• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Sistem Penunjang Keputusan (SPK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Sistem Penunjang Keputusan (SPK)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Penunjang Keputusan

Sistem penunjang keputusan adalah konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi dengan para pengambil keputusan sebagai penggunanya (Eriyatno, 1996). Menurut Keen dan Morton (1978), sistem penunjang keputusan adalah suatu sistem berbasis komputer-interaktif yang memudahkan pemecahan masalah dari problem-problem keputusan yang semi-terstruktur dan tidak semi-terstruktur. Sedangkan menurut Dhar dan Stein (1997), sistem penunjang keputusan merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan digunakan sebagai bagian dari sebuah proses dimana di dalamnya manusia melakukan kegiatan pengambilan keputusan yang dilakukan secara berulang.

Dhar dan Stein (1997) membuat taksonomi dari sistem informasi manajemen sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Taksonomi tersebut membagi sistem informasi manajemen secara umum menjadi pemroses transaksi dan sistem penunjang keputusan.

Gambar 1. Taksonomi sistem informasi manajemen

Sebuah sistem penunjang keputusan pada umumnya digunakan untuk mendukung keputusan-keputusan yang memiliki pengaruh jangka panjang dan membutuhkan pembenaran dari manusia. Pembenaran dari manusia diperlukan ketika suatu masalah menjadi sangat tidak terstruktur bagi model sistem penunjang keputusan untuk menangkap perbedaan kecil dalam situasi pengambilan keputusan (Dhar dan Stein, 1997).

Menurut Keen dan Morton (1978), aplikasi sistem penunjang keputusan akan berguna apabila:

1. Dibutuhkan efisiensi waktu dalam pengolahan data. 2. Terbatasnya waktu dalam pengambilan keputusan

3. Diperlukan manipulasi dan komputasi dalam proses pencapaian tujuan

4. Perlunya penentuan masalah, pengembangan alternatif dan pemilihan solusi berdasarkan akal sehat.

Menurut Dhar dan Stein (1997), sistem penunjang keputusan dapat dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah model-driven DSS, yaitu sistem penunjang keputusan yang nilainya

Sistem Informasi Manajemen

Pemroses Transaksi Sistem Penunjang Keputusan (SPK)

Model - Driven Decision Support System

Data - Driven Decision Support System

(2)

bergantung kepada kualitas model yang digunakan. Pada tipe ini, kemampuan analisisnya tergantung kepada model atau kekuatan teori yang digunakan, yang dikombinasikan dengan tampilan antar-muka yang baik sehingga mudah untuk digunakan. Tipe yang kedua adalah data - driven DSS, dimana nilainya bergantung kepada data yang dimilikinya. Tipe ini biasanya cukup sederhana, misalnya digunakan untuk menghitung rata-rata, total, dan distribusi data. Tujuannya adalah untuk memudahkan pengguna menghimpun sejumlah besar data yang kemudian diubah menjadi suatu bentuk yang berguna untuk mengelola bisnis.

Secara konsep, sistem penunjang keputusan terdiri dari tiga komponen utama yang menunjang proses pengambilan keputusan, yaitu: pengambilan keputusan, data, dan model yang masing-masing dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem manajemen dialog yang terdapat didalamnya berfungsi untuk mengelola masukan dan keluaran dari dan untuk pengguna. Pengelolaan atau manipulasi data dilakukan oleh sistem manajemen basis data, sedangkan model dikelola oleh sistem manajemen basis model.

Hubungan antara komponen utama yang terdapat dalam sistem penunjang keputusan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur sistem penunjang keputusan (Turban, 1991)

Sistem manajemen basis data harus bersifat interaktif dan fleksibel. Hal ini berarti sistem harus dapat mengakomodir apabila ternyata terdapat perubahan terhadap struktur, isi, dan ukuran elemen-elemen data (Minch dan Burns, 1983). Sifat tersebut merupakan yang penting karena menurut Turban (1991), komponen data harus dapat disunting, ditambah, atau dihapus agar tetap relevan bila dibutuhkan. Sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasi pengambilan keputusan atau aktifitas lainnya seperti pembuatan model, implementasi, pengujian, validasi, eksekusi dan pemeliharaan model (Eriyatno, 1996). Lebih lanjut Turban (1991), menjabarkan bahwa model yang dimaksud dapat berupa model finansial, statistika, atau model-model kuantitas yang disiapkan untuk sistem analitik.

