GUBERNUR JAWA T ENGAH
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH
NOMOR 8 TAHUN 2013
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TENGAH,
Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan perhubungan merupakan salah satu urat nadi perekonomian, yang memiliki peranan penting dalam menunjang dan mendorong pertumbuhan serta pembangunan disegala sektor, yang diselenggarakan secara terpadu melalui keterkaitan antar moda dan intra moda untuk menjangkau dan menghubungkan seluruh wilayah Jawa Tengah;
b. bahwa untuk melaksanakan penyelenggaraan
perhubungan sebagaimana dimaksud huruf a, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Perhubungan dan Telekomunikasi
Provinsi Jawa Tengah dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan;
c. bahwa dengan adanya perkembangan keadaan khususnya
dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, maka Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf b sudah tidak sesuai lagi, oleh karena itu perlu dilakukan peninjauan kembali;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perhubungan Di Provinsi Jawa Tengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang
Pem-bentukan Provinsi Jawa Tengah (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950 hal 86-92);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4444);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4722);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4725);
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4849);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
8. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas di Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4277);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4737, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 );
12. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
13. Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perkeretaapian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5048);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093) ;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang
Angkutan Di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Angkutan Di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang
Perlindungan Lingkungan Maritim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5109);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Manajemen Dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5221 );
19. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011 tentang
Forum Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5229);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang
Kendaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5317);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata
Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan Dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 187, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 5346 );
22. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun
23. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun
2008 tentang Urusan Kewenangan Yang Menjadi
Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 4 Seri E Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 8);
24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun
2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 28);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH
dan
GUBERNUR JAWA TENGAH
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
PERHUBUNGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Menteri adalah Menteri yang membidangi perhubungan.
3. Daerah adalah Provinsi Jawa Tengah.
4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.
6. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah yang
membidangi perhubungan.
7. Kepala Dinas adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi
Jawa Tengah yang membidangi perhubungan.
8. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
9. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/ Kota di
Provinsi Jawa Tengah.
10. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Provinsi Jawa Tengah.
11. Penyelenggaraan Perhubungan adalah penyelenggaraan yang meliputi
perhubungan darat, perhubungan perkeretaapian, perhubungan laut, dan perhubungan udara.
12. Jalan Provinsi adalah jalan Provinsi Jawa Tengah.
13. Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, selanjutnya disingkat Forum
14. Jalan adalah Prasarana Transportasi Darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada dalam permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
15. Kawasan aglomerasi perkotaan adalah kawasan perkotaan yang terdiri
atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dan membentuk sebuah sistem.
16. Manajemen dan rekayasa lalu lintas adalah serangkaian usaha dan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan,
pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
17. Manajemen kebutuhan lalu lintas adalah kegiatan yang dilaksanakan
dengan sasaran meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang lalu lintas dan mengendalikan pergerakan lalu lintas.
18. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian simpul
dan atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
19. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda
dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.
20. Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan jalan yang berupa
lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pengguna jalan.
21. Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau
diatas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.
22. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang
menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan.
23. Kendaraan Bermotor adalah setiap kendaraan kendaraan yang
digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel.
24. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat
ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
25. Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan
jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.
26. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang
menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.
27. Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi
dan awak Kendaraan.
28. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas
Jalan.
29. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berLalu
Lintas.
30. Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan
31. Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan.
32. Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu
lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.
33. Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan
berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.Kendaraan Umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut biaya.
34. Mobil Penumpang adalah kendaraan bermotor angkutan orang yang
memiliki tempat duduk masimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
35. Mobil Bus adalah kendaraan bermotor angkutan orang yang memiliki
tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
36. Angkutan Perkotaan adalah angkutan dari satu tempat ketempat lain
dalam kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah
kabupaten/kota dalam satu provinsi.
37. Angkutan Perdesaan adalah angkutan dari satu tempat ketempat lain
dalam kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah kabupaten dalam satu provinsi.
38. Izin Trayek adalah izin penyelenggaraan angkutan orang dengan
kendaraan bermotor umum untuk angkutan dalam trayek.
39. Izin Operasi adalah izin penyelenggaraan angkutan orang dengan
kendaraan bermotor umum untuk angkutan tidak dalam trayek.
40. Mobil Barang adalah kendaraan bermotor yang dirancang sebagian atau
seluruhnya untuk mengangkut barang.
41. Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi adalah angkutan dari satu kota ke
kota yang lain yang melalui antar daerah Kabupaten/Kota dalam satu daerah Provinsi dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek.
42. Angkutan Perbatasan adalah angkutan kota atau angkutan Perdesaan
yang memiliki wilayah kecamatan yang berbatsan langsung pada Kabupaten atau kota lainnya baik yang melalui satu provinsi maupun lebih dari satu Provinsi.
43. Angkutan khusus adalah angkutan yang mempunyai asal dan atau
tujuan tetap, yang melayani antar jemput penumpang umum, antar jemput karyawan, pemukiman, dan simpul yang berbeda.
44. Trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa angkutan
orang dengan mobil bis, yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak berjadwal.
45. Jaringan Trayek adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi satu
kesatuan jaringan pelayanan angkutan orang.
46. Kereta Api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik
berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.
47. Angkutan Sungai dan Danau adalah Kegiatan angkutan dengan
menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan/atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau.
48. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai
49. Pelayaran adalah satu kesatuan system yang terdiri atas angkutan
diperairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta
perlindungan lingkungan maritim.
50. Angkutan di Perairan adalah Kegiatan mengangkut dan/atau
memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
51. Angkutan Laut adalah Kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya
melayani kegiatan angkutan laut.
52. Angkutan Laut Dalam Negeri adalah Kegiatan angkutan laut yang
dilakukan di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional.
53. Angkutan Laut Khusus adalah Kegiatan angkutan untuk melayani
kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.
54. Angkutan Laut Pelayaran rakyat adalah Usaha rakyat yang bersifat
tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.
55. Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah Perusahaan Angkutan Laut
berbadan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri.
56. Perusahaan Angkutan Laut Asing adalah Perusahaan angkutan laut
berbadan hukum asing yang kapalnya melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dari dan ke pelabuhan luar negeri.
57. Kapal berbendera Indonesia adalah Kapal yang telah didaftarkan dalam
Daftar Kapal Indonesia.
58. Trayek Tetap dan Teratur (Liner) adalah Pelayanan angkutan yang
dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.
59. Trayek Tidak Tetap dan Tidak teratur (Tramper) adalah Pelayanan
angkutan yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur.
60. Stevedoring adalah Pekerjaan membongkar barang dari kapal ke
dermaga/tongkang/truk atau memuat barang dari dermaga
/tongkang/truk ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek darat.
61. Cargodoring adalah Pekerjaan melepaskan barang dari tali/ jala-jala (Ex tackle) di dermaga dan mengangkut dari dermaga ke gudang atau lapangan penumpukan barang atau sebaliknya
62. Receiving/ Delivery adalah Pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat penumpukan di gudang atau lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di pintu gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.
63. Usaha Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarding) adalah
Kegiatan usaha yang ditujukan untuk semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui angkutan darat, kereta api, laut dan/atau udara.
64. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.
65. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah Suatu sistem kepelabuhanan
66. Rencana Induk Pelabuhan Nasional adalah Pengaturan ruang kepelabuhanan nasional yang memuat tentang kebijakan pelabuhan, rencana lokasi dan hierarki pelabuhan secara nasional yang merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan.
67. Rencana Induk Pelabuhan adalah Pengaturan ruang pelabuhan berupa
peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan.
68. Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan yang selanjutnya disingkat DLKr
adalah Wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
69. Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan yang selanjutnya disingkat
DLKp adalah Perairan di sekeliling Daerah Lingkungan Kerja Perairan Pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
70. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi.
71. Pelabuhan Laut adalah Pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani
kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai.
72. Pelabuhan Sungai dan Danau adalah Pelabuhan yang digunakan untuk
melayani angkutan sungai dan danau yang terletak di sungai dan danau.
73. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani
kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antar provinsi;
74. Pelabuhan Pengumpul adalah Pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani
kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muatan angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antar Provinsi.
75. Pelabuhan Pengumpan adalah Pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani
kegiatan angkutan dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.
76. Terminal Khusus adalah Terminal yang terletak di luar Daerah
Lingkungan kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan kepentingan pokoknya.
77. Terminal Untuk Kepentingan Sendiri adalah Terminal yang terletak di
dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.
78. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah Lembaga Pemerintah di
79. Unit Penyelenggaraan Pelabuhan Daerah adalah Lembaga Pemerintah Daerah di Pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi Pengaturan, Pengendalian dan Pengawasan kegiatan kepelabuhanan dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
80. Konsesi adalah Pemberian hak oleh penyelenggara pelabuhan kepada
Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu.
81. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang
digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
82. Kelaiklautan Kapal adalah Keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan penjegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar diperairan tertentu.
83. Keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan
terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
84. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
material, konstruksi, bangunan, permesinan dan pelistrikan, stabilitas tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal yang dibukitikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
85. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal
oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.
86. Nakhoda adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pemimpin
tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
87. Anak Buah Kapal adalah awak kapal selain nakhoda.
88. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh
Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap terpenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
89. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk
mencapai kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu.
90. Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang
mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan.
91. Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat
udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandara.
92. Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal
ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.
93. Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan
94. Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan, atau barang yang tidak bertuan.
95. Persetujuan Terbang (flight Approval) adalah persetujuan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di bidang penerbangan sipil dalam rangka melakukan pengawasan dan pengendalian kapasitas angkutan udara dan/atau hak angkut dan/atau penggunaan pesawat udara.
96. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan Penyidikan terhadap pelanggaran di bidang Perhubungan.
BAB II
ASAS, MAKSUD, DAN TUJUAN
Bagian Kesatu Asas
Pasal 2
Penyelenggaraan perhubungan berasaskan :
a. asas transparansi;
b. asas akuntabel;
c. asas berwawasan lingkungan hidup;
d. asas berkelanjutan;
e. asas partisipatif;
f. asas manfaat;
g. asas efisien dan efektif;
h. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan;
i. asas keterpaduan;
j. asas kemandirian;
k. asas keadilan;
l. asas tegaknya hukum;
m. asas kepentingan umum; dan
n. asas usaha bersama dan kekeluargaan.
