• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 24

OLEH

PaneMbahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2020 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

(3)

Cerita ini ditulis

Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa

Yang telah menggali cerita

Dari bumi yang tercinta

Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna

Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga

Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk

dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, Juni 2020

Terima kasih atas dukungan:

Istri dan anak-anak tercinta Serta handai taulan

(4)

Dalam pada itu malam masih menyisakan beberapa saat sebelum terbit fajar. Angin yang dingin sesekali bertiup cukup kencang sehingga membuat para peronda di gardu gardu semakin merapatkan kain panjangnya untuk menyelimuti tubuh.

Di sebuah rumah di dalam kotaraja yang tidak begitu menarik perhatian, seseorang tampak keluar dari regol. Di belakangnya seseorang yang sudah beruban namun tampak berwibawa mengantarkannya sampai ke depan pintu regol.

“Usahakan rencana itu bisa terlaksana, Ki Lurah,” berkata orang yang terlihat berwibawa itu.

Orang yang dipanggil Ki Lurah itu mengangguk. Jawabnya kemudian, “Siap, Ki Tumenggung. Akan segera kami usahakan untuk mencari perempuan itu. Dengan iming iming sejumlah uang dia pasti mau melakukannya.”

“Carilah perempuan di kedai kedai yang biasa menjajakan perempuan perempuan liar itu,” Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lanjutnya, “Cari yang masih muda dan menarik serta pandai bicara sehingga dapat mempengaruhi Ki Rangga. Namun jangan berlebihan. Ki Rangga pasti akan menjadi curiga karenanya.”

“Baik Ki Tumenggung. Nanti perempuan itu akan kami ajari bagaimana harus menarik simpati Ki Rangga,” Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Semuanya akan kami persiapkan di gumuk dekat dengan pandang perdu sebelah barat kotaraja.”

“Mumpung masih ada waktu, Ki Lurah,” berkata Ki Tumenggung pada akhirnya.

“Baik Ki Tumenggung, aku mohon diri,” berkata Ki Lurah sambil membungkukkan badannya.

“Hati hati Ki Lurah,” sahut Ki Tumenggung kemudian sambil memasuki regol dan menutup pintunya. Sementara Ki Lurah dengan tergesa gesa segera berlalu dari tempat itu.

(5)

Dalam pada itu di tepian kali Krasak, dua orang prajurit sandi yang sedang bertugas telah dikejutkan dengan kedatangan prajurit segelar sepapan dari arah Timur. Walaupun pasukan itu berusaha untuk bergerak dalam senyap dengan cara menyusuri sepanjang tepian kali Krasak, namun kedua prajurit sandi Mataram itu telah mampu melihat pergerakan mereka.

“Pasukan dari manakah?” bisik salah satu prajurit sandi itu sambil merapatkan tubuhnya pada sebuah batu besar di tepian. Jarak mereka memang masih cukup jauh, namun suara langkah prajurit segelar sepapan itu tidak dapat disembunyikan.

“Aku belum tahu,” sahut kawannya sambil berusaha maju beberapa langkah dengan cara bergeser di sela sela batu batu besar yang banyak berserakan di tepian.

“Marilah kita menyingkir ke tanggul sebelah Selatan,” ajak salah satu prajurit sandi itu kemudian, “Jika mereka sampai di tempat ini dan kita belum menyingkir, aku tidak tahu apa yang akan mereka perbuat terhadap kita berdua.”

“Baiklah,” jawab kawannya sambil ikut beringsut meninggalkan tempat itu.

Demikianlah sambil bergeser ke atas tanggul sebelah Selatan, kedua prajurit sandi itu tetap berusaha mengawasi pergerakan pasukan segelar sepapan itu.

Semakin lama derap langkah pasukan segelar sepapan itu semakin terdengar jelas. Tepian yang tidak seberapa luas itu memang agak menyulitkan untuk pergerakan sebuah pasukan dalam bentuk gelar. Ternyata pasukan itu telah menebar, sebagian berjalan di tepian sebelah Utara dan sebagian berjalan menyusur tepian sebelah Selatan.

Tidak tampak umbul umbul maupun rontek yang mereka kibarkan. Agaknya memang pasukan itu telah berusaha menyamarkan jati diri mereka, sehingga kedua prajurit sandi itu mengalami kesulitan untuk mengenali mereka.

“Kita harus segera melaporkan peristiwa ini kepada Ki Patih,” desis salah satu prajurit sandi itu kepada kawannya, “Sambil bergerak

(6)

kembali ke kotaraja, kita hubungi petugas sandi yang lain untuk terus memantau pergerakan mereka.”

“Baik,” sahut kawannya sambil bangkit berdiri. Keduanya pun kemudian segera merunduk runduk di antara gerumbul dan perdu meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu malam pun telah merambat sampai ke ujungnya. Ketika terdengar kokok ayam jantan untuk yang ketiga kalinya, langit sebelah Timur pun mulai dihiasi oleh semburat warna kemerahan. Di istana kepatihan, para penghuninya mulai disibukkan oleh kegiatan keseharian mereka. Ki Gede dan Ratri pun telah terbangun dan pergi ke pakiwan.

“Engkau sudah berani pergi ke pakiwan sendiri, Ratri?” bertanya ayahnya kemudian dengan nada sedikit menggoda.

“Ah, ayah,” sela anak perempuan satu satunya itu sambil menampakkan wajah cemberut.

Namun Ki Gede Matesih hanya menggoda saja. Diantarkan anak perempuan satu satunya itu ke pakiwan.

Ketika kedua ayah dan anak itu kemudian kembali, ternyata di atas meja dalam bilik sudah tersedia sarapan pagi dan dua mangkuk minuman hangat.

“Hem,” kembali Ratri mencoba mencium aroma masakan itu dengan mendekatkan hidungnya yang mancung ke dekat beberapa makanan yang ada di atas meja. Namun kali ini ayahnya hanya membiarkan saja.

Demikianlah sejenak kemudian keduanya segera makan pagi.

“Aku sebenarnya kurang terbiasa untuk makan pagi pagi sekali,” gumam Ki Gede seolah ditujukan kepada dirinya sendiri sambil mengambil daging goreng yang terlihat tebal tetapi sangat empuk. “Kalau begitu ayah jangan makan terlalu banyak,” sahut Ratri sambil menguyah makanan, “Nanti dalam perjalanan ayah bisa sakit perut.” “O, begitu,” sela ayahnya sambil mengangguk angguk, “Terus siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak ini?”

(7)

Ratri menggeleng sambil mengambil empal goreng lagi. Ketika sudut matanya melihat ke arah ayahnya, tampak kening Ki Gede telah berkerut merut.

“Untung kita hanya bermalam semalam,” kembali Ki Gede bergumam seolah ditujukan dirinya sendiri, “Jika satu minggu saja kita bermalam di istana kepatihan ini, tentu aku akan bertambah kurus sementara anak perempuanku akan bertambah gendut.”

“Ah, ayah,” sela Ratri sambil menghentikan makannya sejenak, “Kenapa ayah bertambah kurus dan aku bertambah gendut?”

Ayahnya tidak segera menjawab. Setelah menelan makanan yang berada dalam mulutnya, barulah dia menjawab, “Aku menjadi kurus karena prihatin dan malu melihat selera makan anak perempuanku. Sementara engkau benar benar tidak akan mampu mengendalikan nafsu makanmu.”

“Ah, ayah!” kembali Ratri berdesah, “Sudah aku katakan, nanti di Menoreh aku akan laku prihatin. Sekarang masih belum ayah. Beri aku kesempatan untuk bersenang senang sejenak.”

Ayahnya tidak berkata kata lagi. Hanya sebuah tarikan nafas dalam dalam yang kemudian terdengar.

Ketika mereka berdua telah selesai makan pagi, Ratri segera mengumpulkan mangkuk mangkuk kotor untuk diletakkan di samping pintu bilik. Namun alangkah terkejutnya Ratri begitu dia membuka pintu, seseorang sedang berdiri termangu mangu beberapa langkah di depan pintu.

“Paman Bango Lamatan?” sapa Ratri dengan nada sedikit terkejut. Ki Gede yang mendengar nama Bango Lamatan di sebut segera berjalan menuju ke pintu.

“Selamat pagi Ki Gede, selamat pagi Ratri,” sapa Ki Bango Lamatan kemudian sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Kedua ayah dan anak itu segera menjawab sapa orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.

“Silahkan, silahkan,” berkata Ki Gede kemudian sambil mempersilahkan Ki Bango Lamatan untuk masuk ke dalam bilik. Ratri

(8)

pun setelah meletakkan mangkuk mangkuk kotor di samping pintu segera bergeser dan kemudian duduk di sebuah dingklik dekat meja. Ki Bango Lamatan pun kemudian melangkah masuk. Setelah mengambil sebuah dingklik kayu yang terletak di sudut, Ki Bango Lamatan pun kemudian duduk di hadapan Ki Gede yang duduk di bibir salah satu pembaringan yang ada di dalam bilik itu.

“Nah, apakah Ki Bango Lamatan telah berubah pikiran?” bertanya Ki Gede kemudian.

Sejenak Ki Bango Lamatan tampak mengerutkan keningnya sekilas. Tanyanya kemudian, “Maksud Ki Gede?”

Ki Gede tersenyum. Jawabnya, “Bukankah semalam Ki Bango Lamatan telah mengatakan tidak akan mengantar kami?”

Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam dalam. Sejenak tampak dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Namun akhirnya setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, dia pun berkata, “Ki Gede, sebenarnya aku tidak berubah pikiran, akan tetapi aku telah menerima perintah langsung dari Pangeran Pati.”

Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya dalam dalam. Berbagai dugaan pun timbul dalam benaknya. Tanpa sadar Ki Gede telah mengalihkan pandangan matanya ke arah Ratri yang duduk dekat meja. Namun putrinya itu sama sekali tidak menampakkan kesan apa apa.

