• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran NU Sebagai Opinion Leader Dalam Me

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran NU Sebagai Opinion Leader Dalam Me"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERAN NAHDHATUL ULAMA’ SEBAGAI

OPINION LEADER

DALAM MEMBANGUN POLITIK DEMOKRASI

DI INDONESIA

(Sebuah kajian teoritik)

Hafis Muaddab

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT sebab pada akhirnya, karya tulis berjudul “Peran Nahdhatul Ulama’ Sebagai Opinion Leader Dalam membangun Politik Demokrasi di Indonesia” telah mampu penulis selesaikan. Tentu bukan sebuah hal yang mudah pastinya mengingat ketiga tema seperti tantangan kerukunan umat beragama di Indonesia dan pemecahannya, Mencari titik temu Islam dan HAM universal di Indonesia, dan bentuk ideal peran organisasi NU dibidang politik bukan merupakan tema yang ringan. Dan dari ketiga tema tersebut peran organisasi NU dibidang politik sengaja dipilih penulis, melihat demikian besarnya pengaruh politik terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang menjadi salah satu medan juang NU.

Apresiasi yang demikian besar penulis berikan kepada keluarga besar Pesantren Tebuireng yang memberikan perspektif baru dalam peringatan 3 tahun wafatnya KH. Abdurahman Wahid. Padahal seperti yang kita ketahui bersama dalam beberapa peringatan wafatnya tokoh NU (haul) selalu saja bertema perayaan atau pengajian. Dalam persperktif baru ini kita tidak hanya memperingati kepergian seorang Guru Bangsa dan Tokoh Besar NU, tetapi juga kebangkitan budaya intelektual nahdliyin. Sebuah gerakan moral yang juga ingin diwujudkan oleh KH. Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh besar NU lainnya. Sebagai kontribusi besar organisasi ini bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Besar harapan karya tulis ini dapat bermanfaat sekaligus mendapatkan masukan dari banyak kalangan. Mengingat, karya tulis ini dibuat hanya berdasarkan kajian teoritik belaka dan belum dilengkapi dengan data-data empiris dilapangan. Sehingga pada akhirnya NU dapat menemukan bentuk peran idealnya dibidang politik seperti yang kita inginkan bersama.

Jombang, Januari 2013

(3)

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 4

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan ... 4

D. Rumusan Masalah ... 5

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Konsep Opininon Leader ... 6

B. Teori Elit ... 10

C. Teori Hegemoni Gramsci ... 11

D. Konsep Keterwakilan Dalam Politik Demokrasi ... 13

BAB III PEMBAHASAN A. Nahdhatul Ulama’ dan Gerakan Politik Islam ... 19

B. Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik ... 28

C. Kaitan Peran Politik NU Sebagai Opinion Leader dan Khittah 1926 ... 40

BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 44

B. Saran ... 44

(4)

iv

DAFTAR TABEL

(5)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis ... 16

Gambar 2.2 Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader ... 17

Gambar 3.1 Bagan Peran NU dalam Politik Demokrasi Indonesia ... 19

Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader ... 27

(6)

i

PERAN NAHDHATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER

DALAM MEMBANGUN POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA

(Sebuah kajian teoritik)

Hafis Muaddab

(7)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT sebab pada akhirnya, karya tulis berjudul “Peran Nahdhatul Ulama’ Sebagai Opinion Leader Dalam membangun Politik Demokrasi di Indonesia” telah mampu penulis selesaikan. Tentu bukan sebuah hal yang mudah pastinya mengingat ketiga tema seperti tantangan kerukunan umat beragama di Indonesia dan pemecahannya, Mencari titik temu Islam dan HAM universal di Indonesia, dan bentuk ideal peran organisasi NU dibidang politik bukan merupakan tema yang ringan. Dan dari ketiga tema tersebut peran organisasi NU dibidang politik sengaja dipilih penulis, melihat demikian besarnya pengaruh politik terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang menjadi salah satu medan juang NU.

Apresiasi yang demikian besar penulis berikan kepada keluarga besar Pesantren Tebuireng yang memberikan perspektif baru dalam peringatan 3 tahun wafatnya KH. Abdurahman Wahid. Padahal seperti yang kita ketahui bersama dalam beberapa peringatan wafatnya tokoh NU (haul) selalu saja bertema perayaan atau pengajian. Dalam persperktif baru ini kita tidak hanya memperingati kepergian seorang Guru Bangsa dan Tokoh Besar NU, tetapi juga kebangkitan budaya intelektual nahdliyin. Sebuah gerakan moral yang juga ingin diwujudkan oleh KH. Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh besar NU lainnya. Sebagai kontribusi besar organisasi ini bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Besar harapan karya tulis ini dapat bermanfaat sekaligus mendapatkan masukan dari banyak kalangan. Mengingat, karya tulis ini dibuat hanya berdasarkan kajian teoritik belaka dan belum dilengkapi dengan data-data empiris dilapangan. Sehingga pada akhirnya NU dapat menemukan bentuk peran idealnya dibidang politik seperti yang kita inginkan bersama.

Jombang, Januari 2013

(8)

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 4

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan ... 4

D. Rumusan Masalah ... 5

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Konsep Opininon Leader ... 6

B. Teori Elit ... 10

C. Teori Hegemoni Gramsci ... 11

D. Konsep Keterwakilan Dalam Politik Demokrasi ... 13

BAB III PEMBAHASAN A. Nahdhatul Ulama’ dan Gerakan Politik Islam ... 19

B. Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik ... 28

C. Kaitan Peran Politik NU Sebagai Opinion Leader dan Khittah 1926 ... 40

(9)

iv

DAFTAR TABEL

(10)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis ... 16

Gambar 2.2 Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader ... 17

Gambar 3.1 Bagan Peran NU dalam Politik Demokrasi Indonesia ... 19

Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader ... 27

(11)

0

PERAN NAHDHATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER

1

DALAM MEMBANGUN POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA

(Sebuah kajian teoritik)

Hafis Muaddab

2

1

Disusun dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Peringatan 3 Tahun Wafatnya KH. Abdurrahman Wahid yang diadakan oleh Pesantren Tebuireng Jombang

2

Alumnus Pendidikan Ekonomi Akuntansi Universitas Negeri Surabaya yang sekarang berprofesi sebagai pengajar akuntansi dan perbankan syariah di SMKN 1 Jombang

Contact person : HP. 081359155887 Facebook.com/hafismuaddab, Twitter: @hafismuaddab Address : Desa Pesantren 141 RT 04 RW 01 Tembelang Jombang 61452

Email : hafis.muaddab@gmail.com

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan karyanya Reinventing Government (1992) David Osborne dan Ted Gaebler telah memberikan inspirasi, bahwa administrasi publik harus dapat beroperasi layaknya organisasi bisnis, efisien, efektif, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Dalam konsep good governance, “accountability is a key requirement of good governance” (UN, Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, 2004). Richard C. Box, (1998) memberikan ruang yang lebih besar terhadap

peran masyarakat sebagai warga negara. Dalam bingkai pemerintahan di Indonesia hal ini dapat ditelusuri dalam koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Secara formal, undang-undang tersebut memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis terhadap partisipasi masyarakat di setiap daerah.

