• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian selalu berkesinambungan, bahkan juga merupakan serangkaian urutan kegiatan yang sambung- menyambung. Berkenaan dengan hal itu maka pada penelitian ini, ada beberapa penelitian tentang umpasa dan makna simbolisasi adat yang dianggap relevan untuk dijadikan referensi penelitian yang dirangkai menjadi untaian dalam penelitian terdahulu.

Penelitian terdahulu yang akan diulas sebagai referensi di awal adalah hasil penelitian tentang umpasa. Hasil penelitian tentang umpasa pada acara adat masyarakat Batak Toba telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang dilakukan dalam upaya menunjang pelestarian, perkembangan, pemakaian, dan memberi pemaknaan yang tepat dari suatu umpasa dan pernikahan dengan upacara adat Dalihan na Tolu (Marunjuk) antara lain yaitu:

Jhonson P (1993) pada laporan Penelitian yang berjudul, Penggunaan Umpasa Saat Pemberian Ulos pada Upacara Adat Batak Toba . Universitas Sumatera Utara. Fokus penelitian ini adalah pada manfaat penggunaan umpasa saat pemberian ulos. Dipaparkan bahwa, unsur-unsur Dalihan na Tolu dapat menggunakan umpasa saat memberikan ulos, pada pasangan pengantin baru.

(2)

Kritik penulis terhadap penelitian ini, umpasa pada adat Batak cukup banyak jenis dan ragamnya, pada penelitian ini tidak dijelaskan secara gamblang ragam umpasa apa dan yang mana saja yang sebaiknya digunakan untuk acara pemberian ulos. Misalnya saja umpasa yang dianggap/ dinilai mengandung nilai-nilai khusus tentang falsafah kehidupan yang baik dalam sebuah pernikahan, sesuai dengan tatanan adat dan norma yang berlaku bagi masyarakat Batak umumnya dan masyarakat Batak Toba khususnya.

Selanjutnya penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan adalah penelitian yang berjudul “Tindak Tutur dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba” yang dilakukan oleh Tomson Sibarani (2008) yang merupakan tesis pada Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini fokus pada tindak tutur yang digunakan hula-hula (pemberi istri) dongan sabutuha (kerabat semarga) dan boru (penerima istri), tindak tutur apa yang dominan, bagaimana tindak tutur dilakukan, jenis dan fungsi tindak tutur dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba. Kritik penulis tentang hasil tesis tersebut, penelitian yang merupakan studi kasus ini hanya terbatas pada tindak tutur dan pembahasan makna secara global.

Selanjutnya Asriaty R. Purba (2007) dengan tesis berjudul: Tema Umpasa Masyarakat Simalungun: Suatu Kajian Lingustik Fungsional Sistemik. Kajian ini menfokuskan struktur, jenis dan unsur tema serta konteks sosial umpasa Simalungun, dianalisa berdasarkan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Kritik penulis; Asriaty R dalam menyesaikan tesis tersebut, lebih fokus pada kajian teoritis sedangkan penelitian tentang bagaimana umpasa itu digunakan oleh penuturnya pada acara adat sangat minim, sehingga manfaat praktis dari hasil penelitian kurang menonjol.

(3)

Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan Ita Suryani (2012:7) dalam menyelesaikan studi strata dua (S2) di Universitas Mercu Buana dengan judul “Makna Tradisi Palang Pintu sebagai Identitas Budaya Betawi (Studi Kasus Pernikahan Budaya Masyarakat Betawi di Wilayah Ulujami dan Tangerang).

Penelitian yang menggunakan metode penelitian kualitatif ini membahas tentang “Pernikahan yang merupakan salah satu ritual dalam lingkungan kehidupan yang dianggap penting bahkan dapat dinyatakan sebagai identitas suatu budaya. Tradisi “Palang Pintu” mencakup adat- istiadat pernikahan adat Betawi, seluruh tata cara dan rangkaian adat-istiadat pernikahan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada tradisi palang pintu pada prosesi pernikahan budaya masyarakat Betawi terkandung muatan religi yang menanamkan dan mengajarkan suatu nilai-nilai agama.

