• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 26

OLEH PaneMbahanMandaraka Gambarsampul&Gambardalam Ki AdiSuta Tahun 2020 Diterbitkanhanyauntukkalanganterbatas (i)

(3)

Ceritainiditulis

Atasdasarkekagumanakankaryaseoranganakbangsa

Yang telahmenggalicerita

Dari bumi yang tercinta

Walaupun yang disajikaninijauhdarisempurna

Takadamaksuduntukmeniru Sang Pujangga

Hanyalahkecintaanakansebuahkarya

Untukdilestarikansepanjang masa

Sekarkeluwih, Agustus 2020 Terimakasihatasdukungan: Istridananak-anaktercinta Serta handaitaulansemua (ii)

(4)

Dalam pada itu di halaman banjar padukuhan induk, Ki Waskita yang sedang bertempur telah mendengar suara derap kaki kaki kuda ditingkah suara kenthong titir yang membahana. Derap kaki kaki kuda itu sepertinya sedang menuju ke banjar padukuhan induk dengan sangat cepatnya.

Lawan Ki Waskita pun agaknya telah mendengar dan mulai mempertimbangkan untuk segera mengakhiri pertempuran itu. Tiba tiba saja lawan Ki Waskita telah meloncat ke belakang beberapa langkah. Diangkatnya keris di tangan kanannya tinggi tinggi. Sebelum orang itu sempat mengetrapkan puncak ilmunya, dua ekor kuda yang meluncur bagaikan anak panah yang dilepas dari busurnya telah memasuki halaman banjar.

Ki Waskita yang menyadari lawan telah mempersiapkan ilmu puncaknya segera bersiap. Namun Ki Waskita masih sempat berpaling sekejap dan melihat Ki Jayaraga dan Ki Wiyaga yang meluncur di atas kuda kuda mereka memasuki halaman banjar. Ketika dari ujung keris lawan kemudian meluncur dengan sangat cepatnya lidah api yang mampu menghanguskan apa saja yang diterjangnya, Ki Waskita telah meloncat ke samping sambil memutar ikat pinggang di tangan kanannya.

Kemudian sambil menghentakkan puncak ilmunya ke arah lawan, Ki Waskita masih sempat berteriak ke arah Ki Jayaraga.

“Ki Jayaraga! Langsung ke dapur!” teriak Ki Waskita kemudian sambil membenturkan puncak ilmu yang disalurkan lewat ujung ikat pinggangnya ke arah lidah api yang meluncur.

Ki Jayaraga yang mendengar teriakan Ki Waskita segera tanggap. Dengan sedikit mengekang kendali kudanya, Ki Jayaraga pun

(5)

kemudian meloncat bagaikan terbang langsung ke pendapa. Begitu kakinya menginjak lantai pendapa, bagaikan dikejar hantu di siang bolong, guru Glagah Putih itu pun segera menghambur memasuki banjar langsung menuju ke dapur.

Ki Wiyaga yang ikut mendengar teriakan Ki Waskita segera mengikuti langkah Ki Jayaraga. Namun pemimpin pengawal perdikan Matesih itu tidak berani meloncat dari punggung kudanya selagi kuda itu sedang berlari kencang. Ditariknya kendali kuda itu perlahan lahan sehingga kuda itu tidak terkejut dan melonjak lonjak.

Begitu kuda itu berhenti tepat di depan tlundak pendapa, Ki Wiyaga segera meloncat turun. Namun baru saja Ki Wiyaga akan meloncat berlari, sudut matanya melihat kedua orang yang sedang menyabung nyawa itu telah membenturkan puncak ilmu masing masing.

Terdengar sebuah ledakan keras. Debu di halaman banjar pun berhamburan bercampur daun daun kering serta rumput rumput yang bagaikan tercerabut dari akarnya. Sejenak suasana pun menjadi sedikit gelap tertutup oleh debu yang berhamburan.

Ketika debu debu telah mereda. Tampak lawan Ki Waskita itu tergeletak beberapa langkah di hadapan Ki Waskita. Sementara ayah Rudita itu tampak jatuh terduduk pada kedua lututnya.

“Ki Waskita!” teriak Ki Wiyaga kemudian sambil berlari mendapatkan orang tua itu.

“Aku tidak apa apa, Ki Wiyaga,” berkata Ki Waskita kemudian dengan suara yang sedikit tersendat sambil duduk bersila untuk mengatur pernafasannya yang bagaikan tersumbat. Lanjutnya, “Pergilah ke halaman belakang lewat longkangan. Kedua kawan orang itu telah berusaha memasuki banjar lewat longkangan.”

(6)

Tanpa berpikir panjang, Ki Wiyaga pun segera berlari menuju ke longkangan sebelah kiri bangunan induk.

Dalam pada itu lawan Ki Waskita ternyata masih dapat bertahan walaupun dalam keadaan yang sangat parah. Terdengar beberapa kali dia menggeram dan mengumpat. Namun tubuhnya benar benar telah sangat lemah sehingga untuk menggerakkan ibu jari kakinya pun dia sudah tidak mampu.

Ki Waskita yang sudah selesai mengatur pernafasannya segera bangkit dan berjalan mendekati lawannya.

“Persetan kau iblis tua!” geram orang itu sambil menyeringai menahan sakit yang tiada taranya di sekujur tubuh. Seluruh persendian yang ada dalam tubuhnya terasa telah terlepas dan tercerai berai. Tubuhnya kini tak ubahnya hanya seonggok daging dan patahan tulang yang tidak dapat digerakkan sama sekali.

Ki Waskita yang telah berlutut di sisi lawannya segera melihat betapa keadaan orang itu sudah sangat parahnya dan sangat kecil kemungkinannya untuk dapat selamat.

“Engkau beruntung iblis tua!” geram orang itu kemudian dengan suara yang tersendat sendat dan nafas yang tersengal, “Seandainya aku mempunyai kesempatan untuk menyempurnakan aji alas kobar ini, mungkin tubuhmu sekarang sudah menjadi seonggok arang yang tak berarti!”

Ki Waskita menarik nafas dalam dalam. Aji alas kobar lawannya tadi memang masih belum matang. Belum mencapai tataran tertinggi dari puncak ilmu itu sendiri. Namun semua sudah berlalu dan orang yang menguasai aji alas kobar itu sekarang sedang tergolek tak berdaya.

“Tahanlah Ki Sanak,” berkata Ki Waskita kemudian dengan nada yang sareh, “Aku akan membantumu sejauh pengetahuanku.

(7)

Namun Ki Sanak harus membantuku dengan semangat dan perjuangan untuk melewati masa masa yang gawat ini.”

“Omong kosong!” bentak orang itu dengan suara keras. Namun akibatnya justru telah membuat keadaannya menjadi semakin parah. Tampak orang itu terbatuk batuk beberapa kali dan pada akhirnya telah mengeluarkan segumpal darah yang berwarna kehitaman dari mulutnya.

“Tahanlah Ki Sanak,” berkata Ki Waskita kemudian sambil meraba dada orang itu. Namun dengan susah payah ternyata dia telah berusaha menepis tangan Ki Waskita.

“Enyahlah dari hadapanku!” geram orang itu kemudian dengan suara parau bercampur dengan tetesan tetesan darah yang meleleh dari mulutnya.

Setelah terbatuk batuk lagi, orang itu pun dengan susah payah telah melanjutkan, “Kali ini kami gagal. Tapi dengarlah iblis tua! Saudara saudara seperguruanku sedang mematangkan aji alas kobar ini beserta aji sapu angin. Kedua ilmu itu jika digabungkan akan menjadi ilmu yang tak terkalahkan di muka bumi,”

Kembali orang itu terbatuk batuk. Kali ini bahkan telah membuat dadanya terguncang guncang. Ki Waskita yang telah memberi isyarat kepadanya untuk berdiam diri terlebih dahulu ternyata telah diabaikan.

“Ingat!” setengah berteriak orang itu melanjutkan kata katanya di antara desah nafasnya yang tersengal sengal, “Saudara saudara seperguruanku akan datang untuk menjemput ajal Ki Rangga dan juga engkau, iblis tua. Itu jika nyawamu masih senang melekat di tubuhmu yang sudah renta.”

Orang itu kemudian tampak berusaha untuk tertawa. Namun ternyata justru telah membuat keadaannya semakin parah.

(8)

Beberapa kali dia terbatuk batuk lagi dan akhirnya ketika dia gagal untuk menarik nafas, tubuhnya pun menggeliat dan meronta ronta sebelum nyawanya lepas dari tubuhnya.

Untuk beberapa saat Ki Waskita masih merenungi tubuh yang terbujur kaku di hadapannya. Ketika Ki Waskita kemudian menyingkap baju orang itu, tampak sebuah ikat pinggang lebar yang terselip beberapa buah paser kecil. Dalam keremangan cahaya obor, paser paser itu tampak berwarna hitam legam.

“Paser paser ini tentu sangat beracun,” desis Ki Waskita sambil mengamat amati tanpa berani menyentuhnya, “Untunglah dia belum sempat menggunakan. Agaknya kedatangan Ki Jayaraga dan Ki Wiyaga telah membuyarkan semua rencananya.”

Teringat Ki Jayaraga, Ki Waskita pun terlonjak bagaikan disengat seekor kalajengking sebesar ibu jari orang dewasa. Ayah Rudita itu pun dengan tergesa gesa segera bangkit berdiri dan kemudian bergegas berlari menyusul Ki Jayaraga.

Dalam pada itu, Ki Wiyaga yang sedang menyusuri longkangan telah mendengar denting senjata beradu. Dengan bergegas kepala pengawal perdikan Matesih itu pun segera menghunus senjatanya dan berlari menuju ke arah suara yang mendebarkan itu.

Demikian Ki Wiyaga muncul dari longkangan, di halaman belakang tampak seorang pengawal tergolek di tanah. Sementara beberapa tombak jauhnya tampak seorang pengawal sedang berjuang mati matian mempertahankan hidupnya.

Ki Wiyaga segera menghambur ke tempat perkelahian itu sambil berteriak, “Tahanlah! Aku datang membantu!”

