• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERENDAMAN LARVA DALAM LARUTAN TIROKSIN DAN KEJUTAN SALINITAS 20 ppt TERHADAP KINERJA CALON BENIH IKAN PATIN SIAM Pangasius hypophthalmus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PERENDAMAN LARVA DALAM LARUTAN TIROKSIN DAN KEJUTAN SALINITAS 20 ppt TERHADAP KINERJA CALON BENIH IKAN PATIN SIAM Pangasius hypophthalmus"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERENDAMAN LARVA DALAM LARUTAN

TIROKSIN DAN KEJUTAN SALINITAS 20 ppt

TERHADAP KINERJA CALON BENIH IKAN PATIN SIAM

Pangasius hypophthalmus

ERRIZA ADITRA

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

PENGARUH PERENDAMAN LARVA DALAM LARUTAN TIROKSIN DAN KEJUTAN SALINITAS 20 ppt TERHADAP KINERJA CALON BENIH IKAN PATIN SIAM Pangasius hypophthalmus

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, September 2012

ERRIZA ADITRA C14080074

(3)

ABSTRAK

ERRIZA ADITRA. Pengaruh Perendaman Larva dalam Larutan Tiroksin

dan Kejutan Salinitas 20 ppt Terhadap Kinerja Calon Benih Ikan Patin Siam

Pangasius hypophthalmus. Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI

dan HARTON ARFAH.

Terdapat kendala dalam produksi benih ikan patin siam, yakni rendahnya kualitas benih yang dihasilkan terutama di luar musim pemijahan (Mei - September). Untuk itu diperlukan rekayasa untuk meningkatkan kualitas benih. Rekayasa yang dapat dilakukan yaitu rekayasa hormonal menggunakan hormon tiroksin serta kejutan salinitas, diharapkan perendaman tiroksin dengan kejutan salinitas dapat mempercepat perkembangan dan pertumbuhan serta meningkatkan kelangsungan hidup. Hormon yang digunakan berasal dari tablet thyrax. Larva yang digunakan adalah larva yang baru menetas. Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dan 3 ulangan menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan terdiri dari kontrol, dosis 0,05 ppm (P1), dosis 0,1 ppm (P2), dan dosis 0,2 ppm (P3) selama 1 jam perendaman. Sebelum larva direndam larutan hormon, dilakukan kejutan salinitas 20 ppt selama 2 menit. Larva dipelihara di dalam akuarium dengan kepadatan 40 ekor/l dan dipelihara selama 12 hari. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan perendaman larva dalam larutan tiroksin dan kejutan salinitas 20 ppt dapat meningkatkan perkembangan, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup larva ikan patin, di mana dosis 0,05 ppm (P1) merupakan dosis optimum bila ditinjau dari segi efisiensi dan ekonomi karena.

(4)

ABSTRACT

ERRIZA ADITRA. Effect of Larvae Immersion in Thyroxin Solution and

Salinity Shock 20 ppt Against of Fry Fish Candidate Asian Catfish Pangasius

hypophthalmus Performance. Guided by DINAR TRI SOELISTYOWATI and HARTON ARFAH.

There are some obstacles in Asian catfish juvenile production, especially outside the spawning season (May to September). It causes low quality of fish fry. Some manipulations are needed in order to improve the quality of juvenile. One of manipulation that can be done is hormone manipulation using thyroxin hormone and salinity shock. It was expected that thyroxin immersion and salinity shock will accelerate the larvae growth and development and also increase survival. Hormones were taken from thyrax tablet. The larvae that was used is newly hatched. The study consisted of 4 treatments and 3 replications using complete randomized design. Treatments consisted of a control, a dose of 0.05 ppm (P1), a dose of 0.1 ppm (P2), and a dose of 0.2 ppm (P3) for 1 hour immersion. Before larvae were immersed in hormone solution, a salinity shock of 20 ppt for 2 minutes were applied. Larvae was cultured in aquarium with density 40 larvae/l. The experiment was terminated at 12 days later. The result showed that larvae immersion in thyroxin solution and salinity shock 20 ppt promote the development, growth, and survival of Asian catfish larval, where dose of 0.05 ppm (P1) is the optimum level when viewed from efficiency and the economical perspective.

(5)

PENGARUH PERENDAMAN LARVA DALAM LARUTAN

TIROKSIN DAN KEJUTAN SALINITAS 20 ppt

TERHADAP KINERJA CALON BENIH IKAN PATIN SIAM

Pangasius hypophthalmus

ERRIZA ADITRA

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Kejutan Salinitas dan Perendaman Larva dalam Larutan Tiroksin Terhadap Kinerja Calon Benih Ikan Patin Siam Pangasius hypophthalmus

Nama Mahasiswa : Erriza Aditra Nomor Pokok : C14080074

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dinar Tri Soelistyowati Harton Arfah, M.Si NIP. 19611016 198403 2 001 NIP. 19661111 199103 1 003

Diketahui

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Sukenda

NIP. 19671013 199302 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian berjudul Pengaruh Kejutan Salinitas dan Perendaman Larva dalam Larutan Tiroksin Terhadap Kinerja Calon Benih Ikan Patin Siam Pangasius hypophthalmus telah dilaksanakan pada bulan Juni 2012, Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Dinar Tri Soelistyowati dan Bapak Harton Arfah, M.Si., selaku dosen pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu dan kakak Penulis (Melyza dan Elzana) atas segala doa, kasih sayang, dan semangat yang telah diberikan. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Widayati Pratiwi yang banyak membantu dalam penelitian maupun pembuatan skripsi ini. Tak lupa pula penulis ucapkan terimakasih kepada Melati, Nidya Marisca, Aminah, Wahyu Afrilasari, Ardina, Muttaqin, Nurlita, Fatima, Dendi, Titi, Retno, Ojan, dan teman – teman BDP PATMO lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu serta Penulis haturkan terima kasih kepada Mas Jeki dan Pak Wawan yang telah menyediakan larva.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi Penulis dan orang lain.

