i
(Leiognathus equulus Forskal, 1874)
DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
EKA PRATIWI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2011
Eka Pratiwi C24070032
RINGKASAN
Eka Pratiwi. C24070032. Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta . Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Achmad Fachruddin
lkan pepetek (Leiognathus equulus) termasuk kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya di perairan Teluk Jakarta. Ikan pepetek merupakan hasil tangkapan sampingan yang diolah menjadi ikan asin, pakan udang dan pakan ikan. Walaupun demikian, ikan pepetek merupakan ikan tangkapan dominan yang didaratkan di TPI Cilincing. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok ikan pepetek melalui aspek biologi, seperti TKG, nisbah kelamin, hubungan panjang bobot, faktor kondisi, parameter pertumbuhan, dan laju mortalitas selain itu dianalisis juga laju eksploitasi dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan pepetek. Informasi ini merupakan masukan yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan pepetek yang berkelanjutan.
Pengambilan contoh ikan berlangsung mulai 23 Oktober-18 Desember 2010. di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing. Ikan contoh setiap 2 minggu sekali sebanyak 30-100 ekor dan dibedakan antara jantan dan betina Data primer yang dikumpulkan adalah panjang total dan bobot basah serta TKG melalui pembedahan ikan. Sedangkan data sekunder berupa hasil produksi dan harga ikan pepetek tahun 2008 sampai 2010 diperoleh dari pencatatan pelelangan TPI Cilincing.
Kelompok umur dipisahkan dengan metode NORMSEP (Normal Separation); TKG dianalisis secara morfologi; nisbah kelamin ditentukan dengan perbandingan jantan dan betina, faktor kondisi dianalisis dengan membandingkan panjang dan bobot; pertumbuhan dan mortalitas dianalisis berdasarkan frekuensi dari panjang; parameter pertumbuhan yang meliputi K (koefisien pertumbuhan) L∞ (panjang asimtotik) dan t0 (rumus teoritis ikan pada saat panjang nol) dianalisis menggunakan metode Ford Walford; laju mortalitas meliputi laju motalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang, mortalitas alami (M) menggunakan rumus empiris pauly, mortalitas penangkapan (F) dengan menggunakan rumus F = Z – M, sehingga diperoleh tingkat eksploitasi (E) dengan E = F/Z. Pendugaan analisis ketidakpastian menggunakan metode Monte Carlo.
Panjang ikan pepetek jantan yang tertangkap adalah 130 mm dan ikan pepetek betina 124 mm. Sebaran kelompok ukuran baik ikan pepetek jantan dan betina mengalami pergeseran ke kanan sehingga menunjukan adanya pertumbuhan. Ikan pepetek jantan yang banyak tertangkap memiliki TKG 2 dan TKG 3, sedangkan ikan betina yang dominan tertangkap TKG 2. Ikan pepetek yang dominan tertangkap adalah ikan pepetek jantan daripada ikan pepetek betina dengan perbandingan nisbah kelamin 1.9:1. Pola pertumbuhan ikan pepetek adalah allometrik negatif (p<0.05). Faktor kondisi rata-rata ikan pepetek betina lebih besar dibandingkan ikan pepetek jantan. Koefisien pertumbuhan (K) ikan pepetek jantan 0.80 per tahun dan panjang asimtotik (L∞) sebesar 170.78 mm. Koefisien pertumbuhan ikan pepetek betina 0.94 per tahun dan panjang asimtotik sebesar 166.91 mm. Koefisien
pertumbuhan ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina, sehingga ikan jantan lebih lama mencapai panjang asimtotik dibandingkan ikan pepetek betina. Ikan pepetek jantan memiliki laju mortaitas alami (M) sebesar 0.7519 per tahun dan mortalitas penangkapan sebesar 6.9888 per tahun, sehingga laju eksploitasi mencapai 90.29 % per tahun. Mortalitas alami Ikan pepetek betina sebesar 0.4704 per tahun dan mortalitas penangkapan sebesar 5.7851 per tahun dengan laju eksploitasi sebesar 92.48 % per tahun. Nilai laju eksploitasi ikan pepetek melebihi laju eksploitasi optimum 50 %. Berdasarkan hasil analisis, stok ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta mengalami growth overfishing. Hasil analisis ketidakpastian menunjukkan nilai produksi ikan pepetek mengalami fluktuasi sehingga dapat dikatakan memiliki ketidakpastian tinggi, sedangkan harga dari tahun 2008-2010 relatif konstan.
Tingkat eksploitasi yang tinggi harus diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya ikan pepetek secara berkelanjutan. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah perahu motor untuk menangkap ikan pepetek, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan pepetek untuk mengurangi upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggunaan alat tangkap yang selektif.
Kata kunci : ikan pepetek, Teluk Jakarta, parameter pertumbuhan, laju eksploitasi, dan analisis ketidakpastian
KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN
HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK
(Leiognathus equulus Forskal, 1874)
DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
Eka Pratiwi
C2070032
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di Perairan Teluk Jakarta
Nama Mahasiswa : Eka Pratiwi
NIM : C24070032
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer DEA Dr. Ir. H. Achmad Fachruddin M. Si NIP. 19570928 19810 3 1006 NIP. 19640327 198903 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan
sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta”; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di TPI
Cilincing pada November 2010-Desember 2010. Hal ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor.
