https://kynomoto.wordpress.com/art/
Profil guru
PROFIL GURU YANG IDEAL
Bagaimana sebenarnya sosok guru yang ideal itu?. Banyak di antara kita mungkin masih bingung atau rancu dengan istilah guru yang ideal. Kalau menurut saya, profil guru ideal dapat diartikan dengan melihat berbagai sudut pandang yang berbeda. Secara konseptual guru yang diharapkan adalah sosok guru yang ideal diidamkan oleh setiap pihak yang terkait. Berikut akan dijabarkan profil guru yang ideal dilihat dari berbagai sudut pandang:
1. Dilihat dari sudut pandang siswa, guru ideal adalah guru yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi belajar, sumber keteladanan, ramah dan penuh kasih sayang. Guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan. Kalau kita mencermati kata keteladanan, kita pasti ingat dengan istilah guru yaitu digugu lan ditiru. Maksudnya, seorang guru seyogyanya harus dapat menjadi teladan, memberi contoh yang baik bagi murid-muridnya dan lingkungan masyarakat pada umumnya. Sebagai teladan guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur bagi anak didik dan masyarakat. Guru ideal adalah guru yang tidak materialistis. Artinya guru dalam perlakuannya terhadap anak didik tidak membedakan murid yang kaya dan miskin. Selain itu guru juga tidak pilih kasih dan obyektif dalam segala hal, dapat menjawab pertanyaan secara gamblang, jelas dan mudah diterima. Guru dalam penampilannya rapi, tidak lusuh, tapi juga tidak terlalu berlebihan sehingga murid merasa nyaman saat melihatnya. Sedikit saja guru berbuat yang tidak baik atau kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri.
2.Dari sudut pandang orang tua, guru yang diharapkan adalah sosok yang dapat menjadi mitra pendidik bagi siswa. Di sini orang tua memiliki harapan pada guru agar mereka dapat menjadi orang tua kedua di sekolah. Selain itu, guru ideal bagi orang tua yaitu guru yang dapat berkomunikasi baik dengan orang tua mengenai perkembangan prestasi belajar anak didik dan juga dapat memberikan solusi atau jalan keluar bagi anak didik yang mengalami masalah atau problem dalam belajar, sosialisasi dengan teman, adaptasi dengan lingkungan dan juga masalah perkembangan anak. Orang tua merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat akan melihat dan menilai perbuatan guru, bagaimana guru meningkatkan kualitas layanan pendidikannya dan bagaimana guru memberi arahan serta dorongan kepada peserta didiknya.
3. Sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah, guru yang ideal yaitu guru yang dapat dituntut untuk profesional dan proposional sebagai unsur penunjang kebijakan pemerintah terutama di bidang pendidikan. Guru yang profesional adalah guru yang dapat menempatkan dirinya pada profesinya. Guru adalah orang yang profesional, artinya secara formal mereka disiapkan oleh lembaga atau institusi pendidika yang berwenang. Mereka dididik secara khusus memperoleh kompetensi sebagai guru, yaitu meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian, serta pengalaman dalam bidang pendidikan. Kompetensi mengacu pada kemampuan menjalankan tugas-tugas pelayanan pendidikan secara mendiri. Kemampuan yang dimaksud berbentuk perbuatan nampak, yang dapat diamati, dan dapat diukur. Perbuatan yang nampak tersebut didasari antara lain oleh pengetahuan, asas, konsep, prosedur, teknik, keputusan, pertimbangan, wawasan, sikap serta sifat-sifat pribadi. Selain itu dilihat dari tingkat pengetahuan, guru hendaknya memiliki wawasan yang luas, mampu menguasai semua metode pembelajaran yang secara psikologis dapat diterima muridnya. Seorang guru mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Guru tidak hanya dituntut mampu melakukan transformasi seperangkat ilmu pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek keterampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengajarkan dan mendidik hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain).
4. Dari segi budaya, guru merupakan subyek yang berperan dalam proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam pelestarian nilai-nilai budaya. Hal ini berarti, guru yang ideal adalah guru yang dapat mewariskan dan menjaga nilai budaya bangsa kepada anak didiknya. Dan secara otomatis guru tersebut hendaknya dalam dirinya juga tertanam nilai-nilai budaya bangsa yang luhur. Seorang guru dalam memberikan ilmu kepada muridnya , dituntut untuk memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadinya. Dengan kata lain, seorang guru harus konsekuen serta konsisten dalam menjaga keharmonisan antara ucapan, larangan, dan perintah dengan amal perbuatannya sendiri.
oleh lima unjuk kerja, yaitu keinginan berperilaku standar ideal, memelihara profesi, mengembangkan profesionalitas serta meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilannya, mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta bangga terhadap profesinya. Semua penampilan itu dapat terwujud apabila didukung kompetensi yang meliputi kompetensi intelektual, sosial, pribadi, moral-spiritual, fisik, dan sebagainya.