Pengawal yang sedang terdesak dengan sangat hebatnya itu seakan telah mendapat semangat dan kekuatan baru. Dengan sisa sisa tenaganya dia berusaha menahan gempuran lawan.

(9)

Orang yang menjadi lawan pengawal itu terkejut ketika tiba tiba saja sebuah serangan dahsyat dari arah samping menerjangnya. Tidak ada pilihan lain baginya kecuali meloncat ke samping sehingga pengawal yang terdesak itu pun dapat memperbaiki kedudukannya. “Licik! Pengecut!” teriak orang itu sambil memutar senjatanya untuk melindungi tubuhnya dari sergapan Ki Wiyaga.

“Apa katamu? Licik?” teriak Ki Wiyaga sambil terus mengurung lawannya dengan serangan membadai. Lanjutnya kemudian sambil merunduk menghindari tebasan lawan, “Ini bukan perang tanding! Kami para pengawal perdikan Matesih sedang menangkap gerombolan pencuri yang akan memasuki banjar padukuhan tanpa ijin!”

“Omong kosong!” bentak lawannya dengan suara keras, “Kami bukan segerombolan pencuri! Kami adalah murid murid perguruan besar yang mampu meluluh lantakkan perdikan ini menjadi rata dengan tanah hanya dalam sekejap!”

“Itulah yang namanya omong kosong!” sahut Ki Wiyaga tanpa mengendurkan serangannya. Sementara pengawal yang lawannya telah diambil alih oleh Ki Wiyaga segera menolong kawannya yang sedang pingsan.

Demikianlah kedua orang yang sama sekali tidak saling mengenal namun mempunyai kepentingan yang berseberangan itu telah bertempur dengan sengitnya. Silih ungkih singa lena.

Dalam pada itu Ki Waskita yang telah mencapai dapur menjadi terkejut bukan alang kepalang. Dari pintu yang terbuka sejengkal Ki Waskita dapat melihat Ki Jayaraga yang sedang berjongkok di hadapan sesosok tubuh yang terbujur diam. Bau sesuatu yang hangus terbakar pun tercium oleh Ki Waskita.

(10)

Untuk sejenak Ki Waskita telah tertegun di tengah tengah pintu. Di sudut dapur, di depan sebuah geledhek pendek yang terbuat dari bambu, tampak Ki Jayaraga sedang berjongkok merenungi seseorang yang terbujur diam. Tampak tubuh bagian atas orang itu telah hangus terbakar.

“Ki Jayaraga?” sapa Ki Waskita kemudian sambil melangkah masuk. Ki Jayaraga yang sebenarnya sudah mengetahui kedatangan Ki Waskita sedari tadi telah menarik nafas dalam dalam sambil bangkit berdiri. Katanya kemudian, “Aku terlalu tergesa gesa dan kurang

perhitungan ketika melancarkan serangan. Aku begitu

mengkhawatirkan akan nasib Glagah Putih.”

Begitu mendengar nama Glagah Putih disebut, seketika Ki Waskita telah meloncat mendekati geledhek bambu yang masih tertutup itu. Dengan tergesa gesa segera ditariknya selarak dan kemudian dibukanya pintu geledhek itu.

Namun alangkah terkejutnya ayah Rudita itu, geledhek bambu itu ternyata sama sekali kosong. Tidak ada lagi Glagah Putih yang beberapa saat tadi di sembunyikan di dalamnya.

“Glagah Putih?!” seru Ki Waskita dengan nada yang cemas sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga.

Ki Jayaraga yang sudah berdiri itu pun kemudian dengan tergesa gesa segera mendekat dan berjongkok di dekat Ki Waskita untuk melongok ke dalam geledhek. Namun memang geledhek bambu itu kosong melompong.

“Ki Waskita,” bertanya Ki Jayaraga kemudian dengan suara bergetar menahan gejolak di dalam dadanya, “Di mana Ki Waskita menyembunyikan Glagah Putih? Di dalam geledhek bambu ini kah?”

(11)

Hati Ki Waskita benar benar telah menciut menjadi sebesar biji sawi. Mulutnya bagaikan terkunci dan kedua lututnya pun menjadi gemetaran. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan Ki Jayaraga dengan kata kata. Hanya sebuah anggukkan lemah saja namun yang telah membuat nyawa Ki Jayaraga serasa bagaikan terbang meninggalkan raganya.

“Ki Waskita?” tanya Ki Jayaraga kemudian dengan suara parau dan gemetar sambil terduduk di lantai dapur, “Kemana Glagah Putih?” Untuk sejenak Ki Waskita menjadi bingung. Namun ayah Rudita itu segera berkata, “Mari kita periksa semua geledhek yang ada di dalam dapur,”

Selesai berkata demikian, Ki Waskita segera beranjak dari tempatnya. Ki Jayaraga pun kemudian mengikuti Ki Waskita membuka buka semua geledhek yang ada di dalam dapur, namun keberadaan Glagah Putih tetap belum dapat diketemukan.

Kedua orang tua yang pinunjul ing apapak itu pun menjadi seperti kanak kanak yang kehilangan mainannya. Namun Ki Waskita yang dikaruniai kelebihan dapat meraba dan melacak keberadaan barang barang yang hilang itu segera berkata, “Tenanglah Ki. Menilik selarak geledhek bambu ini yang belum dibuka, aku yakin Glagah Putih masih selamat. Entah siapa yang telah menyelamatkannya. Aku akan mencoba melacaknya.”

Mendengar dugaan Ki Waskita itu, hati Ki Jayaraga yang tinggal semenir telah berkembang kembali. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Waskita. Cobalah untuk melacak keberadaan Glagah Putih. Barangkali Ki Waskita akan mendapat sisik melik keberadaan Glagah Putih.”

Ki Waskita tersenyum sambil mengangguk. Segera saja ayah Rudita itu duduk bersila sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dengan kepala tunduk dan sepasang mata yang terpejam, Ki

(12)

Waskita pun mulai menelusuri keadaan di sekitarnya dengan mata batinnya yang sangat tajam.

Sedangkan Ki Jayaraga yang duduk di sebelahnya ikut menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan kepalanya dalam dalam dan memejamkan kedua matanya. Dicobanya untuk mengetrapkan aji sapta pangrungu untuk mendengarkan setiap desir yang mencurigakan di sekitarnya. Dalam pada itu di perdikan Menoreh, Rara Wulan yang baru saja terlelap beberapa saat telah terlonjak bangun sambil menjerit. Wajahnya tampak pucat pasi dan keringat dingin pun mengucur dari sekujur tubuhnya. Sementara terlihat nafasnya yang memburu disertai dengan air mata yang mulai membasahi kedua pipinya. “Ada apa Rara?” bertanya Sekar Mirah yang ikut terbangun. Sedangkan Damarpati yang tidur dengan menggelar tikar di samping pembaringan Sekar Mirah ikut terbangun.

“Kakang Glagah Putih, Nyi!” terdengar suara sendat Rara Wulan disertai dengan isak tangis yang tertahan tahan.

“O, engkau telah bermimpi buruk rupanya,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil bangkit dan turun dari pembaringannya. Sambil membenahi sanggulnya istri senapai pasukan khusus Mataram yang berkedududkan di Menoreh itu segera mendekati pembaringan Rara Wulan.

“Tenanglah, Rara,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil duduk di bibir pembaringan Rara Wulan. Direngkuhnya bahu Rara Wulan sambil meneruskan kata katanya, “Memang sering terjadi jika kita jauh dari orang orang yang kita cintai, kita kadang diganggu oleh mimpi mimpi buruk. Berdoalah, agar mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan dan kita semua selalu dalam lindungan Yang Maha Agung.”

(13)

Tampak Rara Wulan yang berusaha menahan tangisnya itu mengangguk lemah. Namun bayangan mimpi yang mengerikan itu sulit dihilangkan dari dalam benaknya.

“Nyi, mimpi itu benar benar mengerikan,” berkata Rara Wulan kemudian setelah dia mulai dapat menguasai hatinya, “Dalam mimpi itu, aku dan kakang Glagah Putih sedang berjalan jalan di tebing sebuah sungai yang curam. Aku sangat takut namun kakang Glagah Putih memaksaku untuk berjalan terus. Tiba tiba terdengar suara bergemuruh dari arah hulu. Ternyata air di sungai itu meluap dan banjir besar pun melanda tebing sungai tempat kami berpijak,” Rara Wulan berhenti sejenak sambil menarik nafas dalam dalam untuk meredakan jantungnya yang bergejolak kembali. Lanjutnya kemudian, “Tebing yang kami pijak tiba tiba runtuh, namun kakang Glagah Putih masih sempat mendorongku sekuat tenaga sehingga aku telah terlempar ke tempat yang tidak longsor. Namun akibatnya sangat mengerikan. Kakang Glagah Putih sendiri telah terperosok dan terseret oleh arus banjir bandang.”

Sampai disini Rara Wulan kembali terisak isak. Dengan sekuat tenaga dia mencoba menahan tangisnya agar tidak membangunkan Bagus Sadewa. Sementara Damarpati yang duduk berselonjoran di atas tikar ikut menjadi berdebar debar.

“Sebuah mimpi yang aneh,” berkata Damarpati dalam hati sambil menarik nafas dalam dalam, “Semoga hanya bunga tidur saja dan ungkapan dari rasa kangen mbokayu Rara Wulan terhadap suaminya.”

Tanpa sadar Damarpati tersenyum sendiri. Namun cepat cepat senyum itu dibuang dari wajahnya ketika terdengar Sekar Mirah bertanya, “Apakah yang terjadi selanjutnya dalam mimpimu itu, Rara?”

(14)

Kembali Rara Wulan menarik nafas panjang beberapa kali untuk mengendurkan getar getar di dalam dadanya. Ketika dia sudah mulai agak tenang kembali, Rara Wulan pun menjawab, “Aku yang didorongnya ke atas tebing hanya dapat berteriak teriak meminta tolong. Kakang Glagah Putih tampak berusaha melawan arus yang menyeretnya. Namun banjir bandang itu tidak mampu dilawannya sehingga kakang Glagah Putih pun semakin terseret jauh ketengah sungai.”