Disisi lain terjadi penguatan media sebagai ekses dari globalisasi, dalam mempengaruhi hingga mampu menghegemoni dan membentuk kehendak umum dalam mengatasi persoalan sektoral. Apa yang terjadi di Mesir, Libya dan beberapa kawasan di Timur Tengah membuktikan hal tersebut. Kita menyaksikan betapa mobilisasi massa melalui opini media sosial yang dilakukan secara sistematis mampu melakukan perubahan kepemimpinan nasional. Di dalam negeri sendiri kita menyaksikan betapa media mampu menggerakkan kepedulian publik dalam kasus Prita atau Cicak Vs Buaya. Dalam hal ini, Gramsci berpendapat bahwa media memiliki peran sebagai alat hegemoni terhadap pembentukan kehendak umum. Persoalannya, hegemoni yang berlangsung saat ini apakah dilakukan melalui integritas ideologis.

(13)

2

dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam survei publik didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik.

Di Indonesia, studi yang dilakukan Demos pada 2003/2004 dan 2007 serta paparan Robison dan Vedi Hadiz (2004), misalnya, memperlihatkan demokratisasi politik yang cenderung oligarkis. Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar rumput (grass root). Dalam konteks Nahdhatul Ulama (NU), perkembangan politik demokratis tidak bisa dipisahkan dari pesantren sebagai entitas politik selain sebagai lembaga pendidikan yang merupakan basis gerakan NU. Persaingan para elit NU dalam memperebutkan kekuasaan baik pusat ataupun daerah, menunjukkan bahwa NU telah jauh masuk dalam pusaran liberalisasi politik. Elit NU yang memilih terjun dalam politik pragmatis ini membuat mereka terfragmentasi di partai politik. Perebutan akses politik ini jelas sarat kepentingan ekonomi pribadi ataupun golongan. Figur kiai yang biasanya disegani masyarakat NU juga masuk dalam pusaran politik pragmatis, terutama didaerah basis suara NU. Implikasinya terjadi delegitimasi peran kiai sebagai culture broker atau agent of change.

Menurunnya jumlah santri dibeberapa pesantren yang kiainya berpolitik memberi bukti terjadinya delegitimasi tersebut. Saidin Ernas (2011) dalam studinya menyebutkan bahwa, banyak pesantren yang mengalami penurunan kualitas karena kiai atau pimpinan pesantrennya lebih sibuk berpolitik. Pesantren yang terlampau aktif dalam peran politiknya (political oriented) sangat mungkin akan ditinggal oleh santrinya. Sebab orang tua santri yang kritis akan lebih memilih pesantren yang lebih menjaga independensinya terhadap politik praktis. Pada titik ini, dapat disimak bahwa masyarakat yang sebelumnya sangat menghormati pesantren dan selalu mengikuti anjuran dan arahan pesantren mempunyai dasar untuk menentang legitimasi fatwa pesantren, khususnya dalam isu-isu sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu.

(14)

3

dengan demokrasi maupun yang masih dalam proses konsolidasi seperti Indonesia, apatisme politik jelas tidak menguntungkan. Dalam konteks Indonesia, apatisme politik dapat mengakibatkan kian terbengkalainya agenda-agenda konsolidasi demokrasi, seperti pemberdayaan pranata dan institusi demokrasi semacam partai politik, lembaga perwakilan rakyat (DPR); penciptaan good governance dan pemberantasan korupsi; penguatan kultur politik demokratis, civic culture (budaya kewargaan) dan civility (keadaban); serta penegakan hukum. Jika agenda-agenda ini telantar, bisa dipastikan konsolidasi demokrasi di negeri ini tidak bakal pernah berakhir. Sebaliknya, yang terus berlanjut adalah kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik yang menghambat akselerasi Indonesia menjadi sebuah negara yang bermartabat dan disegani negara-negara lain.

Apatisme masyarakat terhadap politik secara struktural merupakan bagian dari alienasi politik. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, Political Ideology, memiliki definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan

politik dalam masyarakatnya sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik (Lane,1962). Masyarakat yang acuh tak acuh pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Fakta ini terjadi manakala NU hanya dimanfaatkan menjadi pengumpul suara (vote gather) bukan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun demokrasi yang lebih baik.

Pada sisi lain, di tengah wabah apatisme politik, bakal selalu ada orang yang sampai pada puncak frustrasinya dan akhirnya mengambil jalannya sendiri. Contoh paling akhir dari sikap ini adalah aksi aktor senior Pong Hardjatmo menaiki atap gedung DPR untuk menuliskan tiga kata, ”jujur, adil, tegas”, yang mengungkapkan kegusarannya pada situasi politik dan kepemimpinan yang tidak menentu. Hal yang sama terjadi dalam kasus konflik sosial, pertikaian antar suku/agama hingga tindak kekerasan ormas dan terorisme yang berkedok agama. Semua kondisi diatas membuktikan adanya kemacetan komunikasi politik seiring tidak terwakilinya aspirasi masyarakat oleh elit politik, meski sesuai mekanisme politik demokrasi masyarakat telah memilih para wakilnya melalui pemilu.

(15)

4

kekuatan potensial. Ketiga, membangun kemandirian masyarakat tentang apa yang harus dilakukan untuk memungkinkan berlangsungnya fungsi pengendalian terhadap urusan-urusan publik dan kesetaraan warga negara dalam politik demokrasi yang dibangun. Tokoh NU yang pernah berhasil melakukan peranan tersebut adalah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Dengan segenap potensi yang dimilikinya Gus Dur mampu memaksimalkan jejaring kelembagaan strategis sebagai sarana membangun komunikasi politik, baik secara kultural, naskah akademik dan pernyataannya yang berani dan konsisten pada nilai perjuangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Tetapi karena hanya KH. Abdurrahman Wahid sendiri yang mampu menjalankan fungsi sebagai “opinion leader”, pada saat yang sama terjadi sakralisasi terhadap figur KH. Abdurrahman Wahid sebagai hierokrasi (hierocratic authority). Dalam kasus ini pada akhirnya mendorong tumbuhnya pengkultusan terhadap figur kharismatik dan sektarianisme politik berlebihan di tubuh NU. Belajar dari pengalaman tersebut maka diera globalisasi saat ini perlu dibangun peran NU sebagai opinion leader dibidang politik yang bersifat kelembagaan (kolektif) bukan bersifat individu (privat). Peran yang dimaksud merupakan upaya ntuk membangun budaya politik yang sehat dalam politik demokrasi Indonesia, pemerintahan yang benar-benar bertanggung jawab terhadap rakyat.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok bahasan dalam karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

1. Bagaimana perkembangan Nahdhatul Ulama dan gerakan politik Islam dalam konteks politik demokrasi ?

2. Bagaimana peran Nahdhatul Ulama sebagai opinion leader untuk mewujudkan konsep partisipasi dan keterwakilan dalam politik demokrasi di Indonesia ?

3. Bagaimana keterkaitan peran Nahdhatul Ulama sebagai opinion leader dengan khittah NU 1926 ?

C. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

1. Mengetahui perkembangan Nahdhatul Ulama dan perkembangan gerakan politik Islam dalam konteks politik demokrasi

(16)

5

3. Menemukan keterkaitan peran politik NU dengan khittah NU 1926 untuk mewujudkan konsep partisipasi dan keterwakilan dalam politik demokrasi di Indonesia

D. Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan melalui penulisan karya tulis ilmiah ini adalah tentang: 1. Memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan Nahdhatul Ulama dan gerakan

politik Islam dalam konteks politik demokrasi

(17)

6 BAB II

KERANGKA TEORITIK

A. Konsep Opinion Leader 1. Sejarah Opininon Leader

Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influentials, influence atau tastemakers untuk menyebut opinion leader. Kata opinion

leader kemudian menjadi lebih lekat dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena

tingkat media exposure-nya dan tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akses dari media lebih memungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader-lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam.