Bagian Kedua Maksud dan Tujuan
Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan perhubungan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan perhubungan melalui sistem transportasi yang efektif dan efisien guna mendorong perekonomian Daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pasal 4
Penyelenggaraan perhubungan bertujuan untuk :
b. mewujudkan etika dan berbudaya keselamatan dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, lalu lintas angkutan sungai danau dan penyeberangan, perkeretaapian, perhubungan laut, dan perhubungan udara dan;
c. mewujudkan penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, lalu lintas
angkutan sungai, danau dan penyeberangan, perkeretaapian,
perhubungan laut, dan perhubungan udara.
BAB III RUANG LINGKUP
Pasal 5
(1) Ruang lingkup penyelenggaraan perhubungan, meliputi :
a. perhubungan darat, terdiri dari:
1. lalu lintas dan angkutan jalan;
2. angkutan sungai, danau dan penyeberangan;
b. perkeretaapian;
c. perhubungan laut; dan
e. perhubungan udara.
(2) Penyelenggaraan perhubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terpadu melalui keterkaitan antar moda dan intra moda untuk menjangkau dan menghubungkan seluruh wilayah di Daerah dan antara Daerah dengan daerah lainnya.
BAB IV KEWENANGAN
Bagian Kesatu
Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
Pasal 6
Dalam penyelenggaraan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, Gubernur mempunyai wewenang :
a. menyusun dan menetapkan rencana induk jaringan lalu lintas dan
angkutan jalan provinsi;
b. menetapkan lokasi terminal penumpang Tipe B;
c. mengesahkan rancang bangun terminal penumpang Tipe B;
d. memberikan persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B;
e. menyusun jaringan trayek dan menetapkan kebutuhan kendaraan untuk
angkutan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah Kabupaten/Kota dalam Daerah;
f. menyusun dan menetapkan kelas jalan pada jaringan jalan Provinsi;
g. memberikan izin trayek angkutan antarkota dalam Daerah;
h. menyusun dan menetapkan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan
jalan Provinsi;
i. memberikan izin trayek angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah
pelayanannya melampaui wilayah Kabupaten/Kota dalam Daerah;
j. menetapkan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan
k. memberikan izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melampaui wilayah Kabupaten/Kota dalam Daerah;
l. memberikan izin operasi angkutan dengan tujuan tertentu dan angkutan
di kawasan tertentu yang melampaui wilayah Kabupaten/Kota dalam Daerah;
m. pemberian rekomendasi izin trayek/izin operasi angkutan yang melampaui
wilayah Daerah;
n. penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antarkota dalam Daerah;
o. penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan
penghapusan rambu lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan Provinsi;
p. pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor;
q. penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan Provinsi;
r. penyelenggaraan analisis dampak lalu lintas di jalan Provinsi;
s. penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas
di jalan Provinsi;
t. pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan;
u. pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan;
v. peningkatan jaminan keselamatan dan angkutan jalan;
w. pengawasan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan;
x. membangun dan mewujudkan budaya keselamatan lalu lintas dan
angkutan jalan;
y. pembentukan dan penetapan forum lalu lintas dan angkutan jalan.
Bagian Kedua
Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
Pasal 7
Dalam penyelenggaraan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan, Gubernur mempunyai wewenang :
a. menyusun dan menetapkan rencana umum jaringan penyeberangan
sungai dan danau antar Kabupaten/Kota dalam Daerah;
b. menyusun dan menetapkan rencana umum lintas penyeberangan antar
Kabupaten/Kota dalam Daerah;
c. menetapkan lintas penyeberangan antar Kabupaten/Kota dalam Daerah;
d. melakukan pengadaan kapal sungai, danau dan penyeberangan;
e. penetapan kelas alur pelayaran sungai;
f. pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan;
g. pemetaan alur sungai lintas Kabupaten/Kota dalam Daerah untuk
kebutuhan transportasi;
h. pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan
danau;
i. izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau;
j. penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas
penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan Provinsi;
k. penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar
Kabupaten/Kota dalam Daerah;
l. pengawasan pelaksanaan tarif angkutan sungai danau dan penyeberangan
antar Kabupaten/Kota dalam Daerah yang terletak pada jaringan jalan Provinsi;
m. pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan
antar Kabupaten/Kota dalam Daerah pada jaringan jalan Provinsi;
n. melakukan pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai
o. melakukan pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar Kabupaten/Kota dalam Daerah pada jaringan jalan Provinsi; dan
p. melakukan pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui
angkutan SDP.
q. kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT<7) yang berlayar hanya di
perairan daratan (sungai dan danau) dalam hal pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal;
r. kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT<7) yang berlayar hanya di
laut dalam hal pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal;
Bagian Ketiga Perkeretaapian
Pasal 8
Dalam penyelenggaraan perkeretaapian, Gubernur mempunyai wewenang :
a. menetapkan Rencana Induk Perkeretaapian;
b. melakukan pembinaan dalam :
1. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem
perkeretaapian Provinsi dan perkeretaapian Kabupaten/Kota yang jaringannya melampaui wilayah Kabupaten/Kota dalam satu Daerah;
2. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada
Kabupaten/Kota, pengguna dan penyedia jasa.