Agaknya Ki Bango Lamatan tidak ingin berteka teki terlalu lama. Maka katanya kemudian, “Aku telah diperintah oleh Pangeran Pati untuk mengantar rombongan Ki Gede sampai ke Menoreh dengan selamat.”

“He?!” hampir bersamaan Ki Gede dan Ratri telah terlonjak dari tempat duduknya. Yang telah menjadi gembira adalah Ratri. Katanya kemudian dengan sebuah senyum yang lebar, “Terima kasih paman. Paman telah sudi mengantar kami sampai Menoreh.”

Sedangkan Ki Gede menjadi sedikit heran. Tanyanya kemudian, “Apa sebenarnya yang telah terjadi? Di mana Ki Rangga?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk sejenak wajah Ki Bango Lamatan terlihat muram. Namun dia harus mengatakan sebagaimana

(9)

yang telah diperintahkan oleh Pangeran Pati. Maka jawabnya kemudian setelah menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu, “Ki Gede, Ki Rangga masih akan tinggal di kotaraja beberapa hari lagi. Ki Rangga masih ada urusan yang harus diselesaikan.”

“O,” desis Ki Gede sambil mengangguk angguk. Namun wajah pemimpin perdikan Matesih itu tampak masih menyimpan pertanyaan. Demikian juga Ratri, tampak wajah gadis yang beranjak dewasa dengan segala kelebihannya itu menjadi kecewa.

Ki Bango Lamatan yang menyadari segera melanjutkan kata katanya, “Atas perintah Pangeran Pati, Ki Rangga telah mendapat tugas khusus tadi malam, sehingga tidak sempat memberitahu kepada Ki Gede,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Untuk itu Ki Rangga meminta maaf.”

“O, tidak masalah, Ki. Tidak menjadi masalah,” sahut Ki Gede dengan serta merta.

Tetapi yang kemudian membuat jantung Ki Bango Lamatan melonjak lonjak adalah pertanyaan puteri satu satunya Ki Gede Matesih itu. Bertanya Ratri kemudian “Apakah paman Bango Lamatan pernah pergi ke Menoreh sebelumnya?”

Untuk beberapa saat Ki Bango Lamatan justru telah membeku. Pertanyaan sederhana dari gadis yang masih lugu itu ternyata sangatlah sulit untuk dijawab.

Kenangan Ki Bango Lamatan pun segera terlempar ke beberapa tahun yang lalu ketika dia memimpin pasukan segelar sepapan menyerbu perdikan Menoreh.

“Apakah orang orang perdikan Menoreh sudah melupakan aku?” pertanyaan itu melingkar lingkar dalam benaknya, “Ki Gede Menoreh, Kiai Sabda Dadi dan para pengawal Menoreh mungkin masih ingat kepadaku. Seandainya saja Ki Rangga tetap memimpin rombongan ini, aku tidak usah ikut ke Menoreh.”

“Atau seandainya Glagah Putih tidak jatuh sakit, tentu dia akan ikut pulang ke Menoreh sehingga aku tidak menjadi binggung,” kembali Ki Bango Lamatan berangan angan.

(10)

Namun keputusan Pangeran Pati untuk mengutusnya mengawal rombongan ki Gede Matesih sampai ke Menoreh tidak dapat ditolaknya.

Ki Gede Matesih yang melihat Ki Bango Lamatan seperti orang yang kebingungan segera menengahi. Katanya kemudian, “Tentu saja Ratri. Ki Bango Lamatan pada masa mudanya adalah seorang petualang yang menjelajah dari ujung tanah ini sampai ke ujung yang lain.”

“O, alangkah senangnya bisa menjelajah ke seluruh pelosok di tanah ini!” seru Ratri dengan nada penuh riang gembira, “Aku yakin jika kita diantar oleh paman Bango Lamatan, tentu paman tidak akan kesulitan menemukan jalan menuju ke Menoreh!”

Berdesir dada orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu. Walaupun Ki Ajar Mintaraga telah memberinya pencerahan akan arti kehidupan ini dan kehidupan kelanggengan yang akan diraihnya nanti, tak urung jantung Ki Bango Lamatan pun bergejolak.

“Benar kan paman?” desak Ratri sambil tersenyum.

Tidak ada jalan lain bagi Ki Bango Lamatan kecuali mengangguk sambil tersenyum. Betapapun hambarnya senyum itu.

“Nah,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian untuk mengalihkan perhatian, “Sebaiknya kita segera berbenah, mumpung hari masih pagi.”

Selesai berkata demikian Ki Bango Lamatan segera bangkit berdiri dan melangkah keluar bilik. Di depan pintu Ki Bango Lamatan masih sempat berpesan, “Aku tunggu Ki Gede di regol depan.”

Selesai berkata demikian, Ki Bango Lamatan segera menutup pintu bilik dari luar.

Sepeninggal Ki Bango Lamatan, Ki Gede dan Ratri segera bersiap siap. Sebuah bungkusan perbekalan pakaian dan sebuah pusaka kebanggaan perdikan Matesih Kiai Singkir Geni yang masih dalam selongsongnya tak lupa telah dijinjing Ki Gede.

Demikian kedua orang itu keluar bilik dan kemudian turun ke halaman, tampak lima ekor kuda telah disiapkan. Kedua pengawal

(11)

Matesih yang menyertai perjalanan Ki Gede pun ternyata telah siap pula.

Sambil berjalan melintasi halaman. Pandangan mata Ki Gede pun menangkap seseorang yang sudah pernah dikenalnya.

“Kepala pelayan gandhok,” desis Ki Gede tanpa sadar. Ratri pun berpaling sekilas mendengar desis ayahnya. Ketika pandangan matanya kemudian mengarah ke regol depan, tampak kepala pelayan gandhok yang semalam menyambut mereka telah hadir di regol bersama Ki Bango Lamatan.

“Kami mengucapkan ribuan terima kasih atas sambutan dan pelayanan yang luar biasa selama kami tinggal di istana kepatihan ini,” berkata Ki Gede kemudian sambil menganggukkan kepalanya dalam dalam sesampainya dia di hadapan kepala pelayan itu.

“O, tidak masalah Ki Gede,” jawab kepala pelayan itu kemudian, “Sudah menjadi kewajiban kami untuk melayani tamu tamu Ki Patih.”

“Akan tetapi sebenarnya tamu Ki Patih itu hanya Ki Rangga dan Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Gede sambil tersenyum, “Kami berempat hanya orang yang nunut ngeyup saja.”

“Ah, jangan berpikiran terlampau jauh Ki Gede,” sela kepala pelayan itu cepat, “Atas perintah Ki Patih, siapapun yang menjadi tamu, akan kami layani sebaik baiknya.”

Tampak kepala orang orang yang hadir di regol itu terangguk angguk. Tiba tiba kepala pelayan itu mengedarkan pandangan matanya sambil bertanya, “Di manakah Ki Rangga?”

Untuk sejenak Ki Bango Lamatan dan Ki Gede saling pandang. Ki Bango Lamatana lah yang kemudian menjawab, “Ki Rangga masih mendapat tugas langsung dari Pangeran Pati. Kemungkinan Ki Rangga akan tinggal di istana kapangeranan barang dua atau tiga hari.”

“O,” gumam kepala pelayan itu kemudian sambil mengangguk anggukkan kepalanya.

Sejenak kemudian kelima orang itu pun segera mempersiapkan diri masing masing. Bekal bekal telah disangkutkan di pelana kuda.

(12)

Demikian juga Ki Gede telah menyangkutkan tombak Kiai Singkir Geni ke kantong pelana kudanya. Sementara para prajurit jaga yang berada di regol itu tak bosan bosannya memandang wajah Ratri, seorang pemuda yang terlihat terlalu tampan dan lembut. Bahkan cenderung cantik.

“Alangkah tampannya pemuda itu,” bisik seorang prajurit yang tinggi besar kepada kawan di sebelahnya.

“Ya,” jawab kawannya juga sambil berbisik, “Tapi aku agak meragukan jika dia itu seorang laki laki. Aku cenderung menganggapnya seorang perempuan cantik yang berpakaian laki laki.”

Prajurit yang berperawakan tinggi besar itu tampak mengerutkan keningnya. Dipandanginya lagi sekujur tubuh Ratri dari kepala sampai ke ujung kaki.

Namun prajurit itu menjadi terkejut ketika melihat cara Ratri naik ke punggung kuda. Dengan tangkasnya Ratri meloncat ke atas punggung kuda sebagaimana yang lainnya.

“Ah, tidak mungkin,” akhirnya prajurit tinggi besar itu membantah pendapat kawannya, “Mana ada seorang perempuan yang mampu meloncat sedemikian tangkasnya ke atas punggung kuda? Dia memang laki laki yang terlalu tampan,”

Kawannya mengangguk anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Kasihan istrinya nanti?”

Prajurit tinggi besar itu berpaling ke arah kawannya sambil mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Maksudmu?”

Kawannya tersenyum. Jawabnya kemudian sambil tetap tersenyum, “Istrinya nanti pasti akan selalu cemburu kepadanya.”

“Cemburu? Mengapa?”

“Karena istrinya merasa kalah cantik dengan suaminya.”

“Ah,” prajurit tinggi besar itu tertawa masam. Sementara kelima penunggang kuda itu telah berderap meninggalkan regol istana kepatihan.

(13)

Dalam pada itu di gardu yang bersebelahan dengan pintu butulan halaman belakang ndalem kepatihan, terdengar kethukan dengan irama khusus di daun pintu.

Dua orang prajurit jaga tampak saling pandang. Tanpa sadar salah seorang telah berdesis, “Prajurit sandi yang datang. Biasanya mereka memang datang lewat pintu butulan belakang.”