Bogor, September 2012 Erriza Aditra

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Liwa tanggal 16 Desember 1990 dari ayah Muhammad Zarwi dan ibu Rina Isnelly. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 9 Bandar Lampung tahun 2008, dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SNMPTN, Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis pernah magang di perusahaan CV. Biru Laut Persada dan di Balai Budidaya Laut Lombok. Penulis aktif dalam kegiatan EO dan organisasi. Penulis pernah menjadi ketua panitia dalam Seminar Herbal, selain itu penulis menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Akuakultur periode 2010/2011. Pada tahun 2011 Penulis mengikuti lomba Aquascape antar Universitas. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan PKM Penelitian yang didanai oleh Dikti.

Untuk mendapatkan gelar sarjana, Penulis melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Kejutan Salinitas dan Perendaman Larva dalam Larutan Tiroksin Terhadap Kinerja Calon Benih Ikan Patin Siam Pangasius hypophthalmus.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

II. BAHAN DAN METODE ... 5

2.1 Materi Uji ... 5

2.2 Rancangan Penelitian... 5

2.3 Prosedur Kerja ... 5

2.3.1 Persiapan Wadah ... 5

2.3.2 Penyiapan Hormon Tiroksin ... 6

2.3.3 Metode Perlakuan... ... 6

2.3.4 Pengelolaan Kualitas Air ... 7

2.4 Parameter Uji ... 7

2.4.1 Volume Kuning Telur... ... 7

2.4.2 Persentase Penyerapan Kuning Telur... 8

2.4.3 Persentase Bukaan Mulut... ... 8

2.4.4 Panjang Akhir ... ... 8

2.4.5 Kelangsungan Hidup ... ... 8

2.4.6 Kualitas air... ... 9

2.5 Analisis Data ... 9

III. HASIL DAN PEMBAHASAN... 11

3.1 Hasil ... 11

3.1.1 Volume Kuning Telur... ... 11

3.1.2 Persentase Penyerapan Kuning Telur... 11

3.1.3 Persentase Bukaan Mulut... ... 12

3.1.4 Panjang Akhir ... ... 13

3.1.5 Kelangsungan Hidup ... ... 14

3.1.6 Kualitas air... ... 15

3.2 Pembahasan ... 15

(10)

ii

4.1 Kesimpulan ... 19

4.2 Saran ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Frekuensi Pemberian Pakan ... 7 2. Kualitas Air Media Pemeliharaan ... 15

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Akuarium pemeliharaan larva paska perlakuan kejutan salinitasn

20 ppt dan perendaman hormon tiroksin ... 6 2. Volume kuning telur (mm3) larva ikan patin jam ke 0-24 paska

perlakuan kejutan salinitas dan perendaman tiroksin... 11 3. Persentase penyerapan kuning telur (%) larva ikan patin jam ke

0-24 paska perlakuan kejutan salinitas dan perendaman tiroksin…... . 12 4. Frekuensi perkembangan bukaan mulut larva ikan patin jam ke

0-24 paska perlakuan kejutan salinitas dan perendaman

tiroksin………. 13

5. Bukaan Mulut Larva……… 13

6. Panjang akhir larva ikan patin hari ke 12 paska perlakuan kejutan

salinitas dan perendaman tiroksin... 14 7. Pertambahan panjang larva ikan patin hari ke- 12 paska perlakuan

kejutan salinitas dan perendaman tiroksin... . 14 8. SR (%) larva ikan patin (hari ke-12) paska perlakuan kejutan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Uji Duncan Volume Kuning Telur ... 22

2. Uji Duncan Persentase Penyerapan Kuning Telur ... 23

3. Uji Duncan Panjang Akhir dan Pertambahan Panjang ... 24

4. Uji Duncan Kelangsungan Hidup ... 25

5. Analisis usaha pembenihan ikan patin ... 25

(14)

I. PENDAHULUAN

Ikan patin merupakan salah satu dari 10 jenis komoditas unggulan yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2009. Begitu pula pada tahun 2011, ikan patin menjadi salah satu komoditas industrilisasi perikanan selain udang, bandeng, dan rumput laut (Sakti 2012). Jenis ikan patin yang telah berhasil dibudidayakan, baik dalam pembenihan maupun pembesaran dalam skala usaha mikro, kecil, dan menengah adalah 2 spesies, yakni ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) dan patin jambal (Pangasius djambal). Patin siam mulai berhasil dipijahkan di Indonesia pada tahun 1981, sedangkan patin jambal pada tahun 1997. Ikan patin siam lebih banyak dibudidayakan, karena fekunditasnya tinggi dan ukurannya yang lebih besar dibandingkan ikan patin jambal.

Laporan Pusat Data, Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 menunjukkan bahwa kebutuhan benih ikan patin siam secara nasional pada tahun 2005 mencapai 55 juta benih. Jumlah tersebut dibutuhkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan ikan patin siam konsumsi sebesar 16.500 ton. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa kebutuhan dan produksi ikan patin pada tahun 2006-2009 semakin meningkat sebesar lebih dari 55%. Pada tahun 2012, produksi ikan patin ditargetkan mencapai 110.400 ton, sedangkan untuk kebutuhan larva ditargetkan mencapai 410.000.000 ekor pada tahun 2012. Namun, produksi benih ikan patin nasional pada tahun 2011 hanya mencapai 90.756.040 ekor yang masih sangat jauh untuk pencapaian target (Direktorat Perbenihan 2011). Permintaan benih patin dari luar Jawa yang baru bisa terpenuhi sekitar 30 % dan di Sukabumi sebanyak 50 % (Ade 2011).

Ikan patin siam memiliki fekunditas telur sebanyak 120.000 – 200.000 butir /kg bobot induk dan SR benih sampai berukuran 1 inchi yaitu 50-60% (Putri 2011). Siklus rematurasi ikan patin yaitu selama 3 bulan. Ikan patin siam hanya memijah di musim hujan atau pada bulan Oktober – April. Siklus rematurasi yang musiman menyebabkan penyediaan benih ikan patin siam bersifat musiman, jumlahnya terbatas, dan tidak tersedia kontinyu sepanjang tahun (Indriastuti 2000). Berdasarkan studi lapang yang dilakukan pada musim kemarau, induk ikan

(15)

2 patin siam dapat memijah, namun kualitas telur dan benih yang dihasilkan rendah. Dalam rangka memenuhi permintaan ikan patin agar selalu tersedia sepanjang tahun, maka permasalahan perbenihan tersebut harus diatasi. Salah satu langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan kualitas benih pada perkembangan awal yang meliputi peningkatan pertumbuhan larva dan kelangsungan hidup sehingga permintaan benih dapat terpenuhi secara berkelanjutan. Selain itu diperlukan juga efisiensi usaha pembenihan ikan patin siam untuk menekan biaya produksi.

