BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.Biografi Ibnu ‘Athaillah
Ibnu ‘Athaillah dikenal dengan nama Syaikh Imam Taj ad-Din. Lengkapnya, Abu
al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Abdurrahman bin Abdillah bin Ahmad bin Isa
bin al-Husain bin ‘Athaillah. Ia berasal dari bangsa Arab, dilahirkan di kota Iskandariah (Mesir)
pada 648H/1250M, tumbuh besar di Alexandria semasa era Mamluk dan meninggal di Kairo
pada 1309M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kepada kota kelahirannya.
Ibnu ‘Athaillah memiliki guru-guru terbaik pada semua disiplin ilmu keislaman, dan
terkenal sebagai fakih besar dalam mazhab Maliki. Pada saat ia hidup, tumbuh pesat beberapa
tarekat. Ayahnya sendiri adalah seorang murid tarekat Syadziliyyah, walaupun ia tidak pernah
bertemu dengannya. Mulanya Ibnu ‘Athaillah tidak berkecimpung dalam dunia tasawuf dan lebih
suka menggeluti fikih. Kendati amat tidak tertarik dengan dunia sufi, ia menjadi murid dari Abu
al-Abbas al-Mursi. Ia pun telah menjadi syekh sufi ketika al-Mursi wafat, dan menempati urutan
ke-21 dalam silsilah tarekat Syadziliyyah, yang mulanya tumbuh dari Maroko dan menyebar di
sepanjang Afrika Utara.
Ibnu ‘Athaillah merupakan bintang pada zamannya dan orang yang terpandang pada
zamannya. Beliau telah menguasai berbagai ilmu, diantaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, nahwu,
ushul, aqidah dan lain-lain. Beliau banyak bercerita dan memberi pengajaran tentang tarekat para
ahli tasawuf. Banyak orang yang menimba manfaat darinya dan menjalankan tarekatnya.
Beliau memiliki beberapa hasil karya tulis yaitu :
1. At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir
2. Latha’if al-Minan
3. Taj Al-Arusy
4. Miftah Al-Falah fi Adz-Dzikr wa Kaifiyyati As-Suluk
5. Al-Qaul Al-Mujarrad fi Al-Ism Al-Mufrad
6.
7.
Al-Munajat
Ibnu ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang bersih dan dikagumi. Ia menjadi panutan bagi
banyak orang yang yang meneliti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang
ikhlas dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam
lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu
Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu ‘Athaillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci disebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualitasnya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu ‘Athaillah dibaca luas oleh
kaum muslimin dari beberapa kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab
Al-Hikam. Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu ‘Athaillah yang sangat popular di
dunia Islam selama berabad-abad sampai saat ini. Kitab ini juga menjadi bacaaan utama di
hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Ibnu ‘Athaillah menghadirkan kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap
salik, menunjukkan segala arah yang ada di setiap kelokan jalan agar kita semua selamat
menempuhnya. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu ‘Athaillah, khususnya dalam
paradigma tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen
An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran kedudukan Ibnu
‘Athaillah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi
dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya diantara syari’at tarikat dan hakikat di
tempuh dengan cara metodis. Corak pemikiran Ibnu ‘Athaillah dalam bidang tasawuf sangat
berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan tasawuf pada makrifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut ialah pertama, tidak dianjurkan kepada para
muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai
pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan
menimbulkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat illahi. Meninggalkan dunia yang
berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan
dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT
dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasulnya.
berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan
penyucian jiwa, serta pembinaan moral atau akhlak, hal ini merupakan suatu nilai tasawuf yang
dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari pada selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang
melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat,
berbagai keinginan yang tak kunjung habis dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu
hanyalah permainan dan senda gurau yang akan melupakan Allah, dunia semacam inilah yang
dibenci kaum sufi.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik (orang yang memasuki perjalanan sufi) untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang
dimilikinya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya
dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik tidak bersedih ketika kehilangan harta
benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan
dunia, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Keenam, tasawuf adalah
latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi
Ibnu ‘Athaillah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah
SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu
bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Jalan tersebut ialah
mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut. Dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui
usaha keras seseorang, melalui ar-riyadh, dzikir, wudhu, puasa, shalat sunnah dan amal saleh
lainnya.
3.2. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu ‘Athaillah”
Pada halaman 18 :
.ﻚﺴﻔﻨﻟ ﻪﺑ ﻢﻘﺗ ﻻ ﻚﻨﻋ ﻙﺮﻴﻏ ﻪﺑ ﻡﺎﻗ ﺎﻤﻓ .ﺮﻴﺑﺪﺘﻟﺍ ﻦﻣ ﻚﺴﻔﻧ ﺡﺭﺍ
/arih nafsaka min at-tadbīri. Famā qāma bihi gayruka ‘anka lā taqum bihi linafsika/
“Istirahatkanlah dirimu dari ikut mengatur (urusanmu). Sebab apa yang telah di urus untukmu oleh selain dirimu, tidak perlu engkau turut mengurusnya”.
Maksud dari untaian kata-kata Al-Hikam diatas ialah jangan pernah meragukan kekuasaan
Allah atas apa yang sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dari contoh tersebut diatas
menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu seorang manusia selalu memerlukan bantuan dari
orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan dan urusannya agar dapat tercapai segala hal yang
diinginkan.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang hamba yang meyakini dan
menaati kehendak Sang Pencipta, tanpa sedikitpun meragukan kekuasaanNya atas apa yang
sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dan ia menyerahkan semua haknya kepada Allah dan tetap
melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya tanpa mencemaskan segala urusan di masa
datang. Seperti yang dikatakan Rasulullah saw “Sesungguhnya Allah telah menjadikan
ketentraman dan ketenangan dalam ridha dan yakin”. Sikap individual tersebut merujuk kepada
komponen perilaku (tindakan), yaitu menyerahkan hak sepenuhnya kepada Allah SWT setelah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya.
U
Bagian 2 “Agar Hati Tak Teralingi”
Pada halaman 25 :
ﺎﻬﻴﻓ ﺹﻼﺧﻻﺍ ﺮﺳ ﺩﻮﺟﻭ ﺎﻬﺣﺍﻭﺭﺍﻭ ﺔﻤﺋﺎﻗ ﺭﻮﺻ ﻝﺎﻤﻋﻷﺍ
/al-a‘mālu ṣuwarun qāimatun waarwā ḥuhā wujūdu sirri al-ikhlāṣi fīhā/
“Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah rahasia ikhlas di dalamnya”.
Maksud dari untaian hikmah diatas ialah ikhlas itu ibarat sinyal, tandanya bisa dilihat tetapi
wujudnya tidak bisa diraba apalagi dipegang. Amal bisa saja tetap hidup karena adanya niat,
tetapi tidak menjamin terhubungnya seseorang dengan tujuan (Allah). Ikhlaslah yang
menghadirkan kejernihan, keleluasaan, dan kebebasan diri dari rasa sempit dan tertekan. Sebab,
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu ikhlas akan
menghilangkan riya’ dari amal. Ikhlas juga akan menghilangkan ujub (berbangga diri) dan akan
mendisiplinkan nafsu. Riya’ akan merusak kesah-an amal dan ujub akan merusak kesempurnaan
amal.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha untuk selalu ikhlas dalam
setiap amal perbuatan. Karena ikhlas merupakan keyakinan tentang tidak adanya daya dan upaya
diri sendiri (selain karena pertolongan Allah) dalam beramal, dan tidak akan sempurna suatu
amal tanpa ikhlas. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),
yaitu ikhlas adalah mengkhususkan hati untuk beribadah kepada Allah SWT.