Menurut Keen dan Morton (1978), tujuan dari sistem penunjang keputusan adalah membantu para pengambil keputusan dalam menyeleksi kriteria untuk proses pengambilan yang pada umunya bersifat struktural. Sifat ini berarti adanya kemampuan untuk menyelaraskan

Data

Model

Pengguna

Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)

Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)

Sistem Pengolahan Problematik

(3)

keputusan struktural dengan penilaian yang bersifat subyektif dari masing-masing struktural. Sistem ini hanya membantu dalam proses pengambilan keputusan, keputusan terakhir tetap berada ditangan pengambil keputusan. Teknik pengambilan keputusan ini dikembangkan hanya untuk meningkatkan efektifitas dalam proes pengambilan keputusan. Efektifitas dimaksud mencakup pada identifikasi dari apa yang harus dilakukan dan menjamin bahwa kriteria yang kemudian dipilih adalah relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

B. Sistem Penunjang Keputusan Cerdas

Menurut Dhar dan stein (1997). Sistem penunjang keputusan cerdas merupakan sebuah sistem penunjang keputusan yang menggunakan teknik-teknik yang muncul dibidang intelejensi buatan (Artificial Intelligent) seperti: fuzzy systems, neural networks, machine learning dan genetic algorithms (algoritma genetik). Tujuannya adalah untuk membantu pengguna dalam mengakses, menampilkan, memahami, serta memanipulasi data secara lebih cepat dan mudah untuk membantunya dalam mengambil keputusan.

Suatu sistem penunjang keputusan cerdas diukur berdasarkan tingkat kecerdasannya yang disebut sebagai tingkat kerapatan kecerdasan merupakan perbandingan antara tingkat kepuasan yang dihasilkan dalam proses pengambilan keputusan dengan jumlah waktu analisis yang dihabiskan seorang pembuat keputusan. Misalnya, seorang pembuat keputusan secara konsisten membuat keputusan dengan kualitas yang sama setelah memeriksa sumber A selama 3 menit dan sumber B selama 30 menit. Maka sumber A dikatakan memiliki 10 kali tingkat kerapatan kecerdasan dibandingkan dengan sumber B (Dhar dan Stein, 1997). Sehingga sistem penunjang keputusan cerdas yang baik adalah sistem yang mampu menghasilkan keluaran yang dapat membantu pengambil keputusan menentukan keputusan dengan cepat tanpa mengurangi kualitas keputusan, atau dapat meningkatkan kualitas keputusan dalam rentang waktu yang sama. Suatu organisasi yang mampu mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam membuat keputusan spesifik sekaligus melakukan analis spesifik tanpa menurunkan kualitas, atau meningkatkan kualitas analisis yang dilakukan dalam jangka waktu yang sama, akan memiliki sumber daya yang dapat digunakan secara lebih efektif, sehingga akan meningkatkan kompetensi organisasi tersebut (Dhar dan Stein, 1997). Gambar 3. Memperlihatkan tahap-tahap dalam meningkatkan tingkat kerapatan kecerdasan menurut Dhar dan Stein (1997).

Increasing Intelligence Density

Gambar 3. Tahapan untuk meningkatkan Intelligence Density

Berdasarkan tahapan diatas, langkah pertama adalah bagaimana memperoleh dan menghimpun data. Ada banyak cara untuk memperoleh data. Data elektronik, yakni data yang

Learn

Data

Transform

Integrate

Scrub

Discover

Access

(4)

disimpan di dalam database, dapat diperoleh dengan cara menemukan lokasi data, bagaimana memanggil data dengan perintah-perintah query, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk data yang berasal dari keahlian manusia, dapat diperoleh dengan cara menghubungi pakar yang ahli dan berkonsultasi dengan mereka.

Setelah memperoleh data, tahap selanjutnay adalah memoles data tersebut, yakni dengan menyisihkan data-data yang rusak, tidak konsisten, tidak rapih, dan lain sebagainya. Setelah data bersih, tahap selanjutnya adalah mengintegrasikan data tersebut dengan data dari sumber-sumber lainnya untuk membangun gambaran yang lengkap dari model bisnis.

Sebuah solusi yang efektif dapat diperoleh dengan cara mengkombinasikan dua faktor, yakni kebutuhan akan intelligence density dari problem yang dihadapi, dengan kendala logistik terkait untuk digunakan dalam pengembangan solusi. Sedangkan faktor terakhir adalah kecocokan metode pencarian solusi yang digunakan dengan kedua faktor tersebut (Dhar dan Stein 1997).

C. Algoritma Genetika

Algoritma genetik merupakan suatu teknik pencarian optimasi stokastik (melibatkan probabilitas) yang cara kerjanya meniru proses evolusi dan perubahan genetik pada struktur kromosom makhluk hidup (Goldberg, 1989). Konsep dasar algoritma genetik pertama kali dicetuskan pada tahun 1975 oleh John Holland, seorang profesor di Universitas Michigan dalam sebuah bukunya yang berjudul Adaptation in Neural and Artificial System untuk melihat apakah sebuah program komputer dapat berevolusi seperti dalam logika Darwin (Dhar dan Stein, 1997).

Holland memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk memecahkan masalah yang rumit, masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan teknik-teknik konvensional. Pendekatan baru yang diperkenalkannya itu terdiri dari beberapa tahapan pemecahan masalah (Algoritma) yang kemudian diimplementasikan dalam program komputer. Pendekatan ini telah memberi petunjuk untuk penemuan penting diantara sistem pengetahuan alami dan buatan.