Pertumbuhan merupakan salah satu indikator kinerja produksi yang dipengaruhi oleh faktor genetik, hormon, dan lingkungan. Faktor lingkungan yang memegang peranan penting adalah zat hara dan suhu. Namun di lingkungan tropis zat hara lebih penting dibandingkan suhu. Zat hara meliputi makanan, air, dan oksigen menyediakan bahan mentah (makro: C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, Fe, Si; mikro: Co, Mn, Cu) bagi pertumbuhan. Secara genetik, gen berfungsi mengolah bahan mentah yang berasal dari makanan, sedangkan hormon berfungsi mempercepat pengolahan dan merangsang gen (Fujaya 2008). Dalam hal ini, kualitas pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas lingkungan berupa pakan yang bermutu atau dengan memberikan suplemen berupa hormon pertumbuhan. Jenis-jenis hormon pertumbuhan antara lain growth

hormone (GH), hormon tiroid (tiroksin), prolaktin, vasotosin, steroid, dan hormon

pankreas (Affandi dan Tang 2002). Pada umumnya, hormon yang biasa dipakai untuk mempercepat pertumbuhan adalah GH dan tiroksin. Pada penelitian Lam et.

al (1985) menunjukkan bahwa pemberian hormon tiroksin dengan dosis 0,5 ppm

melalui metode perendaman larva dapat mempercepat perkembangan benih ikan bandeng yaitu pada hari ke-15 benih ikan bandeng sudah memiliki warna silver, sedangkan pada kontrol belum menunjukkan warna. Begitu pula pada penelitian Astutik (2002), perendaman larva gurami yang berumur 1 hari dalam hormon tiroksin 0,01 ppm selama 24 jam meningkatkan pertumbuhan dengan panjang mutlak 29,58 mm sedangkan kontrol 23,43 mm. Hormon tiroksin berfungsi meningkatkan laju metabolisme tubuh, merangsang laju sel-sel dalam tubuh melakukan oksidasi, mempercepat laju penyerapan monosakarida dari saluran pencernaan dan meningkatkan retensi protein (Affandi dan Tang 2002).

(16)

3 Peningkatan laju metabolisme berpengaruh terhadap peningkatan laju pertumbuhan. Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan katabolisme. Anabolisme yaitu proses sintesis senyawa kecil menjadi molekul yang lebih besar, sedangkan katabolisme merupakan penguraian molekul besar menjadi molekul lebih kecil. Proses-proses tersebut berperan mengubah zat-zat makanan seperti: glukosa, asam amino, dan asam lemak menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan untuk proses kehidupan. Hasil metabolisme tersebut kemudian dimanfaatkan oleh tubuh untuk berbagai keperluan antara lain: sumber energi, mengganti jaringan yang rusak, dan pertumbuhan. Sehingga, semakin cepat laju metabolisme maka semakin cepat pula pembentukan ATP yang berguna dalam kerja sel untuk pertumbuhan sel (Fujaya 2008). Selain meningkatkan laju metabolisme, tiroksin berperan dalam meningkatkan retensi protein. Retensi protein merupakan banyaknya protein yang diberikan, yang dapat diserap dan dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak (Buwono 2011). Proses yang terjadi menurut Djojosoebagio (1996) yaitu tiroksin menyebabkan pemasukkan protein yang lebih banyak dibandingkan protein yang dikeluarkan dari dalam tubuh, hal inilah yang menyebabkan tingginya retensi protein.

Tiroksin juga berperan dalam proses perkembangan larva. Nacario (1983) menyatakan bahwa perendaman larva Sarotherodon niloticus dalam larutan hormon tiroksin 0,1 ppm dapat meningkatkan perkembangan sirip dada pada umur 4 minggu, selain itu tiroksin juga dapat mempercepat laju penyerapan kuning telur larva. Hal ini disebabkan karena meningkatnya laju metabolisme dalam penggunaan kuning telur untuk membentuk organ-organ tubuh.

Ikan patin siam merupakan ikan yang bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya yaitu konsentrasi cairan tubuhnya lebih tinggi dibandingkan konsentrasi lingkungannya (Affandi dan Tang 2002). Untuk memaksimalkan penyerapan hormon tiroksin, maka media perlakuan di desain hiperosmotik yaitu konsentrasi cairan lingkungan lebih tinggi dibandingkan konsentrasi cairan tubuh ikan dengan memberikan kejutan salinitas sehingga membran-membran di permukaan tubuh terbuka dan cairan tubuh keluar digantikan dengan cairan yang mengandung hormon tiroksin. Dengan kondisi tersebut diharapkan hormon

(17)

4 tiroksin dapat terserap maksimal dan didapatkan dosis optimal dalam meningkatkan pertumbuhan serta kelangsungan hidup.

(18)

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Materi Uji

Larva diperoleh dari induk ikan patin siam yang berasal dari petani patin di Ciampea, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Larva ikan patin dihasilkan dari pemijahan secara buatan. Larva yang digunakan yaitu larva yang baru menetas. Jumlah larva yang digunakan dalam pemeliharaan adalah 180 ekor/ akuarium.