Penulis menyadari skripsi yang dibuat ini jauh dari kata sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk berbagai pihak.
Bogor, Mei 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fachruddin, M.Si selaku dosen pembimbing II dan selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Bapak Ir. Zairion M. Sc selaku dosen penguji tamu dan Bapak Ir. Agustinus M
Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan atas saran serta arahannya. 3. Keluarga tercinta; Papa (Bapak Abdul Syakur), Mama (Ibu Siti Badriyah),
adik-adikku (Mimi Suhelmi, Andi Rifaldi dan A. Syarafuddin Asyirazi) atas motivasi dan dukungan.
4. Seluruh staf Tata Usaha MSP serta staf MOSI yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.
5. Seluruh Pegawai TPI Cilincing atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian
6. Fitryanti dan Austin Efflin W. R sebagai patner, atas suka duka, perjuangan, kerjasama dan semangatnya.
7. Sahabat-sahabatku MSP 44, kakak-kakak MSP 43, sahabat-sahabat yang ada di Tangerang terutama Marsin dan Heni, serta pihak -pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang, 27 Agustus 1989 dari pasangan Bapak Abdul Syakur dan Ibu Siti Badriyah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu SDN 01 Teluknaga, Kab. Tangerang. Penulis melanjutkan pendidikan formal di SMPN 01 Teluknaga, Kabupaten Tangerang. dan SMAN 6 Tangerang. Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Asisten Pengkajian Stok Ikan tahun 2011. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tahun 2007-2008, Pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) tahun 2008-2010, serta aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Kajian stok dan analisis ketidakpastian
hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan ... 3 1.4. Manfaat ... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5 2.1. Ikan Pepetek ... 5
2.1.1. Klasifikasi dan morfologi ... 5
2.1.2. Distribusi ikan pepetek ... 8
2.2. Alat Tangkap ... 9
2.3. Nisbah Kelamin ... 10
2.4. Tingkat Kematangan Gonad ... 10
2.5. Distribusi Frekuensi Panjang... 11
2.6. Pertumbuhan ... 11
2.7.1. Hubungan panjang bobot ... 12
2.7.2. Faktor kondisi ... 12
2.7.3. Parameter pertumbuhan ... 13
2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ... 14
2.8. Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 14
2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 18
3. METODE PENELITIAN ... 19
3.1. Lokasi dan Waktu ... 19
3.2. Metode kerja ... 19
3.2.1. Alat dan bahan ... 19
3.2.2. Pengumpulan data ... 20
3.3. Analisis Data ... 21
3.3.1. Nisbah kelamin ... 21
3.3.2. Tingkat kematangan gonad ... 21
3.3.3. Sebaran frekuensi panjang ... 22
3.3.4. Identifikasi kelompok umur ... 22
3.3.5. Pertumbuhan ... 23
3.3.5.1. Hubungan panjang bobot ... 23
3.3.5.2. Faktor kondisi ... 24
3.3.5.3. Parameter pertumbuhan ... 25
3.3.6. Mortalitas dan eksploitasi ... 27
3.3.7. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan ... 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
4.1. Kondisi Ikan Pepetek di Perairan Teluk Jakarta ... 30
4.2. Perairan Teluk Jakarta... 31
4.3. Nisbah Kelamin ... 32
4.4. Tingkat Kematangan Gonad ... 32
4.5. Sebaran Frekuensi Panjang ... 34
4.6. Kelompok Umur ... 36
4.7. Pertumbuhan ... 39
4.7.1. Hubungan panjang bobot ... 39
4.7.2. Faktor kondisi ... 42
4.7.3. Parameter pertumbuhan ... 43
4.8. Mortalitas dan Eksploitasi ... 46
4.9. Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 48
4.10. Hubungan Ketidakpastian dengan Stok ... 50
4.11. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pepetek di Teluk Jakarta... 51
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
5.1. Kesimpulan... 53
5.2. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA... 54
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan ... 15 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya ... 20 3. Penentuan TKG secara morfologi dari Cassie ... 21 4. Nisbah kelami dan proporsi kelamin pada ikan pepetek (Leiognathus
equulus) jantan di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan
contoh ... . 32 5. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI
Cilincing Teluk Jakarta ... 34 6. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan
di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 38 7. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina
di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 38 8. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI
Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 39 9. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan
di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 39 10. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina
di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 39 11. Parameter pertumbuhan ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI
Cilincing, Teluk Jakarta. ... 44 12. Analisis beberapa penelitian menegenai parameter pertumbuhan ikan
pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 45 13. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 47 14. Nilai statistik produksi ikan pepetek periode 2008-2010 di TPI
Cilincing Teluk Jakarta ... . 49
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis
sumberdaya ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta ... 3
2. Ikan pepetek (Leiognathus equulus) ... 5
3. Peta penyebaran ikan pepetek (Leiognathus equulus) ... 8
4. Alat penangkapan dogol ikan pepetek (Leiognathus equulus) ... 9