Secara tidak langsung, opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang diterima dan diteruskan kepada masyarakat setempat. Pihak yang sering menjadi media exposure di masyarakat desa kadang diperankan oleh seorang opinion leader.

Mereka ini sangat dipercaya dan dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat dalam segala hal.

2. Karakteristik Opinion Leader

Opinion leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda dalam

menyampaikan pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian maksud dari opinion leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback yang diharapkan dari komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing opinion leader juga menentukan gaya dan caranya dalam mengelola penyampaian pesan.

(18)

7 1) The Controlling Style

Dalam karakter opinion leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Gaya mengendalikan ini ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan. Gaya ini dapat dikategorikan sebagai one step flow. Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran dari komunikan.

2) The Equalitarian Style

Gaya ini lebih megutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan. Dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota dapat mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Opinion leader yang menggunakan pola two step flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan kerjasama dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks.

3) The Structuring Style

Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur. Seorang opinion leader yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi. Seorang opinion leader yang mampu membuat instruksi terstuktur adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal untuk memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul. 4) The Relinquising Style

Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi dinamis ini adalah untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi persoalan yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama.

5) The Dynamic Style

Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Komunikator tidak hanya membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota komunikasi. Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah meskipun ia memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Untuk itu diperlukan komunikan yang berpengatahuan luas, teliti serta bersedia bertanggung jawab atas tugas yang dibebankan.

6) The Withdrawal Style

(19)

8

tengah dihadapi oleh kelompok. Gaya ini memiliki kecenderungan untuk menghalangi berlangsungnya interaksi yang bermanfaat dan produktif. Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.

3. Opinion Leader dalam Kelompok

Sebuah kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan sama untuk membangun sebuah perubahan. Kelompok merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari. Ia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Kelompok adalah wadah untuk mewujudkan harapan dan keinginan barbagai informasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Melihat betapa pentingnya kelompok bagi individu, kelompok dikatakan sebagai media pengungkapan persoalan-persoalan baik yang bersifat pribadi (keluarga sebagai kelompok primer) maupun yang bersifat umum (kebutuhan pengetahuan semua anggota kelompok). Setiap individu memilih kelompoknya masing-masing berdasarkan ketertarikannya (interest) masing-masing-masing-masing. Orang yang memisahkan atau mengisolasi diri dari orang lain adalah orang yang penyendiri, benci kepada orang lain atau dapat dikatakan sebagai orang antisosial.

Semua anggota di dalam kelompok memiliki tujuan yang sama sehingga mereka bersatu dan membangun sebuah sinergi untuk mewujudkannya. Di dalam teori kepribadian kelompok, sinergi dikatakan memiliki peran penting dalam sebuah pencapaian cita-cita. Namun sinergi tidak hanya dihabiskan untuk mencapai tujuan saja tetapi juga termasuk untuk menjaga hubungan antar anggota, baik pribadi maupun umum. Dalam sebuah kelompok terdapat opinion leader (komunikator) dan anggota (komunikan). Fungsi seorang komunikator dapat dijabarkan dalam 8 (delapan) aspek menurut Burgoon, Heston dan Mc. Croskey. Kedelapan fungsi tersebut adalah:

1) Fungsi Inisiasi

Dalam fungsi ini, seorang pemimpin harus dapat mengambil inisiatif (prakarsa) untuk gagasan atau ide baru. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman terhadap gagasan yang kurang layak. Seorang opinion leader mempunyai tanggung jawab atas masyarakat, oleh karena itu mereka harus berani mengambil keputusan untuk mengambil atau menolak gagasan baik yang berasal dari dirinya sendiri mapun orang lain.

2) Fungsi Keanggotaan

(20)

9

kegiatan rutin, berpartisipasi dalam setiap kegiatan dan mengakrabkan diri di tengah-tengah kelompok.

3) Fungsi Perwakilan

Sebuah kelompok seringkali mendapat ancaman dari luar. Di sinilah fungsi seorang opinion leader untuk dapat menyelesaikan masalah agar anggota kelompok menjadi tenang kembali dan melanjutkan aktivitasnya seperti sedia kala. Opinion leader bertugas sebagai penengah jika anggota kelompoknya bermasalah dengan kelompok yang lain.

4) Fungsi Organisasi

Tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan persoalan organisasional, kelancaran roda organisasi dalam masyarakat dan deskripsi pembagian tugas ada di tangan seorang opinion leader, sehingga ia perlu memiliki keahlian dalam bidang mengelola organisasi dan kelompok.

5) Fungsi Integrasi

Dalam fungsi ini seorang opinion leader perlu memiliki kemampuan untuk memecahkan ataupun mengelola dengan baik konflik yang ada dan muncul di kelompoknya. Dengan kemampuan ini diharapkan seorang opinion leader dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk tercapainya penyelesaian konflik dan dapat memberi kepuasan untuk semua pihak.

6) Fungsi Manajemen Informasi Internal

Seorang opinion leader harus dapat menjadi penghubung atau sarana berlangsungnya komunikasi di dalam kelompok. Bagaimana perencanaan, pelaksanaan serta pengevaluasian sebuah kegiatan harus dibicarakan dengan keterbukaan. Untuk itulah diperlukan seorang pemimpin untuk menjadi penghubung serta penengah jika ada kritik serta solusi untuk kegiatan tersebut. 7) Fungsi Penyaring Informasi

Untuk kemajuan dan perkembangan sebuah kelompok, diperlukan banyak informasi serta wawasan baru dari luar. Namun tidak semua informasi dapat diterima dan diadopsi oleh suatu kelompok. Di sinilah seorang opinion leader bertindak sebagai penyaring informasi baik yang masuk ataupun yang keluar. Hal ini bertujuan untuk mengurangi konflik yang dapat timbul di dalam kelompok. 8) Fungsi Imbalan

Opinion leader melakukan fungsi evaluasi dan menyatakan setuju atau tidak terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh para anggotanya. Hal ini dilakukan melalui imbalan-imbalan materi seperti pemberian hadiah atau pujian ataupun sebuah penghargaan. Kekuatan reward ini terbukti sangat efektif untuk meningkatkan mutu masyarakat.

(21)

10 B. Teori Elit

Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik.

Elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis.

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller (dalam Nas, 2007: 22) mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

(22)

kesempatan-11

kesempatannya untuk memilki dan menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu.

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti pengaruh atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo (2008), sumber-sumber kekuasaan itu bisa berupa kedudukan, status kekayaan, kepercayaan, agama, kekerabatan, kepandaian dan keterampilan.

C. Teori Hegemoni Gramsci

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan Encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73).

Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci (2001) adalah:

“Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”

Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

(23)

12

Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi, jika direfleksikan ke dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pendapat di atas makin memperjelas keberadaan wacana dominan sebagai kata kunci dari ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik, juga peran media sebagai saluran yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Lebih jauh lagi, berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pada akhirnya, pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, begitu adanya, logis, dan bernalar (common sense), serta semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan. Kesimpulannya, poin-poin teori hegemoni meliputi:

1) Dominasi kelompok dominan (minoritas) atas kelompok lain (mayoritas) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut.

2) Melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai kenyataan.

3) Kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” bagi kelompok minoritas ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik.

4) Peran media sebagai saluran yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas.

