BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metronidazol
2.1.1 Sifat fisika kimia metronidazol
Struktur kimia metronidazol dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini:
N N NO2
OH
CH3
Gambar 2.1 Struktur kimia metronidazol
Rumus molekul metronidazol adalah C9H9N3O3 dengan nama kimia (1β-hidroksi-etil)-2-metil-5-nitromidazol, mempunyai berat molekul 171,16. Pemeriannya antara lain: Serbuk hablur; putih atau kuning gading; bau lemah; rasa pahit dan agak asin. Larut dalam 100 bagian air, dalam 200 bagian etanol (95%) P dan dalam 250 bagian klorofom P; sukar larut dalam eter P.(Ditjen POM, 1995).
2.1.2 Farmakologi
Metronidazol adalah antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dan protozoa. Spektrum antiprotozoanya mencakup
Trikomonasi Gardnerella Vaginalis,Entamoeba Histolytica, dan Guardian
Lamblia. Aktifitas antibakterinya sangat bermanfaat untuk sepsis pada kasus
dan putusnya rantai sehingga sintesa protein dihambat dan kematian sel. (Sukandar, dkk.,2008).
2.1.3 Farmakokinetik
Absorbsi metronidazol berlangsung dengan sangat baik sesudah pemberian oral. Metronidazole diserap dengan baik secara oral dengan eliminasi plasma dengan waktu paruh mulai 6-7 jam (Mourya, et al., 2010). Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena disebabkan oleh absorbsi yang buruk atau metabolisme yang terlalu cepat. Obat ini diekskresi dalam urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolis hasil oksidasi dan glukoronidasi. Metronidazol juga diekskresi melalui air liur, air susu, cairan vagina dan lain-lain (Sukandar, dkk.,2008).
2.2 Alginat
Alginat merupakan karbohidrat, seperti gula dan selulosa dan merupakan polimer struktural pada ganggang laut sama seperti selulosa pada tanaman. Alginat adalah kopolimer anionik yang terdiri dari residu asam β -D-manuronat dan asam α-L-guluronat dalam ikatan 1,4. (Dornish and Dessen, 2004). Alginat komersial paling banyak diproduksi dari Laminaria hyperborea,
Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria
japonica, Eclonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea antarctica, dan
Sargassum sp (Draget, et al., 2005) .
Tabel 2.1 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga
Nama Spesies
Perbandingan asam uronat (%) Asam Guluronat
(G)
Asam Manuronat (M)
Laminaria hyperborean (blade) 55 45
Macrocystis pyrifera 39 61
Laminaria digitata 41 59
Ascophyllum nodosum (old tissue) 36 64
Laminaria japonica 35 65
Eclonia maxima 45 55
Lessonia nigrescens 38 62
Durvillea Antarctica 29 71
Perbandingan yang bervariasi dari asam uronat menyebabkan perbedaan sifat produk yang dihasilkan. Alginat yang mengandung asam guluronat yang tinggi akan cenderung mempunyai struktur yang kaku (rigid) serta mempunyai porositas yang besar, sedangkan yang mengandung asam mannuronat yang tinggi mempunyai struktur yang tidak kaku atau lebih fleksibel (Draget, et al., 2005).
2.2.1 Struktur kimia alginat
Gambar 2.2 Struktur kimia alginat
Jumlah relatif dari dua monomer asam uronat dan pengaturan urutan dari kedua monomer tersebut sepanjang rantai polimer sangat bervariasi, tergantung pada jenis alginate (Dornish and Dessen, 2004).
2.2.2 Sifat alginat
Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain:
- pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.
- Kekuatan ionik total zat terlarut juga memainkan peranan penting (efek
salting-out kation-kation non-gelling), dan
Dasar dari sifat pembentuk gel alginat ialah karakteristik spesifik pengikatan ion. Eksperimen yang mencakup dialisis kesetimbangan alginat telah menunjukkan bahwa pengikatan selektif dari ion-ion logam alkali tanah tertentu (contoh. Pengikatan Ca2+ dengan alginat lebih kuat dan kooperatif dibanding dengan Mg2+) meningkat tajam dengan adanya peningkatan kandungan residu α-L-guluronat dalam rantai. Blok-blok poli-mannuronat dan blok-blok selang-seling hampir tanpa selektivitas (Draget, et al., 2005).
Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel alginat dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).
mengalami kehilangan viskositas akibat terjadinya polimerisasi. Sediaan disimpan dingin dan dilindungi dari cahaya dalam wadah tertutup baik (Voight, 1995).