Kawannya tidak menyahut. Dengan bergegas dia segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Diraihnya selarak pintu itu dan kemudian diangkatnya. Sejenak kemudian dua orang prajurit sandi muncul dari balik pintu.

“Apakah kami sudah bisa menghadap Ki Patih di waktu seperti ini?” bertanya salah satu prajurit sandi itu kemudian sambil melangkah masuk diikuti oleh kawannya.

Prajurit jaga pintu butulan belakang itu menggeleng sambil kembali menyelarak pintu.

“Aku tidak tahu,” jawab prajurit jaga itu kemudian, “Tanyalah kepada kepala pelayan dalam. Dia pasti mengetahuinya.”

“Terima kasih,” hampir bersamaan kedua prajurit sandi itu menyahut. Dengan langkah langkah tergesa keduanya pun kemudian menuju ke gedung istana kepatihan lewat longkangan.

Namun langkah keduanya hampir saja bertubrukkan dengan seorang kepala pelayan gandhok.

“O, maafkan kami,” desis salah satu prajurit sandi itu kemudian sambil menahan langkahnya, “Kami berdua sangat tergesa gesa ingin menghadap Ki Patih.”

Kepala pelayan gandhok itu mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Sepagi ini?”

“Ya, berita yang kami bawa sangat penting.”

“Aku juga akan menghadap Ki Patih,” sahut kepala pelayan gandhok itu sambil menarik nafas dalam dalam dan memandang ke arah kedua prajurit sandi itu ganti berganti.

(14)

“Kami prajurit dari kesatuan sandiyudha,” berkata salah satu prajurit sandi itu pada akhirnya, “Kami membawa berita yang sangat penting.”

“Baiklah,” berkata kepala pelayan gandhok itu kemudian, “Mari kita bersama sama menghadap kepala pelayan dalam untuk mendapat ijin menghadap Ki Patih.”

Demikianlah ketiga orang itu segera menghadap kepala pelayan dalam. Mereka memang harus menunggu sejenak di serambi samping di belakang gandhok ndalem kepatihan.

Ternyata Ki Patih berkenan menerima mereka di ruang tengah, mengingat pentingnya hal yang akan mereka laporkan.

“Nah,” berkata Ki Patih kemudian setelah duduk sambil membenahi kain panjangnya, “Kalian dapat memulai laporan itu.”

Salah seorang prajurit sandi itu segera menyembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, menjelang Matahari terbit pagi tadi kami berdua telah melihat pasukan segelar sepapan yang sedang bergerak menyusur tepian kali Krasak dari arah Timur.”

Tampak wajah keriput Ki Patih Mandaraka semakin berkerut merut. Tanyanya kemudian, “Apakah kalian dapat mengenali pasukan dari manakah itu?”

Kembali salah satu prajurit sandi itu menyembah sambil menjawab, “Mereka sama sekali tidak menunjukkan tanda tanda baik berupa rontek atau tunggul dan sebagainya. Sedangkan seragam keprajuritan yang mereka kenakan pun tidak menunjuk pada suatu kesatuan.” Untuk beberapa saat Ki Patih termenung. Hatinya menjadi sedikit gundah. Pengangkatan Raden Mas Wuryah yang telah disetujui oleh para kerabat istana itu memang mendapat tentangan, terutama dari Pengeran Purbaya.

“Apakah semua ini ulah Jaka Umbaran?” membatin Ki Patih sambil memegangi kepalanya, “Sebenarnya tuntutan Kanjeng Ratu Lungayu itu memang wajar. Aku sedang berusaha untuk mencarikan jalan terbaik agar pihak Kanjeng Ratu Lungayu maupun pihak yang mendukung cucunda buyut Rangsang dapat menerima. Namun ternyata mereka tidak sabar.”

(15)

Sejenak Ki Patih menarik nafas dalam dalam. Dipandanginya kedua prajurit sandi yang duduk di hadapannya sambil menundukkan kepala dalam dalam.

“Aku khawatir jika Jaka Umbaran akan mempengaruhi cucunda buyut Rangsang sehingga tidak lagi percaya padaku,” kembali Ki Patih berangan angan, “Sebenarnyalah aku mencoba untuk memenuhi janji cucunda Sinuhun Prabu Hanyakrawati semasa masih menjadi Adipati Anom.”

Suasana benar benar sunyi. Kedua prajurit sandi beserta kepala pelayan gandhok itu hanya dapat berdiam diri sambil menunggu titah dari Ki Patih.

“Apakah engkau sudah menyerahkan tugasmu kepada prajurit sandi yang lain untuk mengawasi pasukan itu?” tiba tiba pertanyaan Ki Patih telah memecah kesunyian.

“Sendika Ki Patih,” jawab salah satu prajurit sandi itu kemudian, “Sebelum kami berangkat kembali ke istana kepatihan, kawan kawan kami telah menggantikan tugas kami untuk mengamati pergerakan pasukan itu.”

Tampak Ki Patih mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke arah kepala pelayan gandhok itu, Ki Patih pun kemudian bertanya, “Nah, sekarang apa yang ingin engkau laporkan? Mengenai pelayanan di ndalem kepatihan ini barangkali?”

Kepala pelayan gandhok itu segera menyembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih. Hamba bertugas mengepalai pelayanan para tamu yang ada di gandhok kanan. Tadi malam ada beberapa tamu dari perdikan Matesih.”

“Ya. Mereka sudah menghadap aku tadi malam,” sela Ki Patih.

“Ampun Ki Patih,” cepat cepat kepala pelayan itu menyembah. Lanjutnya, “Hamba hanya ingin melaporkan bahwa pagi tadi Ki Rangga tidak kembali ke biliknya.”

“He?!” bagaikan disengat ribuan Kalajengking, Ki Patih pun telah terperanjat bukan kepalang. Tanya Ki Patih selanjutnya untuk

(16)

memperjelas “Maksudmu, Ki Rangga Agung Sedayu Senapati pasukan khusus di Menoreh?”

“Sendika Ki Patih,” jawab kepala pelayan itu kemudian, “Yang datang dan kemudian mengantar rombongan Ki Gede Matesih justru Ki Bango Lamatan, pengawal pribadi Pangeran Pati.”

Untuk sejenak Ki Patih termenung. Berbagai dugaan pun telah muncul dalam benaknya.

Bertanya Ki Patih kemudian, “Apakah Ki Bango Lamatan menjelaskan mengapa Ki Rangga tidak kembali ke kepatihan?”

“Sendika Ki Patih. Menurut keterangan Ki Bango Lamatan, Ki Rangga sedang mendapat tugas khusus dari Pangeran Pati sehingga tidak dapat mengantar rombongan Ki Gede Matesih ke Menoreh.”

Kembali Ki Patih termenung. Berbagai tanggapan mulai merayapi dadanya.

“Apakah cucunda buyut Rangsang telah memerintah Ki Rangga untuk bergabung dengan Jaka Umbaran?” pertanyaan itu melingkar lingkar dalam benak Ki Patih, “Mungkin cucunda buyut Rangsang takut jika Ki Rangga bergabung dengan barisan kadipaten Panaraga yang mendukung Kanjeng Ratu Lungayu atas dasar perintah dariku.” Kembali terdengar tarikan nafas yang panjang dari Ki Patih. Orang yang semasa mudanya bernama Ki Juru Mertani itu terlihat sedih. Suasana pun sejenak menjadi sunyi kembali.

“Apakah mereka sudah tidak mempercayai aku lagi?” membatin Ki Patih sambil memandang langit langit yang berhiaskan ukiran kayu jati yang rumit, “Ataukah mereka akan memaksakan kehendak mereka tanpa meminta pertimbanganku lagi?”

Semakin lama hati Ki Patih semakin sedih. Sudah kesekian kalinya dia memeras otak untuk membantu ngudari benang ruwet yang terjadi pada keluarga Ki Gede Pemanahan sampai ke anak cucu dan cicitnya. Dan semua itu dilaksanakannya tanpa ada keinginan untuk meraih keuntungan pribadi. Jika kemudian dia telah mendapat kedudukan sebagai warangka dalem, itu merupakan penghargaan dan balas jasa

(17)

atas jerih payahnya, bukan sekedar hadiah karena hubungan kekeluargaan semata.

Namun Ki Patih adalah seorang priyagung yang sudah matang lahir dan batin. Selain mengandalkan perhitungan dalam menyelesaikan sebuah masalah pelik, Ki Patih Mandaraka juga menggunakan panggraitanya yang sangat tajam melebihi orang kebanyakan.

“Baiklah,” berkata Ki Patih kemudian pada akhirnya sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Laporan kalian semua aku terima. Terima kasih dan jangan pernah membocorkan apa yang telah kalian ketahui ini. Silahkan kembali bertugas.”

“Sendika Ki Patih,” serentak kedua prajurit sandi dan kepala pelayan gandhok itu segera menyembah dan kemudian keluar ruangan setelah Ki Patih terlebih dahulu meninggalkan ruang tengah.

Dalam pada itu di ruang pringgitan ndalem purabayan, tampak Kanjeng Pangeran Purbaya sedang dihadap ketiga pembantunya. “Apakah ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian?” bertanya Pangeran Purbaya kemudian demi melihat ketiga pembantunya itu sudah menempati tempat duduknya masing masing.

“Sendika Pangeran,” jawab salah seorang pembantunya yang berkumis tebal, “Pasukan gabungan telah tiba dini hari tadi di tepian kali Krasak sebelah Timur.”

“Syukurlah,” sahut Pangeran yang dimasa mudanya bernama Jaka Umbaran itu, “Aku memang kurang mempercayai Eyang Patih Mandaraka. Kita harus menunjukkan kekuatan kita untuk menekan Eyang Patih agar mau mengubah keputusannya.”