5. Lokasi penangkapan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010 - Desember 2010 ... 19
6. Produksi per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta menggunakan alat tangkap dogol ... 30
7. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 33
8. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 33
9. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan maupun betina di TPI Cilincing Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... . 35
10. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan periode Oktober 2010-Desember 2010 ... 36
11. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina periode Oktober 2010-Desember 2010 ... 37
12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 40
13. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 40
14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 41
15. Faktor kondisi ikan Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 43
16. Kurva pertumbuhan Von Bartalanffy ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 44
17. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis panjang ikan pepetek
(Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 46 18. Grafik produksi ikan pepetek yang didaratkan di TPI Cilincing
Perairan Teluk Jakarta periode 2008-2010 ... 48 19. Diagram frekuensi volume produksi ikan pepetek periode 2008-2010
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di TPI
Cilincing Teluk Jakarta ... 58 2. Panjang total dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI
Cilincing, Telik Jakarta setiap pengambilan contoh... ... 59 3. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 6 November 2010... ... 64 4. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 20 November 2010... 66 5. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 4 Desember 2010... ... 68 6. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 18 Desember 2010... ... 70 7. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta 23 Oktober 2010-18
Desember 2010... ... 72 8. Pendugaan Parameter Pertumbuhan (L∞, K, dan t0) dengan
menggunakan metode Ford Walford ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta... ... 73 9. Perhitungan laju mortalitas total (Z) mortalitas alami (M), mortaitas
penangkapan (P) dan laju eksploitasi (E) ikan pepetek (Leiognathus
equulus) di TPI Cilincing Teluk Jakarta... ... 75 10. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan
pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta .. 77 11. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan
pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta .. 79 12. Data sekunder produksi ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI
Cilincing, Teluk Jakarta Periode 2008-2010 ... 81
1
1.1. Latarbelakang
Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut, dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset bagi pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia. Luas perairan lautan Indonesia sekitar 5,8 juta km2 memiliki potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut sebanyak 4,4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dapat diperoleh dari Zonasi Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sampai tahun 1999, potensi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut baru dimanfaatkan sebesar 76 % dengan tingkat produksi sebesar 3,82 juta ton (Dahuri et al 2001).
Pemanfaatan sumberdaya perikanan pepetek harus dilakukan secara rasional agar sumberdaya ikan pepetek tetap lestari. Menurut Undang-Undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009 bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pemanfaatan tersebut memerlukan pengkajian secara menyeluruh terhadap ikan pepetek meliputi aspek biologi, aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial. Aspek biologi ikan yang dikaji berupa dinamika yang terjadi pada stok sumberdaya ikan yang di eksploitasi.
Perairan laut Teluk Jakarta memiliki potensi dalam kegiatan perikanan tangkap di daerah Jakarta khususnya yang didaratkan di TPI Cilincing. TPI Cilincing merupakan tempat pelelangan ikan yang terletak di Jakarta Utara. Penangkapan sumberdaya ikan yang ada di Teluk Jakarta meliputi ikan pelagis, damersal, maupun ikan karang. Penangkapan ikan pepetek di Teluk Jakarta sering dilakukan pada bulan Desember hingga maret sedangkan musim peceklik pada bulan Juni hingga November. Ikan yang dominan tertangkap di TPI Cilincing adalah ikan damersal, salah satunya yaitu ikan pepetek. Ikan pepetek merupakan ikan yang disukai oleh masyarakat sekitar dan harganya terjangkau untuk setiap kalangan masyarakat sehingga peminatnya lebih banyak dibandingkan ikan damersal lainnya seperti kakap merah atau bambangan, kurisi, kuniran, layur, dan bawal putih. Hal ini menyebabkan
penelitian mengenai stok sumberdaya ikan pepetek sangat penting dilakukan Teluk Jakarta meliputi pertumbuhan, rekuitmen, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan serta analisis ketidakpastian hasil tangkapan dan harga ikan pepetek di Teluk Jakarta.
1.2. Perumusan Masalah
Penangkapan ikan pepetek terus menerus tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya pepetek mengakibatkan mengalami penurunan stok ikan tersebut di perairan Teluk Jakarta. Eksploitasi atas sumberdaya perikanan yang bersifat open access semakin marak sehingga mendorong timbulnya berbagai upaya dalam pengelolaan perikanan perikanan yang berkelanjutan.