(24)

13

sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

6) Pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan.

D. Konsep Keterwakilan Dalam Politik Demokrasi

Unsur mendasar demokrasi seperti disinggung sebelumnya dalam latar belakang setidaknya melibatkan tiga unsur pokok, yaitu warga negara yang setara (demos), urusan publik (public matters), dan kontrol publik (popular control). Maka, pertanyaan-pertanyaan terpenting untuk mendiagnosa situasi dan kondisi demokrasi adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik dirumuskan?; dan (3) bagaimana kontrol publik dijalankan?. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan persoalan keterwakilan dan partisipasi. Keterwakilan berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Sedangkan partisipasi berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif di dalam proses-proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol atas kebijakan-kebijakan publik.Institusi keterwakilan dan partisipasi yang demokratis harus menjamin hak dan kepentingan setiap warga negara. Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah sebatas serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang substansial.

Partisipasi dan keterwakilan merupakan dua konsep penting yang senantiasa muncul dalam topik diskusi demokrasi. Kendati begitu, masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan yang berbeda. Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan keterwakilan lebih dekat dengan gagasan liberalisme. Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan bagi semua individu untuk mengontrol semua urusan publik, sedangkan keterwakilan berkaitan dengan pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu. Dalam wacana demokrasi, karena itu, muncul istilah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).

(25)

14

kualitasnya jika semakin substantif pada pelaksanaannya, bukan semata-mata mengutamakan prosedur.

Institusi-institusi demokrasi yang lain, seperti rule of law, supremasi dan penegakan hukum, kesetaraan di depan hukum, pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, pemilihan umum yang bebas, adil, dan terbuka, merupakan instrumen-instrumen operasional yang hanya bisa bekerja baik jika ditopang oleh keterbukaan bagi partisipasi publik yang luas dan keterwakilan publik yang akuntabel. Tanpa ditopang partisipasi publik yang luas dan keterwakilan yang transparan dan akuntabel, operasionalisasi instrumen-instrumen dapat tergelincir ke arah praktik-praktik yang elitis dan eksklusif.

Dalam kaitan itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan hal yang sangat mendasar. Dari rumusan mengenai demos itulah aspek-aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan dan agregasi kepentingan publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa berlangsung lebih baik. Semakin terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan publik yang bisa dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik, prosedur-prosedur demokrasi hanya akan menguntungkan sebagian anggota masyarakat.

Bagaimanapun, prosedur-prosedur demokratis tentu saja bukan hal yang tak penting. Atas nama demokrasi, pemenuhan kepentingan-kepentingan publik tetap harus dijalankan melalui cara-cara dan mekanisme yang demokratis. Meskipun begitu, ketika demokrasi mengalami stagnasi, ketika banyak orang merasakan demokrasi justru menjauhkan mereka dari proses-proses perumusan kepentingan publik (karena pengelolaan pemerintahan yang teknokratis) dan tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan yang demokratis (karena urusan publik diserap menjadi mekanisme pasar dan menguntungkan hanya segelintir pemilik modal), dan ketika konflik demi konflik komunal mengisi hari-hari pelaksanaan demokrasi (karena ada begitu banyak pengkotak-kotakan demos di tengah-tengah menguatnya gejala komunalisme), hal paling utama yang harus diwaspadai adalah datangnya godaan-godaan baru untuk meninggalkan demokrasi dan menyerah pada pilihan-pilihan politik lain yang bisa saja berupa otoritarianisme. Survei Demos 2007 antara lain juga menengarai indikasi adanya upaya-upaya menciptakan “politik keteraturan” untuk mengatasi kekacauan-kekacauan sosial-politik yang terjadi di dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Sebagai sebuah tema kajian, keterwakilan sudah banyak menyedot perhatian para akademisi. Salah satu yang paling dikenal adalah karya Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of Representation. Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap keterwakilan,

(26)

15

making citizens' voices, opinions, and perspectives “present” in the public policy making

processes. Ulasan Pitkin mengenai keterwakilan itu dirangkum oleh Tornquist dan Warouw:

“.. .bahwa keterwakilan mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika keterwakilan terutama menyangkut dengan otorisasi dan akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap. Apa yang diketerwakilankan dapat bersifat substantif, deskriptif atau simbolik. Keterwakilan substantif adalah ketika wakil ‘bertindak untuk’ (acts for) mereka yang diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh. Keterwakilan deskriptif adalah ketika wakil ‘berdiri untuk’ (stands for) orang-orang yang secara objektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Jenis terakhir adalah keterwakilan simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, ‘berdiri untuk’ (stands for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas. Namun demikian keterwakilan simbolik bisa juga dipahami secara lebih luas, sebagaimana ditulis Bourdieu (Wacquant, 2005; Stokke, 2002) dan Anderson (1983), sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang wakil.”

Berangkat dari kategorisasi keterwakilan Pitkin itu, Törnquist menawarkan sebuah pendekatan baru untuk memahami keterwakilan. Keterwakilan harus mencakup pula model-model partisipasi alternatif berupa partisipasi langsung warga yang melibatkan kelompok-kelompok kewargaan dan organisasi-organisasi masyarakat. Dalam kerangka yang ditawarkan Törnquist ini, model-model partisipasi alternatif dalam politik demokrasi bekerja atas dasar kesepakatan-kesepakatan dan cara-cara informal, misalnya perantaraan melalui tokoh-tokoh informal, kelompok lobi, dan LSM. Tetapi nampaknya konsep ini mengesampingkan globalisasi yang memiliki dampak yang signifikan.

(27)

prosedur-16

prosedur politik demokratis seharusnya menyangga satu pilar terpenting demokrasi, yaitu pemenuhan kepentingan-kepentingan publik dan terbukanya akses partisipasi popular.

Untuk memahami konsep keterwakilan yang ditawarkan oleh Pitkin dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gambar 2.1

Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis (Sumber: Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation

(New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 11).

Setelah Orde Baru jatuh dan reformasi bergulir, keterbukaan dan kebebasan politik memang meningkat pesat.Organisasi-organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat buruh sekonyong-konyong aktif bergerak di ranah politik. Gerakan go politics seolah menjadi trend baru di kalangan masyarakat sipil yang selama puluhan tahun sebelumnya menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan politik formal. Sebuah studi lain yang dilakukan Törnquist, menunjukkan ada lima pilihan strategi go politics yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2) masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai alternatif, dan (5) menerobos jaring-jaring kekuasaan pemerintahan. Sedangkan jalur-jalur politisasi yang digunakan adalah (1) politik berbasis kepentingan masyarakat sipil dan kerakyatan (civil society and popular interest politics), (2) politik komunitas kaum tertindas (dissident

community politics), (3) partisipasi politik langsung, (4) politik wacana publik, dan (5)

(28)

17

melakukan (6) front dari dalam, (7) membangun partai serikat buruh, (8) partai multisektoral, (9) partai nasional berbasis ideologi, dan (10) partai politik lokal.