Untuk beberapa saat Sekar Mirah tertegun. Dia sendiri pernah mengalami mimpi mengerikan seperti itu ketika mereka belum menjadi pasangan suami istri. Ikatan batin yang kuat ternyata telah memberinya isyarat bahaya yang sedang mengancam calon suaminya saat itu.

“Seolah olah aku benar benar mengalami peristiwa itu,” membatin Sekar Mirah sambil pandangan matanya menerawang langit langit bilik, “Dalam mimpiku itu aku melihat kakang Agung Sedayu sepertinya sedang dikeroyok berpuluh puluh ekor anjing liar atau serigala, aku tidak begitu jelas. Namun aku benar benar melihat kakang Agung Sedayu sedang dalam bahaya. Benar benar sebuah mimpi yang mengerikan.”

“Sudahlah Rara,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil memberi isyarat Damarpati untuk mengambilkan kendi yang terletak di atas meja kecil di sudut bilik, “Sebaiknya engkau tidur kembali. Namun sebelum tidur, minumlah barang seteguk dua teguk agar hatimu menjadi sedikit tenang.”

Selesai berkata demikian Sekar Mirah segera menerima kendi dari tangan Damarpati. Kemudian kendi itu pun segera diangsurkan kepada Rara Wulan.

“Minumlah Rara,” berkata Sekar Mirah kemudian. 11

(15)

“Terima kasih, Nyi,” sahut Rara Wulan sambil menerima kendi itu. Rara Wulan pun kemudian meminum air kendi itu sseteguk dua teguk.

“Terima kasih Damarpati,” berkata Rara Wulan kemudian sambil mengembalikan kendi itu kepada Damarpati. Damarpati pun kemudian mengembalikan kendi itu pada tempatnya semula.

“Nah, sekarang marilah kita tidur lagi,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil bangkit dari duduknya, “Jangan lupa berdoa sebelum tidur.”

Rara Wulan mengangguk. Namun baru saja Sekar Mirah melangkah, tiba tiba saja Rara Wulan berdesis, “Tapi mimpiku itu belum selesai, Nyi.”

“He?” seru Sekar Mirah sambil memutar tubuhnya. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu sambil memandang tajam muridnya, “Maksud Rara?”

Rara Wulan yang dipandang gurunya dengan tajam telah

menundukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Sebelum

terbangun dari tidurku, aku sepertinya melihat seseorang yang berlari lari di atas air sungai yang sedang meluap dan menghampiri kakang Glagah Putih yang hampir tenggelam.”

“He?” kembali Sekar Mirah terkejut dan kemudian duduk kembali di samping Rara Wulan. Tanyanya kemudian, “Apakah orang yang berlari larian di atas air itu kemudian berhasil menolong suamimu?” Untuk sejenak Rara Wulan tampak ragu ragu. Namun akhirnya dia pun mengagguk sambil menjawab, “Kelihatannya seperti itu, Nyi. Namun aku keburu terbangun. Yang aku ingat orang itu tampak menjulurkan tangannya ke arah kakang Glagah Putih sebelum aku terbangun.”

(16)

Kembali Sekar Mirah tertegun. Namun Sekar Mirah tidak mau berandai andai terlalu jauh. Maka katanya kemudian, “Sudahlah Rara. Apapun yang terjadi itu adalah pertanda baik. Seseorang sudah berusaha menolong suamimu walaupun dengan cara yang aneh, berlari larian di atas air sungai yang sedang meluap,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tetapi di dalam mimpimu itu, apakah engkau mengenal orang yang berusaha menolong suamimu itu?”

Tampak kening Rara Wulan berkerut merut. Tiba tiba sebuah senyum tersungging di bibirnya. Wajahnya yang sedari tadi murung menjadi ceria kembali. Jawabnya kemudian dengan nada yang riang, “Benar, Nyi. Aku mengenalnya dengan baik orang yang menolong kakang Glagah Putih. Orang itu adalah Ki Rangga Agung Sedayu, suami Nyi Sekar Mirah.”

Terkejut Sekar Mirah mendengar cerita muridnya itu. Untuk sejenak tubuh Sekar Mirah justru telah membeku.

“Nyi?” desis Rara Wulan kemudian membangunkan Sekar Mirah dari lamunan.

“Oh,” desah Sekar Mirah kemudian sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “Sudahlah Rara, aku tidak mengerti arti mimpimu. Tapi sebaiknya kita berdoa agar suami suami kita selalu mendapat perlindungan Yang Maha Agung dalam menjalankan tugas tugas mereka.”

Tampak kepala Rara Wulan terangguk angguk. Ketika Sekar Mirah kemudian bangkit dari duduknya dan menuju ke pembaringannya sendiri, Rara Wulan pun kemudian merebahkan tubuhnya kembali. Sedangkan Damarpati yang sedari tadi hanya menjadi pendengar yang baik segera ikut merebahkan diri di atas tikar sambil berselimut kain panjangnya.

(17)

“Tenanglah, Rara,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil duduk di bibir pembaringan Rara Wulan. Direngkuhnya………..

(18)

Sejenak kemudian ketiga perempuan yang berada dalam satu bilik itu mulai mencoba memejamkan mata. Namun sekarang justru Sekar Mirah lah yang menjadi sedikit gelisah. Mimpi Rara Wulan yang melihat suaminya berlari larian diatas air sungai yang sedang meluap itu telah menggelisahkan hatinya.

“Tugas apa sebenarnya yang sedang diemban kakang Agung Sedayu?” pertanyaan itu berputar putar dalam benaknya, “Menurut Ki Bango Lamatan, kakang Agung Sedayu sedang mendapat tugas khusus dari Pangeran Pati. Tentu sebuah tugas yang sangat sulit yang orang lain dipandang tidak akan mampu menyelesaikannya.” Berpikir sampai disitu Sekar Mirah menjadi semakin gelisah. Namun ketika terpandang olehnya Bagus Sadewa yang tidur lelap di sampingnya, hati perempuan anak Demang Sangkal Putung itu pun menjadi sedikit tenang.

“Semoga Yang Maha Agung selalu memberikan perlindunagn kepada kita semua,” doa Sekar Mirah kemudian pasrah sambil memejamkan matanya.

Dalam pada itu di perdikan Matesih, Ki Waskita yang sedang mengetrapkan kemampuannya untuk melacak keberadaan Glagah Putih telah dibuat kebingungan. Setelah beberapa saat tidak mendapatkan sisik melik, Ki Waskita pun segera mengakhiri samadinya.

Ki Jayaraga yang menyadari Ki Waskita sudah selesai dengan

samadinya segera ikut menghentikan usahanya untuk

mendengarkan keadaan di sekelilingnya dengan aji sapta pangrungu.

“Bagaimana, Ki?” bertanya Ki Jayaraga kemudian dengan nada harap harap cemas.

(19)

Untuk beberapa saat ayah Rudita itu telah membeku di tempatnya. Namun ketika kesadaran kembali memasuki benaknya, Ki Waskita segera menjawab setelah menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu, “Aku merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi di sekitar banjar ini. Sepertinya ada kabut tebal yang menyelimuti banjar ini sehingga aku tidak dapat melacak keberadaan Glagah Putih beberapa saat yang lalu,” Ki Waskita berhenti sejenak sekedar untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Biasanya aku mampu melacak jejak jejak yang ditinggalkan sebuah kejadian walaupun itu sudah berlalu beberapa saat. Namun kali ini aku benar benar dibuat bingung. Pandangan mata batinku seperti terhalang oleh sebuah kabut tebal yang tak tembus pandang.”

Ki Jayaraga menjadi berdebar debar. Namun orang tua itu hanya dapat pasrah sambil tak lupa memanjatkan doa untuk keselamatan muridnya yang terakhir itu.

“Ki Jayaraga, marilah kita tengok perkelahian yang sedang berlangsung di halaman belakang itu,” berkata Ki Waskita pada akhrinya sambil bangkit berdiri dan memberi isyarat Ki Jayaraga untuk keluar dapur. Suara denting senjata yang beradu di halaman belakang itu telah menarik perhatiannya.

“Siapa tahu hilangnya Glagah Putih ada hubungannya dengan ketiga orang yang memasuki banjar beberapa saat tadi. Dua orang sudah terbunuh, kita harus mengorek keterangan dari yang tersisa,” lanjut Ki Waskita sambil melangkah.

“Ya. Siapa tahu mereka bertiga hanya bertugas memancing perhatian dengan membuat keonaran. Sementara masih ada orang lain yang bertugas membawa pergi Glagah Putih,” sahut Ki Jayaraga dengan penuh semangat sambil mengikuti langkah Ki Waskita. Namun tampak sebersit keragu raguan menghinggapi wajah tua itu. Pintu dapur ternyata masih terlihat diselarak dengan kuat. Tidak

(20)

tampak tanda tanda seseorang telah membukanya dengan paksa dari luar.

“Kita keluar, Ki?!” desis Ki Jayaraga yang membangunkan Ki Waskita yang hanya termangu mangu saja di depan pintu.

“Tentu saja, Ki,” sahut Ki Waskita dengan serta merta, “Aku benar benar dibuat heran, dari mana orang yang membawa keluar Glagah Putih itu datang dan pergi?”

“Bukankah pintu butulan ruang dalam yang tembus ke gandhok kiri tadi terlihat telah didobrak?”

“Maksud Ki Jayaraga, orang itu melalui pintu butulan yang sudah terbuka tadi?”

“Dari mana lagi?”

Sejenak Ki Waskita merenung. Namun akhirnya Ki Waskita memutuskan untuk segera keluar dari dapur.

Dengan cekatan Ki Waskita segera mengangkat selarak. Ketika pintu dapur pun kemudian terbuka, udara malam yang dingin pun segera menyergap kedua orang tua itu. Sementara suara denting senjata beradu terdengar semakin keras.

Dengan setengah berlari Ki Waskita dan Ki Jayaraga pun segera keluar dapur dan kemudian mencari arah suara perkelahian yang terdengar sangat seru.

