• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETENTUAN HUKUM ACARA TENTANG KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KAITANNYA DENGAN PENCUCIAN UANG

A. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Membicarakan hukum acara tindak pidana korupsi tidak bisa dilepaskan

dari pembicaraan terkait dengan hukum acara pidana. Hukum acara pidana secara

garis besarnya dibagi dalam 5 (lima) tahapan yang dilaksanakan oleh subjek

pelaksana hukum acara pidana : (1) tahap penyidikan dilaksanakan oleh penyidik,

(2) tahap penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum, (3) tahap mengadili

dilaksanakan oleh hakim, (4) tahap eksekusi dilaksanakan oleh jaksa, dan tahap

pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan oleh hakim pengawas dan

pengamat.55

Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, mendefenisikan

hukum acara pidana sebagai peraturan-peraturan yang diciptakan negara karena

adanya pelanggaran-pelanggaran undang-undang pidana, yaitu:56 (1) Negara

melalui alat-alatnya menyidik kebenaran, (2) Sedapat mungkin menyidik pelaku

perbuatan itu, (3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si

pembuat kalau perlu menahannya, (4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang

diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan

membawa terdakwa ke depan hakim tersebut, (5) Hakim memberikan keputusan

tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk

55

Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hal.2.

56

(2)

itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib, (6) upaya hukum untuk melawan

keputusan tersebut, (7) Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan

tindakan tata tertib. Lebih lanjut van Bammelen menegaskan bahwa tiga fungsi

hukum acara pidana, yaitu: 57 (1) mencari dan menemukan kebenaran, (2)

pemberian keputusan oleh hakim, dan (3) pelaksanaan keputusan.

Menurut Moeljatno, hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan

aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana

yang ada pada sesuatu tidak pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan

bahwa orang telah melakukan delik. Selanjutnya berdasarkan defenisi tersebut,

fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum

pidana, dan hukum acara pidana diperlukan apabila ada sangkaan bahwa orang

atau orang-orang telah melanggar larangan hukum pidana.58

Dalam hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi selain

berlakunya KUHAP juga berlaku peraturan lain diluar KUHAP yaitu

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan Undang-Undang KPK.

Menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penyidikan, penyelidikan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan sesuai

57

Ibid, hal.8 58

(3)

dengan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

“Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”

1. Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi

Dalam KUHAP , istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan. Menurut

Andi Hamzah keduanya mempunyai arti yang sama, karena keduanya berasal dari

kata dasar sidik yang berarti memeriksa, meneliti. Kata sidik diberi sisipan el

menjadi selidik yang artinya banyak menyidik.59

Defenisi penyelidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 5

KUHAP, adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang

ini. Menurut ketentuan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melakukan fungsi

penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia”.

Pasal 5 KUHAP mengatur kewenangan penyelidik meliputi kewenangan

berdasarkan kewajiban (hukum) dan kewenangan berdasarkan perintah penyidik.

Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

59

(4)

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penyitaan; 2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.

Dalam pemberantaasn tindak pidana korupsi selain Kepolisian, terdapat

Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penyelidik tindak pidana korupsi. Hal ini

diatur dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 ayat (1) memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 6 huruf c untuk :

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk malarang seseorang

untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang

diperiksa.

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,

(5)

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa

kepada instansi terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi

perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara

perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh

tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum

negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan

barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain melakukan

penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara

tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

2. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Semenjak berlakunya KUHAP, sistem peradilan yang dianut adalah sistem

peradilam pidana terpadu (integrated criminal justice system). Sistem peradilan

pidana terpadu tersebut diletakkan diatas landasan diferensiasi fungsional diantara

aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan

undang-undang kepada masing-masing.60

60

(6)

Menurut KUHAP Pasal 1 huruf b, “Penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan

adalah: a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik; b. Ketentuan tentang diketahui

terjadinya delik; c. Pemeriksaan ditempat kejadian; d. Pemanggilan tersangka atau

terdakwa; e. Penahanan sementara; f. Penggeledahan; g. Pemeriksaan dan

interogasi; h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan ditempat);

i. Penyitaan; j. Penyampingan perkara; k. Pelimpahan perkara kepada penuntut

umum dan pengembalian kepada penyidik untuk disempurnakan.61

Penyidikan diatur dalam Pasal-pasal 102-136 bagian kedua BAB XIV

KUHAP, penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 – Pasal 13 bagian

kesatu dan kedua BAB IV KUHAP. Kewenangan penyidik dalam melakukan

penyidikan dapat dilihat dalam Pasal 7 Ayat (1) KUHAP yaitu: (a) menerima

laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; (b)

melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian perkara; (c) menyuruh

berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d)

