang dapat digunakan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
1.5. Originalitas Penelitian
Penelitian ini sudah pernah dilakukan oleh Paramita pada tahun 2012 yang
meneliti tentang pengaruh leverage, firm size dan voluntary disclosure terhadap
Earnings Response Coefficient. Hasil penelitian menunjukkan bahwa leverage
dan voluntary disclosure memiliki pengaruh terhadap ERC, sedangkan firm size
tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC. Variabel voluntary disclosure
merupakan variabel intervening antara size terhadap ERC.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Paramita (2012) pada tahun
2005-2009, penelitian ini dilakukan pada periode 2010-2013. Selain itu penelitian
terdahulu meneliti perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI, sedangkan
penelitian ini meneliti perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI (cross
intervening antara size terhadap ERC, sedangkan penelitian ini menjadikan
variabel voluntary disclosure sebagai variabel intervening untuk pengaruh
leverage, firm size dan profitability terhadap ERC. Perbedaan lainnya adalah
dengan menambahkan variabel profitability yang mempengaruhi Earnings
Response Coefficient. Alasan pemilihan ini adalah untuk mengetahui pengaruh firm size, leverage dan profitability yang merupakan faktor-faktor dalam
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), dan pengaruh firm size, leverage
dan profitability terhadap Earnings Response Coefficient melalui voluntary
disclosure sebagai variabel intervening.
Alasan melakukan penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah firm
size, leverage dan profitability yang mempengaruhi ERC hasilnya masih konsisten
ketika tahun pengamatan berbeda dan penambahan sampel perusahaan dengan
metode pool data, karena penelitian sebelumnya hanya dengan time series.
Penelitian yang menjadikan voluntary disclosure sebagai variabel intervening
dalam penelitian pengaruh firm size, leverage dan profitability terhadap ERC