“Mohon ijin Pangeran,” tiba tiba seorang pembantunya yang berwajah kurus menyembah sambil menyela, “Bukankah sidang para kerabat istana dan para kadang sentana telah menjatuhkan sebuah keputusan?”

“Aku tahu,” jawab Pangeran Purbaya dengan serta merta, “Namun keputusan sidang itu sebenarnya tidak bulat. Kebanyakan terpengaruh oleh Adinda Kanjeng Ratu Lungayu. Untuk itulah kita biarkah terlebih dahulu penobatan itu berlangsung. Setelah itu kita akan membuat

(18)

keadaan dan suasana di kotaraja yang dapat mempengaruhi Eyang Patih Mandaraka.”

Tampak semua kepala terangguk angguk.

“Mohon ampun Pangeran,” kembali pembantunya yang berkumis tebal berkata, “Selain kedatangan pasukan segelar sepapan, di tepian kali Krasak sebelah timur kami juga menjumpai banyak prajurit sandi Mataram yang sedang mengadakan pengamatan.”

“Biarkan saja mereka. Jangan diganggu,” sela Pangeran Purbaya cepat, “Mereka hanya menjalankan tugas. Justru dengan demikian secara tidak langsung orang orang yang berseberangan dengan kita akan mengetahui bahwa apa yang kita sampaikan bukanlah sekedar bualan seorang penjual jamu. Kita berani bersuara keras untuk menyampaikan pendapat kita karena memang kita punya landasan kekuatan.”

Kembali kepala orang orang yang hadir dalam pringggitan itu terangguk angguk.

Sejenak percakapan mereka terhenti. Dua orang pelayan muncul dari balik pintu ruang tengah sambil membawakan beberapa makanan dan minuman.

“Silahkan mencicipi, mumpung masih hangat,” berkata Pangeran Purbaya kemudian setelah kedua pelayan itu pergi.

“Hamba Pangeran,” hampir bersamaan ketiga orang itu menyahut. Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar mereka sedang menikmati minuman panas beberapa teguk dan mengunyah beberapa potong makanan.

“Sebenarnya aku menghindari keadaan seperti ini,” berkata Pangeran Purbaya kemudian ketika sudah selesai meneguk minuman, “Namun kadipaten Panaraga ternyata telah mendahului dengan mengirimkan pasukan berkudanya yang terkenal tangguh dan tanggon serta trengginas itu untuk menguasai kotaraja. Dengas seijin Adinda Kanjeng Ratu Lungayu, mereka telah ikut mengamankan kotaraja bahkan ikut menjaga pintu gerbang kotaraja.”

“Sendika Pangeran,” orang yang berkumis tebal itu menambahi, “Bahkan menurut petugas sandi kita, kemarin sore telah terjadi keributan di gerbang kotaraja sebelah Utara antara para prajurit jaga

(19)

dari kadipaten Panaraga dengan rombongan Ki Rangga Agung Sedayu yang akan memasuki kotaraja.”

“Ki Rangga?” Pangeran Purbaya sedikit terkejut. Tanyanya kemudian, “Di mana Senapati pasukan khusus itu sekarang?”

“Ampun pangeran. Semalam rombongan Ki Rangga bermalam di kepatihan. Namun pagi tadi ketika rombongan itu akan meneruskan perjalanan ke perdikan Menoreh, menurut laporan petugas sandi kita, Ki Rangga tidak ada dalam rombongan itu.”

“He?” kali ini putera Panembahan Senapati itu benar benar terkejut sehingga telah menggeser duduknya sejengkal. Tanya Pangeran Purbaya selanjutnya, “Apa yang terjadi? Apakah Ki Rangga tertahan di kepatihan?”

“Tidak Pangeran,” jawab pembantunya yang berkumis lebat itu, “Menurut pembicaraan yang dapat disadap oleh telik sandi kita, Ki Rangga telah mendapat tugas khusus dari Pangeran Pati.”

Tampak kerut merut di wajah yang sudah cukup sepuh itu. Berbagai tanggapan pun telah memenuhi benaknya.

“Ada apa dengan Rangsang,” membatin Pangeran Purbaya kemudian, “Bukankah aku sudah menyatakan dukunganku untuk membantunya menduduki Tahta? Tugas apa yang diberikan Rangsang kepada Ki Rangga?”

Untuk sejenak suasana menjadi sepi. Masing masing sedang tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal.

“Baiklah,” berkata Pangeran Purbaya kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Cari berita ke istana kapangeranan. Kemana perginya Ki Rangga dan tugas apa kira kira yang sedang diembannya,” Pangeran yang sudah sepuh itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Ada satu hal yang aku pesankan. Jangan sampai perbedaan pilihan ini membuat kita terpecah belah. Masing masing harus mampu menahan diri. Hindari benturan yang tidak perlu. Bahkan jika kalian sudah tahu dipihak mana seseorang itu berdiri, hindari untuk bertatap muka dan berhubungan secara langsung. Perbedaan pendapat hanya akan menambah ketegangan di antara kita sehingga tidak akan menutup kemungkinan hadirnya pihak ketiga yang akan berusaha untuk mengail di air yang keruh.”

(20)

“Nah, Matahari sudah mulai naik,” berkata Pangeran Purbaya pada akhirnya, “Aku ijinkan kalian kembali bertugas……..

(21)

Tampak kepala para pembantu Pangeran Purbaya itu terangguk angguk.

“Nah, Matahari sudah mulai naik,” berkata Pangeran Purbaya pada akhirnya, “Aku ijinkan kalian kembali bertugas. Jangan lupa sampaikan pesanku kepada kawan kawan kalian.”

“Sendika dawuh Pangeran,” hampir berbareng ketiga pembantu Pangeran Purbaya itu menyembah.

Demikianlah setelah Pangeran Purbaya memasuki ruang dalam ndalem purabayan, ketiga orang itu pun segera meninggalkan pringgitan.

Dalam pada itu Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tertidur pulas karena pengaruh aji sirep perlahan mulai tersadar. Perlahan tapi pasti ingatan Ki Rangga pun mulai pulih. Namun Ki Rangga berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa dirinya sudah tersadar dari tidur panjangnya.

Beberapa saat Ki Rangga masih belum membuka kedua kelopak matanya. Dikerahkan aji sapta pangrungu untuk mengetahui keadaan di sekelilingnya melalui pendengarannya. Namun Ki Rangga tidak berhasil menangkap suara apapun keculai desau angin serta suara burung burung yang sedang berkicau dengan riang gembira.

“Agaknya waktu sudah menjelang pagi,” membatin Ki Rangga sambil perlahan membuka kedua matanya. Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga begitu menyadari dirinya sedang berada dalam sebuah bilik yang sempit. Cahaya Matahari pun tidak mampu menembus dinding yang terbuat dari kayu yang tebal sehingga keadaan di dalam bilik itu cukup gelap.

“Gila!” geram Ki Rangga sambil bangkit dan kemudian duduk di bibir amben kecil tempatnya berbaring, “Apakah ini semacam bilik tahanan?”

Untuk sejenak Ki Rangga mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Ruangan bilik itu memang cukup gelap. Namun dengan aji sapta pandulu, semuanya menjadi terang benderang.

Tidak ada apa apa di dalam bilik itu kecuali amben kecil tempatnya berbaring tadi serta sebuah tikar usang yang digelar di tengah ruangan. Tidak ada jendela maupun ajug ajug tempat menyangkutkan dlupak.

(22)

Sedangkan jalur keluar dan masuk ke dalam ruangan itu hanya sebuah pintu kecil yang terlihat tertutup rapat.

Dengan perlahan tanpa mengeluarkan bunyi yang disebabkan oleh gesekan antara dirinya dengan tempat sekitarnya, Ki Rangga mulai melangkah menyelidiki bilik yang sempit itu.

“Siapakah yang telah menyerangku dan membuatku jatuh pingsan?” pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Rangga sambil melangkah mendekati pintu.

Ketika Ki Rangga kemudian berusaha mengguncang pintu bilik itu, ternyata telah diselarak dari luar dengan kuat. Namun Ki Rangga yakin, dengan mengerahkan kekuatannya dia akan mampu memecah pintu itu.

“Rasa rasanya aku mengenal mereka bertiga, walaupun ketiga orang itu berusaha menyamarkan wajah mereka. Namun bentuk tubuh dan cara berpakaian mereka tidak dapat mengelabuhiku,” berkata Ki Rangga dalam hati. Ingatannya segera melayang pada saat ketiga orang lawannya itu meloncat maju dan kemudin menyerangnya dengan menebarkan semacam ilmu sirep yang dahsyat.

“Mereka menggunakan sejenis ilmu sirep yang sangat kuat,” Ki Rangga meneruskan angan angannya, “Dalam kitab Windujati pun ada sejenis ilmu itu, akan tetapi aku belum tertarik untuk mempelajarinya.”

Sambil berdiri termangu mangu Ki Rangga berusaha mengerahkan ingatannya sebelum terjatuh tak sadarkan diri.

“Dua orang yang aku serang dengan sorot mata ternyata telah meloncat menghindar,” membatin Ki Rangga selanjutnya, “Namun yang satu orang itu sangat aneh. Dengan tenangnya dia justru meloncat mendekat seolah olah sengaja menyongsong serangan sorot mataku. Tubuhnya seperti terbuat dari segumpal asap yang tembus terkena sorot mataku, sehingga seranganku sama sekali tidak berpengaruh.”

Ki Rangga menjadi berdebar debar jika mengingat kemampuan orang yang telah berhasil memperdayainya beberapa saat yang lalu, “Sebelum jatuh aku masih sempat mengenali wajah orang itu walaupun hanya sekilas karena memang dia berusaha menyamarkan wajahnya. Namun cara berpakaiannya itu telah mengingatkan aku kepada Kanjeng Sunan.”