Semakin kecil ukuran panjang ikan yang tertangkap diduga stok ikan mengalami eksploitasi, sehingga memerlukan suatu pengelolaan yang tepat. Kondisi aktual stok sumberdaya ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan, rekruiment, mortalitas alami dan penangkapan. Informasi panjang dan bobot ikan pepetek dapat berguna dalam upaya meningkatkan produksi perikanan ikan pepetek, maka diperlukan kajian tentang penyebaran kelompok umur berdasarkan analisis frekuensi panjang, hubungan panjang dan bobot ikan pepetek. Hal tersebut dapat menyebabkan fluktuasi produksi sehingga terjadi ketidakpastian produksi ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta. Penelitian mengenai kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus) yang mengkaji tentang pertumbuhan, penyebaran kelompok umur, laju mortalitas dan eksploitasi serta analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan pepetek berguna dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam rangka pengelolaan perikanan ikan pepetek (Leiognathus equulus) yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 1. Sumberdaya ikan pepetek dapat termasuk kategori over eksploitasi dan under eksploitasi. Ikan pepetek mengalami over eksploitasi ditandai dengan populasi ikan tersebut turun dan ukuran ikan pepetek mengecil sedangkan apabila ikan pepetek mengalami under eksploitasi maka populasi ikan tetap dan ukuran tubuh ikan normal. Hal ini yang menyebabkan perlunya mengkaji sebaran ukuran, pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi
serta analisis ketidakpastian ikan pepetek tersebut sehingga dapat merencanakan suatu pengelolaan yang berkelanjutan.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1) Menduga pertumbuhan ikan pepetek di Teluk Jakarta
2) Menduga laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pepetek di Teluk Jakarta 3) Mengkaji ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek di
Teluk Jakarta
4) Mententukan strategi pengelolaan sumberdaya ikan pepetek di Teluk Jakarta Over eksploitasi Ukuran tubuh mengecil Populasi turun Ukuran tubuh normal Populasi normal Under eksploitasi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Sumberdaya ikan pepetek Kajian pertumbuhan
Laju mortalitas dan laju eksploitasi
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam pengelolaan sumberdaya ikan pepetek di daerah Teluk Jakarta. Pengaruh penangkapan mendukung pola pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimum dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya tersebut.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Pepetek
2.1.1. Klasifikasi dan morfologi
Berdasarkan Allen (2000) dan www.fishbase.org (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Perchomorphi Subordo : Perciformes Famili : Leiognathidae Genus : Leiognathus
Spesies : Leiognathus equulus, Forskal, 1874 Nama Indonesia : Peperek topang
Nama lokal : Peperek (Jakarta), pepetek (Jakarta), petek Nama FAO/ umum : Common ponyfish
Gambar 2. Ikan pepetek (Leiognathus equulus) (Dokumentasi pribadi)
Ikan pepetek (Leiognathus equulus) memiliki ukuran panjang maksimal 24 cm. Ikan pepetek biasa hidup di dasar perairan dengan suhu perairan antara 26-29 0C serta dapat ditemukan juga di daerah estuari. Badan keperak-perakan, batang ekor dengan pelana coklat kecil, sirip dubur kekuningan, sirip punggung transparan, telanjang kepala dengan tulang belakang nuchal serta mulut menunjuk ke bawah (Allen 2000).
Fungsi ekonomis ikan pepetek dirasakan tidak lebih penting daripada fungsi ekologisnya. Ikan petek kurang diminati dalam bentuk segar sehingga lebih banyak dipasarkan dalam bentuk asin kering dan rebus. Ikan yang termasuk dalam famili Leiognathidae ini merupakan salah satu jenis ikan hasil tangkap sampingan yang dominan tertangkap. Ikan ini memiliki nilai cukup ekonomis sehingga nelayan cenderung mengeksploitasi ikan ini dalam jumlah besar.
Secara alami ikan pepetek memiliki tingkat pertumbuhan dan rekruitmen yang relatif tinggi (Saadah 2000), namun tingkat kematian alami ikan ini cukup tinggi (Pauly 1971 in Saadah 2000). Badrudin et. al. (1998) in Saadah (2000) mengatakan bahwa ikan pepetek memiliki daya tahan sangat rendah terhadap penangkapan. Hal ini disebabkan oleh ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak relatif rendah. Mortalitas ikan pepetek akibat penangkapan akan meningkat dua kali lebih besar apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali. Berikut ini ciri-ciri ikan pepetek spesies lain:
a. Leiognathus elonganthus
Leiognathus elonganthus memiliki badan yang ramping dan sedikit pipih, kepala panjang ke depan, tetapi bagian pipi dan dada ditutup sisik-sisik kecil, terdapat munchal spine. Mulut dapat disembulkan ke bawah, warna lebih keperak-perakan bagian belakang dengan warna hitam gelap, sirip punggung memiliki warna kuning membentuk pita mendatar. Ikan jantan memiliki garis-garis biru membujur perut (www.fishbase.org 2011).
b. Leiognathus splendens
Ikan ini memiliki badan pipih dan agak tinggi, kepala runcing ke depan terdapat munchal spine pada bagian punggung. Ikan memiliki mulut pendek dan dapat disembulkan ke bawah. Warna badan ikan keperak-perakan berawal dari
sirip hingga sirip ekor. berwarna kuning cerah pada sirip dubur (www.fishbase.org 2011).
c. Leiognathus daura
Ikan Leioghnathus daura umumnya memiliki panjang maksimal 14 cm, tetapi pada umumnya memiliki panjang 9 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 16 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan ikan spesies ini bewarna silver, punggung berwarna agak kehijau-hijauan, kepala dengan nuchal, dan mulut dapat disembulkan ke bawah. Ikan ini biasanya ditemukan di perairan dangkal, terutama atas dasar berlumpur. Makanan untuk ikan pepetek ini adalah polychaeta, bivalva, krustacea kecil, dan sponge (www.fishbase.org 2011).