Menurut peneliti hasil tesis Ita Suryani tersebut, kurang menjelaskan secara gamblang makna dari setiap rentetan peristiwa adat yang dijadikan objek penelitian, sehingga makna yang disampaikan dapat menimbulkan kerancuan bagi pembaca yang pada akhirnya dapat berakibat pada kesalahpersepsian pembaca yang belum begitu paham akan adat istiadat masyarakat Betawi.

Selanjutnya yang ditulis oleh Sukarno pada jurnal Humaniora (2008:200) “The Study On Interpersonal Meanings In Javanese Wedding Pranatacara Genre” Penelitian ini mengkaji monolog seorang pranatacara dalam resepsi pernikahan adat Jawa ‘Tumplak Punjen’ dari segi makna interpersonal dengan menggunakan teori appraisal, White (1998) yang menekankan pada ranah Engagement, Attitude dan Graduation agar dapat teridentifikasi penggunaan piranti appraisal sesuai dengan tujuan komunikatif

(4)

dalam genre tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Jawa yang digunakan oleh pranatacara dapat digolongkan sebagai bahasa Jawa ‘bermaknah’ (marked) baik dalam arti keunikan penggunaan piranti appraisal maupun secara mikrolinguistik yang meliputi aspek fonologis, morfologis dan sintaksis. Dengan demikian sebagai salah satu kekayaan budaya Jawa, kebermarkaan ini sangat perlu dilestarikan. Kritik penulis terhadap karya ini; makna dari setiap bagian-bagian adat yang disampaikan kurang spesifik dan terlalu umum, sehingga bagi pembaca yang masih “hijau” akan sulit mengerti.

2.1.2 Kajian Teoritis

Kajian Teoritis yang digunakan pada penelitian ini dianggap perlu dipaparkan demi membuat tulisan ini lebih mendekati nyata. Karena pada setiap penelitian diperlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir untuk memecahkan masalah atau menyoroti permasalahan yang disampaikan. Untuk itu penulis menganggap perlu memuat kajian teoritis yang berisikan pokok-pokok pikiran yang menggambarkan masalah penelitian yang dipaparkan.

2.1.2.1 Budaya sebagai Bagian dari Komunikasi

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan,

(5)

Sihabudin (2011:20). Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mulyana & Rakhmat (2009:18) bahwa bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi/ politik, dan teknologi semua itu berdasarkan pola-pola budaya.

Lebih rinci Mulyana & Rakhmat (2009:19) memaparkan bahwa budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Sedangkan menurut Ward Goodenough (1957:52) kebudayaan merupakan pedoman untuk menentukan apa yang dapat menjadi apa, untuk mendiskripsikan apa yang dirasakan seseorang tentang suatu hal dimaksud, untuk memutuskan bagaimana bertindak terhadap suatu hal, dan untuk menentukan bagaimana caranya menghadapi hal itu. Ward Goodenough dalam Roger M.Kessing, Jurnal Teori-teori Budaya (1964:52) melihat kebudayaan sebagai pola kehidupan dalam satu komuniti, yaitu: kegiatan yang terjadi berulang kali secara ajeg berdasarkan susunan materi dan sosial. Dari berbagai kajian literatur dan dari pengalaman sebagai anggota masyarakat budaya Batak Toba, penulis memiliki pola pijakan yang jelas bahwa pada budaya Batak, budaya merupakan bagian dari proses komunikasi.

(6)

2.1.2.2 Proses Komunikasi antar Budaya

Komunikasi antarbudaya, menurut Tubbs dan Moss (1996:236) adalah komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya baik dalam arti ras, etnik maupun perbedaan sosioekonomi. Komunikasi antarbudaya merupakan bagian dari komunikasi multicultural. Komunikasi antar budaya pada hakikatnya memiliki dua aspek secara garis besar, yaitu komunikasi intrabudaya dan komunikasi lintas budaya, Senjaya (2007). Berkaitan dengan hal tersebut Sitaram dan Cogdell (1976) mengungkapkan kalau komunikasi intrabudaya merupakan komunikasi yang berlangsung antara para pelaku kebudayaan dan penerapan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Proses komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas keberadaan kelompok/subbudaya dalam satu kebudayaan, serta nilai subbudaya yang dianutnya.