2.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diterapkan yaitu metode kejutan salinitas dengan salinitas 20 ppt dengan lama perendaman 2 menit, kemudian dilanjutkan dengan perendaman larutan tiroksin 0,05 mg/l, larutan tiroksin 0,1 mg/l, dan larutan tiroksin 0,2 mg/l. Perendaman hormon tiroksin dilakukan selama 1 jam. Berikut ini merupakan rancangan percobaan yang dilakukan.

a. Kontrol : tidak diberi kejutan salinitas dan larutan hormon tiroksin b. Perlakuan P1 : kejutan salinitas 20 ppt dan hormon tiroksin 0,05 mg/l c. Perlakuan P2 : kejutan salinitas 20 ppt dan hormon tiroksin 0,1 mg/l d. Perlakuan P3 : kejutan salinitas 20 ppt dan hormon tiroksin 0,2 mg/l

2.3 Prosedur Kerja 2.3.1 Persiapan wadah

Akuarium yang digunakan berukuran 15 x 15 x 25 cm sebanyak 12 unit dimasukkan ke dalam akuarium berukuran 110 x 80 x 25 cm (akuarium besar). Sebelum digunakan, akuarium tersebut dibersihkan menggunakan desinfektan (detergen), kemudian dijemur sampai kering. Setelah dibersihkan, akuarium berukuran 110 x 80 x 25 cm dilapisi dengan plastik hitam dibagian luarnya.

(19)

6 Gambar 1 Akuarium pemeliharaan paska perlakuan kejutan salinitas dan

perendaman hormon tiroksin

Sumber air yang digunakan berasal dari tandon penampungan air yang berada di Departemen Budidaya Perairan. Air yang berasal dari tandon utama diendapkan kembali pada tandon berukuran 3 m3. Kemudian akuarium yang berukuran 15 x 15 x 25 cm diisi air sebanyak 4,5 liter dan pada akuarium berukuran 110 x 80 x 25 cm diisi air setinggi 20 cm. Agar suhu di dalam akuarium tetap stabil maka pada akuarium besar dipasang thermostat dengan daya 50 watt sebanyak 1 unit dengan kisaran suhu 30-31 0C serta diberi aerasi.

2.3.2 Penyiapan Hormon Tiroksin

Hormon Tiroksin yang digunakan berasal dari tablet thyrax dengan kandungan tiroksin 0,1 mg/tablet. Pada perlakuan 0,05 mg/l (P1), digunakan 1 tablet thyrax yang telah digerus, kemudian dimasukkan ke dalam 2 l air, pada perlakuan 0,1 mg/l (P2) digunakan 2 tablet thyrax yang telah digerus, kemudian dimasukkan ke dalam 2 l air, sedangkan pada perlakuan 0,2 mg/l (P3) digunakan 4 tablet thyrax yang telah digerus, kemudian dimasukkan ke dalam 2 l air.

2.3.3 Metode Perlakuan

Jumlah larva yang digunakan yaitu 180 ekor/akuarium. Kepadatan larva pada saat kejutan salinitas dan perendaman larutan hormon tiroksin adalah 180 ekor /360 ml. Sebelum direndam dalam larutan hormon tiroksin, larva diberi perlakuan kejutan salinitas dengan salinitas 20 ppt selama 2 menit. Penggunaan salinitas 20 ppt selama 2 menit didasarkan pada uji pendahuluan ketahanan larva

(20)

7 yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian larva direndam pada larutan perendaman tiroksin sesuai dengan dosisnya, yaitu 0,05 mg/l (P1), 0,1 mg/l (P2), dan 0,2 mg/l (P3) selama 1 jam, sedangkan untuk kontrol (K) tidak diberikan perlakuan perendaman hormon dan kejutan salinitas.

Pemeliharaan larva paska perlakuan perendaman dalam larutan tiroksin dan kejutan suhu adalah selama 12 hari. Padat tebar larva yang digunakan adalah 180 ekor/akuarium dan akuarium yang digunakan berukuran 15 x 15 x 25 cm. Selama masa pemeliharaan dilakukan penyifonan, pemberian makananan berupa artemia dan cacing sutera cacah, dan pergantian air. Pergantian air mulai dilakukan pada hari ke-3 sebanyak 50 %. Pola pemberian pakan pada larva paska perlakuan disajikan pada Tabel 1. Pada saat berumur 1 – 5 hari larva diberi artemia, selanjutnya pada umur 6 - 9 hari diberi oplosan artemia dan cacing sutera, pada umur 10 – 12 hari larva diberi pakan cacing sutera.

Tabel 1 Frekuensi Pemberian Pakan

Frekuensi/Hari 1-5 hari 6 - 9 hari 10 - 12 hari

2 jam sekali 3 jam sekali 4 jam sekali

2.3.4 Pengelolaan Kualitas Air

Pada saat larva berumur 1-3 hari dilakukan penyifonan untuk membuang kotoran. Pergantian air mulai dilakukan saat larva berumur 4 hari, air diganti sebanyak 50 %, kemudian pada hari ke- 8 sampai hari ke-12 dilakukan pergantian air sebanyak 80 %.

2.4 Parameter Uji

2.4.1 Volume Kuning Telur

Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil lima ekor larva dari tiap-tiap perlakuan dan diamati pada jam ke- 0, 6, 12, 18, dan 24 menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer. Hasil pengukuran dikonversi dalam satuan milimeter dengan cara mengalibarasi mikroskop tersebut menggunakan mikrometer objektif.

(21)

8 Perhitungan volume kuning telur menggunakan rumus Hemming dan Buddington (1988) dalam Pramono dan Marnani (2009) :

V= (π/6)LH2

Keterangan : V : volume kuning telur (mm3)

L : diameter kuning telur memanjang (mm), dan H : diameter kuning telur memendek (mm)

2.4.2 Persentase Penyerapan Kuning Telur

Nilai persentase penyerapan kuning telur merupakan konversi dari volume kning tlur yang dihitung dengan rumus Hemming dan Buddington (1988) dalam Pramono dan Marnani (2009) :

LPK = [(Vo-Vn)/Vo] x 100

Keterangan : V0 : volume kuning telur awal periode sampling (mm3)

Vn : volume kuning telur akhir periode sampling (mm3) 2.4.3 Persentase Bukaan Mulut

Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil lima ekor larva dari tiap-tiap perlakuan dan diamati pada jam ke- 0, 6, 12, 18, dan 24 menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer. Larva yang diamati sebanyak 5 ekor/akuarium. Persentase dihitung menggunakan rumus :

Persentase Bukaan Mulut = [(Ls/Lt] x 100

Keterangan : Ls : Jumlah larva sampel yang telah terbuka mulutnya Lt : Jumlah total larva sampel

2.4.4 Panjang Akhir

Larva sampel terlebih dahulu diberi minyak cengkeh sebanyak 1 tetes agar pingsan. Kemudian larva diletakkan ke atas kertas milimeter blok dan diukur panjang totalnya (dari ujung mulut sampai ujung sirip ekor).