d. Leiognathus aureus
Ikan pepetek jenis leioghnathus aureus memiliki panjang maksimal 10 cm tetapi banyak ditemukan dengan panjang 6 cm dan hidup pada daerah perairan damersal dengan kedalaman 70-140 m. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal, serta 24 tulang belakang. Mulut menonjol keluar tidak dapat disembulkan, garis hitam antara margin anteroventral mata dan artikulasi rendah ketika mulut tertutup, garis rusuk lengkap, dan tubuh agak ramping . Keperakan atas setengah dengan bercak abu-abu - coklat yang tidak teratur. Habitat ikan di sekitar pantai dan biasanya ditangkap menggunakan trawl (www.fishbase.org 2011).
e. Leiognathus blochii
Leioghnathus blochii banyak ditemukan dengan ukuran panjang 8 cm dan panjang maksimal mencapai 10 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Spesies ini dibedakan dengan memiliki cirri-ciri seperti dada bersisik, dan bentuk rahang bawah hampir lurus. Makanan ikan ini adalah krustasea kecil dan nematoda dan ditemukan di perairan dangkal dekat bagian bawah. Ikan jenis ini dijual segar dan kering asin di pasar, juga digunakan untuk tepung ikan (www.fishbase.org 2011).
f. Leiognathus brevirostis
Ikan ini sering ditemukan dengan panjang 11 cm dan memiliki panjang maksimum 13.5 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan keperakan; spesimen hidup atau segar dengan kilatan emas. Kepala dengan nuchal, mulut dapat disembulkan kebawah. Makanannya seperti diatom, copepod, Lucifer, nematode and polychaete (www.fishbase.org2011).
2.1.2. Distribusi Ikan Pepetek
Ikan pepetek (Leiognathus equulus) tinggal di lingkungan benthopelagic (dasar perairan hingga mencapai permukaan), sebagian besar hidup di laut, beberapa di air payau dan air tawar. Ikan pepetek hidup pada kedalaman 10-110 m sampai kedalaman 40-60 m dan biasanya ditemukan dalam gerombolan besar. Daerah penyebaran ikan pepetek (Gambar 3) meliputi, Indo-Pasifik Barat: laut merah, Teluk Gulf Persia dan Afrika Timur serta Utara Australia Afrika Selatan, Teluk Benggala, Sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika Timur (Comoros, Seychelles, Madagaskar dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, Selatan Australia (Allen 2000).
Gambar 3. Peta sebaran ikan pepetek (Leiognathus equulus) (www.fishbase.org 2011)
Sementara itu, di Indonesia distribusi ikan petek tersebar hampir di semua wilayah perairan Indonesia meliputi Nias, Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan,
Sulawesi, Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi ikan petek di Indonesia tersebar di pesisir Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor, serta perairan India berada pada kedalaman kurang lebih antara 20-40 dan hidup berkelompok pada kedalaman 40-60 m (Pauly 1977 in Saadah 2000).
2.2. Alat Tangkap
Umumnya ikan pepetek ditangkap mengunakan alat tangkap payang, dogol, dan bagan. Penangkapan ikan pepetek di Teluk Jakarta terutama TPI Cilincing menggunakan jaring dogol (Gambar 4). Jaring dogol digunakan untuk menangkap ikan yang berada di bawah perairan atau termasuk ikan damersal.
Gambar 4. Alat tangkap dogol untuk menangkap ikan pepetek (Leiognathus equulus) www.citranews.com (2010)
Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut jaring. Pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan ikan dan menariknya ke kapal yang berhenti dan berlabuh jangkar atau ke darat atau pantai melalui kedua bagian sayap dan tali selambar (BBPPI 2007 in Rachmawati 2008). Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), jaring terdiri atas kantong, dua buah sayap, dua tali ris, tali selambar, serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah lebih panjang dari tali ris atas. Hal ini untuk mencegah ikan lari kearah vertikal. Kantong merupakan alat paling akhir dari dogol. Hasil tangkapan ikan akan terkumpul pada bagian ini, semakin kecil ukuran mata jaring maka akan semakin kecil peluang ikan meloloskan diri (Khair 2007).
2.3. Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).
Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.
2.4. Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad (Affandi et al. 2007).
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al. 2001 in Tampubolon 2008).
Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang
gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).
2.5. Distribusi Frekuensi Panjang
Semua metode pendugaan stok pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukannya konversi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu pendugaan stok spesies tropis adalah analisis sejumlah frekuensi panjang. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok umur (Sparre & Venema 1999).
Analisis frekuensi panjang memiliki kegunaan untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984). Menurut Iversen (1996) in Sharif (2009) menyebutkan bahwa terdapat faktor pembatas dalam analisis frekuensi panjang yaitu penentuan umur mempersyaratkan banyak contoh dengan selang waktu yang lebar dan umur pada saat pertama kali tertangkap seharusnya diketahui untuk menditeksi kelompok umur pertama. Menurut Lagler (1977) in Sparre & Venema (1999), perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan faktor genetik.
2.6. Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah perubahan panjang atau bobot selama waktu tertentu atau peningkatan biomassa suatu populasi (Effendie 2002). Menurut King (1995) bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi serta sepertiga bagian digunakan untuk pertumbuhan. Effendie (2002) mengatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu faktor luar dan dalam. Faktor dalam
diantaranya keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon dan kemampuan memanfaatkan makanan. Sedangkan faktor luar meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang dan suhu perairan.
