SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
JILID 25
OLEH
PaneMbahan Mandaraka
Gambar sampul & Gambar dalam
Ki Adi Suta
Tahun 2020 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita
Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari
sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang
Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah
karya Untuk dilestarikan sepanjang masa
Sekar keluwih, Juli 2020
Terima kasih atas dukungan:
Istri dan anak-anak tercinta Serta handai taulan semua
Berdesir dada setiap orang dalam rombongan Ki Gede Matesih. Sambutan yang benar benar mendebarkan jantung. Bahkan Ratri telah bergeser merapat ke arah ayahnya.
“Ayah,” bisik Ratri dengan suara perlahan dan bergetar, “Ternyata orang orang perdikan Menoreh tidak seramah yang aku bayangkan. Lebih baik kita kembali saja, ayah.”
Ki Gede Matesih tidak tahu harus menjawab apa. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, Ki Gede merasakan adanya kejanggalan sikap Ki Bango Lamatan dalam menghadapi situasi yang cukup menegangkan itu. Pengawal pribadi Pangeran Pati itu tampak berusaha bersikap setenang mungkin.
“Kiai Sabda Dadi,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil melangkah maju, “Aku memang Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra yang beberapa tahun lalu pernah menggegerkan perdikan Menoreh,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku tidak bersembunyi di balik jambang dan janggutku. Namun aku juga tidak datang untuk menyerahkan nyawaku. Aku datang atas perintah Pangeran Pati Mataram untuk mengantarkan Ki Gede Matesih dan puterinya ke perdikan Menoreh.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu kesan dari orang orang yang sedang mengepungnya, Ki Bango Lamatan segera merogoh kantung dalam ikat pinggangnya. Sejenak kemudian sebuah lencana yang berkilat kilat tertimpa cahaya Matahari yang lemah telah berada di tangan kanan Ki Bango Lamatan.
“Silahkan Kiai,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil mengangsurkan lencana di tangan kanannya, “Periksalah. Jika lencana ini palsu, leherku yang menjadi taruhannya.”
Dengan ragu ragu Kiai Sabda Dadi segera menerima lencana itu. Untuk beberapa saat di amat amati lencana yang berada di tangannya, namun ternyata Kiai Sabda Dadi telah menggeleng. Katanya kemudian sambil kembali mengangsurkan lencana itu kepada Ki Bango Lamatan, “Mohon maaf, aku tidak mengenal lencana ini. Aku bukan seorang prajurit atau pangreh praja yang mengetahui seluk beluk tentang sebuah lencana.”
Namun sebelum Ki Bango Lamatan menerima kembali lencananya, tiba tiba dari arah pendapa terdengar sebuah seruan.
“Tunggu dulu Kiai Sabda Dadi, biarkan aku yang memeriksanya!” Serentak orang orang yang berada di regol kediaman Ki Gede Menoreh itu berpaling. Tampak Ki Gede Menoreh bersama Pandan Wangi sedang menuruni tlundak pendapa dengan tergesa gesa. “Ki Gede dan Nyi Pandan Wangi,” hampir setiap pengawal yang sedang melakukan pengepungan itu telah berdesis.
Ki Gede Matesih dan Ratri yang mendengar desis itu telah mengerutkan kening. Sekilas saja mereka berdua segera dapat menilai Ki Gede Menoreh dan putrinya.
“Pemimpin perdikan Menoreh itu tampak sepertinya seorang yang sangat bijaksana, “ gumam Ki Gede Matesih dalam hati sambil terus mengawasi gerak gerik Ki Gede Menoreh yang berjalan mendekat, “Kalau melihat garis garis wajahnya, pemimpin perdikan Menoreh ini adalah orang yang sabar dan sareh.”
Sedangkan Ratri tak habis habisnya mengagumi Pandan Wangi yang berpakaian seperti perempuan kebanyakan. Tidak ada tanda tanda sama sekali bahwa puteri Menoreh itu menyimpan ilmu olah kanuragan yang nggegirisi.
“Alangkah cantiknya Nyi Pandan Wangi ini di masa mudanya dahulu,” membatin Ratri sambil terus menatap Pandan Wangi dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, “Sampai sekarang pun masih terlihat sangat cantik walaupun usia sudah merambat senja. Tapi aku yakin, jika berkumpul di antara gadis gadis, kecantikannya akan tetap menyala.”
Namun lamunan Ratri itu terputus ketika terdengar suara seruan tertahan dari Ki Gede Menoreh.
“Tidak salah, Ki Bango Lamatan ternyata yang telah datang!” seru Ki Gede Menoreh sambil berdiri tegak di sebelah Kiai Sabda Dadi. Sedangkan Pandan Wangi pun kemudian menyusul berdiri di sebelah ayahnya.
“Memang benar Ki Gede,” sahut Ki Bango Lamatan sambil membungkukkan badannya, “Aku telah datang kembali ke perdikan Menoreh. Namun kedatanganku kali ini tanpa pasukan segelar sepapan.”
Tampak wajah Ki Gede Menoreh menegang sejenak. Namun kemudian tampak wajah itu sareh kembali. Sambil mengangguk angguk dimintanya lencana yang berada di tangan Kiai Sabda Dadi. Tanpa banyak pertanyaan, Kiai Sabda Dadi pun segera menyerahkan lencana yang berada di tangannya.
Untuk beberapa saat Ki Gede Menoreh tampak meneliti lencana itu dengan seksama. Ketika Ki Gede kemudian merasa sudah cukup, sambil mengangguk dalam dalam Ki Gede Menoreh pun kemudian menyerahkan kembali lencana itu kepada Ki Bango Lamatan.
“Selamat datang utusan Pangeran Pati Mataram,” berkata Ki Gede kemudian dengan sebuah senyum yang mengembang. Sambil memberi isyarat kepada pemimpin pengawal jaga untuk memerintahkan para pengawal menyingkir, Ki Gede Menoreh
melanjutkan, “Mohon dimaafkan atas penyambutan yang kurang berkenan. Sesungguhnya Kiai Sabda Dadi dan para pengawal hanya bersikap hati hati. Kami yang berada di perdikan Menoreh belum mengetahui apa yang telah terjadi di luar sana sehingga sekarang Ki Bango Lamatan telah menjadi utusan Pangeran Pati Mataram.” Ki Bango Lamatan segera membalas penghormatan Ki Gede Menoreh. Katanya kemudian, “Banyak peristiwa yang telah terjadi di luar sana Ki Gede. Seandainya Ki Rangga ikut dalam rombongan ini, tentu kesalah pahaman ini tidak perlu terjadi.”
“Ki Rangga Agung Sedayu?!” sela Pandan Wangi dengan serta merta sehingga telah membuat orang orang berpaling ke arahnya.
Menyadari keterlanjurannya, Pandan Wangi pun segera melanjutkan kata katanya, “Mengapa Ki Rangga tidak jadi ikut? Istri dan anaknya serta kami semua keluarga Menoreh sudah lama menunggu kapan Ki Rangga akan kembali.”
Orang orang pun telah menarik nafas dalam dalam. Namun Ki Gede Menoreh justru telah tersenyum sekilas.
“Bagaimana pun juga, isi hati itu kadang sulit untuk disimpan. Setiap saat dapat terloncat keluar tanpa sadar jika luapan perasaan sudah tidak dapat dibendung lagi,” membatin Ki Gede Menoreh sambil mengangguk angguk.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Ki Bango Lamatan segera maju selangkah. Setelah membungkuk kepada Pandan Wangi, pengawal pribadi Pangeran Pati Mataram itu pun menjawab, “Ki Rangga masih menerima tugas dari Pangeran Pati di Mataram. Mungkin dalam dua atau tiga hari ke depan Ki Rangga baru bisa menyusul ke perdikan Menoreh.”
Tampak kembali orang orang yang berada di regol itu terangguk angguk, kecuali Ki Gede Menoreh. Tampak orang tua itu sedang termenung memikirkan sesuatu.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil menggamit lengan ayahnya, “Para tamu sedang menunggu ayah!”
“O,” seru Ki Gede dengan tergopoh gopoh sambil mengulurkan tangan kepada Ki Gede Matesih, “Maaf, aku benar benar merasa tersanjung mendapat kunjungan Ki Gede Matesih. Silahkan silahkan.”
Ki Gede Matesih pun segera menyambut uluran tangan pemimpin perdikan Menoreh itu sambil berkata, “Terima kasih. Mohon dimaafkan jika kedatangan kami telah membuat Ki Gede sekeluarga merasa terganggu.”
“O. tidak tidak. Sama sekali tidak Ki Gede,” jawab Ki Gede Menoreh dengan serta merta sambil mempersilahkan tamunya berjalan menuju pendapa, “Kami sangat senang mendapat tamu kehormatan dari perdikan Matesih. Selebihnya cerita tentang perdikan Matesih memang sangat kami tunggu tunggu.”
Demikianlah Kedua pemimpin perdikan yang letaknya sangat berjauhan itu tampak segera akrab. Mereka berjalan beriringan menuju pendapa sambil menanyakan keadaan perdikan masing masing.
Dalam pada itu Pandan Wangi yang tertarik dengan Ratri segera melangkah mendekat. Sambil tersenyum ramah dia segera memeluk anak gadis semata wayang Ki Gede Matesih itu.
Berkata Pandan Wangi kemudian, “Aku tadi dengan sekuat tenaga harus meyakinkan kepada diriku sendiri bahwa yang berada di hadapanku adalah seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian laki laki. Hampir saja aku jatuh cinta kepadanya.”
“Ah,” orang orang pun tertawa mendengarnya. Memang sedari tadi para pengawal tak henti hentinya memandang wajah Ratri, wajah yang menurut mereka terlalu tampan dan lembut untuk ukuran seorang pemuda.
