105
Etika Berhias Perspektif Tafsir Al-Munir: Sebuah Kajian Sosiologis Muhamad Yoga Firdaus
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
anitaagustina852@gmail.com
Abstract
This study aims to discuss the ethics of decorated with the Tafsir Al-Munir perspective. This research method is qualitative through literature study with a sociological approach. The results and discussion of this research include the understanding of ethics, the meaning of the Tafsir Al-Munir, and the ethics decorated with the perspective of Tafsir Al-Munir on sociological analysis. This research concludes that decorating is a necessity of human life that must be equipped with ethics. The ethics inherent in decorative activities can give rise to good views from the surrounding environment to create collective goodness in the sphere of social life. This study recommends that further research be carried out related to ethics and decoration based on other interpretive perspectives.
Keywords: Al-Qur'an; Ethics; Sociology; Tafsir Al-Munir.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan membahas etika berhias perspektif Tafsir Al-Munir. Metode penelitian ini bersifat kualitatif melalu studi pustaka dengan pendekatan sosiologi. Hasil dan pembahasan penelitian ini meliputi pengertian etika, pengertian Tafsir Al-Munir, dan etika berhias perspektif Tafsir Al-Munir analisis sosiologi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa berhias adalah kebutuhan hidup manusia yang harus dilengkapi dengan etika. Etika yang melekat dalam aktivitas berhias dapat melahirkan pandangan baik dari lingkungan sekitar hingga melahirkan kebaikan kolektif dalam lingkup kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terkait etika dan berhias berbasis perspektif tafsir lainnya.
Kata kunci: Al-Qur’an; Etika; Sosiologi; Tafsir Al-Munir.
106
Berhias atau bersolek adalah aktivitas memperindah penampilan yang sering dilakukan dalam keseharian (Khoiriyah, 2019). Saat ini, berhias menjadi kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia (Firdaus, 2019). Namun, berhias pada realitasnya melahirkan sikap berlebih-lebihan (Habibah, 2014). Baru-baru ini, tampak fenomena mengikuti trend hingga bersikap boros dan berlebihan merajalela (Widaningsih, 2020). Sehingga diperlukan telaah lebih dalam terkait etika berhias yang sesuai tuntunan Islam dalam Tafsir Al-Munir (Khoiriyah, 2019).
Sejumlah penelitian terdahulu telah menjelaskan berbagai hal. Antara lain Khoiriyah, A. N. (2019), “Etika Berhias Menurut Alquran (Kajian Tafsir
Tematik),” Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten. Skripsi ini melekatkan teori etika dalam penelitian kualitatif (library research) melaluipendekatan tafsir. Skripsi ini berisi pembahasan tentang etika berhias menurut Al-Qur’an dan telaah para mufasir tentang etika berhias. Artikel ini menyimpulkan bahwa etika dalam berhias merupakan aktualisasi memperindah diri secara fisik dan sesuai syariat (Khoiriyah, 2019). Selanjutnya Maiwan, M. (2018),
“Memahami Teori-teori Etika: Cakrawala dan Pandangan,” Jurnal Ilmiah
Mimbar Moderasi. Artikel ini melekatkan teori moralitas sosial dalam penelitian kualitatif (library research) melaluipendekatan sosial. Artikel ini berisi pembahasan tentang macam-macam teori etika beserta kelebihan dan kelemahannya jika diaktualisasikan dalam kehidupan. Artikel ini menyimpulkan bahwa etika merupakan studi kursus mengenai perilaku manusia di masyarakat (Maiwan, 2018). Lalu Firdaus, S. N. (2019), “Tradisi
Berhias bagi Wanita pada Perspektif Al-Qur'an (Studi Komparatif Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an dengan Ibnu Katsir pada Surat Al-Ahzab Ayat 33),” Skripsi Program
Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Skripsi ini melekatkan teori Tabarruj Al-Jahiliyah dalam penelitian kualitatif (library research) melalui pendekatan tafsir. Skripsi ini berisi pembahasan tentang batasan berhias bagi perempuan dan telaah batasan berhias menurut Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an dan Tafsir Ibnu Katsir. Skripsi ini menyimpulkan bahwa berhias diri boleh dilakukan jika tidak berlebih-lebihan (Firdaus, 2019).
Penelitian sebelumnya berharga bagi penyusunan kerangka berpikir penelitian ini. Berhias merupakan suatu aktivitas yang biasa dilakukan untuk memperindah penampilan (Firdaus, 2019). Berhias hendaknya memiliki etika yang baik dan tidak memunculkan sikap berlebih-lebihan (Habibah, 2014). Berhias yang beretika akan melahirkan kebaikan untuk diri sendiri dan sesama (Maiwan, 2018). Seperti halnya Islam, di dalam
magnum opus mengenai keilmuan fikih seperti Tafsir Al-Munir telah
memberikan penjelasan mengenai tata cara berhias yang tepat bagi kehidupan (Khoiriyah, 2019).
107
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berupaya menyusun formula penelitian, yaitu tujuan penelitian, rumusan masalah, dan pertanyaan penelitian (Darmalaksana, Formula Penelitian Pengalaman Kelas Menulis, 2020b). Penelitian ini bertujuan membahas etika berhias perspektif Tafsir
Munir. Penelitian ini mengambil fokus etika berhias perspektif Tafsir Al-Munir. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana etika berhias perspektif Tafsir Al-Munir.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif melalui studi pustaka (Darmalaksana, Formula Penelitian Pengalaman Kelas Menulis, 2020b). Adapun interpretasi dalam melakukan analisis (Rokim, 2017) digunakan pendekatan sosiologi (Mahyudi, 2016).