2.6.1. Hubungan Panjang Bobot
Analisis mengenai hubungan panjang-bobot yang dapat digunakan untuk mempelajari pola pertumbuhan. Persamaan hubungan panjang-bobot ikan dimanfaatkan untuk bobot ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 2002).
Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, yaitu bobot ikan merupakan hasil pangkat tiga dari panjangnya, nilai pangkat (b) dari analisis tersebut menjelaskan pola pertumbuhan. Nilai b lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan bersifat allometrik positif, artinya pertumbuhan bobot ikan lebih besar daripada pertumbuhan panjang. Nilai b lebih kecil dari 3 maka menunjukkan bahwa pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Apabila nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan isometrik, artinya pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. Perhitungan hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan ikan betina dipisahkan, karena terdapat perbedaan hasil antara jantan dan betina (Effendie 2002).
Pola pertumbuhan yang sama dimiliki ikan pepetek ditemukan juga di perairan Teluk Pelabuhan Ratu (Hazrina 2010). Pola pertumbuhan yang berbeda ditemukan pada ikan pepetek yang hidup di perairan Blanakan dan perairan Labuan dimana memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yakni pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan panjang (Simanjuntak 2010).
2.6.2. Faktor Kondisi
Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi
menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan(Effendie 2002).
2.6.3. Parameter Pertumbuhan
Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy merupakan persamaan yang umumnya digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi. Menurut Beverton & Holt (1957) mengatakan bahwa persamaan Von Bertalanffy menunjukan representasi pertumbuhan populasi ikan yang memuaskan. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Model Ford Walford merupakan model sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999).
Parameter-parameter yang digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi yaitu panjang Infinitif (L∞) merupakan panjang maksimum secara teoritis dan koefisien pertumbuhan (K), dan t0 merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre & Venema 1999). Menurut Dina (2008) parameter pertumbuhan memiliki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat
diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah.
2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (King 1995). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999).
Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang secara teoritis (L∞). Ikan mengalami pertumbuhan cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai mortalitas (M) tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984) faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan (K). Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999).
Menurut Pauly (1984), laju eksploitasi adalah jumlah ikan ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun penangkapannya. Laju eksploitasi dapat didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebur hidup. Menurut King (1995), penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan. Semakin tinggi tingkat eksploitasi ikan di suatu daerah maka mortalitas penangkapan tinggi (Sparee &Venema). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa jika stok ikan yang dieksploitasi optimum maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) adalah 0.5.
2.8. Ketidakpastian Hasil Tangkapan
Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan
sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan di dukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001).
Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dampak ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001).
Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan
Sumber yang bersifat alami
Sumber yang bersifat dari manusia dan manajemen
Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya
Predator-prey Perubahan tekhnologi
Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan
Migrasi Sasaran nelayan
Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen
Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001)
Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap
tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan (Charles 2001).
Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001) yaitu:
1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak).
2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam:
a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management.
b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan.
c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi.
3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan.
a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan.
b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan.
Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada). Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004), yaitu :
1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial.
2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan instuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya.
Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi
acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data.
b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan.
2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu:
a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan
perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang
c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.
2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyamapaian tujuan perikanan lain. Pengelolaan sumberdaya periakanan dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Secara umum tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan terbagi kedalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial (politik dan budaya). Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam untuk merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suwardi 2008).
Menurut Boer & Aziz (2007) bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasilan devisa serta mengetahui porsi optimum pemanafaatan oleh aramada penangkapan ikan. Pengelolaan perikanan memilki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural atau analitik yaitu pendekatan dengan menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut. Konsep tersebut adalah penamabahan, pertumbuhan dan mortalitas.
Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang termahal dan cukup ideal saat ini serta membutuhkan waktu yang sangat lama, dalam memahami setiap komponen diperlukan penelitian khusus yang beragam, mulai dari aspek biologi hingga aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu studi. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan secara global yang menjelaskan sistem sumberdaya ikan tangkapan mengetahui komponen membentuknya, yakni dari data maupun informasi yang mudah dikumpulkan, sepeti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan nilai produksi (Boer & Aziz 2007).
3. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada 23 Oktober 2010 sampai dengan 18 Desember 2010. Lokasi pengambilan ikan contoh di Tempat Pelelangan Ikan Cilincing Teluk Jakarta (Gambar 5). Pengambilan data primer berupa data panjang dan bobot ikan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta dan pengambilan data sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung.