Algoritma genetika termasuk kedalam sistem penunjang keputusan cerdas dikarenakan teknik pencarian optimasi ini berdasarkan seleksi alam, prinsip genetika dan evolusi. Algoritma genetika dapat memanipulasi digit biner (0,1) yang disebut kromosom yang mewakili sejumlah titik. Algoritma genetika dapat mencari kromosom yang baik tanpa harus tahu bentuk fungsi permasalahan yang dihadapi (Yu dan Gen, 2010)

1. Aplikasi Algoritma Genetika

Pada dasarnya algoritma genetika dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah optimasi baik yang sederhana maupun kompleks. Namun, algoritma genetika dapat menjadi sebuah tool yang powerfull apabila digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah optimasi yang tidak dapat dipecahkan atau sulit dipecahkan dengan teknik pencarian dan optimasi yang sudah banyak dikenal saat ini seperti kalkulus, enumeratif, dan pencarian acak.

Algoritma genetika sangat cocok digunakan untuk mencari solusi optimal dari masalah yang bersifat NP-complete (Non-deterministic Poynomial), yang berarti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut akan semakin meningkat dengan sangat-sangat cepat (secara eksponensial) sering dengan bertambahnya jumlah elemen dalam masalah tersebut (Dhar dan Stein, 1997).

Dalam hal ini, algoritma genetik tampil sebagai sebuah metode optimasi yang powerfull, cepat, dan efisien, karena algoritma genetik dapat mencari solusi dari ruang pencarian (search space) yang luas tanpa harus memeriksa ruang pencarian secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan karena dalam pelaksanaannya algoritma genetik mencoba banyak calon solusi

(5)

secara bersamaan, mengevaluasi tiap calon solusi secara bersamaan, mengevaluasi tiap calon solusi, kemudian memurnikan calon-calon solusi yang lebih baik dengan cara mempertukarkan informasi diantara calon solusi yang berbeda (crossover), dan bereksperimen dengan menciptakan calon solusi baru yang belum pernah ada sebelumnya (mutation). Dengan bereksperimen terhadap sejumlah calon solusi, algoritma genetika dengan cepat dapat menentukan ruang pencarian yang menjanjikan solusi yang optimal dari keseluruhan ruang pencarian dan mengeksplorasinya secara lebih mendetail (Dhar dan Stein, 1997). Karena kemampuan inilah, algoritma genetik juga dapat diterapkan untuk menyelesaikan persamaan-persamaan linear maupun non linear yang bersifat kontinyu maupun diskontinyu.

Saat ini algoritma genetika telah berhasil diimplementasikan ke dalam berbagai bidang keteknikan (engineering), investasi, robotik, manajemen industri (seperti desain sistem produksi, tata letak fasilitas, penjadwalan produksi, dan otomatisasi industri), serta improvisasi musik jazz. Di bidang agroindustri, algoritma genetika juga diaplikasikan untuk desain sistem penyimpanan dan pengawetan hasil laut, desain sistem bioreaktor, prediksi permintaan produk agroindustri, prediksi tingkat suku bunga, penjadwalan pemupukan serta penentuan kadar nutrisi pupuk tanaman.

2. Prinsip Kerja Algoritma Genetika

Mekanisme kerja algoritma genetika cukup sederhana, dimana melibatkan proses yang tidak lebih rumit dari menyalin kromosom dan mempertukarkan bagian tertentu dalam kromosom tersebut. Kesederhanaan operasi dan kehebatan dalam menyelesaikan masalah optimasi merupakan dua hal yang sangat menarik dari algoritma genetika (Goldberg, 1999).

Untuk menyelesaikan suatu masalah dengan algoritma genetika, tahap pertama adalah mengkodekan variabel keputusan kedalam suatu struktur yang mirip dengan kromosom makhluk hidup. Dalam optimasi numerik menggunakan algoritma genetika, angka biner {0,1} adalah notasi yang paling banyak digunakan untuk mempresentasikan suatu variabel ke dalam suatu kromosm (Bagchi, 1999).

Algoritma genetika mulai bekerja dengan membangkitkan beberapa calon solusi awal sebanyak n kromosom yang masing-masing memiliki panjang l. Kromosom-kromosom tersebut merupakan populasi awal (initial population) yang akan dieksekusikan oleh algoritma genetika. Calon-calon solusi tersebut dibangkitkan secara acak oleh algoritma genetika menggunakan analogi koin yang dilempar berturut-turut sebanyak n x l, dimana bagian muka koin mewakili angka 1 dan bagian belakang koin mewakili angka 0. Contohnya: suatu populasi awal terdiri dari 4 kromosom yang masing-masing memiliki panjang 5, maka dibutuhkan 20 (4 x 5) kali lemparan koin untuk menentukan populasi awal. Misalnya, lemparan tersebut menghasilkan populasi awal sebagai berikut:

01101 11000 01000 10011

Goldberg (1989) menyatakan bahwa sebuah algoritma genetika yang dapat menghasilkan solusi yang baik pada banyak masalah praktis terdiri dari tiga operator utama, yakni:

1. Reproduction 2. Crossover 3. Mutation

(6)

Reproduction adalah sebuah proses dimana sebuah deret kromosom disalin berdasarkan bila fungsi tujuan f (para ahli biologi menyebut fungsi ini sebagai fungsi fitness). Fungsi fitness merupakan suatu fungsi yang mengukur keuntungan, kegunaan, atau kebaikan yang akan dimaksimalkan. Menyalin kromosom berdasarkan nilai fitness berarti bahwa kromosom yang memiliki nilai fitness lebih tinggi akan memiliki peluang yang lebih tinggi dalam memberikan satu atau lebih keturunan pada generasi berikutnya. Misalnya, algoritma genetika digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah, yakni memaksimalkan fungsi f (x) = x2. Maka nilai fitness empat buah kromosom yang dihasilkan pada populasi awal akan ditentukan oleh fungsi tujuannya, yakni f(x) = x2. Tabel 1 berikut menunjukkan nilai fitness masing-masing kromosom dalam populasi awal.

Tabel 1. Nilai fitness masing-masing kromosom

No. Kromosom Pada Populasi Awal (Dibangkitkan secara acak)

Nilai x f(x) x2 1 01101 = 24x0 + 23x1 + 22x1 + 21x0 + 20x1 13 169 2 11000 = 24x1 + 23x1 + 22x0 + 21x0 + 20x0 24 576 3 01000 = 24x0 + 23x1 + 22x0 + 21x0 + 20x0 8 64 4 10011 = 24x1 + 23x0 + 22x0 + 21x1 + 20x1 19 361

Operator reproduksi dapat diimplementasikan kedalam bentuk algoritmik dalam berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menciptakan roda rolet dimana tiap kromosom dalam populasi memiliki slot pada rolet yang ukurannya sesuai dengan proporsi nilai fitness-nya, yakni rasio antara nilai fitness suatu kromosom dengan total nilai fitness semua kromosom. Tabel 2 berikut menunjukkan besarnya ukuran slot masing-masing kromosom pada populasi awal.

Tabel 2. Ukuran slot masing-masing kromosom

No. Kromosom Pada Populasi Awal f(x) x2 Ukuran Slot (fi / ∑f) x 100% 1 01101 169 14,40% 2 11000 576 49,20% 3 01000 64 5,50% 4 10011 361 30,90%

Reproduksi dilakukan dengan cara memutar roda rolet yang telah ditentukan ukuran slotnya sebanyak jumlah kromosom yang terdapat dalam populasi tersebut. Kromosom yang terpilih selanjutnya akan disalin dan hasil salinannya akan ditempatkan ke dalam mating pool, yaitu tempat berkumpulnya kromosom-kromosom induk yang akan mengalami penyilangan dan mutasi. Gambar 4 berikut merupakan contoh roda rolet yang setiap slotnya mewakili peluang terpilihnya kromosom untuk dimasukkan ke dalam mating pool.

(7)

Gambar 4. Roda Rolet dengan ukuran slot yang masing-masing mewakili peluang terpilihnya kromosom.

Setelah roda rolet diputar sebanyak empat kali, hasilnya menunjukkan bahwa kromosom 1 dan 4 masing-masing memiliki satu salinan di dalam mating pool, kromosom 2 memiliki dua salinan, sedangkan kromosom 4 tidak memiliki salinan. Hal ini menunjukkan bahwa kromosom yang memiliki nilai fitness yang paling tinggi akan memiliki lebih banyak salinan, kromosom yang nilai fitness-nya rata-rata memiliki salinan yang lebih sedikit, sedangkan kromosom yang nilai fitness-nya paling rendah tidak akan disalin.

Di dalam mating pool yang telah terisi oleh salinan kromosom-kromosom dengan nilai fitness yang baik, proses penyilangan akan terjadi dalam dua tahap: Pertama, kromosom akan dipasangkan secara acak dengan kromosom lainnya melalui lemparan koin. Kedua, kromosom yang telah berpasangan akan disilangkan, dimana titik penyilangannya akan ditentukan oleh lemparan koin. Kedua, kromosom yang telah berpasangan akan disilangkan, dimana titik penyilangannya akan ditentukan oleh lemparan koin. Berdasarkan contoh sebelumnya, hasil lemparan koin ternyata memasangkan kromosom 3 dengan kromosom 1 dan titik penyilangannya adalah 4, sehingga dua kromosom tersebut, yakni 11000 dan 01101 bersilangan dan menghasilkan dua kromosm baru: 11001 dan 01100. Dua kromosom lainnya melakukan penyilangan pada titik 2. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Hasil penyilangan kromosom

Kromosom dalam Mating Pool Pasangan (Dipilih Acak) Titik Penyilangan (Dipilih Acak) Populasi Baru Nilai x f(x) x2 0110 | 1 2 4 01100 12 144 1100 | 0 1 4 11001 25 625 11 | 000 4 2 11011 27 729 10 | 011 3 2 10000 16 256

