BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abad 21 atau sering disebut dengan abad informasi, memberikan ruang bagi Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) untuk mengubah wajah dunia karena
hampir seluruh aktivitas mulai dari aktivitas personal hingga pemerintah tidak lepas dari pemanfaatan,
pemberdayaan dan pengimplementasian TIK (Jurnal
Kajian Lemhannas RI, 2013). Dengan semakin besarnya pengaruh TIK terhadap kehidupan manusia kemudian
muncul istilah masyarakat informasi. Ratna et al. (2004)
menyebutkan bahwa pada masyarakat informasi semua
kegiatan hampir tidak lepas dari komputer dan telekomunikasi karena informasi menjadi suatu hal yang
sangat penting.
Perkembangan TIK tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat umum karena dewasa ini hampir semua
instansi pemerintah maupun swasta telah melakukan
modernisasi dalam pelayanan dan pengelolaan data menggunakan sistem komputerisasi. Menurut Bank
Dunia (dalam Ratna et al., 2004) pemanfaatan TIK di
lingkungan instansi pemerintah atau yang sering disebut e-government dimaksudkan untuk mendukung pelayanan
pemerintah dengan bisnis dan industri, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam peningkatan
efisiensi manajemen pemerintah.
Salah satu instansi pemerintahan yang gencar melakukan modernisasi yaitu Direktorat Jenderal Pajak
(DJP). Bagi pemerintah Indonesia, pajak merupakan
sumber utama penerimaan negara di mana berdasarkan APBN tahun 2013 penerimaan pajak menyumbang
73,23% dan tahun 2014 menyumbang 76,19% dari total
pendapatan negara (www.pajak.go.id). Data tersebut menunjukkan bahwa pajak memiliki peran yang sangat
penting sehingga kesinambungan penerimaan negara dari
sektor pajak sangat diperlukan (Hutagaol, Winarno &
Pradipta, 2007).
DJP sebagai instansi yang mengelola perpajakan
terus berupaya melakukan perbaikan sistem tata kelola
perpajakan guna memberikan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan visinya yaitu Menjadi institusi pemerintah
penghimpun pajak negara yang terbaik di wilayah Asia
Tenggara . Seperti yang diungkapkan Wilkinson dan Cerullo (1997), pembaruan sistem informasi yang berbasis
komputer dapat melakukan fungsinya secara lebih cepat
dan tepat, serta pemrosesan data akan lebih murah bila
dibandingkan dengan sistem manual. Dalam hal ini, DJP telah melakukan modernisasi dalam penyampaian Surat
DJP melalui media elektronik seperti pelaporan pajak secara elektronik melalui e-filing, pendaftaran Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui e-registration, dan
pembayaran secara online dengan e-billing yang dapat diakses melalui www.pajak.go.id.
Penggunaan teknologi komputerisasi dalam
pengolahan sistem perpajakan merupakan sebuah cara
untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak karena sebuah organisasi perlu melakukan perbaikan pelayanan
agar dapat berkembang lebih baik (Kreiter & Kinicki,
2014:273). Sistem online menurut Doly (2014) memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam
melaporkan SPT dengan biaya yang lebih murah, proses
yang lebih cepat, lebih akurat karena Wajib Pajak merekam sendiri SPTnya, lebih transparan dan dapat
meminimalisasi segala kecurangan, kebocoran dan
penyimpangan dalam penerimaan pajak. Pendapat
Saraswati dan Kiswara (2013) tentang keuntungan sistem elektronik yaitu dapat menghemat biaya administrasi
laporan pajak menggunakan kertas(paperless).
Akan tetapi, hadirnya teknologi sebagai upaya memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak mengharuskan
para pegawai untuk dapat bekerja lebih cepat dan lebih
efisien. Tjhai (2003) mengemukakan, agar TI dapat dimanfaatkan secara efektif maka pegawai harus dapat
penting bagi setiap anggota untuk mengerti kegunaan sistem tersebut sehingga dapat memberikan kontribusi
terhadap hasil kerjanya. Dengan kata lain penggunaan
sistem elektronik perlu diimbangi dengan manajemen yang baik dan disertai dengan fasilitas yang memadai
untuk meminimalisir munculnya kesulitan yang dapat
menghambat pekerjaan para pegawai atau bahkan bisa memicu terjadinya stres.
Ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi
dengan teknologi komputer sehingga menimbulkan dampak negatif bagi pengguna dikenal dengan
technostress. Istilah technostress pertama kali
diperkenalkan oleh Brod pada tahun 1984 dan mulai
populer di era 90-an ketika manusia mulai menggunakan teknologi komputer untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Menurut Wang (2008) dan Sinha (2012), technostress
merupakan perasaan cemas yang berhubungan dengan penggunaan teknologi sehingga menimbulkan dampak
negatif terhadap pikiran, perilaku, sikap dan kondisi
tubuh seseorang.
Menurut Tarafdar et al. (2007), Ragu-Nathan et al.
(2008), dan Norulkamar et al. (2014) ada lima faktor yang
menyebabkan terjadinya technostress, yaitu:
techno-overload di mana para pegawai merasakan bahwa beban pekerjaan mereka menjadi semakin banyak,
dengan pekerjaan mereka dimanapun dan kapanpun, techno-complexity di mana para pegawai merasa bahwa
kemampuan mereka tidak sesuai dengan perkembangan
teknologi, techno-insecurity di mana para pegawai merasa takut jika pekerjaan mereka akan digantikan oleh
teknologi yang semakin canggih atau orang lain yang lebih
menguasai teknologi dan techno-uncertainty di mana para
pegawai merasa tidak nyaman karena teknologi yang digunakan selalu berubah.
