• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 21

OLEH

PaneMbahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2020 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

(3)

Cerita ini ditulis

Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa

Yang telah menggali cerita

Dari bumi yang tercinta

Walaupun yang disajikan ini jauh dari

sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang

Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah

karya Untuk dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, April 2020

Terima kasih atas dukungan:

Istri dan anak-anak tercinta Serta handai taulan semua

(4)

Sebenarnyalah Ki Rangga memang belum pernah mencoba sebelumnya. Biasanya Ki Rangga mengetrapka aji pengangen angen itu dengan bersemedi dan berbaring serta menyilangkan kedua tangannya di dada.

Namun kesempatan untuk berpikir panjang lagi sudah tidak ada. Sementara langkah kaki Kiai Singo Barong sudah semakin mendekati ujud semu prajurit berkuda Mataram itu.

“Nah!” berkata Kiai Singo Barong sesampainya dia di depan bayangan semu itu sambil mengedarkan pandangan sekelilingnya, “Akan aku buktikan bahwa kuda dan prajurit penunggangnya ini tidak akan dapat berbuat apapun terhadap diriku. Lihatlah!” Selesai berkata demikian Kiai Singo Barong segera bergeser setapak. Sejenak kemudian pemimpin perguruan Singo Barong itu sudah mengambil ancang ancang dengan mengangkat tinggi tinggi tangan kanannya. Dengan sekuat tenaga tangan kanannya terayun deras menampar kepala kuda itu.

Namun yang terjadi kemudian telah membuat orang orang yang berada di halaman itu berseru kaget, termasuk Ki Bango Lamatan dan Ki Gede Matesih.

Begitu tangan Kiai Singo Barong itu meluncur, ternyata prajurit yang menungganginya telah menarik tali kekangnya sehingga kuda itu telah mundur selangkah. Bersamaan dengan lewatnya tamparan tangan Kiai Singo Barong, kuda itu pun telah meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas tinggi tinggi. Sebelum Kiai Singo Barong menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi, tiba tiba saja kedua kaki kuda yang terangkat tinggi tinggi itu telah mengujam ke arah dadanya.

(5)

Pemimpin perguruan Singo Barong itu sebenarnya masih berpikir bahwa semua itu hanyalah sebuah permainan semu. Namun ketika dia merasakan sambaran angin yang keras mengarah dadanya, tak urung dia segera berpikir cepat. Disilangkan kedua tangannya di depan dada untuk mengindari terjangan kaki kaki kuda itu.

Akibatnya benar benar telah membuat halaman rumah Ki Dukuh menjadi gempar. Terjangan kedua kaki depan kuda itu telah membentur tangan Kiai Singo Barong yang bersilang di depan dada. Akibatnya ternyata sangat dahsyat. Kiai Singo Barong telah terlempar hampir tiga langkah ke belakang dan jatuh bergulingan di atas tanah.

Dalam pada itu Ki Jayaraga di tempat persembunyiannya serta Ki Bango Lamatan yang berada di halaman telah ikut menjadi terkejut bukan alang kepalang. Keduanya menyadari bahwa ilmu semu Ki Waskita itu tidak akan mampu berbuat apa apa.

Sedangkan Ki Waskita yang berada di dalam salah satu bilik di gandhok kanan telah menarik nafas dalam dalam. Ketika dia melihat pemimpin perguruan Singo Barong itu telah terlempar, segera saja pandang mata Ki Waskita tertuju ke arah Ki Rangga yang tampak berdiri diam sambil menundukkan kepalanya dalam dalam dengan tangan bersilang di dada.

“Untunglah tidak ada yang menyadari apa yang sedang diperbuat oleh angger Sedayu,” membatin Ki Waskita sambil menarik nafas dalam dalam ketika melihat Ki Rangga sudah menegakkan kepalanya dan megurai kedua tangannya.

“Jika saja ada yang menyadari dan kemudian menyeranganya, akibatnya akan sangat berbahaya bagi angger Sedayu,” berkata Ki Waskita selanjutnya.

(6)

Ayah Rudita itu benar benar mengagumi usaha yang pantang menyerah dari Ki Rangga di setiap waktu luangnya.

“Ternyata angger Sedayu telah memanfaatkan waktu waktu luangnya untuk semakin menukik ke kedalaman aji pengangen angen. Angger Sedayu sudah mulai merambah ke dalam kemampuan melontarkan dan menggerakkan alam sekitarnya dengan pancaran ilmunya. Jika Ajar Tal Pitu mampu menggerakkan sekelompok serigala liar untuk bekerja di bawah pengaruhnya, maka angger Sedayu justru akan dapat berbuat lebih. Setiap angin yang bertiup, pohon pohon yang bergetar dan binatang apapun yang berada di sekitarnya akan dapat bergerak karena pancaran ilmunya,” Ki Waskita berhenti berangan angan sejenak. Lanjutnya kemudian, “Semoga dengan laku terakhir nanti, angger Sedayu benar benar akan mampu mengetrapkan aji pengangen angen sampai benar benar ke puncaknya.”

Namun Ki Waskita menyadari, tidak ada ilmu yang sempurna di muka bumi ini. Demikian juga dengan ilmu puncak perguruannya, dan itu memang sudah disadari sejak awal oleh Ki Rangga Agung Sedayu.

Selagi Ki Waskita merenungi perkembangan aji pengangen angen Ki Rangga, tiba tiba pendengaran Ki Waskita yang tajam telah mendengar desir langkah berjingkat jingkat mendekati bilik tempat dia bersembunyi bersama Ratri.

Ki Waskita pun tanggap. Tentu itu adalah langkah langkah Ki Kamituwa yang telah selesai memeriksa bilik bilik yang ada di gandhok kanan.

Dengan cepat Ki Waskita segera bergeser dan perlahan tanpa menimbulkan bunyi, pintu bilik segera di bukanya. Ki Kamituwa

(7)

yang berdiri termangu mangu di depan bilik pun segera di berinya isyarat untuk masuk.

Alangkah terkejutnya Ki Kamituwa begitu kakinya melangkah masuk, pandangan matanya menangkap sesosok tubuh yang sudah tidak asing baginya sedang tertidur di atas amben.

Hampir saja Ki Kamituwa membuka suara jika saja Ki Waskita tidak memberi isyarat untuk menutup mulut. Kemudian Ki Waskita pun memberi isyarat kepada Ki Kamituwa untuk mendukung Ratri dan membawanya keluar bilik. Ki Waskita pun kemudian mengikutinya dari belakang.

Dalam pada itu Kiai Singo Barong yang jatuh bergulingan segera bangkit berdiri. Untuk sejenak dikibas kibaskan kain panjang serta bajunya yang kotor terkena debu

“Guru?!” tiba tiba terdengar Srenggi dan kedua saudara seperguruannya berseru sambil berlari mendekat. Namun dengan cepat gurunya segera memberi isyarat untuk mencegahnya.

“Iblis, Gendruwo, Tetekan!” umpat Kiai Singo Barong berkali kali sambil menarik nafas dalam dalam untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan tertimpa berbongkah bongkah batu padas yang meluncur dari lereng bukit.

Sejenak dipandanginya bentuk bentuk semu di sekitarnya dengan pandangan yang nanar. Penalarannya menjadi buram dan kepercayaan dirinya pun menjadi sedikit luntur.

“Baiklah,” berkata Kiai Singo Barong kemudian sambil melemparkan pandangan matanya kembali ke sekelilingnya, “Aku tidak akan memaksakan sebuah kepercayaan kepada kalian semua. Jika kalian memutuskan menyerah, itu hak kalian. Tapi

(8)

aku dan murid murid perguruan Singo Barong akan tetap maju pantang mundur. Rawe rawe rantas malang malang putung!” Segera saja terdengar geremangan di antara orang orang yang berada di halaman itu. Semuanya dengan sangat jelasnya menyaksikan bagaimana pemimpin perguruan Singo Barong itu telah terjatuh dilanggar kedua kaki depan kuda yang ditamparnya. Untuk beberapa saat para pengawal dan orang orang padukuhan Klangon itu pun tidak tahu harus bersikap bagaimana.

“Bagaimana kakang?” bisik seorang pengawal dukuh Klangon kepada kawan di sebelahnya dengan nada yang bergetar karena menahan gejolak dalam dadanya.

“Aku tidak tahu,” jawab kawan di sebelahnya tak kalah lirihnya, “Bukankah kita sebenarnya tidak sedang bertugas? Namun kawan kawan kita yang sedang bertugas di kediaman Ki Dukuh ini telah mngajak kita kemari.”

“Ya, aku juga diberitahu oleh mereka,” pengawal itu menjawab sambil sekilas berpaling ke belakangan. Tampak seekor kuda yang tegar beberapa langkah di belakang dengan penunggangnya seorang prajurit Mataram yang gagah perkasa.

“Mengapa wajah wajah para prajurit itu terkesan dingin dan mengerikan? Sepertinya mereka bukan manusia yang sebenarnya,” kembali pengawal itu berbisik kepada kawan di sebelahnya.

Kawannya menengok sekilas ke belakang sebelum menjawab. Jawabnya kemudian sambil kembali memandang lurus ke depan, “Bukankah tadi Kiai Singo Barong mengatakan mereka itu hanyalah sebagai ujud ujud semu yang tidak punya pengaruh apapun terhadap keadaan di sekitarnya?”

(9)

Pengawal itu mengangguk angguk dengan dada yang berdebaran. Namun dia masih sempat memberikan pendapatnya, “Tapi ternyata Kiai Singo Barong terjatuh sewaktu menampar kuda yang katanya hanya ujud semu itu?”

