TUGAS PENGEMBANGAN INDUSTRI AKUAKULTUR
PENGEMBANGAN BIBIT RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) HASIL KULTUR JARINGAN UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI
RUMPUT LAUT NASIONAL
OLEH:
RAHMAT HASRIAH I1A2 14 041
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HALU OLEO
PENDAHULUAN
Salah satu komoditi unggulan dalam perdagangan dunia adalah rumput laut
dan Indonesia menjadi salah satu negara penyuplai bahan baku rumput laut (Ria, dkk.
2016). Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP mengharapkan hasil budidaya
rumput laut pada tahun 2017 mencapai 12-13 juta ton (Akuakultur Indonesia, 2016).
Produksi utama rumput laut di Sultra sampai saat ini (>85%) didominasi oleh
budidaya rumput laut jenis (Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma denticulatum),
yang sebagian besar menyuplai permintaan pasar global untuk bahan baku (Sahrir, et
al. 2014).
Rumput laut K. alvarezii sudah umum dibudidayakan oleh petani di Indonesia
dan dikenal dengan kualitasnya yang baik dan banyak diminati oleh industri karena
mengandung sumber karaginan, agar-agar dan alginat yang cukup tinggi. Hal inilah
yang menjadikan rumput laut sebagai salah satu komoditi unggulan dalam
perdagangan dunia dan Indonesia menjadi salah satu negara penyuplai bahan baku
rumput laut (Hermawan, 2015).
Kendala pengembangan produksi rumput laut yaitu keterbatasan bibit,
pertumbuhan K. alvarezii tergolong lambat dan rentan terserang penyakit. Petani juga
sering menggunakan bibit yang berulang-ulang dari sumber indukan yang sama,
sehingga berpotensi mengalami penurunan kualitas (Sapitri, dkk. 2016). Solusi yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikan kendala tersebut adalah bibit rumput laut kultur
jaringan. Bibit tersebut merupakan bibit yang memiliki sifat unggul yang sama seperti
bukan kultur jaringan sudah digunakan sebagai bibit dari siklus pertumbuhan
sebelumnya, sehingga kemampuan hidupnya menjadi menurun dan juga tidak tahan
terhadap serangan hama dan penyakit yang ada di alam (Sapitri, dkk. 2016). Teknik kultur jaringan menjanjikan perbanyakan benih secara berkesinambungan dan
berkualitas tinggi (Rangka dan Paena, 2012).
Berdasarkan penjelasan di atas, dengan keunggulan yang dimiliki bibit rumput
laut hasil kultur jaringan maka sangat penting dilakukan pengembangan potensi
akuaultur menggunakan bibit tersebut untuk mendukung peningkatan produksi
rumput laut nasional.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi Rumput Laut
Menurut Neish (2005) klasifikasi rumput laut K. alvarezii adalah sebagai
berikut:
Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae
Bangsa : Gigartinales Famili : Solieriaceae Genus : Kappaphycus Spesies : K. alvarezii
Ciri-ciri K. alvarezii yaitu thallus silindiris, permukaan lincin, cartilageneus
(menyerupai tulang rawan/muda), serta berwarna hijau terang, hijau olive, dan coklat
kemerahan. Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus
(tonjolan-tonjolan) dan duri lunak/tumpul untuk melindungi gametangia.
dischotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga) (Anggadiredja, dkk. 2006).
B. Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman
seperti sitoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, kemudian
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik yang kaya akan nutrisi serta zat pengatur
tumbuh (ZPT) dalam wadah tertutup yang tembus cahaya agar tanaman tersebut dapat
beregenerasi dan memperbanyak diri menjadi tanaman lengkap (Bujang, 2013).
Kultur jaringan (mikropropagasi) memiliki beberapa keunggulan diantaranya dapat meningkatkan produksi bibit untuk budidaya dan untuk memproduksi rumput laut yang seragam dengan menentukan karakternya dalam waktu singkat (Hayashi, et
al. 2008). Selanjutnya Reddy, et al. (2003), menyatakan bahwa tanaman hasil kultur
jaringan memiliki tingkat pertumbuhan 1,5 sampai 1,8 lebih tinggi dibanding dengan tanaman lainnya ketika di budidayakan di laut India.
STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMPUT LAUT
1. Persiapan Bibit Rumput Laut
Bibit rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang digunakan berasal
dari bibit rumput laut yang dihasilkan dari proses kultur jaringan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Aslan dan Ruslaini (2015). Bibit rumput laut harus
adalah yang muda, segar, bersih serta bebas dari jenis rumput laut lainnya (Abdan,
dkk. 2013).
2. Proses Budidaya
Proses budidaya dilakukan selama 45 hari (Susilowati, dkk. 2012; Pongarrang,
dkk. 2013). Selama masa pemeliharaan dilakukan pengontrolan organisme uji, dengan membersihkan kotoran berupa lumut atau hewan pengganggu pada tali ris dan rumput
laut yang dilakukan setiap 5 hari sekali. Alimuddin (2013), menyatakan bahwa
pembersihan terhadap kotoran yang menempel pada wadah-wadah penelitian untuk
memperlancar sirkulasi air. Selain itu, juga dilakukan pengukuran kualitas air
lingkungan pemeliharaan. Saat pembersihan diamati spesies hama pengganggu dan
tanda-tanda apabila terdapat kontaminasi penyakit. Pada hari tersebut juga dilakukan
pengukuran suhu, salinitas, arah dan kecepatan arus, kecerahan, pH, oksigen terlarut,
total nitrogen serta ortophospat (Arisandi, dkk. 2013).
3. Panen dan Pasca Panen
Pemanenan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Membuka pengikat antara tali ris dengan tali utama
b. Menarik tali rumput laut secara perlahan-lahan
c. Memasukkan rumput laut ke dalam perahu dan memastikan rumput laut
dalam keadaan utuh dan tidak patah atau rusak.Selanjutnya dilakukan proses
Kualitas rumput laut kering yang dihasilkan selain ditentukan oleh teknik
budidaya, lingkungan tempat tumbuh, iklim, juga dipengaruhi oleh umur panen dan
penanganan pascapanen yang tepat. Usia panen rumput laut harus diperhatikan untuk
mendapatkan rumput laut kering yang berkualitas. Pemanenan yang terlalu cepat atau
lambat akan berakibat pada turunnya kualitas rumput laut. Umur panen rumput laut
jenis Eucheuma cottonii sp adalah 45 – 55 hari (Sulistyowati, 2015).
Untuk menurunkan kadar kotoran rumput laut kering maka penjemuran bisa
dilakukan di atas media tertentu seperti para–para atau dijemur dengan cara digantung
(Sulistyowati, 2015). Metode gantung selain lebih murah, juga cara ini lebih baik
karena memiliki kadar kotoran lebih rendah selain itu dengan cara digantung kadar
garam yang menempel akan minim, hal ini karena air yang mengandung garam cepat
menetes ke bawah. Tingkat kekeringan lebih merata, waktu pengeringan lebih cepat
dan hasil rumput laut kering utuh Nindhia dan Surata, 2016; Sahira 2017). Hal ini
sesuai dengan pendapat Ling, et al. (2015) bahwa, menggantung rumput laut akan
lebih baik dan menghasilkan hasil yang bagus dibanding dengan menjemurnya
dibawah sinar matahari langsung.
4. Pemasaran
Menurut Maftuhah dan Zuhriyah (2012) bahwa skema alur pemasaran rumput
laut dari produsen hingga konsumen dapat dilihat bahwa terdapat dua tipe saluran
pemasaran yang terbentuk yaitu:
Gambar 1. Skema Saluran Pemasaran Rumput Laut
2) Petani--Pedagang pengumpul--Pabrik
Dengan adanya perbedaan saluran dan panjang pendeknya saluran pemasaran
ini akan mempengaruhi tingkat harga, bagian keuntungan dan biaya serta margin
pemasaran yang diterima setiap pelaku pemasaran rumput laut.
5. Sertifikasi Bibit
Sebaiknya pembudidaya dalam melakukan usahanya selalu mengacu pada
standar teknis yang dikeluarkan oleh instansi terkait, diantaranya Cara Budidaya Ikan
Yang Baik (CBIB) (WWF Indonesia, 2014). Dengan mengantongi sertifikat itu, maka
produk bibit yang akan dijual benar-benar dihasilkan dari benih-benih rumput laut
DAFTAR PUSTAKA
Abdan., Rahman, A., Ruslaini. 2013. Pengaruh Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut (Eucheuma spinosum) Menggunakan Metode Longline. Jurnal Mina Laut Indonesia, 3(12): 113-123.