2.4.5 Tingkat Kelangsungan Hidup

Survival Rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup adalah persentase

(22)

9 dengan jumlah pada awal pemeliharaan. SR dihitung dengan rumus Effendie (1997) :

x 100%

Keterangan : Nt = Jumlah ikan yang dihasilkan pada waktu t (ekor) No = Jumlah ikan awal pada saat ditebar (ekor)

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

2.4.6 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur adalah pH, DO, suhu, dan kesadahan. Parameter DO dan pH diukur menggunakan DO meter dan pH meter. Parameter suhu diukur menggunakan thermometer. Sedangkan untuk parameter kesadahan diukur dengan metode titrasi, prosedurnya yaitu: diambil 25 ml sampel, kemudian ditambahkan 1 ml buffer hardness dan 2 tetes EBT (Eriochrome Black T). Langkah terakhir yaitu dilakukan titrasi EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acid) sampai berwarna biru tua. Setelah didapatkan nilai titrasi, dimasukkan ke dalam rumus berikut:

Keterangan : N = Normalitas (0,0112)

2.5 Analisis Data

Data diolah menggunakan persamaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan diuji ANOVA dengan hipotesis. Ho = Perendaman larutan Hormon tiroksin dengan metode kejutan salinitas tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 =

Perendaman larutan Hormon tiroksin dengan metode kejutan salinitas mempengaruhi parameter pengamatan

Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan program MS. Excel 2007 dan SPSS 17.0 yang meliputi Analisis Ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95%, digunakan untuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan dan

(23)

10 derajat kelangsungan hidup. Apabila berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Analisa deskriptif dilakukan pada parameter perkembangan bukaan mulut dan analisis biaya.

(24)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Volume Kuning Telur

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada parameter volume kuning telur menunjkkan bahwa terjadi penurunan volume kuning telur larva (Gambar 2). Pada volume kuning telur didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap jam dan perlakuannya (p>0,05).

Gambar 2 Volume kuning telur (mm3) larva ikan patin jam ke 0-24 paska perlakuan kejutan salinitas dan perendaman tiroksin. (♦) Kontrol, (■) 0,05 ppm, (▲) 0,1 ppm, (x) 0,2 ppm.

3.1.2 Persentase Penyerapan Kuning Telur

Grafik penyerapan kuning telur disajikan pada Gambar 3. Pada jam ke- 6 penyerapan kuning telur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Sedangkan pada jam ke- 12 penyerapan kuning telur menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)yaitu pada perlakuan P1 dan P3. Pada jam ke-18 dan 24 penyerapan kuning telur tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p>0,05).

(25)

12 Gambar 3 Persentase penyerapan kuning telur (%) larva ikan patin jam ke 0-24 paska perlakuan kejutan salinitas dan perendaman tiroksin. (■) Kontrol, (■) 0,05 ppm, (■) 0,1 ppm, (■) 0,2 ppm.

3.1.3 Persentase Bukaan Mulut

Pada parameter persentase bukaan mulut, terdapat perbedaan antara perlakuan dengan kontrol. Pada jam ke- 6, didapatkan hasil sebanyak 46,67 ± 11,55 % dari larva sampel P3 mulutnya telah terbuka. Sedangkan pada jam ke- 12, sebanyak 6,67 ± 11,55 % larva sampel P1 mulutnya telah terbuka, begitu pula pada P2, sebanyak 33,33 ± 23,09 %, namun pada perlakuan kontrol mulutnya belum terbuka. Pada jam ke- 18 larva terdapat 20 ± 0 % larva kontrol yang mulutnya telah terbuka sedangkan perlakuan P3 semua sampel telah terbuka mulutnya. Pada jam ke- 24, perlakuan P2 sebanyak 100 ± 0 % sampel telah terbuka mulutnya, sedangkan perlakuan P1 dan kontrol baru mencapai 80 ± 20 % dan 33.33 ± 23,09 % (Gambar 4).

(26)

13 Gambar 4 Frekuensi perkembangan bukaan mulut larva ikan patin jam ke 0-24 paska perlakuan kejutan salinitas dan perendaman tiroksin. (■) Kontrol, (■) 0,05 ppm, (■) 0,1 ppm, (■) 0,2 ppm.

(a) (b)

Gambar 5 Bukaan mulut larva. (a) belum terbuka, (b) sudah terbuka.

3.1.4 Panjang Akhir

Pada parameter panjang akhir diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa perlakuan kontrol memiliki nilai panjang yang lebih kecil dibandingkan perlakuan tiroksin dan kejutan salinitas (Gambar 6). Panjang akhir menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p<0,05).

(27)

14 Huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata

Gambar 6 Panjang akhir larva ikan patin hari ke 12 paska perlakuan kejutan salinitas dan perendaman tiroksin. (■) Kontrol, (■) 0,05 ppm, (■) 0,1 ppm, (■) 0,2 ppm.

3.1.5 Tingkat Kelangsungan Hidup

Nilai tingkat kelangsungan hidup (SR) yang paling rendah yaitu pada perlakuan kontrol (32,40 ± 1,4 %), sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (39,63 ± 0,85 %). Pada parameter SR didapatkan hasil yang berbeda nyata dan yang paling berbeda nyata adalah perlakuan P3 (p<0,05).

Huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata

Gambar 7 SR (%) larva ikan patin (hari ke- 12) paska perlakuan kejutan salinitas dan perendaman tiroksin. (■) Kontrol, (■) 0,05 ppm, (■) 0,1 ppm, (■) 0,2 ppm.