Menurut Mulyana dan Rakhmat (2009:18) komunikasi antar budaya bukan hanya komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang berbeda bangsa, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, namun juga mencakup komunikasi yang terjadi antara orang yang memiliki perbedaan status sosial atau bahkan jenis kelamin. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa komunikasi antar budaya lebih informal, personal dan tidak selalu bersifat antarbangsa/ antarnegara, dan setiap komunikasi kita dengan orang lain mengandung komunikasi antarbudaya, karena kita pasti berbeda “budaya” dengan orang tersebut, seberapa kecilpun perbedaan itu. Maka komunikasi antarbudaya seyogianya merupakan kepedulian siapa saja yang ingin berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

Komunikasi intrabudaya pun dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat efektifitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang

(7)

ditukar diantara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogen, Mulyana dan Rakhmat (2009:20). Setiap hubungan antarmanusia dalam satu budaya selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan instruksi-instruksi nilai. Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu.

Komunikasi lintas budaya didefenisikan sebagai analisis perbandingan dengan mengutamakan hubungan didalam kegiatan kebudayaan. Hubungan antara komunikasi lintas budaya dengan komunikasi multikultural terfokus pada hubungan antarbangsa tanpa membentuk kultur baru, Purwasito (2003:125).

Karena komunikasi antar budaya juga mencakup hal-hal yang esensial dan tak dapat terhindarkan dalam hidup, misalnya perbedaan status sosial, tingkat pendidikan, jenis kelamin dll. Maka menurut hemat penulis pemahaman seseorang terhadap orang lain, baik yang sesuku maupun tidak sangat dibutuhkan ditengah-tengah kemajemukan yang memang sudah melekat pada diri tiap warga Indonesia sejak lahir khususnya dan warga dunia umumnya agar kesalahfahaman dan konflik dapat terhindarkan lebih maksimal.

2.1.2.3. Asumsi-Asumsi Komunikasi antar Budaya

Hammer (1995) dalam Mulyana dan Rakhmat (2009:9) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya telah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Selanjutnya Hammer dalam Mulyana dan Rakhmat (2009)

(8)

mengungkapkan lebih detail bahwa komunikasi antarbudaya dijadikan sebagai kajian dalam ilmu komunikasi dikarenakan oleh:

1. Secara teoritis memindahkan fokus dari satu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkan.

2. Membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan. 3. Menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.

4. Membawa perhatian kita kepada peranan kebudayaan yang mempengaruhi perilaku.

Asumsi teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan tempat yang valid dimana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka dikenal beberapa asumsi, yaitu :

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian . 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya, Liliweri (2004: 25-31)

(9)

2.1.2.4. Simbolisasi dalam Komunikasi Budaya

Kebutuhan dasar yang melekat pada manusia, adalah kebutuhan akan simbol/lambang dan proses simbolisasi yang merupakan perihal pemakaian simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide, Depdiknas (2001:1066) yang dibentuk oleh komunitas masyarakat atau komunitas budaya. Fungsi pembentukan simbol ini merupakan satu diantara kegiatan-kegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat dan bergerak. Ini adalah proses fundamental dari pikiran, dan berlangsung setiap waktu, Susanne K. Langer dalam Mulyana & Rakhmat (2009: 96). Prestasi-prestasi manusia bergantung pada penggunaan simbol-simbol, Alfred Korzybski dalam Mulyana & Rakhmat (2009) yang juga mengangggap bahwa budaya bersifat semiotik. Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan dan makna yang dimiliki bersama oleh kelompok budaya dimaksud.

Budaya dalam proses komunikasinya sangat sarat akan simbolisasi. Pada komunikasi, simbol atau lambang mengekspresikan atau menyatakan berbagai perasaan; semoga selamat, bahagia, tambah rejeki dan lain-lain, O. P. Simorangkir (2007:38). Seperti ulos pada budaya/ adat Batak Toba, dahulu sebelum Ke-Kristenan memasuki wilayah tanah Batak, ulos adalah benda yang sacral/suci dan memiliki kekuatan roh. O.P. Simorangkir (2007:38) bahkan mengungkapkan bahwa, untuk membuat ulos tertentu dimasa itu seseorang yang akan dibuatkan ulos harus menyediakan tiga lembar daun sirih disertai tiga rupa tepung beras yang dikenal, tiga warna dan didoakan secara berhala.