Akuakultur Indonesia. 2016. Program Prioritas untuk Mendongkrak Produksi. Tabloid Dwi Bulanan Perikanan Budidaya. 23: 7 hal.
Alimuddin. 2013. Pertumbuhan dan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii yang Dipelihara di Ekosistem Padang Lamun Perairan Puntondo Takalar. Octopus Jurnal Ilmu Perikanan. 2(1). 123-129.
Anggadiredja T.J, Achmad Z, Haripurwanto, Sri I., 2006. Rumput Laut Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta. 147 hal.
Arisandi, A., Farid, A., Rokhmaniati, S. 2013. Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii yang Terkontaminasi Epifit di Perairan Sumenep. Jurnal Kelautan. 6(2): 111-119.
Aslan, L.O.M., Ruslaini. 2015. Pengembangan Bibit Unggul Rumput Laut Kappahycus alvarezii hasil kultur Jaringan dalam Mendukung Peningkatan Produksi Perikanan Nasional di Sultra. UHO. 54 hal.
Bujang, A., 2013. Aklimatisasi dan Uji Lapang Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii Doty) Hasil Perbanyakan Bibit Secara In Vitro di Perairan Laut. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hal.
Hayashi, L., Yokoya, N.S., Kikuchi, D.M. Oliveira, E. C. 2008. Callus Induction and Micropropagation Improved by Colchicines and Phytoregulator in Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae). J Appl Phycol 21:309-399.
Hermawan, D. 2015. Pengaruh Perbedaan Strain Rumput Laut Kappaphycus alvarezii terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 5(1): 1-8.
Ling, A.L.M., Yasir, S., Matanjum, P., Bakar, M.F.A. 2015. Effect of Different Drying Techniques on The Phytochemical Content and Antioxidant Activity of
Neish., I., C. 2005. The Eucheuma Seaplant Handbook Vol I. Agronomi, Biology and Cultur System. Seaplant Technical Monograph. 36pp.
Rangka, N.A. dan Paena, M. 2012. Potensi dan Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) di Sekitar Perairan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 4(2): 1-9.
Reddy, C.R.K., G.R.K. Kumar, A.K. Siddhanta, A. Tewari. 2003. In Vitro Somatic Embryogenesis and Regeneration of Somatic Embryos from Pigmented Callus of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (Rhodophyta, Gigartinales). J. Phycol. 39 : 610-616.
Ria, A.S., Cokrowati, N., Rusman. 2016. Pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan pada Jarak Tanam yang Berbeda. Depik. 5(1): 12-18.
Sahira. 2017. Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Soliriaceae) menggunakan Bibit Hasil Kultur Jaringan di Perairan Desa Bungin Permai Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.http://sahirafish.blogspot.co.id/2017/08/budidaya-rumput-laut kappaphycus.html. Diakses tanggal 5 agustus 2017. 36 hal.
Sahrir, W.I., Aslan, L.O.M., Bolu, L.O.R., Gooley, G.J., Ingram, B.A., Silva, S.S.D. 2014. Recent Trends in Mariculture in S.E. Sulawesi, Indonesia: General Consideration. Aquac. Asia. 19(1): 14-19.
Sapitri, A. R., Cokrowati, N., Rusman. 2016. Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan pada Jarak Tanam yang Berbeda. Depik. 5(1): 1-7.
Sulistiyowati, E. 2015. Pengaruh umur panen dan metode penjemuran Terhadap mutu fisik rumput laut Eucheuma cottonii sp. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hal.
Susilowati, T., Rejeki, S., Dewi, E. N., Zulfitriani. 2012. Pengaruh Kedalaman terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) yang Dibudidayakan dengan Metode Longline di Pantai Mlonggo, Kabupaten Jepara. Jurnal Saintek Perikanan. 8(1): 7-12.
WWF Indonesia. 2014. Budidaya Rumput Laut - Gracilaria sp. di Tambak. Seri Perikanan Budidaya Skala Kecil. 8: 20 hal.