Operator terakhir adalah mutasi, yang dilakukan dengan basis perbit. Menurut Goldberg (1989), operator mutasi diperlukan karena meskipun operator reproduksi dan penyilangan dapat mencari solusi secara efektif dan mengkombinasikan peluang-peluang yang ada, namun terkadang opertaor0operator tersebut bekerja terlalu berlebihan sehingga menghilangkan beberapa material genetik yang potensial, misalnya 1 atau 0 pada lokasi tertentu dalam krmomosom, dimana material tersebut berperan dalam meningkatkan nilai fitness suatu kromosom dan keturunannya. Dhar dan Stein (1997) berpendapat bahwa operator mutasi menyediakan peluang bagi anggota populasi dalam algoritma genetika untuk melompat dari suatu daerah dalam ruang solusi ke tempat lainnya, sehingga algoritma genetika dapat memeriksa daerah pencarian baru dalam rangka untuk mencari solusi yang lebih baik.

1. 14,4% 2. 49,20% 3. 5,50% 4. 30,90%

(8)

Peluang terjadinya mutasi (Pm) adalah rasio antara jumlah gen yang diharapkan mengalami mutasi pada setiap generasi dengan jumlah gen total dalam populasi. Nilai Pm yang digunakan biasanya sangat rendah, yakni berkisar antara 0,001-0,2 (Gen dan Cheng, 1997). Pada contoh diatas, diasumsikan bahwa peluang terjadinya mutasi adalah sebesar 0,001. Dengan jumlah gen sebanyak 20 bit dalam populasi, perkiraan banyaknya bit yang akan mengalami mutasi dalam satu generasi adalah sejumlah 20 x 0,001 = 0,02 bit. Namun contoh di atas menunjukkan bahwa mutasi tidak terjadi selama proses pembiakan.

Berdasarkan contoh diatas, dapat dilihat bahwa algoritma genetika menghasilkan populasi baru dengan rata-rata nilai fitness yang lebih tinggi, yakni sebesar 439 dibandingkan rata-rata nilai fitness populasi awal yang hanya sebesar 293. Nilai fitness maksimum pada populasi baru juga meningkat, yakni sebesar 729, sedangkan populasi awal hanya sebesar 576. Hal ini menujukkan bahwa lagoritma genetika memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi, dengan menciptakan calon-calon solusi yang lebih baik pada setiap generasi, sampai ditemukannya solusi yang paling optimal.

3. Prosedur Algoritma Genetika.

Secara umum, prosedur algoritma genetika adalah sebagai berikut:

Langkah 1 : Pengkodean calon solusi dan set up beberapa parameter awal (jumlah individu, probabilitas, penyilangan dan mutasi, dan jumlah generasi maksimum) Langkah 2 : t ← 0 (inisialisasi awal)

Pembangkitan acak sejumlah n kromosom pada generasi ke-0

Langkah 3 : evaluasi masing-masing kromosom dengan menghitung nilai fitness-nya. Langkah 4 : seleksi beberapa kromosom dari sejumlah n individu yang memiliki nilai

fitness terbaik.

Langkah 5 : rekombinasikan kromosom terpilih dengan secara melakukan penyilangan (crossover) dan mutasi (mutation)

Langkah 6 : t ← t + 1

4. Schemata Theory dan The Building Block Hypothesis

Schemata atau schema adalah sebuah kesamaan pola yang diperlihatkan oleh sebuah himpunan yang terdiri dari kromosom yang memiliki kesamaan pola pada posisi tertentu dalam kromosomnya (Goldberg, 1989). Sedangkan menurut Bagchi (1999), sebuah schema merupakan sebuah pola yang terbentuk dari susunan bit-bit pada kromosom, yakni bit (0 dan 1) dan simbol bintang (*). Sebuah schema dapat dibuat dengan menambahkan simbol * atau don’t care symbol ke dalam notasi yang digunakan dalam kromosom (Goldberg, 1989). Pada kromosom yang terdiri dari notasi bilangan biner {0, 1}, menambahkan simbol * berarti menambah varian notasi yang dapat dimasukkan kedalam kromosom menjadi {0, 1, *}.

Schema dapat diartikan sebagai sebuah perangkat pencocok pola (pattern matching device) yang berfungsi untuk mencocokkan pola-pola tertentu dalam kromosom (Goldberg, 1989). Sebuah schema dikatakan cocok pada bagian tertentu dari kromosom apabila mengikuti aturan sebagai berikut: nilai 1 pada schema hanya cocok dengan nilai 1 pada kromosom, nilai 0 pada schema hanya cocok dengan nilai 0 pada kromosom, sedangkan simbol * pada schema cocok dengan nilai 1 maupun nilai 0 pada kromosom. Hal ini berarti bahwa schema *0000 cocok kepada dua kromosom, yakni {10000, 00000}, schema *111* menjabarkan sebuah himpunan yang terdiri dari empat anggota {01110, 01111, 11110, 11111}, sedangkan schema 0*1** cocok terhadap

(9)

delapan kromosom dengan panjang 5 yang dimulai dengan sebuah nilai 0 dan mempunyai nilai 1 di posisi ketiga.

