• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Makna Futuwwah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Memahami Makna Futuwwah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

http://muhsinhar.staff.umy.ac.id

Memahami Makna Futuwwah

(Materi Kajian Rutin Kitab Madârijus Sâlikîn, karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam acara Baitul Hikmah – PDM Kota Yogyakarta –

Ahad, 27 April 2014, di Kantor PDM Kota Yogyakarta)

Masih banyak orang yang bertanya-tanya: “Apa makna

Futuwwah yang di forum kajian Islam sering diungkap oleh para ulama, yang utamanya dikaitakan dengan persoalan sedekah.

Futuwwah – menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -- bermakna “kedermawanan dan kekesatriaan spiritual yang memuat pengetahuan tinggi tentang penghambaan, yaitu kedudukan yang pada hakikatnya merupakan kebajikan kepada manusia, tidak pernah menyakiti mereka dan sabar dalam menghadapi gangguan mereka, yang digunakan sebagai penunjang akhlak yang baik dalam bergaul bersama mereka.”

Futuwwah merupakan kedudukan mulia. Kata futuwwah

berasal dari kata “fatâ”, yang artinya pemuda. Istilah futuwwah

awal mulanya digunakan oleh Ja’far bin Muhammad, Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah, dan Al-Junaid. Dikisahkan bahwa Ja’far bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang futuwwah ini. Orang itu bertanya,”Wahai anak keturunan Rasulullah s.a.w., kalau begitu apa maknanya menurut kalian?” Ja’far menjawab,”Jika kami diberi, maka kami lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami bersyukur.”

Al-Harawi, dalam kitab Manâzilus Sâ’irîn, menyatakan bahwa hakikat futuwwah adalah: “engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia.” Manusia berbeda-beda tingkatannya dalam masalah ini. Yang paling tinggi adalah yang seperti ini, dan yang paling rendah adalah kebalikannya. Sedangkan pertengahannya adalah yang tidak melihat kelebihan dirinya, tetapi dia melihat adanya hak terhadap orang lain.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa futuwwah memiliki 3 (tiga) tingkatan, yaitu :

(2)

untuk menunjukkan futuwwah ini, engkau tidak perlu memusuhi seseorang dan tidak menempatkan dirimu sebagai musuh bagi seseorang. Tingkatan futuwwah ini bisa dibagi menjadi 3 (tiga) macam :

1. Tidak memusuhi seseorang dengan lisannya 2. Tidak memusuhinya dengan hatinya

3. Di dalam pikirannya tidak terlintas keinginan untuk memusuhinya

Hal ini berkaitan dengan keadaan dirinya. Tetapi jika berkaitan dengan hak Allah, maka futuwwah ini justeru harus ditunjukkan dengan cara memusuhi karena Allah dan bersama Allah serta menyerahkan hukum kepada Allah; seperti doa isftitâh

yang dibaca oleh Nabi Muhammad s.a.w.; “Karena-Mu aku berperang dan kepada-Mu aku menyerahkan hukum.” Dan inilah tingkatan futuwwah ulama.

Pura-pura melalaikan kesalahan orang lain artinya, jika engkau melihat dia melakukan kesalahan yang menurut syariat harus ada ancaman hukuman, maka buatlah seakan-akan engkau tidak melihatnya. Yang demikian ini lebih baik daripada menyembunyikan kesalahannya itu, padahal engkau melihatnya.

Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, bahwa ada seorang wanita yang menemui Hatim menanyakan suatu masalah kepadanya. Pada saat itu tanpa disengaja wanita tersebut kentut, sehingga dia merasa sangat malu. Hatim berkata: ”Bicaralah yang keras!” Wanita itu langsung menampakkan rona kegembiraan, karena dia mengira Hatim tuli atau tidak normal pendengarannya. Wanita itu berkata,”Kalau begitu dia tidak mendengar suara kentutku.” Karena kejadian ini Hatim dijuluki Hatim si tuli. Tindakan Hatim seperti ini bisa disebut separuh futuwwah.

Engkau juga harus melupakan gangguan orang lain terhadap dirimu, agar hatimu menjadi bersih dan engkau tidak melancarkan balasan atau kebencian kepadanya.

Kedua, mendekati orang yang menjauhimu, memuliakan orang yang menyakitimu, memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, berlapang dada dan tidak menunjukkan sedikit pun amarah, kasih-mengasihi dan tidak menahan-nahan diri serta pura-pura bersabar.

(3)

Tingkatan futuwwah ini lebih tinggi dan lebih sulit daripada tingkatan sebelumnya, karena tingkatan pertama hanya meninggalkan permusuhan dan pura-pura lalai, sedangkan tingkatan ini mengandung sikap santun kepada orang yang justru berbuat tidak baik dan jahat kepadamu. Kebaikan dan kejahatan merupakan 2 (dua) garis sejajar yang tidak bertemu pada satu titik.

