• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Indeks Kerentanan Saat Ini Sub Bab 1.7

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Indeks Kerentanan Saat Ini Sub Bab 1.7"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Model indeks kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari model statis indeks kerentanan lingkungan dan model dinamik indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Model statis indeks kerentanan lingkungan dimaksudkan untuk menghitung indeks kerentanan saat ini (sesaat), sedangkan model dinamik indeks kerentanan lingkungan digunakan untuk melakukan prediksi dinamika kerentanan pada masa yang akan datang.

4.1.1. Indeks Kerentanan Saat Ini

Seperti telah disebutkan dalam Sub Bab 1.7, konsep kerentanan lingkungan yang diacu dalam penelitian ini adalah konsep kerentanan yang dikemukakan Turner et al. (2003), bahwa kerentanan (V) merupakan fungsi overlay dari exposure (E), sensitivity (S), dan adaptive capacity (AC), yang selanjutnya diekspresikan secara matematika oleh Metzger et al. (2006) seperti pada persamaan (1). Persamaan (1) tersebut diekspresikan lebih lanjut dalam bentuk persamaan matematika oleh Hamzah et al. (in press) dan juga memiliki kesamaan yang dikembangkan UNU-EHS (2006) menjadi:

V = (E x S)/AC (18)

Dengan menjabarkan parameter kerentanan seperti yang diadopsi dari Polsky et al. (2007), dimensi E, S dan AC masing-masing dapat dijabarkan sebagai sebuah persamaan.

1. Persamaan Matematika untuk Dimensi Exposure

Sebagaimana telah disebutkan pada Gambar 12, dimensi exposure terdiri dari 7 parameter, yaitu laju kenaikan muka laut (SR), laju perubahan garis pantai (ER), tinggi gelombang (GL), rata-rata tunggang pasang (PS), kejadian tsunami (TS), laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk (PD dan KP). Masing-masing parameter tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam kaitannya dengan penyusunan persamaan indeks kerentanan dimensi exposure terdapat sebuah pedoman yang diacu dalam penelitian ini. Pedoman tersebut dikemukakan Villa dan McLeod

(2)

(2002) yang menyebutkan bahwa apabila komponen yang saling berinteraksi, maka hubungan antara sub indikator atau parameter akan lebih sesuai jika menggunakan perkalian (multiplicative), sedangkan komponen yang tidak berinteraksi lebih sesuai menggunakan penjumlahan (additive). Dari 7 parameter tersebut di atas, terdapat 4 parameter yang memenuhi pedoman yang dikemukakan Villa dan McLeod (2002), yaitu adanya interaksi antara kenaikan muka laut dengan laju perubahan garis pantai/erosi sebagaimana digambarkan BRUUN dalam persamaan Bruun Rule yang diadopsi Cooper dan Pilkey (2004) yaitu R = SGL/(b + h) yang mana R adalah kemunduran garis pantai, G adalah faktor menunjukkan kehilangan sedimen, S adalah kenaikan muka laut, L adalah lebar dari profil pantai, b adalah tinggi tanggul dan h adalah kedalaman perairan pantai. Interaksi lainnya adalah antara laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk, semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan persamaan indeks kerentanan adalah perbedaan signifikansi dari masing-masing parameter. Perbedaan signifikansi ini digambarkan dalam bobot setiap parameter. Berdasarkan dua pertimbangan di atas, persamaan indeks kerentanan dimensi exposure dituliskan sebagai berikut:

IE = α1 (SR x ER) + α2 GL + α3 PS + α4 TS + α5 (PD x KP) (19)

Keterangan : α adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil.

2. Persamaan Matematika untuk Dimensi Sensitivity

Parameter kerentanan dimensi sensitivity terdiri dari 5 parameter, yaitu tipologi pantai (TP), ketinggian atau elevasi daratan pulau (EL), kemiringan atau slope (SL), pola penggunaan lahan (PL), dan tipologi pemukiman (PP). Berbeda dengan parameter dimensi exposure, parameter dimensi sensitivity seluruhnya tidak ada yang berinteraksi, sehingga model persamaan indeks kerentanan adalah perjumlahan seluruh parameter dengan mempertimbangkan bobot setiap parameter. Dengan demikian persamaan indeks kerentanan dimensi sensitivity dituliskan sebagai berikut:

(3)

IS = β1 EL + β2 TP + β3 SL + β4 PL + β5 PP (20)

Keterangan : β adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil.

3. Persamaan Matematika untuk Dimensi Adaptive Capacity

Parameter dimensi adaptive capacity terdiri dari habitat pesisir (HP), ekosistem terumbu karang (TK), ekosistem mangrove (MR), ekosistem lamun (LM) dan konservasi laut (KL). Masing-masing parameter tersebut memiliki peran yang berbeda dalam menentukan kemampuan adaptasi pulau-pulau kecil. Sehubungan dengan itu, dalam menyusun persamaan indeks kerentanan untuk dimensi adaptive capacity juga mempertimbangkan peran atau signifikansinya yang dibuat dalam bentuk bobot. Persamaan matematika untuk indeks kerentanan dimensi adaptive capacity dituliskan sebagai berikut:

IAC = ε1 HP + ε2 TK + ε3 MR + ε4 LM + ε5 KL (21)

Keterangan : ε adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil.

Dengan mensubstitusi persamaan (19), (20), dan (21) ke dalam persamaan (18) diperoleh persamaan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil (IK-PPK) sebagai berikut:

IK-PPK = IE x IS/IAC

(22) Untuk mendapatkan nilai minimum dan maksimum dari persamaan (22), dilakukan dengan mensubstitusi nilai setiap parameter yang berkisar dari 1 sampai 5. Dengan menggunakan bobot dari masing-masing parameter pada persamaan (19), (20), dan (21) dengan bobot pada Tabel 18, diperoleh nilai minimum IK-PPK sebesar 0.20 dan nilai maksimum sebesar 76.00. Hasil perhitungan nilai indeks minimum dan maksimum disajikan pada Lampiran 1. Dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum tersebut, skala penilaian tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dibagi menjadi 4 kategori kerentanan (Doukakis 2005) sebagai berikut:

(4)

0.20 - 6.04 : Kerentanan rendah (low) 6.05 - 18.18 : Kerentanan sedang (moderate) 18.19 - 40.48 : Kerentanan tinggi (high)

40.49 - 76.00 : Kerentanan sangat tinggi (very high) 4.1.2. Proyeksi Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

Kerentanan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang dinamis, yang berarti kerentanan tersebut akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, persamaan (22) di atas dapat diturunkan terhadap perubahan waktu, untuk mendapatkan laju perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.

Nilai kerentanan (indeks kerentanan) pulau-pulau kecil setiap saat berubah, dengan laju kerentanan yang sebanding dengan besarnya indeks kerentanan pada saat itu, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

V = V (t), dimana V > 0 (23)

Besarnya laju perubahan kerentanan pulau-pulau kecil pada saat t:

(24) Karena laju perubahan dari indeks kerentanan setiap saat sebanding dengan besarnya indeks kerentanan pada saat itu, terdapat konstanta k ≠ 0, sehingga dV/dt = kV, k ≠ 0

dimana akan terjadi: k > 0 bila V bertambah dan k< 0 bilai V berkurang Persamaan di atas dapat diselesaikan sebagai berikut:

(25) Oleh karena nilai kerentanan lingkungan (IK-PPK) yang diperoleh dari persamaan (22), memiliki nilai maksimum sebesar 76.00, persamaan (25) dapat dituliskan menjadi:

(5)

Dengan melakukan penyelesaian secara integral dari persamaan (26), diperoleh bentuk persamaan dinamik kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil sebagai berikut:

Vt = V0e-kt + 76.00 (1 – e-kt) (27)

Keterangan:

Vt = Indeks kerentanan pada waktu t

V0 = Indeks kerentanan awal

e = Dasar logaritma natural k = Koefisien kerentanan t = Waktu/tahun

Dengan model kerentanan pulau-pulau kecil seperti di atas, maka laju atau perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil pada waktu yang akan datang dapat diduga dengan lebih baik. Hasil penurunan persamaan dinamik indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil disajikan pada Lampiran 2.

4.1.3. Penentuan Bobot Parameter Kerentanan

Parameter kerentanan pada masing-masing dimensi kerentanan memiliki peran atau signifikansi yang berbeda terhadap besar kecilnya nilai indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Dalam kaitannya dengan signifikansi suatu parameter pada masing-masing dimensi kerentanan (exposure, sensitivity, adaptive capacity), Rao et al. (2008) dan Doukakis (2005) memberikan bobot yang lebih tinggi terhadap parameter yang memiliki signifikansi yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memberikan besaran bobot atau signifikansi dari setiap parameter, seperti pemberian nilai signifikansi secara langsung, penggunaan persamaan linear dan penggunaan matriks perbandingan sebagaimana yang dikemukakan oleh Villa dan McLeod (2002). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode matriks perbandingan karena metode ini dianggap paling sesuai dalam menggambarkan peran atau signifikansi dari setiap parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.

