• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Aspek Hukum Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Aspek Hukum Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Pajak merupakan hal yang penting bagi setiap negara sebab merupakan pemasukan yang utama bagi negara disamping adanya pemasukan lainnya berupa devisa hasil ekspor negara, laba perusahaan negara, kredit dari luar negeri, grant

berupa sumbangan tidak mengikat dari negara lain, pencetakan uang oleh pemerintah atau bank sentral, uang administrasi, denda dan lain-lainnya. Dari beraneka ragam pemasukan negara itu, yang paling utama ialah pajak atau devisa disamping adanya sumber-sumber pemasukan lainnya.1 Begitu juga selanjutnya untuk melakukan pembangunan memerlukan uang yang cukup banyak sebagai syarat mutlak agar pembangunan dapat berhasil.2Sehingga dapat dikatakan pajak merupakan salah satu penggerak dari sebuah negara, agar dapat berjalan lebih baik lagi.

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1 (untuk selanjut disebut UU KUP) pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung.

1Marhainis Abdul Hay,Dasar-dasar Hukum Pajak, (Jakarta : Yayasan Pembinaan, Keluarga UPN Veteran, 1984), hlm.1.

(2)

Dari defenisi tersebut di atas dapat dipahami mengapa seseorang harus membayar pajak dalam membiayai pembangunan yang sedang dan terus di laksanakan, maka perlulah dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri. Seperti diketahui bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”.3

Begitu juga pada hakikatnya fungsi pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua):4 1. FungsiBudgetairatau untuk mengisi kas negara dan

2. fungsi Regulerend atau untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Dari kedua fungsi tersebut diatas memiliki tujuan yang berbeda-beda, seperti fungsi pajak untuk anggaran (budgetair) dari anggaran mengingat sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat di peroleh dari

(3)

penerimaan pajak. Dewasa ini, pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk membiayai pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri di kurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah dari tahun ke tahun harus di tingkatkan sesuai kebutuhan pembiayan pembangunan yang semakin meningkat, terutama di harapkan dari sektor pajak.5

Kemudian fungsi pajak adalah mengatur (regulerend), artinya pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa di gunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. Sebagai kesimpulan, disamping mempunyai fungsi budgetair, yaitu sebagai sarana untuk menarik dana dari masyarakat; fungsiregulerendadalah sebagai alat pendorong atau penghambat untuk mencapai tujuan diluar bidang keuangan negara, misalnya untuk menarik investor pemerintah memberikan fasilitas perpajakan.6

Di Indonesia pajak dikenal 2 (dua) bagian yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini di selenggarakan oleh Direktorat Pajak dan hasilnya digunakan untuk membiayai rumah

5 Ida Zuraida, L.Y. Harisih Advianto, Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak Daerah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 4.

(4)

tangga negara.7 Pajak Daerah adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.8

Dalam pajak daerah dibedakan lagi pemungutannya menjadi yaitu pajak propinsi dan kabupaten/kota. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (untuk selanjutnya disebut UU PDRD), pajak propinsi terdiri atas Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok.9 Sedangkan pajak kabupaten/kota, terdiri atas Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (untuk selanjutnya disebut BPHTB).10

Salah satu pajak kabupaten/kota yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang saat ini dilimpahkan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 93 UU PDRD. Pelaksanaan pelimpahan BPHTB menjadi Pajak Daerah lebih cepat dibandingkan pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan, dimana peraturan tentang tahapan persiapan pengalihan dilakukan oleh Menteri Keuangan bersama-sama

7

(5)

dengan Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU PDRD tanggal 1 Januari 2010. Sejak tanggal 1 Januari 2011 pemungutan BPHTB sudah di lakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Pada pos penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011 penerimaan pajak dari BPHTB sudah tidak tercantum lagi, tetapi pada pos penerimaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (APBD) pada tahun 2011 dari sektor Pajak Daerah menjadi bertambah. Namun demikian pelaksanaan pemungutan BPHTB yang sudah berjalan sejak 1 Januari 2011 lalu, masih banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah, karena ada beberapa daerah yang tidak siap memungut BPHTB yang di sebabkan belum adanya perangkat Peraturan Daerah yang mendukung, sehingga BPHTB tidak bisa dipungut, hal ini menjadi hambatan bagi para pengembang properti dalam melakukan transaksi demikian juga bagi orang pribadi dan badan lainnya. Di samping itu juga ada kendala SDM yang menangani BPHTB juga kurang mencukupi dari jumlah maupun kompetensinya.

(6)

dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan (Pasal 1 angka 43 UU PDRD).