Segera saja suasana menjadi cair. Dengan manja Ratri pun kemudian berjalan di sisi Pandan Wangi sambil merangkul lengannya.
“Mbokayu yang sedemikian cantik luar biasa tidak mungkin akan dengan mudah jatuh cinta,” berkata Ratri kemudian dengan kerling dan senyum yang manja, “Orang yang membuat mbokayu jatuh cinta tentu seseorang yang sangat luar biasa. Lahir maupun batinnya.” Berdesir tajam jantung Pandan Wangi. Dia tahu puteri Matesih itu tidak mempunyai maksud apa apa. Namun kata kata itu telah menggores sebuah kesan yang dalam di hati Pandan Wangi.
Sedangkan Ki Bango Lamatan telah berjalan beriringan dengan Kiai Sabda Dadi. Di belakang mereka tampak kedua pengawal perdikan Matesih itu mengikuti dengan kepala tunduk.
“Aku masih tidak habis mengerti. Bagaimana Ki Bango Lamatan yang dulu memusuhi Mataram sekarang telah menjadi utusan Pangeran Pati?” bisik Kiai Sabda Dadi sambil berjalan di samping Ki Bango Lamatan.
Tampak wajah pengawal pribadi Pangeran Pati Mataram itu berkerut merut. Jawabnya kemudian, “Jika Kiai Sabda Dadi mempunyai waktu, aku bersedia menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya agar tidak ada lagi syak wasangka di antara kita.” “Aku pasti mempunyai waktu,” sahut Kiai Sabda Dadi cepat, “Tetapi apakah Ki Bango Lamatan akan tinggal cukup lama di Menoreh?”
“Tentu tidak,” sela Ki Bango Lamatan kemudian, “Setelah mengantar rombongan Ki Gede Matesih sampai Menoreh dengan selamat, aku harus segera kembali ke kotaraja.”
“Begitu cepat?”
“Ya, Kiai. Sebagai pengawal pribadi Pangeran Pati, setiap saat aku harus selalu siap di sampingnya untuk menunggu perintah.”
Kiai Sabda Dadi pun tidak bertanya lagi, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk angguk.
Dalam pada itu, sepeninggal para tamu dari perdikan Matesih yang berjalan beriringan bersama Ki Gede Menoreh beserta Pandan Wangi dan Kiai Sabda Dadi menuju pendapa, tampak para pengawal yang menjaga regol telah menarik nafas dalam dalam. “Syukurlah,” berkata pemimpin pengawal yang bertugas jaga di sore hari itu, “Tadi jantungku rasa rasanya telah berhenti berdetak mendengar yang datang adalah Ki Bango Lamatan.”
“Aku bahkan menduga yang datang bersama Ki Bango Lamatan tadi hanyalah sebagai pancingan,” sahut seorang pengawal yang berbadan kurus, “Sementara pasukan segelar sepapan yang dipimpin oleh Panembahan Cahya Warastra sedang berada di tapal batas perdikan Menoreh dan siap untuk menggulung Menoreh.” “He? Apa katamu?” hampir berbareng kawan kawannya menyela, “Panembahan CahyaWarastra? Panembahan itu sudah mati!”
“Tetapi bukankah jasadnya dikhabarkan telah hilang?”
Untuk beberapa saat para pengawal itu saling pandang. Namun akhirnya pemimpin pengawal yang bertugas jaga di sore hari itu segera menyahut, “Tidak ada orang yang telah mati itu akan hidup kembali. Panembahan Cahya Warastra yang datang ke Menoreh untuk pertama kalinya telah berhasil ditundukkan oleh Ki Patih
Mandaraka. Sedangkan yang datang kemudian, ternyata adalah saudara kembarnya. Namun akhirnya dapat ditundukkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu.”
Tampak kepala para pengawal itu terangguk angguk. Sementara itu Matahari benar benar telah terbenam di langit barat. Beberapa pelayan laki laki segera menyalakan dlupak dlupak serta obor obor yang berada di regol maupun di kediaman Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu, setelah masing masing mencuci kaki di tempat yang telah di sediakan dekat tlundak pendapa, Ki Gede Menoreh beserta tamu tamunya pun kemudian duduk melingkar di atas tikar pandan yang bersih.
“Silahkan, silahkan,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil mempersilahkan tamu tamunya dengan ramah. Ki Gede Matesih dan rombongannya pun segera duduk.
“Apakah selama dalam perjalanan, Ki Gede Matesih dan rombongan dalam keadaan baik baik saja?” bertanya Ki Gede Menoreh selanjutnya.
Untuk sejenak Ki Bango Lamatan dan Ki Gede Matesih saling berpandangan. Mereka tidak tahu harus memulai dari mana, karena begitu banyaknya kejadian yang mereka hadapi selepas dari perdikan Matesih.
Namun Ki Gede Matesih segera beringsut setapak. Tanyanya kemudian, “Maaf Ki Gede Menoreh, apakah di sekitar tlatah Menoreh ada sebuah perguruan dengan pemimpinnya seorang Tumenggung yang sudah purna dan bernama Tumenggung Wirapati?”
Ki Gede terkejut, demikian juga Pandan Wangi dan Kiai Sabda Dadi. Ki Gede justru balik bertanya, “Apakah dalam perjalanan tadi Ki Gede Matesih dan rombongan bertemu dengan para anak murid perguruan Wirapati?”
Kini giliran Ki Gede Matesih yang tertegun. Namun jawabnya kemudian, “Benar Ki Gede. Kita sempat berselisih paham dengan mereka. Aku melihat anak anak murid perguruan Wirapati itu sepertinya anak anak muda yang perlu mendapat perhatian.”
Ki Gede Menoreh mengangguk sambil menjawab, “Benar Ki Gede. Keberadaan mereka cukup meresahkan padukuhan padukuhan di sekitarnya. Aku sudah mendapat laporan tentang perguruan itu. Kalau aku tidak salah perguruan itu berada di dekat padang perdu sebelah utara kademangan Pudak Lawang.”
“Apakah Ki Gede sudah mengambil tindakan penertiban kepada para anak murid perguruan Wirapati itu?” Ki Bango Lamatan yang mengalami dan melihat sendiri tingkah polah anak murid perguruan Wirapati yang deksura itu telah bertanya.
“Sampai saat ini belum,” jawab Ki Gede Menoreh dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Aku justru akan memanggil Ki Demang Pudak Lawang untuk menanyakan keberadaan perguruan itu lebih lanjut.”
Tampak orang orang yang berada di pendapa itu terangguk angguk. “Memang demikianlah seharusnya, Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian ikut menanggapi, “Jika permasalahan itu dapat diatasi oleh Ki Demang Pudak Lawang, Ki Gede tidak harus turun tangan terlebih dahulu. Selain urusan yang harus diselesaikan oleh Ki Gede juga cukup banyak, perguruan itu memang letaknya berada di tlatah kademangan Pudak Lawang.”
Kembali tampak setiap kepala terangguk angguk.
Namun ketika Ki Gede Menoreh akan berbicara lagi, Pandan Wangi yang duduk di sebelah kirinya segera menggamit. Berkata Pandan Wangi kemudian, “Ayah, tamu tamu kita masih lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Biarlah para tamu beristirahat terlebih
dahulu di gandhok kanan. Setelah itu kita undang mereka untuk makan malam bersama di ruang tengah.”
“Ah, kami benar benar telah merepotkan keluarga Ki Gede Menoreh,” sela Ki Gede Matesih sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“O, sama sekali tidak,” sahut Ki Gede Menoreh cepat, “Mungkin suatu saat kami juga ingin berkunjung dan melihat lihat perdikan Matesih yang indah di lereng gunung Tidar.”
“O, dengan senang hati kami akan menerima kunjungan itu, Ki Gede,” berkata Ki Gede Matesih kemudian sambil tersenyum lebar. Demikianlah akhirnya para tamu telah dipersilahkan untuk beristirahat di gandhok kanan. Tak lupa Ratri segera mengambil perbekalannya yang di sangkutkan di pelana kuda. Sedang Ki Gede Matesih segera mengambil pusaka kebesaran perdikan Matesih, Kiai Singkir Geni.
Kuda kuda itu memang ditambatkan di depan gandhok kanan. Dengan demikian rombongan Ki Gede tidak terlalu jauh untuk mengambil perbekalan mereka.
Begitu mereka memasuki bilik masing masing, ternyata Ratri telah berkata kepada ayahnya, “Ayah, sebaiknya jangan katakan terlebih dahulu tujuan kita ke Menoreh.”
Ayahnya mengerutkan kening sejenak. Tanyanya kemudian, “Jadi, bagaimana jawab ayah nantinya jika Ki Gede Menoreh menanyakan maksud dan tujuan kita ke Menoreh?”
Untuk sejenak Ratri menjadi bingung. Namun gadis yang cukup cerdik itu segera menjawab, “Katakan saja kita telah mendengar kedahsyatan perempuan perempuan perkasa dari Menoreh, seperti istri Ki Rangga, puteri Ki Gede Menoreh dan mungkin yang lainnya,
sehingga aku telah tertarik untuk berguru kepada salah satu dari mereka.”
“Maksudmu? Engkau akan memilih terlebih dahulu siapa yang akan menjadi gurumu? Begitu?”
“Tidak, tidak ayah. Itu sungguh sikap yang deksura dan kurang trapsila,” sahut Ratri cepat, “Sebenarnyalah kita belum melihat Nyi Sekar Mirah namun aku telah tertarik kepada sikap dan kepribadian Nyi Pandan Wangi.”
Ayahnya menarik nafas dalam dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Terserah engkau. Nanti jika Ki Rangga sudah hadir di Menoreh, engkau harus mempunyai alasan yang masuk akal mengapa engkau lebih suka menjadi murid Nyi Pandan Wangi.”