Akan halnya saat ini dalam budaya, adat dan kebiasaan “Tidak seorangpun orang Batak yang ber-Iman yang percaya akan hal itu”, bahkan ada kecenderungan yang terjadi

(10)

bahwa pada upacara perkawinan, ungkapan kasih sebagai pengganti ulos diberikan uang atau ulos hepeng. Jelas dengan penggantian ulos dengan uang, nilai ulos hanya merupakan cado/simbol budaya untuk ucapan selamat,O.P. Simorangkir (2007:38). Dengan demikian jumlah ulos yang diterima oleh pasangan pengantin untuk masa sekarang jauh berkurang, walau dalam pesta adat (marunjuk) ada ulos yang tetap masih diberi dan bahkan merupakan “keharusan” untuk diberikan kepada pengantin bahkan sampai saat ini, yaitu ulos yang bersumber dari pihak hula-hula, Sianipar (2010:51) yang dianggap mewiliki makna-makna tertentu bagi yang menerima ataupun bagi pengantin/ pasangan yang baru melaksanakan pesta adat (marunjuk).

2.1.2.5 Komunikasi Verbal pada Budaya

Budaya berhubungan dengan lokasi, panggung, tata panggung, dan aturan diantara pelakon (orang yang berperan dalam budaya tersebut) dalam hal ini sistem normatif yang berlaku untuk kelompok masyarakat tertentu sangat menentukan letak dan tata letak pengarahan panggung terhadap para pelaku serta bagaimana pelaku harus memainkan bagian-bagiannya di atas panggung yang telah diatur dan ditata sedemikian rupa.

Panggung pada adat Batak Toba meliputi; tata letak (parhundulan), pelakon (Dalihan Na Tolu) dan symbol pada komunikasi manusia yang meliputi kata-kata/pesan verbal (umpasa), perilaku nonverbal (pemberian boras sipir ni tondi dan dekke), dan objek yang maknanya secara umum telah disepakati bersama, misalnya berapa jumlah ulos yang harus disiapkan oleh parboru dan akan diberikan kepada siapa dari pihak paranak.

(11)

Dengan berlangsungnya semua urutan peristiwa demi peristiwa secara verbal dan non-verbal yang dirangkai menjadi satu tersebut berarti telah terjadi satu prosesi dan komunikasi budaya yang resmi menurut tatanan adat Batak Toba.

2.1.2.6 Interaksi Simbolik

Dalam proses berkomunikasi pada manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili suatu hal yang lain dengan karakteristiknya bahwa simbol tidak memiliki hubungan langsung dengan yang diwakilinya. Simbol dapat berbentuk suara, tanda pada kertas, gerakan tubuh, warna dan lain sebagainya. Manusia menggunakan simbol tidak hanya sebagai alat untuk berinteraksi, namun simbol digunakan dalam menyampaikan pesan suatu budaya dari generasi ke generasi. Menurut Gudykunst dan Kim, dalam Samovar, dkk (2010:18-20) hal yang penting harus diingat adalah simbol dijadikan ketika orang sepakat untuk menjadikannya suatu simbol. Yang mengadung pemaknaan bahwa suatu benda baru dapat disebut sebagai symbol apabila ada suatu kesepakatan tertulis maupun lisan dari anggota suatu kelompok atau anggota masyarakat tentang symbol dan penyimbolan yang digunakan serta makna yang terkandung didalammnya walau untuk kelompok masyarakat lain di luar kelompok masyarakat dimaksud maknanya bisa saja berbeda. Sebab setiap manusia ataupun kelompok masyarakat masing-masing memiliki pola fikir dan persepsi yang unik sehingga tidak bisa disamakan dengan pola fikir dan persepsi orang lain ataupun kelompok masyarakat lain terhadap suatu benda yang sama. Untuk menemukan bentuk- bentuk penyimbolan dan makna yang termaktub didalamnya pada suatu kelompok masyarakat tersebut.