“Ki Wiyaga!” hampir berbareng kedua orang tua itu berseru tertahan. Namun hanya dengan melihat sekilas saja kedua orang tua yang sudah putus dari segala kawruh lahir maupun batin itu dapat menilai bahwa Ki Wiyaga akan dapat mengatasi lawannya.

“Aku akan membantu kedua pengawal itu terlebih dahulu,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil melangkah kearah seorang pengawal

(21)

yang tampak sedang berjongkok di sisi kawannya yang terbaring diam.

“Silahkan, Ki,” sahut Ki Waskita sambil melangkah mendekati arena perkelahian.

Untuk sejenak Ki Waskita masih menilai jalannya perkelahian yang semakin seru dan mendebarkan. Keduanya tampak semakin waringuten. Beberapa gores luka mulai menghiasi tubuh lawan Ki Wiyaga.

“Usahakan untuk menangkapnya hidup hidup Ki Wiyaga!” seru Ki Waskita kemudian, “Kita memerlukan keterangannya karena kedua kawannya telah menemui ajal!”

“Omong kosong!” bentak lawan Ki Wiyaga itu dengan suara menggelegar, “Kalian tidak akan mungkin mengalahkan guru. Dengan ilmunya kalian akan dibakar menjadi abu!”

“Engkau benar Ki Sanak!” teriak Ki Waskita mengatasi deru perkelahian kedua orang itu, “Aku hampir saja lumat menjadi abu. Namun ternyata ilmu gurumu itu masih belum matang sehingga akhirnya gurumu lah yang tidak mampu bertahan!”

“Omong kosong!” kembali lawan Ki Wiyaga itu berteriak menggelegar untuk mengatasi kegalauan hatinya, “Kalian mencoba mempengaruhi ketahanan jiwaku dengan cerita ngayawara yang tak berdasar itu!”

“Sadarilah ucapanmu Ki Sanak!” kembali Ki Waskita berteriak dari pinggir arena, “Bukankah engkau melihat sendiri akulah yang menjadi lawan gurumu itu beberapa saat tadi? Dan sekarang aku telah berdiri di sini! Engkau seharusnya menyadari apa yang telah terjadi dengan gurumu itu!”

(22)

“Persetan!” teriak lawan Ki Wiyaga sambil menghentakkan kemampuannya. Namun di sudut hatinya mulai bertanya tanya tentang keadaan gurunya.

“Benarkah guru telah dikalahkan oleh orang tua bangka itu?” pertanyaan itu berputar putar dalam benaknya seiring dengan debar jantungnya yang semakin kencang.

Dalam pada itu Ki Jayaraga telah melangkah mendekati kedua pengawal itu. Tampak pengawal yang terbaring itu terlihat mulai menggeliat.

“Apa yang terjadi?” bertanya pengawal yang mulai tersadar itu kemudian sambil bangkit dan kemudian duduk berselonjoran. Kedua matanya tampak menyimpan seribu pertanyaan sambil memandang ke arah kawannya dan Ki Jayaraga yang baru datang. “Engkau telah jatuh pingsan,” jawab kawannya kemudian sambil mengangguk dan tersenyum ke arah Ki Jayaraga yang baru datang, “Engkau terjatuh pada saat mendapat serangan tiba tiba dari orang tak dikenal itu.”

Selesai berkata demikian kawannya segera menunjuk ke arah orang yang sedang bertempur dengan dahsyatnya melawan Ki Wiyaga. “Gila!” geram pengawal itu kemudian sambil berusaha bertelekan pada kedua tangannya untuk berdiri. Namun kawannya segera mencegah.

“Ada apa?” bertanya kawannya kemudian sambil memandang pengawal itu dengan penuh tanda tanya.

“Aku akan membalas perbuatan liciknya! Menyerang tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu!”

“Ah!” kawannya tersenyum masam. Katanya kemudian, “Bagi orang yang ingin berbuat jahat, tidak perlu baginya untuk memberi

(23)

peringatan atau pun tidak. Mereka dapat saja menusuk kita dari belakang, bahkan di saat kita sedang tertidur lelap sekalipun.”

Pengawal itu masih akan membantah, namun Ki Jayaraga yang ikut berjongkok di sebelahnya segera menengahi. Katanya kemudian, “Sudahlah! Apa yang dikatakan kawanmu itu benar adanya. Biarkan Ki Wiyaga menangkapnya hidup hidup. Kita perlu keterangan dari orang itu. Kedua kawannya telah terbunuh sehingga kita memerlukannya untuk mendapat keterangan lebih lanjut.”

Pengawal itu agaknya dapat memahami penjelasan Ki Jayaraga. Sambil mengangguk angukkan kepala, dia pun kemudian berdesis, “Terima kasih Ki. Peristiwa ini akan menjadikan aku lebih berhati hati di kemudian hari.”

Serentak Ki Jayaraga dan pengawal satunya itu pun terangguk angguk.

“Nah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit berdiri, “Kalian berdua pergilah ke halaman depan. Aku tadi melihat dua orang kawan kalian tergeletak di depan gardu. Mungkin mereka memerlukan pertolongan.”

Bagaikan di sengat seekor kalajengking, kedua pengawal itu terlonjak kaget. Dengan tergesa gesa keduanya pun segera bangkit berdiri dan tanpa bertanya lebih jauh, keduanya segera berlari lewat longkangan menuju ke halaman depan.

Sepeninggal kedua pengawal itu, Ki Jayaraga segera mendekati arena pertempuran yang semakin seru. Namun sebagaimana Ki Waskita, Ki Jayaraga pun sudah dapat menebak akhir dari perkelahian itu.

“Bagaimana Ki?” bisik Ki Jayaraga kemudian begitu dia berdiri di samping Ki Waskita.

(24)

“Awasi perkelahian ini, Ki,” jawab Ki Waskita tanpa berpaling, “Usahakan untuk menangkap orang itu hidup hidup. Aku tadi sudah berpesan kepada Ki Wiyaga. Namun jika Ki Wiyaga kesulitan, Ki Jayaraga dapat turun tangan ikut membantu. Sementara aku akan mencari sisik melik hilangnya Glagah Putih dari halaman belakang. Barangkali aku bisa menyingkap tabir yang menyelimuti banjar ini.” Tanpa menunggu jawaban Ki Jayaraga, Ki Waskita segera bergeser menjauh dengan cepat ke arah perigi.

Untuk beberapa saat Ki Waskita masih mencoba mendengarkan suara suara di sekelilingnya dengan aji sapta pangrungu, meneliti satu persatu ke tempat tempat yang gelap dengan aji sapta pandulu, dan mencoba meraba sekelilingnya dengan aji sapta panggraita. Namun kesemuanya tidak memberikan hasil sama sekali.

“Aku akan memantau kembali dengan mata batinku,” berkata Ki Waskita kemudian dalam hati sambil mulai menyilangkan kedua tangannya di dada dan menundukkan kepalanya dalam dalam serta memejamkan kedua matanya.

Sejenak kemudian, dengan mata batinnya ayah Rudita itu mulai menelisik setiap jengkal tanah yang ada di sekeliling banjar padukuhan induk itu.

Dalam pada itu perkelahian antara Ki Wiyaga dan lawannya sudah mulai mendekati babak akhir.

“Menyerahlah!” berkata Ki Wiyaga sambil terus mendesak lawannya, “Kami para pengawal perdikan Matesih adalah orang orang yang memegang teguh paugeran. Walaupun kalian memasuki banjar ini seperti laku para pencuri, namun kami akan bertindak seadil adilnya.”

“Omong kosong!” teriak lawannya sambil terus berusaha menghindari serangan Ki Wiyaga yang membadai, “Kalian sama

(25)

saja dengan segerombolan serigala yang akan mencabik cabik mangsa kalian tanpa belas kasihan. Kalian akan menikmati kesenangan dengan menyiksa lawan yang sudah tidak berdaya!” “Tentu saja tidak, Ki Sanak!” sahut Ki Wiyaga dengan serta merta sambil memutar pedangnya dan kemudian menebas ke arah leher lawan, “Perdikan Matesih adalah sebuah perdikan yang dipimpin oleh seorang yang luhur dan bijaksana. Ki Gede Matesih tidak akan membiarkan kesewenang wenangan terjadi di perdikan Matesih, walaupun itu terhadap orang orang yang telah membuat keonaran dan kegaduhan!”

“Tutup mulutmu!” bentak lawan Ki Wiyaga sambil merendahkan tubuhnya. Tiba tiba saja dia memindahkan senjatanya ke tangan kiri. Sementara dengan sangat cepatnya hampir tidak dapat diikuti oleh pandangan mata wadag, di tangan kanannya telah tergenggam tiga buah paser kecil.

“Awas paser beracun!” teriak Ki Jayaraga dengan serta merta memperingatkan Ki Wiyaga. Dengan sekali pandang saja, Ki Jayaraga segera maklum paser paser itu sangat beracun dilihat dari warnanya yang hitam kelam.

Ki Wiyaga yang terkejut mendengar teriakan Ki Jayaraga segera menyadari bahaya yang mengancam jiwanya.

Namun jarak keduanya terlalu dekat sehingga kesempatan Ki Wiyaga untuk meloncat menghindar hampir tidak ada. Namun kepala pengawal perdikan Matesih itu dapat berpikir cepat. Dalam keadaan yang mendebarkan itu Ki Wiyaga segera mengambil keputusan untuk menjatuhkan diri bersamaan dengan meluncurnya tiga buah paser menyambar dadanya.

Terdengar umpatan yang sangat kotor keluar dari mulut lawan Ki Wiyaga itu begitu menyadari lawan dapat menghindari sambaran paser pasernya. Dengan gerakan yang sulit diikuti oleh mata wadag,

(26)

tiba tiba di tangan kanannya sudah tergenggam tiga buah paser beracun lagi dan siap untuk meluncur menerkam Ki Wiyaga yang masih berguling di tanah.

Namun kepala pengawal perdikan Matesih itu ternyata telah menggunakan kesempatan sekejap selagi dia berguling di tanah. Dengan satu gerakan dia justru telah berguling mendekat dan kemudian mengayunkan pedangnya menebas pergelangan tangan lawannya yang terangkat.