Stres yang diakibatkan karena penggunaan
teknologi jika terus dibiarkan akan berpengaruh terhadap kondisi pegawai. Berdasarkan penelitian Weill dan Rosen
(1997) teknologi dapat menimbulkan perubahan terhadap
perilaku, pemikiran dan sikap baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal jika kondisi pegawai
tidak baik maka akan berpengaruh terhadap kinerja
mereka. Sedangkan bagi organisasi, kinerja pegawai merupakan salah satu hal yang penting untuk mencapai
tujuannya (Hameed & Waheed, 2011).
Rivai (2004:307) berpendapat, salah satu faktor
utama dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai yaitu dengan adanya dukungan organisasi yang optimal.
Bentuk dukungan yang dapat dilakukan organisasi
menurut Mathis dan Jackson (2001:84) diataranya dengan pemberian pelatihan untuk meningkatkan
dukungan berupa peralatan kerja yang memadai sehingga para pegawai dapat bekerja lebih efektif dan efisien.
Menurut John (2007) keberhasilan suatu organisasi salah
satunya dipengaruhi dengan adanya pegawai yang mampu dan terampil serta mempunyai semangat kerja
yang tinggi sehingga dapat diharapkan suatu hasil kerja
yang memuaskan.
Beberapa penelitian tentang technostress
menunjukkan bahwa technostress menimbulkan berbagai
dampak negatif baik bagi individu maupun bagi
organisasi. Hasil penelitian Akhtari et al. (2013); Okebaram dan Moses (2013); Suharti dan Susanto (2014)
menyebutkan dampak negatif bagi individu dan organisasi
seperti terjadinya gangguan kesehatan, terjadinya psychological distress, meningkatnya kesalahan yang
dilakukan pegawai, dan meningkatkan jumlah
ketidakhadiran pegawai yang pada akhirnya semua itu akan menurunkan kinerja pegawai. Oleh sebab itu
technostress yang terjadi harus segera diminimalisir agar
tidak mengganggu kinerja pegawai.
Tiemo dan Ofua (2010) menyebutkan bahwa untuk meminimalisir technostress yang terjadi, pihak organisasi
perlu memberikan dukungan berupa penyediaan software
dan hardware yang user friendly sehingga mudah digunakan oleh para pegawai, menyediakan training
menyediakan teknisi IT dan troubleshooter jika terjadi permasalahan dengan teknologi atau perangkat yang
digunakan. Lebih lanjut penelitian Ayyagari (2012)
menunjukkan bahwa semakin sesuai teknologi yang digunakan maka akan semakin menurunkan technostress
yang terjadi.
Penelitian tentang technostress telah dilakukan
diantaranya tentang faktor penyebab terjadinya technostress oleh Akhtari et al. (2013); Ayyagari (2012;
Prabhakaran dan Mishra (2012); Tiemo dan Ofua (2010),
dan Ragu-Nathan et al. (2008). Penelitian tentang dampak technostress dilakukan oleh Suharti dan Susanto (2014;
Norulkamar et al. (2009). Berbeda dari penelitian
sebelumnya, penelitian ini menguji apakah faktor penyebab technostress berdampak pada kinerja pegawai?
Penelitian ini juga akan menguji faktor dukungan
organisasi yang dipergunakan sebagai variabel moderasi
yang bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya dalam memperkuat atau memperlemah dampak faktor penyebab
technostress terhadap kinerja pegawai.
1.2 Rumusan Masalah
Berbagai terobosan dalam bidang teknologi informasi apabila tidak dikelola dengan baik maka akan
pegawai. Berdasarkan hal tersebut maka masalah penelitian yang dirumuskan adalah:
1. Apakah faktor techno-overload berpengaruh negatif
terhadap kinerja pegawai pajak?
2. Apakah faktor techno-invasion berpengaruh negatif
terhadap kinerja pegawai pajak?
3. Apakah faktor techno-complexity berpengaruh negatif
terhadap kinerja pegawai pajak?
4. Apakah faktor techno-insecurity berpengaruh negatif
terhadap kinerja pegawai pajak?
5. Apakah faktor techno-uncertainty berpengaruh negatif terhadap kinerja pegawai pajak?
6. Apakah dukungan organisasi mampu meminimalisir
dampak dari faktor penyebab technostress terhadap kinerja pegawai pajak?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh variabel techno-overload
terhadap variabel kinerja.
2. Menganalisis pengaruh variabel techno-invasion terhadap variabel kinerja.
3. Menganalisis pengaruh variabel techno-complexity
terhadap variabel kinerja.
5. Menganalisis pengaruh variabel techno-uncertainty terhadap variabel kinerja.
6. Menganalisis pengaruh variabel dukungan organisasi
terhadap variabel faktor penyebab technostress dan variabel kinerja pegawai.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu manajemen
sumber daya manusia khususnya tentang mengelola
stres yang dialami pegawai akibat perubahan teknologi.
2. Agar para pegawai pajak yang mengalami kesulitan
bekerja dengan serbuan teknologi dapat mengetahui dan memahami stres yang mungkin dialami dengan
mengetahui gejala-gejalanya serta faktor apa saja
yang menjadi penyebab technostress sehingga dapat
melakukan upaya pencegahan.
3. Memberikan masukan kepada pimpinan terhadap
potensi terjadinya technostress sehingga instansi