(28)

15

3.1.6 Kualitas Air

Pada penelitian ini diukur data kualitas air selama pemeliharaan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi pH, DO, kesadahan, dan suhu. Kualitas air pada pemeliharaan ini masih berada dalam kisaran yang sesuai untuk pembenihan ikan patin, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kualitas Air Media Pemeliharaan

Parameter (satuan) Nilai Pustaka

pH 7.62 - 7.67 6.5-8.5 (SNI 01- 6483.4-2000)

DO (mg/l) 6.8 - 8.9 > 5 (SNI 01- 6483.4-2000) Kesadahan (mg/l CaCO3) 56 - 67.2 32 – 100 (Nurhidayati, 2000)

Suhu (° C) 29 – 31 27-30 (SNI 01- 6483.4-2000)

3.2 Pembahasan

Pada parameter volume kuning telur didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Berdasarkan grafik volume kuning telur, terlihat terjadi penurunan nilai volume kuning telur. Volume kuning telur mengalami penyusutan dikarenakan larva menggunakan kuning telur sebagai sumber energi. Dilihat dari laju penyerapan kuning telur, diperoleh hasil yang berbeda nyata (p<0,05), antara perlakuan tiroksin (0,05 ppm dan 0,2 ppm) terutama pada jam ke-12. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Nacario (1983), pemberian hormon tiroksin dengan dapat memacu laju penyerapan kunig telur. Laju penyerapan kuning telur yang tinggi diakibatkan karena kandungan tiroksin yang tinggi dalam tubuh, yang mengakibatkan metabolisme meningkat. Peningkatan metabolisme memerlukan energi, sehingga kuning telur lebih cepat menyusut. Sumber energi utama pada larva adalah kuning telur (Astutik 2002).

Pada parameter bukaan mulut hasil yang didapatkan pada jam ke- 6 terlihat bahwa dosis yang paling tinggi (0,2 ppm) mempengaruhi perkembangan larva dalam pembentukkan mulut, sedangkan pada dosis 0,05 ppm dan 0,1 ppm baru mengalami pembentukkan mulut pada jam ke- 12. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Reddy dan Lam (1992) pemberian hormon tiroksin dengan dosis 0,05 ppm dapat mempercepat differensiasi pada sirip ikan mas koki pada umur 8 hari, sedangkan pada perlakuan kontrol belum terdifferensiasi. Namun pada jam ke-6 bila dilihat dari laju penyerapan kuning telurnya, tidak menunjukkan hasil

(29)

16 yang berbeda nyata. Diduga bahwa differensiasi jaringan pada larva tidak mempengaruhi peningkatan metabolisme, hal ini berdasarkan laporan Turner dan Bargnar (1976) dalam Astutik (2002), adanya stadium-stadium tertentu pada metamorfosis yang digiatkan oleh hormon tiroid tanpa dipengaruhi peningkatan laju metabolisme membuktikan bahwa kemampuan hormon tiroid dalam menggiatkan differensiasi jaringan tidak meningkatkan secara langsung aksi kalorigenik. Pada penelitian ini diduga penggunaan kejutan salinitas dapat memaksimalkan penyerapan tiroksin sehingga jumlah tiroksin dalam tubuh lebih banyak, banyaknya tiroksin yang ada dalam tubuh mempengaruhi kecepatan differensiasi organ.

Peran tiroksin dalam differensiasi organ yaitu sebagai pengaktivasi enzim polimerase yang digunakan untuk transkripsi DNA. Tiroksin terlebih dahulu dikonversi menjadi triiodotironin. Peningkatan sintesis RNA terutama mRNA dari hasil transkripsi tersebut dapat memacu proses sintesa protein, protein digunakan untuk differensiasi dan penambahan jaringan (Djojosoebagio 1996). Pada parameter panjang akhir menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tiroksin efektif dalam meningkatkan pertumbuhan. Hormon tiroksin berperan dalam meningkatkan retensi protein atau pemanfaatan protein dalam tubuh, tiroksin menyebabkan pemasukkan protein yang lebih banyak dibandingkan protein yang dikeluarkan dari dalam tubuh (Djojosoebagio 1996). Hal inilah yang menyebabkan tingginya pemanfaatan protein bagi tubuh. Protein merupakan sumber energi utama bagi ikan, terutama untuk pertumbuhan, oleh karena itu tiroksin dapat meningkatkan pertumbuhan. Selain meningkatkan retensi protein, tiroksin juga berfungsi meningkatkan laju metabolisme. Metabolisme merupakan proses pengubahan zat makanan menjadi energi atau ATP. ATP merupakan sumber energi sel yang diperlukan dalam proses penggantian jaringan yang rusak dan pertumbuhan. Sehingga, semakin cepat laju metabolisme maka semakin cepat pula pembentukan ATP yang berguna untuk pertumbuhan sel.

Pada parameter kelangsungan hidup, terlihat bahwa pada perlakuan 0,2 ppm berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05). Dilihat dari besaran nilainya pun, kontrol memiliki SR paling kecil. Hal ini dikarenakan pada perlakuan tiroksin, ikan lebih cepat melewati masa kritisnya, yaitu pada masa peralihan endogenus

(30)

17

feeding ke eksogenus feeding. Pada dosis 0,2 ppm memiliki nilai SR paling tinggi,

hal ini diduga berkaitan dengan kecepatan differensiasi jaringan pada ikan uji. Pada dosis 0,2 ppm diferensiasi jaringan lebih cepat, terutama bukaan mulut (Gambar 3) sehingga larva lebih cepat dalam menggunakan pakan dari luar untuk melewati masa kritisnya. Dalam tahap awal dari daur hidup ikan terutama dalam stadia larva terdapat masa kritis yang terletak pada saat, sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan masa transisi mulai mengambil makanan dari luar (Setyono 2009). Disebut masa kritis dikarenakan pada fase tersebut ada kemungkinan larva masih belum siap untuk mengambil makanan dari lingkungannya, hal ini dapat diakibatkan karena belum sempurnanya proses differensiasi organ dan jaringan. Oleh karena itu pemberian tiroksin berfungsi untuk mempercepat pembentukkan jaringan, sehingga setelah kuning telur habis larva dapat memanfaatkan makanan dari lingkungannya. Pada larva ikan patin siam terdapat stadia kritis lain, yaitu pada saat larva berumur 0 – 5. Pada saat berumur 0 – 5 hari, larva ikan patin memiliki sifat kanibal. Sifat ini merupakan pembawaan genetis, selain itu pada stadia ini larva ikan patin memiliki bentuk gigi yang panjang dan tajam serta sulit untuk menutup, sehingga dapat menyebabkan larva lain terperangkap di mulutnya atau menimbulkan luka (Baras

et. al 2010). Menurut Baras et. al (2010) dibutuhkan metode untuk mempercepat

stadia masa kritis pada ikan patin siam. Pada hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa larva ikan patin dapat melalui masa kritis dengan mempercepat perkembangannya. Parameter kualitas air yang diukur pada penelitian ini menunjukkan nilai yang masih berada dalam kisaran kelayakan hidup ikan patin siam. Agar ikan patin tumbuh dengan baik, maka diusahakan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Nurhidayati 2000).