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; (e)

melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan

memotret seseorang; (g) memanggil orang untuk didengar untuk diperiksa sebagai

tersangka atau saksi; (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam

61

(7)

hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (i) mengadakan penghentian

penyidikan; (j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga mengatur secara

khusus tentang penyidikan untuk tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai

penyidikan, diatur dalam BAB IV tentang Penyidikan, Penuntutan dan

Pemeriksaan di sidang Pengadilan.

Dalam Pasal 28 disebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan,

tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang

diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi

yang dilakukan tersangka.

Dalam Pasal 29 ayat (1) juga dikatakan bahwa untuk kepentingan

penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik,

penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang

keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.

Pasal 30 juga memberikan hak kepada penyidik untuk membuka,

memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat

lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana

korupsi yang sedang diperiksa.

Dalam hal ini dapat ditemukan perluasan kewenangan penyidik dalam

(8)

3. Penuntutan Tindak Pidana Korupsi

Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, “penuntutan adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Defenisi ini mirip dengan defenisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya

ialah dalam defenisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas “terdakwa”

sedangkan KUHAP tidak.

“menuntut seorang terdakwa di muka hakim Pidana adalah menyerahkan peperkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya Hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa”62

Sebelum tahap penuntutan, dikenal adanya tahap prapenuntutan, yang

diatur dalam Pasal 138 KUHAP. Pasal 138 a quo mengamanahkan bagi jaksa

telah menerima berkas perkara penyidik, maka jaksa tersebut segera mempelajari

dan meneliti berkasa perkara penyidik, maka jaksa tersebut segera mempelajari

dan meneliti dalam tenggang waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada

penyidik apakah hasil penyidikannya sudah lengkap atau belum.

Dalam hal berkas belum lengkap maka berdasarkan Pasal 138 Ayat 2

KUHAP penuntut umum harus mengembalikan berkas disertai petunjuk. Berkas

tersebut wajib dikembalikan kembali oleh penyidik kepada penuntut umum 14

62

(9)

hari sejak tanggal penerimaan berkas. Apabila berkas sudah memenuhi syarat

maka dapat dilimpahkan ke pengadilan.

Apabila menurut Penuntut Umum dapat dilakukan penuntutan maka segera

dibuat surat dakwaan (Pasal 140 Ayat 1 KUHAP). Akan tetapi apabila penuntut

umum berpendapat sebaliknya bahwa tidak cukup bukti bahwa peristiwa tersebut

ternyata bukan tindak pidana maka perkara ditutup demi hukum.

Sedangkan untuk proses prapenuntutan dilaksananakan baik oleh penyidik

maupun penuntut umum sebagaimana ketentuan Pasal 110 ayat 2 KUHAP jo.

Pasal 138 Ayat 1, 2 KUHAP.

Dalam Pasal 141 bahwa penunt umum dapat melakukan penggebungan

perkara dengan satu surat dakwaan. Tetapi kemungkinan penggabungan itu

dibatasi dengan syarat-syarat oleh pasal tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;

b. Berapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang

lain, akan tetapi satu dengan yang lain penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Apa yang dimaksud dengan kata “penggabungan tersebut perlu bagi

kepentingan pemeriksaan” tidak disebut, dan penjelasan pasal tersebut

mengatakan cukup jelas. Yang dijelaskan ialah kata “bersangkut-paut”:

a. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat

(10)

b. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi

merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh

mereka sebelumnya;

c. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan

dipergunakan untuk melakukan delik lain atau menghindarkan diri dari

pemindahan karena delik lain.63

Seperti yang disebutkan diatas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur secara khusus tentang

penuntutan dalam Bab IV tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan.