Tidak ada kesempatan bagi orang itu untuk menghindari tebasan Ki Wiyaga. Justru di saat dia telah siap untuk mengayunkan tangannya melempar paser paser itu ke arah Ki Wiyaga, senjata lawan telah menyambarnya.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah jeritan kesakitan yang luar biasa. Pergelangan tangan lawannya itu rasa rasanya telah terlepas persendiannya bersamaan dengan terlemparnya ketiga paser yang berada dalam genggamannya. Dengan gerak naluriah, orang itu pun telah melepas senjata di tangan kirinya dan kemudian mendekap erat pergelangan tangan kanannya yang rasa rasanya mau putus. Ternyata dalam keadaan yang menegangkan itu Ki Wiyaga masih dapat berpikir wajar. Dia tidak menggunakan sisi pedangnya yang tajam akan tetapi dia telah menggunakan sisi pedangnya yang tumpul untuk memukul pergelangan tangan kanan lawan.

Namun kembali mereka dibuat terkejut bukan alang kepalang. Di saat yang menentukan itu, orang yang telah jatuh terduduk itu ternyata masih sempat merogoh ke dalam bajunya dengan tangan kirinya.

“Awas paser!” teriak Ki Jayaraga memperingatkan. Dengan gerak naluriah Ki Wiyaga yang sudah bangkit berdiri itu telah mengangkat senjatanya tinggi tinggi untuk menghabisi lawan.

(27)

“Jangan dibunuh, kita perlu keterangannya!” teriak Ki Jayaraga kembali sambil meloncat maju sejauh jauhnya berusaha untuk menyentuh kepala bagian belakang orang itu. Ternyata Ki Jayaraga berusaha menyentuh tengkuk orang itu untuk melumpuhkannya. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan. Lawan Ki Wiyaga itu tidak melontarkan paser paser yang sudah tergenggam di tangan kirinya ke arah lawan. Orang itu justru telah menancapkan paser paser itu di dadanya sendiri.

Untuk sejenak kedua orang itu justru telah tertegun diam. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa orang itu akan berbuat nekat untuk mengahabisi nyawanya sendiri.

Terdengar orang itu menggeram keras. Tubuhnya pun kemudian terguling dan rebah di tanah. Racun yang sangat ganas dengan sangat cepat telah menyusuri aliran darahnya dan menyergap jantung.

Hampir bersamaan kedua orang itu segera meloncat mendekat. Tampak dengan pandangan nanar orang itu memandang kedua orang yang telah berjongkok di sisi tubuhnya.

Tiba tiba orang itu tersenyum sambil berdesis, “Kalian tidak akan mampu menangkap aku. Aku lebih baik mati dari pada menjadi tawanan kalian,” orang itu berhenti sejenak karean nafasnya menjadi tersengal sengal. Lanjutnya kemudian, “Tapi ingat perguruan kami akan tetap memburu Ki Rangga Agung Sedayu sampai ke ujung bumi sekalipun. Sehebat dan setinggi apapun ilmu Ki Rangga, perguruan kami telah mempersiapkan ilmu untuk menghadapinya. Sebuah ilmu gabungan dari aji alas kobar dan aji sapu angin untuk membunuhnya.”

Selesai berkata demikian tampak mulut orang itu menyeringai menahan sakit yang sangat hebat. Setelah menggeliat sambil

(28)

mengumpat dengan kata kata yang sudah tidak jelas, tubuhnya pun kemudian terbujur diam untuk selama lamanya.

Untuk beberapa saat kedua orang itu masih tampak merenungi jasad yang tergeletak di hadapan mereka.

Tiba tiba terdengar langkah langkah seseorang dari arah belakang perigi menuju ke tempat itu.

“Ki Waskita,” sapa Ki Wiyaga kemudian sambil bangkit berdiri diikuti oleh Ki Jayaraga.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Waskita kemudian sesampainya dia di tempat itu.

Kedua orang itu tampak menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Ki Jayaraga lah yang kemudian menjawab, “Kita gagal untuk menangkapnya hidup hidup. Dia lebih suka menghabisi nyawanya sendiri dari pada memberi keterangan tentang jati diri mereka.”

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Waskita kemudian, “Ada baiknya Ki Wiyaga ke halaman depan untuk melihat keadaan. Aku dan Ki Jayaraga akan mengawasi keadaan di halaman belakang ini.”

“Baik Ki,” jawab Ki Wiyaga kemudian sambil mengangguk. Setelah menyarungkan senjatanya, kepala pengawal tanah perdikan Matesih itu pun melangkah meninggalkan tempat itu melalui longkangan. Sepeninggal Ki Wiyaga, Ki Jayaraga segera berlutut kembali di sisi jasad yang terbujur diam itu. Untuk beberapa saat guru Glagah Putih itu tampak termenung. Dengan gerak naluriah disingkapkan baju orang itu untuk melihat ikat pinggangnya.

“Timang ikat pinggang ini sepertinya menggambarkan lambang sebuah perguruan,” desis Ki Jayaraga seolah ditujukan kepada dirinya semdiri.

(29)

Ki Waskita yang mendengar desis guru Glagah Putih itu segera kembali berjongkok. Diamat amatinya timang ikat pinggang itu dalam keremangan malam. Namun orang tua yang mempunyai penglihatan yang sangat tajam itu segera melihat sebuah lukisan yang dibuat di atas timang yang lebar itu.

“Timang yang sama dengan yang dipakai lawanku. Sebaiknya kita lepas saja timang ini,” berkata Ki Waskita mengusulkan, “Timang ikat pinggang ini suatu saat nanti dapat dijadikan sisik melik untuk mencari keberadaan perguruan yang sangat menaruh dendam kepada angger Sedayu.”

“Ki Waskita benar,” sahut Ki Jayaraga sambil dengan cekatan melepas timang itu dari tempatnya, “Akan kita tunjukkan timang ini kepada Ki Rangga. Tentu Ki Rangga mempunyai ingatan tentang ikat pinggang ini.”

“Juga ciri khas perguruan ketiga orang ini, terutama guru mereka,’ sahut Ki Waskita dengan serta merta, “Agaknya mereka begitu membanggakan aji alas kobar dan aji sapu angin. Walaupun orang yang bertempur di halaman depan tadi baru menguasai kulitnya saja.”

Tampak kepala Ki Jayaraga terangguk angguk sambil menyimpan timang itu di saku ikat pinggangnya.

“Ki Waskita,” bertanya Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit berdiri “Bagaimana hasil pelacakan keberadaan Glagah Putih dari halaman belakang ini?”

Tampak Ki Waskita menggelengkan kepalanya sambil ikut berdiri. Jawabnya kemudian, “Aku benar benar merasa kebingungan menelisik keberadaan Glagah Putih. Panggraitaku mengatakan Glagah Putih masih berada di sekitar banjar ini, namun pengamatan batinku tidak menemukan apa apa. Seolah olah di sekeliling banjar ini telah diselimuti oleh kabut tebal yang tidak tembus pandang.”

(30)

Kerut merut yang dalam pun tampak di wajah Ki Jayaraga. Betapa kekhawatiran tampak sangat jelas menghiasi wajahnya.

“Sebaiknya kita melihat ke halaman depan, Ki,” berkata Ki Waskita kemudian sambil mengayunkan langkahnya, “Sepertinya kita perlu membicarakan kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi sebelum menentukan langkah selanjutnya.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Diikuti saja langkah orang tua yang mempunyai penglihatan batin yang sangat tajam itu.

Dalam pada itu Ki Kamituwa dan dua orang pengawal yang berpacu menuju padukuhan Cluring telah melewati beberapa gardu penjagaan yang tersebar di sepanjang jalan.

“Carilah kuda dan sebagian dari kalian susullah kami ke padukuhan Cluring!” demikian Ki Kamituwa memberi perintah kepada para pengawal dan anak anak muda yang tampak bersiaga di setiap gardu.

Rombongan Ki Kamituwa itu pun semakin lama menjadi semakin banyak. Mereka berpacu dengan sangat kencangnya menuju ke padukuhan Cluring.

“Awas! Di depan ada tikungan menurun menuju kali Lengkung!” teriak Ki Kamituwa memberi peringatan para pengawal yang mengikutinya.

Sambil sedikit menahan laju kudanya, Ki Kamituwa pun kemudian menuruni jalan yang menikung dan kemudian menurun ke arah tepian kali Lengkung. Para pengawal yang mengikutinya pun segera berbuat serupa.

Rombongan berkuda itu pun kemudian menyeberangi kali Lengkung yang airnya sangat dangkal. Begitu kaki kaki kuda itu

(31)

menyentuh tepian sebelah utara, Ki Kamituwa dan para mengawal segera melecut kembali kuda masing masing.

Dari tepian kali Lengkung mereka sudah dapat melihat api yang membumbung tinggi menerangi langit malam.

“Rumah siapakah yang terbakar?” bertanya salah seorang pengawal muda yang berkuda di sebelah Ki Kamituwa.

Ki Kamituwa yang berasal dari padukuhan Cluring itu sejenak mengerutkan keningnya. Sambil tetap melaju di atas punggung kudanya dia menjawab, “Kalau melihat arahnya, sepertinya rumah Ki Badrun juragan kelapa.”

Pengawal muda itu menahan nafasnya sejenak. Katanya kemudian, “Aneh jika rumah Ki Badrun sampai terbakar.”

Ki Kamituwa mengerutkan keningnya mendengar ucapan pengawal muda yang berkuda di sebelahnya. Tanyanya kemudian, “Apanya yang aneh? Semuanya bisa saja terjadi jika kita lengah dan sembrono.”

Pengawal muda itu kembali menarik nafas dalam. Jawabnya kemudian, “Aku mengenal Ki Badrun sebagai orang yang sangat teliti dan rajin. Tidak mungkin dia meletakkan dlupak sembarangan atau lupa mematikan dlupak sebelum berangkat tidur.”

Kembali Ki Kamituwa mengerutkan keningnya sambil berpaling sekilas. Ki Kamituwa kembali bertanya, “Dari mana engkau mengetahui semua itu?”