Budidaya perikanan merupakan kegiatan yang berorientasi pada profit. Dilihat dari segi ekonomi, penggunaan tiroksin dengan kejutan salinitas terbukti efektif dalam meningkatkan pertumbuhan. Berdasarkan hasil yang didapatkan, larva kontrol baru mencapai ukuran 23,20 mm atau dikalangan petani ikan patin siam disebut ukuran ¾ inch up (berukuran 2,2 cm sampai 2,3 cm), sedangkan pada perlakuan kejutan salinitas 20 ppt dan perendaman hormon tiroksin telah

(31)

18 mencapai ukuran 1 inchi. Harga ukuran ¾ inchi up ikan patin siam adalah Rp. 70 sedangkan harga ukuran 1 inchi adalah Rp 80. Ditinjau dari besarnya keuntungan yang didapatkan, perlakuan 0,05 ppm memiliki keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp. 5.120,00 dan R/C rasio sebesar 1,5 (Lampiran 5).

(32)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Perlakuan perendaman larva dalam larutan tiroksin dan kejutan salinitas dapat meningkatkan perkembangan, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup larva ikan patin. Dosis terbaik yaitu 0,05 ppm karena merupakan dosis paling rendah namun menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kontrol dan tidak berbeda nyata dengan dosis yang lebih tinggi, sehingga bila diaplikasikan dan dilihat dari segi ekonomi, dosis 0,05 ppm lebih efisien.

4.2 Saran

Penggunaan kejutan salinitas dapat disarankan untuk memaksimalkan inisiasi hormon tiroksin dosis rendah ke dalam tubuh ikan sehingga lebih ekonomis dalam proses produksi.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Ade. 2011. Produksi Patin Masih Terganjal Pakan. http://www. trobos.com/show_article.php?rid=6&aid=2981. [1 Juni 2011].

Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: Unri Press, hlm 98 – 101.

Astutik Y. 2002. Pengaruh Perendaman Larva Gurami dalam Larutan Tiroksin dengan Dosis Berbeda Terhadap Perkembangan, Pertumbuhan, dan Kelangsungan Hidup. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Badan Standar Nasional (BSN). 2000. Produksi Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) Kelas Benih Sebar. Standar Nasional Indonesia (SNI): Direktorat Jendral Perikanan.

Baras E, Slembrouck J, Cochet C, Caruso D, Legendre M. 2010. Morphological Factors Behind The Early Mortality of Cultured Larvae of The Asian Catfish, Pangasius hypophthalmus. Aquaculture 298: 211–219.

Buwono ID. 2011. Kebutuhan Asam Amino Esensial dalam Ransum Ikan. http://books.google.co.id/books?id=vzWlazPPBdwC&pg=PA17&lpg=PA17& dq=retensi+protein&source=bl&ots=DtVc9-uq1Z&sig=byEmfgSLuuyw-sT7qoF2PXn9qEc&hl=id&sa=X&ei=D8ILUP33O8SHrAeP7uXICA&ved=0C EgQ6AEwAQ#v=onepage&q=retensi%20protein&f=false. [7 Juli 2012] Direktorat Perbenihan. 2011. Produksi Benih Ikan Air Tawar.

http://perbenihan-budidaya.kkp.go.id/download/Produksi%20Benih%20Ikan%20Air%20Tawar %202011.pdf [2 Mei 2012]

Djojosoebagio, S. 1996. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Jakarta: Penerbit Universitas, hlm 97 – 223.

Effendie MI. 1997. Metode Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor: Bogor, hlm 5 – 15.

Fujaya Y. 2008. Fisiologi Ikan. Jakarta: Rineka Cipta, hlm 11 – 17

Indriastuti CE. 2000. Aktivitas Sintesis Vitelogenin pada Proses Rematurasi Ikan Patin Djambal Siam Pangasius hypophthalmus. [Tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Perairan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

(34)

21 Lam TJ, Juarioz JV, Banno J. 1985. Effect of Thyroxine on Growth and Development in Post-Yolk-Sac Larvae of Milkfish, Chanos Chanos. Aquaculture, 46: 179-184.

Nacario JF. 1983. The Effect of Thyroxine on The Larvae and Fry of

Sarotherodon Niloticus L. (Tilapia Nilotica). Aquaculture, 34: 78-83.

Nurhidayati D. 2000. Manipulasi Ca dan Mg terhadap Benih Ikan Patin Pangasius

Hypopthalmus. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pramono TB, Marnani S. 2009. Pola Penyerapan Kuning Telur dan Perkembangan Organogenesis pada Stadia Awal Larva Ikan Senggaringan (Mystus Nigriceps). Berkala Perikanan Terubuk, 37: 18 – 26.

Putri DU. 2011. Pembenihan Ikan Patin (Pangasius Hypopthalmus) di Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Cijengkol Subang Jawa Barat. [Laporan Praktek Lapang]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Reddy PK, Lam TJ. 1992. Effect of Thyroid Hormones on Morphogenesis and Growth of Larvae And Fry of Telescopic-Eye Black Goldfish, Carrassius

Auratus. Aquaculture, 10: 383-394.

Sakti I. 2012. Revitalisasi Tambak, KKP Pacu Produksi Udang. Siaran Pers KKP: Jakarta.

Setyono B. 2009. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Bahan pada Pengencer Sperma Ikan “ Skim Kuning Telur “ terhadap Laju Fertilisasi, Laju Penetasan dan Sintasan Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.). [Skripsi]. Malang: Fakultas Pertanian dan Peternakan. Universitas Muhammadiyah Malang.