Salah satu kekhususan yang berkaitan dengan Penuntutan yaitu tentang

beban pembuktian. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menganut sistem

pembuktian terbalik yaitu diatrur dalam Pasal 37, benrbunyi sebagai berikut:

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999

menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa

mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan

63

(11)

tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan

sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.64

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 37 yang merupakan hak

terdakwa dengan melakukan pembalikan beban pembuktian dengan sifat terbatas

dan berimbang. Hal ini secara eksplisit diterangkan dalam Penjelasan Umum UU

No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi:

“Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai huhungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya”

Sedangkan ketentuan Pasal 37 A dengan tegasnya menyebutkan bahwa:

1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tantang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Mengenai kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang

harta kekayaannya tidak lagi menggunakan sistem pembuktian terbalik murni

64

(12)

sebagaimana dirumuskan dalam pasal 37. 65 Apabila terdakwa tidak dapat

membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya,

maka ketidakdapatan membuktikan itu digunakan untuk memperkuat bukti yang

sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan,

jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak

pidana korupsi atau perkara pokoknya sebagaimana dimaksud pasal 2, 3, 4, 13,

14, 15, dan 16 UU No.31/1999 dan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No.

20/2001, maka penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau

membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem

pembuktian demikian biasa disebut dengan sistem semi terbalik, tetapi tidak tepat

jika disebut sistem terbalik murni. Karena dalam hal tindak pidana korupsi

tersebut terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan tidak melakukan

korupsi yang apabila tidak berhasil justru akan memberatkannya. Namun begitu,

jaksa juga tetap berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan

tindak pidana korupsi.66

4. Pemeriksaaan di sidang pengadilan

a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa keberadaan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi adalah pasca Mahkamah Konstitusi memutus perkara

Judicial Review Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi pada tanggal 19 Desember 2006, Dari amar putusan

65

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 2005 , hal.408

66

(13)

Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 012-016-019PUU-IV/2006 tersebut,

terdapat dua poin krusial. Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53

UU Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

1945. Dan kedua, Pasal 53 masih mempunyai kekuatan mengikat sampai diadakan

perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan diucapkan.67

Pada dasarnya tidak banyak perbedaan antara Pengadilan Tipikor

sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU KPK dengan Pengadilan Tipikor

sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan Tipikor. Perbedaan yang paling

mencolok dari kedua undang-undang tersebut tampak pada jumlah pasal yang

mengaturnya, dimana pengaturan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam UU

KPK hanya terdiri dari 11 pasal, yaitu dari Pasal 53 sampai dengan Pasal 62,

sementara dalam UU Pengadilan Tipikor, keberadaan Pengadilan Tipikor diatur

dalam 40 pasal. Sehingga UU Pengadilan Tipikor diharapkan memberikan

pengaturan yang komprehensif mengenai keberadaan Pengadilan Tipikor di

Indonesia baik mengenai kewenangan, batasan substansi yang dapat diadili, dan

prosedur dalam mengadili. Sementara itu dari materi pengaturannya perbedaan

utama terdapat pada masalah kewenangan, dimana kewenangan Pengadilan

Tipikor diperluas, baik mengenai pihak yang dapat mengajukan penuntutan

maupun jenis perkaranya hingga menjangkau tindak pidana pencucian uang yang

tindak pidana awalnya tindak pidana korupsi, penentuan komposisi hakim, jangka

waktu pemeriksaan di pengadilan, serta diaturnya syarat pemberhentian hakim ad

hoc yang sebelumnya tidak diatur dalam UU KPK. Beberapa materi pokok yang

67

(14)

diatur dalam UU Pengadilan Tipikor adalah: (1) Kewenangan Pengadilan Tipikor,

(2) Kedudukan Pengadilan Tipikor, (3) Komposisi Mejelis Hakim, (4) Jangka

waktu penanganan perkara, dan (5) pembentukan Pengadilan Tipikor.

b. Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan Pengadilan Tipikor diatur dalam BAB III Undang-Undang

Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 UU

Pengadilan Tipikor menyebutkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan

satu-satunya Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus

tindak pidana korupsi. Dan dalam Penjelasan Pasal 5 UU Tipikor disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan “satu-satunya pengadilan” adalah pengadilan yang

memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh

Penuntut Umum. Rumusan Pasal 5 mengandung pengertian bahwa Pengadilan

Tipikor tidak lagi hanya berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak

pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK, sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 53 UU KPK.