“Ya, ayah, aku sudah memikirkannya,” sahut Ratri cepat sambil tersenyum. Ayahnya pun hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil bersiap ke pakiwan.
“Ini bukan di kepatihan,” berkata ayahnya kemudian, “Engkau tidak harus di antar ke pakiwan. Selain itu semua orang sudah tahu bahwa engkau adalah seorang gadis. Dan percayalah tidak ada yang mau menggodamu.”
“Ah, ayah!” seru Ratri sambil menampakkan wajah kesal. Namun ayahnya hanya tertawa sambil keluar bilik untuk ke pakiwan.
Dalam pada itu, Kiai Sabda Dadi ternyata telah menawarkan Ki Bango Lamatan untuk tinggal di biliknya.
“Ki Bango Lamatan tinggal di bilikku saja,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil membukakan pintu biliknya, “Di bilik ini ada dua amben yang cukup besar sehingga Ki Bango Lamatan tidak usah khawatir tidak bisa tidur dengan nyenyak.”
“Ah,” Ki Bango Lamatan tertawa. Jawabnya kemudian, “Perdikan Menoreh ini terletak di daerah pegunungan sehingga udaranya sangat sejuk. Aku khawatir besuk pagi aku akan bangun kesiangan dan ketinggalan sarapan pagi.”
“Ah,” Kiai Sabda Dadi tertawa. Diam diam kakek Damarpati ini mulai melihat perubahan yang terjadi pada diri orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.
Namun sebenarnya Ki Bango Lamatan dapat merasakan bahwa dirinya belum sepenuhnya diterima. Kiai Sabda Dadi mengajaknya untuk tidur dalam biliknya agar mudah mengawasi setiap gerak geriknya.
“Nanti malam menjelang tidur, aku akan bercerita tentang perjalanan hidupku agar Kiai Sabda Dadi menyadari bahwa aku telah berubah,”membatin Ki Bango Lamatan kemudian sambil bersiap untuk pergi ke pakiwan.
Demikianlah untuk beberapa saat rombongan Ki Gede Matesih telah disibukkan dengan keperluan pribadi masing masing. Sementara Pandan Wangi telah memberitahu para pelayan dapur untuk menyiapkan hidangan malam.
“Maaf, berapa orang tamunya, Nyi?” bertanya pelayan perempuan yang terlihat sudah parobaya.
Sejenak Pandan Wangi mengerutkan keningnya untuk sekedar mengingat ingat. Jawabnya kemudian, “Lima orang.”
“Lima orang?” ulang perempuan parobaya itu sambil memandang kawan kawannya.
Salah seorang segera bergegas membuka bakul tempat nasi yang terlihat masih mengepulkan asap. Sambil membuka bakul dia
bertanya lebih lanjut, “Berapa orang yang akan menemani para tamu bersantap malam, Nyi?”
Kembali Pandan Wangi mengerutkan kening. Untuk beberapa saat Pandan Wangi masih menimbang nimbang. Namun jawabnya kemudian, “Aku kira lima atau enam orang juga.”
“Kurang lebih sepuluh orang semuanya,” desis perempuan itu sambil kembali menengok nasi yang berada di dalam bakul. Lanjutnya kemudian, “Aku kira cukup. Tetapi bagaimana dengan para pengawal yang sedang bertugas jaga?”
Untuk beberapa saat perempuan yang berada di dapur itu saling pandang. Namun Pandan Wangi segera mengambil keputusan, “Masaklah nasi lagi untuk para pengawal. Beritahu mereka bahwa makan malam mereka agak terlambat karena ada tamu dari jauh.” Perempuan perempuan yang bekerja di dapur itupun akhirnya mengangguk anggukkan kepala mereka.
Demikianlah sepeninggal Pandan Wangi, mereka segera bekerja dengan cepat. Sebagian menyiapkan hidangan untuk para tamu, dan sebagian yang lain menanak nasi dan mengolah sayur serta lauknya untuk para pengawal jaga.
“Yuni,” berkata perempuan parobaya itu kemudian sambil merajang sayur, “Pergilah ke gardu depan. Beritahu kepala pengawal jaga agar mereka menahan lapar sampai makan malam siap.”
“Baik mbok,” jawab pelayan yang dipanggil Yuni itu kemudian sambil bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Dalam pada itu di banjar padukuhan induk Matesih, lima ekor kuda telah disiapkan di halaman banjar. Tampak dua orang pengawal sedang mempersiapkan kuda kuda itu.
Tiba tiba pintu pringgitan terbuka, Ki Wiyaga melangkah keluar diikuti oleh Ki Jayaraga dan Ki Kamituwa. Sementara di belakang mereka tampak Ki Waskita ikut melangkah keluar.
“Jangan terlalu banyak mencicipi penganan yang ada di setiap gardu, Ki Jayaraga,” pesan Ki Waskita begitu mereka sedang menyeberangi pendapa, “Ingat, umur sudah tua jangan terlalu banyak makan makanan dan minuman yang manis manis.”
“Kalau gadis manis atau janda muda yang manis, bagaimana Ki Waskita?” sela Ki Jayaraga balik bertanya.
Orang orang pun tertawa mendengar pertanyaan Ki Jayaraga. Ki Wiyaga lah yang menjawab, “Justru itu akan menjadi penyemangat bagi Ki Jayaraga. Umur boleh tua, akan tetapi semangat tetaplah muda.”
Kembali orang orang tertawa. Namun Ki Jayaraga tidak mau kalah. Katanya kemudian, “Tua ataupun muda itu hanyalah hitungan angka yang dibuat manusia. Namun pembuktiannya bukan melalui hitungan angka, akan tetapi melalui kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya.”
Kembali suara tawa meledak di pendapa banjar padukuhan induk itu. Sementara para penjaga regol yang tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hanya saling pandang satu sama lainnya. “Tamu tamu Ki Gede itu sangat senang berkelakar,” desis salah satu pengawal yang berdiri bersandaran dinding gardu.
“Ya,” sahut pengawal yang berdiri di sebelahnya, “Mereka orang orang linuwih, akan tetapi dalam keseharian, mereka tak ubahnya orang kebanyakan seperti kita.”
“Itulah kelebihan mereka,” sahut pengawal yang bersandaran dinding gardu, “Ilmu tidak menjadikan mereka tinggi hati dan merasa lebih dari orang lain.”
“Sebuah sikap yang patut dicontoh,” kembali pengawal yang berdiri di sebelahnya menyahut, “Kadangkala seseorang itu mempunyai sikap dan tingkah laku yang berbeda dari kebiasaannya ketika merasa telah menguasai sebuah ilmu, atau merasa mempunyai kelebihan dibandingkan dengan orang lain.”
“Engkau benar. Mereka lupa bahwa di atas gunung yang paling tinggi pun masih ada langit, dan di atas langit masih ada langit lagi,” berkata pengawal yang bersandaran dinding gardu sambil mengangguk angguk.
“Aku pun sebenarnya juga sedang mempelajari sebuah ilmu,” tiba tiba kepala pengawal jaga malam itu menyeluthuk, “Namun tidak menjadikan aku sombong dan tinggi hati.”
Kedua pengawal itu mengerutkan keningnya. Hampir serempak mereka pun kemudian bertanya, “Ilmu apakah itu Ki?”
Sambil tersenyum kepala pengawal jaga itu pun menjawab, “Ilmu rasa.”
“Ilmu rasa?”
“Ya, ilmu rasa,” jawab kepala pengawal jaga itu sambil menebar senyum. Lanjutnya kemudian, “Rasa ngantuk, rasa haus dan rasa lapar.”
“Ah,” yang mendengar gurauan kepala pengawal jaga itu pun telah tertawa.
Dalam pada itu orang orang yang akan berangkat nganglang telah bergegas menuruni tlundak pendapa dan menghampiri kuda masing masing kecuali Ki Waskita.
“Baiklah,” berkata Ki Wiyaga kemudian ketika tawa mereka mereda, “Di depan ada pertigaan dan kita belok ke kiri.”
“Hati hati di jalan, Ki!” pesan Ki Waskita kemudian begitu orang orang itu mulai menghela kuda masing masing.
“Terima kasih, Ki Waskita!” Ki Jayaraga pun menjawab sambil melambaikan tangannya, “Jangan terlalu banyak minum wedang sereh!”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sambil maju beberapa langkah dia pun bertanya, “Memangnya kenapa, Ki?”
Sambil berpaling sekilas Ki Jayaraga menjawab, “Nanti sepulang dari nganglang aku tidak kebagian!”
“Ah!” seru Ki Waskita sambil tertawa. Orang orang yang mendengar gurauan Ki Jayaraga itu pun tak urung telah ikut tertawa.
Demikianlah kelima ekor kuda itu segera berderap dengan kecepatan sedang menyusuri jalan jalan padukuhan induk. Tujuan mereka adalah padukuhan terdekat dengan gunung Tidar. Laporan pengawal yang bernama Naya siang tadi telah membuat Ki Wiyaga mengambil keputusan untuk mengadakan penyelidikan ke lereng gunung Tidar. “Kita langsung menuju padukuhan terluar yang berbatasan dengan gunung Tidar,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil terus memacu kudanya.
Ki Kamituwa yang berkuda di belakangnya menyahut, “Apakah tidak sebaiknya kita memutar dulu, Ki?”
“Maksud Ki Kamituwa?” Ki Wiyaga balik bertanya tanpa berpaling. “Kita memutari beberapa padukuhan terdekat sebelum menuju padukuhan yang berbatasan dengan gunung Tidar.”
“Aku setuju!” sela Ki Jayaraga dengan serta merta, “Setidaknya kita memberi perhatian kepada para pengawal serta anak anak muda yang sedang berjaga di gardu gardu.”