“Aku sering mampir ke rumahnya jika lewat di padukuhan Cluring.” Kerut merut di kening Ki Kamituwa pun semakin dalam. Namun tiba tiba bibir Ki Kamituwa pun menyunggingkan senyum. Katanya kemudian, “Seingatku, sebelum aku meninggalkan padukuhan Cluring dan pindah ke padukuhan induk, Ningsih anak perempuan

(32)

Ki Badrun itu masih kanak kanak. Mungkin dia sekarang sudah tumbuh menjadi seorang gadis cantik, bahkan sudah waktunya untuk kawin barangkali.”

Pengawal muda yang berkuda di sebelah Ki Kamituwa itu hanya tertunduk. Namun ingatannya tentang Ningsih dan keselamatannya telah membuat semangat memacu kudanya semakin menggelora. Demikianlah ketika rombongan itu melewati regol padukuhan Cluring, regol itu telah kosong, agaknya para pengawal yang sedang bertugas jaga dan para anak anak muda telah berbondong bondong mendatangi tempat kebakaran.

Sepanjang jalan padukuhan, mereka menjumpai para penghuni padukuhan yang berbondong bondong mendatangi rumah yang terbakar.

Ternyata dugaan Ki Kamituwa bernar. Rumah yang sedang terbakar dengan dahsyatnya itu adalah tumah Ki Badrun juragan kelapa. Kedatangan rombongan Ki Kamituwa itu telah menarik perhatian. Ki Dukuh Cluring diiringi beberapa pengawal segera menyambut kedatangan Ki Kamituwa dan rombongan.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya Ki Kamituwa kemudian begitu dia turun dari kudanya. Sementara para pengawal yang datang bersamanya segera berloncatan turun dari kuda dan menambatkan kuda kuda mereka terlebih dahulu di bantang bantang pohon dan perdu yang banyak terdapat di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu mereka pun kemudian berlari larian membantu orang orang padukuhan memadamkan api.

Ki Dukuh segera mendekat dan menyalami Ki Kamituwa terlebih dahulu. Jawabnya kemudian, “Rumah Ki Badrun telah dibakar orang. Beberapa peronda sempat memergoki seorang anak muda

(33)

yang berlari menjauh dan menyusup di antara semak belukar untuk menghilangkan jejak.”

“He?!” seru Ki Kamituwa dengan jantung berdebaran. Tanyanya kemudian, “Di mana anak muda itu sekarang?”

Untuk sejenak Ki Dukuh tampak menarik nafas dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah rumah di seberang jalan, “Anak muda itu tidak dapat menyelamatkan diri dari amukan para peronda dibantu para penghuni yang terbangun dan mendengar teriakan para peronda. Jasadnya sementara kami taruh di pendapa rumah itu.”

Ki Kamituwa segera mengikuti arah yang ditunjuk Ki Dukuh. Di rumah seberang jalan tampak sesosok mayat yang ditutup dengan kain panjang terbujur diam. Beberapa orang tampak sedang menjaganya.

“Apakah ada kemungkinan dia tidak bekerja sendirian?” bertanya Ki Kamituwa selanjutnya sambil mengalihkan pandangan matanya ke rumah Ki Badrun yang terbakar. Perlahan tapi pasti api mulai terlihat dapat dikendalikan.

“Untuk itulah beberapa pengawal telah menjaga jasad anak muda itu,” jawab Ki Dukuh, “Kami juga khawatir jika dia tidak sendirian. Namun sejauh ini tidak ada tanda tanda bahwa dia membawa kawan.”

Untuk sejenak Ki Kamituwa tampak merenung. Katanya kemudian seakan akan ditujukan kepada dirinya sendiri, “Aneh. Apa tujuan anak muda itu membakar rumah Ki Badrun?”

Ki Dukuh yang mendengar ucapan Ki Kamituwa itu segera menimpali, “Mungkin anak muda itu hanyalah seorang suruhan, Ki Kamituwa. Aku hanya menduga ini adalah dendam pribadi yang berhubungan dengan usaha Ki Badrun yang semakin besar. Ada

(34)

pihak pihak yang merasa tersaingi dan terancam usahanya akan bangkrut sehingga telah mengambil jalan pintas memusnahkan usaha Ki Badrun.”

“Belum tentu,” sahut Ki Kamituwa cepat, “Itu hanya sebatas dugaan. Mungkin permasalahannya tidak semudah itu. Mungkin ada masalah yang lebih besar dan rumit di balik peristiwa ini,” Ki Kamituwa berhenti sebentar. Tanyanya kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Apakah ada di antara kalian yang mengenal pemuda itu? Setidaknya asal pemuda itu dari padukuhan mana?”

Tampak orang orang yang berkerumun di sekitar Ki Kamituwa saling pandang sejanak. Sejenak kemudian hampir bersamaan mereka telah menggelengkan kepala.

“Sudahlah,” berkata Ki Kamituwa pada akhirnya sambil melangkah, “Marilah kita mendekat. Kita lihat keadaan keluarga Ki Badrun.” “Mereka semua selamat, Ki,” Ki Dukuh yang menjawab sambil mengikuti langkah Ki Kamituwa, “Namun harta bendanya aku tidak tahu. Apakah masih ada yang dapat diselamatkan ataukah tinggal baju yang melekat di badan.”

Tampak kepala Ki Kamituwa terangguk angguk. Tak terasa mereka telah mendekati rumah yang terbakar itu. Ternyata hanya gandhok kanan saja dan sebagian rumah induk yang terbakar. Untunglah para peronda sempat memergoki perbuatan tak bertanggung jawab itu.

Ketika Ki Kamituwa kemudian mendekati seorang parobaya dengan baju yang basah kuyup, dengan wajah yang penuh kesedihan orang itu segera menyambut uluran tangan Ki Kamituwa.

“Aku ikut prihatin dengan apa yang telah menimpa Ki Badrun sekeluarga,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil menjabat erat

(35)

tanang Ki Badrun dan kemudian memeluknya, “Bersabarlah Ki. Pasti ada hikmah dibalik semua ini.”

“Terima kasih Ki Kamituwa,” jawab Ki Badrun dengan suara serak nyaris tak terdengar.

“Di mana keluarga Ki Badrun?” bertanya Ki Kamituwa kemudian sambil melepas pelukannya.

Tanpa menjawab sepatah katapun, Ki Badrun hanya menunjukkan jempol tangan kanannya ke arah rumah yang terletak beberapa tombak di samping rumahnya.

“Bukankah mereka semua selamat?” bertanya Ki Kamituwa selanjutnya.

Ki Badrun pun menjawab dengan sebuah anggukkan kepala.

Demikianlah ternyata berkat ketangkasan dan kesigapan para penghuni di sekitar rumah Ki Badrun dibantu para pengawal yang berdatangan, rumah Ki Badrun dapat diselamatkan walaupun tidak semuanya. Ki Badrun harus merelakan gandhok kanannya dimakan api. Sedangkan rumah induk hanya sebagian dindingnya saja yang sedikit terbakar,

“Bersyukurlah, Ki,” berkata Ki Kamituwa yang didampingi oleh Ki Dukuh melihat lihat keadaan rumah induk, “Jika Ki Badrun memerlukan bantuan untuk membetulkan rumah induk, tentu para tetangga dengan suka rela akan membantu,” Ki Kamituwa berhenti sebentar. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Dukuh Cluring, dia melanjutkan, “Bukankah begitu Ki Dukuh?”

“Benar Ki Kamituwa,” jawab Ki Dukuh dengan serta merta, “Kami seluruh penghuni padukuhan Cluring sudah terbiasa dengan kerja gotong royong untuk membantu sesama.”

(36)

“Bagus!” sahut Ki Kamituwa dengan serta merta, “Suatu adat istiadat yang perlu dilestarikan. Sementara di padukuhan induk yang mulai banyak dihuni oleh orang orang kaya pindahan dari kotaraja, atau para penghuni lama yang kehidupannya mulai membaik dan menjadi kaya, adat istiadat bergotong royong itu mulai agak memudar.”

Ki Dukuh dan yang lainnya tampak terangguk angguk. Seseorang yang sudah memutih semua rambutnya menyela, “Memang jika seseorang itu sudah mulai disibukkan dengan urusan dunia, rasa kebersamaan dengan sesama menjadi sedikit memudar. Segala sesuatunya dinilai dengan uang. Mereka bahkan rela mengeluarkan uang dari pada harus menghadiri kerja bakti membersihkan jalan dan parit parit, misalnya. Waktu mereka hanya disibukkan untuk mencari uang. Bahkan tidak jarang keluarganya pun menjadi tidak terurus, bukan karena kekurangan harta. Namun mereka menjadi miskin akan pengetahuan bebrayan agung dan kawruh sejatining

ngaurip.”

Tampak orang orang yang mendengarnya telah mengangguk anggukkan kepala. Gambaran sekilas itu telah membuat mereka prihatin. Semakin lama rasa kebersamaan di antara para kawula penghuni padukuhan padukuhan akan semakin merenggang sejalan dengan berkembangnya jaman.

“Baiklah,” berkata Ki Kamituwa kemudian, “Aku dan para pengawal mohon pamit untuk kembali ke padukuhan induk. Aku minta Ki Dukuh untuk memimpin penyelenggaraan jenasah orang tak dikenal yang telah membuat onar itu. Selebihnya para pengawal padukuhan Cluring supaya memperketat penjagaan untuk mencegah segala kemungkinan yang dapat terjadi.”

“Baik Ki Kamituwa,” jawab Ki Dukuh sambil menganggukkan kepalanya.

(37)

Ki Kamituwa segera mengikuti arah yang ditunjuk Ki Dukuh. Di rumah seberang jalan tampak sesosok mayat………

(38)

Sedangkan Ki Badrun yang berdiri di sebelah Ki Dukuh segera maju selangkah dan berkata, “Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas perhatian Ki Kamituwa dan para pengawal dari padukuhan induk.”

“Sama sama, Ki Badrun,” jawab Ki Kamituwa dengan serta merta, “Semua itu adalah kewajiban kami selaku bebahu perdikan Matesih mewakili Ki Gede yang sedang tidak berada di tempat.”