Pada halaman 35 :
Bagian 3 “Berjuang Dari Aib Menuju Yang Gaib”
ﺲﻔﻨﻟﺍ ﺕﺎﻧﻮﻋﺭ ﻦﻣ ﻍﺍﺮﻔﻟﺍ ﺩﻮﺟﻭ ﻰﻠﻋ ﻝﺎﻤﻋ ﻷﺍ ﻚﺘﻟﺎﺣﺍ
/iḥā latuka al-a‘māla ‘alā wujūdi al-farāgi min ru‘ūnāti an-nafsi/
“Menunda beramal guna menantikan kesempatan yang lebih luang, termasuk tanda kebodohan diri”.
Salah satu nikmat yang paling berharga adalah waktu luang. Karena itu, sangatlah tidak
cerdas orang yang selalu menjadikan waktu luang sebagai alasan menunda amal saleh yang
mestinya segera dikerjakan. Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis,
yaitu kebanyakan manusia lebih senang dengan dunia atau terbujuk hawa nafsu. Manusia lebih
mementingkan berhubungan dengan orang lain sehingga melupakan amalannya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual yaitu seorang hamba yang bisa
menundukkan nafsunya dan pandai memanfaatkan kesempatan dalam beramal, karena ia
meyakini sesuatu yang telah luput darinya tidak akan ada gantinya dan yang telah diperoleh tidak
ternilai harganya. Dia tidak menunda dan menyia-nyiakan sedikitpun rezeki kesehatan dan waktu
luang yang diberikan Allah swt, serta mendahulukan semua urusan amal dibandingkan urusan
duniawi. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),
Bagian 4 “Berhijrah Kepada Allah”
Pada halaman 57 :
ﻦﻋ ﺔﺟﺎﺣ ﻊﻓﺮﻳ ﻥﺍ ﻊﻴﻄﺘﺴﻳ ﻻ ﻦﻣ .ﺎﻌﺿﺍﻭ ﻪﻟ ﻮﻫ ﻥﺎﻛ ﺎﻣ ﻩﺮﻴﻏ ﻊﻓﺮﻳ ﻒﻴﻜﻓ .ﻚﻴﻠﻋ ﺎﻫﺩﺭﻮﻣ ﻮﻫ ﺔﺟﺎﺣ ﻩﺮﻴﻏ ﻰﻟﺍ ﻦﻌﻓﺮﺗﻻ .ﺎﻌﻓﺍﺭ ﻩﺮﻴﻏ ﻦﻋ ﺎﻬﻟ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺍ ﻊﻴﻄﺘﺴﻳ ﻒﻴﻜﻓ ﻪﺴﻔﻧ
/lā tarfa‘anna ilā gayrihi ḥājatan huwa mūriduhā ‘alayka. Fakayfa yarfa‘u gayruhu mā kāna huwa lahu wāḍi‘an. Man lā yastaṭī‘u an yarfa‘a ḥājatan ‘an nafsihi fakayfa yastaṭī‘u an yakūna lahā ‘an gayrihi rāfi‘an/
“Jangan memohon kepada selain Allah karena dialah yang memenuhi hajatmu. Bagaimana sesuatu selain-Nya bisa mengubah sesuatu yang sudah ditetapkannya?. Dan bagaimana orang yang tak mampu membebaskan dirinya dari kebutuhan dapat membebaskan kebutuhan orang lain?”.
Sesungguhnya manusia telah mengetahui bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah
khayalan dan dudagaan yang tidak nyata. Namun demikian, masih juga ada manusia yang
percaya bahwa dukun (setan) bisa mengabulkan apa yang ingin ia peroleh dan butuhkan.
Bukankah bila dukun (setan) dapat memenuhi kebutuhannya, merekalah yang mestinya lebih
baik dari pada orang tersebut. Sesungguhnya orang itu telah membodohi dirinya sendiri.
Berhentilah meminta kepada selain Allah, tumbuhkan kepercayaan diri lalu sapalah Allah Sang
Pemenuh Kebutuhan dengan doa-doa.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu jadikanlah Allah
SWT satu-satunya tempat kita memohon dan menyandarkan harapan. Kemudian menunjukkan
kepada sikap individual, yaitu hanya kepada Allah seorang hamba layak untuk memohon. Allah
adalah dzat yang kekal yang tidak akan hilang, senantiasa ada, pemberian dan anugerahnya
selalu ia berikan kepada semua makhluk. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
kognitif (keyakinan), yaitu hanya Allah tempat satu-satunya memohon.
U
Bagian 5 “Terus Melangkah Dalam Berserah”
Pada halaman 62 :
/Lā taṣḥab man lā yunhiḍuka ḥāluhu wa lā yadulluka ‘alā allāhi maqāluhu/
“Jangan bersahabat dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangatmu dan perkataannya tidak mengantarmu pada Allah”.
Sahabat sering dianngap sebagai cerminan diri seseorang. Bahkan dapat disimpulkan sosok
seseorang dari melihat dengan siapa saja orang itu bersahabat. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu
‘Athaillah berpesan, berhati-hatilah dalam memilih sahabat. Sebab sosok sahabat mampu
mengawal seseorang menuju keridhaan Allah. Namun dia juga sanggup menggiring kita menuju
jurang kehancuran dan kesia-siaan, serta murkanya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu tidak seharusnya
memaksakan diri untuk bergaul dengan teman yang pembicaraannya tidak dimengerti. Tetapi
pilihlah teman yang perilakunya baik dan pembicaraannya sesuai dengan keadaan diri.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu bersahabat dengan teman yang
keadaannya membenarkan ia dengan perkataannya dan perkataan yang sesuai dengan ilmunya
akan mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang tinggi iman dan akhlaknya. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu selalu berhati-hati
dalam memilih sahabat.
Bagian 6 “Dari Dosa Hingga Karunia Sang Penguasa”
Pada halaman 68 :
ﻦﻣ ﻪﺘﻠﻌﻓ ﺎﻣ ﻰﻠﻋ ﻡﺪﻨﻟﺍ ﻙﺮﺗﻭ ﺕﺎﻘﻓﺍﻮﻤﻟﺍ ﻦﻣ ﻚﺗﺎﻓ ﺎﻣ ﻰﻠﻋ ﻥﺰﺤﻟﺍ ﻡﺪﻋ ﺐﻠﻘﻟﺍ ﺕﻮﻣ ﺕﺎﻣﻼﻋ ﻦﻣ ﺕﻻﺰﻟﺍ ﺩﻮﺟﻭ /Min ‘alāmāti mawti al-qalbi ‘adamu al-ḥuzni ‘alā mā fātaka mina almuwāfiqāti watarku an-nadami ‘alā mā fa‘altahu min wujūdi az-zallāti/
“Diantara tanda matinya hati kalbu adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewat dan tidak menyesal atas dosa yang diperbuat”.