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian Daerah.
d. mengusahakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak dilaksanakan
oleh badan usaha prasarana kereta api;
e. penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan
jalurnya melampaui wilayah Kabupaten/Kota dalam Daerah;
f. penetapan jalur kereta api khusus yang jaringannya melampaui wilayah
Kabupaten/Kota dalam Daerah;
g. penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan
pemakai jalan perlintasan;
h. penetapan jaringan pelayanan kereta api antarkota melampaui wilayah
Kabupaten/Kota dalam Daerah;
i. penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui wilayah
Kabupaten/Kota dalam Daerah;
j. penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong
kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasiannya di dalam wilayah Kabupaten/Kota dalam Daerah;
k. izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api
umum untuk pelayanan angkutan antar Kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melampaui Kabupaten/ Kota dalam Daerah; dan
l. penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang
merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah pelayanan angkutan antar Kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melampaui Kabupaten/Kota dalam Daerah.
Bagian Keempat Perhubungan Laut
Pasal 9
Dalam penyelenggaraan perhubungan laut, Gubernur mempunyai wewenang :
a. untuk kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT≥7)
1. pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal tonase kotor sampai dengan 300 (GT 300) sebagai tugas pembantuan kepada Pemerintah Daerah;
2. pelaksanaan pengukuran kapal tonase kotor sampai dengan 300 (GT
300) sebagai tugas pembantuan kepada Pemerintah Daerah;
3. pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal;
4. pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal;
5. pelaksanaan pengukuran kapal;
6. penerbitan pas perairan daratan;
7. pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan;
8. pelaksanaan pemeriksaan konstruksi;
9. pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal;
10. penerbitan sertifikat keselamatan kapal;
11. pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal; dan
12. penerbitan dokumen pengawakan kapal;
b. pengelolaan pelabuhan pengumpan lama;
c. pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh Pemerintah Daerah;
d. rekomendasi penetapan Rencana Induk Pelabuhan utama, dan
pelabuhan pengumpul;
e. penetapan Rencana Induk Pelabuhan Laut pengumpan;
f. rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum;
g. rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus;
h. penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut
pengumpan;
i. penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus pengumpan;
j. penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut
pengumpan;
k. penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus pengumpan;
l. rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan utama;
m. rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan utama;
n. rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan pengumpul;
o. penetapan DLKr/DLKp pelabuhan pengumpan;
p. izin reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan pengumpan;
q. pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan
fasilitas pokok pelabuhan laut pengumpan;
r. penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan
laut pengumpan;
s. izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus
pengumpan;
t. izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus
pengumpan;
u. penetapan pengumpan (regional);
v. penetapan terminal di pelabuhan pengumpan;
w. rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar
negeri;
x. izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili
dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar Kabupaten/Kota dalam Daerah;
y. izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan
beroperasi pada lintas pelabuhan antar Kabupaten/Kota dalam Daerah, pelabuhan antar Provinsi dan internasional (lintas batas);
z. pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut
nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan antar Kabupaten/Kota dalam Daerah;
aa. pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat
yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan antar
bb. pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi;
cc. pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur (liner) dan
pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi
perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas
pelabuhan antar Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi dan
internasional (lintas batas);
dd. memberikan izin usaha tally di pelabuhan;
ee. memberikan izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal;
ff. memberikan izin usaha ekspedisi/freight forwarder;
gg. memberikan izin usaha angkutan perairan pelabuhan;
hh. memberikan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan
penunjang angkutan laut;
ii. memberikan izin usaha depo peti kemas.
Bagian Kelima Perhubungan Udara
Pasal 10
Dalam penyelenggaraan perhubungan udara, Gubernur mempunyai
wewenang :
a. melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin usaha
angkutan udara niaga dan melaporkan kepada Pemerintah;
b. pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin kegiatan angkutan udara
dan melaporkan kepada Pemerintah;
c. pemantauan pelaksanaan kegiatan jaringan dan rute penerbangan serta
melaporkan kepada Pemerintah;
d. mengusulkan rute penerbangan baru ke dan dari Daerah;
e. pemantauan pelaksanaan persetujuan rute penerbangan dan melaporkan
kepada Pemerintah;
f. pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan penambahan atau
pengurangan kapasitas angkutan udara dan melaporkan kepada Pemerintah;
g. pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA yang
dikeluarkan oleh Pemerintah dan melaporkan kepada Pemerintah;
h. persetujuan izin terbang perusahaan angkutan udara tidak terjadual antar
Kabupaten/Kota dengan pesawat udara di atas 30 (tiga puluh) tempat duduk dan melaporkan kepada Pemerintah;
i. pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang perusahaan
angkutan udara non berjadual antar Kabupaten/Kota dalam Daerah dengan pesawat udara di atas 30 (tiga puluh) tempat duduk dan melaporkan ke Pemerintah;
j. pemantauan terhadap pelaksanaan tarif angkutan udara (batas atas) dan
tarif referensi angkutan udara dan melaporkan kepada Pemerintah;
k. pemantauan terhadap personil petugas pengamanan operator