Dalam kajian ini bagi Nahdhatul Ulama (NU) pilihan strategi tersebut tentu dapat dilakukan semua mengingat modal ekonomi, sosial dan kultural yang dimiliki sebagai ormas keagamaan di Indonesia. Akan tetapi tentu bukan pilihan strategi tentunya berangkat dari sebuah peran yang dimiliki oleh NU dibidang politik demokrasi, peran tersebut adalah peran lembaga NU sebagai opinion leader. Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili oleh ketiga lembaga aspirasi seperti; civil society, politic society dan informal leaders. Keterwakilan ini mencakup peran politik NU sebagai;

a) Fungsi Kultur Sosial (Social Culture). Untuk membangun kepercayaan diri kader NU, persamaan wacana dan komitmen kebangsaan dalam rangka memperkuat kelembagaan representrasi demokrasi

b) Fungsi Advokasi dan Literasi Politik (Advocacy and Politic Literacy). Untuk mengawal proses politik demokrasi dan membangun literasi politik anggota masyarakat c) Fungsi Jejaring Sosial (Social Networking). Memperkuat modal ekonomi, modal

kultural dan modal sosial NU untuk membangun fungsi kontrol demokrasi dan penyalur aspirasi masyarakat

Untuk lebih jelasnya silahkan melihat gambar dibawah ini;

Gambar 2.2

Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili

(29)

18

Sesuai dengan gambar diatas sebenarnya, peran NU dalam politik demokrasi berada pada lembaga civil society dan informal leader. Tetapi seiring tidak berjalannya fungsi keterwakilan karena adanya dominasi elit, maka perlu mengambil peran politik sebagai opinion leader. Peran tersebut mengambil fungsi untuk membentuk perwakilan aspirasi

(30)

19 BAB III PEMBAHASAN

A. Nahdhatul Ulama’ dan Gerakan Politik Islam

Nahdhatul Ulama’ (NU) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan pada 16 Rajab 1344/ 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dalam pengertian harfiah NU berarti kebangkitan ulama. Berdasarkan statuten NU pertama 1930 dan AD/ART NU terakhir tahun 2004, jelas sekali bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang mengukuhkan dirinya menjadi pengawal tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah bermadzhab empat yang diusahakan melalui berbagai ikhtiar di bidang agama, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Islam berdasarkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dasar gerakan keagamaan NU. Pemihakan tujuan NU pun sangat jelas, yakni fakir miskin, yatim piatu, petani, pedagang, dan pendidikan madrasah, masjid, musholla, serta pesantren. Tak satu poin pun dalam tujuan organisasi NU menyebutkan untuk merebut kekuasaan politik atau pembentukan partai politik.

Meskipun demikian sebagaimana terbaca dalam tabel di bawah ini perjalanan sejarah NU banyak didominasi dengan kegiatan politik dan berorientasi kepada kekuasaan negara. M Ali Haidar-dalam studinya melaporkan bahwa sedari awal NU sekitar awal tahun tiga puluhan sudah terlibat dalam perumusan tata cara pelaksanaan hukum perkawinan dengan pemerintah Hindia Belanda. Keterlibatan ini tidak bisa tidak membawa NU dalam urusan politik, antara lain soal pengangkatan penghulu oleh pemerintah. Meski NU tidak bertujuan untuk merebut atau menguasai pemerintahan, tetapi situasi politik di mana NU berkiprah selalu mendorong keterlibatan NU, baik sebagai pendukung atau oposisi rezim yang berkuasa.

Berikut ini perjalanan sejarah NU jelang satu abad yang disusun dari berbagai sumber berdasarkan momen-momen politik di mana NU ambil bagian, baik secara aktif maupun pasif.

Tabel 3.1

Peran NU Dalam Politik Demokrasi Indonesia

No Waktu Peristiwa

(31)

20

No Waktu Peristiwa

Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Kyai Mas Mansur yang dibantu beberapa orang lainnya. Nahdlatul Wathan mendapat pengakuan badan hukum pada tahun 1916.

2 1918 Berdiri Tasywirul Afkar (Keterwakilan Gagasan-gagasan)-nama resmi organisasinya Suryo Sumirat Afdeling Tasywirul Afkar--di Surabaya oleh Kyai Ahmad Dahlan, pemimpin pesantren Kebondalem Surabaya bersama Kyai Mas Mansur, Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Mangun. Tujuan utamanya menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, kemudian menjadi "sayap" untuk membela kepentingan Islam tradisionalis. 3 1918 Atas restu KH. Hasyim Asy'ari didirikan usaha perdagangan

dalam bentuk koperasi (syirkah al-‘inan) dengan nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan).

4 Sebelum Januari 1926

Dibentuk Komite Hijaz, yang diketuai Hasan Dipo, dan wakil Saleh Sjamil, sekretaris Moehammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Masjhoeri, dan KH. Khalil.

5 30 Januari 1926 Kyai Abdul Wahab Chasbullah mengenai kemerdekaan Indonesia: "Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka." "Ini bisa menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negeri merdeka."

6 31 Januari 1926 Rapat Komite Hijaz yang memutuskan pengiriman delegasi ke Mekah, dengan nama jam'iyyah Nahdlatoel-‘Oelama (NO). 7 1928 NU menetapkan anggaran dasarnya pada Muktamar tahun 1928. 8 6 Februari 1930 NU memperoleh pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda. 9 1936 Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan,

(32)

21

No Waktu Peristiwa

politik berada di tangan Hindia Belanda. Selain itu, dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh Kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam.

10 1937 NU bersatu dalam konfederasi MIAI (Majlis Islam A'laa Indonesia). Bagi NU, keterlibatannya ini merupakan langkah

pertama menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajahan Belanda menjelang Perang Dunia II.

11 1939 Aktivis muda NU saat itu, Mahfudz Shiddiq dan Wahid Hasyim, sebagai wakil NU terlibat dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia) di MIAI. Selain itu, banyak aktivis NU terlibat dalam perjuangan nasional melawan penjajahan.

12 Juni 1940 Pada Muktamar ke-15 NU (Muktamar terakhir masa pemerintahan kolonial Belanda), suatu rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 ulama di bawah pimpinan KH. Mahfudz Shiddiq membicarakan calon Presiden pertama Indonesia mendatang. Para ulama memilih Soekarno dengan 10 suara dan 1 suara untuk Mohamad Hatta. Keputusan ini karena diambil pada saat berlangsungnya perdebatan seru mengenai Indonesia yang akan dijadikan negara Islam atau bukan. Soekarno tampak lebih sekular dan cenderung ke negara demokrasi ketimbang Mohamad Hatta yang memiliki citra lebih "santri".

13 1942 KH. Hasyim Asy'ari dijebloskan ke penjara beberapa bulan karena penolakannya terhadap penghormatan terhadap Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan.

14 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi (Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia) yang dipimpin Muhammadiyah dan NU dan menyatakan siap membantu kepentingan Jepang.

(33)

22

No Waktu Peristiwa

yang menjangkau kehidupan desa.

16 1942-1945 Semasa pendudukan Jepang, aktivitas NU terpusat pada perjuangan membela Tanah Air, baik fisik maupun politik. Ini berarti NU sudah tidak lagi mengkhususkan diri pada urusan sosial kemasyarakatan keagamaan saja, melainkan juga melibatkan diri pada urusan politik perjuangan kemerdekaan. Dalam periode ini terlibat kyai generasi pertama NU, yakni KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. A. Wahid Hasyim, KH. M. Dahlan, KH. Masykur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Zaenul Arifin, dll.

17 Mei - Agustus 1945 KH. Wahid Hasyim, wakil dari NU, terlibat aktif dalam perumusan dasar negara Indonesia yang akan diproklamasikan, mulai dari penyusunan Piagam Jakarta hingga menjadi Pancasila seperti sekarang ini.