Konsep schemata menjelaskan bahwa meskipun populasi yang dieksekusi oleh algoritma genetika memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, namun sebenarnya ada banyak sekali informasi penting yang dapat diperoleh algoritma genetika dari populasi tersebut, dengan cara memperhatikan nilai fitness dan kesamaan-kesamaan yang terdapat diantara kromosom yang ada dalam populasi tersebut. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: sebuah kromosom tunggal yang memiliki panjang 5, contohnya 11111, memiliki schemata sebanyah 25 karena pada kromosom tersebut, setiap posisi dapat berupa nilai kromosom itu sendiri yakni 1, atau simbol *. Hal ini berarti bahwa, secara umum sebuah kromosom dengan panjang l akan memiliki 2l schemata, 2l sampai n.2l schemata tergantung pada keberagaman populasi tersebut (Goldberg, 1989).

Namun, dari jumlah tersebut, tidak seluruh schemata dapat diproses dengan probabilitas tinggi oleh algoritma genetika. Hal ini disebabkan schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didefinisikan pada kromosomnya (long defining length schemata) relatif lebih mudah rusak dalam proses crossover dibandingkan schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didifinisikan pada kromosmnya (short defining length schemata). Contohnya: schemata 1***0 yang merupakan long defining length schemata akan lebih mudah rusak oleh proses crossover dibandingkan dengan schemata **11* yang merupakan short defining length schemata. Hal ini dibuktikan oleh Goldberg (1989) melalui persamaan:

ns = (l – ls + 1) n3 4

Dimana ns adalah jumlah schemata yang akan diproses, l adalah panjang kromosom, ls adalah jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (the defining length on schemata), dan n adalah ukuran populasi.

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa semakin panjang jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (nilai ls semakin tinggi) maka semakin sedikit jumlah schemata yang diproses oleh algoritma genetika. Sedangkan semakin pendek jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata (nilai ls semakin kecil) maka semakin banyak pula jumlah schemata yang dapat diproses oleh algoritma genetika.

Jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata juga berpengaruh terhadap peluang kelangsungan hidup schemata pada saat menjalani proses crossover. Bagchi (1999) membuktikan hal ini melalui persamaan:

Peluang kelangsungan hidup schema ≥ 1- pc . d(H) / (l – 1) dalam proses crossover

Dimana d(H) adalah defining length atau jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schemata H, dan (l – 1) adalah banyaknya kemungkinan lokasi crossover satu titik dalam kromosom dengan panjang l. Dengan nilai pc yang telah ditentukan, dapat dilihat bahwa peluang kelangsungan hidup schemata akan menjadi lebih tinggi seiring dengan semakin pendeknya jarak antara dua bit terluar yang telah didefinisikan dalam schema.

Banyaknya jumlah schemata dalam sebuah populasi menunjukkan banyaknya jumlah informasi yang dapat diperoleh oleh algoritma genetika dari sebuah populasi. Hal ini menunjukkan bahwa algoritma genetika melakukan pencarian nilai optimum dengan cara menyusun schemata-schemata yang memiliki jarak yang pendek antara dua bit terluar yang telah didefinisikan (low

(10)

order schema), serta memiliki nilai fitness tinggi untuk membentuk kromosom-kromosom dengan potensi nilai fitness yang lebih tinggi. Proses ini dilakukan berulang-ulang samapai kriteria penghentian tercapai dan nilai optimal ditentukan.

Proses tersebut menggambarkan The Building Block Hypothesis, yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa algoritma genetika mencari solusi optimal dengan cara membangun kromosom yang lebih baik dan lebih baik lagi berdasarkan sebagian solusi yang berasal dari proses sebelumnya (Goldberg, 1989). Sedangkan Holland (1975) dalam Bagchi (1999) berasumsi bahwa algoritma genetika bekerja berdasarkan penemuan, penegasan, dan pengkombinasian balok-balok bangunan yang baik. Menurut Bagchi (1999), balok bangunan (building block) yang dimaksud merupakan kombinasi dari nilai bit yang memberikan nilai fitness yang tinggi kepada kromosom yang mengandungnya. Dengan mengekspoitasi kesamaan kode pada schemata yang berhubungan dengan meningkatnya nilai fitness menggunakan operator seleksi, crossover, dan mutasi, maka algoritma genetika dapat melakukan pencarian nilai optimal secara lebih efektif.

5. Perbandingan Algoritma Genetika dengan Teknik Pencarian dan Optimasi Konvensional.

Goldberg (1989) menyebutkan empat perbedaan algoritma genetika dengan teknik pncarian dan optimasi konvensional, yaitu:

 Algoritma genetika bekerja pada sekumpulan calon solusi yang telah dikodekan, bukan pada solusi itu sendiri.