penerbangan dan personil petugas pasasi dan melaporkan kepada Pemerintah;
l. pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan general sales agent dan
melaporkan kepada Pemerintah;
m. pemberian izin ekspedisi muatan pesawat udara;
n. pemberian arahan dan petunjuk terhadap kegiatan ekspedisi muatan
pesawat udara;
o. pemantauan, penilaian dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan
kegiatan ekspedisi muatan pesawat udara dan melaporkan kepada Pemerintah;
r. pengusulan bandar udara yang terbuka untuk angkutan udara dari dan ke luar negeri disertai alasan dan data pendukung yang memadai kepada Pemerintah;
s. pemberian rekomendasi penetapan bandar udara umum;
t. pemantauan terhadap keputusan penetapan lokasi bandar udara umum
dan melaporkan kepada Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/otoritas bandar udara;
u. pemberian rekomendasi penetapan/izin pembangunan bandar udara
umum yang melayani pesawat udara lebih dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) tempat duduk;
v. pemantauan terhadap penetapan/izin pembangunan bandar udara umum
yang melayani pesawat udara lebih dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) tempat duduk dan melaporkan kepada Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/otoritas bandar udara;
w. pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin pembangunan bandar
udara khusus yang melayani pesawat udara lebih dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) tempat duduk dan melaporkan kepada Pemerintah;
x. pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengatur pesawat udara di
apron, pertolongan kecelakaan penerbangan pemadam kebakaran
(PKP-PK), salvage, pengamanan bandar udara dan Ground Support Equipment
(GSE), pada bandar udara yang belum terdapat kantor
administrasi/otoritas bandar udara;
y. pemantauan terhadap personil teknik bandar udara dan melaporkan
kepada Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/otoritas bandar udara;
z. pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan bandar udara internasional
dan melaporkan kepada Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/ otoritas bandar udara;
aa. pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara lebih dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) tempat duduk dan melaporkan kepada Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/otoritas bandar udara;
bb. izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara dengan kapasitas kurang dari 30 (tiga puluh) tempat duduk dan ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan dan terletak dalam 2 (dua) Kabupaten/Kota dalam Daerah, sesuai dengan batas kewenangan wilayahnya;
cc. pemberitahuan pemberian izin pembangunan bandar udara khusus;
dd. pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan kepada penyelenggara
bandar udara, serta kantor terkait lainnya tentang tatanan
kebandarudaraan dan memberikan perlindungan hukum terhadap lokasi tanah dan/atau perairan serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum serta pengoperasian bandar udara;
ee. pemantauan terhadap personil fasilitas/peralatan elektronika dan listrik
penerbangan dan melaporkan ke Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/ otoritas bandar udara;
ff. pemantauan terhadap sertifikasi fasilitas/peralatan elektronika dan listrik
penerbangan dan melaporkan ke Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/ otoritas bandar udara;
gg. pemantauan terhadap kegiatan Ground Support Equipment dan melaporkan
kepada Pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/otoritas bandar udara;
hh. pemantauan terhadap personil Ground Support Equipment dan melaporkan
ii. pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara lebih dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) tempat duduk pada bandar udara yang belum terdapat administrasi/otoritas bandar udara dan melaporkan ke Pemerintah;
jj. pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara
khusus yang melayani pesawat udara lebih dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) tempat duduk pada bandar udara yang belum terdapat kantor administrasi/otoritas bandar udara dan melaporkan ke Pemerintah;
kk. pemantauan terhadap pelaksanaan standar operasional prosedur yang terkait dengan pengamanan bandar udara pada bandar udara yang belum terdapat administrasi/otoritas bandar udara dan melaporkan ke Pemerintah;
ll. membantu kelancaran pemeriksaan pendahuluan kecelakaan pesawat
udara, meliputi :
1. investigasi dalam pencapaian lokasi kecelakaan;
2. monitoring pesawat udara milik Pemerintah, berkoordinasi dengan unit kerja terkait; dan
3. membantu kelancaran keimigrasian tim investigasi warga asing
BAB V
ARAH KEBIJAKAN DAN TATARAN TRANSPORTASI WILAYAH
Bagian Kesatu Arah Kebijakan
Paragraf 1
Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
Pasal 11
Arah kebijakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Daerah meliputi :
a. pengharmonisasian sistem jaringan jalan dengan kebijakan rencana tata ruang wilayah provinsi Jawa Tengah dan rencana tata ruang wilayah nasional, serta meningkatkan keterpaduan dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam konteks pelayanan antarmoda dan Sistem transportasi nasional;
b. pengembangan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas Jalan Provinsi berbasis wilayah;
c. pengembangan angkutan massal;
d. pengembangan angkutan yang berbasis energi alternatif;
e. mendorong keterlibatan peran dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan dan penyediaan prasarana jalan;
f. peningkatan kondisi pelayanan prasarana jalan melalui penanganan muatan lebih secara komprehensif, dan melibatkan berbagai instansi terkait;
g. peningkatan keselamatan lalu lintas jalan secara komprehensif dan terpadu;
h. peningkatan kelancaran pelayanan angkutan jalan secara terpadu melalui penataan, sistem jaringan dan terminal, serta manajemen rekayasa lalu lintas;
i. peningkatan aksesibilitas pelayanan kepada masyarakat melalui
penyediaan pelayanan angkutan di Daerah, termasuk aksesibilitas untuk penyandang cacat;
j. peningkatan efisiensi dan efektivitas peraturan serta kinerja kelembagaan; dan,
k. peningkatan profesionalisme sumberdaya manusia aparatur dan operator serta disiplin pengguna jasa, peningkatan kemampuan manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pembinaan teknis tentang pelayanan operasional transportasi, dan dukungan pengembangan transportasi yang berkelanjutan, terutama penggunaan transportasi umum masal di perkotaan yang efisien.