Menurut Pasal 85 ayat (1) UU PDRD, objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang meliputi pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah serta pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak (Pasal 85 ayat (2) UU PDRD). Hak atas tanah yang di maksud pada ayat (1) adalah : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan (Pasal 85 ayat (3) UU PDRD).

Menurut Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak, yaitu sebagai berikut :

1. Pewarisan tanpa wasiat

menurut hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal, maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya.

2. Pemindahan hak

(7)

bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. bentuk pemindahan haknya dapat berupa :

a. Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak atau dari kakek-nenek kepada cucu atau dari adik kepada kakak atau sebaliknya kakak kepada adiknya dan lain sebagainya.

b. Hibah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain. c. Jual beli yaitu tanah tersebut dijual kepada pihak lain.

d. Pemasukan dalam perseroan yang menyebabkan hak atas tanahnya berubah menjadi atas nama perseroan dimana seseorang tersebut menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan tersebut.

e. Pelepasan hak, dilakukan karena calon pemegang hak yang akan menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah bukan orang atau pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah yang akan di alihkan tersebut, sebagai contoh tanah yang akan dilalihkan kepada suatu Badan Hukum Indonesia adalah tanah dengan status hak milik, ini tidak bisa di lakukan karena Badan Hukum Indonesia bukanlah subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah dengan status hak milik.

(8)

g. Peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan yang menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang merupakan asset perseroan yang di ambil alih tersebut.

Waris adalah suatu perbuatan hukum dimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu dia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.11

Sedangkan hibah wasiat, menurut pasal 957 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Hibah wasiat atau Legaat adalah suatu testament di mana ditunjuknya orang tertentu yang akan menerima suatu barang apabila pewaris meninggal dunia.12 Hibah Wasiat dan Hibah adalah hal yang berbeda. Hibah adalah pemberian secara cuma-cuma yang dilakukan semasa seseorang tersebut masih hidup dan berlaku secara efektif sejak di lakukannya hibah. Sedangkan hibah wasiat adalah sebagaimana yang telah di uraikan tersebut diatas. Pemberlakuannya secara efektif setelah si pemberi hibah wasiat tersebut meninggal dunia. Hibah wasiat di buat dalam bentuk surat wasiat. Surat wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang di

11

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung : Sumur,1991), hlm.13

12

(9)

kehendakinya agar terjadi setelah dia meninggal dunia dan yang olehnya dapat di cabut kembali (pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Adapun cara untuk menghitung BPHTB menurut UU PDRD adalah sebagai berikut :

BPHTB = Tarif x NPOPKP

= Tarif x (NPOP – NPOPTKP)

Tarif, sebagaimana yang dimaksud di atas, menurut UU PDRD Pasal 88 ayat (1) ditetapkan paling tinggi sebesar 5%. NPOPKP adalah nilai perolehan objek pajak kena pajak yang dihasilkan dari pengurangan NPOP dengan NPOPTKP. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. NPOP berdasarkan pasal 87 ayat (1) UU PDRD adalah harga transaksi. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (Pasal 87 ayat (3) UU PDRD).

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah suatu jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan NPOPTKP terdapat didalam Pasal 87 ayat (4) dan (5) UU PDRD. Besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah), dengan ketentuan sebagai berikut :

(10)

hibah wasiat, termasuk suami dan istri, ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000.

b. Selain poin a, ditetapkan paling rendah Rp. 60.000.000

Perbedaan besarnya NPOPTKP tersebut untuk besaran NPOP yang sama akan mempengaruhi besarnya nilai perolehan objek pajak kena pajak (NPOPKP) yang selanjutnya akan mengakibatkan perbedaan besarnya beban BPHTB yang akan di tanggung oleh wajib pajak. Hal ini tentu saja akan berdampak pada prinsip keadilan yang harus dipegang teguh dalam pemungutan pajak.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Aspek Hukum Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari apa yang telah dikemukakan pada latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perbedaan besarnya NPOPTKP dalam menghitung BPHTB terutang untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat?

(11)

3. Bagaimana pemenuhan asas kepastian hukum tentang pengurangan BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perbedaan besarnya NPOPTKP dalam menghitung BPHTB terutang untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat. 2. Untuk mengetahui pemenuhan azas keadilan dalam menetapkan besarnya

NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dan bukan waris dan hibah wasiat. 3. Untuk mengetahui pemenuhan azas kepastian hukum tentang pengurangan

BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis

1. Secara Teoritis

(12)

a. Penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa kenotariatan, dan praktisi hukum sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam menjalankan tugas.

b. Penelitian ini juga di harapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai analisis aspek hukum perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat dalam BPHTB.