(12)

Penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik, hal itu berdasarkan kenyataan bahwa dalam kehidupan nyata pada umumnya manusia dapat mengerti berbagai hal berdasarkan kenyataan hidup dan perjalanan hidup yang pernah dilihat atau dialaminya. Seperti yang dikemukakan oleh Engkus Kuswarno (2009:113) bahwa, perspektif interaksi simbolik mengandung dasar pemikiran yang sama dengan teori tindakan sosial tentang “makna subjektif” (subjective meaning) dari perilaku manusia, proses sosial dan pragmatismenya.

Pemaparan kualitatif yang bersumber dari pemikiran fenomenologis, Herbert Mead dan Herbert Blumer mengukuhkan teori interaksi simbolik sebagai suatu kajian ilmiah tentang berbagai aspek subjektif manusia dalam kehidupan sosial. Blumer dalam Engkus Kuswarno (2009:113) juga mengungkapkan tiga (3) premis yang mendasari pemikiran interaksi simbolik, yaitu:

(1). Bahwa manusia pada dasarnya bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka,

(2). Bahwa makna yang terdapat pada sesuatu berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”,

(3). Makna-makna yang terdapat pada suatu symbol disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung.

Hal senada juga disampaikan Jerome Manis dan Bernard Melzer dalam Engkus Kuswarno (2009:114) bahwa; interaksi simbolik berasumsi kalau manusia dapat mengerti berbagai hal melalui proses belajar dari apa yang dialami, dilihat atau yang didengar.

(13)

Persepsi seseorang akan sesuatu benda, kejadian dan yang lainnya selalu diterjemahkan melalui symbol-simbol beserta pemaknaannya.

Dalam hal ini menurut Ritzer (1992 : 59), interaksi simbolik adalah teori yang paling sulit disimpulkan. Hal ini disebakan oleh karena teori ini memiliki banyak sumber, namun sampai saat ini tak satupun teori dimaksud yang mampu memberi penjelasan memuaskan mengenai isi dari teori tersebut.

Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah bahwa perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual menjadi penting di dalam interaksi simbolik. (Basrowi Sudikin, 2002: 114). Selanjutnya, Basrowi Sudikin, 2002: 115 mengemukakan bahwa; secara umum ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu: (1) Perilaku manusia mempunyai makna di balik yang menggejala, hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa; tidak ada tindakan manusia yang tidak sengaja. (2) Pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia, (3) Masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga, (4) Perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologi, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatik, (5) Konsep mental manusia itu berkembang dialetik, dan (6) Perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Lebih jauh Mulyana

(14)

mengungkapkan bahwa; Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut oleh semua anggota budaya (Mulyana, 2001: 61-62).

Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.

Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip metodologi interaksi simbolik adalah: (1) simbol dan interaksi itu menyatu. Dalam hal ini kita harus mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya, (2) karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subjek perlu dapat ditangkap. (3) Harus sekaligus dikaitkan antara simbol dengan jati diri dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. (4) Hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saja, (5) Metode-metode yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya, (6) Metode yang digunakan hendaknya mampu menangkap makna dibalik interaksi, dan (7) sensitizing, yaitu sekedar mengarahkan pemikiran itu yang cocok dengan interaksi simbolik dan ketika mulai

(15)

memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, yakni scientific conceps. (Basrowi Sudikin, 2002: 115)

Blumer dalam Basrowi Sudikin, (2002: 116), memaparkan bahwa ada tiga pokok pikiran interaksi simbolik yaitu : (a) bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning), (2) makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya, (3) makna itu diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya, dan makna yang muncul dari suatu interaksi tidak begitu saja diterima oleh seseorang sebelum seseorang itu menafsirkannya terlebih dahulu.

Selanjutnya Thomas dalam Basrowi Sudikin, (2002: 116) juga menyampaikan bahwa, seseorang tidak serta merta begitu saja memberikan reaksi manakala ia mendapat rangsangan dari luar. Namun seseorang itu menerima atau tidaknya suatu rangsangan tentu saja setelah terlebih dahulu melakukan penilaian dan pertimbangan melalui penafsiran terhadap situasi yang oleh Thomas dibagi menjadi dua macam yaitu: (1) Defenisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu dan (2) Defenisi situasi yang dibuat oleh masyarakat.