Paragraf 2
Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
Pasal 12
Arah kebijakan angkutan sungai, danau dan penyeberangan meliputi:
a. peningkatan keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana, sarana dan
pengelolaan angkutan sungai, danau dan penyeberangan;
b. peningkatan kelancaran dan kapasitas pelayanan di lintas yang telah
jenuh dan pelayanan angkutan antarmoda;
c. peningkatan aksesibilitas pelayanan angkutan sungai, danau dan
penyeberangan; dan
d. mendorong peranserta Pemerintah Daerah dan swasta dalam
penyelenggaraan angkutan sungai, danau dan penyeberangan.
Paragraf 3 Perkeretaapian
Pasal 13
Arah kebijakan perhubungan perkeretaapian meliputi :
a. peningkatan kualitas pelayanan melalui peningkatan kondisi pelayanan prasarana dan sarana angkutan perkeretaapian;
b. peningkatan keselamatan angkutan pada lokasi persilangan sebidang antara jalan dengan keretaapi pada jalan Provinsi;
c. pelaksanaan audit kinerja prasarana dan sarana serta sumberdaya manusia operator perkeretaapian;
d. peningkatan peran angkutan perkeretaapian di Daerah, dan peningkatan strategi pelayanan angkutan yang lebih berdaya saing secara antarmoda dan intramoda;
e. reaktivasi jalur dan pembangunan jalur baru angkutan perkeretaapian; f. peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan terutama pada koridor yang
telah jenuh serta koridor-koridor strategis dengan mengacu pada sistem transportasi nasional;
g. peningkatan frekuensi dan penyediaan pelayanan angkutan kereta api yang terjangkau;
h. perencanaan, pendanaan dan evaluasi kinerja perkeretaapian secara terpadu dan berkelanjutan, didukung pengembangan sistem data dan informasi yang lebih akurat;
i. peningkatan peranserta Pemerintah Daerah dan swasta di bidang perkeretaapian; dan
Paragraf 4 Perhubungan Laut
Pasal 14
Arah kebijakan perhubungan laut meliputi :
a. peningkatan peran armada pelayaran baik untuk angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor;
b. penyelenggaraan pelabuhan pengumpan regional yang dikelola Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah;
c. pemutakhiran tatanan kepelabuhanan Daerah, mengacu pada sistem tranportasi nasional dan tataran transportasi wilayah .
Paragraf 5 Perhubungan Udara
Pasal 15
Arah kebijakan perhubungan udara meliputi :
a. pemenuhan standar keamanan dan keselamatan penerbangan
International Civil Aviation Organization guna meningkatkan keselamatan penerbangan baik selama penerbangan maupun di bandar udara;
b. penciptaan persaingan usaha pada industri penerbangan nasional yang
lebih transparan dan akuntabel;
c. pemutakhiran tatanan kebandarudaraan Daerah mengacu pada sistem tranportasi nasional dan tataran transportasi wilayah;
d. peningkatan kualitas pelayanan prasarana, sarana dan pengelolaan
perhubungan udara; dan
e. mendorong peranserta Pemerintah Daerah dan swasta dalam
penyelenggaraan perhubungan udara.
Bagian Kedua
Tataran Transportasi Wilayah
Pasal 16
(1) Pemerintah Daerah menyusun tataran transportasi wilayah sebagai
pedoman penyelenggaraan perhubungan di Daerah.
(2) Tataran transportasi wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat :
a. perkembangan lingkungan strategis internal dan eksternal;
b. arah pengembangan jaringan transportasi darat, angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, keretaapi, laut, dan udara; dan
c. kondisi tingkat bangkitan dan tarikan, serta pola pergerakan saat ini dan yang akan datang melalui peramalan transportasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tataran transportasi wilayah
Pasal 17
Tataran transportasi wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dijadikan pedoman dalam penyusunan tataran transportasi lokal oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
BAB VI
PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 18
(1) Gubernur menyusun dan menetapkan Rencana Induk Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi, yang memuat :
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan;
b. arah dan kebijakan peranan lalu lintas dan angkutan jalan provinsi
dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan simpul;
d. rencana kebutuhan ruang lalu lintas.
(2) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pedoman untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang terpadu dengan memperhatikan :
a. Rencana tata ruang wilayah nasional;
b. Rencana tata ruang wilayah provinsi Jawa Tengah; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 19
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua Lalu Lintas
Paragraf 1 Kelas Jalan
Pasal 20
(1) Ruang lalu lintas berupa jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
a. fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan; dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi
(2) Pengelompokan jalan menurut kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Gubernur menyusun dan menetapkan kelas jalan pada setiap ruas jalan
untuk jalan Provinsi.
(2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan
rambu lalu lintas.
(3) Pelaksanaan penyusunan kelas jalan pada ruas jalan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah yang bertanggung atas urusan pemerintahan di bidang jalan.