Metode matriks perbandingan pada prinsipnya adalah melakukan penilaian kepentingan relatif dua elemen dengan aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j harus sama dengan

(6)

1/3 kali pentingnya dibanding elemen i. Selain itu, perbandingan dua elemen yang sama akan menghasilkan angka 1, yang berarti peran atau signifikansinya sama pentingnya. Jika terdapat m elemen, akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran m x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks ini adalah n(n-1)/2 karena matriks reciprocal dan elemen-elemen diagonalnya sama dengan 1. Setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Oleh karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi exposure, sensitivity, dan adaptive capacity disajikan pada Tabel 18, sedangkan metode penghitungan disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 18. Bobot parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

Parameter Bobot Exposure SRxER 0.41 GL 0.21 PS 0.14 TS 0.14 PD x KD 0.10 Sensitivity EL 0.43 TP 0.21 SL 0.14 PL 0.11 PP 0.11 Adapative capacity HP 0.40 TK 0.20 MR 0.20 LM 0.10 KL 0.10

(7)

4.2. Karakteristik Geofisik 4.2.1. Pulau Kasu

Pulau Kasu adalah pulau petabah dari kelompok pulau berbukit yang banyak terdapat di gugus pulau-pulau kecil sekitar Pulau Batam sebagaimana yang dikemukakan Bengen dan Retraubun (2008). Pulau Kasu merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di Kecamatan Belakang Padang Kota Batam, dengan luas sekitar 46.45 ha. Pulau Kasu terletak dalam gugusan pulau-pulau kecil. Hal ini menyebabkan Pulau Kasu relatif terlindung dari terpaan gelombang. Pulau Kasu memiliki ekosistem pesisir yang sangat luas, khususnya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini berperan sebagai pelindung pantai atau daratan Pulau Kasu.

Pantai sekeliling Pulau Kasu secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu pantai bervegetasi, pantai berpasir, dan pantai berlumpur dengan panjang total sekitar 5 863.88 m. Pantai bervegetasi merupakan pantai terpanjang yang menyebar di bagian utara, timur, selatan dan barat, hanya sebagian kecil bagian pantai yang tidak ditumbuhi ekosistem mangrove. Panjang pantai Pulau Kasu yang ditumbuhi mangrove adalah sekitar 3 537.96 m atau sekitar 62.78 %. Pantai berpasir terdapat di bagian timur laut dengan panjang sekitar 1 004.35 m atau sekitar 17.13 %. Adapun pantai berlumpur terdapat di bagian timur memanjang sampai selatan yang merupakan kawasan pemukiman penduduk dengan panjang sekitar 1 178.36 atau sekitar 20.10 %. Meskipun Pulau Kasu memiliki bagian pantai berlumpur, namun karena pulau ini terlindung dari hempasan gelombang, kondisi pantai berlumpur tidak mengalami erosi. Hal sebaliknya yang terjadi adalah berkembangnya ekosistem mangrove di pantai berlumpur tersebut.

Pulau Kasu adalah pulau berbukit dengan ketinggian berkisar antara 0-25 m. Bagian pulau datar (ketinggian antara 0-1 m) hanya terdapat di sebagian kecil saja yaitu di sisi barat dan timur laut. Apabila dibandingkan dengan total luas daratan Pulau Kasu, luas daratan yang memiliki ketinggian 0-1 m ini hanya sekitar 15.52 % atau seluas 7.21 ha. Pulau Kasu terdiri dari dua pulau sangat kecil yang tersambung oleh hamparan vegetasi mangrove. Pada bagian barat terdapat Pulau Kasu Kecil yang tidak berpenghuni. Pulau inilah yang memiliki

(8)

lahan daratan yang relatif rendah. Adapun pada bagian timur Pulau Kasu sebagian besar daratannya berada pada ketinggian lebih dari 2 m. Sebagai pulau berbukit, kemiringan atau slope daratan Pulau Kasu relatif tinggi, yaitu antara 0-40 %. Kemiringan 0-8 % dijumpai di bagian barat dan tenggara yang mencakup areal seluas 17.34 ha atau sekitar 37.37 %, sedangkan areal lainnya seluas 20.06 ha memiliki kemiringan lebih dari 8 %. Peta elevasi Pulau Kasu berdasarkan kategori ketinggian dari permukaan laut disajikan pada Gambar 14, sedangkan peta kemiringan daratan pulau disajikan pada Gambar 15.

Tinggi gelombang di perairan Batam mencapai lebih dari 1.8 m. Meskipun tinggi gelombang di sekitar perairan Kota Batam cukup besar, namun karena Pulau Kasu berada diantara pulau-pulau kecil, menyebabkan pulau ini relatif terlindung dari hempasan gelombang. Selain itu, ekosistem mangrove yang cukup lebat tumbuh di sekitar pantai, menyebabkan pantai Pulau Kasu relatif aman dari proses erosi pantai. Data kenaikan muka laut yang diperoleh dari Data AVISO (Archiving, Validation and Interpretation of Satellites Oceanographic) (2009) menunjukkan rata-rata laju kenaikan muka laut di perairan Batam sekitar 3.99 mm/tahun. Pasang di perairan Batam merupakan rambatan pasang dari Laut Cina Selatan. Pasang di perairan Batam bersifat campuran cenderung semi diurnal, artinya secara garis besar terdapat dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut dalam 24 jam. Hasil pengukuran pasang surut yang dilakukan oleh Dantarsa Gatra (2008) memperlihatkan rata-rata tunggang pasang adalah 1.52 m.

(9)
(10)

  Gambar 15. Peta kemiringan Pulau Kasu

(11)

4.2.2. Pulau Barrang Lompo

Pulau Barrang Lompo merupakan pulau karang dari kelompok pulau datar, dengan luas sekitar 20.58 ha. Pulau Barrang Lompo adalah salah satu pulau kecil yang terdapat di wilayah administrasi Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makasar. Pulau ini miskin vegetasi, dimana sekitar 90 % permukaan daratan pulau sudah dijadikan kawasan permukiman (perumahan), ruang-ruang kosong yang tersisa hanyalah lapangan olah raga, jalan dan pekarangan rumah.

Pantai sekeliling Pulau Barrang Lompo didominasi oleh pantai berpasir, hanya sebagian kecil saja yang merupakan pantai berbatu atau berkerikil dengan panjang total 2 809.11 m. Pada sebagian besar pantai telah dibangun bangunan (beton) pelindung pantai yang juga berfungsi sebagai pengaman bangunan atau rumah penduduk, khususnya pada sisi barat, timur, dan utara dengan panjang sekitar 2 188.92 m. Ancaman gelombang laut ini khususnya terjadi pada bulan Desember-Januari. Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem pelindung pantai Pulau Barrang Lompo. Sayangnya, ekosistem terumbu karang ini (khususnya batu-batu karang) telah dieksploitasi untuk bahan bangunan. Akibatnya, peran ekosistem terumbu karang sebagai pelindung pantai di Pulau Barrang Lompo menjadi tidak optimal. Pada beberapa bagian pantai telah terjadi erosi sebagai akibat dari aktivitas penambangan karang.

Pulau Barrang Lompo merupakan pulau datar dengan ketinggian maksimum 200 cm di atas permukaan laut. Hasil analisis topografi, diketahui sebagian besar daratan Pulau Barrang Lompo berada pada ketinggian antara 0-20 cm dan 21-40 cm, dengan luasan masing-masing 6.26 ha dan 9.99 ha. Di sebagian wilayah pulau, telah terjadi genangan atau perendaman daratan saat terjadi pasang tertinggi. Sebagai pulau dataran rendah, kemiringan atau slope daratan Pulau Barrang Lompo relatif kecil, yaitu antara 0-8%, dimana luas areal yang memiliki kemiringan ini adalah 20.06 ha. Adapun areal yang memiliki kemiringan lebih dari 8 % kurang dari 1 ha. Peta elevasi daratan Pulau Barrang Lompo disajikan pada Gambar 16, sedangkan peta kemiringan daratan pulau disajikan pada Gambar 17.

(12)
(13)
(14)

Tinggi gelombang di perairan sekitar Pulau Barrang Lompo mencapai 1.9 m yang terjadi pada musim barat. Tinggi gelombang ini akan semakin besar saat gelombang bertransformasi ke arah pantai. Perambatan gelombang dari arah tenggara tidak berpengaruh besar pada perairan Barrang Lompo, sehingga pada musim timur tinggi gelombang di perairan Barrang Lompo relatif kecil (kurang dari 1 m). Sementara itu, hasil analisis laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Makasar dan Pulau Barrang Lompo sekitar 5.09 mm/tahun (AVISO 2009). Hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat terkait dengan garis pantai Pulau Barrang Lompo, diperoleh informasi telah terjadi perubahan garis pantai dengan laju sekitar 0.5 m/tahun.

Berdasarkan perhitungan bilangan Fomzahl dari konstanta pasut di sekitar Perairan Makassar diperoleh nilai sekitar 2.39. Hal ini berarti daerah tersebut memiliki tipe pasang surut “Campuran Dominan Tunggal” dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan satu kali surut atau satu kali pasang dua kali surut atau terkadang cenderung satu pasang dan satu kali surut. Rata-rata tunggang pasang di sekitar perairan Barrang Lompo adalah 1.5 m.

4.2.3. Pulau Saonek

Pulau Saonek adalah pulau karang dari kelompok pulau berbukit dengan luas 18.00 ha. Pulau Saonek merupakan pulau terbesar dari dua pulau yang berada di wilayah Kampung Saonek, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat. Sebagai pulau karang, Pulau Saonek mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, yang umumnya memiliki banyak vegetasi. Pulau ini pada awalnya memiliki vegetasi yang rimbun, namun karena pertumbuhan penduduk, vegetasi tersebut berkurang akibat dikonversi menjadi lahan pemukiman. Hal ini sesuai dengan namanya, Saonek yang berarti pohon pelabuhan. Saat ini, vegetasi yang tersisa hanya pada bagian selatan berupa berbagai jenis pepohonan seperti mangga, jambu, dan kelapa. Pada bagian selatan terdapat ekosistem mangrove tumbuh dengan baik.

Pulau Saonek memiliki pantai sepanjang 2 825.85 m, yang terdiri dari pantai berpasir, pantai berbatu dan pantai bervegetasi. Pantai berpasir merupakan pantai yang dominan di pulau ini, yang terdapat di bagian barat, timur dan utara

(15)

dengan panjang sekitar 1 390.09 m. Pantai berbatu terdapat di bagian tenggara dengan panjang 367.07 m, pada sisi ini terdapat bukit dengan ketinggian sekitar 48 m. Pantai bervegetasi terdapat di bagian selatan, dimana terdapat ekosistem mangrove yang didominasi jenis bakau (Rhizopora sp.) dan api-api (Avicennia sp.) dengan panjang sekitar 1 071.69 m.