(23)

Untuk beberpa saat Ki Rangga termenung. Sambil mengerahkan ingatannya, Ki Rangga mencoba mengingat ingat dua orang yang lainnya, yang ternyata tidak berani menerima serangan sorot matanya. “Yang tinggi besar dan yang berbadan agak kecil itu sepertinya aku juga mengenal mereka,” kembali Ki Rangga berangan angan, “Tapi biarlah, yang jelas keduanya juga mempunyai ilmu yang sangat tinggi.”

Sampai disini Ki Rangga segera dapat menarik sebuah kesimpulan. Agaknya memang dia telah dijebak dan di lumpuhkan oleh orang orang yang linuwih, terutama Kanjeng Sunan Muria.

“Keempat orang itu pun pasti santri santri dari gunung Muria,” kembali Ki Rangga melanjutkan angan angannya, “Menilik tata gerak mereka yang sangat aneh dan tidak dapat dikenali dari aliran perguruan mana.”

Ki Rangga pun kemudian segera dapat menduga siapa yang berada di balik semua itu.

“Tentu Pangeran Pati yang telah mengatur semua ini. Akan tetapi untuk apa?” kembali sebuah pertanyaan melingkar lingkar dalam benaknya.

Dengan sangat hati hati Ki Rangga kemudian mulai memutari bilik. Diperhatikan satu persatu dinding yang terbuat dari kayu nangka yang tua dan tebal. Di antara papan papan kayu itu ternyata telah diselipkan tali tali dari ijuk yang kemudian dilumuri dengan getah damar sehingga benar benar rapat. Di siang hari cahaya Matahari tidak bisa masuk ke dalam bilik. Demikian juga di malam hari, jika sebuah dlupak diletakkan di dalam bilik itu, sinarnya juga tidak akan mampu menembus celah dinding dinding kayu yang sangat rapat.

Semakin lama Ki Rangga mnjadi semakin heran. Jika bilik itu adalah semacam bilik tahanan, seharusnya ada beberapa penjaga yang sedang mengawasi dari luar bilik dan tentu Ki Rangga dengan mudah akan mampu memantau pergerakan mereka melalui aji sapta pangrungu.

“Apakah mereka mengira begitu yakinnya dengan kekuatan bilik ini, sehingga tidak ada seorang penjaga pun yang ditempatkan di luar bilik?” pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Rangga.

(24)

“Jika semua ini memang perintah Pangeran Pati, untuk apa aku telah diperlakukan seperti ini?” kembali Ki Rangga dihadapkan pada pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya.

Tiba tiba pendengaran Ki Rangga yang sangat tajam telah menyentuh sebuah gerakan yang mencurigakan di luar bilik. Gerakan yang sangat halus mirip dengan gerakan seekor serangga yang merayap di antara cabang cabang pepohonan.

Dengan segera Ki Rangga mengetrapkan aji sapta pangrungu, namun dengan cepat suara itu menghilang bagaikan di telan bumi.

Kembali Ki Rangga mempertajam kemampuan aji sapta pangrungu, namun Ki Rangga gagal menelusuri suara lembut yang sempat terdengar oleh telinganya.

Tidak ada jalan lain kecuali mengetrapkan aji sapta panggraita. Ki Rangga pun kemudian duduk bersila di tengah tengah bilik yang sempit itu. Disilangkan kedua tangannya di depan dada dan ditundukkan kepalanya dalam dalam sambil memejamkan matanya. Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah tenggelam dalam puncak aji sapta panggraita.

Untuk beberapa saat suasana menjadi senyap. Dengan kemampuan yang tinggi Ki Rangga berusaha menelusuri setiap jengkal tanah di luar bilik itu.

Ternyata Ki Rangga berhasil melacak keberadaan suara langkah yang sangat lembut itu. Namun yang membuat jantung Ki Rangga berdentangan adalah keberadaan suara lembut itu. Suara itu ternyata sudah berada di depan pintu bilik.

Dengan cepat Ki Rangga meloncat berdiri dalam kesiap siagaan yang tinggi. Tak lupa Ki Rangga telah mengetrapkan ilmu kebal setinggi tingginya. Udara di dalam bilik itu pun terasa bagaikan terbakar. Sejenak kemudian terdengar selarak yang berada di luar pintu diangkat. Ketika pintu itu terbuka, sinar Matahari pagi pun segera menerobos dari sela sela pintu yang terbuka sehingga telah menyilaukan pandangan mata Ki Rangga.

Namun Ki Rangga adalah seorang yang luar biasa. Dengan ketajaman matanya dia segera dapat mengenali orang yang berdiri di depan pintu itu.

(25)

“Kanjeng Sunan,” seru Ki Rangga dengan suara bergetar. Dengan cepat dia segera menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah. Semua ilmu

jaya kawijayaan guna kasantikan pun segera dilepaskannya.

“O, ternyata engkau sudah tersadar, Ki Rangga,” berkata orang yang berdiri di depan pintu itu yang ternyata memang Kanjeng Sunan. Kanjeng Sunan pun kemudian melangkah masuk.

Untuk sejenak Kanjeng Sunan masih berdiri termangu mangu di tengah tengah pintu. Udara yang cukup panas pun terasa menerpa Kanjeng Sunan.

Sekilas tampak Kanjeng Sunan tersenyum. Katanya kemudian sambil melangkah masuk, “Agaknya Ki Rangga setiap saat selalu dalam kesiap siagaan yang tinggi. Terbukti udara dalam bilik ini seolah olah baru saja dibakar oleh ilmu yang sangat tinggi.”

“Mohon ampun Kanjeng Sunan. Hamba tidak tahu jika yang berada di depan pintu adalah Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan menundukkan kepala dalam dalam.

Kanjeng Sunan kembali tersenyum. Setelah menutup pintu bilik kembali, Kanjeng Sunan pun kemudian melangkah mendekati satu satunya amben bambu yang berada di dalam bilik itu dan kemudian duduk di atasnya. Sementara Ki Rangga segera memutar tubuhnya dan kemudian duduk bersimpuh menghadap Kanjeng Sunan dengan kepala tunduk.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya suara angin yang terdengar menerobos dedaunan serta kicau burung burung yang sedang mencari makan.

“Ki Rangga,” tiba tiba terdengar suara Kanjeng Sunan memecah kesunyian, “Apakah engkau sudah dapat meraba maksudku untuk membawamu ke tempat ini?”

Dengan cepat Ki Rangga segera merangkapkan kedua tangannya di depan dada sambil membungkuk dalam dalam. Jawabnya kemudian, “Hamba mohon petunjuk, Kanjeng Sunan.”

Kanjeng Sunan tampak menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu. Baru kemudian berkata, “Ki Rangga, semua yang terjadi ini adalah gagasan Pangeran Pati untuk menyelamatkan dirimu.”

(26)

Terkejut Ki Rangga sehingga dia telah menengadahkan wajahnya. Namun ketika disadarinya Kanjeng Sunan juga sedang memandang kearahnya, dengan cepat Ki Rangga pun segera menundukkan wajahnya kembali.

“Ampun Kanjeng Sunan,” bertanya Ki Rangga pada akhirnya, “Apakah hamba diperkenankan untuk mengetahui alasan Pangeran Pati yang ingin menyelamatkan diri hamba?”

Kanjeng Sunan tersenyum sambil mengangguk angguk. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Ki Rangga. Sadar atau tidak sadar, Ki Rangga pasti dapat merasakan suasana di kotaraja yang mencekam. Ada dua kekuatan yang siap untuk saling berbenturan demi menjaga kepentingan masing masing. Nah, jujur saja, di mana sebenarnya engkau memilih untuk berpihak, Ki Rangga?”

Ki Rangga tertegun. Pertanyaan yang sama telah dilontarkan pula oleh Pangeran Pati dan dia tidak mampu menjawabnya.

“Ampun, Kanjeng Sunan,” pada akhirnya Ki Rangga menjawab sambil menyembah, “Hamba tidak tahu harus berpihak kepada siapa, karena sebenarnyalah hamba selama ini selalu berpihak pada kebenaran dan menjunjung tinggi rasa keadilan dan kemanusiaan. Selebihnya hamba juga seorang prajurit yang selalu siap sedia menerima perintah.”

“Aku hargai pendapatmu itu Ki Rangga,” sahut Kanjeng Sunan kemudian, “Namun dalam suasana seperti sekarang ini, kita harus berpihak dengan keyakinan bahwa kita telah berada pada pihak yang benar. Bukan menunggu kedua belah pihak itu berbenturam terlebih dahulu baru kemudian kita tampil ke depan sebagai pahlawan. Atau justru kita menjadi pihak ketiga yang mengambil keuntungan setelah kedua belah pihak itu saling menghancurkan.”

Tampak kepala Ki Rangga semakin tunduk. Dicobanya mencerna apa yang telah disampaikan oleh Kanjeng Sunan. Namun sesungguhnya jauh di dalam lubuk hati Agul Agulnya Mataram itu, dia selalu berusaha sejauh mungkin untuk menghindari segala pertikaian dan pertengkaran.

“Untuk itulah Pangeran Pati telah mengambil langkah langkah yang dirasa perlu untuk menyelamatkan dirimu, Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya.

(27)

Untuk sejenak suasana kembali menjadi sunyi. Yang terdengar hanya desau angin yang cukup keras meniup dedaunan.

“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Pada saat engkau datang menghadap di istana kapangeranan tadi malam, Pangeran Pati telah memanggil Ki Bango Lamatan dan Ki Tanpa Aran untuk menemani aku.”