Allah Ta’ala pernah bersumpah ‘demi masa’ (al-‘Ashr 1-3), dimana sebagian besar
manusia berada dalam keadaan merugi. Diantara orang yang merugi itu ialah orang yang hatinya
telah mati dan tidak memiliki perasaan sedih atau menyesala atas kelalaiannya di masa lalu yang
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu salah satu penyebab
seseorang memiliki hati yang mati yaitu karena lalainya ia dari zikir kepada Allah dan
membiarkan anggota badan bermaksiat kepada Allah SWT.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jika seseorang memiliki
tanda-tanda hati yang mati maka wajiblah baginya untuk bersegera bertaubat dan memohon ampun
kepada Allah SWT. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen afektif
(emosi/perasaan), yaitu seseorang harus mulai mencemaskan diri bila ibadah yang ditinggalkan tidak membuatnya bersedih.
Bagian 7 “Bersyukur Atas Nikmat Yang Terulur”
Pada halaman 84 :
.ﺎﻬﻟﺎﻘﻌﺑ ﺎﻫﺪﻴﻗ ﺪﻘﻓ ﺎﻫﺮﻜﺷ ﻦﻣ ﻭ , ﺎﻬﻟﺍﻭﺰﻟ ﺽﺮﻌﺗ ﺪﻘﻓ ﻢﻌﻨﻟﺍ ﺮﻜﺸﺑ ﻢﻟ ﻦﻣ /man lam basykuri an-ni‘ama faqad ta‘arraḍa liza wālihā, wa man syakara hā faqad qayyadahā bi‘iqālihā/
“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat berarti sengaja membiarkan hilangnya nikmat tersebut, sementara siapa yang mensyukurinya berarti mengikatnya dengan erat”.
Bersyukur atas pemberian Allah pada hakikatnya merupakan wujud apresiasi seorang
hamba atas apa yang telah diterimanya. Dan Allah Ta’ala memastikan bahwa hal itu akan
kembali kepada sang hamba berupa penambahan atas nikmat yang Dia berikan.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dengan banyak
bersyukur atas karunia Allah maka akan tampak pada gambaran perilaku seseorang yaitu
bertambahnya amal dan mengakui semua nikmat yang diberikan padanya berasal dari Allah.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang mukmin wajib bersyukur
kepada Allah SWT, karena sesungguhnya syukur mengikat yang ada dan member yang hilang.
Dengan bersyukur maka Allah akan semakin memberikan limpahan kebaikan berupa kesehatan,
ketenangan dan kelapangan rezki.
Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu mengolah
nikmat sebagai wujud ketaatan kepada Allah, sebab jika kewajiban tidak dilaksanakan, maka
Bagian 8 “Sadar Diri Dalam Genggaman Kehendak Ilahi”
/innamā ja‘ala ad-dāra al-ākhirata maḥallān lijazāin ‘ibādihi al-mu`minīna lianna hāŻihi ad-dāra lā tasa‘u mā yurīdu an yu‘tiyahum, wa liannahu ajalla aqdārahum ‘an an yujāzīhim fī dārin lā baqā alahā/
“Dia menjadikan negeri akhirat sebagai tempat memberi balasan kepada para hamba-Nya yang beriman karena negeri (dunia) ini tidak bisa menampung apa yang hendak Dia berikan kepada mereka. Juga, karena Dia hendak memuliakan mereka dengan tidak mau memberikan balasan di negeri yang tidak kekal”.
Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat apresiatif kepada hamba-hamba-Nya. Dia telah
menyediakan balasan atas usaha para hamba untuk berbakti kepada-Nya dengan sesuatu yang
belum pernah dilihat dengan mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah
terbayang dalam benak setiap hamba.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah menjadikan
akhirat sebagai negeri kekal, tempat rahmat dan kegembiraan yang abadi serta sebagai tempat
untuk membalas hamba-hambanya yang beriman juga sebagai tempat yang disenangi para nabi.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu janganlah berharap pada sesuatu yang
bersifat sementara, karena di dalamnya selalu ada duka lara. Meskipun Allah menyediakan
segala bentuk perolehan dan anugerah bagi umat-Nya di dunia ini, tetapi semua itu terikat oleh
sifat dunia yang sementara. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif
(keyakinan), yaitu Allah memiliki kehendak untuk memberikan yang terbaik kepada setiap hamba-Nya yang tekun berbuat baik.
U
Bagian 9 “Berusaha Untuk Menghamba”
“Harapan itu disertai amal. Jika tidak, itu hanyalah angan-angan”.
Harapan dan angan-angan adalah dua perkara yang serupa tetapi datang melalui saluran
yang berlainan, lalu meninggalkan kesan yang berbeda. Harapan memberi daya hidup bagi
seorang hamba dengan keinginan positif untuk beramal ibadah. Sedang angan-angan adalah sifat
negatif, dimana pelakunya memiliki keinginan besar tetapi tidak mau melakukan apapun. Maka
itu hanyalah tidak lebih dari mimpi atau lamunan saja.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu bila seseorang ingin
meraih nikmat di akhirat, maka tingkatkanlah amal dan ketaatan serta memperbanyak ibadah
wajib maupun sunnat dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jadilah hamba yang menggunakan
akalnya untuk mengintrospeksi diri dan bersiap untuk menghadapi hari esok. Dan jangan
memperturutkan hawa nafsu dan menggantungkan diri pada angan-angan yang kosong. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu harapan harus disertai
dengan pelaksanaan sebab-sebab untuk mencapai keinginan.
Pada halaman 101 :
Bagian 10 “Tak Terimpit Tatkala Sempit”
ﻭ ﻂﺴﺒﻟﺍ ﻊﻣ ﻚﻛﺮﺘﻳ ﻻ ﻰﻛ ﻚﻀﺒﻗ ﻭ ﺾﺒﻘﻟﺍ ﻊﻣ ﻚﻴﻘﺒﻳ ﻻ ﻰﻛ ﻚﻄﺴﺑ
ﺃ
ﻰﻛ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻚﺟﺮﺧ
ﻪﻧﻭﺩ ﺊﻴﺸﻟ ﻥﻮﻜﺗ ﻻ /basaaka kā lā yubqīka ma‘a al-qabḍi wa qabaḍaka kā lā yatrukaka ma‘a al-basi wa akhrajaka ‘anhumā kā lā takūna lisyay`in dūnahu/
“Dia memberimu kelapangan agar engkau tidak terus berada dalam kesempitan. Sebaliknya, dia memberimu kesempitan agar tidak terus berada dalam kelapangan. Lalu dia mengeluarkanmu dari keduanya agar tidak bergantung kepada selain-Nya”.
Allah Ta’ala mengubah-ubah keadaan manusia, dari lapang menjadi sempit, dari sehat
menjadi sakit, dari berpeluang menjadi terkekang dan dari berkecukupan menjadi
berkekurangan. Kesemuanya itu dilakukan dengan tujuan agar manusia memahami bahwa ia
tidak akan terbebas dari hukum ketentuan-Nya dan tidak aka nada daya dan kekuatan kecuali
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dikala seseorang
sedang dicoba oleh kelapangan dan kesempitan, maka wajib baginya untuk tetap taat dan patuh
pada Allah Sang Dzat yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Kemudian menunjukkan kepada sikap
individual, yaitu pada saat kesempatan datang menguji maka sikap tenang, tegar, dan tentramlah yang harus ditunjukkan. Dan pada saat kelapangan datang menguji maka kewajiban seseorang
itu adalah menjaga anggota badan terutama lisan dari kedurhakaan terutama lisan. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu Allah
mengubah-ubah setiap keadaan hambanya, hal ini memiliki maksud agar setiap hamba tetap memahami
bahwa hukum-hukumNya akan ada pada setiap orang.