Pulau Saonek adalah pulau dataran rendah, namun pada bagian tenggara terdapat bagian yang menyerupai bukit dengan ketinggian mencapai 48 m. Luas Pulau Saonek berdasarkan kategori ketinggian hampir merata mulai dari ketinggian 0-20 cm sampai ketinggian di atas 200 cm. Berbeda dengan ketinggian, luas daratan Pulau Saonek berdasarkan kemiringan didominasi oleh kemiringan 0-8 % dengan luas sekitar 15.18 ha atau sekitar 84.38 %. Meskipun daratan Pulau Saonek memiliki bagian yang mencapai ketinggian hingga 48 m, namun areal daratan yang memiliki kemiringan lebih dari 40 % hanya sekitar 1.60 m. Peta elevasi daratan Pulau Saonek disajikan pada Gambar 18, sedangkan kemiringan daratan pulau disajikan pada Gambar 19.

Perairan Pulau Saonek dan umumnya perairan Kabupaten Raja Ampat terletak antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dan bagian selatan berbatasan dengan Laut Banda. Dengan demikian, gelombang yang merambat masuk ke perairan ini adalah gelombang yang berasal dari Laut Banda di bagian selatan dan Samudera Pasifik di bagian utara serta Samudera Hindia di bagian barat. Hasil pengamatan yang dilakukan Tim Penyusun Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat menyebutkan bahwa tinggi gelombang antara 0 – 1.7 meter (Pemda Raja Ampat 2005). Berdasarkan data yang diperoleh dari AVISO (2009) ketinggian gelombang di sekitar perairan Saonek mencapai 2.3 m, sedangkan rata-rata kenaikan muka laut sekitar 7.06 mm/tahun. Adapun rata-rata tunggang pasang di sekitar perairan Pulau Saonek adalah 1.7 m.

(16)
(17)
(18)

4.3. Karakteristik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir 4.3.1. Pulau Kasu

Habitat pesisir memiliki peran penting bagi perlindungan daratan pulau dari berbagai gangguan ekternal. Semakin luas habitat pesisir semakin besar pula perlindungan terhadap daratan pulau. Habitat pesisir Pulau Kasu terdiri dari ekosistem mangrove, padang lamun, pantai berpasir dan pantai berlumpur. Habitat pesisir ini selain memiliki fungsi perlindungan fisik terhadap daratan pulau, juga memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat yang ada di suatu pulau. Keberadaan kedua habitat ini memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi sumberdaya ikan di pulau ini. Luas habitat pesisir di Pulau Kasu adalah 192.91 atau 4 kali lebih besar dari luas daratan Pulau Kasu.

Sekitar 2/3 bagian pantai Pulau Kasu ditumbuhi ekosistem mangrove, dengan luas sekitar 38.25 ha. Ekosistem mangrove ini didominasi jenis Rhizophora sp. dan Avicennia sp. dengan kerapatan sekitar 1 250 pohon/ha. Masyarakat Pulau Kasu melindungi ekosistem mangrove ini karena peran penting ekosistem ini bagi kehidupan masyarakat Pulau Kasu. Manfaat ekosistem mangrove bagi masyarakat adalah (1) sebagai pelindung pemukiman atau rumah penduduk dari terpaan angin atau gelombang laut; (2) sebagai pelindung perahu atau sampan agar tidak terbawa arus laut, dan (3) sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground). Masyarakat Pulau Kasu telah menyadari arti penting ekosistem ini bagi kehidupan mereka, sehingga masyarakat tidak merusak ekosistem ini.

Ekosistem terumbu karang tidak berkembang dengan baik di perairan Pulau Kasu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di pulau ini termasuk dalam kategori yang sangat buruk (kurang dari 10 %), dimana ekosistem ini didominasi makro algae hingga mencapai 60 % dan DCA (death coral with algae) dan pasir (sand) dengan presentasi sekitar 24 %. Buruknya kondisi ekosistem terumbu karang ini disebabkan oleh sedimentasi yang cukup tinggi dan tingkat kecerahan yang rendah menyebabkan karang tidak dapat berkembang dengan baik. Hanya beberapa jenis karang tertentu yang dapat bertahan hidup seperti karang-karang masif.

(19)

Ekosistem padang lamun tumbuh dan berkembang dengan baik di perairan Pulau Kasu. Ekosistem padang lamun ditemukan hampir di sekeliling pantai/perairan Pulau Kasu dan menyebar hingga ke bagian tubir. Pada bagian tubir terdapat makro algae yang merupakan pesaing bagi ekosistem terumbu karang. Kondisi substrat yang subur memungkinkan lamun tumbuh dan berkembang dengan baik. Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Kasu adalah Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, Syringodium iseotifolium, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii dengan persen penutupan sekitar 80 %, yang menempati areal seluas 101.29 ha Distribusi habitat pesisir, ekosistem mangrove dan padang lamun Pulau Kasu disajikan pada Gambar 20.

Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya utama di Pulau Kasu dan merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat Pulau Kasu, karena sebagian besar masyarakat Pulau Kasu memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Ekosistem mangrove dan lamun di pulau ini merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut di perairan Pulau Kasu. Selain berfungsi sebagai daerah pembesaran, ekosistem ini juga sebagai daerah penangkapan. Sumberdaya ikan utama di perairan ini adalah ikan dinkis yang umumnya memiliki musim penangkapan pada bulan Desember-Januari. Sumberdaya ikan lainnya adalah udang, rajungan dan kepiting. Selain itu, juga terdapat kuda laut yang banyak ditemukan di perairan Pulau Kasu.

(20)
(21)

4.3.2. Pulau Barrang Lompo

Pulau Barrang Lompo merupakan pulau karang yang dicirikan keberadaan hamparan terumbu karang yang cukup luas. Hamparan terumbu karang ini hampir ditemukan di sekeliling Pulau Barrang Lompo. Selain itu, juga terdapat ekosistem padang lamun. Selain terumbu karang dan lamun, habitat pesisir lainnya adalah hamparan pasir putih. Luas habitat pesisir Pulau Barrang Lompo adalah 130.57 ha, atau sekitar 6 kali lebih dari luas daratan pulaunya.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem utama di Barrang Lompo, dengan luas sekitar 71.72 ha. Ekosistem terumbu karang menyebar mulai dari sisi utara, barat, selatan dan tenggara. Hasil pengamatan dengan menggunakan point intercept transect (PIT) pada 5 lokasi menunjukkan kualitas terumbu karang berada pada kategori baik yaitu pada kisaran 50-75 %. Permasalahan utama yang mengancam keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di pulau ini adalah adanya kegiatan penambangan karang untuk keperluan bahan bangunan. Dampak aktivitas penambangan karang yang dilakukan masyarakat sudah mulai dirasakan, dimana terjadi peningkatan erosi dan juga ancaman gelombang yang mencapai pemukiman penduduk pada bulan Desember – Januari. Aktivitas penambangan karang ini masih dilakukan masyarakat karena tidak adanya aturan yang tegas terhadap pelarangan penambangan karang.

Ekosistem lainnya yang terdapat di Pulau Barrang Lompo adalah ekosistem padang lamun. Seperti halnya dengan ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun ini juga menyebar secara merata di perairan Pulau Barrang Lompo mulai dari sisi utara, barat, selatan dan tenggara. Pada sisi barat juga masih dijumpai meskipun pada areal yang sempit. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Barrang Lompo adalah Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, dan Thalassia hemprichii. Luas habitat ekosistem padang lamun di Pulau Barrang Lompo sekitar 58.85 ha dengan penutupan sekitar 58 %. Distribusi habitat pesisir, ekosistem terumbu karang dan padang lamun Pulau Barrang Lompo disajikan pada Gambar 21.

(22)

  Gambar 21. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Barrang Lompo

(23)

4.3.3. Pulau Saonek

Habitat pesisir terdiri dari ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berbatu, dan pantai berpasir. Pesisir Pulau Saonek memiliki ekosistem yang masih lengkap dimana terdapat ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove dan menyebar di sekeliling pulau. Fungsi habitat pesisir selain sebagai pelindung pantai, juga memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Kampung Saonek. Luas habitat pesisir di Pulau Saonek adalah 58.62 ha atau 3 kali lebih luas dari luas daratan Pulau Saonek.

Ekosistem terumbu karang Pulau Saonek diperkirakan menempati 2/3 keliling pantai Pulau Saonek, mulai dari bagian timur, barat dan selatan. Hanya pada bagian utara Pulau Saonek tidak terdapat ekosistem terumbu karang. Total luas hamparan terumbu karang di Pulau Saonek sekitar 31.57 ha. Hasil survei yang dilakukan Fakultas Perikanan Universitas Negeri Papua (2007) menunjukkan bahwa kualitas terumbu karang di perairan Pulau Saonek berada pada kisaran 70-75 % atau kategori baik. Demikian juga hasil reef check yang dilakukan Conservancy Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kualitas penutupan karang hidup berkisar antara 59-81 %. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan terumbu karang adalah adanya kegiatan penambangan karang untuk keperluan bahan bangunan. Hal inilah yang diperkirakan sebagai penyebab meningkatnya laju erosi karena peningkatan energi gelombang ke arah pantai, akibat berkurangnya ekosistem terumbu karang. Namun sejak tahun 2003, kegiatan penambangan karang di pulau ini sudah dihentikan, seiringnya dengan berkembangnya program pengelolaan terumbu karang dari berbagai lembaga yang memiliki perhatian terhadap kelestarian sumberdaya terumbu karang. Program-program penyadaran yang dikembangkan oleh berbagai lembaga (seperti CI, TNC, dan COREMAP) telah menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melindungi ekosistem ini. Banyak daerah perlindungan laut yang telah ditetapkan untuk melindungi ekosistem terumbu karang yang dikembangkan masyarakat.