Kewenangan Pengadilan Tipikor juga diperluas tidak hanya memeriksa,

mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi saja. Berdasar"kan Pasal 6 UU

Pengadilan Tipikor, disebutkan

“Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. Tindak Pidana korupsi;

b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

(15)

B. Kewenangan KPK menurut Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai Penyelidik berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Menurut ketentuan Pasal 6 huruf c, KPK bertugas antara lain melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Selanjutnya Pasal 11, menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf c a quo, Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyabgkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).

Lebih lanjut Pasal 12 Ayat 1 UU KPK, memberikan wewenang kepada

KPK dalam hal pelaksanaan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

(sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c) untuk:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang

(16)

c. Meminta keterangan kepada bank atau lemaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang

diperikasa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang

keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa

kepada instansi terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi

perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara

perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh

tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum

negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan

barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain melakukan

penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara

tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyelidik adalah Penyelidik

(17)

Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (2) menyatakan bahwa Penyelidik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak

pidana korupsi.

Diaturnya kewenangan penyelidikan oleh KPK berdasarkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(selanjutnya disebut UU KPK), maka polri tidak menjadi satu-satunya aparat

penegak hukum yang dapat melakukan wewenang penyelidikan tindak pidana,

meskipun wewenang penyelidikan oleh KPK hanya sebatas pada penyelidikan

tindak pidana korupsi.

2. Kewenangan Penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi dimiliki Komisi

Pemberantasan Korupsi selain Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam Pasal 26

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi disebutkan bahwa Penyidikan, Penuntutanm dan Pemeriksaan di sidang

pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara

pidana yang beraku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Selanjutnya

menurut Pasal 39 Ayat (1) UU KPK disebutkan bahwa Penyelidikan, Penyidikan

dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan Hukum Acara

Pidana yang berlakudan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam

(18)

Tugas KPK menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Wewenang KPK terkait dengan tugas penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tidak pidana korupsi tertuang dalam pasal 11 UU KPK yaitu terhadap

tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan

orang-orang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).

Menurut UU KPK, KPK bukan hanya dapat sebagai bertindak sebagai

(19)

ketentuan Pasal 9, dikatakan bahwa KPK dapat mengambil alih penyidikan dan

penuntutan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan, dengan alasan68:

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak

ditindaklanjuti;

b. Proses penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut atau

tertunda-tunda dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sebenarnya;

d. Penanganan tindak pidana korupsi yang mengandung unsur korupsi;

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena adanya campur

tangan dari pihak eksekutif, yudikatif maupun legislatif; dan/atau

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan pihak kepolisian atau

kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara

baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Pasal 41 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan wujud peran serta masyarakat,

yaitu:

a. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan

telah terjadi tindak pidana korupsi.

68

(20)

b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan

memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi

kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.

c. Hak meyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.

d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya

yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari.

e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum.

Peran serta masyarakat ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas

pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Penyidik KPK juga mempunyai wewenang berdasarkan Pasal 74

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian

Uang yang tindak pidana asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi.

3. Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Terkait dengan tindak pidana korupsi, KPK sebagai lembaga yang

mempunyai tugas dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi berdasarkan UU

KPK, berwenang untuk melakukan koordinasi dan supervisi, termasik

peyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan

(21)

Kewenangan penuntutan oleh KPK tersebut tertuang secara tegas pada

Pasal 6 UU KPK yang mengatur tentang tugas KPK, yaitu:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenaqng melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi (Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara, Ispektorat pada departemen atau lembaga

non-departemen);

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, pemyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, KPK

berlandaskan pada asas sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 huruf e UU KPK69:

a. Kepastian Hukum, bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh KPK

harus berdasar pada peraturan perundang-undangan.

b. Keterbukaan, bahwa KPK wajib membuka dan memberikan akses

informasi kepada masyarakat atas kinerja KPK dalam menjalankan tugas

dan fungsinya.

69

(22)

c. Akuntabilitas, bahwa setiap tindakan KPK termasuk hasil akhir dari

tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat.

d. Kepentingan Umum, bahwa segala tindakan KPK dalam pengungkapan

kasus korupsi wajib memperhatikan dan mengutamakan kepentingan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

e. Proporsionalitas merupakan asas yang mengutamakan keseimbangan

antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.