Pada halaman 107 :
Bagian 11 “Memahami Dunia”
ﺇ ﻥ
ﺃ
ﻰﻨﻔﻳ ﺰﻌﺑ ﻥﺰﻌﺘﺴﺗ ﻼﻓ ﻰﻨﻔﻳ ﻻ ﺰﻋ ﻚﻟ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺍ ﺕﺩﺭ
/in aradta an yakūnalaka ‘izzun la yafnā falā yasta‘izzanna bi‘izzi yafnā/
“Jika engkau menginginkan kemuliaan abadi maka jangan membanggakan kemuliaan yang fana”.
Kemuliaan yang tidak akan sirna (abadi) hanyalah kemuliaan bersama Allah Ta’ala, dan
bersandar diri hanya kepada-Nya. Sebab, Dia Maha kekal dan tidak akan pernah sirna. Sedang
apabila seseorang membanggakan diri, harta, suku, jabatan dan semua yang bersifat duniawi,
maka semuanya itu bersifat menipu dan akan hancur (tidak kekal). Oleh karenanya, siapa yang
bergantung kepada segala sesuatu yang tidak kekal atau fana, maka ia akan turut binasa bersama
yang fana itu.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu kemuliaan yang
tidak akan musnah ialah kemuliaan bersama Allah dan kekayaan yang abadi ialah karena
ketaatan kepada Allah. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha
memulai untuk mengarahkan pandangan pada kemuliaan yang hakiki. Sikap individual tersebut
merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu kemuliaan yang abadi hanyalah
Bagian 12 “Balasan Ketaatan”
Pada halaman 115 :
ﻪﻴﻓ ﷲ ﻦﻋ ﻚﻤﻬﻓ ﻡﺪﻌﻟ ﻊﻨﻤﻟﺍ ﻚﻤﻟﺆﻳ ﺎﻤﻧﺍ /innamā yu`limuka al-man‘u li‘adami fahmika ‘ani allāhi fīhi/
“Yang membuatmu sakit ketika tidak diberi adalah karena engkau tidak memahami hikmah Allah didalamnya”.
Belum sempurna keimanan seseorang kepada Allah, sebelum ia percaya secara utuh
kepada-Nya dan bersyukur atas segala karunia yang telah Dia berikan kepadanya. Dan jika sang
hamba belum mengerti, percayalah bahwa pemberian Allah itu pasti bermanfaat dan
penolakan-Nya itu pasti karena apa yang diminta oleh sang hamba tidak mengandung manfaat bagi hamba
tersebut.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu pasrah dan ridha atas
karunia Allah ialah salah satu ciri orang yang beriman dan mencintai Allah SWT. Kemudian
menunjukkan kepada sikap individual, yaitu mengerti dan memahami sifat Allah, sebab tidak
ada yang tidak memiliki maksud dari semua keadaan yang Allah berikan kepada semua
makhluk-Nya. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen afektif (emosi/perasaan),
yaitu bersyukur ketika mendapat rizki dan bersabar ketika diuji dengan bencana.
U
Bagian 13 “Karena Butuh, Kita Mesti Bersimpuh”U
Pada halaman 121 :
ﻚﺘﻟﺫ ﺩﻮﺟﻭ ﻰﻟﺍ ﻪﻴﻓ ﺩﺮﺗﻭ ﻚﺘﻗﺎﻓ ﺩﻮﺟﻭ ﻪﻴﻓ ﺪﻬﺸﺗ ﺖﻗﻭ ﻚﺗﺎﻗﻭﺍ ﺮﻴﺧ
/khayru awqātika waqtun tasyhadu fīhi wujūdu fāqatika wa taruddu fīhi ilā wujūdi Żillatika/
“Sebaik-baiknya waktumu adalah ketika menyadari kepapaanmu dan engkaupun kembali mengakui kerendahanmu”.
Sebaik-baik waktu dalam kehidupan ini adalah saat dimana seorang hamba mengingat akan
tengah membutuhkan pertolongan, sementara tidak ada satupun makhluk yang mampu untuk
menolong.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu waktu yang paling
baik didalam hidup ialah pada saat-saat seorang hamba mengingat Tuhannya. Kemudian
menunjukkan kepada sikap individual, yaitu tidak perlu mengeluh ketika penderitaan
menghampiri, tetapi memohon dan mendekatkan dirilah kepada Sang Pencipta. Sikap individual
tersebut merujuk komponen perilaku (tindakan), yaitu dengan bermunajat kepada Allah, maka
seorang hamba akan menemukan berlimpahnya hajat.
Bagian 14 “Arti Permintaan Dalam Jagat Pemberian”
Pada halaman 131 :
ﻻ ﻚﺑﺭ ﺐﻟﺎﻄﺗ
ﻙﺑﺩﺃ ﺭﺧﺄﺘﺒ ﻙﺳﻔﻧ ﺏﻟﺎﻁ ﻥﻛﻟﻭ ,ﻙﺑﻠﻁﻣ ﺭﺧﺄﺘﺒ
/lā tuṭālib rabbaka bitaakhkhuri maṭlabika, walakin ṭalib nafsaka bitaakhkhuri adabika/
“Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan. Namun, tuntutlah dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban”.
Allah Ta’ala mengingat semua jenis kebutuhan hamba-Nya, karena Dia adalah Maha
Pemberi. Bahkan Dia telah memenuhi dan melengkapi seluruh kebutuhan hamba-Nya sebelum
hamba-Nya sendiri mengerti apa yang menjadi kebutuhannya itu. Karenanya, jika permintaan
kepada-Nya belum terpenuhi, maka janganlah berburuk sangka kepada-Nya dan bersegeralah
mengintrospeksi diri.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah selalu
mengingat dan memenuhi apa yang telah dimohon oleh umat-Nya. Kemudian menunjukkan
kepada sikap individual, yaitu mengintrospeksi diri dan berusaha menjadi seseorang yang layak
untuk mendapatkan apa yang telah diminta. Sikap individual tersebut merujuk komponen
Bagian 15 “Shalat Dan Penyaksian”
Pada halaman 142 :
ﻦﻣ ﺏﻮﻠﻘﻠﻟ ﺓﺮﻬﻁ ﺓﻼﺼﻟﺍ
ﺃ
ﺏﻮﻴﻐﻟﺍ ﺏﺎﺒﻟ ﺡﺎﺘﻔﺘﺳﺍﻭ ﺏﻮﻧﺬﻟﺍ ﺱﺎﻧﺩ
/al-ṣalātu uhratun lilqulūbi min adnāsi al-Żunūbi wastiftāḥun libābi al-guyūbi/ “Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban”.
Apabila hati telah tersucikan oleh cahaya shalat, maka akan terbuka tabir yang
menghalangi antara Sang Maha Pencipta dengan hamba-Nya. Dari contoh tersebut diatas
menunjukkan kepada motif teologis, yaitu shalat merupakan penghubung dan tempat dialog
antara Allah dengan hamba-Nya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu wajib melaksanakan shalat 5
waktu tepat pada waktunya, dikarenakan shalat merupakan pembersih hati dari kotoran dan
dosa-dosa. Sikap individual tersebut merujuk komponen kognitif (keyakinan), yaitu didalam shalat
yang khusuk akan terjalin keakraban antara hamba dengan Sang Khalik.