Dari dua defenisi situasi yaitu; secara spontan oleh individu dan oleh masyarakat, yang akan dibahas lebih spesifik adalah defenisi situasi yang dibuat oleh masyarakat. Sebab defenisi situasi yang dibuat oleh masyarakat itu merupakan aturan yang mengatur interaksi antar manusia. Menyangkut hal itu David A. Karp dan W.C. Yoel dalam Basrowi Sudikin, (2002: 116) menyatakan bahwa ada tiga jenis aturan yang mengatur perilaku manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain, yaitu; (1) aturan

(16)

mengenai ruang, (2) aturan mengenai waktu, dan (3) aturan mengenai gerak dan sikap tubuh.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut kiranya dapat dikatakan bahwa simbolisasi komunikasi dilakukan melalui interaksi simbolik, dengan landasan dari perilaku nonverbal yang diterapkan dalam aktivitas adat-istiadat masyarakat tertentu. Salah satunya adalah dalam masyarakat adat Batak Toba, yang menggunakan simbolisasi komunikasi dalam pelaksanaan upacara pernikahan secara adat.

Simbolisasi komunikasi berupa benda-benda adat yang digunakan dalam upacara pernikahan masyarakat batak Toba dapat berupa dekke (ikan mas), mandar hela ( sarung pengantin laki-laki), ulos hela ( ulos pengantin laki-laki), dan boras/ beras. (Sianipar,1991:222-241). Benda tersebut disampaikan terutama kepada kedua pengantin. Namun beberapa hal seperti pengalaman hidup, tingkat pendidikan, lokasi tempat tinggal, kecintaan terhadap budaya, dan pengetahuan dapat mempengaruhi tanggapan atau persepsi masyarakat Batak Toba terhadap bentuk simbolisasi komunikasi tersebut.

2.1.2.7. Komunikasi dan Interaksi Simbolik

Komunikasi secara umum merupakan suatu proses interaksi simbolik diantara para pelaku komunikasi. Pada proses komunikasi terjadi pertukaran pesan yang tidak hanya dilihat sebagai transmisi pesan, namun pertukaran pola pikir dan cara pandang demi tercapainnya suatu proses pemaknaan tertentu yang kesemuannya telah terkonstruksikan secara sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Purwasito (2003:206-207) bahwa, interaksi

(17)

simbolik merupakan proses komunikasi yang berada dalam sistem simbolik, oleh karena itu komunikasi juga disebut sebagai interaksi simbolik.

Lambang/ simbol hadir dimana-mana. Lambang menjadi sesuatu yang sentral dalam kehidupan manusia. Semua hal dalam kehidupan bisa dijadikan simbol baik yang konkret maupun abstrak, bergantung pada kesepakatan komunikan dengan komunikator. Penyebutan arti terhadap lambang, timbul karena kesepakatan bersama. Isyarat anggota tubuh, kata-kata, makanan beserta cara makan, alat (artefak), cara berjalan, warna pakaian, angka, bunyi, waktu, dan sebagainya merupakan contoh simbol yang banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemaknaan simbol bervariasi dari satu budaya ke budaya lain dari suatu wilayah dengan wilayah lain, dan dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lain dimungkinkan untuk berbeda. Makna yang diberikan kepada suatu lambangpun mungkin saja berubah dalam perjalanan waktu, walau perubahan makna yang terjadi untuk setiap lambang bervariasi ada yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan dengan cepat. Demikian halnya dengan acara adat umumnya, masing-masing partisipan komunikasi menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol atau lambang baik yang bersifat verbal maupun non-verbal yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama.

Menurut konsepsi interaksi simbolik, manusia cenderung menafsirkan diri berdasarkan pola fikir orang lain secara personal. Sering mencoba melihat bagimanakah perspektif orang tersebut ketika memandang dirinya. Seperti yang terdapat pada:

(18)

konsep diri adalah fungsi bahasa. Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language).