E. Keaslian Penelitian

(13)

a. Bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atas Hibah Wasiat?

b. Bagaimana azas kepastian hukum dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap hibah wasiat pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009?

c. Bagaimana azas keadilan dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap hibah wasiat pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009?

Dan juga Dyah Purworini Widhyarsi, SH, NIM B4B006107, Magister Kenotariatan Univeristas Diponegoro, Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Hibah Wasiat Di Jakarta Barat, dengan perumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat? b. Kendala-kendala apa yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat?

(14)

Apabila pencarian dilakukan dengan menggunakan kata kunci aspek hukum perbedaan besar NPOPTKP dalam BPHTB, maka hasil yang didapat pada website resmi perpustakaan Universitas Sumatera Utara (http://repository.usu.ac.id/) dan perpustakaan lainnya tidak ditemukan penelitian dengan kajian tersebut. Ini dapat menjadi bukti bahwasanya penelitian ini bukan plagiat atau duplikasi dari penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori Dan Konsep

1. Kerangka Teori

Menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, teori berasal dari bahasa latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam semua literature beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis.13

Teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk merangkum serta memahami masalah dengan lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakannya.14

13H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto,Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali,(Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), hlm 21.

(15)

Kerangka teori atau landasan teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahannya (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidaknya, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15

Kerangka teori ini dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landansan filosofinya.16 Kerangka teori yang di gunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada teori keadilan dan kepastian hukum, khususnya keadilan dan kepastian hukum dari aspek legal perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat dalam BPHTB.

Keadilan menurut Rawls adalah suatu kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam system pemikiran.17 John Rawls dalam bukunya a theory of justicemenjelaskan teori keadilan sosial sebagaithe difference principledan

the principle of fair equality of opportunity. Intinya adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.18

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,

15

M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Madju, 1994), hlm 80.

16

Ibid

17

John Rawls,A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2006) .hlm .3.

18

(16)

yang pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Yang kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dengan demikian prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung.

Menurut Radbruch hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus di jaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif harus selalu ditaati, walaupun kalau isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehinga tata hukum itu tampak tidak adil pada saat tata hukum itu boleh dilepaskan.19

Kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Ada beberapa hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :20

a. Hukum itu positif artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht)

19Theo Hujibers,Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm 163 20 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(17)

b. Hukum itu di dasarkan pada fakta, bukan suatu perumusan tentang penilaian yang nanti akan di lakukan oleh hakim, seperti kemauan baik atau kesopanan.

c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam permaknaan, disamping itu juga mudah dijalankan. d. Hukum positif tidak boleh sering diubah-ubah.

Tanpa kepastian hukum, orang tidak tahu apa yang harus di perbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adanya keadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “Lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).21

Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak bertujuan untuk mendorong adanya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan secara umum dan merata. Prinsip tersebut mengawali setiap proses penyusunan perangkat perundang-undangan perpajakan maupun dalam implementasinya. Prinsip umum dan merata ini merupakan parameter dari aspek keadilan dalam pemungutan pajak.

Dalam perpajakan dikenal dua macam keadilan, yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut cakupan pengertian penghasilan,

21

(18)

sedangkan keadilan vertikal berkenaan dengan struktur tarif pajak. Dengan demikian tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara Wajib Pajak, artinya terkait dengan pajak setiap orang mendapat perlakuan adil.

Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya juga akan di kembalikan kepada rakyat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis pajak apa saja yang akan dipungut serta berapa besarnya pemungutan pajak. Proses persetujuan rakyat dimaksud tentunya hanya dapat di lakukan dengan suatu undang-undang, karena mengacu pada Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dan sebaliknya, bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut perampokan.

(19)

Kepastian hukum merupakan tujuan setiap undang-undang pajak. Dalam pembuatannya harus diupayakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang pajak, jelas, tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk di tafsirkan lain. Kepastian hukum banyak tergantung pada susunan kalimat, kata, dan penggunaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan. Lebih lanjut asas kepastian berarti dalam pemungutan pajak harus ada kepastian hukum mengenai subjek, objek, tarif, mekaninsme pemungutan, sanksi administrasi, dan sanksi pidana. Intinya hukum pajak harus memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun wajib pajak.22

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep-konsep-konsep tersebut adalah dengan membuat definisi. Definisi merupakan suatu perngertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah dan definisi bertitik tolak pada referensi.23

Pemakaian konsep terhadap istilah yang di gunakan terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian. Konsepsi ini bertujuan untuk

22

Marihot Pahala Siahaan,Hukum Pajak Elementer. Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hlm 56

23

(20)

menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Pajak Pusat.

Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini di selenggarakan oleh Direktorat Pajak dan hasilnya digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.24

b. Pajak Daerah.

Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, ada konstribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (10)

c. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak atas Perolehan hak atas tanah dan bangunan. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (41)

d. Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh

24

(21)

orang pribadi atau badan. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (42)

e. Subjek Pajak BPHTB.

Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak. (UU Nomor 28 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (44)

f. Wajib Pajak BPHTB.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (45)

g. Pajak Yang Terutang.

Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus di bayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (48) h. Waris.

Waris adalah suatu perbuatan hukum di mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta kekayaan seseorang pada saat dia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup atau keturunannya.

(22)

Hibah Wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang-barangnya bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. (Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 957)

j. Objek Pajak BPHTB.

Objek pajak adalah sesuatu yang dikenakan pajak atau dapat di artikan sebagai sasaran pengenaan pajak BPHTB

k. Nilai Perolehan Objek Pajak.

Nilai Perolehan Objek Pajak adalah harga transaksi dan nilai pasar l. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah nilai pengurangan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebelum dikenakan tarif BPHTB.

m. Perbedaan Besar NPOPTKP.

Perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat sekurang-kurangnya Rp. 300.000.000 dan NPOPTKP untuk bukan waris dan hibah wasiat sekurang-kurangnya Rp. 60.000.000.

n. Nilai Jual Objek Pajak.

(23)

pengganti. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (40)

G. Metode Penelitian.

Metode penelitian ilmiah pada hakikatnya merupakan operasionalisasi dan metode keilmuan, dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan.25 Metode menyangkut masalah kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.26 Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenal cara bekerja pikiran, sedangkan berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.27Dengan demikian metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah dengan menggunakan metode :

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum doctrinal yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian,

25Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung : CV. Bandar Maju, 2008), hlm 15

26Koentjaraningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1997), hlm 16

(24)

meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.28

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan undang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.29 Sedangkan pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan mengkaji latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.30

2. Data Penelitian

Sumber bahan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau bahan non hukum.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan, terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

28 Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang : UMM Press, 2009), hlm 127

29Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,(Jakarta : Kencana, 2009), hlm 93

30 Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan

(25)

3. Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997, tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

4. Undang Nomor 20 tahun 2000, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997, tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

5. Peraturan pemerintah Nomor 111 tahun 2000, tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat.

6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.91/PMK.03/2006 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang terdiri dari buku-buku teks yang ditulis oleh hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yuriprudensi, dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.31 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan dengan perpajakan.

31

(26)

c. Bahan Hukum Tertier, adalah bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia.32

3. Teknik Pengumpulan Penelitian

Teknik pengumpulan bahan penelitian yang digunakan adalah :

a. Studi Kepustakaan atau Dokumentasi, yaitu dengan menelaah bahan-bahan hukum kepustakaan yang terkait dengan permasalahan yang diajukan untuk meneliti lebih jauh, guna memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

b. Penelitian Lapangan, yaitu meneliti dengan melakukan wawancara secara langsung dengan informan-informan yang berkaitan dengan perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat dalam BPHTB.

4. Analisis Hasil Penelitian

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah pengumpulan dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif yaitu dengan melakukan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum yang terkait tentang permasalahan yang telah diteliti. Karena penelitian ini normatif,

32

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dinyatakan bagus / lolos uji penge- cekan struktur material, maka material uji hasil proses pelapisan arc sprayed dilanjutkan ke pengu- jian kekerasan material

Setelah berhasil dengan pembahasan diatas maka anda dapat membuat sebuah halaman lagi yang digunakan untuk melakukan pemasukan data-data propinsi, agar tidak mempersulit maka

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur cacing dan perilaku anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung Pengambilan sampel secara

Hasil penelitian menunjukkan proses produksi sayuran wortel, dilakukan melalui pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan panen.Para petani telah berpengalaman dalam

Majelis hakim yang memimpin persidangan dengan perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah melihat bukti-bukti perjanjian-perjanjian

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : (1) pola pembelajaran ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi merupakan metode

Perubahan konduktivitas pada Gambar 9 menunjukkan bahwa sampel TiO 2 100% memiliki nilai konduktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sampel-sampel

Pengaruh volum jamur yang digunakan terhadap persentase asam sitrat yang dihasilkan dari buah markisa manis sama dengan pengaruh pada buah markisa kuning. Tetapi