2.3 Kitosan
Kitin adalah polisakarida yang paling melimpah di alam, yang kedua setelah selulosa. Tulang punggung gulanya mengandung glukosamin ikatan β -1,4 dengan tingkatan N-asetilasi yang tinggi, strukturnya sangat mirip dengan selulosa, perbedaan satu-satunya ialah pemindahan beberapa hidroksil oleh gugus amino. Biopolimer polikationik ini merupakan komponen struktural rangka luar krustasea dan serangga, dan juga ada dalam beberapa fungi. Sumber utama kitin untuk industri adalah sampah kulit udang, lobster, dan kepiting, yang mana sampah-sampah tersebut mengandung senyawa organik sebanyak 70% (Felt, et al., 1998).
banyaknya kegunaan, termasuk kegunaan hemostatik dan spermisidal (Felt, et
al., 1998).
2.3.1 Struktur kimia kitosan
Kitosan merupakan biopolimer yang linear, tidak bercabang, polimer yang dibangun dari monomer-monomer glukosamin dan N-asetilglukosamin yang terikat pada pola β-(14). Hasil deasetilasi kitin terdapat sebagai distribusi acak unit-unit glukosamin sepanjang rantai polimer.
Struktur kimia dari kitin dan kitosan ditunjukkan seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur kimia kitin dan kitosan 2.3.2 Sifat kitosan
tetapi tidak larut sama sekali pada pH 6,5. Kitosan dengan tingkatan deasetilasi yang rendah, sebagai contoh 63% akan mudah larut pada pH 7, sedang kitosan dengan deasetilasi 40% akan tetap tinggal pada pH 7 (Dornish and Dessen, 2004).
Salah satu sifat kitosan yang penting untuk aplikasi penyampaian obat (contoh penyampaian obat nasal) adalah kemampuannya untuk menginduksi pembukaan jaringan ikat sementara pada lapisan epithelial. Hal ini telah ditunjukkan untuk bergantung pada bobot molekul dan tingkat deasetilasi (Dornish and Dessen, 2004).
2.4 Kalsium Alginat-Kitosan
Alginat merupakan poliasam natural dan memiliki sifat yang unik dalam pembentukan gel dengan adanya kation multivalent seperti ion-ion kalsium dalam medium cair. Hal ini tampak melalui pengikatan ion-ion kalsium dalam rongga residu-residu asam guluronat, membentuk mikrokapsul polianion. Penambahan polikation seperti kitosan dengan karakteristik polikation yang unik, menuntun kepada interaksi kuat dengan alginat yang bermuatan negatif (Farahani, et al., 2006).
peningkatan jumlah muatan obat dan sifat bioadesif, juga sifat pelepasan obat yang diperlama (Farahani, et al., 2006).
2.5 Matriks
Matriks dapat digambarkan sebagai zat pembawa padat inert yang di dalamnya obat tercampur secara merata. Suatu matriks dapat dibentuk secara sederhana dengan mengempa atau menyatukan obat dengan bahan matriks bersama-sama. Umumnya, obat ada dalam persen yang lebih kecil agar matriks memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap air dan obat berdifusi keluar secara lambat. Sebagian besar bahan matriks tidak larut dalam air meskipun ada beberapa bahan yang dapat mengembang secara lambat dalam air. Jenis matriks dari pelepasan obat dapat dibentuk menjadi suatu tablet atau butir-butir kecil bergantung pada komposisi formula (Shargel, dkk., 1999).
Lachman, dkk. (1994), menyatakan matriks digolongkan menjadi tiga jenis yaitu:
a. Matriks tidak larut, inert
Polimer inert yang tidak larut seperti polietilen, polivinil klorida dan kopolimer akrilat, etil selulosa dirancang untuk tidak pecah dalam saluran cerna. Bentuk tablet dengan matriks ini tidak dapat digunakan untuk formulasi bahan aktif dalam miligram yang tinggi, dan obat yang sukar larut dalam air dimana disolusi dalam matriks sebagai pembatas laju disolusinya.
b. Matriks tidak larut, dapat terkikis
pencernaan dibandingkan dengan matriks polimer yang tidak larut secara keseluruhan. Pelepasan obat total dari matriks ini tidak mungkin terjadi, karena fraksi tertentu dari dosis tersebut disalut dengan lapisan tipis yang tidak permeabel. Penglepasan obat dari jenis matriks ini dikontrol lebih efektif dengan penambahan surfaktan atau zat pengikat dalam bentuk polimer-polimer hidrofilik, yang mendorong penetrasi air dan erosi matriks yang berurutan. Bahan-bahan yang termasuk dalam golongan ini adalah asam stearat, stearil alkohol, malam carnauba dan polietilen glikol.