U
Bagian 16 “Imbalan Dan Penghambaan”
Pada halaman 145 :
ﺔﻣﻼﺴﻟﺍ ﻥﺍﺪﺟﻭ ﺐﻳﺮﻤﻟﺍ ﻲﻔﻜﻳﻭ ,ﻪﻴﻓ ﻕﺪﺼﻟﺍ ﺩﻮﺟﻮﺑ ﺖﺒﻟﻮﻁ ﻞﻤﻋ ﻰﻠﻋ ﺎﺿﻮﻋ ﺖﺒﻠﻁ ﻰﺘﻣ
/matā ṭalabta ‘iwaḍan ‘alā ‘amalin ṭūlibta biwujūdi aṣ- ṣidqi fīhi, wa yakfī al-murību wujdānu assalāmati/
“Ketika engkau meminta balasan atas sebuah amal, engkau dituntut untuk tulus didalamnya. Bagi orang yang merasa tidak sempurna sudah cukup jika telah selamat”.
Lakukanlah amal kebaikan semampu mungkin, begitulah perintah dasarnya kepada
pembaca. Mengerjakan amal itu butuh kemauan, dan kemauan juga butuh pemaksaan diri agar
kemudian engkau mampu. Perubahan dari kemauan kepada kemampuan saja sudah merupakan
perjuangan tersendiri. Jadi, bebaskanlah hati dari keinginan lebih agar engkau tidak semakin
dibuat letih. Ikhlas adalah keadaan batin yang tidak mudah diraih. Sedangkan balasan-Nya
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu beramal dengan
sesempurna mungkin jika ingin mendapat karunia dan rahmat dari Allah SWT. Kemudian
menunjukkan kepada sikap individual, yaitu ikhlas didalam beramal, mengerjakannya dengan
sempurna dan menyempurnakan pelaksanaannya merupakan inti dari sebuah amal yang akan
mendapat pembalasan dari-Nya. Sikap individual tersebut merujuk komponen kognitif
(keyakinan), yaitu Allah akan memberi balasan pada setiap amal manusia.
Bagian 17 “Allah-lah Sahabat Sejatimu”
Pada halaman 160 :
ﺫ ﺲﻴﻟ ﻭ ﻢﻴﻠﻋ ﻚﺒﻴﻌﺑ ﻮﻫ ﻭ ﻚﺒﺤﺻ ﻦﻣ ﻻﺍ ﻚﺒﺤﺻﺎﻣ
ٰ◌ ٰ◌
ﻢﻳﺮﻜﻟﺍ ﻙﻻﻮﻣ ﻻﺍ ﻚﻟ .
ﺐﺤﺼﺗ ﻦﻣ ﺮﻴﺧ
ﻪﻴﻟﺍ ﻚﻨﻣ ﺩﻮﻌﻳ ﺊﻴﺸﻟ ﻻ ﻚﺒﻠﻄﻳ ﻦﻣ /mā ṣahibaka illa man ṣahibaka wa huwa bi‘aybika ‘alimun wa laysa Żālika illa mawlāka al-karīmu. Khayru man taṣḥabu man yalubuka lā lisyay‘in ya‘ūdu minka ilayhi/
“Sahabat sejatimu adalah sahabat yang bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Dan hal itu tidak lain adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang mengharapmu bukan karena keuntungan yang dia harap darimu”.
Allah-lah sebaik sahabat, sebab dalam keadaan apapun Dia tetap berjabat. Tidaklah mudah
menjadi sahabat, tidak pula gampang menemukan sahabat. Bersahabat untuk melintasi musim
dan masa yang berganti, pada kenyataannya sulit untuk diperoleh. Selalu ada alasan yang
membuat orang berdiri tegak disisi kita sebagai sahabat, atau berlari menjauh dan berkhianat.
Allah bersahabat tanpa alasan. Kebaikan dan keburukan yang hadir bergilir dalam diri kita, tidak
membuatnya berpaling dari kita. Sang hambalah yang sering berpaling dari-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu setiap makhluk
yang mengaku menjadi sahabat, pasti memiliki suatu harapan ketika menjalin hubungan.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jika mengetahui bahwa tidak ada
satupun sahabat sejati kecuali Tuhan, maka ketahuilah esensi persahabatan denganNya dan
mematuhi etika secara lahir dan batin. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
Bagian 18 “Allah Dan Alam”
Pada halaman 167 :
ﻝﺍ
ﻷ
ﺔﺘﺑﺎﺛ ﻥﺍﻮﻛ
ﺈﺒ
ﺓﻮﺤﻤﻣﻭ ﻪﺗﺎﺒﺛ
ﺄﺒ
ﻪﺗﺍﺫ ﺔﻳﺪﺣ
/al-akwānu ṡābitatun biiṡbātihi wa mamḥuwwatun bi`aḥadiyyati Żātihi/ “Alam ini ada dengan penetapan Allah dan ia lenyap dengan keesaan zat-Nya”.
Penuhilah kesadaran akan wujud-Nya, agar selalu senantiasa menemukan-Nya. Sebab
tanpaNya alam semesta ini tidak akan pernah ada. Dan alam semesta ini bukanlah apa-apa
karena sesungguhnya tidak ada sesuatu di sisi ataupun di samping Allah yang Maha Esa. Ini
berarti keadaan alam yang tampak stabil dan konstan ini adalah cerminan kekekalan Allah.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu alam ada karena
Tuhan, berdiri karena-Nya dan kokoh karena pengokohan-Nya. Barang siapa menyatakan alam
tercipta karena Allah, berarti dia mengetahui dan menyaksikan Tuhan di dalam dirinya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu merenungkan tentang pencitaannya agar
manusia semakin mengenal Sang Pencipta. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
kognitif (keyakinan), yaitu tanpa Tuhan alam semesta tidak akan pernah tercipta.
U
Bagian 19 “Pujian Adalah Ujian”
Pada halaman 170 :
ﺃ
ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﺎﻣ ﻦﻈﻟ ﻩﺪﻨﻋ ﺎﻣ ﻦﻴﻘﻳ ﻙﺮﺗ ﻦﻣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻞﻬﺟ
/ajhalu an-nāsi man taraka yaqīna mā ‘indahu liẓanni mā ‘inda an-nāsi/.
“Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang”.
Jangan tersipu oleh sanjungan yang menipu, engkaulah sesungguhnya yang paling tahu
siapa dirimu. Engkaulah yang tahu persis kebaikan dan keburukan yang melekat dalam dirimu.
Tentang seberapa banyak kebaikan yang telah engkau lakukan. Tentang seberapa rapat dirimu
menyembunyikan berbagai keburukan.orang lain tidak mengenalmu, mereka tidak mengerti
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu jika yang memuji
seseorang adalah ahli agama atau ahli kebaikan maka wajar baginya untuk gembira. Tetapi jika
yang memujinya adalah orang yang tidak berilmu, maka tidak ada kebodohan yang lebih besar
dari pada ridha dan gembira dengan pujian mereka.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jangan sampai orang yang tidak
mengetahui apapun yang mengatur diri, sebab mereka tidak mengetahui masih banyaknya
keburukan yang tersimpan di dalam diri. Dan jangan tersipu oleh sanjungan yang menipu. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu hanya diri sendirilah
yang mengetahui pasti kebaikan dan keburukan yang melekat dalam diri.