“Ada permainan ilmu yang kita tidak mengetahuinya,” bisik kawan di sebelahnya itu kembali, “Sudahlah, kita lihat perkembangan selanjutnya. Jika memang benar benar ada campur tangan pasukan Mataram, lebih baik kita meninggalkan tempat ini saja.”

Pengawal itu mengangguk. Jauh di dalam lubuk hatinya sebenarnya dia sudah mulai meragukan janji janji Ki Dukuh setelah terbetik khabar jatuhnya padepokan Sapta Dhahana. Dalam pada itu Kiai Singo Barong yang sempat terjatuh ternyata telah melangkah kembali ke hadapan Ki Rangga.

“Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong kemudian sambil memandang ke arah Ki Rangga yang terlihat hanya berdiri tenang, “Aku tantang Ki Rangga untuk memecahkan rahasia ilmu perguruan Singo Barong. Ini bukan perang tanding satu lawan satu. Namun apa yang aku tawarkan adalah sebuah tantangan untuk memecahkan rahasia ilmu langkah bintang beralih yang diciptakan oleh nenek moyang perguruan kami. Belum ada satu pun orang yang mampu keluar hidup hidup dari kepungan delapan langkah bintang beralih,” Kiai Singo Barong berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian dengan suara yang sedikit datar, “Tetapi itu semua berpulang kepada keberanian Ki Rangga, Agul Agulnya Mataram yang telah kondang kaloka kajalandriya di seluruh tlatah Mataram. Apakah Ki Rangga berani menerima tantangan ataukah akan bersembunyi di balik pijung biyungnya.”

(10)

Kata kata terakhir Kiai Singo Barong itu terdengar sangat menyakitkan dan menyinggung perasaan Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi memang itulah yang dikehendaki oleh pemimpin perguruan Singo Barong itu.

Namun yang justru melangkah ke depan adalah Ki Bango Lamatan. Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu agaknya sudah tidak mampu menahan diri lagi.

Berkata Ki Bango Lamatan kemudian sesampainya dia di hadapan Kiai Singo Barong, “Kiai, aku hormati Kiai sebagai pemimpin sebuah perguruan yang terkenal di lereng gunung Arjuna. Semasa mudaku, aku pernah mendaki gunung Arjuna dan memang aku melihat sebuah perguruan yang besar, perguruan Singo Barong,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun aku menjadi tidak habis mengerti, dimana harga diri sebuah perguruan yang sedemikian besar dengan menantang Ki Rangga untuk berperang tanding tetapi dengan cara main keroyokan? Jika memang Kiai Singo Barong mempunyai cukup keberanian, silahkan menantang perang tanding dengan Ki Rangga satu lawan satu.”

Berdesir dada pemimpin perguruan Singo Barong itu. Jika dia harus berperang tanding satu lawan satu dengan Ki Rangga, kemungkinan untuk dapat keluar dalam keadaan hidup adalah sangat kecil.

“Sorot mata itu,” membatin Kiai Singo Barong dalam hati sambil memandang sekilas ke arah Ki Rangga yang tetap berdiri dengan tenang, “Seandainya aku sudah dapat memecahkan ilmu sorot mata itu tanpa menggunakan ilmu langkah rahasia bintang beralih. Itupun aku masih harus melihat kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi dalam perang tanding nantinya.”

(11)

Berpikir sampai disitu Kiai Singo Barong segera tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Perang tanding tidak harus satu lawan satu. Aku hanya menawarkan kepada Ki Rangga jika dia benar benar seorang yang pilih tanding, tentu merupakan suatu kehormatan bagi perguruan Singo Barong untuk melayani Ki Rangga dengan jusur andalan kami.”

“Omong kosong!” sergah Ki Bango Lamatan kemudian sambil tangan kanannya menunjuk ke arah Kiai Singo Barong, “Saat ini bukanlah waktu yang tepat bagi kita untuk saling menguji ilmu. Saat ini adalah kekuasaan mutlak yang dimiliki Ki Rangga selaku duta pamungkas dari Mataram. Ki Rangga berhak menangkap kalian dan menyerahkan ke Mataram untuk mendapatkan hukuman yang setimpal atas usaha kalian bergabung dengan Trah Sekar Seda Lepen.”

“Tutup mulutmu!” giliran Kiai Singo Barong yang membentak menggelegar sambil tangannya juga menunjuk ke arah wajah Ki Bango Lamatan, “Tidak ada seorang pun yang berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada kami, Ki Rangga pun tidak walaupun dia mengatas namakan dirinya sebagai duta pamungkas dari Mataram, karena kami merasa bukan di bawah Mataram” Kiai Singo Barong berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kami perguruan Singo Barong memang sudah bertekat untuk membuat tatanan yang lebih baik di negeri ini bersama Trah Sekar Seda Lepen, Trah yang seharusnya berhak untuk memerintah di atas tanah ini.”

“Terserah apa kata kalian!” sergah Ki Bango Lamatan dengan suara tak kalah lantangnya, “Namun kalian sekarang ini sedang berhadapan dengan duta pamungkas dari Mataram. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, kalian akan kami perlakukan sebagai pemberontak yang wajib untuk di tangkap dan diserakan kepada Mataram.”

(12)

“Lakukanlah jika kalian mampu,” geram pemimpin perguruan Singo Barong itu kemudian, “Kami bukan sekumpulan cacing cacing tanah yang hanya sedemikian lemahnya untuk kalian injak injak. Kami adalah segerombolan singa yang haus darah dan siap untuk mencabik cabik tubuh tubuh kalian menjadi sayatan daging dan pecahan tulang.”

Kalimat terakhir dari Kiai Singo Barong itu memang terdengar mengerikan. Namun Ki Bango Lamatan justru telah tertawa berkepanjangan. Jawabnya kemudian setelah tawanya reda, “Kiai Singo Barong, sebaiknya engkau segera membuka mata dan telingamu lebar lebar. Engkau tidak usah menakut nakuti kami dengan kata kata yang nggegirisi namun bagiku sangat menggelikan. Memang kita belum pernah saling bertemu, namun aku rasa nama kita masing masing pernah terdengar di atas tanah ini walaupun dengan gaung yang berbeda. Perkenalkan aku, Bango Lamatan yang pernah menjadi orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra.”

Jika saja ada guruh yang meledak di siang hari itu, tentu tidak akan membuat pemimpin perguruan Singo Barong itu terkejut dan sejenak bagaikan kehilangan penalaran.

Namun dengan cepat Kiai Singo Barong segera mampu menguasai dirinya. Katanya kemudian disertai dengan sebuah tawa yang memuakkan, “O, ternyata inilah orang yang di sebut Bango Lamatan itu, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra,” Kiai Singo Barong berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun aku yakin yang mampu mengubah dirinya menjadi raksasa sebesar bukit itu adalah Panembahan Cahya Warastra, bukan orang kepercayaannya yang bernama Bango Lamatan. Selain itu, ada satu keanehan bagiku. Menurut berita tembang rawat rawat,

bakul sinambi wara, Panembahan Cahaya Warastra telah

(13)

mungkin orang kepercayaannya sekarang ini justru telah berdiri berdampingan dengan pembunuh tuannya?”

Dengan sengaja Kiai Singo Barong mengungkit kematian Panembahan Cahya Warastra, karena pemimpin perguruan Singo Barong itu tidak yakin jika orang yang berdiri di hadapannya sekarang ini adalah benar benar Ki Bango Lamatan yang pernah berseberangan dengan Mataram.

“Kiai,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian dengan suara berat dan dalam, “Bango Lamatan yang dulu telah mati. Sekarang yang berdiri di hadapanmu adalah Bango Lamatan yang telah terlahir kembali dengan semangat dan kepercayaan yang baru. Semangat dan kepercayaan yang telah tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam untuk ikut menegakkan panji panji Mataram di seluruh pelosok tanah ini.”

“Omong kosong!” geram Kiai Singo Barong memotong ucapan Ki Bango Lamatan, “Apa yang engkau sampaikan itu semuanya tak lebih dari sebuah bualan orang yang telah putus asa. Sepeninggal Panembahan Cahya Warastra, engkau telah menjadi pengecut dan menyerahkan diri kepada Mataram untuk memohon ampunan. Sebagai balas budi atas kehidupan yang diberikan kepadamu, engkau sekarang telah menjadi budak orang orang Mataram dan telah melupakan jati dirimu sendiri.”

“Tapi itu lebih baik bagiku,” sergah Ki Bango Lamatan cepat, “Lebih baik bagiku untuk mendarma baktikan sisa hidupku ini di jalan kebenaran, jalan yang diridhoi oleh Yang Maha Agung dari pada hidup tanpa arti, aji godong jati aking!”

Ki Bango Lamatan sengaja melontarkan kata kata yang cukup pedas sebagai balasan ejekan Kiai Singo Barong. Namun pemimpin perguruan yang cukup disegani di lereng gunung

(14)

Arjuna itu justru kembali tergelak. Jawabnya kemudian, “Kebenaran itu tergantung dari sudut pandang mana kita menilainya. Sudut pandang kita berbeda walaupun kita bisa saja berdiri sejajar dan tidak berseberangan. Kita semua ingin melihat keadilan dan kesejahteraan tercipta di atas tanah ini. Itu berarti kita berdiri sejajar. Namun aku melihat cara kalian mensejahterakan kawula alit itu ternyata hanyalah omong kosong belaka. Janji janji yang kalian tebar hanyalah tipu muslihat untuk mencari simpati kawula alit. Setelah kalian mendapat kepercayaan untuk mengemban amanah dari kawula alit, kalian lebih banyak mabok kenikmatan dunia dan berfoya fota sehingga meninggalkan cita cita semula, mengabdi kepada kepentingan kawula alit.” “Sesukamulah untuk menilai, Kiai” jawab Ki Bango Lamatan sambil membentangkan kedua tangannya, “Kalian berhak untuk menilai apa saja tentang Mataram. Namun Mataram pun berhak menilai sikap kalian yang sengaja berseberangan bahkan sudah mulai mengumpulkan kekuatan untuk tujuan pemberontakan.” “Kami tidak memberontak!” geram Kiai Singo Barong dengan wajah merah padam, “Sudah aku katakan sebelumnya. Kebenaran itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Aku melihat kawula alit begitu menderita di bawah tekanan pemerintahan Mataram. Bersama kawula alit kami justru bahu membahu berjuang melawan kekejaman yang menindas mereka. Itulah sebenarnya kenyataan yang terjadi. Sebuah perjuangan untuk mengembalikan kembali Trah Sekar Seda Lepen ke tahta yang memang menjadi haknya.”