“Sekalian mencicipi wedang sereh dan cimplung ketela yang disediakan di setiap gardu,” sahut Ki Wiyaga cepat sambil tersenyum dan berpaling kepada Ki Jayaraga yang berkuda di sebelahnya.
“Jangan lupa juadah bakar dan ketan sambel,” Ki Kamituwa pun ikut menimpali.
Segera saja terdengar tawa orang orang yang sedang nganglang itu. “Baiklah,” berkata Ki Wiyaga kemudian ketika tawa mereka mereda, “Di depan ada pertigaan dan kita belok ke kiri.”
Orang orang yang berada dalam rombongan nganglang itu pun mengangguk angguk.
Demikianlah ketika beberapa tombak di hadapan mereka terlihat sebuah pertigaan, mereka pun kemudian mengurangi laju kuda kuda mereka. Sejenak kemudian kelima orang itu pun telah menghela kuda kuda mereka untuk berbelok ke kiri.
“Ki Wiyaga,” bertanya Ki Jayaraga kemudian sambil tetap mengendalikan laju kudanya, “Waktu baru saja manjing sirep bocah. Apakah gardu gardu sudah dipenuhi anak anak muda?” Sejenak Ki Wiyaga mengerutkan keningnya. Memang mereka tadi berangkat setelah Matahari baru saja terbenam.
“Biasanya anak anak muda itu berdatangan ke gardu setelah menjelang sirep uwong,” jawab Ki Wiyaga kemudian, “Namun gardu gardu itu sudah ada pengawal yang berjaga begitu Matahari terbenam.”
Ki Jayaraga mengangguk angguk. Demikianlah rombongan berkuda iu terus berderap menyusuri bulak pendek menuju ke padukuhan Tawangreja. Sebuah padukuhan kecil yang termasuk dalam wilayah kademangan Tawangsari.
Ketika cahaya obor yang disangkutkan di regol padukuhan Tawangreja sudah tampak berkelap kelip tertiup angin malam, Ki Wiyaga dan kawan kawan pun segera memperlambat laju kuda kuda mereka.
Ketika jarak rombongan berkuda itu dengan regol tinggal beberapa tombak, tampak dua orang pengawal telah berdiri di tengah tengah regol sambil mengangkat tangan kanan mereka tinggi inggi. Ki Wiyaga dan rombongan pun segera menarik tali kekang kuda masing masing.
Ketika cahaya obor yang disangkutkan di salah satu tiang regol itu menerpa wajah Ki Wiyaga, kedua pengawal itu pun segera mengenalinya sebagai kepala pengawal perdikan Matesih.
“Selamat malam Ki Wiyaga,” sapa salah satu pengawal itu sambil berjalan mendekat.
“Selamat malam,” balas Ki Wiyaga sambil meloncat turun. Yang lain pun ikut meloncat turun.
“Apakah penjagaan dalam keadaan aman?” bertanya Ki Wiyaga kemudian sambil menuntun kudanya.
“Aman Ki,” jawab pengawal itu. Kemudian sambil mengangguk hormat dia segera menyapa Ki Kamituwa dan Ki Jayaraga. Sementara kedua pengawal yang ikut nganglang itu segera menambatkan kuda kuda mereka ke patok patok yang ada di samping gardu. Sedangkan kuda Ki Wiyaga dan kedua orang tua itu telah ditambatkan oleh penjaga regol yang satunya.
“Apakah tidak ada yang hal hal yang perlu mendapatkan perhatian?” kembali Ki Wiyaga bertanya sambil mengambil duduk di dalam gardu. Yang lainnya pun kemudian mengikutinya.
“Untuk sementara aman Ki,” jawab pengawal itu kemudian sambil mengambil duduk di depan Ki Wiyaga, “Hanya tadi menjelang Matahari terbenam ada seorang anak muda yang berkuda melewati gardu ini.”
“Apakah ada yang mencurigakan?” kembali Ki Wiyaga bertanya. “Sepertinya tidak, Ki,” jawab pengawal itu, “Dia hanya berhenti sebentar untuk menanyakan padukuhan Cluring.”
“Padukuhan Cluring?” Ki Kamituwa lah yang menyahut dengan nada sedikit heran, “Padukuhan Cluring itu padukuhan yang terletak paling ujung dari perdikan Matesih. Ada apa dia menanyakan padukuhan Cluring?”
“Dia mencari alamat pamannya yang tinggal di padukuhan itu.” “Siapa nama pamannya?” bertanya Ki Kamituwa kemudian. “Soma Blantik.”
“Soma Blantik?” seru Ki Kamituwa dengan terheran heran. Lanjutnya kemudian sambil menggeleng, “Tidak ada orang yang bernama Soma Blantik di padukuhan Cluring!”
“Bagaimana Ki Kamituwa tahu?” sela Ki Jayaraga yang sedari tadi hanya diam saja.
“Tentu saja aku tahu, Ki,” jawab Ki Kamituwa sambil berpaling dan tersenyum, “Aku berasal dari padukuhan Cluring. Setelah kawin baru aku pindah mengikuti istriku ke padukuhan induk.”
“O,” hampir bersamaan orang orang yang di dalam gardu itu berseru sambil mengangguk anggukkan kepala mereka.
“Jadi? Apa kata anak muda yang mencari pamannya itu?” bertanya Ki Wiyaga selanjutnya.
“Kami berdua tidak begitu mengenal para penghuni padukuhan Cluring sehingga anak muda itu kami biarkan berjalan terus.”
“Apakah dia terlihat membawa senjata?” bertanya Ki Wiyaga kemudian.
Sejenak kedua penjaga regol itu saling pandang. Salah satu segera menjawab, “Ya Ki. Aku lihat sebuah pedang pendek terselip di pinggangnya.”
“Apakah dia menaiki seekor kuda yang besar dan tegar?” tiba tiba Ki Jayaraga menyela.
“Ya, Ki. Kuda yang dinaikinya cukup besar dan tegar.”
“He! Apa hubungannya kuda yang tegar dengan penunggangnya?” bertanya Ki Kamituwa kemudian dengan wajah keheranan.
Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Jarang para petani atau orang kebanyakan mempunyai kuda yang besar dan tegar. Hanya orang orang yang terpandang atau mempunyai kedudukan saja yang memiliki kuda yang besar dan tegar,” Ki Jayaraga berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Demikian juga kuda kuda yang dimiliki oleh sebuah padepokan. Biasanya kuda kudanya besar dan tegar serta sangat terawat dengan baik.”
Untuk sejenak kedua penjaga regol itu saling berpandangan. Mereka berdua tidak sejauh itu dalam memperhatikan anak muda yang lewat menjelang Matahari terbenam tadi.
“Apakah anak muda itu terlihat kekar dan tegap?” kembali Ki Jayaraga meneruskan pertanyaannya.
Terlihat kedua pengawal itu menarik nafas panjang sambil mengingat ingat.
“Benar Ki. Anak muda itu terlihat sangat kekar dan kuat. Serta pandangan matanya sangat tajam,” jawab salah satu pengawal itu pada akhirnya.
Tampak kepala Ki Jayaraga terangguk angguk sambil mengerutkan kening. Katanya kemudian, “Tidak ada salahnya kita selalu bersikap hati hati dalam setiap keadaan. Jika menurut Ki Kamituwa yang berasal dari padukuhan Cluring itu tidak ada orang yang bernama Soma Blantik, kita harus mempunyai dugaan bahwa anak muda itu telah berbohong agar dapat melewati padukuhan Tawangrejo ini.” “Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Wiyaga cepat, “Ada kemungkinan dia sebenarnya tidak mengetahui padukuhan Cluring dan para penghuninya. Dia hanya mengarang saja agar dapat lolos melewati penjagaan di padukuhan ini.”
Tampak kepala orang orang yang berada di gardu itu terangguk angguk.
“Jadi? Apa yang harus kami lakukan, Ki?” bertanya salah satu penjaga regol itu dengan wajah menunjukkan sedikit kecemasan. “Tidak perlu terlalu dirisaukan,” jawab Ki Wiyaga cepat sambil menepuk pundak pengawal penjaga regol itu, “Semuanya masih berupa dugaan. Namun tidak ada jeleknya kita selalu berhati hati.” Tampak kepala kedua pengawal penjaga regol padukuhan itu terangguk angguk. Namun bagaimana pun juga, tampak kekhawatiran masih tersirat di wajah mereka.
“Berapa jauh padukuhan Cluring itu dari padukuhan ini?” bertanya Ki Jayaragaa kemudian.
“O, masih sangat jauh,” sahut Ki Kamituwa, “Melewati kademangan Tawangsari dan kademangan Tawangalun terlebih dahulu baru menyeberangi sebuah sungai yang dangkal, sungai Lengkung.
Kemudian memutari sebuah gunung kecil yang disebut gunung Betet, barulah kita sampai di padukuhan Cluring.”
“Apakah padukuhan Cluring termasuk dalam wilayah kademangan Tawangalun?” bertanya Ki Jayaraga selanjutnya.
Ki Kamituwa mengangguk. Jawabnya kemudian, “Ya, Ki. Namun letaknya yang terpencil itulah yang membuat padukuhan Cluring jarang dikunjungi orang.”
Tampak kening Ki Jayaraga berkerut merut. Tanyanya kemudian dengan sebuah senyum yang tersungging di bibirnya, “Jadi bagaimana Ki Kamituwa bisa ketemu jodoh dengan Nyi Kamituwa jika padukuhan Cluring jarang dikunjungi orang?”
Orang orang pun tertawa mendengar pertanyaan Ki Jayaraga. Namun Ki Kamituwa tidak kehilangan akal. Jawabnya kemudian, “Akulah yang sering berkunjung ke padukuhan induk. Karena pada waktu itu ada pendaftaran bebahu perdikan Matesih dan aku telah menyatakan untuk ikut magang.”