Demikianlah Ki Kamituwa dan dua orang pengawal itu segera meminta diri. Salah seorang pengawal yang terlihat masih muda segera mendekati Ki Badrun sambil berbisik, “Apakah Ningsih baik baik saja, Ki?”

Sejenak Ki Badrun tertegun sambil memandang tajam wajah pengawal muda itu. Namun Ki Badrun pun akhirnya tersenyum lebar sambil mengangguk angguk. Jawabnya kemudian, “Ningsih baik baik saja. Dia ada di rumah sebelah bersama ibu dan adiknya. Apakah engkau tidak ingin menengoknya?”

Ternyata orang orang yang mendengar percakapan sekilas itu tidak dapat menahan ketawa sehingga telah membuat wajah pengawal muda itu tersipu malu dan tidak tahu harus menjawab apa.

Namun ternyata dia segera dapat menguasai jantungnya yang melonjak lonjak. Jawabnya kemudian, “Terima kasih Ki Badrun. Aku sedang bertugas. Sampaikan saja salamku kepada Ningsih. Besok pagi selepas tugas aku akan langsung kemari.”

“Janji, ya?” tiba tiba seseorang menyeluthuk yang membuat mereka tertawa kembali.

“O, ternyata Ki Badrun akan segera mendapat menantu,” kembali seseorang menyela di antara tawa mereka sehingga membuat tawa itu kembali meledak.

(39)

“Sudahlah,” berkata Ki Kamituwa kemudian menengahi, “Kami harus kembali, dan jangan lupa, Ki Dukuh dan para penghuni

padukuhan Cluring ini masih mempunyai kewajiban

menyelenggarakan pemakaman.”

Tampak kepala orang orang itu terangguk angguk diiringi helaan nafas yang dalam.

Namun sebelum Ki Kamituwa dan kedua pengawal itu menerima kendali kuda masing masing dari pengawal padukuhan Cluring, lamat lamat pendengaran mereka telah tersentuh oleh derap kaki kaki kuda yang menuju ke tempat itu.

Menilik dari suara derapnya, agaknya kuda kuda itu tidak dipacu dengan tergesa gesa, bahkan sama sekali tidak ada kesan terburu buru. Seakan akan mereka adalah serombongan orang berkuda yang sedang bertamasya.

Ki Kamituwa akhirnya memutuskan untuk menunggu kedatangan rombongan orang orang berkuda itu. Sejenak kemudian dalam kegelapan malam, muncul beberapa orang berkuda langsung menuju ke tempat orang orang yang sedang berkerumun itu.

“Ki Demang Tawangalun!” beberapa orang yang sudah mengenali penunggang kuda dipaling depan itu telah berseru. Seorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis melintang dan wajah yang sedikit seram.

Kerumunan itu pun segera menyibak dan Ki Dukuh Cluring segera maju beberapa langkah untuk menyambut mereka.

“Selamat malam dan selamat datang Ki Demang,” berkata Ki Dukuh kemudian sambil menganggukkan kepalanya dalam dalam. Lanjutnya kemudian, “Terima kasih atas perhatian yang telah diberikan kepada padukuhan Cluring atas kejadian musibah ini.”

(40)

Ki Demang Tawangalun yang tidak turun dari kudanya itu hanya mengangguk angguk. Sementara beberapa pengawal yang mengiringinya pun juga tidak turun dari kuda kuda mereka.

Dengan wajah tengadah sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling dia justru bertanya, “Ki Dukuh, bagaimana mungkin kejadian kebakaran ini bisa menimpa padukuhanmu? Bukankah engkau sudah mengadakan penyuluhan serta mengarahan kepada para kawulamu untuk berhati hati dengan api? Khususnya di malam hari di saat kita terlena tidur?”

Tampak Ki Dukuh menelan ludah sejenak sebelum menjawab. Jawabnya kemudian, “Maaf Ki Demang. Kebakaran ini terjadi bukan karena kelalaian, namun karena perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab yang telah dengan sengaja membakar rumah Ki Badrun.”

Tampak wajah Ki Demang menegang sejenak. Katanya kemudian dengan suara yang lantang, “Jika demikian itu yang terjadi, para pengawal padukuah Cluring lah yang kurang tanggap. Apa saja kerja mereka? Tidur tiduran saja di gardu perondan sambil main macanan atau menghabiskan wedang sereh dan ketela rebus! Seharusnya para pengawal itu selalu meronda ke sekeliling padukuhan. Ini semua adalah tanggung jawabmu, Ki Dukuh! Engkau tidak pantas menjadi pemimpin sebuah padukuhan. Seharusnya jauh jauh hari aku sudah mengusulkan kepada Ki Gede Matesih untuk mencari penggantimu yang pantas untuk memimpin padukuhan Cluring ini!”

Kata kata Ki Demang itu bagaikan halilintar yang meledak sejengkal di atas kepala Ki Dukuh. Sementara Ki Kamituwa perdikan Matesih yang berdiri di tempat agak terlindung dan gelap ternyata sama sekali tidak diketahui oleh Ki Demang Tawangalun.

(41)

Ki Dukuh yang merasa dihakimi oleh atasannya itu hanya dapat menundukkan kepalanya dalam dalam. Sejak pengangkatan demang Tawangalun yang baru menggantikan ayahnya demang lama yang telah meninggal dunia, Ki Demang yang masih cukup muda itu memang sering berselisih dengan Ki Dukuh Cluring yang sudah sepuh.

“Maaf Ki Demang,” tiba tiba seorang yang rambutnya sudah ubanan menyela sambil mendesak maju, “Para pengawal telah berhasil menangkap orang yang telah berbuat onar di padukuhan kami. Namun sayang orang itu telah menemui ajalnya.”

“He?!” seru Ki Demang terkejut sambil sedikit membungkuk ke arah orang tua itu agar lebih jelas melihat raut wajahnya, “Pembuat onar itu sudah mati? Di mana mayatnya sekarang?”

Hampir serempak orang orang yang berkerumun itu telah menunjuk ke arah seberang jalan. Ke sebuah rumah yang pendapanya terang benderang dengan sesosok mayat yang terbujur kaku ditutupi dengan secarik kain panjang.

“Gila!” geram Ki Demang kemudian sambil berpaling kembali ke arah Ki Dukuh yang masih menundukkan wajahnya dalam dalam, “Apa yang telah engkau ajarkan kepada para pengawalmu, Ki Dukuh? Engkau ajari mereka menjadi pembunuh berdarah dingin? Begitu? Beramai rami mengeroyok dan membunuh orang yang sangat penting bagi kita untuk didengar keterangannya! Sekarang apa yang akan engkau lakukan Ki Dukuh? Apa? Menanyai mayat yang sudah kaku itu? Atau apa, he?!”

Ki Demang Tawangalun benar benar sudah waringuten. Dia tampak sudah mengangkat cemeti yang ada di tangan kanannya. Beberapa orang telah menahan nafas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa demang yang masih muda itu suka menjatuhkan hukuman kepada

(42)

bebahunya atau para pengawal yang dianggap lalai melakukan tugas dengan sentuhan ujung cemetinya.

Ki Dukuh yang sudah sepuh itu tampak menggigil. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam dadanya. Namun pemimpin padukuhan Cluring itu tampak hanya pasrah menerima hukuman dari atasannya.

Tiba tiba dalam keadaan yang genting itu terdengar suara seseorang yang sareh menyela, “Sebentar Ki Demang. Turunlah dari kudamu dan marilah kita bicarakan baik baik segala permasalahan yang menyangkut padukuhan Cluring ini.”

Suara itu terdengar pelan saja namun terasa menghujam di setiap dada. Apalagi meminta Ki Demang untuk turun dari kuda, benar benar hanya orang yang sudah nekat mencari perkara yang berani berkata begitu.

Dengan gigi gemeretak dan mata membara Ki Demang segera mencari arah sumber suara itu. Namun ketika terpandang seraut wajah tua, setua Ki Dukuh yang muncul dari bayang bayang kegelapan pohon di halaman rumah Ki Badrun, tubuh Ki Demang rasanya bagaikan disengat seribu ekor kalajengking. Jantung Ki Demang pun seakan telah berhenti berdetak.

Memang Ki Kamituwa perdikan Matesih bukanlah atasan langsung Ki Demang Tawangalun. Para demang yang ada di perdikan Matesih itu tunduk dan patuh atas perintah langsung dari Ki Gede Matesih. Namun kedudukan Ki Kamituwa perdikan adalah sejajar dengan demang sebagai pembantu langsung Ki Gede. Keputusan Ki Gede akan banyak dipengaruhi oleh para bebahunya yang salah satunya adalah Ki Kamituwa.

Namun sebagai seorang pemimpin sebuah kademangan, Ki Demang Tawangalun tidak mau kehilangan muka di hadapan kawulanya. Maka katanya kemudian sambil meloncat turun dari kudanya,

(43)

“Kalian semua silahkan bubar! Aku tidak memerlukan keterangan kalian lagi. Aku akan berbicara dengan Ki Kamituwa perdikan.” Tidak perlu menunggu perintah itu diulangi, Ki Dukuh dan orang orang itu pun segera membubarkan diri. Sementara Ki Demang dengan langkah satu satu segera mendekati Ki Kamituwa. Katanya kemudian, “Selamat datang di padukuhan Cluring Ki Kamituwa. Padukuhan Cluring adalah daerah bawahan kademangan Tawangalun sehingga segala purba wasesa padukuhan ini di bawah tanganku.”

“Terima kasih Ki Demang,” jawab Ki Kamituwa sambil mengangguk. Karena Ki Demang tidak mengulurkan tangannya, Ki Kamituwa pun menahan hati untuk tidak mengulurkan tangan terlebih dahulu.

“Aku tahu batasan batasan kekuasaan seorang demang,” berkata Ki Kamituwa selanjutnya, “Namun aku juga seorang bebahu perdikan yang berhak dan mempunyai tugas untuk memberi saran dan masukan kepada Ki Gede, pemimpin tertinggi di perdikan ini.” Ki Demang tampak mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian dengan suara berat dan dalam, “Engkau mengancamku Ki Kamituwa?”