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian dan pembahasan di bawah ini:
1. Pengertian Etika
Etika atau ethes (bahasa Yunani) secara bahasa artinya ialah kebiasaan (Mahjuddin, 2000). Secara terminologi, etika merupakan ilmu yang membahas mengenai baik dan buruk perbuatan manusia menggunakan nalar (Habibah, Akhlak dan Etika dalam Islam, 2015). Prinsip moral yang direalisasikan dengan baik menjadi jembatan terealisasinya sebuah etika (Badroen, 2006). Setiap individu berhak menentukan apa yang baik bagi dirinya (Huda, 1997).
Emile Durkheim berpendapat bahwa etika merupakan nilai alami yang terletak pada moralitas sosial (Maiwan, 2018). Manusia hidup berkoloni dengan masyarakat (Arifin, 2015). Manusia akan saling memberikan jaminan kehidupan yang damai dalam bermasyarakat (Mahyudi, 2016). Masyarakat merupakan penggagas system atau peraturan yang membuat setiap orang di dalamnya terdapat larangan untuk melakukan penyimpangan terhadap nilai yang sudah disepakati di dalam suatu masyarakat (Maiwan, 2018).
Etika merupakan diskursus mengenai tingkah laku manusia dalam mengoptimalkan interaksi sosial (Arifin, 2015). Manusia diperlihatkan atas baik atau buruk dan benar atau salah (Maiwan, 2018). Etika pun di dalam Islam dikaitkan dengan perbuatan benar dan baik berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis (Djatnika, 2005). Maka dari itu, setiap umat Islam dapat merealisasikan kehendak baiknya dengan berpedoman pada Al-Qur’an untuk merekontruksi nilai-nilai etis dalam kehidupan (Gulen, 2011).
Dewasa ini menampakkan bahwa manusia sering kali mengabaikan etika (Ni'mah, 2014). Manusia mudah bersikap tidak pantas hingga melahirkan sikap berlebih-lebihan dalam berhias (Mubarok, 2018).
108
Kejadian tidak elok ini menimbulkan efek negatif seperti sikap boros (Ni'mah, 2014). Sehingga, diperlukan etika dalam bersikap agar terpupuknya nilai-nilai kebaikan dan hubungan harmonis antara sesama (Aziz, 2019).
2. Pengertian Tafsir Al-Munir
Al-Qur'an berasal dari kata qaraa (bahasa Arab) yang artinya bacaan (Triono, 2012). Secara terminologi, Al-Qur'an bermakna kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, diawali dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, dinukilkan secara mutawatir, dan mendatangkan pahala bagi yang membacanya. Al-Qur'an menjadi pedoman hidup manusia yang bersifat komprehensif, isi kandungan Al-Qur'an dapat dibuktikan secara sains (Mudzakir, 2018).
Al-Qur’an dapat ditelisik isi kandungannya secara tepat melalui ilmu tafsir (Izzan, 2011). Tafsir berasal dari kata fassara (bahasa Arab) yang artinya menjelaskan (PISS-KTB, 2013). Al-Jurjani berpendapat bahwa tafsir ialah menjelaskan makna, keadaan, kisah, asbabun nuzul dengan suatu kata yang memberikan petunjuk (Syakur, 2012). Tafsir pun berperan sebagai runtutan penjelasan ayat-ayat Al-Qur'an yang diinisiasi oleh seorang ahli tafsir (mufasir) (Izzan, 2011).
Ilmu tafsir menjadi perkakas penting untuk dapat memahami Al-Qur'an (Izzan, 2011). Al-Al-Qur'an tidak dapat ditafsirkan oleh sembarang orang (Arif, 2008). Para ahli tafsir berjuang keras untuk meluruskan pemahaman keliru tentang penafsiran Al-Qur'an (Izzan, 2011). Para sahabat Nabi SAW pun dikenal sangat telaten dan mengedepankan sikap berhati-hati (Ittiyadh) dalam menafsirkan Al-Qur'an, bahkan enggan membuat interpretasi terhadap penafsiran suatu ayat (Arif, 2008).
Mufasir memiliki tugas memahami Al-Qur'an sesuai latar belakang dan kemampuan keilmuannya (Zulaiha, 2017). Al-Qur'an tidak diperkenankan ditafsirkan untuk kepentingan pribadi yang akan menghilangkan nilai objektifitas dalam sebuah penafsiran (Zulaiha, 2017). Jenis tafsir di antaranya ialah tafsir kontemporer (Khoiriyah, 2019). Tafsir kontemporer memiliki ciri-ciri tertentu, yakni penjelasannya membahas tentang hal-hal yang diperlukan umat era saat ini seperti ayat tentang hukum fikih (Baidan, 2003).
Contoh karya tafsir modern yaitu Tafsir Al-Munir karya Wahbah Az-Zuhaili. Beliau lahir di Damaskus, Suriah, pada tahun 1932 (Has, 2014). Ia merupakan putera dari Syaikh Mustafa Az-Zuhaili, seorang petani sederhana, rajin ibadah, penghapal Al-Qur’an, dan gemar berpuasa (Ayazi & Ali, 1993). Sang ayah membimbingnya mengenyam ilmu agama sampai ia mendapatkan gelar doktoralnya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada tahun 1963 (Al-Farmawi, 1977). Di dalam perjalanan karir
109
keilmuannya, ia berguru pada beberapa tokoh terkemuka seperti Mahmud Syaltut, Ali Muhammad Khafif, dan Abdul Razaq Al-Hamasi (Has, 2014).