Berdesir dada Ki Rangga mendengar keterangan terakhir dari Kanjeng Sunan itu. Ternyata dugaannya benar. Jika saja dia mempunyai keberanian untuk menyadap pembicaraan di ruang tengah ndalem kapangeranan tadi malam, tentu dia akan dapat mengambil sikap.

Namun agaknya Kanjeng Sunan dapat membaca pikiran Ki Rangga. Maka katanya kemudian, “Kami memang sedang membicarakan Ki Rangga pada saat Ki Rangga sedang duduk di pringgitan ndalem kapangeranan tadi malam,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kami tidak takut Ki Rangga akan menyadap pembicaraan kami, justru karena kami semua yakin bahwa itu bukanlah sifat dari Ki Rangga.”

Ki Rangga tampak menarik nafas dalam dalam. Memang tidak ada niat sebiji sawi pun untuk mendegarkan pembicaraan yang terjadi di ruang tengah malam itu. Ki Rangga merasa bukan haknya dan jelas jelas melanggar paugeran jika mencuri dengar pembicaraan orang lain, kecuali dia sedang dalam tugas sandi.

“Nah, pelayan dalam dan orang orang yang mencegatmu di pategalan sepi itu adalah para santri dari gunung Muria,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya.

Jelaslah kini semuanya bagi Ki Rangga, mengapa rasa rasanya dia mengenal ketiga orang yang telah menyerangnya dengan aji sirep yang ngedab edabi itu? Dan ternyata Ki Bango Lamatan dan Ki Tanpa Aran memilih menghindari terjangan sorot matanya. Namun Kanjeng Sunan tidak. Bahkan tubuh Kanjeng Sunan sepertinya telah berubah menjadi segumpal asap yang tidak terpengaruh sama sekali dengan serangan sorot matanya.

“Ki Rangga,”berkata Kanjeng Sunan kemudian membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Selama beberapa hari engkau tidak akan aku ijinkan untuk meninggalkan bukit Muria ini. Terserah kepadamu. Engkau boleh tinggal di bilik sempit ini atau ikut aku turun ke

(28)

pesantren,” Kanjeng Sunan berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian sambil memandang tajam ke arah Ki Rangga, seolah olah akan dijenguknya isi dada Ki Rangga, “Ataukah Ki Rangga telah mempersiapkan rencana yang lain?”

Berdesir kembali dada Ki Rangga mendengar tawaran Kanjeng Sunan. Segera saja terbayang rencana awal untuk melaksanakan laku terakhir dari puncak aji pengangen angen.

Dengan tangan sedikit gemetar Ki Rangga pun kemudian menyembah sambil berkata, “Ampun Kanjeng Sunan, jika memang hamba diijinkan untuk melaksanakan sebuah rencana yang memang sudah hamba pikirkan jauh sebelum hamba mengetahui keadaan di kotaraja, mohon hamba diijinkan untuk pergi ke alas Gendari di Jati Anom.”

“Alas Gendari?” ulang Kanjeng Sunan dengan nada keheranan, “Ada kepentingan apakah Ki Rangga pergi ke sana?”

Ki Rangga menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang tiba tiba terasa sangat kering. Setelah menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya, Ki Rangga pun kemudian menjawab, “Ampun Kanjeng Sunan, hamba yang picik dan selalu dihantui ketakutan ini ingin menyempurnakan sebuah laku yang mungkin dapat hamba gunakan untuk bekal melindungi diri di kelak kemudian hari.”

Tampak kerut merut yang dalam di kening Kanjeng Sunan. Wali yang waskita itu pun untuk sejenak terdiam. Berbagai pertimbangan pun bergolak dalam dadanya.

“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian setelah untuk beberapa saat mereka berdua terdiam, “Tidak ada kekuatan serta perlindungan di seluruh penjuru jagad raya ini kecuali kekuatan dan perlindungan dari Yang Maha Agung. Kita harus yakin itu. Adapun apa yang akan engkau lakukan itu adalah sebuah usaha untuk mendapat ridhoNya sehingga engkau akan selalu mendapat bimbingan dan perlindungan di setiap langkahmu.”

Tampak kepala Ki Rangga semakin tunduk. Apa yang disampaikan Kanjeng Sunan itu memang benar adanya. Walaupaun dia telah melakukan sebuah laku sedahsyat dan seberat apapun, namun jika Yang Maha Agung tidak memberikan ridho, maka yang akan

(29)

didapatkan justru sebaliknya, dan bahkan tidak menutup kemungkinan dirinya akan tersesat jalan.

“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya, “Menjalani sebuah laku untuk meraih ridho Yang Maha Agung dalam kepercayaan kita memang diperbolehkan, selama tidak menyimpang atau bahkan cenderung ke arah laku yang menyesatkan. Laku yang menjurus kearah kepercayaan adanya kekuatan lain selain yang bersumber dari Yang Maha Agung.”

Tampak kepala Ki Rangga terangguk angguk.

“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian meneruskan penjelasannya, “Ki Rangga harus mulai membenahi apa yang selama ini Ki Rangga lakukan untuk meraih ridhoNya. Aku menyadari bahwa di tanah Jawa ini, lelaku yang trapkan banyak yang menyimpang dari ajaran Kitab Suci dan kitab tuntunan Junjungan kita. Ketahuilah Ki Rangga, segala aji aji, jaya kawijayan guna kasantikan itu pada dasarnya adalah peparing dari Yang Maha Agung, jika kita dalam menjalani laku tersebut selalu bersandar kepada Kitab Suci dan kitab tuntunan Junjungan kita. Sebaliknya jika kita menggantungkan harapan selain kepada Yang Maha Agung, maka sang penguasa jagad kegelapan dan pasukannya akan menyesatkan kita. Maka mulailah dengan laku yang diridhoiNya serta menurut petunjuk Junjungan kita.”

Sampai disini penjelasan Kanjeng Sunan justru telah membingungkan Ki Rangga. Laku yang tertulis dalam kitab Empu Pahari dan telah dipahatkan di dinding dinding hatinya itu, sejauh pengetahuannya rasa rasanya tidak ada pertentangan sama sekali dengan apa yang telah diyakininya.

Maka dengan tangan gemetar Ki Rangga segera menyembah sambil berkata, “Mohon ampun Kanjeng Sunan. Di dalam kitab Empu Pahari itu telah tertulis laku untuk mencapai kesempurnaan sebuah ilmu yang disebut aji pengangen angen. Mohon petunjuk Kanjeng Sunan.” Tampak kerut merut di kening Kanjeng Sunan semakin dalam. Bertanya Kanjeng Sunan kemudian, “Apakah engkau dapat menyebutkan laku itu, Ki Rangga?”

“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga dengan serta merta. Kemudian dengan runut Ki Rangga pun menjelaskan laku yang harus

(30)

dijalani selama sembilan hari berturut turut namun yang akan dipersingkat menjadi tiga hari.

Untuk beberapa saat Kanjeng Sunan termenung. Suasana pun menjadi sunyi sehingga Ki Rangga seolah olah telah mendengar sendiri detak jantungnya yang berdebaran.

“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian setelah mereka terdiam beberapa saat, “Segala sesuatu itu pasti ada batasnya kecuali Dzat Yang Maha Agung. Hidup kita ini ada batasnya dan segala sesuatu yang kita kerjakan, dengan tujuan apapun pasti ada batasnya. Junjungan kita melarang kita melakukan sesuatu yang melampaui batas,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Ada kisah tiga orang sahabat yang berjanji untuk mengerjakan sesuatu yang luar biasa yang orang lain tidak akan mampu melakukannya. Orang pertama mengatakan akan terjaga sepanjang malam untuk beribadah dalam meraih ridhoNya. Orang kedua mengatakan akan berpuasa terus sepanjang hayat. Sedangkan orang ketiga mengatakan tidak akan menikah seumur hidup, karena baginya berkeluarga itu hanya akan menghalanginya dalam meraih ridhoNya. Namun ternyata Junjungan kita justru telah menegur mereka.”

Tampak Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam dalam untuk mencerna pitutur Kanjeng Sunan itu. Maka tanyanya kemudian sambil menyembah, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, apakah puasa tanpa makan dan minum hanya selama tiga hari itu sudah termasuk menyalahi petunjuk Junjungan kita?”

Kanjeng Sunan tersenyum. Jawabnya kemudian dengan suara yang sangat sareh, “Ki Rangga, Junjungan kita adalah contoh untuk seluruh umatnya sepanjang masa. Apa yang telah dicontohkan, marilah kita laksanakan semampu kita, sedang yang tidak dicontohkan, untuk apa kita melakukannya jika pada akhirnya tidak akan mendapat ridho dari Yang Maha Agung.”

Ki Rangga masih termangu mangu. Berbagai tanggapan pun hilir mudik dalam benaknya.

“Aku menyadari bahwa laku laku yang telah engkau laksanakan itu berdasar pada kitab kitab kuno dari perguruan perguruan jaman dahulu. Apa yang telah engkau lakukan itu tidak salah Ki Rangga, karena pada saat itu engkau belum mendapatkan pencerahan tentang keyakinan baru yang mengajak kita meraih ridho Yang Maha Agung

(31)

dengan tuntutan Junjungan kita. Yang telah berlalu biarlah berlalu, sedang apa yang akan engkau kerjakan kemudian, hendaknya berlandaskan tuntunan dari Kitab Suci dan kitab dari Junjungan kita.”

Sampai di sini Ki Rangga masih terlihat ragu ragu. Jika menurut Kanjeng Sunan semua ilmu ilmu yang berdasarkan kitab kitab peninggalan orang orang terdahulu itu harus ditinggalkan, bagaimana dengan kitab perguruan Windujati? Dan juga kitab peninggalan Empu Pahari yang isinya sudah terpahat di dinding dinding hatinya sehingga setiap saat dia dapat memilah dan kemudian memilih sejenis ilmu yang akan ditekuninya?