Ekosistem pesisir lainnya yang juga tumbuh dengan baik di Pulau Saonek adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini tumbuh di bagian selatan yang mencakup areal seluas 4.17 ha, dengan kerapatan sekitar 1 000 pohon/ha.

(24)

Ekosistem mangrove ini tumbuh dengan baik dan tidak mendapatkan gangguan dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kesadaran masyarakat, dimana ekosistem ini telah dipertahankan sebagai daerah larang ambil secara turun temurun. Masyarakat secara sadar melindungi ekosistem ini, meskipun tidak terdapat aturan secara tertulis tentang larangan penebangan pohon mangrove. Namun, karena secara turun temurun ekosistem ini telah dipertahankan masyarakat dan ada rasa malu bila terdapat anggota masyarakat yang melakukan penebangan pohon mangove, menyebabkan ekosistem ini tetap lestari sampai saat ini. Ekosistem mangrove di Pulau Saonek didominasi jenis Rhizopora sp. dan Avicennia sp.

Distribusi ekosistem padang lamun di Pulau Saonek juga cukup luas. Umumnya lamun ditemukan pada rataan terumbu, baik di pantai bagian timur, pantai bagian barat maupun pantai bagian selatan yang menempati areal seluas 22.88 ha, dengan penutupan sekitar 55 %. Jenis lamun yang dominan ditemukan adalah Enhalus acrades, Cymodacea kolundata dan Halophila ovalis. Pemanfaatan lamun selama ini digunakan sebagai umpan untuk pemancingan ikan. Pada Gambar 22 disajikan peta habitat dan penggunaan lahan Pulau Saonek.

Perairan Pulau Saonek sangat khas karena memiliki berbagai jenis ikan baik ikan ekonomis penting seperti maming (napoleon), kerapu, cakalang, bubara, tenggiri dan hiu, maupun ikan non ekonomis penting seperti samandar (ikan yang hidup disekitar lamun), kakatua (Scarus sp), puri (Stylophoruscomersonii) dan ikan karang lainnya seperti gotila, ikan kapas kapas, dan ikan oci. Hasil laut non ikan seperti Lobster, suntung, lola, teripang, dan pia-pia dan berbagai jenis moluska yang dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi (COREMAP II 2007). Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya utama dan menjadi sumber penghasilan masyarakat di pulau ini. Sayangnya, eksploitasi sumberdaya ikan ini tidak dilakukan dengan baik sehingga telah terjadi gejala penurunan hasil tangkapan akibat kelebihan tangkap, penggunaan alat tangkap yang merusak, penggunaan bom dan potasium serta akar bore. Saat ini sudah terdapat indikasi terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan dari tahun ke tahun khususnya untuk jenis ikan tenggiri, ikan kepala batu, ikan kira dan ikan oci.

(25)

  Gambar 22. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Saonek

(26)

4.4. Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya 4.4.3. Pulau Kasu

Pulau Kasu merupakan salah satu pulau yang berada di wilayah administrasi Kelurahan Kasu-Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Jumlah pulau kecil yang berada di Kelurahan Kasu sebanyak 48 pulau. Dari 48 pulau kecil tersebut 13 pulau diantaranya berpenghuni. Sebagian besar penduduk Kelurahan Pulau Kasu terkonsentrasi di Pulau Kasu, yaitu sebanyak 2 658 jiwa. Pertumbuhan penduduk Pulau Kasu relatif rendah, hal ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk hanya disebabkan faktor kelahiran dan kematian. Rata-rata pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sebesar 0.5% dengan kepadatan penduduk sekitar 57 jiwa/ha.

Mata pencaharian utama masyarakat Pulau Kasu adalah nelayan. Sebagian masyarakat memiliki mata pencaharian sampingan sebagai petani atau penggarap kebun. Alat tangkap yang digunakan antara lain adalah kelong, bubu, bento, tekok dan jaring. Jenis ikan yang dominan ditangkap adalah ikan dinkis, udang, rajungan, kepiting bakau, lebam, belanak, kakap, kerapu dan kuda laut. Hasil tangkapan ikan di Pulau Kasu juga sudah mulai mengalami penurunan dari waktu ke waktu, sebagai akibat dari kondisi tangkap lebih. Kegiatan budidaya laut belum berkembang dengan baik, namun kegiatan ini mulai diprogramkan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan mengembangkan proyek percontohan sebanyak 7 unit Keramba Jaring Apung.

Kondisi Pulau Kasu yang relatif berbukit menyebabkan penggunaan lahan sangat terbatas pada beberapa peruntukan. Pemukiman penduduk sebagian besar dibangun di atas perairan dengan menggunakan tiang-tiang pancang, baik dari kayu maupun beton. Hanya sebagian kecil masyarakat yang membangun rumah di daratan pulau. Pilihan pembangunan perumahan di atas perairan ini karena alasan kemudahan masyarakat untuk melakukan aktivitas sebagai nelayan. Dengan membangun rumah di atas perairan mereka dapat mengetahui kondisi perairan setiap saat (pasang atau surut), sehingga mereka dapat melaut jika kondisi air pasang. Selain itu, alasan kemudahan untuk menambatkan dan menjaga perahu lebih mudah dilakukan bila rumah mereka di atas perairan. Selain untuk pemukiman, pemanfaatan lahan daratan juga digunakan kegiatan

(27)

perkebunan. Kondisi tanah yang relatif subur dapat ditanami berbagai jenis tanaman seperti mangga, durian, kelapa, dan beberapa jenis tanaman lainnya.

Pengembangan kawasan konservasi laut di Pulau Kasu belum dilakukan. Sampai saat ini belum ada aturan secara formal yang menetapkan kawasan perairan di sekitar Pulau Kasu sebagai kawasan konservasi laut. Ekosistem mangrove yang ada belum ditetapkan secara formal sebagai kawasan konservasi oleh pemerintah lokal maupun masyarakat. Meskipun demikian, karena masyarakat menyadari arti penting dari ekosistem ini untuk menopang kelangsungan hidup mereka baik sebagai kawasan pelindung pantai dan perumahan maupun sebagai sumber mata pencaharian, maka masyarakat melindungi dan tidak melakukan pengrusakan terhadap ekosistem mangrove. Peran ekosistem mangrove sebagai pelindung pantai dan pelindung pemukiman penduduk benar-benar dipahami oleh masyarakat, sehingga mangrove tidak diijinkan untuk ditebang.

4.4.4. Pulau Barrang Lompo

Pulau Barrang Lompo merupakan pulau yang sangat padat, jika dibandingkan jumlah penduduk dengan luas daratan pulau, maka tingkat kepadatan penduduk Pulau Barrang Lompo adalah 212 jiwa/ha. Jumlah penduduk Pulau Barrang Lompo pada tahun 2008 adalah sebanyak 4 372 jiwa, bila dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 2004, yaitu sebesar 3 739 jiwa, maka laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sekitar 3.62 %. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi ini disebabkan karena banyaknya orang yang masuk ke Pulau Barrang Lompo, dibandingkan orang yang meninggalkan pulau.

Mata pencaharian utama masyarakat Pulau Barrang Lompo adalah nelayan. Selain menangkap ikan di sekitar perairan Barrang Lompo, nelayan dari pulau ini juga mencari ikan sampai ke perairan di sekitar Pulau Kalimantan. Umumnya, nelayan yang menangkap ikan di sekitar perairan Pulau Barrang Lompo adalah nelayan pantai, yaitu nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan perahu motor kecil. Nelayan ini berangkat ke laut pada pagi hari dan kembali di sore hari. Nelayan yang menangkap ikan di wilayah perairan

(28)

Kalimantan adalah nelayan pencari teripang, umumnya memiliki perahu motor yang lebih besar.

Kondisi Pulau Barrang Lompo yang sangat padat, sehingga tidak memungkinkan pemanfaatan lahan selain pemanfaatan untuk pemukiman. Padatnya pemukiman di pulau ini, menyebabkan distribusi perumahan penduduk menyebar pada seluruh wilayah daratan pulau. Mulai dari bangunan di atas garis pantai sampai ke bagian tengah daratan pulau. Kondisi perairan pulau yang terbuka dengan ombak besar tidak memungkinkan untuk mengembangkan budidaya laut. Ekosistem terumbu karang yang berada di sekeliling pulau belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Akibatnya aktivitas penambangan karang masih sering dilakukan masyarakat setempat. Hal ini memperburuk kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Barrang Lompo.

4.4.5. Pulau Saonek

Masyarakat Saonek memiliki marga dari suku biak (Rumfaker, Ronsumbre, Dimara, Mambrasar, Mayor dan sebagian marga dari Maluku Utara (Gusti, Gamso, Yau, Hi Salim) yang merupakan pendatang di Kampung Saonek. Kehidupan masyarakat kampung Saonek masih terikat dengan budaya serta hukum adat yang berlaku selama ini, hal ini dapat dilihat dari ketaatan masyarakat dalam hubungan kekerabatan maupun pergaulan keseharian. Penduduk Kampung Saonek pada tahun 2007 sekitar 633 jiwa dan pada tahun 2008 sebanyak 648 jiwa, atau naik sekitar 2.3 persen, dengan kepadatan penduduk sekitar 36 jiwa/ha.