 Algoritma genetika melakukan pencarian nilai optimal pada sekumpulan calon solusi secara pararel (bersifat parallel search atau population-based search)

 Algoritma genetika secara langsung memanfaatkan fungsi tujuan atau fungsi fitness, bukan fungsi turunan.

 Algoritma genetika bekerja dengan menggunakan aturan probabilistik, bukan aturan deterministik.

6. Profil Algoritma Genetika Sebagai Metode Optimasi

Berikut ini adalah penjelasan mengenai profil algoritma genetika sebagai metode optimasi menurut Dhar dan Stein (1997):

a. Tingkat akurasi

Tingkat akurasi algoritma genetika bervariasi mulai dari rendah sampai tinggi. Hal ini dikarenakan algoritma genetika menggunakan teknik heuristik dalam mencari solusi optimal, sehingga algoritma genetika tidak dapat menjamin ditemukannya solusi yang benar-benar optimal. Pada umumnya, solusi optimal yang dihasilkan algoritma genetika seringkali merupakan solusi yang terdekat dengan solusi optimal, bukan solusi yang benar-benar optmal meskipun tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya solusi yang benar-benar optimal sehingga meski tidak sempurna, solusi tersebut dinilai cukup baik untuk mengatasi masalah-masalah dengan ruang lingkup yang luas.

b. Waktu

Tidak seperti kebanyakan teknik matematika lainnya, waktu pencarian solusi yang dilakukan dengan algoritma genetika umunya dapat diprediksi secara akurat. Hal ini dikarenakan algoritma genetik selalu mengikuti tahap-tahap yang sama secara berulang dalam mencari solusi,

(11)

sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencari solusi hanya bergantung dari jumlah kromosom dalam populasi dan jumlah generasi yang dijalankan.

Pada algoritma genetika, evaluasi nilai fungsi fitness menghabiskan waktu lebih lama deibandingkan dengan operasi-operasi lainnya dalam algoritma genetika seperti: crossover, mutation, dan selection. Semakin besar jumlah populasi atau semakin panjang kromosom yang harus dikodekan dan dievaluasi, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengeksekusi algoritma genetika akan didominasi oleh banyaknya jumlah pengkodean dan evaluasi nilai fitness, bukan oleh operasi-operasi algoritma genetika lainnya. Oleh sebab itu, ketika waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi nilai fitness dari sebuah kromosm diketahui, maka waktu pencarian solusi dapat diprediksi berdasarkan waktu untuk mengevaluasi nilai fitness dikalikan dengan jumlah kromosom dalam sebuah generasi dikalikan dengan jumlah generasi.

c. Fleksibilitas

Algoritma genetika memiliki fleksibilitas yang tinggi. Satu-satunya hal yang mengikat algoritma genetika terhadap proses penyelesaian suatu masalah adalah bagaimana cara algoritma genetika mengkodekan dan mengevaluasi nilai fitness suatu masalah. Sehingga ketika pengguna ingin mengubah masalah yang dioptimasi menggunakan algoritma genetika, programer cukup mengubah algoritma genetika dalam mengkodekan (decoder) dan mengevaluasi kromosom (fitness function). Hal ini menyebabkan algoritma genetika dapat denga mudah dimodifikasi untuk menyelesaikan masalah yang berbeda dan mudah beradaptasi terhadap suatu masalah yang kondisinya berubah.

d. Penyesuaian terhadap perubahan skala.

Algoritma genetik dapat dengan mudah beradaptasi terhadap perubahan skala. Contohnya, dengan mengatur panjang kromosom menjadi 30 dibandingkan 20, maka algoritma genetika dapat mengembangkan masalah pemilihan variabel dimana algoritma genetika dapat memeriksa 30 variabel dalam satu waktu. Dengan cara ini, perubahan skala dapat dilakukan dengan baik.

Namun demikian, perubahan skala dalam algoritma genetika memiliki kendala. Semakin panjang kromosom, maka akan semakin sulit bagi algoritma genetika dalam mengeksplorasi ruang pencarian. Bertambahnya panjang kromosom menuntut ukuran populasi yang lebih besar seiring dengan banyaknya kombinasi gen yang potensial. Semakin besar ukuran populasi dan semakin panjang kromosom menyebabkan semakin bertambahnya waktu yang diperlukan untuk mengkodekan dan mengevaluasi nilai fitness, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengeksekusi algoritma genetika menjadi lebih lama. Akibatnya, algoritma genetika akan membutuhkan koputer yang berkecepatan tinggi dengan memori yang cukup besar untuk mengeksekusi masalah tersebut. Bahkan dalam kasus tertentu dibutuhkan sejumlah komputer yang dipararelkan untuk mempercepat algoritma genetika dalam mengeksekusi sejumlah besar perhitungan atau melakukan perhitungan yang berbasis database secara intensif.

e. Kecepatan merespon

Kecepatan merespon algoritma genetik cukup tinggi tergantung kepada kompleksitas masalah. Semakin kompleks masalah, maka semakin panjang kromosom yang dikodekan dan semakin besar pula ukuran populasi. Hal ini menentuka lamanya waktu yang dibutuhkan oleh algoritma genetika dalam mengeksekusi suatu masalah.