“Omong kosong!” geram Ki Bango Lamatan sambil melangkah selangkah ke depan, “Semua orang di tanah ini sudah tahu bahwa wahyu keprabon telah berpindah. Sejak Majapahit runtuh dan kemudian Demak berdiri, masih banyak orang yang bermimpi membangun kembali kerajaan terbesar yang pernah ada di tanah

(15)

ini , namun selalu gagal. Kemudian Demak pun berpindah ke Pajang dan tetap ada orang orang yang bermimpi membangun kembali kejayaan Demak lama. Orang orang yang tidak mau melihat kenyataan masih terus bermimpi mengembalikan kejayaan masa lampau,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sudahlah Kiai. Jaman sudah berganti dan kita jangan terlena mengikuti mimpi yang tak mungkin terjadi. Lihatlah aku, Kiai! Aku sudah mampu melupakan masa laluku dan sekarang aku bertekad untuk berbuat yang terbaik bagi negeri ini.” “Teruslah bermimpi Bango Lamatan!” ternyata Kiai Singo Barong justru menggeram marah mendengar nasehat orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu, “Nanti akan kita lihat, mimpi siapakah yang akan menjadi kenyataan. Kita telah lama tertidur nyenyak mendengar kidung malam yang begitu syahdu. Kidung yang dilantunkan oleh Panembahan Senapati dan keturunannya. Namun saat Matahari terbit, kita akan terjaga dan masing masing akan menyadari, untuk siapa sebenarnya kita selama ini telah mengabdi!”

Untuk beberapa saat Ki Bango Lamatan tertegun. Ditariknya nafas dalam dalam sambil membuang pandangan matanya ke kejauhan. Sikapnya itu justru telah disalah artikan oleh Kiai Singo Barong. Dengan sebuah senyum di bibirnya, pemimpin perguruan di lereng Arjuna itu pun kembali berkata, “Nah, dengarkanlah hati nuranimu, Ki Bango Lamatan. Apa yang telah engkau yakini selama ini belum tentu merupakan sebuah kebenaran abadi. Kebenaran abadi itu tidak ada. Semua berubah menurut jaman dan kehendak kita. Marilah jaman itu kita putar sesuai dengan kehendak kita sehingga keadilan dan kesejahteraan di atas tanah ini akan segera tercapai.”

(16)

……Tampak seseorang yang berwajah penuh wibawa melangkah ke pendapa diiringi oleh beberapa orang.

(17)

“Aku setuju dengan pendapatmu itu Kiai,” sahut Ki Bango Lamatan yang membuat beberapa orang yang hadir di halaman itu mengerutkan kening, “Kita semua memang dapat menentukan perubahan jaman itu dengan andil kita masing masing. Namun aku sangat tidak setuju dengan pilihanmu untuk membenturkan Mataram yang sudah mapan ini dengan kekuatan Trah Sekar Seda Lepen yang belum tentu dapat menjamin berlangsungnya pemerintahan yang lebih baik kelak di kemudian hari. Peperangan hanya akan menyengsarakan kawula alit. Sebenarnyalah kawula alit hanya berpihak kepada rasa damai dan tentram di atas tanah ini. Mereka tidak akan peduli Trah siapa yang duduk di atas singgasana. Namun yang mereka harapkan adalah perdamaian dan keadilan dari siapapun yang nantinya akan menduduki tahta.” “Itu tidak mungkin Ki Bango Lamatan!” sergah Kiai Singo Barong cepat, “Landasan utama untuk membangun sebuah pemerintahan yang adil dan sejahtera adalah terletak pada kejujuran sehingga akan dinyatakan syah seseorang itu menduduki tahta. Jika dia merebut tahta dengan cara yang sangat curang dan melanggar paugeran bebrayan agung, bagaimana mungkin dia akan melaksanakan kewajibannya dengan baik dan bersih jika jiwanya sudah dikotori dengan segala laku kecurangan dan tipu muslihat?” “Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu, Kiai,” kembali Ki Bango Lamatan menyela, “Bukankah Kiai tadi mengajari aku tentang sudut pandang? Nah, sesorang dikatakan melakukan sebuah kecurangan, itu mungkin dilihat dari pihak yang dirugikan. Namun jika dilihat dari pihak yang diuntungkan, itu bukanlah sebuah kecurangan, namun itu adalah sebuah siasat untuk mencapai tujuan! Bukankah memang demikian kita seharusnya melihat sesuatu itu dari sudut pandang masing masing?”

(18)

Merah padam wajah Kiai Singo Barong. Dengan dengan sebuah bentakan yang menggelegar dia pun kemudian berteriak, “Tutup mulutmu Bango Lamatan! Engkau terlalu ikut campur urusanku dengan Ki Rangga. Minggirlah! Engkau masih belum cukup umur untuk berada di lingkaran orang orang berilmu tinggi!”

Namun Ki Bango Lamatan ternyata justru telah tertawa. Jawabnya kemudian, “Aku sekarang sudah menjadi bagian dari Mataram. Tugas Ki Rangga tentu saja juga menjadi tugasku. Kalian orang orang perguruan Singo Barong tidak usah bermimpi untuk menantang Ki Rangga berperang tanding. Jika Kiai memang cukup mempunyai keberanian, hadapilah aku! Kita akan berperang tanding satu lawan satu sampai di antara kita tidak mampu lagi untuk melihat terbitnya Matahari esok pagi!”

Kata kata Ki Bango Lamatan itu ternyata telah membuat darah Kiai Singo Barong semakin medidih. Namun sebelum dia memutuskan, tiba tiba terdengar langkah langkah beberapa orang yang keluar dari pringgitan.

Serentak mereka yang berada di halaman itu segera mengarahkan pandangan mata mereka ke pintu pringgitan yang terbuka lebar. Sejenak orang orang yang di halaman itu bagaikan membeku. Tampak seseorang yang berwajah penuh wibawa melangkah ke pendapa diiringi oleh beberapa orang.

“Hidup Ki Patih Mandaraka!” tiba tiba para prajurit berkuda Mataram yang sedari tadi hanya diam mematung telah berteriak gegap gempita menyambut kedatangan orang orang dari dalam pringgitan itu.

“Hidup Ki Patih Mandaraka!” “Hidup Mataram!”

(19)

“Jayalah Mataram selama lamanya!”

Teriakan itu terdengar bersahut sahutan sehingga telah mengejutkan mereka yang berada di halaman, terutama para pengawal padukuhan Klangon dan orang orang padukuhan yang terpengaruh oleh sikap Ki Dukuh.

Mereka memang seumur umur belum pernah melihat atau bertemu dengan Ki Patoh Mandaraka. Namun melihat ujud orang yang sangat berwibawa itu serta teriakan para prajurit berkuda Mataram, mereka pun segera dapat mengambil kesimpulan bahwa yang hadir itu benar benar Ki Patih Mandaraka.

“Gila!” seru beberapa pengawal dukuh Klangon tanpa sadar sambil pandangan mata mereka tak berkedip memandang orang orang yang keluar dari pringgitan dan kemudian turun ke pendapa.

“Apa yang harus kita perbuat?” bertanya seorang penghuni padukuhan Klangon itu kepada salah satu dari keempat pengawal yang sedang berjaga di rumah Ki Dukuh.

Pengawal yang ditanya itu sejenak kebingungan. Ketika dia kemudian berpaling ke arah kawan kawannya yang berdiri di dekat pintu gerbang, tampak betapa wajah wajah itu menjadi pucat pasi.

“He?! Bagaimana?!” desak salah satu penghuni padukuhan Klangon itu sambil mengguncang tubuh pengawal yang diam mematung itu.

“Ya, bagaimana?” yang lain pun ikut bertanya.

(20)

“Jangan diam saja! Ki Patih sudah menuruni tlundak pendapa!” “Ya, ya. Cepat beritahu kami harus bagaimana?”

Pertanyaan bertubi tubi dari penghuni padukuhan maupun pengawal pengawal yang lain telah membuat keempat pengawal itu menjadi kebingungan. Keringat dingin pun membasahi sekujur tubuh mereka.

“Kami tidak tahu,” akhirnya keluar juga jawaban dari salah satu pengawal itu dengan suara yang lirih dan bergetar nyaris tak terdengar.

Mendengar jawaban dari salah satu pengawal itu, orang orang itu pun menjadi gelisah dan kebingungan. Entah siapa yang bergerak terlebih dahulu. Namun ternyata orang orang padukuhan Klangon dan para pengawal yang berada di dekat pintu gerbang segera berhamburan dan saling berebut untuk keluar dari halaman rumah Ki Dukuh. Yang lain pun segera mengikuti kawan kawan mereka.