“O,“ orang orang pun kembali tertawa sambil mengangguk angguk. “Nah,” bertanya Ki Wiyaga kemudian setelah tawa mereka reda, “Kita lanjutkan nganglang ataukah menunggu wedang sereh dan ketan sambel yang sebentar lagi datang?”
“Ah,” orang orang kembali tertawa.
Namun Ki Jayaraga segera menyahut, “Lebih baik kita teruskan perjalanan, Ki Wiyaga. Anak muda yang akan ke padukuhan Cluring itu sangat menarik perhatian.”
“Baiklah,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil bangkit berdiri. Yang lain pun segera mengikuti berdiri. Kemudian pesan Ki Wiyaga kepada kedua pengawal penjaga regol itu, “Berhati hatilah. Jika nanti ada hal yang perlu mendapat perhatian, hubungi Ki Dukuh.”
Kedua pengawal jaga itu tidak menjawab, hanya terlihat kepala mereka yang terangguk.
Demikianlah kelima orang itu pun segera meloncat ke punggung kuda masing masing untuk meneruskan perjalanan mereka nganglang ke padukuan padukuhan yang lain.
Dalam pada itu di kediaman Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi telah menyempatkan untuk mendatangi bilik Sekar Mirah.
“Dimanakah Rara Wulan?” bertanya Pandan Wangi kemudian begitu dia tidak melihat istri Glagah Putih itu. Semenjak ditinggal Glagah Putih melawat ke gunung Tidar bersama Ki Rangga dan yang lainnya, Rara Wulan memilih tinggal sebilik dengan Sekar Mirah.
“Tadi pergi ke pakiwan,” jawab Sekar Mirah sambil mempersilahkan mbokayunya itu untuk duduk, namun Pandan Wangi menolak. “Aku hanya sebentar,” jawab Pandan Wangi sambil memandang Damarpati yang sedang merapikan selimut Bagus Sadewa.
Namun ternyata Sekar Mirah tetap mengangsurkan sebuah dingklik kayu sehingga Pandan Wangi pun akhirnya duduk.
“Apakah ada yang penting mbokayu?” bertanya Sekar Mirah selanjutnya sambil duduk di bibir pembaringan.
“Ada tamu dari perdikan Matesih,” jawab Pandan Wangi kemudian. “Perdikan Matesih?” ulang Sekar Mirah dengan kening yang berkerut merut. Pandangan matanya pun tak lepas dari wajah mbokayunya. “Ya, Mirah,” jawab Pandan Wangi kemudian, “Perdikan Matesih terletak di sebelah selatan gunung Tidar.”
Mendengar Pandan Wangi menyebut gunung Tidar, wajah Sekar Mirah pun menjadi tegang. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit
ragu ragu, “Bukankah kakang Agung Sedayu dan Glagah Putih beserta kedua orang tua tua itu mendapat tugas ke gunung Tidar?” “Benar Mirah,” jawab Pandan Wangi kemudian, “Perguruan Sapta Dhahana memang terletak di gunung Tidar sebelah utara perdikan Matesih. Ki Gede Matesih sendiri yang datang bersama putrinya dan dua orang pengawal,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun yang agak aneh di dalam rombongan itu juga ada orang yang pernah menggegerkan perdikan Menoreh beberapa tahun yang lalu.”
“He?!” seru Sekar Mirah dengan nada sedikit tertahan, “Maksud mbokayu?”
“Ki Bango Lamatan datang lagi ke Menoreh!”
“Maksud mbokayu, Ki Bango Lamatan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra,?”
“Benar Mirah,” jawab Pandan Wangi sambil menarik nafas dalam dalam, “Namun yang membuat aku tidak habis mengerti, Ki Bango Lamatan sekarang telah menjadi utusan Pangeran Pati Mataram. Itu terbukti dengan lencana yang dibawanya.”
“Aneh!” gumam Sekar Mirah seolah olah sulit mempercayai cerita mbokayunya, “Apa sebenarnya yang telah terjadi pada orang itu? Sehingga sekarang dia justru telah berpihak kepada Mataram dan menjadi utusan Pangeran Pati.”
“Sebenarnya kami semua juga merasa aneh saat menerima rombongan Ki Gede Matesih sore tadi,” sahut Pandan Wangi dengan serta merta, “Namun ketika Ki Bango Lamatan menunjukkan lencana itu, kami semua harus mempercayainya.” “Bagaimana kalau itu hanya sebuah tipu muslihat, mbokayu?” bertanya Sekar Mirah tiba tiba.
“Tipu muslihat?’ bertanya Pandan Wangi kemudian dengan kerut merut di kening, “Tipu muslihat bagaimana maksudmu, Mirah?” Untuk sejenak Sekar Mirah menarik nafas dalam terlebih dahulu. Jawabnya kemudian, “Siapa tahu dia sedang mengadakan penyelidikan dengan cara pura pura menjadi utusan Pangeran Pati.” “Itu tidak mungkin, Mirah!’ sela Pandan Wangi cepat, “Lencana itu benar benar asli. Ayah telah menelitinya dan aku rasa ayah dapat membedakan lencana yang asli dan yang palsu.”
“Mbokayu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya sambil membetulkan letak duduknya, “Lencana itu bisa saja asli. Namun cara mendapatkannya yang mungkin tidak sepengetahuan Pangeran Pati.”
Berdesir dada Pandan Wangi. Memang semua itu mungkin saja dapat terjadi. Namun rombongan itu sudah terlanjur diterima dan ditempatkan di gandhok kanan.
“Mirah,” berkata Pandan Wangi pada akhirnya, “Para tamu itu sudah terlanjur kita terima dan telah ditempatkan di gandhok kanan. Di gandhok kanan ada Kiai Sabda Dadi yang dulu pernah membuat Ki Bango Lamatan lari terbirit birit.”
Sekar Mirah menahan senyum mendengar ucapan mbokayunya. Dalam hati dia pun mulai mempertimbangkan pendapat mbokayunya itu.
“Selain itu, Ki Bango Lamatan juga membawa berita tentang kakang Agung Sedayu,” berkata Pandan Wangi selanjutnya yang membuat putri satu satunya Ki Demang Sangkal Putung itu terperanjat.
“He?! Kakang Agung Sedayu?”
“Ya, Mirah. Ki Bango Lamatan menjelaskan bahwa seharusnya suamimu itu datang bersama sama rombongan Ki Gede Matesih.
Namun karena sesuatu hal, ayah Bagus Sadewa itu masih harus tinggal di kotaraja untuk beberapa hari.”
“He?!” seru Sekar Mirah terkejut. Tanpa sadar dia segera berdiri dari tempat duduknya.
“Mengapa mbokayu? Mengapa?” tanyanya kemudian dengan suara setengah histeris sambil maju dua langkah dan mengguncang lengan mbokayunya.
Pandan Wangi tersenyum sambil melepaskan cengkeraman tangan Sekar Mirah di lengannya. Jawabnya kemudian, “Mirah! Engkau tidak usah mengerahkan ilmu perguruan Kedung Jati kalau hanya ingin mendengar keterangan dariku!”
“Ah, mbokayu!” seru Sekar Mirah sambil bersiap mencubit lengan Pandan Wangi.
Namun putri satu satunya Ki Gede Menoreh itu dengan lincah segera berkelit sambil berdiri dari tempat duduknya dan berkata, “Jika engkau menyerangku terus dengan ilmu perguruan Kedung Jati, aku tidak akan memberi keterangan apapun tentang suamimu itu!”
“Ah!” desah Sekar Mirah sambil menghentikan langkahnya yang akan memburu Pandan Wangi.
Kemudian sambil memandang mbokayunya itu dengan sebuah senyum yang tersungging di bibir, dia berkata, “Baiklah mbokayuku yang cantik. Aku pasrah. Biarlah aku rela mbokayu meminta upah apa saja, meskipun cinta harus dibagi dua!”
“Hush!” sela Pandan Wangi dengan wajah memerah dadu, “Jaga ucapanmu, Mirah!”
Namun Sekar Mirah justru malah tersenyum senyum menggoda. Sementara Damarpati yang melihat kedua perempuan parobaya itu
bercanda hanya dapat mengerutkan keningnya dalam dalam karena tidak mengerti apa maksud semua itu.
“Nah, sekarang aku sudah siap menerima berita itu, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tetap menyungging senyum, “Apapun upah yang diminta mbokayu, aku sudah ikhlas lahir batin.” “Ah!” kembali seleret warna merah menghiasi wajah yang catik nan ayu itu. Sedangkan Sekar Mirah justru telah tertawa cekikikan. “Sudahlah Mirah,” berkata Pandan Wangi pada akhirnya sambil menarik nafas dalam dalam untuk meredakan debar di dadanya, “Sebenarnya kakang Agung Sedayu seharusnya memimpin rombongan dari Matesih itu. Namun karena masih ada tugas dari Pangeran Pati di Mataram, kakang Agung Sedayu masih tertahan di kotaraja barang dua atau tiga hari.”
Tampak kepala Sekar Mirah terangguk angguk. Namun sebelum dia memberikan tanggapan, tiba tiba terdengar sebuah pertanyaan dari arah pintu bilik, “Bagaimana dengan kakang Glagah Putih, Nyi? Apakah dia ikut?”
Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu berpaling. Ternyata Rara Wulan telah kembali dari pakiwan dan sedang melangkah memasuki bilik.
“Rara,” berkata Pandan Wangi kemudian, “Aku belum tahu tentang suamimu itu. Marilah kita ke ruang dalam untuk ikut menghadiri makan malam bersama tamu tamu kita. Nanti kita dapat bertanya segala sesuatunya.”
“Baik, Nyi,” jawab Rara Wulan sambil bergegas menuju ke sebuah geledhek dari kayu jati yang terletak di sudut bilik.