Wahbah Az-Zuhaili adalah ulama tafsir yang disegani karena karyanya yang fenomenal, yakni Tafsir Munir (Has, 2014). Tafsir
Al-Munir bersumber dari Al-Qur’an, hadis-hadis sahih, dan terhindar dari
kisah-kisah Israiliyyat (bil Matsur dan bil Ra’yi) (Ayazi & Ali, 1993). Tafsir
Al-Munir dipaparkan dengan metode tahlili (komprehensif) melalui corak adabu ijtima’i (problematika sosial) dan fikih (Nur, 2012). Itu sebabnya,
karyanya yang fenomenal tersebut ditulis setelah karya besarnya dalam bidang bidang fikih, yakni Ushul Al-Fiqh Al-Islami dan Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu (Al-Farmawi, 1977).
Kitab tafsir karyanya disajikan melalui ungkapan yang jelas, gaya bahasa yang kontemporer hingga dapat dipahami oleh generasi saat ini (Has, 2014). Tafsir Al-Munir ditulis oleh Wahbah Az-Zuhaili selama 16 tahun (Az-Zuhaili, 1998). Dalam menafsirkan Al-Qur’an, ia mengawalinya dengan memperdalam bahasan mengenai Ilmu Al-Qur’an (Ayazi & Ali, 1993). Lalu, ia paparkan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna (Baidan, 2003).
Tafsir Al-Munir dicetuskan oleh Wahbah Az-Zuhaili sebagai solusi
permasalahan kehidupan yang komprehensif, yakni lahir dari perpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum melalui pemaparan yang ilmiah (Has, 2014). Menurut Ali Yazi, tujuan penulisan Tafsir Al-Munir adalah sebagai wujud kolaboratif tentang validitas tafsir klasik dan pesona tafsir kontemporer (Ayazi & Ali, 1993). Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ia menggunakan analisis-analisis yang komprehensif dan relevan hingga mampu menjawab setiap permasalahan umat era saat ini (Nur, 2012). Penafsirannya pun mampu menghilangkan kegelisahannya tentang di mana tendensius gaya hidup berlebih-lebihan atau hedonisme semakin menjauhkan umat pada Al-Qur’an (Mubarok, 2018).
3. Etika Berhias dalam Tafsir Al-Munir Analisis Sosiologi
Al-Qur'an merupakan problem solving bagi problematika kehidupan (Nova, 2011). Al-Qur'an menginformasikan secara jelas melalui ayat-ayat tentang tata cara berhias (Firdaus, 2019). Jika dikaji lebih mendalam, maka akan ditemukan pedoman komprehensif tentang tata cara berhias (Sakni, 2013). Dalam hal ini, ilmu tafsir menjadi amunisi prima agar dapat memberikan telaah komprehensif, yakni melalui kitab Tafsir Al-Munir (Has, 2014). Sebuah penafsiran akan mampu menelisik isi kandungan Al-Qur’an secara komprehensif, hingga menghasilkan hal yang bersifat solutif bagi permasalahan yang ada (Gulen, 2011).
Secara sosiologis, manusia tidak hidup sendiri dan selalu memerlukan orang lain (Mahyudi, 2016). Manusia akan saling memberikan solusi pada setiap permasalahan hidupnya masing-masing melalui kontak
110
sosial dan interaksi sosial yang prima (Aziz, 2019). Masyarakat yang menjadi pemegang kendala peraturan, hingga tidak ada penyimpangan terhadap nilai dan norma yang ada di masyarakat (Maiwan, 2018). Maka etika berhias menjadi formula etis, estetik, dan edukatif bagi terwujudnya pandangan baik yang lahir atas persepsi masyarakat (Khoiriyah, 2019).
Islam memberikan arahan kepada umatnya agar menghindari sikap berlebih-lebihan dalam berhias (Ni'mah, 2014). Sikap berlebih-lebihan memberikan efek negatif bagi diri sendiri dan bagi orang lain (Firdaus, 2019). Berlebih-lebihan akan mengundang sikap hedonisme yang akan menjerumuskan siapa saja yang melakukannya ke dalam lubang keburukan (Aziz, 2019). Sehingga melahirkan perbuatan buruk seperti sikap boros dan sombong yang membuat orang berpandangan buruk padanya (Habibah, 2015).
Dengan demikian, Al-Qur’an melalui kitab Tafsir Al-Munir menjadi garda terdepan dalam memberikan solusi agar manusia dapat bersikap proporsional dalam berhias (Gulen, 2011). Sehingga, berhias dapat memberikan kenyamanan pada diri sendiri dan orang lain, lalu melahirkan kebaikan bagi sesama (Aziz, 2019). Pesan Al-Qur’an terkait etika berhias di antaranya ialah:
Menutupi Aurat
Al-Qur’an memberikan pesan tentang kewajiban menutup aurat di dalam surat Al-A’raf ayat 26 (RI, 2011). Laki-laki dan perempuan hendaknya tetap berupaya menjaga diri dengan menutupi auratnya secara tepat (Habibah, Sopan Santun Berpakaian dalam Islam, 2014). Menutupi aurat sering kali dianggap remeh oleh orang yang tidak peduli dengan akibat buruk jika tidak menutupi auratnya (Firdaus, 2019). Sebagaimana yang terlihat saat ini, aurat malah diperlihatkan hingga memicu adanya nilai-nilai keburukan (Abdussalam, 2014). Maka, Islam mengajarkan kepada setiap umatnya agar melekatkan sikap berhati-hati dan apik dalam menjaga diri melalui menutup aurat dengan baik (Az-Zuhaili, 1998).
Tidak Berlebih-lebihan
Al-Qur’an memberikan pesan tentang larangan bersikap berlebihan-lebihan ketika bersolek atau berhias di dalam surat Al-A’raf ayat 31 (RI, 2011). Berlebih-lebihan merupakan sikap yang tidak memiliki etika dan estetika (Aziz, 2019). Sikap berlebihan sering kali dilakukan oleh orang yang memiliki perangai yang buruk seperti sifat sombong atau angkuh (Djatnika, 2005). Sebagaimana yang ditampakkan baru-baru ini, sikap berlebih-lebihan memicu munculnya sifat sombong dan sikap boros hingga melahirkan keburukan bagi diri sendiri dan orang sekitar (Mubarok, 2018).