Bagian 20 “Cahaya”
Pada halaman 185 :
ﺍ ﺔﻤﺣﺮﻟﺍﺎﺑ ﻖﻠﺨﺘﻳ ﻢﻟﻭ ﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﺭﺍﺮﺳﺍ ﻰﻠﻋ ﻊﻠﻁﺍ ﻦﻣ
ﻹ
ﺮﺠﻟ ﺎﺒﺒﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﺔﻨﺘﻓ ﻪﻋﻼﻁﺍ ﻥﺎﻛ ﺔﻴﻬﻟ
ﻝﺎﺑﻮﻟﺍ ﺇ ﻪﻴﻟ
/maniala‘a ‘alā asrāri al-‘ibādi walam yatakhallaq bi ar-rahmati al-ilāhiyyati kānailā‘uhu fitnatan ‘alayhi wa sababan lijarri al-wabāli ilayhi/.
“Siapa yang mengetahui rahasia para hamba namun tidak meniru sifat kasih sayang Tuhan, maka pengetahuannya menjadi ujian baginya dan sebab datangnya bencana”.
Setiap rahasia hamba yang tertangkap tidak harus selalu engkau ungkap. Karena butuh
kesabaran dan kesadaran sekaligus. Kesabaran menyikapi kenyataan bahwa tidak setiap hamba
menyadarinya. Juga kesadaran bahwa Dia-lah yang menjadikanmu melihat rahasia orang lain
dan itu merupakan anugerah-Nya. Selalu ada godaan yang bisa membuat seseorang salah
menyikapi. Hanya dengan tetap bersandar kepada pengetahuan-Nya seseorang terhindar dari
keliru.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu bagi seeorang yang
dapat mengungkapkan tabir antara sesama, maka hanya tetap bersandar pada Sang Khalik-lah ia
dapat bebas dari keterjebakan sifat egonya. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual,
bisa menyebabkan kehancuran. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku
(tindakan), yaitu bersandar pada pengetahuan Tuhan agar tidak terjadi kekeliruan.
Pada halaman 188 :
ﻚﺘﻳﺩ ﻮﺒﻋ ﻲﻓ ﻚﻗﺪﺻ ﻡﺪﻋ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺩ ﻚﺘﻴﺻ ﻮﺼﺨﺑ ﻖﻠﺨﻟﺍ ﻢﻠﻌﻳ ﻥﺍ ﻚﻓﺍﺮﺸﺘﺳﺍ
/istisyrāfuka an ya‘lama al-khalqu bikhuṣū ṣiyyatika dalīlun ‘ala ‘adami ṣidqika fī ‘ubūdiyyatika/
“Keinginanmu agar orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidaktulusanmu dalam penghambaanmu”.
Kesalehan, tahapan spiritual dan rasa cinta kepada-Nya bukanlah konsumsi publik yang
harus diceritakan. Menghadaplah kepada-Nya dengan sepenuhnya dan seutuhnya, jangan
menghadap kepada-Nya dengan setengah hati. Sementara setengahnya lagi disandarkan pada
harapan akan penghargaan dari makhluk. Dan biarkanlah dia menilai dan memberi penghargaan
dengan kemurahan-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu janganlah
menunjukkan keistimewaan kepada orang lain hanya demi untuk mendapat penghargaan dan
pujian. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha untuk
menyembunyikan dan menutupi dari orang lain segala keistimewaan yang telah Allah berikan
agar terhindar dari sifat riya’. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku
(tindakan), yaitu orang yang beriman adalah orang yang jika Allah memberinya keistimewaan, ia akan menyembunyikan, mengingkari dan menutupinya.
U
Bagian 22 “Permohonan Dan Pemberian”
Pada halaman 195 :
ﺍ ﻢﻜﺣ ﻞﺟ
ﻑﺎﺿﻧﻳ ﻥﺍ ﻝﺯﻷ
ﻞﻠﻌﻟﺍ ﻰﻟﺍ /jalla hukmu al-azali an yanḍāfa ila al-‘ilali/
Bagian 21 “Ketulusan Dalam Menghamba”
Yakinilah bahwa semua peristiwa dan kejadian adalah takdir-Nya yang terhubung dengan
sebab akibat. Apa yang engkau peroleh dan apa yang engkau tidak peroleh juga ketentuan-Nya.
Rahmat, cinta, dan kedermawanan-Nya telah ada sebelum adanya alam semesta ini.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu apa yang
dikehendaki Allah itu pasti ada dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak mungkin ada.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu meyakini dan menikmati apa yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif
(keyakinan), yaitu tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain dari apa yang telah Allah ciptakan.
Bagian 23 “Sukar Membawa Nikmat”
Pada halaman 203 :
ﺐﻫﺍﻮﻤﻟﺍ ﻂﺴﺑ ﺕﺎﻗﺎﻔﻟﺍ /al-fāqātu busuu al-mawāhibi/
“Ragam ujian merupakan hamparan anugerah”
Nikmatilah beraneka ragam ujian untuk warna-warni anugerah pujian. Jangan sekali-sekali
engkau merasa Allah tidak sayang kepadamu. Ini kehendak-Nya, cara-Nya membuatmu semakin
dekat dengan-Nya. Dia hendak membuatmu mengenal-Nya agar engkau merasakan betapa agung
sifat-sifat-Nya. Wajar bila engkau seperti dihujani kesukaran bertubi-tubi. Pecayalah, bila
engkau bisa melewatinya, engkau akan temukan hamparan luas permadani kemurahan-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah memberikan
ujian kepada sang hamba karena rasa kasih dan sayang-Nya kepada dia. Kemudian menunjukkan
kepada sikap individual, yaitu bersiap, berusaha dan menghadapi segala ujian dengan hati sabar
dan tegar, karena semuanya akan dibalas Allah dengan keindahan. Sikap individual tersebut
merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), mempercayai jika dapat melewati segala
Bagian 24 “Adab Menerangkan Karunia Spiritual”
Pada halaman 211 :
ﺯﺮﺑ ﻪﻨﻣ ﻯﺬﻟﺍ ﺐﻠﻘﻟﺍ ﺓﻮﺴﻛ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ ﺯﺮﺒﻳ ﻡﻼﻛ ﻞﻛ /kullu kalāmin yabruzu wa ‘alayhi kiswatu al-qalbi al-laŻī minhu baraza/
“Setiap ungkapan yang terucap dibungkus oleh corak kalbu yang menjadi tempat keluarnya”.
Berhati-hatilah dengan ucapan, sebab setiap perkataan menghadirkan pengaruh yang tak
terelakkan. Semakin banyak seseorang mengucakan kata-kata yang mengandung pujian
kepada-Nya semakin lembutlah hati seseorang tersebut. Ucapan adalah cermin dan kedudukan dan posisi
hati hamba dengan-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu perkataan orang
beriman yang sering mengagungkan nama Allah, maka perbuatannya juga akan mudah dikenali
sebagai perbuatan yang penuh sopan santun. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual,
yaitu bertutur kata dengan indah dan sopanlah jika ingin memiliki tingkah laku yang baik. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), perkataan mencerminkan
sifat seseorang yang bertutur.