(35)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Uji Duncan Volume Kuning Telur

jam.ke.6

perlaku an

Subset for alpha = 0.05 N 1 Duncana p1 3 .4767 k 3 .4833 p3 3 .4900 p2 3 .5467 Sig. .069

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

jam.ke.12

perlaku an

Subset for alpha = 0.05 N 1 Duncana p1 3 .3867 p3 3 .4000 k 3 .4067 p2 3 .4200 Sig. .097

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

(36)

23 jam.ke.18

perlaku an

Subset for alpha = 0.05 N 1 Duncana p2 3 .3333 p1 3 .3467 p3 3 .3567 k 3 .3600 Sig. .186

Lampiran 2. Uji Duncan Persentase Penyerapan Kuning Telur jam.ke.6

perlaku an

Subset for alpha = 0.05 N 1 Duncana p2 3 21.5833 p3 3 30.0800 k 3 30.7000 p1 3 31.6333 Sig. .063 jam.ke.12 perlaku an

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 Duncana k 3 34.4200 p2 3 40.0333 40.0333 p3 3 42.4533 p1 3 44.4133 Sig. .073 .160

(37)

24 jam ke 8

perlakua n

Subset for alpha = 0.05 N 1 Duncana k 3 48.1933 p3 3 48.7933 p1 3 50.5467 p2 3 52.1833 Sig. .170

Lampiran 3. Uji Duncan Panjang Akhir hari.ke12

perlaku an

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 Duncana K 3 23.2000 P3 3 24.7333 P1 3 25.0000 P2 3 25.6667 Sig. 1.000 .087

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

(38)

25 Lampiran 4. Uji Duncan Kelangsungan Hidup

SR

perlaku an

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 Duncana k 3 32.4000 P2 3 35.7367 35.7367 P1 3 35.7400 35.7400 P3 3 39.6300 Sig. .167 .114

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lampiran 5. Analisis usaha pembenihan ikan patin Biaya Opersional

Kontrol Jumlah Harga satuan (Rp) Harga total (Rp)

Larva 540 ekor 6 3.240

Cacing 1 liter 5.000 5.000

Artemia 0,075g 10.000 750

Total 8.990

P1 Jumlah Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)

Larva 540 ekor 6 3.240 Tiroksin 0.05 mg 2.300/0.1 mg 1.150 Cacing 1 liter 5000 5.000 Artemia 0,075 g 10.000 750 Garam 20 g 3.000/kg 180 Total 10.320

(39)

26 P2 Jumlah Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)

Larva 540 ekor 6 3240 Cacing 1 liter 5.000 5000 Artemia 0,075 g 10.000 750 Tiroksin 0,1 mg 2.300/0,1 mg 2300 Garam 20 g 3.000/kg 180 Total 11470

P3 Jumlah Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)

Larva 540 ekor 6 3240 Cacing 1 liter 5.000 5000 Artemia 0,075 g 10.000 750 Tiroksin 0,2 mg 2.300/0,1 mg 4600 Garam 20 g 3.000/kg 180 13770 Pemasukan K P1 P2 P3 SR 32.40% 35.74% 35.74% 39.63% Harga Jual Rp.70 Rp.80 Rp.80 Rp.80 Pendapatan Rp.12.250 Rp.15.440 Rp.15.440 Rp.17.200 Keuntungan Rp.3.260 Rp.5.120 Rp.3.970 Rp.3.430 HPP Rp,51,37/ekor Rp.59,43/ekor Rp.59,43/ekor Rp.64,05/ekor

(40)

27 Lampiran 6. Data Panjang

Data Panjang Hari ke- Perlakuan 0 3 6 9 12 k1 3.66 7.00 11.25 18.60 23.80 k2 3.66 6.80 11.03 18.60 22.80 k3 3.66 7.00 11.45 18.40 23.00 Rata-rata±SD 3.66±0 6.93±0.12 11.24±0.21 18.53±0.12 23.20±0.53 p11 3.66 8.00 11.73 19.00 24.80 p12 3.66 8.00 12.25 20.80 24.60 p13 3.66 8.00 11.90 20.80 25.60 Rata-rata±SD 3.66±0 8.00±0 11.96±0.21 20.20±1.04 25.00±0.53 p21 3.66 8.20 12.22 19.60 25.00 p22 3.66 7.80 12.25 20.00 25.40 p23 3.66 8.00 12.33 20.00 26.60 Rata-rata±SD 3.66±0 8.00±0.20 12.27±0.06 19.87±0.23 25.67±0.83 p31 3.66 6.80 11.60 20.40 24.60 p32 3.66 7.00 11.95 20.00 24.80 p33 3.66 7.40 11.48 19.20 24.80 Rata-rata±SD 3.66±0 7.07±0.31 11.68±0.25 19.87±0.61 24.73±0.12

Gambar

Gambar  2  Volume  kuning  telur  (mm 3 )  larva  ikan  patin  jam  ke  0-24  paska  perlakuan  kejutan  salinitas  dan  perendaman  tiroksin
Gambar  6  Panjang  akhir  larva  ikan  patin  hari  ke  12  paska  perlakuan  kejutan  salinitas dan perendaman tiroksin
Tabel 2 Kualitas Air Media Pemeliharaan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan demikian terbukti bahwa variabel-variabel bebas yang terdiri dari luas lahan, benih, pupuk, modal, tenaga kerja, harga jual, produksi beras hitam

Adapun faktor ancaman tersebut meliputi jumlah pesaing, perkembangan fasilitas kesehatan yang dimiliki pesaing, Regulasi/aturan yang membatasi dokter untuk

Kegiatan usaha dilakukan sendiri oleh pemilik usaha dibantu oleh 2 orang pekerja. Seorang pekerja bertugas untuk membeli beras kasar serta menjual produknya ke konsumen sedang

Palestin (2006) mengemukakan salah satu dari berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan tindakan yang berkaitan dengan kesehatan adalah hal – hal yang berkaitan dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang. Standar

pada pertemuan hari itu. Setiap kelompok diminta mengeluarkan ikan yang telah ditugaskan pada pertemuan sebelumnya. Setiap kelompok mengidentifikasi ikan yang telah dibawanya