111
Maka, Islam mengajarkan kepada setiap umatnya agar melekatkan perangai baik dan menghindari sikap berlebih-lebihan (Az-Zuhaili, 1998).
Tidak Mengandung Tabarruj
Al-Qur’an memberikan pesan tentang larangan bersikap tabarruj di dalam surat Al-Ahzab ayat 33 (RI, 2011). Tabarruj merupakan sikap menampakkan hal-hal besar yang dimiliki seperti perhiasan dan bagian tubuh yang menarik perhatian orang (Abdussalam, 2014). Tabarruj sering kali dilakukan oleh orang yang memiliki sifat sombong (Djatnika, 2005). Sebagaimana yang terjadi dewasa ini, sikap tabarruj di dalam keseharian dalam bersolek atau berhias memicu adanya pandangan yang buruk dari lingkungan sekitar (Ni'mah, 2014). Maka, Islam mengajarkan kepada setiap umatnya agar melekatkan perangai baik dan menghindari sikap tabarruj (Az-Zuhaili, 1998).
Kesimpulan
Etika berhias dapat ditelisik dalam Al-Qur’an melalui pendekatan sosiologi. Al-Qur’an menginformasikan beberapa hal terkait etika berhias. Mengkaji Al-Qur’an dengan pendekatan sosiologi melahirkan pemahaman yang konstruktif-komprehensif tentang etika berhias. Islam melalui Al-Qur’an di dalam Tafsir Al-Munir memerintahkan agar menutupi aurat, tidak berlebih-lebihan, dan tidak bersikap tabarruj dalam berhias atau bersolek diri. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan pegiat studi Al-Qur’an serta studi lainnya yang relevan. Sehingga dapat diaktualisasikan mengenai etika berhias di dalam keseharian sesuai tuntunan Islam. Penelitian ini memiliki keterbatasan, yakni hanya membahas etika berhias perspektif Tafsir Al-Munir. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terkait etika dan berhias berbasis perspektif tafsir lainnya.
Referensi
Abdussalam, A. W. (2014). Adab Berpakaian dan Berhias. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Farmawi, A. H. (1977). Bidayah fi Tafsir Maudhu'i. Kairo: Al-Hadrat Al-Gharbiyyah.
Arif, S. (2008). Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani. Arifin, B. S. (2015). Psikologi Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ayazi, & Ali, S. M. (1993). Al‐Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum. Teheran: Wizanah al‐Tsiqafah wa al‐Insyaq al‐Islam.
Aziz, A. (2019). Pendidikan Etika Sosial Berbasis Argumentasi Quranik.
112
Az-Zuhaili, W. (1998). Tafsir Al‐Munir Fi Al‐‘Aqidah wa Asy‐Syari’ah wa al‐
Manhaj. Dimasyq: Dar Al-Fikri.
Badroen, F. (2006). Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.
Baidan, N. (2003). Perkembangan Tafsir Al-Qur'an Di Indonesia. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Darmalaksana, W. (2020b). Formula Penelitian Pengalaman Kelas Menulis. Jurnal Kelas Menulis UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Retrieved from http://digilib.uinsgd.ac.id/32620/
Djatnika, R. (2005). Sistem Ethika Islami. Jakarta: Pustaka Panji Mas. Firdaus, S. N. (2019). Tradisi Berhias bagi Wanita pada Perspektif Al-Qur'an
(Studi Komparatif Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an dengan Ibnu Katsir pada Surat Ahzab Ayat 33). Skripsi. Bandung: Program Studi Ilmu
Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati.
Gulen, M. F. (2011). Cahaya Alquran bagi Seluruh Makhluk. Jakarta: Republika.
Habibah, S. (2014). Sopan Santun Berpakaian dalam Islam. Jurnal Pesona
Dasar, 2(3).
Habibah, S. (2015). Akhlak dan Etika dalam Islam. Jurnal Pesona Dasar,
1(4), 73-87.
Has, M. H. (2014). Metodologi Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Az-Zuhaily. Al-Munzir, 7(2).
Huda, C. (1997). Etika Bisnis Islam. Jakarta: Majalah Ulumul Qur'an. Izzan, A. (2011). Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur (Kelompok
Humaniora).
Khoiriyah, A. N. (2019). Etika Berhias Menurut Alquran (Kajian Tafsir
Tematik). Skripsi. Banten: Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir,
UIN Sultan Maulana Hasanuddin.
Mahjuddin. (2000). Konsep Dasar Pendidikan Akhlak. Jakarta: Kalam Mulia. Mahyudi, D. (2016). Pendekatan Antropologi dan Sosiologi dalam Studi
Islam. Ihya Al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab, 2(2). Maiwan, M. (2018). Memahami Teori-teori Etika: Cakrawala dan
Pandangan. Jurnal Ilmiah Mimbar Moderasi, 17(2).
Mubarok, M. H. (2018). Qana'ah sebagai Cara Mencegah Perilaku Hedonis
(Perspektif Hamka). Skripsi. Semarang: Program Studi Tasawuf
Psikoterapi, UIN Walisongo.
Mudzakir, A. (2018). Sapu Jagat Keberuntungan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Ni'mah, A. (2014). Larangan Berlebih-lebihan Perspektif Hadits. Skripsi. Semarang: Program Studi Tafsir Hadits, UIN Walisongo.
Nova, S. (2011). Bulan Ramadhan: Bebas dari Belenggu Setan dan Hawa Nafsu. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
113
Ushuluddin, 18(1), 21-33.
PISS-KTB. (2013). Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan
Tanya Jawab Agama Islam. Indonesia: www.piss-ktb.com.