Siapa pun yang berkeinginan untuk memahami tingkatan

futuwwah ini sebagaimana lazimnya, maka hendaklah dia melihat perikehidupan Rasulullah s.a.w. dan pergaulan beliau bersama manusia. Tidak ada yang lebih sempurna dalam masalah ini selain beliau, kemudian para pewaris beliau, termasuk pula Ibnu Taimiyah. Para sahabatnya pun berkata,”Aku ingin sikapku terhadap teman-temanku seperti sikapnya terhadap musuh-musuhnya.”

Memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, memang sepintas lalu agak sulit untuk dipahami. Karena bagaimana mungkin kejahatan harus dimaafkan begitu saja? Pemahaman lebih jauh, engkau tidak perlu menjatuhkan hukuman kepadanya atas kejahatannya terhadap dirimu. Lalu buatlah pergaulan dengan manusia semacam ini muncul dari kelapangan dadamu dan tenggang rasamu, bukan dengan cara menahan-nahan amarah, dengan dada yang menyesak dan memaksakan kesabaran, karena yang demikian ini sama dengan pemaksaan yang cepat akan berubah, lalu akhirnya membuka sifatmu yang asli, yaitu tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak lapang dada.

Ketiga, tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, tidak mengotori pemenuhan hak Allah dengan pengganti dan tidak menegakkan kesaksian kepada rupa.

Inilah 3 (tiga) perkara yang terkandung di dalam tingkatan ini. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, artinya, orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah berpijak kepada keyakinan, bashirah dan kesaksian. Jika dia bergantung kepada bukti penunjuk dan rambu-rambu jalan, berarti dia belum mencium bau keyakinan. Karena itu para rasul tidak menyeru menekankan ajakan untuk menyatakan adanya Pencipta, tetapi menyeru mereka untuk menyembah dan mengesakan-Nya. Untuk pengakuan tentang adanya Allah, maka seruannya sudah pasti tanpa disertai keragu-raguan sedikit pun, seperti firman Allah pada QS Ibrâhîm/14: 10,

(4)

يضْر

َ

لأاَو يتاَوَم هسّلا يريطا

َف ٌكَّش ي هللَّا يفَِأ ْمُهُلُسُر ْتَلاَق

َيل ْم

ُكوُعْدَي

ٍلَج

َ

أ

لَيإ ْم

َ

ُكَرِخَّؤُيَو ْمُكيبوُنُذ ْنيم ْمُكَل َريفْغ

اَنوُد ُصَت ْن

َ

أ َنوُدييرُت اَن

ُلْثيم ٌ َشََب لايإ ْمُتْنَأ ْنيإ اوُلاَق ىمًَّسُّم

ٍييبُم ٍنا َط

ْلُسّيب اَنوُتْأَف اَنُؤاَبآ ُدُبْعَي َنَكَ اهمَع

“Berkatalah para rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?” Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami, bukti yang nyata”.

Bagaimana mungkin tuntutan pembuktian atas sesuatu yang harus dibuktikan dianggap sah, sementara sesuatu yang harus dibuktikan itu lebih nyata daripada pembuktiannya? Dalam memenuhi hak Allah, engkau tidak boleh meminta imbalan. Pemenuhanmu terhadap hak Allah harus dilakukan secara tulus, dilandasi cinta dan mencari apa yang dicintai-Nya, tidak mengotorinya dengan tuntutan pengganti dan dan imbalan, karena yang demikian ini sama sekali tidak mencerminkan futuwwah. Siapa yang tidak menuntut dari selain Allah dan tidak menodainya dengan imbalan yang dimintanya, tapi dilakukan atas dasar cinta dan mengharapkan Wajah Allah, pada hakikatnya dia telah beruntung mendapatkan pengganti dan imbalan. Selagi imbalan ini bukan merupakan tujuannya, maka dia justru mendapatkan bagian yang lebih banyak, dia terpuji, dan disyukuri.

Tidak menegakkan kesaksian kepada rupa, artinya tidak melandaskan kesaksian terhadap hal-hal yang tampak. Kesaksian yang benar mampu meniadakan hal-hal yang nyata dan rupa-rupa yang bisa mengecoh. Maksudnya, semua makhluk tidak dianggap sebagai sesuatu yang agung. Menurut ilmu orang-orang yang khusus, mencari cahaya hakikat berdasarkan tuntutan bukti petunjuk, tidak diperbolehkan bagi orang yang mengaku memiliki

(5)

futuwwah. Jika terhadap musuhmu saja engkau tidak perlu menuntut maaf dan pembuktian tentang kebenaran maafnya, maka bagaimana mungkin engkau menuntut bukti tauhid dan ma’rifat terhadap Pelindung dan Kekasihmu, kekuasaan dan kehendak-Nya? Tentu saja hal ini bertentangan dengan futuwwah dari segala segi.