18 18 Agustus 1945 Menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), KH. Wahid Hasyim yang mewakili NU ikut menyepakati untuk menghapuskan tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" dalam Piagam Jakarta, sehingga hanya menjadi "Ketuhan Yang Maha Esa." 19 22 Oktober 1945 Resolusi Jihad NU, yakni fatwa jihad melawan tentara sekutu

Inggris-Belanda dan NICA sebagai djihad fi sabilillah yang hukumnya fardlu ‘ain bagi orang yang berada dalam jarak radius 94 Km demi tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

20 7-8 November 1945 Muktamar Ummat Islam Islam Indonesia di Yogyakarta, yang melahirkan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pada periode pertama, Majelis Syura Masyumi dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari.

21 3 Januari 1946 Departemen Agama dibentuk dan KH. Wahid Hasyim dari NU menjadi Menteri Agama.

(34)

23

No Waktu Peristiwa

Negara Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945; menegaskan NU masuk sebagai istimewa Masyumi dan menyerukan kepada seluruh warga NU di semua tingkatan untuk tetap aktif mendukung tegaknya Partai Islam Masyumi.

23 25 Mei 1947 Muktamar ke-17 NU di Madiun menyetujui prakarsa KH. A. Wahid Hasyim untuk mendirikan "Biro Politik NU" yang bertugas mengadakan perundingan-perundingan dengan kelompok intelektual yang didominasi Masyumi dan guna menyelesaikan berbagai ketimpangan yang dirasakan sangat merugikan NU.

24 25 Juli 1947/7 Ramadlan 1366 H

Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asy'ari berpulang ke rahmatullah.

30 April - 3 Mei 1950

Muktamar ke-18 NU di Jakarta memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi, tapi pelaksanaannya ditangguhkan, dan menetapkan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Aam (bukan lagi Rais Akbar) PBNU, sekaligus menyetujui berdirinya Fatayat NU, organisasi pemudi/remaja puteri NU.

25 1952 NU keluar dari Masyumi.

26 1952-1973 NU menjadi organisasi partai politik.

27 Juli 1953 NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dipimpin PNI dan dikukung oleh PKI. Masyumi dan PSI menjadi oposisi. NU memperoleh jabatan Menteri Agama, Menteri Pertanian, dan Wakil Perdana Menteri.

28 1954 Dalam Muktamar ke-20 tahun 1954 di Surabaya, NU memutuskan untuk menerima dan memandang sah hasil Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954 yang menetapkan bahwa Presiden RI (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara adalah waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah.

29 29 Maret 1954 KH. Abdul Wahab Chasbullah membenarkan pemberian gelar waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah di depan Parlemen,

(35)

24

No Waktu Peristiwa

supaya anaknya tidak menjadi anak zina. Karena itu, ditetapkan bahwa yang harus menjadi wali hakim pada masa ini ialah Kepala Negara kita.

30 1955 Dalam Pemilu 1955, NU menjadi partai terbesar ketiga memperoleh 45 kursi di Parlemen (18,4% suara), setelah PNI (22,3%) dan Masyumi (20,9%), dan di atas PKI (16,4%).

31 Mei 1959 Di tengah perdebatan negara Islam atau bukan, NU menerima "Kembali kepada UUD 1945" dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dari UUD. Ketika Sidang Konstituante memilih tidak menerima Piagam Jakarta, NU berbalik menolak UUD 1945.

32 Juli 1959 KH. Idham Cholid, Ketua Tanfidhiyah PBNU, dan KH. Saefuddin Zuhri, Sekretaris PBNU, menyetujui Dekrit Presiden untuk "Kembali kepada UUD 1945" tetapi minta "agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945."

33 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan mendekritkan berlakunya UUD 1945 dengan pernyataan: "Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut."

34 5 Juli 1971 Pada Pemilu 1971, Partai NU menjadi partai terbesar kedua memperoleh 58 kursi DPR (18,68% suara) setelah Golongan Karya (Golkar) yang memperoleh 236 kursi DPR (62,82% suara), dan dua tingkat di atas PNI yang memperoleh 20 kursi (6,93% suara).

35 5 Januari 1973 KH. Dr. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU, menandatangani Deklarasi Pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); NU berfusi ke dalam PPP.

(36)

25

No Waktu Peristiwa

(NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam. Karenanya, tidak diperlukan lagi bentuk negara apapun dalam negeri ini, meskipun Negara Islam atau Negara Syari'ah.

37 23 Juli 1998 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dideklarasikan oleh KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Mustofa Bisri, KH. A. Muhith Muzadi. Pendirian PKB diinisiasi oleh Tim Lima yang dibentuk PBNU pada 3 Juni 1998, yakni KH. Ma'ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota KH. M. Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU).

38 20 Oktober 1999 KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU (1984-1999), terpilih menjadi Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-23 Juli 2001).

39 Mei-Juli 2004 KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU (1999-sekarang), menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Sukarnoputri sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004; dan KH. Ir. H. Shalahuddin Wahid, Ketua PBNU (1999-2004), sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Jenderal (Purn.) H. Wiranto, SH sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004.

http://www.fahmina.or.id dan data diolah

(37)

26 Gambar 3.1

Bagan Peran NU Dalam Politik Demokrasi Indonesia Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah

(38)

27

Berdasarkan perubahan-perubahan penting sikap politik NU dalam kehidupan politik Indonesia dapat dibagi periodesasi politik NU sebagai berikut:

Tabel 3.2

Periodesasi Peran NU di Bidang Politik

Periode Peristiwa

1926-1946 Periode pemerintah kolonial Belanda, yang dicirikan oleh sikap abstain NU terhadap politik.

1942-1945 Periode pendudukan Jepang, masa ketika kyai mulai terlibat dalam politik. 1945-1949 Perjuangan kemerdekaan merupakan periode di mana NU terlibat secara aktif

dan radikal dalam politik.

1949-1959 Masa demokrasi parlementer adalah perubahan penting NU dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik, tetapi gagal memberikan dampak yang sepadan dengan besar jumlah pendukungnya.

1959-1965 Pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, NU menjadi penyangga rezim otoriter populis, yang menyebabkan sejumlah konflik internal.

1965-1966 Pada masa transisi yang keras, NU mendefinisikan ulang perannya dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

1967-1998 Selama masa Orde Baru Soeharto, NU untuk beberapa lama menampilkan diri sebagai kekuatan oposisi yang tegar, namun mengalami depolitisasi yang luar biasa.

1998-1999 Sejalan dengan pembukaan kran demokrasi, masa Orde Reformasi adalah masa transisi NU masuk kembali ke dalam negara, melalui pendirian partai politik PKB oleh elit PBNU.

1999-2001 Masa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU, menjadi Presiden; NU masuk ke dalam negara, menjadi pendukung utama pemerintah. 2001-2010 Masa perjuangan NU untuk masuk kembali ke dalam negara, ditandai dengan

pencalonan KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, menjadi calon Wakil Presiden, tetapi gagal. Namun sejumlah kader NU masuk ke dalam kabinet. Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah

(39)

28

menunjukkan bahwa NU tidak jumud, lentur, adaptif, dan menerima perubahan atas perkembangan sosial politik sepanjang sejarah. Gerakan politik NU adalah bagian dari responnya atas perkembangan sosial yang terjadi saat itu. Sejarah NU adalah sejarah bangsa Indonesia. Dengan gaya zig-zag-nya, NU tetap setia dengan kebangsaan Indonesia, tak bergeser sedikitpun dari garis pertama berangkat. Nasionalisme NU tunggal hanya untuk Indonesia dengan seluruh darah daging kebudayaannya. Sejak ikut merebutnya dari Pemerintah Hindia Belanda hingga merdeka dan bergonta-ganti rezim pemerintahan, sikap NU terhadap Republik Indonesia tetap konsisten. Tindakan NU sama sekali bukan tidak berprinsip; NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Ideologinya didasarkan pada fikih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Ideologi ini menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spiritual masyarakat.