RI, K. (2011). Al-Qur’an dan Tafsirnya: Mukadimah. Jakarta: Widya Cahaya. Rokim, S. (2017). Mengenal Metode Tafsir Tahlili. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu
Al-Qur'an dan Tafsir, 2(3).
Sakni, A. S. (2013). Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam. Jurnal
Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran dan Fenomena Agama, 14(2).
Syakur, M. (2012). Tafsir Kependidikan. Kudus: Maseifa Jendela Ilmu. Triono, B. (2012). Menggapai Kemuliaan Diri. Jember: Penerbit Cerdas Ulet
Kreatif.
Widaningsih. (2020, Juni 19). Tabdzir dan Isrof, Sikap Tercela yang Harus
Dijauhi Muslimah. Retrieved from Kalam.sindonews:
https://kalam.sindonews.com/read/74422/72/tabdzir-dan-isrof-sikap-tercela-yang-harus-dijauhi-muslimah-1592503585
Zulaiha, E. (2017). Tafsir Kontemporer: Metodologi, Paradigma. Jurnal
115
Ada sebuah pepatah yang tak asing didengar mengatakan “kebersihan pangkal kesehatan,” kebersihan sangat berhubungan dengan kesehatan oleh karena itu penting untuk diperhatikan. Agar terhindar dari berbagai penyakit, maka hendaknya membiasakan hidup bersih. Agama dan ajaran Islam menyimpan perhatian yang sangat tinggi terhadap kebersihan, baik itu kebersihan fisik (jasmani) maupun jiwa (rohani). Keduanya tidak dapat dipisahkan, sebab ketika seorang Muslim hendak beribadah kepada Allah Swt, maka hukumnya wajib untuk membersihan fisik dan jiwanya terlebih dahulu. Bersih secara fisik (jasmani) seperti bersih tempat shalat, badan, dan pakaian. Adapun bersih secara jiwa (rohani) seperti bersih dari sombong, iri, dengki, dan sebagainya (Rohmah, 2017).
Penelitian terdahulu telah dilakukan oleh para peneliti. Ada beberapa penelitian mengenai hal tersebut, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Jazariyah (2019) dengan judul “Internalisasi Nilai-Nilai Hadits Kebersihan dalam Pendidikan Anak Usia Dini.” Penelitian tersebut dilakukan terhadap anak usia dini di PAUD IT An-Najah Klaten yang melakukan program pembiasaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang disingkat dengan PHBS dengan upaya sebagai penghayatan nilai-nilai hadis kebersihan. Adapun esensi kebersihan menurut hadis, misalnya hadis yang menganjurkan agar selalu menjaga kebersihan, “Annazofatu
minal iman” yang berarti kebersihan itu sebagian dari iman dan ada pula
hadis yang berbunyi “Attohuru yuhibbu” berarti Allah menyukai yang indah (Jazariyah, 2019). Juga penelitian yang berjudul “Penerapan Pendidikan Karakter Islami Melalui Hadis-Hadis Pendek Pada Siswa Kelas I di SD Muhammadiyah 5 Samarinda” yang diteliti oleh Ratna Khairunnisa & Gamar Al-Haddar (2018). Penelitian tersebut melakukan pengenalan kepada anak usia dini terhadap hadis-hadis pendek dan mudah dihafal yang berkaitan dengan kebersihan. Ini bertujuan agar anak usia dini dapat menanamkan karakter Islami melalui hadis tersebut (Khairunnisa & Haddar, 2018). Selanjutnya penelitian yang berjudul “Persepsi Siswa Terhadap Kebersihan Lingkungan di SDN 51 Banda Aceh” yang di teliti oleh Nurul Hidayati (2016). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV terdiri dari 30 siswa, siswa kelas V terdiri dari 22 siswa dan siswa kelas VI terdiri dari 30 siswa tahun ajaran 2015-2016 dengan membagikan angket kepada siswa. Lalu data yang diperoleh dari hasil angket selanjutnya dibuat dalam bentuk narasi. Hasil penelitian yang dilakukan di SDN 51 Banda Aceh, menyatakan bahwa persepsi siswa terhadap kebersihan lingkungan menunjukkan hasil yang baik. Dapat dilihat dari aspek fisik dengan jumlah responden yang menjawab “ya” sebanyak 49% dan yang menjawab “tidak” 51%. Untuk persepsi aspek mental yang di dapat dari hasil angket menunjukkan 64% responden menjawab “ya” dan 36% dari jumlah siswa yang menjawab “tidak” (Hidayati, 2016).
116
Penelitian terdahulu bermanfaat bagi penyusunan kerangka berpikir penelitian ini. Kebersihan dapat dipahami sebagai usaha yang dilakukan untuk menghilangkan kotoran pada tempat yang kotor (Sa'di, 2008). Menurut Islam, kebersihan memiliki aspek ibadah dan sekaligus aspek moral yang sering digunakan dengan istilah “thaharah” yang artinya bersuci dan terlepasnya dari kotoran (al-Fannani, 1993). Islam mengajarkan cakupan yang luas berkaitan dengan menjaga kebersihan (Qardhawi, 2003). Sebagaimana disinggung dalam Al-Qur’an, Islam mengajarkan kebersihan mencakup aspek rohani dan jasmani (Rohmah, 2017). Daripada itu, terdapat banyak hadis Nabi Saw yang berkaitan dengan kebersihan (AW, 2015). Menurut kandungan hadis, Allah Swt menyukai kebersihan, keindahan dan kesucian, sehingga bila umat melaksanakan hal yang disukai Allah Swt, maka akan mendapatkan nilai dihadapan-Nya yaitu berupa pahala (AW, 2015). Hadis menyatakan bahwa bersuci adalah setengah
dari iman dalam arti keimanan seseorang menjadi lengkap apabila ia
menjaga kebersihan (Sujatmiko, 2020). Pola hidup bersih harus diterapkan sedini mungkin agar menjadi kegiatan yang positif (Proverawati & Rahmawati, 2012). Agar manusia selalu menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, dimana agama Islam yang menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) tidak akan membiarkan manusia mengotori dan merusak lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, lingkungan sangat berpengaruh sekali terhadap keselamatan manusia yang berada di sekitarnya (Rahmasari, 2017).
Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini berusaha menyusun formula penelitian yaitu rumusan masalah atau hipotesis, pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian. Rumusan masalah atau hipotesis penelitian ini adalah terdapat perspektif hadis mengenai kebersihan. Pertanyaan penelitian ini secara terperinci, yakni bagaimana pengertian kebersihan, bagaimana hadis mengenai kebersihan, dan bagaimana kebersihan dalam perspektif hadis. Penelitian ini bertujuan membahas perspektif hadis mengenai kebersihan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan khususnya bagi pengayaan khazanah pengetahuan Islam.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis kualitatif dengan menerapkan studi pustaka. Penelitian dilaksanakan dengan menghimpun sumber-sumber kepustakaan, baik primer maupun sekunder. Setelah terhimpun sumber-sumber kepustakaan dikategorikan sesuai pertanyaan-pertanyaan penelitian. Setelah dikategorisasi, peneliti melakukan pengambilan dari data sumber pustaka. Selanjutnya, data tersebut diabstraksikan secara apa adanya sehingga terbentuk menjadi fakta penelitian. Penelitian ini
117
menerapkan metode pendekatan analisis isi (Darmalaksana, Cara Menulis Proposal Penelitian, 2020).
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian dan pembahasan di bawah ini:
4. Pengertian Kebersihan
Bersih menurut bahasa yaitu bebas dari kotoran (Rohmah, 2017). Kata bersih sering digunakan dalam menyatakan keadaan lahiriah suatu benda, seperti lingkungan bersih, tangan bersih, air itu bersih dan sebagainya. Kata bersih juga memberikan pengertian suci, misalnya air itu suci, tetapi biasanya kata bersih digunakan untuk ungkapan sifat lahiriah, sedangkan kata suci untuk ungkapan sifat batiniah, misalnya jiwanya suci. Belum tentu semuanya yang bersih adalah suci. Suci yaitu bersih dalam arti keagamaan, seperti tidak terkena najis, bebas dari dosa atau bebas dari suatu barang dari mutanajis, najis dan hadas. Sedangkan bersih berarti terbebasnya manusia atau suatu barang dari kotoran (Rahmasari, 2017).
Kebersihan adalah usaha yang dilakukan untuk menghilangkan kotoran pada tempat yang kotor (Sa'di, 2008). Kebersihan merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada di lingkungan sekitar (Rohmah, 2017). Hak bagi masyarakat mempunyai lingkungan yang sehat, yaitu meliputi lingkungan fisik seperti tanah, air dan udara, lingkungan biotik seperti hewan, tumbuhan dan manusia serta lingkungan sosial seperti sosial, ekonomi dan budaya. Tiga faktor itu saling mempengaruhi. Jika salah satu dari faktor tesebut bergeser, maka terjadinya ketidakseimbangan yang menyebabkan terjadinya keadaan sakit (Fakhrani, 2011).
Menurut Islam, kebersihan mempunyai aspek ibadah dan aspek moral dan sering digunakan dengan istilah “Thaharah” yang artinya bersuci dan terlepasnya dari kotoran (al-Fannani, 1993). Ada tiga macam istilah kebersihan dalam Islam, yaitu:
a) Nazafah (Nazif) merupakan kebersihan tingkat pertama, seperti bersihnya dari kotoran secara lahiriah yang bisa dibersihkan dengan air (Masrifah, 2013).
b) Taharah menurut bahasa menyucikan yang mengandung arti lebih luas lagi, meliputi kebersihan lahiriah dan bathiniah (Masrifah, 2013). c) Tazkiyah yaitu membersihkan diri dari sifat yang tecela dan
memperbaiki diri dari sifat yang terpuji (Masrifah, 2013).
Cakupan kebersihan dalam Islam yaitu kebersihan pakaian, tempat ibadah, badan yang lebih spesifik lagi kepada kebersihan gigi, tangan dan kepala (Qardhawi, 2003).
118 5. Hadis Mengenai Kebersihan
Melalui hadis Rasul mengajarkan umat Islam agar menjadi pelopor dalam menjaga kebersihan, seperti kebersihan badan, pakaian, maupun lingkungan. Berikut terdapat matan (teks) hadis, terjemahan hadis, dan kandungan hadis yang berkaitan dengan kebersihan (AW, 2015).