Hanya dalam waktu yang sekejap, mereka telah meninggalkan halaman rumah Ki Dukuh. Kedatangan pasukan berkuda Mataram beberapa saat tadi telah menggoyahkan keberanian mereka. Sekarang dengan kehadiran Ki Patih Mandaraka benar benar telah membuat mereka ketakutan dan memutuskan untuk tidak melibatkan diri terlalu jauh.

Kiai Singo Barong yang melihat semua kejadian itu segera mengumpat tak habis habisnya. Teriaknya kemudian menggelegar mengatasi hiruk pikuk itu, “Diam! Kalian semua diam!”

Kemudian kepada anak murid perguruan Singo Barong dia segera menjatuhkan perintah, “Cantrik cantrik Singo Barong jangan

(21)

terpengaruh! Sekali lagi ini hanya sebuah permainan semu yang memuakkan!”

Beberapa cantrik yang ilmunya belum setara dengan Srenggi dan kedua adik seperguruannya memang hampir saja terpengaruh. Namun teriakan gurunya itu telah menyadarkan mereka tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Alangkah dahsyatnya ilmu semu ini,” membatin para cantrik itu sambil menarik nafas dalam dalam untuk mengurai getar di dalam dada mereka, “Dalam pertempuran yang sebenarnya, orang orang yang tingkatan ilmunya belum mampu membedakan antara ujud nyata dengan ujud semu benar benar akan menjadi linglung dan tidak tahu harus berbuat apa.”

Sedangkan Srenggi dan kedua adik seperguruannya hanya mengerutkan kening mereka dalam dalam. Dengan mudahnya mereka dapat mengenali bentuk bentuk semu itu. Namun tetap saja mereka memerlukan waktu sekejap untuk mengenalinya. Dalam pada itu, teriakan Kiai Singo Barong ternyata telah menghentikan hiruk pikuk di halaman itu. Segera saja halaman itu menjadi hening. Sambil memandang langkah langkah Ki Patih Mandaraka yang menuruni tlundak pendapa diiringi tiga orang di belakangnya, Kiai Singo Barong segera menggeram keras, “Permainan yang memuakkan! Kalian telah berhasil menakut nakuti para pengawal dan penduduk Klangon! Namun kami dari perguruan Singo Barong tidak akan terkecoh dengan semua permainan ini!”

Sebenarnyalah yang datang kemudian itu adalah Ki Waskita dan kawan kawan. Setelah menyembunyikan Ratri terlebih dahulu di lumbung padi dekat gandhok kiri, Ki Waskita bersama Ki

(22)

Kamituwa pun kemudian bergabung dengan Ki Jayaraga dan Ki Wiyaga di ruang tengah.

“Kita sembunyikan saja gendhuk Ratri ini di lumbung padi itu,” berkata Ki Waskita beberapa saat yang lalu kepada Ki Kamituwa yang mendukung Ratri.

“Apakah tidak akan berbahaya Ki Waskita?” bertanya Ki Kamituwa sambil melangkah ragu ragu mendekati lumbung padi. “Maksud Ki Kamituwa?” balas bertanya Ki Waskita sambil berpaling ke arahnya.

“Maksudku, jika ada yang mengetahui keberadaan Ratri, bukankah akan sangat membahayakan keselamatannya?”

Sejenak Ki Waskita menarik nafas dalam dalam sambil menghentikan langkah. Kemudian sambil menundukkan kepala dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, dicobanya untuk mengamati keadaan di halaman belakang itu.

Ki Kamituwa yang ikut berhenti menjadi berdebar debar. Namun dia percaya sepenuhnya kepada orang tua itu.

“Untuk sementara aman,” berkata Ki Waskita kemudian sambil mengurai kedua tangannya dan menengadahkan wajahnya.

Ki Kamituwa pun menarik nafas panjang sambil melangkah mengikuti ayah Rudita yang telah melangkah kembali.

Namun kedua orang itu tidak menyadari jika di dekat perigi, melekat pada sebatang pohon sawo kecik, sebuah bayangan seseorang yang seolah olah telah menyatu dengan pohon sawo kecik, sedang mengawasi kedua orang yang sedang melangkah menuju lumbung padi itu.

(23)

Demikianlah, setelah selesai menyembunyikan Ratri, kedua orang itu segera bergabung dengan Ki Jayaraga dan Ki Wiyaga di ruang tengah.

Dalam pada itu Ki Rangga dan rombongan terutama Ki Gede menjadi terkejut melihat Ki Waskita telah hadir di halaman. Pikirannya segera terbayang pada anak perempuan satu satunya yang sedang pingsan di salah satu bilik di gandhok kanan.

“Siapakah yang menunggui Ratri?” pertanyaan itu berputar putar dalan benak Ki Gede Matesih.

Sedangkan Ki Rangga justru telah tersenyum dan mengangguk angguk. Ternyata Ki Waskita telah mengirim aji pameling kepadanya dan menjelaskan tentang tempat menyembunyikan Ratri yang terakhir.

Melihat Ki Gede yang tampak gelisah, Ki Rangga pun kemudian segera memberi isyarat dengan sebuah anggukkan ke arahnya. Ki Gede pun agaknya telah tanggap. Pemimpin tanah perdikan Matesih itu pun akhirnya menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya.

Dalam pada itu Kiai Singo Barong yang melihat keempat orang itu sedang menuruni tlundak pendapa hatinya berdesir tajam. Panggraitanya segera mengenali siapa yang selama ini telah membuat bentuk bentuk semu yang memuakkan itu.

Maka sambil melangkah ke depan dia segera menunjuk ke arah Ki Waskita. Katanya kemudian dengan teriakan yang menggelegar, “Ki Sanak! Aku tahu sumber kekacauan semua ini berasal dari Ki Sanak. Maka aku peringatkan, buang semua ilmu semumu ini. Tidak akan ada gunanya lagi!”

(24)

Memang Ki Waskita telah kembali bermain dengan ilmu semunya untuk semakin menambah rasa takut para pengawal padukuhan Klangon dan beberapa orang padukuhan Klangon yang telah terpengaruh oleh bujukan Ki Dukuh. Setelah melihat orang orang padukuhan Klangon itu melarikan diri bersama para pengawal, Ki Waskita pun beranggapan sudah tidak ada gunanya lagi untuk mempertahankan bentuk bentuk semu itu.

Sejenak kemudian, bentuk bentuk semu itu pun perlahan lahan bagaikan asap yang tertiup angin, menghilang dari pandangan orang orang yang berada di halaman rumah Ki Dukuh Klangon. “Nah, begitu lebih baik,” berkata Kiai Singo Barong kemudian sambil tertawa pendek, “Sekarang kita berhadapan sebagaimana laku seorang jantan. Kita akan berhitung dengan cermat. Siapa yang akan mendahului terbujur menjadi mayat di halaman ini!” Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing masing saling menilai siapakah yang pantas menjadi calon lawannya serta kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi di halaman itu nantinya.

Tiba tiba beberapa orang yang berilmu tinggi di halaman itu telah dikejutkan oleh pendengaran mereka. Walaupun suara itu tidak terdengar jelas dan hanya berlangsung sekilas, namun tak urung suara desis yang mirip dengan desis seekor ular itu telah mengejutkan mereka, terutama Ki Rangga.

“Suara isyarat itu,” membatin Ki Rangga dengan jantung yang berdesir tajam sambil memandang ke arah Ki Waskita, “Arahnya dari halaman belakang.”

Ayah Rudita agaknya telah mendengar pula suara isyarat yang pernah dipakai pada saat peralihan pemerintahan dari Demak ke

(25)

Pajang. Namun Ki Waskita terlihat menggelengkan kepalanya sambil memandang ke arah Ki Rangga.

Untuk beberapa saat Ki Rangga justru telah termangu mangu. Ingatannya segera saja melayang ke peristiwa beberapa saat yang lalu sebelum dia dan kawan kawan berangkat ke gunung Tidar. “Tidak mungkin yang melemparkan isyarat ini adalah Ki Patih Mandaraka,” membatin Ki Rangga dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Apakah mungkin orang lain? Golongan dari angkatan tua yang masih tersisa? Atau Ki Tanpa Aran barangkali yang selama ini jati dirinya masih gelap?”

Berbagai dugaan pun muncul dalam benak Ki Rangga, namun dia belum dapat menarik sebuah kesimpulan pun.

Demikian juga Ki Jayaraga. Namun orang tua yang sudah kenyang kehidupan hitam maupun putih itu kelihatannya justru telah berpaling ke arah Ki Rangga sambil tersenyum. Seakan akan dia menyerahkan tugas untuk menyelidiki suara itu kepada Ki Rangga Dalam pada itu Ki Bango Lamatan yang sedang berhadap hadapan dengan Kiai Singo Barong juga dapat menangkap suara aneh itu. Tetapi dia tidak dapat menduga suara apakah itu yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh pendengaran orang kebanyakan. Suara yang terdengar hanya sekilas dan sangat perlahan

Namun ternyata Ki Bango Lamatan telah memantapkan hatinya untuk melawan pemimpin perguruan yang berada di lereng gunung Arjuna itu. Maka katanya kemudian, “Kiai, sudah aku katakan sedari tadi. Kiai aku tantang untuk berperang tanding satu lawan satu. Silahkan yang lainnya menyesuaikan diri dengan

(26)

lawan masing masing. Biarlah Ki Rangga beristirahat. Tugas tugas yang diembannya masih cukup banyak untuk diselesaikan.”

Ki Rangga menarik nafas dalam dalam mendengar usul Ki Bango Lamatan itu. Segera saja Ki Rangga tanggap akan maksud Ki Bango Lamatan. Maka katanya kemudian, “Terima kasih Ki Bango Lamatan. Aku memang agak lelah pagi ini karena semalaman memang tidurku sedikit tidak nyenyak.”