“Rara,” tegur Sekar Mirah sambil berpaling ke arah Rara Wulan yang akan membuka geledhek, “Tidak usah berhias dan berganti baju. Rapikan saja sanggulmu!”
“Baik, Nyi,” sahut Rara Wulan sambil kembali menutup geledhek. “Engkau ikut, Damarpati!“ berkata Sekar Mirah kemudian kepada Damarpati sambil membenahi sanggulnya.
“Maaf Nyi, aku di sini saja menjaga Bagus Sadewa,” jawab Damarpati sambil menggelengkan kepalanya.
Sejenak Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling pandang. Namun akhirnya Sekar Mirah mengalah, katanya kemudian, “Baiklah kalau memang itu kemauanmu. Tapi kalau engkau merasa lapar, pergilah ke dapur. Mintalah makan dan jangan lupa jika Bagus Sadewa rewel, beritahu aku.”
“Ya Nyi,” jawab Damarpati gembira sambil merebahkan tubuhnya di sisis Bagus Sadewa yang sedang lelap. Gadis kecil itu terlihat sangat sayang kepada Bagus Sadewa dan ingin selalu berada di dekatnya. “Marilah Mirah! Marilah Rara!” berkata Pandan Wangi kemudian sambil melangkah keluar bilik. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun mengikutinya dari belakang.
Ketika ketiga perempuan itu kemudian menyempatkan menengok dapur terlebih dahulu, ternyata hidangan sudah dibawa ke ruang tengah beberapa saat tadi.
“Semuanya sudah siap, Nyi,” berkata perempuan parobaya itu sambil menghampiri Pandan Wangi.
“Minumannya?” bertanya Pandan Wangi selanjutnya.
“Sudah, Nyi. Wedang sereh yang hangat dan air kendi yang segar. Semuanya sudah kami siapkan.”
Tampak kepala ketiga perempuan itu terangguk angguk. Tiba tiba pandangan mata Pandan Wangi melihat beberapa sisir pisang yang sudah masak tergeletak di atas amben.
“Bagaimana dengan buahnya? Apa kalian sudah siapkan juga?” bertanya Pandan Wangi kemudian.
“Maaf Nyi,” jawab perempuan paro baya itu sambil membungkuk, “Buah akan kami keluarkan setelah mangkuk mangkuk kotor nanti kami ambil. Sebagai gantinya kita suguhkan buah dan beberapa penganan kecil untuk teman mengobrol.”
Kembali tampak kepala ketiga perempuan itu terangguk angguk. “Baiklah, terima kasih. Kami akan ke ruang tengah,” berkata Pandan Wangi selanjutnya sambil melangkah diikuti oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan.
“Silahkan Nyi. Silahkan,” jawab perempuan paro baya itu sambil mengangguk.
Demikianlah ketiga perempuan perkasa itu pun kemudian dengan beriringan memasuki ruang tengah. Begitu Pandan Wangi membuka pintu, tampak para tamu sudah duduk melingkar berhadapan dengan Ki Gede Menoreh dan Kiai Sabda Dadi.
“Kemarilah!” berkata Ki Gede Menoreh kemudian begitu melihat ketiga perempuan itu muncul dari balik pintu.
Ketiga perempuan itu pun dengan bergegas segera mengambil duduk di samping Ki Argapati.
Dalam pada itu Ratri yang duduk di sebelah ayahnya hampir tak berkedip memandangi Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kadangkala pandangan matanya beralih ke Pandan Wangi, namun kemudian kembali ke Sekar Mirah dan Rara Wulan. Tampaknya putri Matesih itu sepertinya sedang membuat perbandingan perbandingan.
“Kedua duanya sama sama cantik,” membatin Ratri kemudian dengan tetap melekatkan pandangannya ganti berganti kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah, “Di usia yang mendekati separuh abad, keduanya masih terlihat cantik dan lincah. Aku tidak bisa membayangkan keduanya ketika masih remaja. Tentu banyak laki laki yang telah patah hati.”
Namun ternyata Ratri sebagai gadis yang masih lugu telah menemukan suatu perbedaan yang sangat mencolok antara keduanya.
“Nyi Pandan Wangi pandangan matanya tampak selalu sayu bahkan kadang terlihat agak murung. Berbeda denang Nyi Sekar Mirah, sinar matanya terlihat penuh gairah hidup namun menyisakan sedikit kesombongan dan mungkin karena pengaruh gejolak hatinya,” Ratri berhenti berangan angan sejenak. Lanjutnya kemudina, “Ah, entahlah. Aku tidak berani dengan gegabah menilai kedua perempuan itu. Namun dari sisi ketenangan dan kelembutan, aku lebih memilih Nyi Pandan Wangi.”
Ketika pandangan Ratri kemudian beralih ke Rara Wulan, tampak kerut merut menghiasi keningnya.
“Perempuan muda yang tampak sedang hamil itu pasti istri Glagah Putih,” membatin Ratri kemudian, “Cantik dan terlihat bukan keturunan dari pidak pedarakan. Gerak geriknya halus seperti puteri puteri bangsawan.”
Tiba tiba lamunan Ratri terputus ketika terdengar tawa Ki Gede Menoreh sambil berkata, “Marilah kita mulai makan malam bersama ini. Jika kita hanya saling menunggu, mungkin sampai menjelang dini hari nanti, tidak ada satupun yang menyentuh makanan ini.”
“Ah,” terdengar orang orang yang berada di ruang tengah itu tertawa. Ketika Ki Gede Menoreh kemudian dengan dilayani Pandan Wangi
mulai mengambil makanan, yang lain pun secara bergiliran mengikutinya.
“Terima kasih,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian ketika Pandan Wangi selesai mengambilkan makanan ayahnya. Sementara yang lain pun mulai mengambil makanan di tempat makan masing masing. “Tidak ada salahnya, sambil makan kita berbincang bincang sedikit,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil mulai menyuapi mulutnya. Setelah menelan makanan, barulah Ki Argapati melanjutkan, “Serba sedikit kami warga Menoreh sebenarnya ingin mendengar kisah Ki Bango Lamatan yang telah menjadi utusan Pangeran Pati Mataram.”
Ki Bango Lamatan yang sedang mnyenduk nasi itu berhenti sebentar. Namun sambil meneruskan menyenduk nasi, Ki Bango Lamatan pun menyahut, “Terima kasih, Ki Gede telah memberi waktu kepadaku untuk sekedar bercerita. Semoga ceritaku in tidak membosankan sehingga akan membuat semua orang mengantuk.” “Ah, tentu tidak,” jawab Kiai Sabda Dadi dengan serta merta, “Bagaimana mungkin kami akan mengantuk jika cerita itu nantinya begitu ngedab edabi sehingga membuat kami tegang sepanjang waktu.”
Orang orang yang mendengar pun tertawa. Sedikit demi sedikit suasana mulai mencair, tidak ada lagi ketegangan di antara mereka. “Baiklah,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian setelah selesai menyiapkan makan malamnya, “Aku akan mulai dari perjalananku di bukit Menoreh.”
Orang orang yang berada di ruang tengah itu pun mulai bersungguh sungguh mendengarkan cerita Ki Bango Lamatan.
Ketika Ki Gede Menoreh kemudian dengan dilayani Pandan Wangi mulai mengambil makanan, yang lain pun secara bergiliran mengikutinya.
“Tentu semuanya masih ingat sewaktu perang tanding antara Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra berakhir,” berkata Ki Bango Lamatan memulai ceritanya, “Dengan terbunuhnya Panembahan Cahya Warastra, aku hampir kehilangan akal. Namun aku bertekat untuk menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra itu.”
Segera saja wajah wajah yang berada di ruangan itu menegang. Bahkan Kiai Sabda Dadi telah beringsut setapak sambil bertanya dengan suara sedikit keras, “Menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra? Bagaimana caranya?”
Ki Bango Lamatan tersenyum sejenak. Setelah menarik nafas panjang, barulah dia menjawab, “Malam itu setelah selesainya pertempuran, aku telah membawa jasad Panembahan Cahya Warastra ke puncak bukit Menoreh.”
“O,” tanpa sadar Ki Gede Menoreh berdesah. Katanya kemudian, “Pantas jasad Panembahan Cahya Warastra saat itu dilaporkan telah hilang. Kami semua menjadi khawatir jika Panembahan itu hidup kembali dan melakukan balas dendam.”
“Ah,” hampir semua orang berdesah. Bahkan diam diam Ratri yang mendengar pembicaraan itu telah bergidik ngeri.
“Alangkah saktinya orang yang bernama Panembahan Cahya Warastra itu, ” demikian puteri Matesih itu berangan nagan, “Jika dia benar benar menguasai sebuah ilmu yang kalis dari kematian, tentu tidak ada seorang pun yang akan mampu mengalahkannya di muka bumi ini.”
Namun lamunan Ratri menjadi buyar ketika Ki Bango Lamatan meneruskan ceritanya.
“Pada awalnya aku memang beranggapan demikian,” berkata Ki Bango Lamatan selanjutnya, “Aku membawa jasad Panembahan
Cahya Warastra dengan naik kuda sampai di kaki bukit Menoreh. Dengan penuh harapan dapat menghidupkan kembali Penembahan Cahya Warastra, aku menghadap Begawan Cipta Hening di goa yang terletak di puncak bukit Menoreh.”
“Begawan Cipta Hening?” hampir bersamaan mereka yang ada di ruang dalam itu mengulang. Nama itu terasa masih asing di telinga mereka.
“Begitulah,” berkata Ki Bango Lamatan selanjutnya, “Begawan Cipta Hening mempunyai sejenis ilmu yang bernama ilmu sulih nyawa. Dimana seseorang yang sudah mati dapat dihidupkan kembali dengan cara mencari penggantinya atau sulih nyawa untuk menggantikan nyawa Panembahan Cahya Warastra.”