Jika ada seseorang mengundangmu untuk datang ke rumahnya, lalu engkau berkata kepada utusannya,”Aku tak akan pergi bersamamu ke rumahnya, kecuali apabila engkau memberikan bukti tentang keberadaan orang yang mengundangmu”, berarti engkau adalah orang yang membual dan terlalu hina untuk memiliki futuwwah. Lalu, bagaimana mungkin engkau menuntut bukti dari Allah, yang keberadaan-Nya, keesaan, kekuasaan, Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah-Nya lebih nyata daripada segala bukti dan dalil.

Berkaitan dengan futuwwah ini, para ulama memberikan ilustrasi berupa kisah Ali bin Abi Thalib r.a., sepupu dan menantu Nabi Muhammad s.a.w. Ali bin Abi Thalib dinyatakan oleh para ulama sebagai salah satu figur ksatria sejati. Beliau merupakan model para sufi yang ingin menempuh jalan futuwwah (kekesatriaan). Kata futuwwah yang berasal dari fata, yang arti dasarnya adalah “pemuda” (syabb) tercermin dalam pribadi Ali bin Abi Thalib. Fatâ mencakup konotasi ‘heroik’ (bersifat kepahlawanan) yang menjadi tak terpisahkan dari istilah futuwwah. Fatâ yang ideal, yang tercermin pada pribadi Ali, ditandai dengan sifat-sifat tidak egois, berani, dermawan, dan hormat.

Kisah di bawah ini menunjukkan dengan ‘gamblang’ apa makna futuwwah itu dalam kehidupan dunia sufi. Ali bin Abi Thalib adalah simbol kepahlawanan. Beliau dikenal sebagai prajurit yang tak terkalahkan pada masanya.

Pada suatu peperangan, beliau telah menangkap seorang tentara dan pisau belatinya telah diletakkan di leher musuhnya. Tiba-tiba orang kafir — musuhnya — tersebut meludahi wajahnya. Seketika itu juga Ali bin Abi Thalib berdiri, menarik belatinya dan berkata kepada orang tersebut: “Membunuhmu adalah kurang bijaksana bagiku. Pergilah!”

Orang itu, yang telah menyelamatkan nyawanya sendiri dengan meludahi wajah orang yang terpuji itu, terkejut dan merasa kagum. Dia pun berkata: “Wahai Ali, aku sudah tak berdaya, dan kau hampir saja membunuhku. Aku telah menghinamu dan sekarang engkau bebaskan aku. Mengapa?”

“Ketika engkau meludahi wajahku,” jawab Ali, “itu menimbulkan kemarahan pribadiku. Jika aku membunuhmu, berarti pembunuhan itu tidak kulakukan demi Allah, tetapi hanya untuk memenuhi nafsuku. Dan aku pun menjadi seorang pembunuh. Sekarang engkau pun bebas untuk pergi.”

(6)

Tentara musuh itu pun tergerak hatinya. Karena ketulusan hati yang ditunjukkan oleh Ali, dia memeluk agama Islam pada saat itu juga.

Kisah Ali bin Abi Thalib itu, meskipun sudah lama terjadi, hingga kini tetap bisa kita jadikan sebagai ‘ibrah. Berkaitan dengan futuwwah Ali bin Abi Thalib itu, pertanyaan pentingnya bagi diri kita adalah: “sudahkah kita memilikinya, dengan menunjukkan sikap ksatria – sebagaimana Ali bin Abi Thalib — dengan menepati janji kita pada Allah yang seharusnya terwujud dalam seluruh sikap dan perilaku kita?”

Referensi

Dokumen terkait

Inti dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu progam yang dapat membantu pengguna dalam mengenali nada-nada dari alat musik yang dimainkannya, serta membantu mereka

Sunarto, MM., selaku Kepala Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin

Pertama,# perilaku# atau# budaya# masyarakat# Indonesia# yang# senang# membagiX bagi# data# serta# informasi# mengenai# kerabat# dan# teman# dekatnya.#

• User menekan tombol OK, dan sistem akan melakukan penyimpanan atribut filter untuk digunakan selanjutnya. Skenario

Untuk mengatur temperatur, kelembaban dan oksigen, pada windrow sistim ini, maka dilakukan proses pembalikan secara periodik Inilah secara prinsip yang membedakannya dari

Pada bangunan candi di Indonesia, selain berbagai macam arca Budha dan para dewa yang terdapat di candi di Indonesia, selain berbagai macam arca Budha dan para dewa yang terdapat

Pada tahap perencanaan tindakan dimulai dengan mengidentifikasi masalah yang diteliti berdasarkan observasi lapangan. Kegiatan pada tahap ini dimulai dengan melakukan

Sedangkan pada uji analisis regresi berganda diketahui bahwa kelengkapan produk secara simultan bersama dengan kemudahan akses, harga produk, metode pembayaran, dan