2.1.3 Simbolisasi dan Interaksi Simbolik pada Pernikahan Adat Batak Toba

Interaksi simbolik menurut Ritzer (1992 : 59) adalah teori yang paling sulit disimpulkan. Teori ini memiliki banyak sumber, namun tak satupun yang mampu memberi penjelasan memuaskan mengenai isi dari teori ini. Selanjutnya, Basrowi Sudikin, 2002: 115 mengemukakan bahwa; secara umum ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu: (1) Perilaku manusia mempunyai makna di balik yang menggejala, (2) Pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia, (3) Masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga, (4) Perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologi, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatik, (5) Konsep mental manusia itu berkembang dialetik, dan (6) Perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.

Sejalan dengan paparan di atas, Blumer dalam Kuswarno, 2008: 22, mengatakan bahwa; pendekatan interaksi simbolik mengacu pada tiga premis utama, yaitu:

(1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka,

(2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain, (3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang

(19)

Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.

Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip metodologi interaksi simbolik adalah bahwa: (1) Simbol dan interaksi itu menyatu. Dalam hal ini kita harus mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya, (2) Karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subjek perlu dapat ditangkap. (3) Harus sekaligus dikaitkan antara simbol dan jati diri dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. (4) Hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual atau yang terlihat saja, (5) Metode-metode yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya, (6) Metode yang digunakan hendaknya mampu menangkap makna dibalik interaksi, dan (7) Sensitizing, yaitu sekedar mengarahkan pemikiran itu yang cocok dengan interaksi simbolik dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, yakni scientific conceps, Basrowi Sudikin (2002: 115)

Berdasarkan uraian-uraian tersebut kiranya dapat dikatakan bahwa simbolisasi komunikasi dilakukan melalui interaksi simbolik, dengan landasan dari perilaku nonverbal yang diterapkan dalam aktivitas adat-istiadat masyarakat tertentu. Salah satunya adalah dalam masyarakat adat Batak Toba , yang menggunakan simbolisasi komunikasi dalam pelaksanaan upacara pernikahan secara adat.

Simbolisasi komunikasi berupa benda-benda adat yang digunakan dalam upacara pernikahan masyarakat Batak Toba dapat berupa boras si pir nitondi, dekke (ikan mas),

(20)

mandar hela ( sarung pengantin laki-laki), ulos hela ( ulos pengantin laki-laki) Sianipar (1991:222-241). Benda tersebut disampaikan terutama kepada kedua pengantin. Namun beberapa hal seperti pengalaman hidup, tingkat pendidikan, lokasi tempat tinggal, kecintaan terhadap budaya, dan pengetahuan dapat mempengaruhi tanggapan atau persepsi masyarakat Batak Toba terhadap bentuk simbolisasi komunikasi tersebut.

2.2 Kerangka Berfikir

Penelitian ini sebagai penelitian sosial menggunakan kerangka berfikir secara skematik yang menggabungkan validitas internal dengan desain penelitian Bowen (1996) dalam Wiranto “Metode Triangulasi dalam Penelitian Ilmu Komunikasi” (2006:43). Triangulasi teknik berarti, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda (observasi partisipatif, wawancara mendalam, dokumentasi, dll) untuk mendapatkan data dari sumber yang sama, dan untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda dengan teknik yang sama, Sugiyono (2009: 241). Hal ini dilakukan karena penelitian memerlukan pengumpulan data melalui beberapa strategi pengambilan sampel, pengumpulan data dan informasi dalam waktu dan situasi sosial yang berbeda serta dari berbagai kalangan masyarakat “Data triangulation”, Wiranto (2006:44). Yang meliputi mengkontraskan metode kajian, seperti penggunaan kuesioner dan pengamatan “between-method triangulation”, Denzim (1970). Beranjak dari paparan-paparan tersebut maka alur berfikir yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Budaya Batak mencakup seluruh pranata yang ada dalam kehidupan warga Batak: kehamilan, kelahiran, pernikahan, kematian, dll. Yang akan dibahas pada

(21)

penelitian ini adalah tentang pernikahan (marunjuk), dalam pelaksanaannya melibatkan unsur Dalihan Na Tolu, H.P. Panggabean (2007:39). Pada acara pernikahan tersebut unsur-unsur Dalihan na Tolu dari kedua belah pihak wajib ada dan hadir untuk menjalankan peran (fungsi) masing-masing, O.P. Simorangkir (2007:16).