“Dan Ki Bango Lamatan berhasil?” sela Ki Gede Menoreh dengan serta merta.
Ki Bango Lamatan menggeleng. Jawabnya kemudian, “Orang yang harus menggantikan nyawa Panembahan Cahya Warastra itu ternyata Raden Mas Rangsang yang sedang berkelana di tegal kepanasan di puncak bukit Menoreh. Sebenarnya aku sudah mampu membuatnya jatuh pingsan. Namun tiba tiba datang seseorang yang menyelamatkannya.”
“Siapa?” hampir berbareng mereka yang berada di ruangan itu menyela.
“Anjani,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian datar tanpa ada kesan yang berlebihan.
“He! Anjani?” hampir berteriak Sekar Mirah dan Pandan Wangi bersamaan menanggapi. Sedangkan Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi hanya mengerutkan kening mereka dalam dalam.
Untuk beberapa saat Ki Bango Lamatan menjadi heran. Tanyanya kemudian dengan nada suara yang sedikit ragu, “Kalian mengenal Anjani?”
“Tentu saja!” sahut Sekar Mirah dengan suara sedikit keras dan sinar mata yang berapi api. Untung Pandan Wangi segera nenggamitnya sehingga Sekar Mirah mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kata katanya.
Ternyata Ki Gede Menoreh segera menengahi. Katanya kemudian dengan nada yang sareh, “Kami semua keluarga Menoreh mengenal dengan baik Rara Anjani. Namun kami mengenalnya sebelum Rara Anjani diambil selir oleh Pangeran Pati Mataram.”
Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam dalam. Sementara Ki Gede Matesih dan Ratri serta kedua pengawal itu hanya terlihat diam saja. Mereka memang tidak banyak mengetahui peristiwa itu.
“Nah,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “Agaknya kita semua sedang terkesima dengan cerita Ki Bango Lamatan sehingga makanan ini menjadi dingin. Marilah kita nikmati terlebih dahulu makan malam ini.”
Orang orang yang berada di ruang dalam itu pun kemudian tersenyum sambil menganguk angguk. Beberapa orang yang belum mengambil makanan segera mengambil. Sejenak kemudian mereka pun telah disibukkan dengan makanan masing masing.
“Silahkan Ki Gede Matesih menambah,” berkata Ki Gede Menoreh tiba tiba begitu melihat tamunya itu sudah meletakkan piringnya, “Masih cukup banyak makanan ini untuk kita semua.”
“Ki Gede Menoreh benar,” sahut Kiai Sabda Dadi kemudian, “Selain nanti malam kalau lapar lagi di dapur sudah tidak ada yang melayani, kedai kedai di sekitar tempat ini pun sudah tutup.”
“Ah,” orang orang yang mendengar kelakar kakek Damarpati itu pun telah tersenyum.
Namun Ki Gede Matesih ternyata telah menggeleng sambil menjawab, “Terima kasih Ki Gede. Sudah lebih dari cukup. Di usia menjelang setengah abad ini, memang selera makan sudah mulai menurun.”
“Ki Gede Matesih benar,” sahut Ki Bango Lamatan kemudian juga sambil meletakkan piringnya, “Kehidupan ini seakan sebuah roda yang berputar. Pada saatnya nanti kita akan dikembalikan kepada sifat sifat kita sebagaimana anak kecil lagi, walaupun ujud kita justru semakin bertambah renta.”
“Disitulah letak kesulitannya,” sela Kiai Sabda Dadi dengan serta merta, “Seseorang jika disuruh memilih, tentu akan memilih mengasuh anak kecil atau bayi sekalipun dari pada harus mengasuh seseorang yang sudah tua dan pikun. Mengasuh anak kecil walaupun kita terasa letih dan lelah, namun kelucuannya dapat menghibur kita. Akan tetapi banyak anak yang tidak sanggup mengasuh orang tuanya yang sudah tua dan pikun, karena kelucuannya justru akan terasa sangat menjengkelkan.”
“Ah,” orang orang pun tampak berdesah. Namun Ki Gede Menoreh segera menanggapi, “Tidak semua anak seperti itu perlakuannya terhadap kedua orang tuanya yang sudah tua. Semoga kita dijauhkan dari penyakit pikun dan diberi anak anak yang berbakti.” Tampak kepala orang orang yang berada di ruang tengah itu terangguk angguk. Sementara Pandan Wangi yang berada di sebelah kiri Ki Gede telah mencondongkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya ke bahu ayahnya walau hanya sekejap. Sedangkan Sekar Mirah tampak hanya menundukkan kepalanya saja.
Semua kejadian itu tidak lepas dari pengamatan Ratri. Gadis yang beranjak dewasa dengan segala kelebihannya itu seakan sedang memperbandingkan kedua perempuan perkasa itu.
Demikianlah jamuan makan malam bersama itu telah berakhir. Pandan Wangi dibantu Sekar Mirah dan Rara Wulan segera mengumpulkan piring dan mangkuk yang kotor. Dua orang perempuan parobaya pun segera muncul dari pintu dapur untuk membantu mengangkat mangkuk mangkuk serta piring piring yang kotor.
Ketika Ratri kemudian bangkit dari duduknya untuk membantu, ternyata Pandan Wangi telah mencegahnya.
“Ee, mau kemana?” bertanya Pandan Wangi kemudian sambil memberi isyarat Ratri untuk tetap duduk, “Biarlah ini menjadi urusan tuan rumah. Tamu sebaiknya duduk saja karena masih lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Besuk saja kalau mau membantu memasak.”
Orang orang pun tersenyum dan Ratri menjadi sedikit malu. Namun akhirnya dia pun duduk kembali.
Ketika para pembantu rumah Ki Gede kemudian menyuguhkan buah buahan dan minuman hangat, barulah Ki Gede berkata, “Nah, sekarang Ki Bango Lamatan dapat meneruskan ceritanya.”
Untuk beberapa saat Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Ketika dia kemudian menyadari semua pandangan mata tertuju ke arahnya, Ki Bango Lamatan pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Gede, aku akan meneruskan ceritaku, walaupun aku menjadi sedikit lupa sampai di mana ceritaku tadi.”
Orang orang pun tersenyum, namun Kiai Sabda Dadi segera menyahut, “Begawan Cipta Hening dengan ilmu sulih nyawanya itu,
Ki. Apakah berhasil menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra?”
Ki Bango Lamatan menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu apakah benar Begawan itu mempunyai ilmu sulih nyawa yang sangat aneh dan tidak masuk akal itu. Namun yang jelas aku telah dibuat pingsan oleh seseorang yang bernama Ki Tanpa Aran.”
“Ki Tanpa Aran?” kembali Sekar Mirah berseru, bahkan kali ini lebih keras.
Semua orang terkejut mendengar seruan Sekar Mirah itu. Tanpa sadar semua mata sekarang tertuju ke arahnya.
“Apakah engkau mengenal Ki Tanpa Aran itu, Mirah?” bertanya Ki Gede Menoreh kemudian.
Untuk beberapa saat wajah Sekar Mirah dihiasi oleh warna semburat merah, sedangkan Pandan Wangi segera menundukkan wajahnya yang terlihat sedikit sembab.
“Aku tidak mengenalnya, Ki Gede. Aku bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu ketika terjadi pertempuran di lemah cengkar beberapa waktu yang lalu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Tanpa sadar dia telah melirik dengan sudut matanya ke arah Pandan Wangi yang tertunduk di sebelahnya.
“Ki Tanpa Aran adalah murid sekaligus sahabat Kanjeng Sunan Muria,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian begitu melihat sepasang mata Pandan Wangi yang berkaca kaca, “Sekarang Ki Tanpa Aran telah menjadi pemomong Pangeran Pati atas saran dari Kanjeng Sunan Muria.”
Tampak semua kepala terangguk angguk tak terkecuali Pandan Wangi. Dengan sekuat tenaga dia berusaha menepis kenangan pahit yang terjadi di lemah cengkar beberapa saat yang lalu.
“Semoga kakang Swandaru tenang di alam sana,” membatin Pandan Wangi kemudian sambil tetap menundukkan wajahnya, “Sebagai istri yang berbakti, aku akan melaksanakan wasiat kakang Swandaru kepada kakang Agung Sedayu, apapun isi wasiat itu.” “Jadi bagaimana kejadian selanjutnya?” tiba tiba pertanyaan Kiai Sabda Dadi telah membangunkan lamunan Pandan Wangi, “Apakah Panembahan Cahya Warastra hidup kembali atau mati untuk seterusnya?”
Ki Bango Lamatan menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu, Ki. Begitu aku tersadar dari pingsanku, aku mendapatkan diriku di dalam goa di puncak pebukitan Menoreh. Di dalam goa itu ada beberapa orang yang sedang menghadap Kanjeng Sunan Muria.” Tampak wajah wajah yang berada di ruang dalam itu masih diselimuti keheranan. Kembali terdengar Kiai Sabda Dadi bertanya, “Terus jasad Panembahan Cahya Warastra itu bagaimana?”
“Jasad Panembahan Cahya Warastra itu telah dikebumikan di dalam goa itu, entah oleh siapa,” jawab Ki Bango Lamatan, “Aku hanya melihat sebuah gundukan tanah yang masih basah dan memang menurut Kanjeng Sunan itu adalah kuburan Panembahan Cahya Warastra.”