(4) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan untuk jalan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Paragraf 2 Perlengkapan Jalan
Pasal 22
Setiap Jalan Provinsi yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa:
a. rambu Lalu Lintas;
b. marka Jalan;
c. alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat Penerangan Jalan;
e. alat Pengendali Pemakai Jalan, terdiri atas :
1. alat Pembatas Kecepatan;
2. alat Pembatas Tinggi dan Lebar Kendaraan;
f. alat Pengamanan Pemakai Jalan, terdiri atas :
1. pagar Pengaman;
2. cermin Tikungan;
3. tanda Patok Tikungan (delineator);
4. pulau-Pulau Lalu Lintas; dan
5. pita Pegaduh.
g. fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang cacat;
h. fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada
di jalan dan di luar badan jalan.
Pasal 23
Bagian Ketiga
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Paragraf 1
Umum
Pasal 24
(1) Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di
jalan dilakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas di Jalan Provinsi.
(2) Manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan :
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau
jalur khusus;
b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki;
c. pemberian kemudahan bagi penyandang catat;
d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus lalu lintas berdasarkan
peruntukan lahan, mobilitas dan aksesibilitas;
e. pemanduan berbagai moda angkutan;
f. pengendalian lalu lintas pada persimpangan
g. pengendalian lalu lintas pada ruas jalan
h. perlindungan terhadap lingkungan.
(3) Manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kegiatan : a. perencanaan; b. pengaturan; c. perekayasaan; d. pemberdayaan; dan e. pengawasan.
(4) Manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
Paragraf 2 Perencanaan
Pasal 25
Perencanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a meliputi :
a. identifikasi masalah lalu lintas;
b. inventarisasi dan analisis situasi arus lalu lintas;
c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang;
d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan dan
kendaraan;
e. inventarisasi dan analisis pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas;
f. inventarisasi dan analisis dampak lalu lintas;
g. penetapan tingkat pelayanan ruas jalan; dan
h. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan jalan dan
gerakan lalu lintas.
Pasal 26
Pasal 27
(1) Identifikasi masalah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
huruf a bertujuan untuk mengetahui keadaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Identifikasi masalah lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. perlengkapan jalan, baik yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan pengguna jalan dan bangunan pelengkap jalan;
b. lokasi potensi kecelakaan dan kemacetan lalu lintas;
c. penggunaan ruang jalan;
d. kapasitas jalan;
e. tataguna lahan pinggir jalan;
f. pengaturan lalu lintas; dan
g. kinerja lalu lintas.
Pasal 28
(1) Inventarisasi dan analisis situasi arus lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf b bertujuan untuk mengetahui situasi arus lalu lintas dari aspek kondisi jalan, perlengkapan jalan, dan budaya pengguna jalan.
(2) Inventarisasi dan analisis situasi arus lalu lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. volume lalu lintas;
b. komposisi lalu lintas;
c. variasi lalu lintas;
d. distribusi arah;
e. pengaturan arus lalu lintas;
f. kecepatan dan tundaan lalu lintas;
g. kinerja perlengkapan jalan; dan
h. perkiraan volume lalu lintas yang akan datang.
Pasal 29
(1) Inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c bertujuan untuk mengetahui perkiraan kebutuhan angkutan orang dan barang.
(2) Inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. asal dan tujuan perjalanan orang dan/atau barang antarkota dalam
Daerah;
b. bangkitan dan tarikan dalam kabupaten antarkota dalam Daerah;
c. pemilahan moda dalam kabupaten antarkota dalam Daerah; dan
d. pembebanan lalu lintas di wilayah daerah.
Pasal 30
(1) Inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan dan
(2) Inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan dan kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. asal dan tujuan perjalanan orang dan/atau barang antarkota dalam
Daerah;
b. bangkitan dan tarikan antarkota dalam Daerah;
c. pemilahan moda antarkota dalam Daerah; dan
d. kebutuhan kendaraan di wilayah Daerah.
Pasal 31
Inventarisasi dan analisis pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e bertujuan untuk mengetahui lokasi terjadinya kecelakaan dan penyebab terjadinya kecelakaan sebagai bahan rekomendasi analisa prioritas penanganan dan opsi penanganan keselamatan.
Pasal 32
(1) Inventarisasi dan analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf f bertujuan untuk mengetahui dampak lalu lintas terhadap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan
infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Inventarisasi dan analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. inventarisasi pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang
menimbulkan gangguan keselamatan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan; dan
b. analisis peningkatan lalu lintas akibat pembangunan pusat kegiatan,
permukiman, dan infrastruktur.
Pasal 33
(1) Penetapan tingkat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
huruf g bertujuan untuk menetapkan tingkat pelayanan pada suatu ruas jalan dan/atau persimpangan.
(2) Tingkat pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rasio antara volume dan kapasitas jalan;
b. kecepatan;
c. waktu perjalanan;
d. kebebasan bergerak;
e. keamanan;
f. keselamatan;
g. ketertiban;
h. kelancaran; dan
i. penilaian pengemudi terhadap kondisi arus lalu lintas.
Pasal 34
(1) Penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan jalan dan
(2) Penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui penetapan kebijakan lalu lintas yang berlaku pada setiap ruas jalan dan/atau persimpangan.
Paragraf 3 Pengaturan
Pasal 35
(1) Pengaturan manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b meliputi :
a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu
lintas pada jaringan jalan Provinsi;
b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan
kebijakan yang telah ditetapkan.
(2) Kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan provinsi; dan
b. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang berlaku pada masing-masing ruas jalan provinsi.