Dalam pernikahan ini ketiga unsur Dalihan na Tolu memberi ucapan selamat kepada pengantin sesuai dengan kapasitasnya masing-masing sebagai bagian dari Dalihan Na Tolu. Yaitu: Dongan sabutuha dan boru memberikan umpasa sebagai ucapan selamat, dan hula-hula memberi ucapan selamat kepada pasangan pengantin baru dengan menggunakan simbolisasi-simbolisasi adat yaitu: umpasa, boras si pirni tondi, dekke (ikan mas) dan ulos; sebagai ucapan selamat dan restu bagi pasangan keluarga baru.

Untuk menghindari kesalahan pemberian ucapan selamat “karena perbedaan posisi akan menimbulkan perbedaan jenis ucapan selamat yang sepatutnya diberikan”, maka setiap unsur dalam pelaksanaan pesta marunjuk harus mengetahui posisinya dahulu sebagai Dalihan na Tolu pada pesta yang digelar sebelum melangkahkan kaki ke acara dimaksud.

Seperti budaya yang ada di Indonesia pada umumnya; pada pernikahan marunjuk pada adat Batak Tobapun sangat sarat dengan interaksi simbolik yang didalamnya melibatkan; symbol, interaksi dan makna yang terkandung pada tiap unsur-unsurnya yang keseluruhannya mewakili makna tertentu.

Dikarenakan perbedaan wilayah atau tempat tinggal maka di “tanah rantau” ada beberapa acara yang dipersingkat atau digabungkan dengan acara lainnya, walau secara umum bukan merupakan perubahan yang gradual.

(22)

Alur kerangka berfikir Pernikahan adat Batak Toba:

Pernikahan

Dalihan na Tolu

Hula-Hula

Dongan Sabutaha

Boru

• Umpasa • Beras • Ikan Mas • Ulos Umpasa Tuppak

• Umpasa • Pelaksana • Tuppak

Simbolisasi pada Pernikahan Adat Batak Toba

Proses Pernikahan Adat Batak Toba (Posisi dalam Dalihan na Tolu & tempat tinggal/ Wilayah)

Dipengaruhi Faktor :

1. Posisi sebagai bagian dari Dalihan na Tolu 2. Latar Belakang Tempat Tinggal /Wilayah

(23)

Gambar 2.1 Analisis Model tentang pengguna umpasa dan simbolisasi ucapan selamat pada pernikahan adat batak Toba, (dibuat oleh peneliti berdasarkan kajian pustaka) dengan bantuan dari dari dosen pembimbing.

Gambar

Gambar 2.1  Analisis Model tentang pengguna umpasa dan simbolisasi ucapan selamat  pada pernikahan adat batak  Toba,  (dibuat oleh peneliti berdasarkan kajian  pustaka) dengan bantuan dari dari dosen pembimbing

Referensi

Dokumen terkait

dalam rangkaian acara yang digelar hingga 12 Februari ini juga terdapat prosesi pengangkatan jabatan yang dilakukan langsung oleh Dirut Sumber Daya Manusia

Saat ini, sektor perbankan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menawarkan pelayanan yang lebih baik bagi pelanggan mereka dengan berbagai layanan

Karena gas refrigeran ini melewati pipa dengan diameter kecil dari pipa kapiler ini merupakan hamabatan dari peredaran gas refrigeran tersebut dan mengakibatkan tekanan pada

Steers (1988) mengatakan, komitmen organisasi menjelaskan kekuatan relatif dari sebuah identifikasi individu dengan keterlibatan dalam sebuah organisasi. Komitmen menghadirkan

Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan

 Terimakasih kepada semua dosen Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jember..  Kepada Dosen Pembimbing saya :

(A) di mana calon belum menyempurnakan sebahagian daripada keperluan mana-mana kursus dalam sesuatu semester seperti dinyatakan dalam Peraturan 39 (1)(a)(iv)(A)(bb),

Sejarah  mencatat  asal  mula  dikenalnya  kegiatan  perbankan  adalah  pada  zaman kerajaan tempo dulu  di  daratan Eropa. Kemudian  usaha perbankan  ini