Mata pencaharian utama masyarakat Kampung Saonek adalah nelayan, dengan pendapatan rata-rata harian berkisar antara Rp. 100 000,- sampai Rp. 300 000,- (COREMAP II 2007). Selain sebagai nelayan, sebagian masyarakat Kampung Saonek juga memiliki mata pencaharian sampingan seperti berkebun, tukang kayu, pembuat perahu. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah pancing, jaring, panah ikan, dan kalawai. Pada umumnya masyarakat Kampung Saonek menangkap ikan di sekitar daerah terumbu karang. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang peran penting ekosistem terumbu karang terhadap kelangsungan mata pencaharian mereka sudah cukup baik. Oleh karenanya,

(29)

masyarakat Kampung Saonek sangat mendukung program perlindungan terhadap terumbu karang. Demikian juga, kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat destruktif sudah tidak dilakukan lagi sejak tahun 2003. Pulau Saonek juga merupakan salah satu pulau yang masuk dalam kawasan program pengelolaan terumbu karang (COREMAP II). Melalui program ini, kegiatan penyuluhan tentang pentingnya perlindungan terumbu karang terus digalakkan kepada masyarakat.

Penggunaan lahan daratan Pulau Saonek umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman dan sebagian lagi merupakan kebun campuran. Sekitar 60 persen lahan darat Pulau Saonek sudah dijadikan daerah pemukiman (bangunan rumah). Selebihnya merupakan kebun campuran dimana tanaman yang banyak tumbuh adalah kelapa, mangga, jambu. Pada beberapa bagian ditumbuhi alang-alang dan bambu friwen, khususnya dari daerah berbukit di bagian tenggara.

Pemukiman penduduk Pulau Saonek terkonsentrasi di bagian utara dan tengah serta di bagian sisi barat dan timur. Beberapa rumah terletak di daerah pantai (sempadan pantai). Umumnya, rumah-rumah di bagian pantai ini mengalami ancaman akibat adanya erosi pantai. Rumah penduduk yang terletak di bagian tengah dan pada bagian selatan relatif aman, karena terlindung vegetasi mangrove di bagian selatan.

Masyarakat Kampung Saonek (Pulau Saonek) sudah mengenal perlindungan ekosistem. Perlindungan ekosistem yang sudah berlangsung lama adalah perlindungan ekosistem mangrove atau oleh masyarakat disebut ‘sasi mangi-mangi’, yaitu suatu larangan ambil terhadap pohon mangrove yang tumbuh di bagian selatan Pulau Saonek. Hal ini memberikan dampak positif bagi Pulau Saonek dan masyarakatnya dimana bagian selatan daratan pulau ini relaitf terlindungi dari erosi pantai. Konservasi terumbu karang dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut juga sudah dikembangkan di daerah Saleo sampai ke Sapor Bakdi. Meskipun daerah perlindungan laut ini terdapat di sisi pulau lain, namun secara administrasi masih daerah Kampung Saonek. Ekosistem terumbu karang yang mengelilingi Pulau Saonek secara tidak formal juga sebenarnya sudah dikonservasi oleh masyarakat. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya yang sifatnya destruktif sudah tidak diperkenankan. Kegiatan yang diperbolehkan hanya

(30)

penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah membuat aturan formal untuk mengkoservasi ekosistem pesisir di Pulau Saonek.

Permasalahan lingkungan yang mulai dirasakan dampaknya oleh masyarakat adalah pengikisan/abrasi pantai yang telah menyebabkan mundurnya garis pantai. Erosi pantai terjadi pada sisi utara, timur dan barat Pulau Saonek. Pada tahun 2008, telah dibangun beton pelindung pantai (seawalls) pada sekitar 2/3 dari pantai Pulau Saonek yaitu pada sisi timur, utara dan barat. Sayangnya, bangunan pelindung pantai ini pada beberapa bagian sudah mengalami kerusakan. Dalam kurun waktu 35-40 tahun yang lalu telah terjadi erosi pantai. Laju erosi pantai yang besar terjadi dalam kurun waktu sebelum tahun terakhir. Hasil diskusi dengan masyarakat diketahui bahwa aktivitas penambangan karang yang dilakukan untuk keperluan bahan bangunan telah menyebabkan peningkatan erosi pantai. Diperkirakan garis pantai telah mengalami kemunduran tidak kurang dari 20 m dalam jangka waktu 35-40 tahun, atau dengan kata lain laju pengunduran garis pantai (erosi) sekitar 0.50 m/tahun.

4.5. Penilaian Parameter Kerentanan

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jumlah parameter kajian kerentanan pulau-pulau kecil terdiri dari 17 parameter, dimana 7 parameter merupakan komponen exposure, 5 parameter untuk komponen sensitivity dan adaptive capacity. Berdasarkan data-data yang dipaparkan pada Sub-bab 4.2, 4.3, dan 4.4 tentang karakteristik geofisik, ekosistem dan sumberdaya alam serta ekonomi dan sosial, telah dilakukan transformasi nilai-nilai tersebut menjadi nilai skor untuk setiap parameter kerentanan sebagaimana pada Tabel 19. Seperti terlihat pada Tabel 19, terdapat perbedaan beberapa parameter antar ketiga pulau, baik dari komponen exposure, sensitivity, maupun adaptive capacity. Perbedaan nilai-nilai tersebut tentunya akan menentukan pula perbedaan nilai indeks kerentanan lingkungan antara ketiga pulau kecil yang dijadikan lokasi studi kasus dalam penelitian ini.

(31)

Tabel 19. Nilai skor masing-masing parameter kerentanan pulau-pulau kecil

No. Parameter Skor

P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek A. Exposure

1. Kenaikan muka laut 1 2 2

2. Tinggi gelombang 4 4 5 3. Rata-rata tunggang pasang 3 3 3 4. Laju erosi/perubahan garis pantai 3 3 3 5. Kejadian tsunami 1 4 3 6. Pertumbuhan penduduk 3 5 5 7. Kepadatan penduduk 1 4 1 B. Sensitivity 8. Tipologi pantai 2 2 3 9. Elevasi 2 5 4 10. Kemiringan 4 5 5 11. Penggunaan lahan 2 5 4 12. Lokasi pemukiman 4 3 3 B. Adaptive capacity 13. Habitat Pesisir 4 5 3 14. Terumbu karang 1 4 4 15. Mangrove 3 1 3 16. Padang lamun 5 3 3 17. Konservasi laut 1 1 1 4.5.1 Exposure (Keterbukaan/Ketersingkapan)

Nilai parameter dimensi exposure ketiga lokasi penelitian memiliki perbedaan yang cukup signifikan untuk beberapa parameter. Hal ini terlihat pada parameter kejadian tsunami (TS), kapadatan penduduk (KD), kenaikan muka laut (SR) dan pertumbuhan penduduk (PD). Rekaman kejadian tsunami dari tahun 1900 sampai tahun 2008 dari ketiga lokasi penelitian menunjukkan perbedaan, dimana tidak terdapat rekaman kejadian tsunami yang berdekatan dengan Pulau

(32)

Kasu di sekaitar perairan Batam. Sebaliknya kejadian tsunami di daerah sekitar Pulau Barrang Lompo, yaitu Selat Makasar dalam kurun waktu 1900 – 2008 cukup banyak, yaitu sebanyak 5 kali (1921, 1938, 1957, 1967, 1969), sedangkan di sekitar Pulau Saonek tercatat sebanyak 2 kali, yaitu tahun 1914 dan tahun 1915 (http://www.ngdc.noaa.gov/hazard/tsu.shtml). Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk juga relatif berbeda antara ketiga lokasi penelitian. Pertumbuhan penduduk di Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo relatif sama, sedangkan pertumbuhan penduduk di Pulau Kasu lebih rendah dari Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo. Hal yang sama juga terjadi pada kepadatan penduduk, Pulau Barrang Lompo sudah berada pada tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masih berada pada kepadatan penduduk yang rendah. Parameter lainnya yang relatif berbeda antara ketiga lokasi adalah laju kenaikan muka laut. Laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Kasu lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Saonek dan Raja Ampat. Hal ini disebabkan karena ketiga pulau berada pada sistem perairan yang berbeda. Adapun parameter lainnya seperti tinggi gelombang, pasang surut dan erosi relatif sama untuk ketiga lokasi. Perbandingan nilai parameter exposure ketiga lokasi penelitian disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23. Perbandingan nilai parameter exposure ketiga pulau 0% 20% 40% 60% 80% 100%

Sea level rise Gelombang Pasang Erosi kejadian

tsunami Pertumbuhan Penduduk Kepadatan penduduk

Pr op orsi  Ni la i Exposure Parameter Kerentanan Lingkungan

(33)

4.5.2 Sensitivity (Sensitivitas)

Nilai parameter sensitivity ketiga pulau yang diteliti juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dari 5 parameter sensitivity, 4 parameter relatif berbeda antar ketiga pulau, yaitu elevasi pantai, kemiringan/slope, penggunaan lahan, dan lokasi pemukiman. Elevasi Pulau Barrang Lompo memiliki sensitivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya, disusul dengan Saonek. Pulau Kasu memiliki sensitivitas yang paling rendah dilihat dari ukuran ketinggian. Berbeda dengan ketinggian, kemiringan pulau tidak terlalu berbeda secara signifikan antar pulau. Sensitivitas pulau dilihat dari penggunaan lahan, juga memiliki perbedaan antar ketiga pulau. Pulau Barrang Lompo memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena hampir seluruh wilayah daratan pulau ini digunakan untuk lahan pemukiman. Pulau Saonek juga memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kasu. Tipologi pantai tidak memiliki perbedaan signifikan antar ketiga pulau, meskipun ketiga pulau tidak memiliki jenis pantai yang sama. Lokasi pemukiman juga memiliki perbedaan antar ketiga pulau. Pemukiman di Pulau Kasu merupakan yang paling sensitif karena terletak di depan garis pantai dan berada di atas permukaan laut. Perbandingan tingkat sensitivitas ketiga pulau disajikan pada Gambar 24.