Selesai berkata demikian Ki Rangga segera melangkah mendekati Ki Waskita dan kawan kawannya yang masih berdiri termangu mangu di ujung tlundak pendapa.

Sesampainya di hadapan mereka Ki Rangga segera menyalami satu persatu sambil berkata, “Terima kasih atas kehadiran dan bantuannya. Sesuai saran Ki Bango Lamatan, aku akan duduk dudk saja di pendapa.”

“Silahkan ngger,” jawab Ki Waskita sambil tersenyum lebar, “Namun angger Sedayu tidak akan ditemani semangkuk minuman hangat dan ketela rebus yang dicampur santan dan gula aren.” “Akulah yang seharusnya meminta maaf,” sela Ki Jayaraga yang berdiri di sebelah Ki Waskita, “Kedua pelayan yang sedang memasak di dapur terpaksa aku suruh tidur nyenyak di lantai dapur karena ternyata mereka berdua tidak pandai memasak. Jadi untuk apa mereka diberi tugas untuk memasak?”

Sebagian yang mendengar kelakar Ki Jayaraga itu telah tertawa. Namun Kiai Singo Barong dan murid muridnya justru telah mengerutkan kening sambil mengumpat-umpat.

“Guru,” tiba tiba Srenggi berkata sambil menunjuk ke arah Ki Jayaraga, “Ijinkan aku untuk menidurkan orang tua tak tahu diri itu selama lamanya. Dia sudah berani dengan sombongnya

(27)

mencederai anak murid perguruan Singo Barong. Tidak ada balasan yang setimpal selain nyawanya. Sudah cukup baginya hidup di atas bumi ini. Sudah waktunya dia meninggalkan dunia ini untuk selama lamanya.”

Ketika gurunya kemudian mengangguk kecil, Srenggi pun segera melangkah lebar mendekati Ki Jayaraga yang juga kemudian turun ke halaman.

“Nah, kakek tua,” geram Srenggi kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Jayaraga, “Kita tidak perlu berbasa basi berkepanjangan. Aku tahu kedua cantrik yang aku tugaskan memasak di dapur ternyata telah engkau cederai atau mungkin keduanya sekarang sudah tak bernyawa,” Srenggi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tapi jangan menyamakan murid murid Singo Barong sebagaiman kedua cantrik yang telah engkau lumpuhkan itu. Aku peringatan untuk mengetrapkan seluruh ilmumu dan seluiruh aji jaya kawijayan yang telah engkau kuasai, agar selembar nyawamu yang sama sekali tidak berharga itu bisa diselamatkan. Namun terus terang aku meragukan keselamatanmu.”

Ki Jayaragaa tersenyum menanggapi ucapan calon lawannya itu . Maka jawabnya kemudian sambil melangkah ke tempat yang agak lapang dan jauh dari Ki Waskita dan kawan kawan, “Aku sangat tersanjung mendapat kehormatan menghadapai salah satu murid perguruan Singo Barong. Terima kasih saran Ki Sanak. Namun aku juga berhak memberikan saran. Jangan ragu ragu untuk menumpahkan seluruh ilmu yang telah Ki Sanak kuasai walaupun lawan Ki Sanak kali ini adalah seorang tua bangka. Untuk itu jagalah nama baik perguruanmu. Jangan sampai perguruan Singo Barong yang terkenal itu justru akan berubah menjadi perguruan Singo ompong!”

(28)

Merah padam wajah Srenggi. Tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu, tiba tiba serangan pertamanya pun datang membadai melanda Ki Jayaraga. Namun orang tua itu telah siap. Dengan lincahnya dia segera meloncat menghindar.

Namun Srenggi ternyata tidak membiarkan begitu saja lawannya terlepas pada serangan pertamanya. Dengan berputar setengah lingkaran dan bertumpu pada salah satu kakinya, kaki yang lain ternyata telah menyambar dagu Ki Jayaraga.

Ki Jayaraga agak terkejut melihat kesigapan serangan lawan. Dengan sedikit merendahkan tubuh, sambaran kaki lawan itu lewat sejengkal di atas kepalanya. Kemudian dengan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tangan kanannya dengan jari jari merapat meluncur ke arah ulu hati. Sementara tangan kirinya disilangkan di depan dada.

Murid utama perguruan Singo Barong itu sama sekali tidak terkejut. Dengan memiringkan tubuhnya, serangan lawan pun mengenai tempat kosong. Sebagai gantinya tangan kanan Srenggi terayun deras memukul tengkuk.

Terlihat sebuah senyum di sudut bibir Ki Jayaraga. Guru Glagah Putih yang telah malang melintang di dunia hitam maupun putih itu masih belum ingin menjajagi kekuatan lawan melalui benturan. Maka sambil merendahlan diri serendah rendahnya, Ki Jayaraga pun kemudian melenting ke samping.

Demikianlah sejenak kemudian kedua orang yang terpaut umur cukup jauh itu segera terlibat dalam pertempuran dahsyat. Silih

ungkih singa lena.

Untuk beberapa saat Kiai Singo Barong masih mengamati jalannya perang tanding antara Srenggi dan Ki Jayaraga. Namun

(29)

pemimpin perguruan Singo Barong itu yakin Srenggi akan dapat mengatasi lawannya. Tingkatan ilmu Srenggi hanya terpaut selapis tipis di bawahnya.

Namun ada satu hal yang membuat pemimpin perguruan Singo Barong itu gelisah. Beberapa saat tadi dia juga mendengar suara desis dari arah halaman belakang. Namun suara itu terdengar sangat lembut dan dalam sekejap telah menghilang dari pendengarannya.

“Suara apakah itu tadi?” bertanya Kiai Singo Barong dalam hati sambil mencoba menduga duga, “Agaknya Ki Rangga telah mengenal suara itu. Terbukti dia segera melangkah pergi.”

Dalam pada itu Gandhung dan Gentho yang melihat kakak seperguruannya telah terlibat dalam sebuah pertempuran segera berpaling ke arah gurunya. Namun tampaknya Kiai Singo Barong masih menimbang nimbang. Pemimpin perguruan Singo Barong itu masih belum yakin dengan kemampuan salah seorang muridnya itu untuk menghadapi Ki Waskita, orang yang menurut pengamatannya mempunyai sejenis ilmu yang dapat menipu pandangan mata lawan. Membuat ujud ujud semu yang membingungkan.

“Dalam sebuah pertempuran yang sebenarnya, bayangan semu itu akan dapat mempengaruhi pemusatan nalar dan budi,” membatin Kiai Singo Barong kemudian, “Gandhung dan Gentho memang tidak akan dengan mudah tertipu oleh bentuk bentuk semu. Namun dalam pertempuran yang sebenarnya, jika lawan dapat menggunakan kesempatan serta memilih saat yang tepat untuk menciptakan bentuk bentuk semu, tentu penalaran mereka akan terganggu walaupun hanya sekejap. Namun waktu yang hanya sekejap itu akan sangat menentukan dalam sebuah lingkaran perang tanding orang orang yang berilmu tinggi.”

(30)

Namun Kiai Singo Barong tidak sempat berangan angan terlampau jauh. Tiba tiba saja Gandhung telah melangkah lebar sambil berdesis, “Guru, aku memilih melawan orang yang sudah sangat tua itu. Aku tahu dia mampu melemparkan bentuk bentuk semu untuk sekedar mengelabui kanak kanak. Barangkali saat ini adalah kesempatan terakhir kakek tua itu untuk bermain main. Aku akan melayaninya sampai dia merasa menyesal telah bertemu dengan aku.”

Gurunya tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah Gandhung yang sedikit tergesa menuju ke hadapan Ki Waskita.

Ki Waskita yang melihat salah satu murid Singo Barong itu mendekatinya segera tanggap. Ayah rudita itu pun kemudian segera menyongsongnya dengan sebuah senyum yang lebar. “Ah, ternyata aku masih mendapat kehormatan untuk disejajarkan dengan orang orang muda,” berkata Ki Waskita kemudian sesampainya dia di hadapan Gandhung, “Sebenarnyalah aku lebih suka duduk duduk di pendapa sambil menikmati udara pagi dengan semangkuk wedang sereh dan ketela rebus.”

Gandhung mengerutkan keningnya. Di pandanginya Ki Waskita dari ujung kepala sampai kaki. Sejenak murid kedua perguruan Singo Barong itu menjadai heran melihat orang tua itu memakai ikat pinggang rangkap, walaupun salah satunya terlihat lebih kecil. “Orang tua yang aneh,” membatin Gandhung dalam hati sambil kembali melihat ke arah pinggang Ki Waskita, “Orang tua ini terlihat tidak membawa senjata, sebuah keris atau apapun yang bisa di sembunyikan di balik bajunya. Aku justru bercuriga dengan ikat pinggang yang rangkap itu.”

(31)

Namun Gandhung tidak sempat berangan angan lebih jauh. Ki Waskita yang berdiri di hadapannya telah berkata, “Nah, Ki Sanak. Apakah kita perlu memperkenalkan diri kita masing masing sebelum terlibat dalam sebuah perang tanding?”

“Itu tidak perlu!” geram Gandhung sambil menunjuk ke arah lawannya, “Aku tidak perlu tahu siapa yang akan aku bunuh. Aku membunuh siapapun yang aku mau. Jadi tinggalkan semua basa basi yang tidak perlu itu.”

Dada Ki Waskita berdesir tajam. Agaknya perguruan Singo Barong memang telah mengajarkan murid muridnya untuk berbuat tanpa perasaan ragu ragu. Keragu raguan hanya akan melemahkan hati saja.