c. Matriks hidrofilik
Penglepasan obat dikontrol oleh penetrasi air melalui suatu lapisan gel, yang dihasilkan dari hidrasi polimer dan difusi obat melalui matriks terhidrasi yang mengalami pengembangan, disamping erosi dari lapisan gel. Besarnya erosi dan difusi yang mengontrol penglepasan tergantung pada polimer yang dipilih untuk formulasi, dan juga pada perbandingan obat:polimer. Matriks jenis ini diantaranya adalah metal selulosa, Hidroksietil selulosa, Hidroksipropil metilselulosa, Natrium karboksimetilselulosa, Natrium alginat, Xanthan gum dan karbopol,
konvensional. Kedua, waktu perkembangan dan biaya yang bersesuaian dengan sistem matriks umumnya kelihatan seperti yang diharapkan, dan tidak ada tambahan modal investasi yang diharuskan. Terakhir, sistem matriks mampu mengakomodasi baik kandungan obat berdosis rendah maupun yang tinggi dan mampu mengakomodasi kandungan aktif dengan kisaran sifat-sifat fisik dan kimia yang cukup luas.
Sebagaimana dengan teknologi yang lain, sistem matriks juga memiliki keterbatasan tertentu. Pertama, sistem matriks memiliki sifat yang kurang fleksibel dalam penambahan tingkat dosis konstan yang mengalami perubahan, seperti yang disyaratkan oleh studi klinis ke depan. Saat kekuatan dosis baru dipandang perlu, lebih sering terjadi dan bukanlah formulasi baru sehingga dengan demikian diharapkan sumber daya tambahan. Lebih lanjut, untuk beberapa produk yang membutuhkan profil pelepasan yang unik (misalnya pelepasan ganda dua atau pelepasan tertunda tambah pelepasan diperpanjang), teknologi bahan berdasar matriks yang lebih kompleks seperti tablet selaput (misal Alegra D) akan dibutuhkan kemudian.
2.5.1 Pengembangan matriks
yaitu densitas ikatan silang. Pada kasus polimer dengan muatan, kesetimbangan pengembangan matriks polimerik lebih rumit sebagaimana hal tersebut sangat bergantung juga pada kekuatan ionik. (Grassi and Grassi, 2005).
2.5.2 Pelepasan obat dari matriks
Higuchi mengusulkan suatu persamaan untuk menggambarkan kecepatan pelepasan obat yang terdispersi dalam suatu matriks yang padat dan inert.
Keterangan :
M = Jumlah obat yang dilepaskan dari matriks
ε = Porositas matriks.
τ = Tortuositas matriks.
Ca = Kelarutan obat dalam medium pelepasan. Ds = Koefisiensi difusi dalam medium pelepasan. Co = Jumlah total persen obat per unit dalam matriks. Persamaan diatas dapat ditulis menjadi sangat sederhana, yaitu:
Dengan k adalah konstanta. Jika suatu plot dibuat antar M (jumlah total obat yangdilepaskan) versus akar waktu (t1/2) maka hubungan yang linier akan diperoleh (Grassi and Grassi, 2005).
2.6 Disolusi
Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol
laju bioabsorbsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini
seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada
dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi
sistemik (Martin, dkk., 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:
i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.
ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:
i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.
c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi :
meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.
ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat.
iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000).
United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode
resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu: a. Metode Keranjang (Basket )
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.
b. Metode Dayung (Paddle)
yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.
c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi
Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat. 2.7 Sistem Penghantaran Obat Pelepasan Terkontrol (Gennaro, 2000)
Istilah pelepasan terkontrol menunjukkan bahwa pelepasan obat dari bentuk dari bentuk sediaan terjadi sesuai yang direncanakan, dapat diramalkan dan lebih lambat dari biasanya. Lebih tepatnya, pelepasan terkendali dapat didefinisikan sebagai:
relatif konstan dalam tubuh dengan meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan
2. Aksi obat terlokalisir (localized drug action) pada tempat kerja tertentu berdekatan atau dalam jaringan yang sakit atau organ.
3. Kerja obat bertarget (targeted drug action) dengan menggunakan pembawa atau turunan kimia untuk memberikan obat pada target jenis sel tertentu.
4. Menyediakan suatu sistem obat yang pelepasannya terkendali secara fisiologi maupun terapeutik.