Pasal 36
(1) Pengaturan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
huruf a yang bersifat perintah, larangan, peringatan atau petunjuk sebagai hasil manajemen dan rekayasa lalu lintas harus dinyatakan dengan rambu rambu lalu lintas, marka jalan dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas.
(2) Penentuan lokasi rambu lalu lintas, marka jalan dan/atau alat pemberi
isyarat lalu lintas pada jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
(3) Rambu lalu lintas, marka jalan dan/atau alat pemberi isyarat lalu
lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan.
(4) Bentuk, jenis, lambang, ukuran, warna dan spesifikasi teknis
Rambu-rambu lalu lintas,marka jalan dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4 Perekayasaan
Pasal 37
(1) Perekayasaan manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c meliputi pengadaan, pemasangan, perbaikan dan pemeliharaan perlengkapan jalan Provinsi yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan pada jalan Provinsi.
(2) Pengadaan dan pemasangan perlengkapan jalan pada jalan provinsi
a. inventarisasi kebutuhan perlengkapan jalan sesuai kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas yang telah ditetapkan;
b. penetapan jumlah kebutuhan dan lokasi pemasangan perlengkapan
jalan;
c. penetapan lokasi rinci pemasangan perlengkapan jalan;
d. penyusunan spesifikasi teknis yang dilengkapi dengan gambar teknis
perlengkapan jalan; dan
e. kegiatan pemasangan perlengkapan jalan sesuai kebijakan
penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalulintas yang telah ditetapkan.
(3) Perbaikan dan pemeliharaan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung
dengan pengguna jalan pada jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. memantau keberadaan dan kinerja perlengkapan jalan;
b. menghilangkan atau menyingkirkan benda-benda yang dapat mengurangi atau menghilangkan fungsi/kinerja perlengkapan jalan; c. memperbaiki atau mengembalikan pada posisi sebenarnya apabila
terjadi perubahan atau pergeseran posisi perlengkapan jalan; d. mengganti perlengkapan jalan yang rusak, cacat atau hilang; dan e. pengadaan perbaikan dan pemeliharaan perlengkapan jalan yang
berkaitan langsung dengan pengguna jalan.
(4) Pengadaan dan pemasangan perlengkapan jalan pada jalan provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh badan swasta atau orang perorangan setelah mendapat izin dan pengesahan spesifikasi teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5 Pemberdayaan
Pasal 38
(1) Pemberdayaan manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf e, meliputi pemberian :
a. arahan;
b. bimbingan;
c. penyuluhan;
d. pelatihan;dan
e. bantuan teknis;
(2) Pemberian arahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi
penetapan pedoman dan tata cara penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
(3) Pemberian bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan dalam pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
(4) Pemberian penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf
c, dilakukan kepada pengguna jalan dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan.
(5) Pemberian pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
(6) Bantuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi
pengadaan, pemasangan, perbaikan dan/atau pemeliharaan
perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan dan/atau persimpangan.
Paragraf 6 Pengawasan
Pasal 39
Pengawasan manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf e, dilakukan dengan cara pemberian ijin atau rekomendasi terhadap :
a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;
b. tindakan korektif terhadap kebijakan;
c. tindakan penegakan hukum.
Bagian Keempat Analisis Dampak Lalu Lintas
Pasal 40
(1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan
infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan,
keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan pada jalan Provinsi wajib dilakukan analisis dampak lalu lintas.
(2) Pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa bangunan
untuk:
a. kegiatan perdagangan;
b. kegiatan perkantoran;
c. kegiatan industri;
d. fasilitas pendidikan;
e. fasilitas pelayanan umum; dan/atau
f. kegiatan lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan
lalu lintas.
(3) Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. perumahan dan permukiman;
b. rumah susun dan apartemen; dan/atau
c. permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau
tarikan lalu lintas.
(4) Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. akses ke dan dari jalan tol;
b. pelabuhan;
c. bandar udara;
d. terminal;
e. stasiun kereta api;
f. pool kendaraan;
g. fasilitas parkir untuk umum; dan/atau
Pasal 41
(1) Analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1) paling sedikit memuat :
a. analisis bangkitan dan tarikan lalu lintas dan angkutan jalan;
b. simulasi kinerja lalu lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;
d. tanggungjawab Pemerintah Daerah dan Pengembang atau Pembangun dalam penanganan dampak; dan
e. rencana pemantauan dan evaluasi.
(2) Analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat.
(3) Hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib mendapat persetujuan Gubernur.
(4) Hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
merupakan salah satu syarat bagi pengembang atau pembangun untuk memperoleh :
a. izin lokasi;
b. izin mendirikan bangunan; atau
c. izin pembangunan bangunan gedung dengan fungsi khusus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung.
(5) Dalam hal Pengembang dan Pembangun tidak memenuhi ketentuan
analisis dampak lalu lintas, Gubernur merekomendasikan peninjauan ulang terhadap perizinan yang telah diterbitkan.
Pasal 42
(1) Untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (3), Gubernur membentuk tim evaluasi dokumen hasil analisis dampak lalu lintas.
(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas unsur
pembina sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, pembina jalan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Tim evaluasi dokumen hasil analisis dampak lalu lintas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 43
Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 mempunyai tugas: a. melakukan penilaian terhadap hasil analisis dampak lalu lintas; dan
b. menilai kelayakan rekomendasi yang