“Baiklah Ki Sanak. Kapan kita segera mulai?” bertanya Ki Waskita kemudian.

Dengan pertanyaan itu Ki Waskita berharap sebagaimana kakak seperguruannya, Gandhung akan segera melontarkan serangan pertamanya. Namun ternyata Ki Waskita keliru.

“Jangan tergesa gesa kakek tua!” kembali terdengar Gandhung menggeram, “Aku sudah terbiasa bermain main terlebih dahulu sampai lawanku merasa putus asa. Di saat lawanku putus asa itulah aku akan membunuhnya dengan perlahan lahan. Pertama tama akan aku congkel kedua matanya agar dia tidak dapat melihat apa yang akan aku perbuat kemudian. Dia hanya dapat menduga duga saja dengan penuh rasa takut. Dugaan dugaan yang penuh rasa ketakutan itulah yang akan terasa mengasyikkan bagiku.”

(32)

Kembali sebuah desir tajam menggores dada Ki Waskita. Perguruan Singo Barong benar benar merupakan sekumpulan Singa yang haus darah dan tak berbelas kasihan.

Dalam pada itu, tinggal Gentho yang belum mendapatkan lawan yang sepadan. Selagi dia mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling untuk mencari cari lawan yang sepadan dengan dirinya, pandangan matanya berbenturan dengan Ki Gede Matesih yang telah menggenggam tombak pusaka kebesaran perdikan Matesih, Kiai Singkir Geni.

“Ah, merupakan sebuah kehormatan bagiku untuk melayani Ki Gede Matesih,” berkata Gentho kemudian sambil tertawa pendek dan melangkah mendekat, “Sebenarnya aku lebih senang menjadi menantu Ki Gede saja dari pada harus menjadi lawan yang saling membinasakan.”

Ki Gede yang melihat seorang anak muda dengan wajah yang berangasan mendekati dirinya, jantungnya sedikit berdesir. Melihat ujudnya saja Ki Gede sudah dapat menduga jika lawannya kali ini adalah seorang yang kasar dan sedikit liar.

“Silahkan anak muda,” berkata Ki Gede kemudian sesampainya Gentho di hadapannya, “Mohon dimaafkan. Aku masih belum ada niat untuk mencari menantu. Anak gadisku masih belum cukup umur. Mungkin beberapa tahun lagi.”

“O, itu bukan masalah bagiku Ki Gede,” sela Gentho sambil tersenyum senyum memuakkan, “Setelah pertempuran ini selesai, aku akan segera menjemput calon pengantinku itu di gandhok kanan. Aku juga harus memohon maaf kepada Ki Gede jika nantinya Ki Gede tidak bisa hadir sebagai wali,” Gentho berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian sambil membungkukkan badan dalam dalam, “Terimalah hormatku ini sebagai permohonan restu

(33)

untuk menjadi menantu Ki Gede sebelum aku mengantarkan Ki Gede ke alam kelanggengan.”

Ki Gede tidak menjawab. Namun jauh di dalam lubuk hatinya Ki Gede menjadi sedikit khawatir. Dia belum dapat meraba kekuatan calon lawannya itu dan agaknya dia tidak dapat mengharapkan bantuan siapapun karena orang orang perguruan Singo Barong telah memutuskan untuk menantang perang tanding.

“Harapan satu satunya adalah Ki Rangga,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mengawasi lawannya yang telah mencabut senjatanya, sebilah pedang yang berdaun lebar dan panjang, “Aku lihat tadi Ki Rangga masuk ke dalam pringgitan. Semoga saja Ki Rangga bermaksud menjaga Ratri.”

Mendapat pemikiran seperti itu, hati Ki Gede menjadai sedikit tenang walaupun tidak dapat menghapus seluruh kegelisahannya. Ki Gede tidak mengetahui maksud sebenartnya dari Ki Rangga meninggalkan hamana itu.

“Suara desis yang aneh tadi,” gumam Ki Gede dalam hati kemudian mengingat ingat kejadian beberapa saat tadi, “Mungkin Ki Rangga mengetahuinya dan semoga tidak membahayakan anakku, Ratri.”

“Nah, Ki Gede,” berkata Gentho kemudian membuyarkan lamunan Ki Gede, “Apakah Ki Gede sudah siap? Sebenarnya aku lebih senang Ki Gede menyerah saja dan berpihak kepada kami. Tentu dengan senang hati guru akan mengampuni Ki Gede dan sekaligus Ki Gede akan mendapat seorang menantu yang luar biasa, calon penerus perdikan Matesih yang besar. Selain itu perdikan Matesih akan dapat dijadikan sebagai pancadan untuk melawan Mataram.”

(34)

“Berhentilah berangan angan, anak muda!” sela Ki Gede dengan suara yang dalam, “Pikirkan terlebih dahulu bagaimana caranya untuk menghindari ujung ujung trisulaku ini.”

Merah padam wajah Gentho. Dengan menggeretakkan giginya, dia segera memutar senjatanya dan siap meluncurkan serangan pertamanya.

Dalam pada itu, Kiai Singo Barong segera berpikir cepat. Dia benar benar harus berhitung dengan waktu. Jika dia dan ketiga muridnya dengan cepat dapat melumpuhkan lawan lawan mereka, tentu mereka akan segera dapat mengurung Ki Rangga dan mengikatnya dalam sebuah perang tanding melawan mereka berempat.

“Sasaran utama adalah Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong dalam hati sambil melihat ke seluruh medan. Tampak murid murid Singo Barong yang tersisa segera mengurung Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga yang dibantu oleh dua orang pengawal Matesih. “Tujuh orang melawan empat orang,” kembali pemimpin perguruan Singo Barong itu membatin dalam hati, “Mengapa Badra brewok dan Mranggi belum juga kembali?”

Namun Kiai Singo Barong tidak sempat berangan angan lebih jauh lagi tentang kedua muridnya itu. Dia menyadari keduanya telah ditugaskan untuk mengamati jalur jalan yang menghubungkan Matesih dengan padukuhan Klangon dan mungkin sekarang keduanya masih melakukan tugas.

“Nah, Kiai,” tiba tiba kata kata Ki Bango Lamatan membuyarkan lamunan Kiai Singo Barong, “Mereka semua sudah mulai. Apakah masih ada yang Kiai tunggu? Bala bantuan dari perguruan yang lain barangkali?”

(35)

Dalam pada itu seekor kuda dengan penunggangnya tampak sedang berpacu kencang di bulak panjang……….

(36)

“Tutup mulutmu!” geram Kiai Singo Barong sambil mengambil sesuatu dari saku bajunya. Sejenak kemudian Ki Bango Lamatan pun melihat seolah olah dari kesepuluh jari jari pemimpin perguruan Singo Barong itu telah tumbuh kuku kuku panjang yang berwarna hitam legam.

“Hem, agaknya orang ini telah memasang kuku kuku yang terbuat dari baja pada jari jarinya,” membatin Ki Bagno Lamatan kemudian sambil matanya tak lepas mengawasi kedua tangan lawannya, “Menilik warnanya yang hitam legam, tentu kuku kuku itu sangat beracun.”

Menyadari akan bahaya yang dapat mengintainya setiap saat, Ki Bango Lamatan pun memutuskan untuk menghindari setiap benturan sekecil apapun.

“Dengan sebuah goresan sekecil apapun, racun itu akibatnya adalah maut,” kembali Ki Bango Lamatan berkata dalam hati. Agaknya lawannya dapat membaca pikiran Ki Bango Lamatan yang pandangan matanya tak pernah lepas dari jari jari tangannya. Maka katanya kemudian sambil tertawa, “Aku tidak yakin jika engkau memiliki ilmu penawar racun sebagaimana yang dimiliki oleh Ki Rangga. Maka aku sarankan engkau untuk menyerah saja agar kematianmu tidak terasa sangat menyakitkan.”

Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam dalam. Jawabnya kemudian, “Terima kasih, Kiai atas sarannya. Namun aku juga menyarankan sebaiknya Kiai sajalah yang menyerah. Aku yakin Ki Rangga akan berbuat sebaik baiknya dan kalian tidak akan disiksa atau pun bahkan dibunuh. Karena kami orang orang Mataram adalah orang orang yang mengenal paugeran dan menjunjung tinggi kemanusiaan.”

(37)

“Omong kosong!” bentak Kiai Singo Barong menggelegar sehingga membuat orang orang yang sedang bertempur di sekitarnya telah berpaling sekilas. Namun pertempuran itupun berlanjut kembali. Kiai Singo Barong yang telah selesai memasang kuku kuku baja ke seluruh jari jarinya itu masih sempat berpaling ke pendapa. Betapa jantung pemimpin perguruan Singo Barong itu berdesir tajam begitu melihat pemandangan yang baginya sangat mendebarkan. Tampak pendapa itu kosong. Tidak tampak lagi kemana perginya Ki Rangga.

Ki Bango Lamatan yang mengikuti pandangan Kiai Singo Barong itu pun telah menarik nafas dalam dalam. Sebenarnyalah Ki Rangga tidak dilibatkan dalam pertempuran itu dengan maksud agar Ki Rangga segera mengadakan penyelidikan ke halaman belakang. Siapakah yang telah datang kemudian itu? Kawan ataukah lawan?

“Nah, apakah Kiai sudah siap?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian begitu melihat lawannya itu justru termenung sejenak. Kiai Singo Barong yang tersinggung segera berteriak dengan lantang, “Murid murid Singo Barong! Dengarlah! Mari kita selesaikan lawan lawan kita secepat cepatnya. Setelah itu giliran Ki Rangga yang akan kita hadapi untuk membuktikan kebesaran namanya selama ini!”