Ketegasan ini tersimpul dari sejumlah keputusan keagamaan (bahstul masa'il) NU dari muktamar ke muktamar sebagai forum tertinggi organisasi NU. Mulai dari muktamar sebelum kemerdekaan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tahun 1936 hingga muktamar terakhir 2004 di Solo Jawa Tengah, NU-dengan nalar fiqhnya yang sangat dominan--tidak mengubah sedikitpun Indonesia dari negara-bangsa yang multietnik, multiagama, dan multibahasa menjadi bentuk negara lain, termasuk negara Islam. Komitmen terhadap Pancasila dan UUD 1945 telah bulat dan menetapkannya sebagai bentuk final yang tidak perlu diubah.

B. Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik

Dalam konteks Nahdhatul Ulama, elit politik lokal Nahdhatul Ulama adalah para kiai/tokoh yang menjadi pemuka agama/panutan ditingkat lokal yang dapat dilihat dalam 3 kategori;

1) Pertama, kategori elit berdasarkan status ekonomi

Elit NU dalam kategori ini dapat berasal dari semua kalangan dengan tingkat kemapanan finansial yang tinggi. Sebagai organisasi nirlaba, pengurusan NU memberi ruang terhadap kelompok tersebut khususnya dalam pendanaan organisasi. Dalam kategori ini elit NU yang dimaksud adalah pengusaha, politisi dan birokrat pemerintahan

2) Kedua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional;

(40)

29

menjadi pengurus NU. Posisi struktural NU tidak jarang digunakan untuk mendapatkan sesuatu yang jauh dari kepentingan NU secara organisatoris. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kegiatan seperti; penggalangan massa, pelibatan jajaran pengurus sebagai tim pemenangan dan lain sebagainya. Jauh dari komitmen awal politik NU yang lebih mengedepankan politik kultural (pendidikan politik) dalam rangka kontrol politik pemerintah.

3) Ketiga, elit berdasarkan kharisma yang diwakili oleh identitas kiai

Basis NU yang berasal dari pesantren memberi kelas sosial yang tinggi bagi kiai sebagai pimpinan pesantren.Kelompok ini meliputi para ustad atau guru ngaji, da’i pengajian keliling hingga kiai yang memiliki pesantren dengan jumlah santri yang besar.

Terjadinya dominasi elit NU di tingkatan lokal dapat dilihat dalam beberapa kategori persoalan yang ada pada tabel dibawah ini;

Tabel 3.3

Kategorisasi Dominasi Elit NU di Tingkatan Lokal

No. Kategorisasi Potensi Permasalahan 1. Faktor keturunan

dalam kepemimpin

Belum terbangun budaya yang bangga jika mampu

NU sebagai ormas keagamaan seringkali hanya

mengandalkan latar belakang figur

untuk memimpin

organisasi (darah biru/pendiri NU atau tidak)

(41)

30

No. Kategorisasi Potensi Permasalahan kepemimpinan ideologis adalah bagian

dari pendewasaan berpolitik

meninggalkan semangat kebersamaan. Pengurus lama

meski potensial seringkali disingkirkan

4. Pelibatan generasi muda dalam mereka karpet merah akan menciptakan anak muda cari harta, atau cari kekuasaan

Posisi pengurus yang sebagian besar memiliki basis ekonomi yang belum mapan. Oleh sebab itu perilaku politik elit NU kerapkali mengarah pada bias ekonomi pasar, transaksional dan ditentukan pada penawaran tertinggi

6. Karakter Building para Politisi muda

Elit dan politisi NU seringkali hanya mengandalkan latar belakang figur

untuk memimpin. Hal ini menyebabkan rendahnya kepemimpinan dan kurangnya caracter

building yang membuat

(42)

31

No. Kategorisasi Potensi Permasalahan kita ini politisi, bukan

negarawan

terlupakan.

7. Kesuksesan dalam karir bisa dibangun

Keuangan organisasi berasal dari sumber yang belum dipertanggungjawbkan secara jelas. Sehingga kerapkali ormas tidak terkecuali NU menjadi sasaran tempat pencucian uang

Konteks persoalan diatas tentu tidak bisa kita pisahkan begitu saja dari konflik elit NU ditingkatan lokal yang selama ini terjadi. Sehingga merupakan dampak peningkatan konflik elit ditingkatan lokal yang tepatnya berada di pesantren sebagai pusat gerakan NU. Konflik elit dibeberapa pesantren sebagai basis masa NU telah menyebabkan labelisasi sehingga menyebabkan adanya peristilahan merah, kuning, biru dan lain sebagainya sebagai pencerminan kecenderungan tersebut kepada suatu partai politik. Belum lagi jika labelisasi itu berlaku pada beberapa keluarga yang merupakan pendiri pesantren, seringkali menjadikan konflik urat saraf yang diantara anggota keluarga atas dasar ketidaksamaan aliran politik yang dipilih. Belum lagi persoalan betapa mudahnya pesantren menerima dana dari pemerintah atau partai politik dengan kompensasi tertentu. Merupakan tolok ukur betapa rendahnya integritas dan kedewasaan politik para elit politik NU ditingkatan lokal, seiring dengan perilaku koruptif dan manipulatif yang mulai menjangkiti generasi mudanya.

(43)

32

surgawi lainnya. Masyarakat pun mengamini hal itu dan menjadikan para kiai/ulama sebagai panutan dalam kehidupannya. Namun yang tidak banyak disadari oleh umat adalah kesamaan situasi. Pada saat masuk politik, para kiai itu sama dengan politikus dan manusia lainnya yang lekat dengan ambisi, vested of interest serta tidak lepas dari tarik menarik kepentingan duniawi serta hal-hal yang bersifat profan lainnya.

Di sisi lain, sebagian besar pesantren masih bergulat dengan manajemen pengelolaan pesantren secara tradisional dan sangat kental dengan nuansa kekerabatan. Status kepemilikan pesantren rata-rata dimonopoli keluarga kiai yang menjadi episentrum dalam pesantren itu. Hubungan yang terjadi antara kiai dan santri dibangun dalam pola patron klien dan bersifat irasional. Kesetiaan dibangun atas dasar ikatan emosional, psikologis dan kadangkala imbas hutang budi yang bersifat ekonomis dari santri pada kiai. Salah satu karakter pesantren adalah adanya otonomi diantara masing-masing pesantren. Tidak ada satu ikatan struktural organisatoris antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Bahkan ada kecenderungan munculnya ego yang kuat diantara masing-masing kiai pemilik pesantren. Jika ada hubungan yang mengarah pada patron klien antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, biasanya terpengaruh dari hubungan antara kiai pemilik pesantren tersebut. Hal yang sering terjadi, satu pesantren menjadi patron dari pesantren lainnya karena pemilik atau pengasuh pesantren yang dijadikan patron itu merupakan bekas guru dari kiai yang kemudian mendirikan pesantren baru. Pada saat terjadi perbedaan pendapat, khususnya dalam orientasi politik para santri cenderung mengeyampingkan pilihan pribadinya. Santri akan tunduk dan patuh pada apa yang menjadi pilihan politik kiainya meskipun para santri tidak pernah mengetahui hal-hal yang mendasari sikap politik kiainya. Sikap itu dimaknai sebagai bagian dari “taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai). Perbedaan orientasi politik itu antara santri dan kiai akan muncul pada saat santri sudah lepas dari . Selama masih mengenyam pendidikan di pesantren, santri akan sangat sulit untuk dapat mengekspresikan sikap politiknya secara mandiri.