َّنَأ َيََْيَ اَنَ ثَّدَح ُنَبََأ اَنَ ثَّدَح ٍل َلَِه ُنْب ُناَّبَح اَنَ ثَّدَح ٍروُصْنَم ُنْب ُقَحْسِإ اَنَ ثَّدَح
ٍم َّلََس َبََأ َّنَأ ُهَثَّدَح اًدْيَز
ا ُرْطَش ُروُهُّطلا َمَّلَسَو ِهْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص َِّللَّا ُلوُسَر َلاَق َلاَق ِ يِرَعْشَْلْا ٍكِلاَم ِبَِأ ْنَع ُهَثَّدَح
ُدْمَْلْاَو ِناَيمِْلْ
َِِّللَّ ُدْمَْلْاَو َِّللَّا َناَحْبُسَو َناَزيِمْلا َُلََْتَ َِِّللَّ
ٌروُن ُة َلََّصلاَو ِضْرَْلْاَو ِتاَواَمَّسلا َْيَْب اَم َُلََْتَ ْوَأ ِنََلََْتَ
ُهَسْفَ ن ٌعِياَبَ ف وُدْغَ ي ِساَّنلا ُّلُك َكْيَلَع ْوَأ َكَل ٌةَّجُح ُنآْرُقْلاَو ٌءاَيِض ُْبَّْصلاَو ٌناَهْرُ ب ُةَقَدَّصلاَو
ْوَأ اَهُقِتْعُمَف
اَهُقِبوُم
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami Habban bin Hilal telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Yahya bahwa Zaid telah menceritakan kepadanya, bahwa Abu Sallam telah menceritakan kepadanya dari Abu Malik al-Asy'ari dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Bersuci adalah setengah dari iman, alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah keduanya memenuhi, atau salah satunya memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, sedekah adalah petunjuk, kesabaran adalah sinar, dan al-Qur'an adalah hujjah untuk amal kebaikanmu dan hujjah atas amal kejelekanmu. Setiap manusia adalah berusaha, maka ada orang yang menjual dirinya sehingga membebaskannya atau menghancurkannya (HR. Muslim nomor 328).Kandungan yang dapat diambil dari hadis di atas adalah bahwa Allah Swt menyukai kebersihan, keindahan dan kesucian. Ketika kita melakukan hal yang disukai Allah Swt, tentunya akan mendapatkan nilai dihadapan-Nya yaitu berupa pahala (AW, 2015). Dalam hadis tersebut dinyatakan
bersuci adalah setengah dari iman. Hal ini berkaitan dengan keimanan
seseorang yang menjadi lengkap apabila seseorang itu dapat menjaga kebersihan (Sujatmiko, 2020). Allah Swt mengingatkan manusia agar senantiasa menjaga kebersihan karena bersih sangat penting bagi manusia. Hidup bersih dapat mencakup jasmani dan rohani, fisik dan mental yang sehat, keimanan dan ketaqwan yang mantab, perilaku terpuji serta lingkungan yang nyaman dan menyenangkan (Masrifah, 2013). Rangkaian hadis semacam ini secara tidak langsung juga mengisyaratkan bahwa
119
menjaga kebersihan sangatlah penting dan utama sebagaimana keutamaan dari zikir, shalat, sedekah dan sabar (Latifatur, 2018).
6. Kebersihan Perspektif Hadis
Islam memiliki pegangan Al-Qur’an dan hadis berkenaan dengan urgensi menjaga kebersihan. Dalam hal ini berarti kebersihan dalam arti luas mencakup jasmani dan rohani serta lingkungan sekitar.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
ق
ْ بَأَو ٌْيَْخ ُةَرِخ ْلْاَو اَيْ نُّدلا َةاَيَْلْا َنوُرِثْؤُ ت ْلَب ىَّلَصَف ِهِ بَر َمْسا َرَكَذَو ىَّكَزَ ت ْنَم َحَلْ فَأ ْدََ
اَق
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal (Terjemah Q.S Al A’la [87]:14-17).
Dijelaskan dalam QS. al-A’la di atas bahwa Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang agar selalu membersihkan diri ketika akan melakukan ibadah. Dan hendaknya mementingkan kehidupan akhirat yang sifatnya kekal. Maka Allah Swt menggolongkan orang-orang tersebut ke dalam golongan yang beruntung (Rohmah, 2017). Kebersihan termasuk salah satu pokok dalam memelihara kelangsungan hidup makhluk bernyawa. Cara pembersihan diri dari sesuatu yang dinilai kotor secara fisik misalnya, dengan menggunakan tanah, air, bahkan dengan tanah dan air. Bagi manusia tidak cukup hanya dengan tanah dan air saja, pada zaman sekarang yang serba modern ini pembersihan diri bisa ditambahkan dengan menggunakan sabun mandi maupun sabun khusus lainnya. Konsep kebersihan manusia sebagai makhluk yang berakal bukan hanya sekadar fisik, namun juga dengan kebersihan jiwa, hati dan spiritual (AW, 2015).
Seperti dalam hadis riwayat Muslim:
ُّطلا
ھ
ُروَُ ُرْطَش ِناَيمِلْا
“Kebersihan adalah sebagian iman” (HR. Muslim).
Hadis di atas berkaitan dengan kebersihan. Pola hidup bersih harus diterapkan sedini mungkin agar menjadi kegiatan yang positif (Proverawati & Rahmawati, 2012). Menurut Jazariyah (2019) dalam judul “Internalisasi Nilai-Nilai Hadits Kebersihan dalam Pendidikan Anak Usia Dini,” Pembelajaran pola hidup bersih sudah seharusnya diajarkan sejak
120
dini, itulah yang menjadi aspek terhadap pembentukan karakter anak. Upaya pembiasaan berperilaku hidup bersih pada anak usia dini tersebut agar dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari (Jazariyah, 2019). Adapun aktivitas yang dilakukannya seperti mencuci tangan memakai sabun baik sebelum dan sesudah melakukan aktivitas, menggosok gigi, mengkonsumsi jajanan sehat dengan pengaturan menu
snack time, menggunakan jamban bersih dan sehat serta membuang sampah
pada tempatnya (Jazariyah, 2019). Ratna Khairunnisa & Gamar Al-Haddar dalam penelitian yang berjudul “Penerapan Pendidikan Karakter Islami Melalui Hadis-Hadis Pendek Pada Siswa Kelas I di SD Muhammadiyah 5 Samarinda,” menyatakan bahwa ketika ada siswa yang membuang sampah sembarangan, maka hendaknya siswa yang melihat perbuatan temannya ini agar menegurnya (Khairunnisa & Haddar, 2018). Dapat diketahui bahwa peranan hadis pendek tersebut sangat besar peranannya untuk membentuk karakter Islami terhadap anak dengan membiasakan menghafal dan menerapkan makna dari hadis tersebut di dalam kehidupan sehari-hari agar tidak terlepas dari pantauan agama (Khairunnisa & Haddar, 2018).