C. Tindak Pidana Korupsi sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.

1. Korupsi sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau

perbuatan yang memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya

atau hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan

(crime organization) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi,

perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya. Tujuannya adalah

menyembunyikan atau mengaburkan asal usul uang haram tersebut sehingga dapat

digunakan seolah olah sebagai uang yang sah.70

Sutan Remi Sjahdeni memberikan defenisi yang lengkap tentang money

laundring dengan mangatakan bahwa Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan

merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang

70

(23)

haram atau uang hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan dan

menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang

berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama

memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan (financial sistem) sehingga

uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang

halal.71

Predicate Crime atau dalam bahasa hukum disebut tindak pidana asal.

Istilah ini hampir tidak pernah dikenal dalam tindak pidana yang lain terlebih

tindak pidana biasa, karenanya istilah ini baru muncul dalam tindak pidana

pencucian uang yang memang dikenal sebagai double track criminality atau

tindak pidana yang memiliki predicate crime dan follow up crime.

Tidak banyak pakar yang memberikan pengertian tentang predicate crime

dalam tindak pidana pencucian uang namun perlu untuk menjadi rujukan

pengertian yang dikemukakan oleh Imam C. Syahputra, yang mengatakan bahwa

“predicate crime adalah kejahatan yang berkenaan dengan perilaku yang

melanggar hukum itu sendiri.

Seperti pembahasan diatas bahwa predicate crime adalah tindak pidana

yang menghasilkan uang atau harta kekayaan yang akan dikaburkan asal usul

hartanya dengan melakukan pencucian uang. Undang-undang dalam hal ini UU

No. 8 Tahun 2010 melimitatifkan apa saja yang dapat dianggap sebagai kejahatan

asal sebelum terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut terdapat dalam

71

(24)

Pasal 2 menyatakan bahwa harta kekayaan adalah harta yang diperoleh dari tindak

pidana:

1. korupsi;

2. penyuapan;

3. narkotika;

4. psikotropika;

5. penyelundupan tenaga kerja;

6. penyelundupan migran;

7. di bidang perbankan;

8. di bidang pasar modal;

9. di bidang perasuransian;

10.kepabeanan;

11.cukai;

12.perdagangan orang;

13.perdagangan senjata gelap;

14.terorisme;

15.penculikan;

16.pencurian;

17.penggelapan;

18.penipuan;

19.pemalsuan uang;

20.perjudian;

(25)

22.di bidang perpajakan;

23.di bidang kehutanan;

24.di bidang lingkungan hidup;

25.di bidang kelautan dan perikanan; atau

26.tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4

(empat) tahun atau lebih.

2. Pengaturan Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Sistem Pembuktian menurut KUHAP

Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau

menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.72 Indonesia dengan KUHAP-nya

menganut sistem pembuktian negatif yaitu menurut undang-undang dimana

peranan alat bukti dan keyakinan hakim bergandengan dalam sebuah pengambilan

keputusan pengadilan. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

ini dapat dikatakan merupakan kolaborasi dari sistem pembuktian berdasar

kayakinan hakim (conviction in time) dan sistem pembuktian positif (mutlak

menggunakan alat bukti). Karena sistem pembuktian ini memberikan

keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang itu. Dari

keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

“menggabungkan” kedalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut

keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.73

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak

72

Adami Chazawi, Op.cit, Hal. 398 73

(26)

pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan

alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak

cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta

yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan

pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang

merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.74

Sistem ini mewajibkan dan melimitatifkan apa saja yang dapat dijadikan

bukti dipersidangan dan tercantum dalam Pasal 184 KUHAP yakni, yang

dimaksud sebagai alat bukti yaitu:

a. Keterangan Saksi

b. Keterangan Ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa untuk menentukan salah atau

tidaknya terdakwa maka maka ada dua komponen yang harus terpenuhi yakni:

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat bukti yang sah

menurut undang-undang.

74

(27)

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarakan atas cara dan dengan

alat bukti yang sah menurut undang-undang75

KUHAP pun mengatur tentang batas minimal suatu pembuktian dari alat

alat bukti diatas dan itu digambarkan dalam Pasal 183 KUHAP yakni:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Batas minimal alat bukti ini juga terkandung dalam Pasal 185 ayat (2) yakni:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”

Pasal ini adalah perwujudan dari asas unus testis nullus testis yang berarti

satu saksi bukan saksi dan itu juga berarti satu alat bukti belum bisa dipakai untuk

menghukum terdakwa.