“Semua harus ditinggalkan,” gumam Ki Rangga dalam hati dengan kegelisahan yang mengguncang dadanya, “Apakah ilmu ilmu yang telah aku pelajari itu kemudian akan hilang begitu saja? Sehingga tidak dapat lagi diwariskan kepada anak cucu?”

Agaknya Kanjeng Sunan dapat membaca apa yang sedang dipikirkan oleh Ki Rangga. Maka berkata Kanjeng Sunan selanjutnya, “Apa yang telah engkau pelajari dan engkau yakini selama ini tidak akan hilang dari dalam dirimu Ki Rangga, asalkan semua engkau landasi dengan niat hanya semata mengharap ridhoNya.”

Kini tampak kepala Ki Rangga terangguk angguk. Dengan kembali menghaturkan sembah Ki Rangga pun kemudian berkata, “Ampun Kanjeng Sunan, hamba mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas petunjuk Kanjeng Sunan,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian dengan sebuah pertanyaan yang selama ini menggumpal di dada, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, sehubungan dengan niat hamba untuk menyempurnakan laku terakhir dari aji pengangen angen, apakah yang harus hamba lakukan?”

Kanjeng Sunan tersenyum. Namun sebelum Kanjeng Sunan menjawab, pendengaran kedua orang yang sangat tajam itu mendengar sayup sayup suara panggilan untuk menunaikan kewajiban kepada Sang Pencipta.

“Marilah Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian sambil bangkit berdiri, “Kita laksanakan kewajiban kita terlebih dahulu. Setelah itu engkau dapat bertanya apa saja yang ingin engkau ketahui. Namun ingat! Pengetahuanku pun terbatas. Namun selama kita berpedoman kepada Kitab Suci dan kitab petunjuk Junjungan kita, selamanya kita tidak akan pernah tersesat.”

(32)

“Sendika Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil ikut bangkit berdiri. Keduanya pun kemudian bersama sama keluar bilik.

Ketika keduanya telah berada di luar bilik, alangkah takjubnya Ki Rangga melihat pemandangan di sekitarnya. Ternyata bilik sempit itu berada di sebuah puncak bukit Muria yang agak lebih tinggi dari pesantren itu sendiri. Dari tempatnya Ki Rangga dapat melihat jalan yang cukup curam menuju ke pesantren.

Dengan langkah yang sangat perlahan Kanjeng Sunan kemudian menuruni jalan yang sangat sempit dan rumpil itu. Hampir tidak ada jalur jalan yang dapat diikuti untuk sampai ke bawah. Keduanya harus mencari sendiri jalan itu di antara dinding yang terjal serta batu batu yang menonjol.

“Sebuah latihan untuk menghilangkan bobot tubuh yang sangat baik,” membatin Ki Rangga kemudian. Dengan mengerahkan ilmu yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya, Ki Rangga tanpa kesulitan mengikuti langkah langkah Kanjeng Sunan.

Dalam pada itu di banjar padukuhan induk perdikan Matesih, seseorang tampak dengan tergesa gesa memasuki regol. Namun pengawal yang sedang bertugas jaga pun segera menghadangnya. “He? Apakah kalian tidak mengenal aku?” bertanya orang itu dengan wajah yang terheran heran.

“Tentu saja aku mengenalmu,” jawab salah satu pengawal itu kemudian, “Bukankah engkau Naya anaknya Ki Wanda kumis?” “Nah! Jika kalian sudah mengenalku, mengapa kalian menahanku?” “Bukan maksud kami untuk menahanmu, Naya,” sahut pengawal yang bertahi lalat di ujung bibir, “Setiap orang yang akan memasuki banjar padukuhan induk ini, harus melalui pemeriksaan.”

“Pemeriksaan? Sejak kapan?”

“Sudahlah, kami hanya menjalankan perintah Ki Wiyaga,” jawab pengawal yang bertahi lalat di ujung bibir itu, “Keamanan di perdikan Matesih terutama di banjar ini agak mengkhawatirkan akhir akhir ini, sedangkan tamu tamu Ki Gede masih bermalam di banjar ini.”

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” bertanya Naya kemudian dengan pandangan mata yang pasrah.

(33)

“Apakah engkau membawa senjata?”

“Sebagaimana yang engkau lihat. Aku sama sekali tidak membawa senjata.”

“Bagaimana mungkin? Bukankah engkau ditugaskan untuk mengamat amati keadaan sekitar gunung Tidar? Mengapa engkau justru tidak membawa senjata?”

Naya tersenyum. Jawabnya kemudian dengan sebuah senyum tetap tersungging di bibirnya, “Aku tidak membawa senjata justru karena aku menyamar menjadi tukang rumput.”

“O,” hampir berbareng para pengawal itu telah berseru sambil mengangguk anggukkan kepala mereka.

“Di mana sabitmu sekarang?” tiba tiba salah satu pengawal itu menyeluthuk.

“Ah, pertanyaan bodoh,” sahut Naya sambil tertawa pendek, “Untuk apa aku menghadap Ki Wiyaga atau Ki Jayaraga dengan membawa sabit? Sabitku sudah aku tinggal di rumah setelah meletakkan rumput di kandang.”

Tampak kepala para pengawal itu kembali terangguk angguk.

“Jadi? Aku boleh menghadap Ki Wiyaga atau Ki Jayaraga?” bertanya Naya kembali setengah mendesak.

“Silahkan,” jawab salah satu pengawal itu kemudian, “Namun aku tidak yakin kalau Ki Wiyaga masih di dalam. Tetapi sedari tadi aku memang belum melihat Ki Wiyaga keluar.”

“Aku juga belum,” sahut pengawal lainnya, “Masuklah ke pringgitan. Mungkin mereka masih berbincang bincang di dalam. Bukankah Ki Wiyaga tadi datang menjelang pasar temawon?”

“Ya, engkau benar,” sahut pengawal di sebelahnya, “Mungkin ada hal yang perlu dibicarakan dengan Ki Jayaraga dan Ki Waskita.”

“Jadi, aku boleh masuk?” bertanya Naya menyela. “O, silahkan, silahkan!”

“Terima kasih,” berkata Naya kemudian sambil bergegas melangkah memasuki regol.

(34)

Setelah menyeberangi halaman banjar yang cukup luas, Naya pun mulai menaiki tlundak pendapa.

Namun alangkah terkejutnya pengawal yang bernama Naya itu. Sebelum dia mencapai pintu pringgitan, tiba tiba saja pintu itu terbuka dan tampaklah Ki Wiyaga dan Ki Jayaraga melangkah keluar. Di belakang mereka tampak Ki Waskita mengikuti.

Ki Wiyaga yang mengenali pengawal yang bernama Naya itu segera menghentikan langkah sambil bertanya, “Ada apa Naya? Bukankah engkau sedang bertugas di lereng gunung Tidar?”

“Benar, Ki,” jawab Naya cepat sambil melangkah mendekat, “Untuk itulah aku menyempatkan untuk menemui Ki Wiyaga karena ada hal penting yang akan aku laporkan.”

Untuk sejenak Ki Wiyaga dan Ki Jayaraga yang berdiri termangu mangu di depan pintu pringgitan saling pandang. Namun akhirnya Ki Wiyaga berkata, “Marilah , masuklah ke pringgitan.”

Selesai berkata demikian Ki Wiyaga dan Ki Jayaraga pun melangkah kembali ke dalam pringgitan. Sementara Ki Waskita yang masih berdiri di dalam pringgitan segera duduk kembali.

Setelah Naya kemudian duduk di hadapan Ki Wiyaga dan kedua orang tua itu, Ki Wiyaga pun kemudian berkata, “Nah, Naya. Engkau segera dapat memberikan laporanmu.”

Naya menggeser duduknya sejengkal terlebih dahulu. Baru katanya kemudian, “Ki Wiyaga, pagi tadi ketika aku menyamar untuk mencari rumput di lereng sebelah Timur gunung Tidar, aku menjumpai empat orang berkuda yang tampak sedang turun dari lereng gunung Tidar. Sepertinya mereka baru saja melihat lihat bekas padepokan Sapta Dhahana.”

“Bukankah padepokan itu sudah hancur menjadi abu?” sela Ki Jayaraga.

“Benar, Ki,” sahut Naya, “Agaknya keempat penunggang kuda itu juga terlihat sangat kecewa ketika mereka turun dari lereng sebelah Timur. Ketika mereka melihat aku sedang menyabit rumput, salah satu dari keempat penunggang kuda itu telah turun dari kudanya dan menghampiri aku.”

(35)

Wajah ketiga orang itu tampak menegang. Bertanya Ki Wiyaga kemudian, “Apakah salah satu dari keempat orang berkuda itu menyakitimu?”

“Tidak, Ki,” jawab Naya cepat, “Dia hanya bertanya tentang padepokan Sapta Dhahana yang telah hancur.”

“Apakah engkau memberi penjelasan yang terperinci?” bertanya Ki Wiyaga kemudian.

“Tidak Ki,” sahut Naya dengan serta merta, “Aku hanya berkata bahwa aku tidak setiap hari mencari rumput di tempat itu. Aku sering berpindah pindah tempat mencari rumput yang subur untuk kambing kambingku.”

“Dan mereka percaya?”

“Ya, Ki. Mereka tampaknya percaya.”

Tampak kepala ketiga orang itu terangguk angguk. Bertanya Ki Waskita kemudian yang sedari tadi hanya diam saja, “Kemanakah mereka pergi setelah itu?”

“Mereka menuruni lereng sebelah Timur kemudian aku tidak tahu lagi kemana mereka pergi.”

Kembali ketiga orang itu terangguk angguk. Untuk sejenak suasana menjadi sunyi. Masing masing sedang tenggelam dalam angan angan yang tak berujung pangkal.