Gambar 24. Perbandingan nilai parameter sensitivity ketiga pulau 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Tipologi  Pantai

Elevasi Slope Penggunaan 

Lahan Pemukiman Pr opo rsi  Ni lai  Sen sit iv it y Parameter Kerentanan Lingkungan

(34)

4.5.3 Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif)

Nilai-nilai parameter dari adaptive capacity juga berbeda antar ketiga pulau. Parameter adaptive capacity tersebut adalah habitat pesisir, ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan kawasan konservasi. Seperti terlihat pada Gambar 25, persentasi setiap parameter tersebut berbeda. Proporsi habitat pesisir terbesar terdapat di Pulau Barrang Lompo, disusul Pulau Saonek dan Kasu. Dilihat dari keragaman habitat pesisir, Pulau Saonek memiliki habitat pesisir yang paling lengkap seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Sementara pulau lainnya hanya memiliki dua jenis habitat pesisir. Kualitas tutupan terumbu karang di Pulau Barrang Lompo dan Saonek jauh lebih baik dari kualitas tutupan terumbu karang di Pulau Kasu. Berbeda dengan karang, ekosistem mangrove dominan terdapat di Pulau Kasu. Pulau Saonek juga memiliki ekosistem mangrove relatif terjaga dengan baik karena tidak dirusak oleh masyarakat. Ekosistem lamun juga dominan terdapat di Pulau Kasu, jika dibandingkan ekosistem lamun yang terdapat di Pulau Barrang Lompo maupun Saonek. Parameter terakhir dari adaptive capacity, yaitu keberadaan kawasan konservasi di ketiga pulau relatif sama. Sampai saat ini belum ada kawasan yang secara formal ditetapkan oleh pemerintah maupun masyarakat sebagai kawasan konservasi laut.

Gambar 25. Perbandingan nilai parameter adaptive capacity ketiga pulau 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Habitat Pesisir Terumbu  Karang

Mangrove Lamun Konservasi Laut

Pr opo rsi  Ni la i Adaptive  Capa city Parameter Kerentanan Lingkungan

(35)

4.6. Perhitungan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil 4.6.1. Kerentanan Saat Ini

Hasil analisis indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil kasus Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek disajikan pada Tabel 20. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan indeks kerentanan antar ketiga pulau. Pulau Kasu memiliki indeks kerentanan lingkungan yang masih berada pada kategori kerentanan rendah (lebih kecil dari 6.04) dimana nilai indeks kerentanan lingkungan untuk Pulau Kasu sebesar 2.44. Sebaliknya nilai indeks kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek berada pada kategori kerentanan sedang dengan nilai masing-masing 7.67 dan 6.18.

Nilai indeks kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo berada pada kategori sedang (Doukakis 2005), hal ini menunjukkan beberapa parameter kerentanan lingkungan di pulau ini sudah berada pada kategori sedang sampai tinggi. Sebagaimana telah disajikan pada Tabel 19, parameter kerentanan pada dimensi exposure yang memiliki nilai skor yang tinggi adalah gelombang, kejadian tsunami, pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Jika dibandingkan dengan Pulau Saonek dan Kasu, kejadian tsunami lebih dominan terjadi di sekitar Pulau Barrang Lompo. Hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Barrang Lompo berada pada wilayah yang memiliki peluang terjadinya tsunami pada masa yang akan datang. Fenomena ini tentunya menjadi perhatian dalam kaitan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk di pulau ini juga tinggi. Sebagian besar lahan daratan Pulau Barrang Lompo sudah dikonversi menjadi pemukiman. Pertumbuhan penduduk yang besar, akan memberikan tekanan terhadap kebutuhan lahan untuk keperluan pemukiman penduduk. Karakteristik Pulau Barrang Lompo sebagai pulau karang dari kelompok pulau datar menyebabkan parameter kerentanan lingkungan untuk dimensi sensitivity umumnya tinggi. Ketinggian daratan Pulau Barrang Lompo yang dominan berada pada ketinggian kurang dari 1 m, hal ini menjadi ciri spesifik pulau ini dibandingkan pulau lainnya. Demikian juga parameter kemiringan dan penggunaan lahan di Pulau Barrang Lompo memiliki nilai skor yang cukup besar. Kondisi daratan yang datar dengan ketinggian rendah, menyebabkan daratan Pulau Barrang Lompo sangat landai. Parameter kerentanan

(36)

lingkungan dari dimensi adaptive capacity secara umum cukup tinggi, hal ini terlihat dari luasan habitat pesisir, kualitas terumbu karang dan lamun yang masih baik. Karakteristik Pulau Barrang Lompo yang cenderung memiliki nilai sensitivitas yang tinggi dan nilai keterbukaan/ketersingkapan yang tinggi menyebabkan tingkat kerentanan lingkungan juga tinggi, meskipun jika dilihat dari kapasitas adaptifnya masih cukup baik.

Nilai indeks kerentanan lingkungan Pulau Saonek juga sudah berada pada kategori kerentanan sedang (lebih dari 6.04). Jika dilihat dari karakteristik dimensi exposure, tinggi gelombang dan pertumbuhan penduduk yang cepat menjadi ciri dari pulau ini. Keberadaan pulau ini pada perairan/lautan yang luas menyebabkan keterbukaan terhadap gelombang yang tinggi. Kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Saonek lebih tinggi dibandingkan kenaikan muka laut di sekitar Pulau Barrang Lompo dan Pulau Kasu. Karakteristik dimensi sensitivity Pulau Saonek lebih rendah dibandingkan Barrang Lompo. Ketinggian daratan pulau secara merata beradapada ketinggian 0-48 m. Pulau Saonek memiliki bukit dengan ketinggian mencapai 48 m. Karakteristik dimensi adaptive capacity Pulau Saonek lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Barrang Lompo, meskipun Pulau Saonek memiliki ekosistem yang lengkap (terumbu karang, mangrove, dan lamun), namun karena luasan dan kualitasnya relatif sedang, maka nilai adaptive capacity tidak terlalu tinggi.

Pulau Kasu memiliki nilai indeks kerentanan lingkungan paling rendah dari 3 pulau yang diteliti. Jika dilihat dari karakteristik dimensi exposure, parameter kerentanan lingkungan yang memiliki nilai tinggi adalah gelombang, sedangkan parameter lainnya berada pada nilai yang rendah sampai sedang. Oleh karena sebagian besar parameter kerentanan lingkungan dimensi exposure masih rendah, maka nilai ketersingkapan pulau ini relatif rendah. Karakteristik dimensi sensitivity yang spesifik dari Pulau Kasu adalah tipologi pemukiman. Pemukiman penduduk di pulau ini dominan berada di atas pemukaan laut, atau berada di depan garis pantai. Pada waktu tertentu, hempasan gelombang laut dari bawah lantai rumah penduduk cukup besar, sehingga dapat merusak lantai rumah penduduk yang berada di atas perairan. Pulau Kasu merupakan pulau petabah dari kelompok pulau berbukit, memiliki ketinggian daratan rata-rata lebih dari 2 m

(37)

di atas permukaan laut. Karakteristik dimensi adaptive capacity Pulau Kasu sama dengan Pulau Saonek. Ekosistem lamun tumbuh dan berkembang dengan baik di pulau ini. Demikian juga luas habitat pesisir lebih besar dibandingkan dengan Pulau Saonek. Ekosistem mangrove yang tumbuh dominan di sekeliling pantai Pulau Kasu menjadi pelindung bagi daratan Pulau Kasu. Secara ringkas karakteristik spesifik dari masing-masing pulau yang mempengaruhi tingkat kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Karakteristik spesifik masing-masing pulau Pulau

Nilai Kerentanan

Karakteristik spesifik

Exposure Sensitivity Adaptive

capacity

Indeks Kerentanan

Kasu 2.93 2.50 3.00 2.44 • Pemukiman terletak di

depan garis pantai (berada di atas perairan)

• Dominan ekosistem mangrove dan lamun • Ketinggian daratan pulau

dominan di atas 2 m Barrang

Lompo 6.28 4.15 3.40 7.67 • Ketinggian pulau dominan kurang dari 2 m

• Dekat dengan lokasi kejadian tsunami • Dominan terumbu karang

dan lamun

Saonek 4.85 3.82 3.00 6.18 • Gelombang relatif besar

• Terdapat ekosistem terumbu karang, mangrove, dan lamun

4.6.2. Dinamika Kerentanan

Dari hasil analisis kecenderungan perubahan nilai parameter kerentanan seperti yang disajikan pada Tabel 19 sebelumnya, diperoleh beberapa parameter yang akan mengalami perubahan pada masa yang akan datang. Parameter yang bersifat dinamis adalah kenaikan muka laut dan pertumbuhan penduduk pada dimensi exposure. Asumsi yang digunakan dalam analisis dinamika kerentanan ini adalah perubahan faktor-faktor eksternal khususnya kenaikan muka laut akan mengalami peningkatan, sehingga memberikan dampak terhadap sistem pulau-pulau kecil.

Kasus Pulau Kasu, parameter kerentanan yang diprediksi akan berubah untuk 2 tahun ke depan adalah kenaikan muka laut yang berdampak terhadap

(38)

pemukiman penduduk yang terletak di atas permukaan air, serta terendamnya beberapa bagian pulau yang memiliki elevasi rendah. Dengan asumsi yang disebutkan sebelumnya, maka terjadi perubahan nilai parameter kenaikan muka laut dari nilai semula (1) berubah menjadi 2, serta perubahan nilai parameter pemukiman dari semula (4) menjadi 5. Dengan menggunakan perubahan nilai kedua paremeter tersebut, maka kerentanan Pulau Kasu pada 2 tahun ke depan menjadi 5, dengan kofisien kerentanan sebesar 0.008086. Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu ini merupakan skenario minimal, karena tidak memasukkan perubahan laju pertumbuhan penduduk yang berimplikasi pada kepadatan penduduk Pulau Kasu.