Gambar 5. Lokasi penangkapan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010 - Desember 2010
3.2. Metode Kerja 3.2.1. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian berlangsung disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya
No. Alat dan Bahan Fungsi Keterangan
1 Penggaris Mengukur panjang tubuh ikan Ketelitian 1 mm
2 Timbangan digital Mengukur bobot ikan Ketelitian 1 gr
3 Kamera digital Dokumentasi
4 Tissue Membersihkan tubuh ikan
5 Plastik Bening Alas timbangan digital
6 Alat Tulis
Mencatat data panjang dan bobot ikan
7 Ikan Pepetek contoh yang digunakan
3.2.2. Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder digunakan untuk menunjang data primer. Data primer didapat dari melakukan pengambilan ikan contoh yang dilakukan secara acak dari beberapa nelayan yang ada, ikan diambil 30-100 ekor setiap pengambilan contoh di setiap keranjang nelayan. Ikan contoh didapatkan dengan cara membeli ikan tersebut kepada nelayan. Ikan pepetek ditangkap menggunakan alat tangkap dogol degan mata jaring 1 inchi bagian luar, 1.25 inchi bagian tengah dan 1.5 inchi bagian belakang dengan kapal berukuran 5-6 GT. Pengambilan ikan dilakukan interval waktu 14 hari selama 2,5 bulan. Ikan pepetek yang diamati selama penelitian berjumlah 411 ekor.
Pengumpulan data primer meliputi pengukuran panjang, bobot, identifikasi jenis kelamin, dan TKG untuk mengetahui pola pertumbuhan individu dan pertumbuhan populasi ikan pepetek, baik secara keseluruhan populasi maupun perbedaan antara betina dan jantan. Panjang bobot ikan pepetek diukur panjang total menggunakan penggaris 30 cm dengan skala terkecil 1 mm. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur dari ujung mulut hingga ujung ekor. Data bobot diperoleh dari hasil penimbangan bobot basah ikan pepetek dengan menggunakan timbangan digital dengan skala terkecil 1 gram. Jenis kelamin ikan diketahui melalui cara pembedahan perut ikan kemudian menentukan jenis kelamin dan TKG ikan melalui identifikasi gonadnya. Pada pengambilan contoh ke-2 dan pengambilan contoh ke-5 dibedakan jantan dan betina tetapi pengambilan contoh pertama tidak dibedakan.
Pengumpulan data sekunder didapat dari arsip TPI Cilincing Teluk Jakarta dan Dinas Perikanan DKI Jakarta. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kapal perikanan, alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pepetek, jumlah nelayan, data produksi dan harga ikan pepetek tahun 2008-2010.
3.3. Analisis Data 3.3.1. Nisbah kelamin
Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang ada pada suatu perairan. Untuk mencari nisbah kelamin dapat menggunakan rumus berikut:
(1)
P adalah proporsi ikan (jantan atau betina), n adalah jumlah jantan atau betina dan N adalah jumlah total ikan (jantan & betina)
3.3.2. Tingkat kematangan gonad
Tabel 3. Penentuan TKG secara morfologi menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 2002) .
TKG Betina Jantan
I Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin
Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh II Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari
kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas
Ukuran testes lebih besar, pewarnaan seperti susu
III Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat
Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar
IV Ovari makin besa, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut
Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal
V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan
Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi
Pengamatan gonad ikan contoh dapat menduga jenis kelamin ikan. Penentuan TKG menggunakan klasifikasi kematangan gonad yang telah ditentukan secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot
gonad, serta perkembangan isi gonad. Secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik (Tabel 3).
3.3.3. Sebaran frekuensi panjang
Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah data panjang total ikan pepetek yang ditangkap di Cilincing Teluk Jakarta. Tahap untuk menganalisis data frekunsi panjang adalah:
a) Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan b) Menentukan lebar selang kelas
c) Menentukan selang frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang masing-masing ikan contoh pada panjang selang ikan yang ditentukan.
Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Pada grafik tersebut dapat dilihat sebuah pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran sebaran kelas panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort.
3.3.4. Identifikasi kelompok umur
Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan pepetek. Data frekuensi panjang dianalisis dengan mengunakan metode yang terdapat dengan program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata dan simpangan baku.
Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan kedalam kelas panjang ke-i
(i = 1,2,…,N), µj adalah rata-rata panjang kelompok ke-j, σj adalah simpangan baku
panjang kelompok umur ke-j dan pi adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j
(j = 1,2,…,G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µj, σj ,pj) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum Likelihood function) dengan persamaan sebagai berikut :
(2)
yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj. xi merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj ,pj sehingga diperoleh dugaan µj, σj ,pj yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.
Dalam penggunaan metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks separasi. Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok ukuran karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok ukuran tersebut.
3.3.5. Pertumbuhan
3.3.5.1. Hubungan panjang bobot
Analisis pola pertumbuhan ikan pepetek menggunakan hubungan panjang dengan rumus sebagai berikut (Effendie 2002):
W = (3)
Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus di gunakan persamaan sebagai berikut :
Log W = Log a + b Log L (4)
untuk mendapatkan parameter a dan b digunakan analisis regresi dengan Log W sebagai ‘y’ dan Log L sebagai ‘x’, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut:
untuk menguji nilai b = 3 melawan b < 3 atau b < 3 dilakukan uji-t (uji parsial) dengan hipotetis :
H0 : b = 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik
H1 : b < 3, hubungan panjang dan bobot adalah allometrik negatif atau, b > 3, hubungan panjang dan bobot adalah allometrik positif
W adalah bobot, L adalah panjang, Log a adalah intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengan sumbu y), b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot.