Pasal tersebut juga mensyaratkan adanya keyakinan hakim dalam setiap

pengambilan keputusan. Ini berarti pengamatan hakim sangat penting dan esensial

sifatnya karena hakim yang menguasai proses persidangan.76 Pasal 188 ayat (3)

KUHAP menyatakan bahwa:

“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”

Peranan hakim disini cukup penting karena hakim harus menyertakan

keyakinannya atas suatu keterbuktian terhadap peristiwa dan keyakinannya

75

M. Yahya Harahap, Loc.cit, hal. 279 76

(28)

tersebut adalah apa yang ia temukan dipersidangan selama proses persidangan

berlangsung. Hakim juga diwajibkan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam

masyarakat dan mencari tahu keinginan dan rasa keadilan dalam masyarakat, dan

ini wajib oleh Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yakni:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”

Hal ini menjadikan peranan undang-undang dan keyakinan hakim dalam

sistem pembuktian negatif menjadi seimbang, jikalau dipersidangan telah terdapat

dua alat bukti yang membuktikan kesalahan terdakwa akan tetapi hakim tidak

yakin dengan hal tersebut maka hakim boleh membebaskan terdakwa, begitu pun

sebaliknya sekalipun hakim yakin bahwa terdakwa bersalah akan tetapi bukti

dipersidangan tidak mencukupi batas minimal maka hakim harus membebaskan

terdakwa.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses

pemeriksaan persidangan adalah:77

1) Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk

meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar

menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau

catatan dakwaan.

2) Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha

sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti

77

(29)

yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari

tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau

penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang

menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut

disebut bukti kebalikan.

3) Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya

alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut

umum atau penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat

keputusan.

b. Pengaturan Pembuktian Terbalik

Dasar hukum munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) adalah Pasal 103 KUHP. Didalam pasal tersebut dinyatakan:

“ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (wet) tindakan umum pemerintahan (algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain”

Dalam ketentuan sistem pembalikan beban pembuktian UU No. 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam sistem pembalikan beban pembuktian ini beban pembuktian berada

ditangan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa.

Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur

lain daripada yang telah diatur di dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu

bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex specialis

(30)

ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan

ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.78

1) Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

Mengenai pembalikan beban pembuktian diatur dalam UU No. 31 Tahun

1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yaitu Pasal 37:

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999

menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa

mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan

sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.79

2) Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010)

Pasal 77 UU No 8 tahun 2010 menyebutkan bahwa untuk kepentingan

pemeriksaan pengadilan, maka terdakwa wajib membuktikan bahwa harta

kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pada penjelasan pasal ini

tertera cukup jelas, sehingga konstruksi hukum pada undang undang ini

mengamanatkan bahwa terdakwa tidak lagi “diberi kesempatan” dalam

78

Evi Hartanti, Loc.cit 79

(31)

pembuktian terbalik, namun “wajib” untuk melakukannya. Inilah kelebihan

undang undang pencucian uang yang baru dibanding undang undang yang lama.80

Dalam hal pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian tidak perlu

dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal (predicate crime), karena tindak

pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Hal ini

diatur dalam ketentuan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010.

Walaupun kejahatan pencucian uang ini lahir dari kejahatan asalnya,

misalnya korupsi namun rezim anti pencucian uang dihampir seluruh negara

menempatkan pencucian uang sebagai salah satu kejahatan yang tidak bergantung

pada kejahatan asal dalam hal akan dilakukan proses penyidikan pencucian uang.81

Dilihat secara komperhensif melalui pendekatan sejarah pembuktian

terbalik sebetulnya tidak dikenal dalam negara yang menganut sistem hukum Civil

Law maupun Common Law (Anglo Saxon). Namun pada akhirnya terdapat

pengecualian terhadap peraturan kedua sistem tersebut, yakni diaturnya beban

pembuktian terbalik atas kasus suap atau gratifikasi.82 Perdebatan para ahli dengan

mengomparasikan penggunaan beban pembuktian terbalik dengan negara lain

sebetulnya terletak pada ruh dari kedua sistem hukum ini. Keduanya mengakui

penggunaan pembuktian terbalik, namun ruh dari civil law berasas praduga tak

bersalah, sedangkan common law (Anglo saxon) sebaliknya dengan menggunakan

praduga bersalah.

80

Philips Darwin, Money Laundering, Op.cit, hal 78. 81

Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal 228.