“Baiklah,” berkata Ki Wiyaga kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sore ini aku berserta Ki Jayaraga akan melihat lihat sekitar gunung Tidar untuk meyakinkan tidak ada hal hal yang dapat mengganggu keamanan perdikan Matesih.”

“Aku ikut,” sela Ki Waskita sambil tersenyum.

Namun Ki Jayaraga justru telah menggeleng. Katanya kemudian, “Jika Ki Waskita ikut, biarlah aku tinggal di banjar ini menunggui Glagah Putih.”

Ki Wiyaga hanya tersenyum sedangkan Ki Waskita telah menarik nafas dalam dalam sambil berkata, “Baiklah, Ki Jayaraga saja yang ikut. Aku lebih senang menunggui Glagah Putih sambil duduk duduk di pendapa minum wedang sereh hangat dan juadah bakar.”

(36)

“Ah,” orang orang yang berada di dalam pringgitan itu pun telah tertawa.

“Baiklah,” berkata Ki Wiyaga kemudian setelah tawa mereka reda, “Mungkin aku dapat mengajak Ki Kamituwa dan beberapa pengawal untuk nganglang nanti sore.”

“Apa tidak sebaiknya sehabis Matahari terbenam saja, Ki Wiyaga?” sela Ki Jayaraga

Untuk beberapa saat Ki Wiyaga terlihat bimbang. Namun akhirnya kepala pengawal perdikan Matesih itu mengangguk. Jawabnya kemudian, “Baiklah Ki. Agaknya Ki Jayaraga terlalu sayang untuk melewatkan makan sore.”

“Ah!” mereka pun kembali tertawa.

Demikianlah akhirnya pertemuan itu pun bubar. Ki Wiyaga segera menyiapkan para pengawal yang akan mendampinginya nganglang sehabis Matahari terbenam.

Dalam pada itu rombongan Ki Gede telah berpacu meninggalkan kotaraja. Perjalanan mereka tampaknya tidak mengalami rintangan yang berarti. Namun tanpa mereka sadari, berpuluh puluh pasang mata sedang mengawasi perjalanan mereka.

Ketika rombongan Ki Gede sudah meninggalkan gerbang kotaraja sebelah barat, sebuah bulak yang sangat panjang pun menghadang di depan mata.

“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian, “Usahakan jarak di antara kita tidak terlampau jauh sehingga kita dapat saling mengingatkan.” “Semoga saja bulak ini tidak menyimpan bahaya,” desis Ki Bango Lamatan tanpa sadar.

Ratri yang berkuda di sebelah ayahnya segera menyahut, “Bahaya apa paman?”

“Tidak ada apa apa,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Aku hanya berdoa semoga perjalanan kita tidak mendapat satu pun aral yang melintang.”

Yang mendengar kata kata Ki Bango Lamatan itu pun telah mengangguk anggukan kepala mereka. Sementara kedua pengawal yang berderap agak jauh di belakang segera merapat.

(37)

Demikianlah iring iringan itu berjalan terus. Ki Bango Lamatan berkuda di paling depan, kemudian di belakangnya Ki Gede berjajar dengan anak perempuannya, sedangkan kedua pengawal itu berkuda di paling belakang.

Sepanjang bulak, baik Ki Gede maupun Ki Bango Lamatan dapat melihat orang orang yang sepertinya sedang mengawasi mereka. Ada yang sengaja duduk duduk di gubuk di tengah sawah yang menghijau, dan ada juga yang berpura pura sedang melepaskan lelah dan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang yang tumbuh di atas tanggul di tengah tengah bulak.

Tak jarang mereka juga sering berpapasan dengan orang orang yang berjalan kaki sambil memikul sesuatu dalam keranjangnya. Namun ketika pandangan mata Ki Bango Lamatan berusaha melihat isi keranjang keranjang itu, ternyata kosong sama sekali.

Ketika rombongan itu telah melewati orang orang yang tampak sedang melepas lelah di bawah sebatang pohon yang rindang, Ki Bango Lamatan telah berpaling sekilas ke belakang sambil berdesis, “Orang orang itu tampaknya sedang mengawasi kita.”

Ki Gede segera memacu kudanya ke depan untuk menjajari kuda Ki Bango Lamatan. Tanyanya kemudian, “Untuk apakah kira kira mereka mengawasi kita?”

Ki Bango Lamatan menggeleng. Namun kemudian dia berbisik perlahan yang hanya dia dan Ki Gede yang mendengarnya, “Mungkin mereka mencari Ki Rangga.”

Ki Gede terkejut. Sambil mengerutkan keningnya dia pun bertanya sambil berbisik dan mencondongkan tubuhnya, “Apakah ada hubungannya dengan penobatan Raja beberapa hari ke depan?” “Mungkin,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian juga dengan suara lirih, “Aku melihat orang orang yang duduk melepas lelah itu sepertinya orang orang dari kadipaten Panaraga.”

Ki Gede kembali terkejut. Ki Gede pun kemudian berpaling ke belakang untuk mengenali lebih jelas lagi orang orang yang duduk melepas lelah itu. Namun jaraknya sudah cukup jauh.

“Bagaimana Ki Bango Lamatan dapat mengenali mereka itu orang orang dari kadipaten Panaraga?” tanya Ki Gede pada akhirnya.

(38)

Ki Bango Lamatan tersenyum. Jawabnya kemudian, “Ki Gede, semasa mudaku aku telah menjelajah ke banyak tempat di negeri ini walaupun tidak sampai dari ujung ke ujung. Namun aku sering berjalan ke arah Timur khususnya ke kadipaten Panaraga sehingga aku dapat mengenali ciri ciri mereka dari cara mereka berpakaian.” Ki Gede tampaknya masih bingung sehingga dia telah berpaling ke arah Ki Bango Lamatan yang berkuda di sampingnya.

Ki Bango Lamatan maklum. Maka katanya kemudian, “Ki Gede harus melihat cara mereka mengenakan ikat kepala. Cara mereka menggunakan ikat kepala agak sedikit berbeda dengan kita.”

Ki Gede pun mengangguk anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam dalam. Jika yang mengawasi perjalanan mereka adalah orang orang dari kadipaten Panaraga, siapa lagi yang mereka cari selain Ki Rangga Agung Sedayu.

“Untunglah Ki Rangga sedang ada tugas dari Pangeran Pati,” membatin Ki Gede kemudian sambil memperlambat laju kudanya dan kembali menjajari kuda anak perempuannya.

“Tapi dengan tidak adanya Ki Rangga dalam rombongan ini, apakah mereka tidak akan mengganggu?” pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Gede Matesih dan telah membuatnya gelisah. Namun mereka berjalan terus.

Ketika ujung bulak itu kemudian berakhir dengan sebuah kademangan yang terlihat cukup besar, hampir setiap orang dalam rombongan itu telah menarik nafas dalam dalam. Di dalam sebuah kademangan besar yang penghuninya juga cukup banyak, orang orang yang berniat jahat terhadap rombongan itu akan berpikir seribu kali untuk melaksanakan niat jahat mereka.

Kademangan itu ternyata cukup ramai. Beberapa pedati tampak lalu lalang memuat hasil bumi. Bahkan beberapa orang tampak menggiring ternak ternak mereka untuk dijual.

“Sepertinya hari ini hari pasaran,” berkata Ki Gede tanpa sadar sambil memandang dua orang yang sedang menuntun dua ekor sapi yang gemuk.

(39)

“Sepertinya memang demikian Ki Gede,” sahut Ki Bango Lamatan yang berkuda di depan, “Di hari pasaran biasanya memang banyak petani yang menjual ternak mereka.”

Dalam pada itu, Matahari sudah hampir melewati puncaknya. Namun rombongan itu berjalan terus.

Ketika mereka melewati seorang penjual dawet yang sedang duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, Ki Bango Lamatan telah berpaling ke belakang sambil bertanya, “Apakah ada yang merasa haus?”

“Aku paman,” sahut Ratri dengan cepat yang membuat orang orang dalam rombongan itu tersenyum.

“Ah, alangkah nikmatnya minum dawet cendol di siang yang terik ini!” salah satu pengawal itu bergumam agak keras sehingga kawan yang di sebelahnya berpaling.

“Marilah,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil menghentikan kudanya beberapa langkah dari penjual dawet pikulan itu. Setelah meloncat turun dan mengikat kudanya pada sebatang perdu yang banyak tumbuh di pinggir jalan, Ki Bango Lamatan pun kemudian melangkah mendekat. Yang lain pun segera mengikutinya. Yang tampak paling gembira adalah Ratri. Dengan cepat dia duduk bersimpuh dekat penjual dawet itu. Tanpa ragu ragu dia segera memesan semangkuk dawet dengan gula merah dan serabi.

Penjual itu terkejut mendengar suara Ratri. Sejenak di pandanginya pemuda yang terlihat sangat halus dan tampan itu namun yang suaranya mirip suara perempuan.

Ki Gede yang menyadari kesembronoan Ratri segera mengalihkan perhatian penjual dawet itu. Katanya kemudian, “Dia anakku yang baru sembuh dari sakit batuk. Entah mengapa suaranya menjadi melengking seperti suara perempuan.”

Penjual dawet itu pun akhirnya tidak mempermasalahkan lagi. Dengan cekatan dia segera menyiapkan lima mangkuk dawet dengan gula merah dan serabi. Sementara Ratri yang merasa atas keterlanjurannya segera menyesuaikan diri. Beberapa kali dia terlihat terbatuk batuk kecil sambil menggeser duduknya agak menjauh.

(40)

“Guru,” berkata anak muda itu kemudian sambil berpaling ke arah orang yang dipanggil guru itu, “Yang manakah Ki Rangga Agung Sedayu?”

Referensi

Dokumen terkait