Teriakan itu ternyata telah menjadi pemicu semangat bagi murid murid Singo Barong. Sejenak kemudian pertempuran pun menjadi semakin dahsyat di tiap tiap arena.

Dalam pada itu seekor kuda dengan penunggangnya tampak sedang berpacu kencang di bulak panjang yang menghubungkan padukuhan Klangon dengan padukuhan Salam yang termasuk

(38)

dalam kademangan Salam. Padukuhan Salam memang tergolong padukuhan yang paling besar dan ramai dibanding dengan padukuhan padukuhan lain di sekitarnya. Sehingga padukuhan Salam pun telah menjadi padukuhan induk bagi kademangan Salam.

Matahari telah memanjat langit sebelah timur semakin tinggi. Sinarnya mulai terasa menggatalkan kulit. Namun penunggang kuda itu tidak peduli. Kudanya terus dipacu semakin kencang. Sesekali terdengar cemetinya meledak untuk memacu kuda tunggangannya semakin kencang.

“Semoga aku tidak terlambat,” desis penunggang kuda itu sambil sesekali mendongakkan wajahnya ke langit, “Untunglah ada pengawal padukuhan Klangon yang masih dapat berpikiran waras sehingga tidak terbujuk dengan rayuan Ki Dukuh.”

Sejenak penunggang kuda itu harus mengekang laju kudanya ketika melewati sebuah tikungan yang agak tajam. Begitu tikungan itu terlewati, cemeti di tangan kanannya pun kembali meledak sehingga membuat kuda tunggangnya berpacu kencang kembali.

Sesekali penunggang kuda itu harus meringis kesakitan ketika kudanya melonjak agak keras melewati jalan yang tidak rata. Sekilas tampak luka luka di beberapa bagian tubuhnya yang tidak terlindungi oleh baju. Walaupun terlihat sudah di lumuri obat, namun gerakan yang agak berlebihan akan dapat menyebabkan luka itu terbuka dan mengalirkan darah kembali.

“Aku harus berhasil meyakinkan Ki Demang,” terdengar penunggang kuda itu bergeremang sambil tetap memacu kudanya, “Selama ini Ki Demang Salam tidak menanggapi setiap berita yang berkenaan dengan Ki Dukuh Klangon. Ki Demang tidak percaya

(39)

jika Ki Dukuh Klangon telah terpengaruh dengan janji janji Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Tiba tiba terbersit sebuah pemikiran yang justru telah membuat jantung penunggang kuda itu berdesir tajam.

“Bagaimana jika Ki Demang Salam juga telah terpengaruh?” pertanyaan itu berputar putar dalam benaknya.

Untuk beberapa saat penunggang kuda itu justru telah membeku di atas punggung kudanya. Darahnya serasa berhenti mengalir begitu menyadari kemungkinan itu dapat saja terjadi.

“Ah, sudahlah,” gumam penunggang kuda itu pada akhirnya sambil tetap melaju, “Aku hanya sebatas berusaha untuk menolong Ki Rangga dan kawan kawannya. Seandainya selama ini Ki Demang memang telah terpengaruh, aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan.”

Namun jauh di lubuk hatinya, penunggang kuda itu menjadi ragu ragu. Dalam keadaan wajar tanpa segores luka di tubuhnya pun dia masih belum tentu dapat mengimbangi kemampuan Ki Demang. Apalagi dengan luka yang malang melintang di sekujur tubuhnya sekarang ini. Walaupun luka luka itu sudah ditaburi obat serta sudah tidak mengalirkan darah lagi.

“Apapun yang akan terjadi, keselamatanku aku serahkan kepada Yang Maha Agung Penguasa jagad raya ini,” desis penunggang kuda itu pada akhirnya.

Demikianlah penunggang kuda itu telah membulatkan tekadnya untuk menghadap Ki Demang Salam apapun yang akan terjadi kemudian.

(40)

Ketika bulak panjang itu sudah terlewati dan dari kejauhan tampak regol padukuhan induk kademangan Salam berdiri megah, penunggang kuda itu pun segera memperlambat laju kudanya. Demikian dia hampir mencapai regol, dua orang pengawal yang sedang berjaga tampak telah berdiri menghadang jalan.

Dengan perlahan penunggang kuda itu segera menghela kudanya ke depan kedua pengawal itu. Tanpa turun dari kudanya, dia segera mengangkat tangannya sambil berkata lantang, “Aku Jagabaya padukuhan Klangon, mohon diijinkan untuk lewat.” Kedua pengawal itu sejenak mengamat amati seraut wajah yang duduk di atas punggung kuda beberapa langkah di hadapan mereka. Sebagai pengawal kademangan Salam, tentu saja mereka mengenal setiap bebahu padukuhan padukuhan di bawah kademangan Salam.

“O, Ki Jagabaya Klangon kiranya,” berkata salah satu pengawal itu kemudian sambil memberi isyarat kawannya untuk menepi, “Silahkan Ki Jagabaya. Silahkan!”

Penunggang kuda yang ternyata adalah Ki Jagabaya dukuh Klangon itu segera tersenyum sambil berkata, “Terima kasih. Aku akan menghadap Ki Demang.”

“Silahkan, silahkan!” kembali salah satu pengawal itu mempersilahkan Ki Jagabaya Klangon untuk melanjutkan perjalanannya.

Dengan segera Ki Jagabaya dukuh Klangon menggebrak kudanya untuk kembali berpacu. Namun kali ini Ki Jagabaya tidak berani berpacu terlalu kencang karena telah memasuki padukuhan induk yang cukup ramai.

(41)

Sepeninggal Ki Jagabaya, kedua pengawal itu tampak saling berpandangan sejenak. Salah satu segera berkata, “Aku lihat Ki Jagabaya wajahnya tampak agak pucat dan lelah. Apakah dia sedang sakit?”

Kawan menggeleng sambil menjawab, “Entahlah. Mungkin Ki Jagabaya Klangon hanya letih saja. Kita semua tahu, para Jagabaya di padukuhan padukuhan berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban. Kadang hampir setiap malam mereka ikut meronda dengan para pengawal yang sedang bertugas jaga. Sehingga tidak heran jika di pagi hari berikutnya terlihat letih dan lelah.”

Kawannya mengangguk angguk sambil berjalan ke dalam gardu dan duduk di atas amben yang besar. Katanya kemudian, “Sebenarnya Ki Jagabaya dapat saja duduk di gardu gardu sambil menerima laporan pengawal yang telah nganglang. Itu akan sangat menghemat tenaga dan juga keesokan harinya tidak akan menjadi terlalu letih dan lelah.”

Kawannya tidak menyahut, hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Dia pun kemudian ikut duduk di sebelah kawannya. Dalam pada itu, Ki Jagabaya Klangon telah memacu kudanya kembali walaupun tidak begitu kencang. Jalanan sudah mulai ramai. Beberapa kali Ki Jagabaya harus memperlambat laju kudanya ketika berpapasan dengan sebuah pedati yang sarat memuat hasil bumi.

Beberapa orang pejalan kaki pun tampak lalu lalang sehingga Ki Jagabaya semakin memperlambat derap kudanya.

“Tidak mungkin aku berderap terlalu kencang,” membatin Ki Jagabaya sambil mengendalikan derap kudanya, “Selain akan

(42)

menarik perhatian, jika aku sempat melanggar para pejalan kaki, tentu urusannya akan semakin rumit dan tujuanku menghadap Ki Demang bisa berantakan.”

Kediaman Ki Demang kebetulan tidak terlalu jauh. Setelah melewati banjar padukuhan induk dan berbelok ke kanan, rumah Ki Demang yang cukup besar dan megah pun sudah terlihat. Segera saja Ki Jagabaya sedikit memacu laju kudanya. Ketika tampak olehnya dua orang pengawal yang sedang bertugas jaga di depan regol itu sedang mengawasinya, Ki Jagabaya pun kemudian mengekang kudanya dan berhenti tepat di depan regol.

“Ki Jagabaya dukuh Klangon?” sapa salah seorang pengawal jaga itu sambil berjalan mendekat. Ki Jagabaya pun kemudian meloncat turun.

“Aku akan menghadap Ki Demang,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil menerima jabat tangan kedua pengawal yang sedang jaga itu, “Apakah Ki Demang masih di kediaman?”

Salah satu pengawal itu mengangguk sambil mempersilahkan Ki Jagabaya untuk berjalan terus.

“Biarlah aku urus kudamu, Ki Jagabaya,” berkata pengawal itu kemudian sambil meminta tali kendali kuda dari tangan Ki Jagabaya.

“Terima kasih,” berkata Ki Jagabaya sambil menyerahkan kendali kudanya. Kemudian dengan bergegas dia segera melangkah memasuki regol.

Beberapa pengawal yang tampak sedang duduk duduk di gardu sebelah regol pun kemudian disapanya tanpa berhenti. Mereka pun agaknya mengerti bahwa Ki Jagabaya dukuh Klangon tentu

(43)

membawa berita yang sangat penting untuk Ki Demang sehingga mereka tidak bertanya lebih lanjut.

Ketika seorang pelayan yang sedang berada di pendapa melihat Ki Jagabaya, dia segera masuk ke dalam untuk memberitahu Ki Demang.

Ki Demang yang sedang duduk di pringgitan bersama seorang bebahu kademangan mengerutkan keningnya ketika seorang pelayan kaki laki mengethuk pintu pringgitan dan kemudian membukanya sejengkal.

“Ada apa?” bertanya Ki Demang kemudian

“Ada Ki Jagabaya dukuh Klangon yang ingin menghadap,” jawab pelayan itu kemudian.

“Suruh masuk!” perintah Ki Demang singkat.