U
Bagian 25 “Nafsu Menguntit Selalu”
Pada halaman 227 :
ﺎﻬﻧﺍﺪﻘﻓ ﺩﻮﺟﻮﺑ ﺎﻬﻓﺮﻋ ﺎﻬﻧﺍﺪﺟﻮﺑ ﻢﻌﻨﻟﺍ ﻑﺮﻌﻳ ﻢﻟ ﻦﻣ /Man lam ya‘rifi an-ni‘ama biwujdānihā ‘arafahā biwujūdi fuqdānihā/
“Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala memperolehnya, ia akan mengetahuinya tatkala sudah lepas dari dirinya”.
Hanya ada penyesalan yang ada ketika nikmat telah tiada karena selama ini telah
disia-siakan. Engkau menganggapnya tak akan sirna hingga engkau memperlakukannya semena-mena.
Dan kini engkau akhirnya harus mencari nikmat itu kemana-mana. Sehat menjadi begitu
berharga setelah kini sakit menimpa. Dan engkau baru menyadari setelah kesedihan, penderitaan
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu sesungguhnya Allah
selalu mengingatkan tentang semua nikmat dan kesehatan yang bernilai yang datang terus
menerus kepada hamba-Nya tetapi ia tidak menyadarinya. Kemudian menunjukkan kepada sikap
individual, yaitu mengetahui, merenungkan, menyadari dan mensykuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Sang Pemberi. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif
(keyakinan), yaitu menghargai nikmat sekecil apapun, karena nikmat tersebut akan dibutuhkan kapanpun dan dimanapun.
Bagian 26 “Ilham”
Pada halaman 238 :
ﻪﻟ ﺔﻤﻴﻗ ﻻ ﻪﻨﻣ ﻚﻟ ﻞﺼﺣ ﺎﻣﻭ ﻪﻟ ﺽﻮﻋ ﻻ ﻙﺮﻤﻋ ﻦﻣ ﺕﺎﻓﺎﻣ
/mā fāta min ‘umrika lā ‘iwaḍalahu wa mā ḥa ṣalalaka minhu lā qīmatalahu/
“Usiamu yang telah berlalu tidak dapat digantikan dan apa yang engkau raih darinya tidak ternilai harganya”.
Jangan terlalu memikirkan masa lalu, engkau bisa sedih dan malu. Percayalah bahwa masa
lalu akan membuatmu menghargai waktu bila engkau menjadikannya pelajaran terbaik bagi
dirimu. Jangan sesali apapun yang sudah berlalu. Yang harus engkau sadari adalah bagaimana
sekarang engkau memperlakukan diri dan lakukanlah kebenaran di kehidupan sekarang.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu memanfaatkan sesaat
dari umur untuk berzikir kepada Allah SWT, agar dapat memperoleh kerajaan yang besar dan
nikmat yang abadi di akhirat kelak. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu
mengisi waktu dengan ibadah, menyadari kekurangan dan memperbaiki kesalahan dengan
bertaubat. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu umur
seorang mukmin adalah harta pusakanya. Bagi siapa yang erat memegang umurnya maka dia
termasuk orang yang berbahagia. Dan bagi siapa yang yang menyia-nyiakannya maka dia adalah
Bagian 27 “Godaan Dunia”
Pada halaman 259 :
ﻼﺤﻣ ﺎﻬﻠﻌﺟ ﺎﻤﻧﺍ
ﺎﻬﻳﻓ ﻙﻟ ﺍﺩﻳﻫﺯﺗ ﺭﺍﺩﻛ ﻸﻟ ﺎﻧﺩﻌﻣ ﻭ ﺭﺎﻳﻏ ﻸﻟ
/innamā ja‘alahā mahalā liagyāri wa ma‘dinan liakdāri tazhīdanlaka fīha/
“Allah sengaja menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber kekeruhan agar engkau tidak terpaut dengannya”.
Dunia memang diciptakan untuk membuatmu tidak pernah puas. Ini bertujuan agar engkau
merindukan akhirat yang kenikmatannya tak terbatas. Sungguh menyesal orang yang terus
mengabdi kepada keberadaan yang tidak abadi. Tetapi berbahagialah orang yang bijaksana,
meraih yang di dunia untuk merengkuh yang di akhirat. Kelelahan yang mengejar sementara
adalah karena Allah ingin menarikmu kepada kenikmatan tiada tara, karena dunia terus berubah
dan akhirnya musnah.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah menjadikan
dunia sebagai tempat godaan, kesedihan, dan sumber kekeruhan agar umat secara total
menerima-Nya dan agar umat berpaling dari dunia dan menghadap akhirat.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu melengkapi diri dengan hati yang
amanah agar bisa menyikapi seluruh perkara di dunia dengan sakinah. Sikap individual tersebut
merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), Allah menciptakan dunia dengan kerusuhan,
karena itu adalah salah satu bukti bahwa Allah menyayangi umatnya.
U
Bagian 28 “Takutlah Kepada Allah”
Pada halaman 262 :
ﻪﻌﻣ ﺔﻴﺸﺨﻟﺍ ﺖﻧﺎﻛ ﺎﻣ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺮﻴﺧ /khayru al-‘ilmi mā kānati al-khasyyatu ma‘ahu/
“Sebaik-baiknya ilmu adalah yang disertai rasa takut pada-Nya”.
Hadirkanlah rasa takut agar ilmumu membuatmu selalu mengingat-Nya. Semakin engkau
mengenal-Nya, semakin engkau takut kepada-Nya. Maka, engkau akan semakin dekat
dari-Nya. Ilmu apapun yang diiringi rasa takut kepada-Nya akan memberikan kekuatan kepada
pemiliknya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu hanya dengan rasa
takut dapat membuat sang hamba dekat dengan Sang Khalik. Kemudian menunjukkan kepada
sikap individual, merasa takut kepada Allah dapat menolong sang pemilik ilmu dari terjerumusnya kedalam murka Allah. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
kognitif (keyakinan), yaitu merasa takut kepada Allah sesungguhnya akan mendatangkan keuntungan kepada pemilik ilmu.
Bagian 29 “Allah, Manusia, Dan Alam”
Pada halaman 273 :
ﺎﺿﻮﻋ ﻪﺑﻮﺒﺤﻣ ﻦﻣ ﻮﺟﺮﻳ ﻯﺬﻟﺍ ﺐﺤﻤﻟﺍ ﺲﻴﻟ
ﺃ
ﺎﺿﺮﻋ ﻪﻨﻣ ﺐﻠﻄﻳ ﻭ
ﺈﻓ
ﻚﻟ ﻝﺬﺒﻳ ﻦﻣ ﺐﺤﻤﻟﺍ ﻥ
ﻪﻟ ﻝﺬﺒﺗ ﻦﻣ ﺐﺤﻤﻟﺍ ﺲﻴﻟ
/laysa al-muhibbu al-laŻī yarjū min maḥbūbihi ‘iwaḍan aw yalubu minhu ‘araḍan fainna almuhibbu man yabŻululaka laysa al-muḥibbu man tabŻululahu/
“Pecinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya. Sejatinya pecinta adalah yang mau berkorban untukmu, bukan yang menuntut pengorbanan darimu”.