Profil guru profesional telah ada rambu-rambunya diantaranya memiliki kualifikasi pendidikan S-1. Memiliki kompetensi pendidik yaitu (1) Kompetensi pedagogis (pemahaman tentang peserta didik, perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran). (2) Kompetensi Kepribadian (memiliki kepribadian mantap dan stabil, dewasa, arif, dan berakhlak mulia). (3) Kompetensi Profesional (menguasai keilmuan bidang studi yang diampunya, mampu menelaah secara kritis, kreatif dan inovatif). (4) Kompetensi Sosial (mampu berkomunikasi dan bergaul dengan peserta didik, kolega, dan masyarakat dengan baik).
Profil pendidikan nilai
ecara lebih rinci pendidikan dan nilai bisa mempunyai makna sendiri-sendiri, namun
jika disatukan maka akan muncul beberapa definisi tentang pendidikan nilai
(Mulyana, 2004), ini berarti makna pendidikan nilai, memicu banyak arti dan
pengertian. Satraprateja memberikan definisi pendidikan nilai adalah penanaman
dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang (kaswardi, 1993), sedangkan
Mardimadja (1986) mendifinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap
peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya
secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Kedua pakar ini sepakat bahwa konsep
pendidikan nilai bukanlah kurikulum tersendiri yang diajarkan lewat beberapa mata
kuliah akan tetapi mencakup seluruh proses pendidikan (Mulyana,2004). Pendidikan
nilai adalah ruh pendidikan itu sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan nilai
akan muncul dengan sendirinya. Pendidikan nilai adalah nilai pendidikan(Sukanta,
2007).
Harniati Aras,
http://harniatiaras.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-pendidikan-nilai.html
Tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk
membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis
sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya.
Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat
menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus
masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya.
Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah
menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan
bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan
nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.
Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai
pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai.
Sementara Winecoff (1988:1-3) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan nilai adalah
sebagai berikut:
Purpose of Values Education is process of helping students to explore exiting
values through critical examination in order that they might raise of improve the quality of their
thinking and feeling.
Bagaimana keterkaitan antara sikap dengan nilai? Nilai yang dimiliki seseorang dapat
mengekspresikan mana yang lebih disukai mana yang tidak disukai. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa nilai menyebabkan sikap. Nilai merupakan faktor penentu bagi pembentukan
sikap. Tetapi jelas bahwa sikap seseorang ditentukan oleh banyak nilai yang dimiliki oleh
seseorang.
Pena Cilik, http://penonme.blogspot.co.id/2015/04/makalah-pendidikan-nilai.html
Definisi Pendidikan Nilai
Kohlberg et al. (Djahiri, 1992: 27) menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective component & experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan atau transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral control).
Sedangkan menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas tentang Pendidikan Nilai maka minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi, yakni: identification of a core of personal & social values, philosopy and rational inquiry into the core, and decision making related to the core based on inquiry and response. Ia juga mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi.
Dahlan (2007:5) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Sementara itu, Soelaeman (1987: 14) menambahkan bahwa Pendidikan Nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik. Senada dengan hal di atas, Hasan (1996: 250) memiliki persepsi bahwa Pendidikan Nilai merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut, fakta dan data keterampilan antara suatu atribut dengan atribut yang lainnya serta memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman, penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku, pembentukan wawasan dan kebiasaan terhadap nilai dan moral.
Adapun Sumantri (1993: 16) beliau memahami Pendidikan Nilai sebagai suatu aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, karena “penentuan nilai” merupakan suatu aktivitas penting yang harus kita pikirkan dengan cermat dan mendalam. Maka hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan nilai-moral individu dan masyarakat.
E. Tujuan Pendidikan Nilai
Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah:
“to help individual think about and reflect on different values and the practical implications of expressing them in relation to them selves, other, the community, and the world at large, to inspire individuals to choose their own personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical methods for developing anf deepening them”.
Lorraine (1996: 9) pun berpendapat:
“in the teaching learning of value education should emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing and practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and as a member of society”.
Adapun tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya. Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya.
Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.
Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994).