Kasus Pulau Barrang Lombo, kecenderungan perubahan parameter kerentanan yang akan terjadi adalah perubahan nilai kenaikan muka laut dari nilai semula (2) menjadi 3, serta kemungkinan perubahan nilai parameter terumbu karang pada dimensi adaptive capacity dari nilai semula (4) menjadi 3. Perubahan nilai terumbu karang ini diperkirakan terjadi karena masih berlangsungnya kegiatan penambangan karang oleh masyarakat, sehingga diprediksi akan terjadi penurunan kualitas tutupan karang hidup. Berdasarkan perubahan nilai dari 2 parameter tersebut, diperoleh nilai indeks kerentanan Pulau Barrang Lompo pada 2 tahun kedepan sebesar 9.41, dengan koefisien kerentanan 0.012847.

Untuk kasus Pulau Saonek, parameter kerentanan yang cenderung mengalami perubahan adalah kenaikan muka laut yang akan tinggi sehingga diprediksi akan mengubah nilai kenaikan muka laut dari semula (2) menjadi 3. Dengan adanya perubahan kenaikan muka laut ini, nilai kerentanan Pulau Saonek pada 2 tahun kedepan adalah 7.74 dengan koefisien kerentanan sebesar 0.011298. Berdasarkan nilai-nilai koefisien kerentanan seperti yang disebutkan sebelumnya, nilai indeks kerentanan lingkungan ketiga pulau kecil yang diteliti dapat diproyeksikan sampai tahun 2100 seperti pada Gambar 26.

(39)

Gambar 26. Proyeksi dinamika kerentanan lingkungan Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek

Seperti terlihat pada Gambar 26, Pulau Barrang Lompo memiliki kerentanan saat ini yang paling tinggi, disusul Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Dengan melakukan proyeksi sampai tahun 2100, terlihat bahwa Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek akan mencapai kerentanan sangat tinggi (lebih dari 40.48), sedangkan Pulau Kasu masih berada pada kategori kerentanan rendah (kurang dari 40.48). Perbedaan kerentanan ini sangat ditentukan kondisi lingkungan dan sosial dan ekonomi ketiga pulau tersebut. Perbedaan tersebut terjadi pada komponen exposure, sensitivity dan adaptive capacity.

4.7. Proyeksi Perubahan Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil 4.7.1. Pulau Kasu

Seperti telah dipaparkan pada Gambar 26, dimana terlihat adanya perbedaan kerentanan ketiga pulau kecil, baik kerentanan saat ini maupun proyeksi kerentanan lingkungan pada waktu yang akan datang. Untuk mengkaji lebih jauh perubahan dinamika kerentanan ke 3 pulau kecil tersebut, dilakukan proyeksi berdasarkan 2 skenario pengelolaan, yaitu pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2.

Perubahan kerentanan Pulau Kasu tanpa adanya upaya pengelolaan, kecenderungan yang terjadi adalah kenaikan muka laut dan dampak kenaikan muka laut terhadap pemukiman. Upaya mengurangi peningkatan kerentanan

0 10 20 30 40 50 60 2010 2014 2018 2022 2026 2030 2034 2038 2042 2046 2050 2054 2058 2062 2066 2070 2074 2078 2082 2086 2090 2094 2098 In de ks  Keren tan an Tahun 

(40)

Pulau Kasu, dapat dilakukan dengan 2 skenario. Skenario pertama adalah dengan meningkatkan kapasitas adaptif Pulau Kasu dengan mengembangkan atau menetapkan habitat pesisir menjadi kawasan konservasi sekitar 30 % dari habitat pesisir yang ada. Dengan menetapkan kawasan habitat pesisir sebagai kawasan konservasi laut, maka ada jaminan bahwa tidak akan terjadi penurunan kualitas dari habitat pesisir yang ada di pulau ini, sehingga fungsi sebagai pelindung pulau tetap terjamin. Skenario kedua, adalah meningkatkan kawasan konservasi laut menjadi 50 % dari habitat pesisir yang ada, dan juga mengembangkan kebijakan untuk memindahkan pemukiman penduduk ke tempat yang lebih aman di pulau tersebut. Pilihan skenario kedua ini dapat dilakukan sebagai pengelolaan jangka panjang, manakala pilihan skenario pertama sudah tidak dapat mengurangi peningkatan kerentanan Pulau Kasu. Pada Gambar 27 disajikan perbandingan kerentanan Pulau Kasu tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2.

Gambar 27. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Kasu 4.7.2. Pulau Barrang Lompo

Pilihan skenario 1 untuk pengelolaan Pulau Barrang Lompo adalah pengembangan kawasan konservasi laut. Hal ini perlu dilakukan mengingat

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 20 10 20 14 20 18 20 22 20 26 20 30 20 34 20 38 20 42 20 46 20 50 20 54 20 58 20 62 20 66 20 70 20 74 20 78 20 82 20 86 20 90 20 94 20 98 Indeks  Kerent an an Tahun

(41)

habitat pesisir di Pulau Barrang Lompo didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang ini memiliki peran dalam meredam energi gelombang yang mencapai pantai. Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Barrang Lompo adalah adanya aktivitas penambangan karang untuk keperluan bahan bangunan. Dampak kerusakan terumbu karang sudah mulai dirasakan oleh penduduk, khususnya yang berada di sekitar pantai, akibatnya adanya hantaman gelombang pada musim-musim tertentu. Melalui pengembangan kawasan konservasi laut untuk melindungi ekosistem terumbu karang, aktivitas penambangan karang yang selama ini masih dilakukan oleh masyarakat dapat dihentikan. Pengembangan kawasan konservasi laut khususnya ekosistem terumbu karang minimal 30 % dari proporsi habitat pesisir atau sekitar 39 ha dari 71.72 ha terumbu karang yang ada di pulau ini.

Apabila skenario 1 belum efektif menurunkan kerentanan pulau, maka perlu dikembangkan skenario kedua. Ada dua pilihan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mereduksi kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo (skenario 2), yaitu dengan meningkatkan proporsi kawasan konservasi laut menjadi 50 % dari habitat pesisir yang ada atau sekitar 65 ha kawasan terumbu karang dijadikan kawasan konservasi laut. Pilihan pengelolaan yang juga harus dilakukan adalah dengan membuat tembok pelindung pantai yang saat ini sudah sebagian dibangun di sekitar pantai Pulau Barrang Lompo. Pilihan pembangunan pelindung pantai dilakukan manakala peningkatan kapasitas adaptif alami tidak mampu lagi menurunkan kerentanan Pulau Barang Lompo. Karakteristik Pulau Barrang Lompo yang spesifik seperti rendahnya daratan pulau, menyebabkan pilihan-pilihan strategi adaptasi menjadi terbatas. Pada jangka panjang, alternatif pemindahan penduduk ke luar dari Pulau Barang Lompo atau membuat rumah panggung di Pulau Barrang Lompo menjadi pilihan yang bijak, mengingat kerentanan pulau ini sudah sangat tinggi. Pada Gambar 28 disajikan perbandingan kerentanan Pulau Barrang Lompo tanpa adanya pengelolaan, pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2.

(42)

Gambar 28. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo 4.7.3. Pulau Saonek

Seperti halnya dengan pilihan pengelolaan Pulau Kasu dan Barrang Lompo, pengelolaan skenario 1 untuk Pulau Saonek juga dilakukan dengan mengembangkan kawasan konservasi laut. Baik ekosistem mangrove maupun terumbu karang di Pulau Saonek belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, sehingga terbuka peluang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Namun dengan penetapan kawasan konservasi laut, upaya-upaya pemanfaatan yang bersifat destruktif tidak akan terjadi. Pilihan skenario 1 ini dilakukan dengan menetapkan seluruh ekosistem mangrove seluas 4.17 ha seluruhnya dijadikan kawasan konservasi laut ditambah dengan ekosistem terumbu karang seluas 13.42 ha. Skenario kedua dilakukan dengan meningkatkan kawasan konservasi habitat pesisir menjadi 50 % atau sekitar 4.17 ha ekosistem mangrove dan 25 ha dijadikan konservasi laut. Selain itu juga dilakukan upaya perlindungan pantai dengan membangun bangunan pelindung pantai pada pantai berpasir. Pada Gambar 29 disajikan perbandingan kerentanan Pulau Saonek tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2.

0 10 20 30 40 50 60 20 10 20 14 20 18 20 22 20 26 20 30 20 34 20 38 20 42 20 46 20 50 20 54 20 58 20 62 20 66 20 70 20 74 20 78 20 82 20 86 20 90 20 94 20 98 Indek Ker entanan Tahun

(43)

Gambar 29. Proyeksi dinamika kerentanan lingkungan Pulau Saonek 4.8. Perkiraan Laju Perendaman Daratan Pulau

4.8.1. Pulau Kasu

Laju kenaikan muka laut di sekitar perairan Batam sebesar 3.99 mm/tahun relatif lebih rendah dibandingkan dua pulau lainnya yang diteliti, dan hal ini tidak berimplikasi besar terhadap laju perendaman daratan Pulau Kasu. Hal ini disebabkan karena karakteristik Pulau Kasu sebagai pulau berbukit, dengan ketinggian daratan pulau dominan berada pada ketinggian lebih dari 200 cm, hanya sebagian kecil daratan pulau yang berada pada ketinggian kurang dari 100 cm. Dengan kondisi pulau yang dominan berada pada ketinggian lebih dari 200 cm, maka peluang perendaman daratan pulau sangat kecil. Luas daratan Pulau Kasu yang berada pada ketinggian 0-20 cm adalah 3.61 ha, sedangkan daratan yang berada pada ketinggian 21-40 cm seluas 1.74 ha. Dengan demikian total luas daratan Pulau Kasu yang berada pada ketinggian kurang dari 40 cm adalah sekitar 5.35 ha atau sekitar 11.52 % dari luas total daratan Pulau Kasu. Dengan menggunakan data laju kenaikan muka laut sebesar 3.99 mm/tahun maka dapat diprediksi kenaikan muka laut di sekitar Pulau Kasu sampai pada tahun 2100. Pada tahun 2020, diperkirakan kenaikan muka laut di sekitar Pulau Kasu sekitar 3.99 cm, pada tahun 2040 meningkat menjadi 11.97 cm, tahun 2060 menjadi 19.95 cm, tahun 2080 menjadi 27.93 cm dan pada tahun 2100 ketinggian muka laut akan meningkat sebesar 35.91 cm. Hal ini berarti, ketinggian daratan Pulau

0 10 20 30 40 50 60 2010 2014 2018 2022 2026 2030 2034 2038 2042 2046 2050 2054 2058 2062 2066 2070 2074 2078 2082 2086 2090 2094 2098 In de ks  Kerent an an Tahun

(44)

Kasu yang kurang atau sama dengan 35.91 cm di atas permukaan laut akan mengalami perendaman sampai tahun 2100.