Hipotesis yang digunakan adalah bila b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot). Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan) dan bila b>3 allometrik positif (pola pertumbuhan bobot lebih dominan) (Effendie 2002).
(6)
(7)
b1 adalah Nilai b (dari hubungan panjang bobot), b0 adalah 3, Sb1 adalah simpangan koefisien
Bandingkan nilai thitung dan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan pepetek, maka kaidah keputusan yang diambil adalah :
thitung > ttabel : tolak hipotesis H0 thitung <ttabel : gagal tolak hipotesis H0
3.3.5.2. Faktor kondisi
Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup maupun
reproduksi. Jika pertumbuhan ikan pepetek termasuk pertumbuhan isometrik (b=3), maka nilai faktor kondisi (K) dapat dihitung dengan rumus berikut (Effendie 2002):
(8)
K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang ikan contoh (mm), a dan b adalah konstanta regresi. Jika pertumbuhan bersifat allometrik positif umumnya ikan diamati lebih gemuk dibandingkan ikan yang bertipe allometrik negatif.
3.3.5.3. Parameter pertumbuhan (L∞,K, dan t0)
Plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (King 1995).
(9) atau,
(10)
Lt adalah Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t sama dengan t+1, persamaaan (11) menjadi:
(11)
(12)
dengan mendistribusikan persamaan (10) ke (12), di peroleh
(13)
atau,
(14)
Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yang merupakan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1 =tahun, bulan, atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (14) dan (15) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) di plotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L∞[1-e-K]. Nilai K dan L∞ di peroleh dengan cara sebagai berikut:
K = -ln (b) (15)
dan
(16)
Umur secara teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat di duga secara terpisah menggunakan persamaan empiris pauly (Pauly 1980 in Sparee & Venema) sebagai berikut.
Log (-t0) = 0.3922-0.2752 (Log L∞) – 1.038 (Log K) (17)
3.3.6. Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Langkah 1 : mengkonversikan data panjang ke data umur denagn mengunakan inverse persamaan Von Bertalanffy.
(18)
Langkah 2 : menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (t)
(19)
Langkah 3 : menghitung (t+t/2)
(20)
Langkah 4 : menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang
(21)
persamaan (20) adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z
Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut.
Ln M = - 0.0152-0.279*Ln L∞ + 0.6543*Ln K + 0.463*Ln T (22)
M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C).
Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :
F = Z – M (24)
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) :
(25)
Laju mortalitas penangkapn (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah:
Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5 (26)
3.3.7. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan
Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam menghasilkan tangkapan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan Kaidah Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Teorema Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) , yaitu:
Jika kejadian-kejadian B1, B2, …, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah yang gabungannya ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat:
untuk r = 1,2,…,k
Metode Bayes merupakan metode yang baik dalam pembelajaran berdasarkan data training, dengan menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Metode Bayes hanya bisa digunakan untuk persoalan klasifikasi dengan supervised learning dan data-data kategorikal. Metode Bayes memerlukan pangetahuan awal untuk mengambil suatu keputusan. Tingkat keberhasilan metode ini sangat tergantung pada pengetahuan awal yang diberikan.
Dalam menganalisis ketidakpastian ini digunakan alat bantu berupa perangkat lunak Crystall ball yang berbasis aplikasi spreadsheet suite untuk model prediksi, ramalan, simulasi dan optimasi. Menggunakan Crystall ball dapat membuat keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan kompetitif pada kondisi pasar paling tidak pasti. Crystall ball dapat membantu menganalisis resiko dan ketidakpastian yang terkait dengan model speedshet, suite meliputi analisis simulasi Monte Carlo (Crystall ball), time-series paramalan (CB Prediction), dan optimisasi (Opt Quest) serta pengembangan antar muka kostum dan proses (Goldman 2002 in Wardani 2010).
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta
Perairan Teluk Jakarta memiliki luas teluk sebesar 285 km2, garis pantai yang dimiliki sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman 15 meter. Masyarakat sekitar perairan Teluk Jakarta sebagian memiliki profesi sebagai nelayan tradisional dengan menggunakan alat tangkap berupa bagan, dogol, pancing, jaring payang, dan purseine. Kapal penangkapan ikan di TPI Cilincing merupakan kapal kayu yang dominan berukuran 5-6 GT. Kapal yang digunakan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta adalah perahu tempel dan kapal motor. Hasil tangkapan utama berupa ruca, pepetek, kuniran, pari, kurisi, kapasan, samgeh, dan cumi. Pada Gambar 6 disajikan per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing.
Gambar 6. Produksi per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta yang menggunakan alat tangkap dogol
DKP-DKI 2010
Ikan pepetek di Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing sebagian besar ditangkap menggunakan alat tangkap jaring dogol. Ukuran mata jaring yang digunakan 1 inchi bagian depan, 1.25 inchi bagian tengah dan 1.5 inchi bagian belakang. Daerah penangkapan ikan bagi nelayan Teluk Jakarta adalah pulau-pulau sekitar perairan Teluk Jakarta seperti Pulau Damar, Pulau Bendera, dan Pulau Untung Jawa. Ikan pepetek yang tertangkap dipilah menjadi kelompok ikan segar dan kelompok ikan yang diasinkan.