(44)

33

yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. (4) Berpolitik bagi NU dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (5) Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani, moral agama, konstitusional sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. (6) Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal jama’ah. (7) Berpolitik bagi NU dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama memecah belah persatuan. (8) Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’dan saling menghargai satu sama lain sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU. (9) Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

(45)

34

dalam memandang permasalahan, meski sebenarnya perspektif ideal ada pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai penerima misi kenabian. Islam sebagai ajaran agama diterjemahkan dalam budaya masyarakat, pendidikan dan kolektifitas sosial kemasyarakatan (ukhuwah ). Dalam hal ini sebenarnya telah ada penerapan peran opinion leader oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga Islam mengalami perkembangan dan memberi pengaruh luar biasa bagi peradaban dunia.

Sebagai ormas keagamaan NU memiliki mandat yang sama sebagai penerus misi kenabian sehingga NU pun harus mampu memfungsikan peran yang dimaksud. Peran opinion leader adalah peran untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah

dalam prinsip melestarikan tradisi yang baik dimasa lalu dan mengambil tradisi yang baik dimasa sekarang sebagai upaya membangun tatanan masyarakat dan penyelenggaraan negara sesuai kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menterjemahkan peran tersebut dalam konteks kelembagaan dan politik, NU membutuhkan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad yang satu dan sama, serta diharapkan dapat memiliki kriteria yang menyangkut 4 (empat) hal pokok, yang meliputi;

Pertama, memiliki kesadaran ideologis yang tinggi

Setiap kader NU harus memiliki pengertian dan kesadaran ideologi yang tinggi, yaitu ideologi yang hsrus diperjuangkan oleh NU. Tidak pernaha ada partai yang survive tanpa ideologi; tidak pernah ada bangsa yang bertahan tanpa ideologi, karena ideologilah yang memberikan cita-cita, memberikan arah, memberikan harapan-harapan kehidupan masa depan bangsa. Lebih penting lagi bagi kita, ideologi adalah pondasi organisasi dan negara. Memberikan landasan, alasan tindakan dan perjuangan bangsa, dan bagi NU adalah final untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar perjuangan.

Kedua, memiliki kesadaran politik yang tinggi

(46)

35 Ketiga, memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi

Untuk mewujudkan kesadaran berorganisasi yang tinggi dibutuhkan pemahaman dan kesepakatan diri pada aturan main, kepatuhan, disiplin organisasi, militansi dalam perjuangan cita-cita organisasi, dan taat pula pada asas organisasi. Maksudnya, begitu kita menjadi kader NU, semua cita-cita pribadi harus tunduk pada cita-cita yang diperjuangkan NU. Bukan berarti perbedaan pendapat dan metode tidak diperbolehkan tetapi justru merupakan berkah dalam proses mengambil kebijakan dan keputusan. Keputusan yang diambil menjadi kewajiban kader NU untuk melaksanakan dan mengamankannya.

Keempat, memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi

Kader NU harus memiliki kepekaan dan kesadaran lingkungan. Menghindari kesenjangan antara cita-cita NU dan tingkah laku sosial kader-kadernya dimasyarakat. Hal ini tidak hanya akan memperburuk citra NU dan membuat masyarakat menjauh dari NU tetapi juga pengingkaran terhadap prinsip dasar Islam. Kesalehan spiritual harus senada dengan kesalehan sosial, seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang sebelum misi kenabiannya telah memiliki legitimasi sosial atas perilaku sosialnya dalam masyarakat.

(47)

36

yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, saya berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang tidak terbantahkan. Disiplin sebagai nilai berarti kepatuhan pada sistem dan aturan main organisasi. Dengan nilai disiplin, NU tidak hanya akan berjalan baik secara organisasi tetapi juga mendorong berjalannya sebuah sistem sosial yang baik dimasyarakat. Kelima, nilai demokrasi dan kepemimpinan. Untuk membangun politik demokrasi NU harus mempelajari dan mempraktekkan salah satu nilai fundamental dari demokrasi sebagai sebuah proses sosial politik. Nilai yang dimaksud adalah kesediaan untuk mendengar. Nilai yang sama adalah juga nilai hakiki dalam kepemimpinan. Demokrasi tidak dimulai dari perbedaan pendapat dan kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat. Untuk sampai pada tingkat ini, pertama-tama orang harus punya kesediaan untuk mendengar. Tidak akan pernah terlahir pemimpin yang demokratis kecuali ada kesediaan untuk mendengar.

Setelah kriteria kader dan pendidikan nilai tersebut, maka untuk melaksanakan peran politiknya sebagai opinion leader, NU harus mampu memaksimalkan 3 (tiga) fungsi dasar; fungsi kultur sosial (social culture), fungsi advokasi dan literasi politik (advocacy and politic literacy) dan fungsi jejaring sosial (social networking). Ketiga fungsi ini bukanlah hal yang

baru bagi NU tetapi lebih merupakan revitalisasi terhadap fungsionalitas kelembagaan NU yang sudah ada. Sehingga ketiga fungsi ini harus ditopang oleh pilar-pilar keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan. Disini bukan berarti NU melembagakan dirinya sebagai lembaga politik, tetapi lebih menegaskan kembali fungsinya sebagai ormas keagamaan yang berfungsi sebagai penegak nilai dalam masyarakat. Tetapi dengan kesadaran bahwa perjuangan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah harus dibangun dalam dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Membangun tatanan masyarakat sebagai pondasi, sekaligus membangun penyelenggaraan pemerintahan sesuai nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Gambar

gambar 2.1 dibawah ini:
Gambar 2.2
Gambar 3.1
Tabel 3.2
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tidak terdapat hubungan antara penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan dengan kejadian diare di desa Ranowangko kecamatan Tombariri

Analisa dengan menggunakan program bantu STAAD Pro 2004 sangat tepat dalam menganalisa suatu struktur jembatan rangka baja tipe pelengkung, sebab waktu yang

Jika anda tidak mahu LONG atau SHORT pada harga semasa (market order), anda juga boleh membuat tempahan untuk memasuki pasaran pada harga tertentu yang anda suka.. Contohnya

Mengembangkan usaha melalui desain unik dan kreatif aneka boneka air yang berbahan baku ramah lingkungan, sehingga menghasilkan barang yang bernilai ekonomi dan memiliki

Bagi pembelajar yang memiliki motivasi yang baik, perbedaan dalam kosakata seperti yang telah disebutkan diatas akan menjadi sebuah hal unik yang mendorong pembelajar

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dilaksanakan di SMK Negeri 7 Yogyakarta. Program kegiatan yang dilaksanakan adalah mengajar terbimbing. Kompetensi yang diajarkan

Pemberian susu formula pada saat bayi berusia kurang dari 6 bulan dalam penelitian ini secara statistik tidak berhubungan dengan status gizi bayi baik menurut indikator BB/U,

Simpulan penelitian menghasilkan saran yang berkaitan dengan keadilan distributif, komitmen organisasi, dan turnover intention di Maxi Hotel, Restaurant and Spa, yaitu