“O, tidak. Sama sekali tidak!” sahut Ki Kamituwa dengan serta merta, “Hanya memberitahu tentang tugas dan kewajibanku selaku kamituwa perdikan,” Ki Kamituwa berhenti sejenak. Lanjutnya, “Kedudukan kita memang sama, tidak dapat saling memerintah atau pun diperintah. Tapi kita semua tunduk kepada perintah Ki Gede. Sementara saran dan usulanku tentu akan sangat di dengar oleh Ki Gede sehubungan dengan kejadian yang baru saja aku saksikan dengan mata kepalaku sendiri.”

Mendengar uraian panjang lebar Ki Kamituwa itu tubuh Ki Demang seolah olah membeku. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat.

(44)

Tampak betapa Ki Demang yang masih muda itu sedang menahan gejolak di dalam dadanya.

“Baiklah Ki Kamituwa,” geram Ki Demang kemudian sambil melangkah ke arah kudanya, “Engkau dapat berkata apa saja kepada Ki Gede. Namun aku adalah demang Tawangalun yang syah. Kedudukan ini aku terima dari ayahku yang juga seorang demang.” Namun sebelum Ki Demang meloncat ke punggung kudanya, jawaban Ki Kamituwa telah membuat perutnya mulas dan jantungnya berhenti berdetak.

Jawab Ki Kamituwa kemudian, “Semua orang tahu bahwa jabatan demang itu engkau peroleh dari ayahmu. Namun ingat, jika para kawula Kademangan Tawangalun sudah mulai muak dengan tingkah lakumu dan mereka berbondong bondong menghadap Ki Gede untuk memohon keadilan, jabatan demang itu tentu saja akan dapat diserahkan kepada orang yang dianggap lebih mampu.”

Namun sifat tinggi hati Ki Demang ternyata telah mengalahkan kesadarannya. Sambil meloncat ke atas punggung kudanya dia berkata, “Akan kita lihat, siapa yang akan tetap bertahan dan siapa yang akan dihinakan. Demang Tawangalun mempunyai seribu cara untuk menghabisi lawan lawannya.”

Selesai berkata demikian dia segera menggebrak kudanya dan meninggalkan tempat itu. Sementara para pengiringnya dengan tergesa gesa segera berloncatan ke atas punggung kuda masing masing dan kemudian berderap menyusul tuannya.

Sepeninggal Ki Demang, tampak wajah Ki Kamituwa menjadi muram dan keningnya pun berkerut merut. Ketika Ki Dukuh kemudian mendekatinya, Ki Kamituwa pun kemudian berdesis, “Sudahlah Ki Dukuh. Aku akan melaporkan tingkah laku demang Tawangalun yang baru itu. Ki Gede sudah mendengar walaupun belum berupa laporan resmi tentang tingkah laku demang

(45)

Tawangalun itu. Aku akan menjadi saksi atas permasalahanmu dan semoga Ki Gede bijaksana dalam menyelesaikan masalah ini.”

“Terima kasih Ki Kamituwa,” sahut Ki Dukuh dengan serta merta, “Sebenarnya lah aku sudah merasa tua dan padukuhan ini ingin aku serahkan kepada anakku yang tertua. Namun aku masih belum melihat sebuah sifat yang bertanggung jawab di dalam diri anakku. Aku takut jika pada akhirnya dia juga akan mengikuti langkah Demang Tawangalun dalam memimpin kawula padukuhan Cluring ini.”

“Apakah anakmu yang tertua itu sudah menikah?” bertanya Ki Kamituwa tiba tiba mengejutkan Ki Dukuh.

Sejenak tampak betapa wajah tua itu terlihat sangat berduka. Dengan terbata bata dia pun menjawab sambil menganggukkan kepala, “Sudah Ki Kamituwa. Namun sebagaimana aku katakan tadi. Aku belum melihat ada rasa tanggung jawab pada dirinya walaupun hanya terhadap istrinya. Kegemarannya untuk berkumpul dan pergi pergi dengan kawan kawan lamanya semasa masih membujang belum dapat ditinggalkan padahal dia sudah mempunyai seorang istri. Aku benar benar masih meragukannya.” Tampak wajah Ki Kamituwa pun terlihat bersedih. Anak anak muda sekarang berbeda dengan anak anak muda semasa Ki Kamituwa dan Ki Dukuh masih muda. Selain membantu orang tua bekerja di sawah dan pategalan, mereka juga rajin membantu para pengawal menjaga padukuhan mereka.

“Sudahlah Ki Dukuh,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil melangkah mendekati seorang pengawal yang datang sambil menuntun kudanya, “Aku pamit dulu. Berdoalah kepada sandaran hidup kita, kepada Yang Maha Agung di sepertiga malam yang akhir. Mintalah dengan sepenuh hati, karena yang mampu

(46)

membolak balikkan hati manusia hanyalah Yang Maha Agung. Kita sebagai manusia hanya berusaha sebatas kemampuan kita.”

Ki Dukuh tidak menjawab. Hanya tampak kepalanya saja yang terangguk angguk. Sejenak kemudian setelah sekali lagi minta diri, Ki Kamituwa dan kedua pengawal itu pun telah berderap di atas punggung kuda masing masing kembali ke padukuhan induk Matesih.

Dalam pada itu Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang sedang memasuki dapur untuk menuju ke halaman depan telah mendengar langkah langkah tergesa gesa dari arah ruang tengah. Sejenak kemudian seraut wajah yang sudah sangat mereka kenal muncul dari pintu yang terbuka, Ki Wiyaga.

Ki Wiyaga yang tidak menyangka ada sesosok mayat yang tergeletak di atas lantai dapur menjadi terkejut. Dengan cepat dia segera melangkah memasuki dapur.

“Apa yang telah terjadi, Ki?” bertanya Ki Wiyaga sambil sedikit ragu mendekati mayat yang terbujur diam itu.

Ki Waskita segera memberi penjelasan, “Mereka datang bertiga dan agaknya orang inilah yang ditugaskan untuk mencari Glagah Putih.” “Glagah Putih?” seru Ki Wiyaga kemudian dengan pandangan yang penuh tanda tanya. Lanjutnya, “Di mana Glagah Putih? Bagaimana keadaannya Ki?”

Tampak kedua orang tua itu saling pandang sejenak. Ki Waskitalah yang kemudian menjawab, “Kami juga sedang mencarinya, Ki Wiyaga. Tapi aku yakin, mungkin Glagah Putih sengaja meninggalkan dapur dan bersembunyi di tempat lain.”

Ki Jayaraga pun kemudian ikut menimpali, “Aku juga mempunyai keyakinan seperti itu. Glagah Putih mempunyai ketahanan tubuh

(47)

yang sangat kuat. Selain itu kemauan dan semangatnya untuk cepat sembuh juga luar biasa.”

Tampak kepala Ki Wiyaga terangguk angguk. Namun kepala pengawal perdikan Matesih itu masih belum yakin. Maka tanyanya kemudian, “Tetapi di mana sebenarnya Glagah Putih?”

Ki Waskita mencoba tersenyum. Jawabnya kemudian untuk mengalihkan perhatian, “Jangan khawatir Ki Wiyaga. Biarlah Glagah Putih menjadi urusan kami berdua. Sebaiknya mayat ini segera dibawa ke pendapa dan dikumpulkan menjadi satu dengan yang lainnya,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya, “Bagaimana dengan kedua pengawal yang berada di gardu depan? Apakah mereka berdua baik baik saja?”

Ki Wiyaga menggeleng lemah sambil menjawab, “Keduanya terluka cukup parah. Entahlah apakah mereka berdua dapat bertahan. Tabib terbaik di Matesih ini sudah dipanggil sementara beberapa tetangga di sekitar banjar yang mengetahui sedikit tentang pengobatan sedang berusaha menolong mereka.”

“Baiklah, kami akan ke pendapa,” berkata Ki Waskita kemudian sambil memberi isyarat kepada Ki Jayaraga untuk mengikutinya. Tanpa berkata sepatah katapun karena hatinya sedang galau memikirkan muridnya, Ki Jayaraga pun melangkah mengikuti Ki Waskita.

Namun langkah Ki Waskita tertahan sejenak ketika mereka berdua sedang melintasi ruang dalam. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki Jayaraga sambil menunjuk pintu butulan yang menghubungkan ruang tengah dengan longkangan menuju ke gandhok kiri.

“Ada apa ki?” bisik Ki Jayaraga sambil mengikuti arah yang ditunjuk Ki Waskita.

Referensi

Dokumen terkait

Djamil Padang pada 4 orang pasien yang menderita PJK dan mempunyai riwayat kolesterol tinggi, 2 orang diantaranya pernah mencoba senam jantung, namun tidak menunjukkan hasil

Kapiler insang membawa darah kaya oksigen ke seluruh pembuluh kapiler yang terdapat pada bagian tubuh ikan.. Selanjutnya, darah akan kembali ke atrium jantung melalui pembuluh

Kapiler insang membawa darah kaya oksigen ke seluruh pembuluh kapiler yang terdapat pada bagian tubuh ikan.. Selanjutnya, darah akan kembali ke atrium jantung melalui pembuluh

Sementara arteri membawa darah beroksigen dari insang ke seluruh tubuh, pembuluh darah terdeoksigenasi kembali dari berbagai bagian tubuh ke jantung.. Arteriol adalah arteri

Yaitu pembuluh darah yang membawa darah ke jantung. Pembuluh ini dapat dibedakan menjadi venule, vena, dan vena cava. Venule merupakan pembuluh balik yang berhubungan dengan

Institusi penyelenggara pendidikan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (IPDS-JP) wajib melaksanakan penelitian yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi

Hemm, begitukah? Dan hasil apa yang kauperoleh dari penyelidrkanmu itu ?" tanya Ki Jembros sarnbil mengamati wajah pemuda ltu dengan penuh perhatian.. ”Saya

Namun gadis yang cukup cerdik itu segera menjawab, “Katakan saja kita telah mendengar kedahsyatan perempuan perempuan perkasa dari Menoreh, seperti istri Ki Rangga,