Senada dengan hal di atas, Nurul Hidayati dalam penelitian yang berjudul “Persepsi Siswa Terhadap Kebersihan Lingkungan di SDN 51 Banda Aceh,” menyatakan bahwa menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan harus ditanamkan mulai sejak dini, terlebih lagi dalam lingkungan sekolah. Sehingga menjadi kebiasaan yang akan menumbuhkan kesadaran dan berperan aktif dalam pengelolaan kebersihan lingkungan sekitarnya (Hidayati, 2016).
Dalam hadis pun dikatakan bahwa faktor utama bagi terciptanya kesehatan yaitu dengan melaksanakan hidup bersih (Rohmah, 2017). Begitu pentingnya kebersihan bagi kehidupan manusia sampai-sampai Allah Swt memberikan cinta-Nya kepada orang yang senantiasa menjaga kebersihan (Jazariyah, 2019). Namun memang hidup bersih itu tidak semudah yang dibayangkan. Banyak sekali masalah-masalah yang dihadapi seseorang dalam mengaplikasikan hidup bersih. Misalnya, tidak mengertinya terhadap ilmu dan malas untuk berperilaku bersih. Persoalan seperti itu dapat menyebabkan seseorang tidak melaksanakannya kebersihan dengan baik. Ketika hidup bersih maka akan membawa dampak positif bagi diri sendiri maupun orang lain. Dampak positif bagi diri sendiri, seperti khusyuk dalam beribadah, terasa nyaman dengan tempat yang bersih, akan betah di tempat tersebut. Lalu, dampak positif bagi orang lain, seperti tidak khawatirnya akan bau badan yang dapat mengganggu ibadah orang lain (Rohmah, 2017).
121 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebersihan badan maupun lingkungan sangatlah penting bagi kehidupan sehari-hari. Menjaga kebersihan merupakan tanggung jawab umat manusia sebagai makhluk hidup. Di lembaga pendidikan anak usia dini harus ditanamkan nilai-nilai keagamaan, seperti pembiasaan hidup bersih sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi agar anak usia dini dapat menanamkan karakter Islaminya melalui hadis tersebut. Anjuran hadis untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan tidak hanya terkait pada etika tetapi juga bernilai ibadah. Sehingga dengan mengamalkan hadis tersebut dapat terwujudnya lingkungan yang bersih dan sehat. Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan kegunaan khususnya bagi pengayaan khazanah pengetahuan Islam. Diakui penelitian ini memiliki keterbatasan hanya mengungkap kebersihan dari perspektif hadis sehingga dibutuhkan pendekatan lain yang lebih holistik. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya penyelenggaraan pembiasaan kebersihan sejak usia dini melalui peran lembaga-lembaga Islam.
Referensi
al-Fannani, Z. b.-M. (1993). Terjemahan Fat-hul Mu'in Jilid 1. Surabaya: Al-Hidayah.
AW, R. (2015). Implementasi Konsep Kebersihan Sebagian dari Iman di IAIN Raden Fatah Palembang. Tadrib.
Darmalaksana, W. (2020). Cara Menulis Proposal Penelitian. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Fakhrani. (2011). Madrasah dan Pelestarian Lingkungan Sumbangan Konseptual dan Strategi Aksi. Manajemen Lingkungan dan Peran Ulama
dalam Mendidik Umat Peduli Lingkungan di Era Ekonomi Daerah dalam Hammam, 81-98.
Hidayati, N. (2016). Persepsi Siswa Terhadap Kebersihan Lingkungan di SDN 51 Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Prodi PGSD FKIP
Unsyiah, 1(1), 84.
Jazariyah. (2019). Internalisasi Nilai-Nilai Hadits Kebersihan dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Masile: Jurnal Studi Ilmu Keislaman, 1(1), 83-84.
Khairunnisa, R., & Haddar, G. A. (2018). Penerapan Pendidikan Karakter Islami Melalui Hadist-Hadist Pendek Pada Siswa Kelas I di SD Muhammadiyah 5 Samarinda. Jurnal Pendas Mahakam, 3(2), 167. Latifatur. (2018, April 3). Hadits Tentang Kebersihan. Retrieved July 6, 2020,
from Latifaturblog:
https://latifaturblog.wordpress.com/2018/04/03/hadits-tentang-122
kebersihan/
Masrifah, S. (2013). Peranan Kebersihan Lingkungan Sekolah dalam
Mendukung Aktivitas Belajar Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan Banjarwungu Kecamatan Tarik Sidoarjo. Surabaya: Fakultas Tarbiyah
IAIN Surabaya.
Proverawati, A., & Rahmawati, E. (2012). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Yogyakarta: Nuha Medika.
Qardhawi, Y. (2003). Halal Haram dalam Islam. Solo: Era Intermedia. Rahmasari, B. (2017). Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan dalam Perspketif
Hadis. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Pascasarjana Fakultas
Ushuluddin.
Rohmah, S. N. (2017). Konsep Kebersihan Lingkungan dalam Prespektif
Pendidikan Islam. Salatiga: IAIN Salatiga: Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan.
Sa'di, A. (2008). Fiqhun-Nisa Thaharah-Shalat. Jakarta Selatan: PT. Mizan Publika.
Sujatmiko, B. (2020, January 6). Kebersihan adalah Sebagian dari Iman. Retrieved July 6, 2020, from kontakbanten.co.id:
http://www.kontakbanten.co.id/2020/01/kebersihan-adalah-sebagian-dari-iman.html