Berdasarkan analisis ketinggian daratan Pulau Kasu, diketahui bahwa sampai tahun 2100 diperkirakan hanya sekitar 10 % dari daratan Pulau Kasu yang terendam, yaitu luas daratan Pulau Kasu yang memiliki ketinggian kurang dari 40 cm. Pada tahun 2020 dimana diperkirakan kenaikan muka laut di sekitar perairan Pulau Kasu sekitar 3.99 cm, akan berdampak terhadap perendaman Pulau Kasu seluas 1.60 ha atau sekitar 3.45 % dari luas Pulau Kasu. Pada 2040, terjadi perendaman daratan Pulau Kasu sekitar 2.66 ha atau sekitar 5.74 % luas daratan Pulau Kasu, dimana pada tahun tersebut kenaikan muka laut di sekitar pulau ini sekitar 11.97 cm. Kenaikan muka laut dari tahun 2040 ke 2060 akan meningkatkan daratan Pulau Kasu terendam menjadi 3.61 ha atau sekitar 7.78 %. Adapun kenaikan muka laut pada tahun 2080 akan menyebabkan sekitar 4.64 ha daratan Pulau Kasu akan mengalami perendaman. Hingga tahun 2100 diperkirakan kenaikan muka laut akan mencapai sekitar 35.91 cm, dimana pada saat itu luas daratan Pulau Kasu yang terendam seluas 4.87 ha. Pada Gambar 30-31 disajikan prediksi perendaman daratan Pulau Kasu sampai tahun 2100.

(45)

 

  Gambar 31. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2040, 2060, 2080, dan 2100

(46)

4.8.2. Pulau Barrang Lompo

Berbeda dengan Pulau Kasu, dampak kenaikan muka laut terhadap perendaman daratan Pulau Barrang Lompo sangat besar. Hal ini disebabkan oleh kenaikan muka laut di Selatan Makasar lebih tinggi dibandingkan di Perairan Sekitar Batam. Selain itu juga karakteristik daratan Pulau Barrang Lompo berbeda dengan karakteristik daratan Pulau Kasu. Pulau Barrang Lompo adalah pulau karang yang memiliki ketinggian daratan di atas permukaan laut sangat rendah dibandingkan Pulau Kasu. Sebagian besar daratan Pulau Barrang Lompo berada pada ketinggian kurang dari 100 cm. Hal ini tentunya berimplikasi pada peluang perendaman daratan Pulau Barrang Lompo yang sangat besar. Seperti telah diuraikan sebelumnya, diketahui bahwa daratan Pulau Barrang Lompo yang berada pada ketinggian 0-20 cm seluas 6.26 ha atau sekitar 30.42 % dari total luas daratan Pulau Barrang Lompo, ketinggian daratan antara 21-40 cm seluas 9.99 ha atau sekitar 48.54 % dari luas daratan pulau, dan ketinggian daratan antara 41-60 cm seluas 3.14 cm atau 15.26 % dari luas daratan pulau. Dengan demikian total daratan Pulau Barrang Lompo yang berada pada ketinggian kurang atau sama dengan 60 cm adalah 19.39 ha atau sekitar 94.22 % dari total luas pulau. Dengan laju kenaikan muka laut sekitar Pulau Barrang Lompo sekitar 5.09 mm/tahun, maka pada tahun 2020 diperkirakan kenaikan muka laut di sekitar pulau ini mencapai 5.09 cm. Pada tahun 2040, kenaikan muka laut sekitar 15.27 cm, tahun 2060 akan mencapai 25.45 cm, tahun 2080 mencapai 35.63 cm dan pada tahun 2100 akan meningkat menjadi 45.81 cm. Dengan asumsi laju kenaikan muka laut sekitar 5.09 mm/tahun, maka pada tahun 2020 kenaikan muka laut di sekitar Pulau Barrang Lompo akan mencapai 5.09 cm. Pada tahun 2040 kenaikan muka laut meningkat menjadi 15.27 cm, tahun 2060 kenaikan muka laut menjadi 25.45 cm. Pada tahun 2080 kenaikan muka laut mencapai sekitar 35.63 cm, sedangkan pada tahun 2100, kenaikan muka laut di sekitar Pulau Barrang Lompo mencapai 45.81 cm.

Pada tahun 2020, sekitar 1.21 ha atau 5.88 % daratan Pulau Barrang Lompo diperkirakan akan terendam, dimana pada saat itu kenaikan muka laut mencapai 5 cm. Tahun 2040, terjadi peningkatan daratan Pulau Barrang Lompo yang terendam cukup besar, yaitu sekitar 4.21 ha atau sekitar 20.46 % dari luas

(47)

daratan Pulau Barrang Lompo. Dari tahun 2040 ke 2060 terjadi peningkatan perendaman sebesar 4.16 ha, sehingga pada tahun tersebut luas daratan Pulau Barrang Lompo yang terendam sekitar 8.37 ha atau sekitar 40.67 %. Tahun 2080, luas daratan Pulau Barrang Lompo yang terendam adalah 14.49 ha atau sekitar 70.41 % dari luas Pulau Barrang Lompo. Pada tahun 2100 sekitar 84.94 % daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman atau sekitar 17.48 ha. Dengan demikian, apabila luas Pulau Barrang Lompo sekitar 20.58 ha, maka hanya tersisa sekitar 3.10 ha yang masih berada di atas pemukaan laut. Besarnya luasan daratan Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami perendaman diakibatkan kenaikan muka laut yang lebih besar serta karakteristik daratan pulau yang sangat rendah. Pada Gambar 32-33 disajikan prediksi perendaman daratan Pulau Barrang Lompo sampai tahun 2100.

(48)

 

  Gambar 33. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2040, 2060, 2080, dan 2100

(49)

4.8.3. Pulau Saonek

Sama halnya dengan Pulau Barrang Lompo, Pulau Saonek juga memiliki daratan yang relatif rendah di atas permukaan laut. Pulau ini diperkirakan akan mengalami perendaman pada waktu yang akan datang. Pulau Saonek merupakan pulau karang yang memiliki bukit dengan ketinggian mencapai 48 m. Dengan adanya bukit ini, Pulau Saonek relatif aman dari ancaman penenggelaman pulau karena kenaikan muka laut. Namun demikian, terdapat bagian-bagian pulau yang sangat rendah, yang diprediksi akan mengalami perendaman karena adanya kenaikan muka laut. Luas daratan Pulau Saonek yang berada pada ketinggian 0-20 cm seluas 2.43 ha atau sekitar 13.50 % dari luas daratan pulau, sedangkan luas daratan pulau yang berada pada ketinggian 21-40 cm seluas 2.42 ha atau sekitar 13.44 % dari luas daratan Pulau Saonek. Adapun luas daratan Pulau Saonek yang berada pada ketinggian 41-60 cm dan 61-80 cm masing-masing seluas 2.45 ha dan 2.95 atau sekitar 13.61 % dan 16.39 % dari total luas daratan Pulau Saonek. Daratan pulau yang memiliki ketinggian sampai sekitar 65 cm inilah yang diprediksi akan mengalami perendaman karena kenaikan muka laut hingga tahun 2100.

Hasil analisis kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Saonek, diketahui bahwa laju kenaikan muka laut sekitar 7.06 mm/tahun. Artinya setiap 10 tahun, akan terjadi peningkatan muka laut sekitar 7 cm. Pada tahun 2020, kenaikan muka laut di sekitar Pulau Saonek akan mencapai 7.06 cm, dan akan meningkat menjadi 21.18 cm pada tahun 2040. Pada tahun 2060 kenaikan muka laut menjadi 35.30 cm, tahun 2080 meningkat menjadi 49.42 cm, dan pada tahun 2100 kenaikan muka laut di sekitar Pulau Saonek mencapai ketinggian 63.54 cm. Dengan ketinggian daratan Pulau Saoenk yang sebagian berada pada ketinggian rendah, maka ketinggian daratan pulau yang diprediksi akan mengalami perendaman adalah pada daratan dengan ketinggian 0-80 cm.

Pada tahun 2020, kenaikan muka laut diprediksi akan merendam daratan Pulau Saonek sekitar 0.35 ha atau sekitar 1.97 %. Kenaikan muka laut sampai tahun 2020 ini masih berdampak kecil terhadap perendaman daratan Pulau Saonek. Pada tahun 2040, kenaikan muka laut diperkirakan sekitar 14 cm, hal ini diprediksi akan merendam daratan Pulau Saonek sekitar 2.42 ha atau sekitar 13.46

Gambar

Tabel 18.  Bobot parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil
Tabel 19.  Nilai skor masing-masing parameter kerentanan pulau-pulau kecil
Gambar 23.  Perbandingan nilai parameter exposure ketiga pulau 0%20%40%60%80%100%
Gambar 24.  Perbandingan nilai parameter sensitivity ketiga pulau 0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%100%Tipologi Pantai
+7

Referensi

Dokumen terkait