Milikilah cinta yang tak bersyaratmaka tak akan mudah berkarat. Dalam cinta jangan
hanya berusaha merengkuh, sebab bisa timbul sikap angkuh. Mulailah mencintai dengan
keluasan member, sebab engkau akan temukan kepuasan dalam diri. Jangan mencintai dengan
pamrih, sebab hanya akan membuat hati merasa perih. Cinta yang tidak disirami sikap ridha
yang penuh akan berbalik membunuh.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu seseorang yang
mencintai Allah dengan ikhlas, tidak akan memikirkan keuntungan dan kerugian dari-Nya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu mencintai Allah sepenuhnya dan
melengkapinya dengan ikhlas yang nyata. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
Bagian 30 “Zikir Dan Pikir”
Pada halaman 295 :
ﺭﺎﻴﻏﻻﺍ ﻦﻳﺩﺎﻴﻣ ﻰﻓ ﺐﻠﻘﻟﺍ ﺮﻴﺳ ﺓﺮﻜﻔﻟﺍ /al-fikratu sayru al-qalbi fī mayādīni al-agyāri/
“Berfikir adalah petualangan hati dalam medan ciptaan Allah”.
Merenungkan ciptaan-Nya adalah petualangan batin yang mencerahkan. Bahkan
berpetualang menikmati keindahan ciptaan-Nya bisa menjadi aktivitas yang menyegarkan.
Dalam aktivitas penyegaran lahir, engkau bisa menikmati deburan ombak atau deretan hijau
pohon di pegunungan. Dalam aktivitas penyehatan ruhani, engkau bisa menghadirkan kesadaran
melalui makna di balik ragam ciptaan.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu memikirkan
keagungan pencipta dan keesaan-Nya adalah cahaya. Jika hati sibuk memikirkan perihal
keagungan Allah, maka hati diterangi cahaya Allah. Kemudian menunjukkan kepada sikap
individual, yaitu memanfaatkan sedikit waktu untuk berdiam diri dan memikirkan betapa sayangnya Allah kepada makhluk-makhluk-Nya, hingga dia memberikan apapun kepada semua
makhluk-Nya. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang analisis motif dan sikap yang terdapat dalam kitab
Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu ‘Athaillah”, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
yaitu:
Motif dan sikap merupakan bagian dari wilayah kajian psikologi sastra. Psikologi
sastra adalah kajian sastra yang memandang suatu karya sebagai aktivitas kejiwaan. Sastra
berbeda dengan psikologi, sebab sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan
esay yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk kepada studi
ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki
titik temu, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian.
Berdasarkan teori yang digagaskan oleh Sigmund Freud, psikologi sastra akan
berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang di pandang meliputi tiga unsur
kejiwaan, yaitu: id, ego, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain
berkaitan serta membentuk totalitas dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan
produk interaksi dari ketiganya.
Motif dan Sikap sangat mempengaruhi begitu banyak aspek kehidupan manusia,
termasuk proses kreativitas penulis dalam menciptakan karya-karyanya. Motif, yaitu
alasan atau dorongan yang ada pada diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu
baik secara sadar ataupun tidak sadar. Selain itu, sikap juga berhubungan dengan tingkah
laku manusia, karena sikap merupakan keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek
tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu.
Motif pada diri manusia terdiri atas:
1. Motif biologis
2. Motif sosiologis
Sikap pada diri manusia terdiri atas :
1. Sikap individual
2. Sikap sosial
Sikap terdiri dari beberapa komponen yaitu :
1. Komponen kognitif (keyakinan)
2. Komponen afektif (emosi/perasaan)
3. Komponen perilaku (tindakan).
Adapun hasil penelitian yang peneliti temukan didalam kitab Al-Hikam “Untaian
Hikmah Ibnu ‘Athaillah” yaitu bahwa motif terdiri dari motif sosiologis dan teologis.
1. Motif sosiologis ditemukan pada bagian 1 halaman 18, bagian 2 halaman 25, bagian 3
halaman 35, bagaian 5 halaman 62, bagian 17 halaman 160, bagian 19 halaman 170,
bagian 21 halaman 188.
2. Motif teologis ditemukan pada bagian 4 halaman 57, bagian 6 halaman 68, bagian 7
halaman 84, bagian 8 halaman 92, bagian 9 halaman 99, bagian 10 halaman 101,
bagian 11 halaman 107, bagian 12 halaman 115, pada bagian 13 halaman 121, bagian
14 halaman 131, bagian 15 halaman 142, bagian 16 halaman 145, bagian 18 halaman
167, bagian 20 halaman 185, bagian 22 halaman 195, bagian 23 halaman 203, bagian
24 halaman 211, bagian 25 halaman 227, bagian 26 halaman 238, bagian 27 halaman
259, bagian 28 halaman 262, bagian 29 halaman 273, dan bagian 30 halaman 295.
Terdapat juga sikap didalam kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu ‘Athaillah”
yaitu sikap individual yang diliputi oleh komponen kognitif (keyakinan), komponen afektif
(emosi/perasaan), dan komponen perilaku (tindakan).
1. Sikap individual yang diliputi oleh komponen kognitif (keyakinan) ditemukan pada
bagian 4 halaman 67, bagian 8 halaman 92, bagian 9 halaman 99, bagian 10 halaman
101, bagian 11 halaman 107, bagian 15 halaman 142, bagian 16 halaman 145, bagian
17 halaman 160, bagian 18 halaman 167, bagian 19 halaman 170, bagian 22 halaman
26 halaman 238, bagian 27 halaman 259, bagian 28 halaman 262, bagian 29 halaman
273, dan bagian 30 halaman 295.
2. Sikap individual yang diliputi oleh komponen afektif (emosi/perasaan) ditemukan
pada bagian 6 halaman 68 dan bagian 12 halaman 115.
3. Sikap individual yang diliputi oleh komponen komponen perilaku (tindakan)
ditemukan pada bagian 1 halaman 18, bagian 2 halaman 25, bagian 3 halaman 35,
bagaian 5 halaman 62, bagian 7 halaman 84, bagian 13 halaman 121, bagian 14
halaman 131, bagian 20 halaman 185, dan bagian 21 halaman 188.
4.2. Saran
Untuk lebih mengembangkan pengetahuan Mahasiswa Program Studi Bahasa Arab
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, penulis menyarankan beberapa hal :
1. Bagi mahasiswa di Program Studi Bahasa Arab, penulis mengharapkan untuk dapat
lebih meningkatkan wawasan berfikir dalam memahami bagaimana bentuk
penelitian melalui pendekatan psikologi sastra.
2. Dengan melihat realita yang ada bahwa penelitian sastra yang mengarahkan
perhatian kepada analisis prosa atau al-hikam dengan pendekatan psikologi sastra
masih sangat sedikit dan sangat terbatas, dan apa yang penulis lakukan ini adalah
bagian dari keterbatasan tersebut. Maka dengan segala kekurangan dan kerendahan
hati, penulis berharap agar Mahasiswa Departemen Sastra Arab untuk selanjutnya
dapat memberikan perhatian terhadap pendalaman dan analisis karya sastra Arab,
dengan tinjauan Psikologi Sastra khususnya, pendekatan Sosiologi Sastra dan
Intertekstual umumnya.
3. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat membantu memberikan kontribusi
terhadap pemahaman akan analisis karya sastra Arab, juga memberikan pemahaman
tentang analisis psikologi, dalam karya sastra yang dikenal dengan pendekatan