82

(32)

Metode beban pembuktian terbalik dalam TPPU saat ini telah dilakukan

oleh beberapa negara, antara lain Hongkong, Inggris Malaysia, Singapura.

Persoalan beban pembuktian terbalik dalam perkembangannya, menjadikan suatu

kondisi yang mana dalam “certain cases” (kasus kasus tertentu) yaitu korupsi,

diperkenankan dengan mekanisme yang berbeda dengan menerapkan sistem

pembuktian terbalik.83

Proses prosedural dari peradilan pidana dalam ranah TPPU berorientasi

salah satunya dengan pengembalian aset kejahatan melalui metode beban

pembuktian terbalik. Di negara Inggris dan beberapa negara common law lainnya

proses tersebut menggunakan praktik non-conviction based forfeiture, yang

memisahkan aspek “pemilik aset” di satu sisi dan aspek “aset tindak pidana di sisi

lain.84 Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa beban pembuktian terbalik tidak

melanggar Hak Asasi Manusia karena di dasarkan pada teori beban pembuktian

terbalik berimbang.

Secara sosiologis bahwa keadaan di Indonesia saat ini dari apa yang

dikemukakan sebelumnya telah berada dalam transisi pembenahan permasalahan

TPPU dengan berbagai kejahatan asal. Kebutuhan hukum serta kondisi faktual saat

ini adalah konsep baru dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan

penguatan sistem beban pembuktian terbalik dalam penyelesaian TPPU.85

83

Lilik Mulyadi 2007:103 dalam pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M.Hum, Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, 2012

84

Ibid., hal 15 85

(33)

Beban pembuktian terbalik secara berimbang yang menjadi muatan utama

konsep di Indonesia merupakan salah satu jalan terbaik untuk mengikis pergesekan

pertentangan. Menurut Oliver Stolpe dalam beban pembuktian terbalik

keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability of Principles).86 Pelaksanaan

beban pembuktian terbalik telah memiliki kepentingan yang mendesak untuk

segera di implementasikan dalam sebuah praktik TPPU. Sekaligus menjawab atas

permasalahan mengakar dalam kejahatan asal TPPU yang tidak kunjung

menempati titik terbaik dalam sejarah bangsa.

Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara

maju adalah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced

probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional

antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak

individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari

korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap

pengungkapan secara tuntas asal usul asetaset yang diduga dari hasil korupsi itu

sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang

sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang

yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh

dilanggar.87

86

Sunarmi dkk, dalam jurnal, Tinjauan Yuridis Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, 2011

87

(34)

Model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003,dan

banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang menggunakan

sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggunaan

prosedur keperdataan dalam menerapkan teori pembuktian terbalik dengan

keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian

terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta

kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.88

Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat

ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam konteks proses pembekuan

(freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul

Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti

Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih

dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981

dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta

pemeriksaan pengadilan di dalam UU Nomor 8 tahun 2010.89

88

Ibid 89

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 2.3 Jumlah Mata Air, Debit Rerata Tahunan dan Volume Tahunan di Wilayah Sungai UPT PSDAW di Provinsi Jawa Timur tahun 2012

Oleh karena itu untuk membuat animasi iklan dibutuhkan dua komponen animasi yaitu animasi teks yang digunakan untuk menyampaikan informasi dan animasi twening objek yang

Langkah pertama pembuatan program ini adalah mengumpulkan elemen elemen yang dibutuhkan untuk membuat suatu aplikasi multimedia lalu dilanjutkan dengan menggabungkan elemen

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Pada pertemuan pertama terdapat 6 kelompok dimana terdapat 4 hingga 5 siswa dari masing-masing kelompok, pada pertemuan pertama karena masih proses adaptasi

Pada siklus I ini hanya 34 peserta didik yang menjadi responden dari 35 peserta didik, dikarenakan satu siswa sedang sakit pada saat tes siklus dilaksanakan. terdiri dari

Pemasaran atau juga promosi dalam dunia pendidikan ini, tak akan lepas dari Masyarakat, bayangkan jika sebuah perusahaan maupun madrasah tetapi tidak didukung

Dalam kurikulum Sekolah Dasar tahun 2004 dikemukakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan suatu mata pelajaran yang mengkaji serangkaian peristiwa, fakta, konsep, dan