Begitu pelayan itu menutup pintu pringgitan kembali dan memutar tubuhnya, tampak Ki Jagabaya sedang menaiki tlundak pendapa.

“Ki Jagabaya dipersilahkan langsung masuk ke pringgitan,” berkata pelayan itu kemudian sambil menyongsong kedatangan Ki Jagabaya, “Ki Demang ada di dalam.”

“Sendirian?” bertanya Ki Jagabaya kemudian sambil tetap melangkah.

Pelayan itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ada Ki Jagatirta.” Ki Jagabaya dukuh Klangon menarik nafas dalam dalam. Setelah mengethuk pintu pringgitan, dengan perlahan di dorongnya pintu itu.

(44)

“Masuklah,” terdengar suara berat dan dalam dari pringgitan. Tidak salah lagi itu adalah suara Ki Demang Salam.

Setelah mendorong pintu pringgitan semakin lebar, Ki Jagabaya pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil mengucapkan salam.

Kedua orang yang sedang duduk duduk di dalam pringgitan itu pun serentak menjawab salam Ki Jagabaya.

“Marilah Ki Jagabaya, masuklah,” berkata Ki Demang kemudian dengan ramah sambil mempersilahkan Ki Jagabaya masuk. Ki Jagatirta yang sudah ada terlebih dahulu di ruangan itu segera bergeser untuk memberi tempat kepada Ki Jagabaya dukuh Klangon.

Setelah saling menanyakan keselamatan masing masing, Ki Demang pun kemudian berkata, “Nah, sekarang Ki Jagabaya dapat menyampaikan kepentingannya.”

Sejenak Ki Jagabaya menarik nafas dalam dalam sebelum menyampaikan laporannya. Memang ada sedikit keraguan tentang sikap Ki Demang terhadap Trah Sekar Seda Lepen. Namun Ki Jagabaya sudah tidak mempunyai pilihan lain.

Berkata Ki Jagabaya kemudian, “Maaf Ki Demang. Aku datang menghadap Ki Demang untuk menyampaikan laporan tentang keadaan padukuhan Klangon.”

Untuk beberapa saat terlihat Ki Demang mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Mengapa Ki Jagabaya yang memberikan laporan tentang padukuahn Klangon? Kemana Ki Dukuh?

(45)

Namun sebelum Ki Jagabaya dukuh Klangon menjawab, terdengar pintu yang menghubungkan pinggitan dan ruang tengah berderit. Dua orang pelayan tampak muncul sambil membawa nampan yang berisi minuman dan makanan.

Untuk beberapa saat pembicaraan itu terhenti. Mereka menunggu para pelayan itu selesai menghidangkan minuman dan makanan. “Nah, marilah kita minum terlebih dahulu. Mumpung masih hangat,” berkata Ki Demang mempersilahkan tamu tamunya setelah kedua pelayan itu mengundurkan diri.

Ki Jagabaya dan Ki Jagatirta pun kemudian mengikuti Ki Demang meminum seteguk dua teguk.

“Nah, sekarang silahkan Ki Jagabaya meneruskan laporannya,” berkata Ki Demang selanjutnya sambil memandang ke arah Ki Jagabaya.

Sejenak Ki Jagabaya menelan ludah. Untuk sesaat terasa kerongkongannya menjadi kering walaupun dia habis minum dua teguk. Namun Ki Jagabaya tidak bisa mundur lagi. Maka jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu kemana rimbanya Ki Dukuh, sementara di kediamannya sekarang sedang berkumpul orang orang dari luar padukuhan Klangon dan sedang terjadi perselisihan.”

“Perselisihan?” terkejut Ki Demang. Demikian juga Ki Jagatirta yang duduk di sebelah Ki Jagabaya.

“Ya, Ki Demang,” sahut Ki Jagabaya dengan serta merta, “Ada beberapa orang yang mengaku dari perguruan Singo Barong sedang berselidish dengan Ki Gede Matesih dan rombongan yang sedianya akan pergi ke Mataram.”

(46)

Dalam pada itu Ki Gede Matesih yang bersenjatakan tombak bermata tiga dengan sengitnya melayani tandang lawannya……….

(47)

Tampak kerut merut di dahi Ki Demang semakin dalam. Sambil berpaling ke arah Ki Jagatirta untuk meminta pertimbangan, dia berdesis perlahan, “Perguruan Singo Barong? Rasa rasanya aku belum begitu mengenal nama perguruan itu. Terus apa hubungan Ki Dukuh dengan perguruan Singo Barong?”

Kini jantung Ki Jagabaya menjadi sedikit tenang. Agaknya Ki Demang memang benar benar tidak mengetahui sepak terjang Ki Dukuh selama ini. Sementara Ki Jagatirta hanya menggelengkan kepalanya pertanda dia juga tidak mengetahui hal itu.

“Maaf Ki Demang,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil menggeser duduknya setapak dan membetulkan letak kain panjangnya, “Selama ini Ki Dukuh telah menjadi perantara perguruan Sapta Dhahana dan Trah Sekar Seda Lepen untuk mengadakan hubungan dengan perguruan perguruan yang bersedia mendukung gerakan Trah Sekar Seda Lepen.”

“Cukup!” tiba tiba Ki Demang berkata sedikit keras sambil memberi isyarat Ki Jagabaya untuk tidak melanjutkan penjelasannya. Lanjut Ki Demang kemudian, “Sebenarnya aku sudah muak mendengar nama Trah Sekar Seda Lepen itu. Perguruan Sapta Dhahana yang menjadi pendukung Trah Sekar Seda Lepen itu terletak di wilayah perdikan Matesih, sehingga selama ini aku tidak mau ikut campur. Ketika aku mendengar kabar bahwa Sapta Dhahana telah jatuh, aku sudah mengira selain Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya, pasti ada campur tangan dari orang orang Mataram.”

Ki Jagabaya dan ki jagatirta pun tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Berkata Ki Demang selanjutnya, “Aku juga telah mendengar berita tewasnya Kiai Damar Sasangka oleh Ki Rangga Agung Sedayu senapati pasukan khusus Mataram,” Ki Demang berhentu sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, seperti yang sudah

(48)

aku perkirakan sebelumnya, orang yang menamakan dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu tidak akan berhasil walaupun banyak didukung oleh perguruan perguruan yang sehaluan dengannya. Ki Patih Mandaraka tentu tidak akan tinggal diam begitu ada laporan dari para telik sandi Mataram tentang gerakan yang mencurigakan di padepokan Sapta Dhahana.”

Kembali kepala kedua orang yang berada di hadapan Ki Demang itu terangguk angguk.

“Untuk urusan Ki Dukuh, aku sebenarnya belum mendapat bukti yang kuat atas keterlibatannya dengan Trah Sekar Seda Lepen itu,” berkata Ki Demang kemudian sambil kembali mengangkat mangkuk minumannya. Setelah meneguk minuman di dalam mangkuk itu dan meletakkan kembali di hadapannya, Ki Demang melanjutkan, “Jika memang Ki Dukuh sekarang terbukti terlibat, mengapa engkau tidak mengajak para pengawal padukuhan Klangon untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepadaku?” Mendapat pertanyaan seperti itu, sejenak Ki Jagabaya tertegun. Namun dengan cepat dia segera menguasai diri. Maka jawabnya kemudian, “Maaf Ki Demang. Suasana di padukuhan Klangon saat itu memang tidak menentu. Kami tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Ki Dukuh telah mempengaruhi beberapa pengawal dan para kawula padukuhan Klangon, sehingga sulit bagiku untuk bertindak.”

“Sekarang Ki Dukuh dimana?” sela Ki Demang kemudian dengan serta merta.

Ki Jagabaya menggeleng. Kemudian segera diceritakannya tentang peristiwa beberapa hari ini sejak kedatangan putra Ki Dukuh dan gurunya yang diikuti oleh saudara saudara seperguruannya.

(49)

“Jadi Ki Jagabaya telah terluka?” bertanya Ki Demang kemudian dengan nada terheran heran sambil memandangi sekujur tubuh Ki Jagabaya. Ki Jagatirta yang duduk di sebelahnya pun ikut mengamat amati tubuh Ki Jagabaya.

“Benar Ki Demang,” jawab Ki Jagabaya sambil sedikit membuka baju atasnya. Segera saja tampak luka luka yang masih baru namun sudah tidak ada darah yang mengalir.

“Baiklah Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang kemudian, “Sebaiknya Ki Jagabaya beristirahat saja di gandhok. Biarlah aku dan beberapa pengawal yang akan pergi ke padukuhan Klangon untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana.”

“Maaf Ki Demang,” sela Ki Jagabaya kemudian sambil kembali menutup bajunya, “Aku harus ikut. Bagaimana pun juga keamanan padukuhan Klangon tetap menjadi tanggung jawabku. Aku tidak mau para kawula padukuhan Klangon nanti menuduhku tinggal glanggang colong playu.”

“Ah,” hampir bersamaan Ki Demang dan Ki Jagatirta berdesah. “Orang orang tentu maklum jika mengetahui Ki Jagabaya telah terluka, “ kali ini yang menyahut Ki Jagatirta yang sedari tadi diam saja.

“Ya, Ki Jagatirta benar,” sahut Ki Demang kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jagatirta, “Semua orang tentu memaklumi keadaan Ki Jagabaya. Jadi sebaiknya Ki Jagabaya memang beristirahat saja di sini.”

Namun tampaknya Ki Jagabaya tetap bersikeras untuk ikut. Maka jawabnya kemudian, “Mohon maaf Ki Demang, aku baik baik saja. Luka luka ini memang masih baru namun sudah tidak

Referensi

Dokumen terkait