“Syukurlah!” hampir bersamaan Ki Gede Menoreh dan Kiai Sabda Dadi telah berdesis perlahan. Agaknya kedua orang tua itu sangat berkepentingan dengan berita kematian kembaran Kecruk Putih itu. “Kami pada waktu itu sempat merasa cemas,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian menjelaskan, “Ketika kami mendapat laporan bahwa jasad Panembahan Cahya Warastra telah hilang, kami benar benar menjadi kacau. Jika benar beritanya bahwa Panembahan itu mempunyai ilmu yang kalis dari sakit dan mati, kami menjadi was was jika dia benar benar hidup kembali. Tidak akan ada lagi yang
akan mampu melawannya karena pada sat itu Ki Rangga juga sedang terluka sangat parah.”
Kembali kepala orang orang yang hadir di ruangan itu terangguk angguk.
“Nah, sejak itulah aku kemudian menjadi murid Ki Ajar Mintaraga, salah seorang murid dan sekaligus sahabat Kanjeng Sunan selain Ki Tanpa Aran. Atas saran Kanjeng Sunan pula, aku diperintahkan untuk suwita di Mataram menjadi pengawal pribadi Pangeran Pati,” berkata Ki Bango Lamatan mengakhiri cerita tentang dirinya.
Untuk beberapa saat mereka yang berada di ruang dalam itu menjadi termangu mangu. Mereka sama sekali tidak menyangka jika Ki Bango Lamatan yang pernah menyerbu Menoreh dengan pasukan segelar sepapan itu pada akhirnya mendapatkan pencerahan dan dapat mengabdikan sisa hidupnya untuk jalan yang diridhoi oleh Yang Maha Agung.
“Bersyukurlah, Ki,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian menanggapi kisah Ki Bango Lamatan itu, “Ternyata selama kita masih hidup di atas bumi ini, semuanya dapat berubah. Kita kita ini pun tidak menutup kemungkinan dapat terjerumus ke dalam lembah kesesatan jika tidak selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung.”
“Benar Ki Gede,” sahut Ki Bango Lamatan, “Namun pasuwitanku ke ndalem kapangeranan tidak langsung diterima. Aku masih harus melewati masa pendadaran terlebih dahulu.”
Tampak semua kening berkerut. Ki Gede Menoreh pun tanpa sadar telah bertanya, “Pendadaran apalagi, Ki?”
Ki Bango Lamatan tersenyum. Jawabnya kemudian, “Aku diperintahkan untuk mengikuti Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan kawan melawat ke gunung Tidar.”
“Ke perguruan Sapta Dhahana?” sela Kiai Sabda Dadi.
Ki Bango Lamatan mengangguk. Jawabnya kemudian, “Benar, Ki. Kami berlima diperintahkan untuk mengadakan penyelidikan ke gunung Tidar dan jika memungkinkan sekalian menghancurkannya karena perguruan itu telah menjalin kerja sama dengan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen yang berniat memberontak kepada Mataram.
“Dan ternyata kalian telah berhasil?” sela Kiai Sabda Dadi sekali lagi. “Atas dukungan Ki Gede Matesih dan para pengawalnya serta pertolongan Yang Maha Agung, kami telah berhasil,” jawab Ki Bango Lamatan yang membuat mereka yang ada di ruangan itu menarik nafas dalam dalam. Semua mata pun sekarang tertuju kepada Ki Gede Matesih yang sedari tadi hanya diam saja.
Merasa menjadi pusat perhatian, Ki Gede Matesih segera bergeser setapak maju. Katanya kemudian, “Sebenarnyalah para pengawal perikan Matesih hanya membantu. Para pemimpin perguruan Sapta Dhahana telah dapat dilumpuhkan terlebih dahulu oleh Ki Rangga dan kawan kawan.”
“Namun jika pasukan pengawal Matesih tidak datang tepat saat Matahari terbit, tentu kami akan kewalahan menghadapi sekian banyak cantrik dan putut padepokan Sapta Dhahana,” sela Ki Bango Lamatan.
“Benar, Ki,” jawab Ki Gede Matesih kemudian sambil tersenyum, “Namun kami bergerak ke gunung Tidar malam itu karena ada berita yang dibawa oleh Ki Ajar Mintaraga dan cantrik Gatra Bumi.” “Cantrik Gatra Bumi?” kembali Sekar Mirah berseru dengan kening yang berkerut merut. Tanyanya kemudian, “Sukra maksud Ki Gede Matesih?”
Giliran Ki Gede Matesih yang kebingungan. Jawabnya kemudian sambil menggeleng, “Aku tidak tahu siapa Sukra itu, Nyi. Yang aku ketahui murid Ki Ajar Mintaraga adalah cantrik Gatra Bumi.”
“Bukankah Sukra pernah datang bersama Kanjeng Sunan dan Rara Anjani ke rumah ini?” sahut Ki Gede Menoreh sambil berpaling ke arah Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah tidak menanggapi lagi. “Pertempuran yang sangat dahsyat,” berkata Ki Gede Matesih selanjutnya begitu orang orang tidak menaruh perhatian lagi tentang cantrik Gatra Bumi, “Namun akhirnya perguruan Sapta Dhahana dapat dilumpuhkan.”
“Apakah Ki Rangga dan kawan kawan selamat semua, Ki Gede?” bertanya Ki Gede Menoreh mendahului Sekar Mirah yang baru saja akan membuka mulut.
Tampak Ki Gede Matesih ragu ragu sejenak. Pandangan matanyapun segera beralih kepada Ki Bango Lamatan.
Ki Bango Lamatan tanggap. Setelah menarik nafas terlebih dahulu, barulah dia kemudian menjawab, “Setelah pertempuran selesai, ternyata Ki Jayaraga telah terluka walaupun tidak terlalu parah. Sedangkan Ki Rangga menurut Ki Waskita yang menyaksikan benturan terakhir melawan Kiai Damar Sasangka, telah terluka parah dan dibawa oleh Kanjeng Sunan bersama putranya ke gunung Muria.”
“Oh!” seketika terdengar seruan dua orang perempuan yang hampir bersamaan. Ketika orang orang itu berpaling, tampak Pandan Wangi sedang merangkul Sekar Mirah yang tiba tiba saja menjadi lemas dan berkunang kunang.
“Ki Rangga sudah sembuh dari sakitnya, Nyi,” cepat cepat Ki Bango Lamatan menambahkan keterangannya, “Bahkan sudah bersama
kami dalam rombongan ini dari perdikan Matesih kembali ke Mataram untuk melaporkan hasil tugasnya kepada Ki Patih.”
Mendengar keterangan Ki Bango Lamatan, Sekar Mirah pun bagaikan mendapat kekuatan kembali. Namun tak urung kedua perempuan yang sama sama mempunyai ikatan batin dengan Ki Rangga itu justru telah menangis sambil berpelukan erat.
Sejenak suasana menjadi hening. Rara Wulan yang duduk di sebelah Sekar Mirah pun tampak sedang menahan air matanya. Sedari tadi dia belum mendengar berita tentang suaminya.
Maka sambil sedikit terisak, Rara Wulan pun kemudian bertanya, “Maafkan aku Ki. Sedari tadi aku belum mendengar berita tentang suamiku, Glagah Putih. Apakah dia baik baik saja?”
Tanpa sadar Ki Gede Matesih dan Ki Bango Lamatan saling berpandangan. Segera saja mereka berdua menyadari bahwa perempuan cantik yang tampak sedang mengandung itu adalah istri Glagah Putih.
Ki Bango Lamatan segera beringsut setapak. Jawabnya kemudian, “Maafkan kami. Kami belum menyinggung tentang Glagah Putih,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Mungkin dalam waktu dekat dia bersama Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan kembali ke perdikan Menoreh. Mereka bertiga sengaja tetap tinggal di perdikan Matesih untuk menjaga segala kemungkinan setelah jatuhnya Sapta Dhahana. Juga untuk membantu para pengawal menjaga keamanan selama ditinggal oleh Ki Rangga dan Ki Gede Matesih.”
Segera saja wajah Rara Wulan berbinar binar. Sebuah senyum pun segera tersungging dibibirnya. Sambil tersenyum dia pun segera mengangguk ke arah Ki Bango Lamatan sambil berdesis perlahan, “Terima kasih, Ki.”
Ki Bango Lamatan tidak menjawab hanya tampak kepalanya saja yang terangguk angguk. Sementara Ki Gede Matesih yang mengetahui keadaan Glagah Putih yang sebenarnya telah menarik nafas dalam dalam. Agaknya Ki Gede Matesih dapat menerima keterangan Ki Bango Lamatan itu walaupun Ki Bango Lamatan tidak menjelaskan secara terperinci keadaan Glagah Putih yang sebenarnya karena melihat keadaan Rara Wulan yang sedang mengandung.
Tiba tiba mereka yang berada di ruang tengah itu telah dikejutkan oleh derit pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan pringgitan. Sejenak kemudian tampak seorang anak laki laki yang belum meninggalkan masa kanak kanaknya memasuki ruang tengah.
“O, inilah cucu kesayanganku!” seru Ki Gede Menoreh kemudian sambil tertawa lebar dan melambaikan tangannya, “Kemarilah, nak! Beri salam dulu kepada tamu tamu kakek!”
Bayu Swandana, anak laki laki satu satunya Pandan Wangi itu tampak ragu ragu. Namun ketika sekali lagi Ki Gede Menoreh memanggilnya dia segera melangkah mendekat.
Orang orang yang berada diruangan itu pun tertawa gembira ketika melihat tingkah lucu anak yang agak sedikit gemuk itu. Dengan sedikit terbungkuk bungkuk Bayu Swandana pun kemudian menyalami satu persatu tamu tamu dari perdikan Matesih itu.
“Siapa namamu, cah bagus?” bertanya Ki Gede Matesih ketika Bayu Swandana menyalaminya.
“Bayu Swandana!” jawabnya dengan suara sedikit keras yang membuat orang orang tertawa.
Ki Bango Lamatan yang duduk di sebelah Ki Gede Matesih tampak tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika Bayu Swandana kemudian menyalaminya, tanpa sadar pengawal pribadi