(12)

f. Kesesuaian

Dari sudut pandang algoritma, algoritma genetika bukanlah suatu hal yang sangat kompleks. Justru yang membuatnya hebat adalah karena kesedehanaannya. Faktanya, program algoritma genetika umumnya memiliki ukuran yang tidak terlalu besar karena ukurannya tergantung pada banyaknya kode yang ditulis dalam program tersebut. Hal ini menjadikan algoritma genetika sebuah program optimasi yang sangat kompak dibandingkan dengan, misalnya, sistem pakar.

g. Kemampuan untuk digabungkan dengan sistem lain.

Karena algoritma genetika relatif sederhana, maka umumnya algoritma genetika dapat disisipkan sebagai sebuah modul dalam sistem lainnya. Hal ini tergantung kepada apa yang dilakukan fungsi fitness dalam mengakses database atau program lain. Pada umumnya, algoritma genetika cukup nyaman ketika eksekusinya tidak membutuhkan pencarian yang luas di dalam database. Namun untuk beberapa aplikasi algoritma genetika, fungsi fitness perlu untuk mengakses dan memproses data-data organisasi. Untuk tipe aplikasi ini, kualitas dan kuantitas data meruoakan hal yang penting.

h. Kecepatan pengembangan

Algoritma genetika memiliki algoritma yang terbuka sehingga mudah dipelajari dan dimodifikasi. Seorang programer handal dapat mengembangkan rancangan percobaan algoritma genetika dalam beberapa hari, karena pada dasarnya usaha yang dilakukan adalah memahami masalah, membuat formulasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, dan menentukan fungsi fitness yang baik.

i. Akses terhadap pakar

Algoritma genetika memungkinkan pengguna memakai program tersebut untuk mneyelesaikan suatu masalah meskipun pengguna tersebut tidak mngetahui bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini dapat terjadi karena yang harus dilakukan pengguna hanyalah mendeskripsikan solusi yang baik dan menyediakan sebuah fungsi fitness yang dapat menilai kromosom yang diberikan.

Kebutuhan akses terhadap pakar untuk meminta pendapat mereka menjadi lebih rendah, karena pengguna algoritma genetika tidak perlu memiliki banyak pengetahuan mengenai “bagaimana” cara menemukan jawaban dari sebuah masalah. Yang perlu diketahui oleh algoritma genetika hanyalah bagaimana cara untuk mengukur “kebaikan” suatu solusi melalui fungsi fitness-nya.

D. Batang Kelapa Sawit

Salah satu sumber biomassa yang pemanfaatannya masih terbatas dan tersedia dalam jumlah yang melimpah, yaitu biomasa kelapa sawit (elaeis guineensis Jacq). Indonesia merupakan negara yang memliliki potensi kelapa sawit terbesar di dunia setelah Malaysia, baik milik pemerintah, swasta maupun rakyat. Perkebunan kelapa sawit pertama kali dikembangkan secara massal di Sumatera Utara dan Lampung sejak tahun 1970. Sekarang ini kelapa sawit telah menyebar di hampir seluruh nusantara (balfas, 2003).

(13)

Gambar 5. Batang kelapa sawit

Batang kelapa sawit yang dapat dilihat dalam Gambar 5 diatas mempunyai umur ekonomis 25 tahun. Setelah itu, batang akan ditebang karena produksinya mulai menurun dan batang terlalu tinggi dan sulit untuk dipanen. Selama ini pohon kelapa sawit tua yang ditebang, diabakar atua dibiarkan melapuk dilapangan. Pembakaran, selain tidak menghasilkan apa-apa, juga akan menimbulkan pencemaran udara yang dapat mengganggu lingkungan (Prayitno dan Darnoko, 1994).

Pemanfaatan kelapa sawit selama ini hanya terbatas pada buah untuk memproduksi minyak beserta segala turunannya, serta sampai pada tingkat tertentu pemanfaatab serat buah, tandan dan pelepah untuk memproduksi serat. Bagian batang hasil peremajaan tanaman tua yang mempunyai massa terbesar masih belum dimanfaatkan secara komersil. Dari sekitar 2 juta hektar tanaman kelapa sawit di indonesia pada tahun 1997, diperkirakan potensi produksi batang kelapa sawit terbesar adalah sumatera utara dan riau dengan volume sekitar 5 juta m3/tahun. (Balfas, 2003).

Kayu dituntut memiliki sifat-sifat mekanik yang memenuhi persyaratan struktural dan keamanan sebagai bahan konstruksi. Salah satu limbah padat dari kelapa sawit yang mengandung lignoselulosa adalah batang kelapa sawit. Batang kelapa sawit memiliki sifat yang sangat beragam dari bagian luar ke pusat batang dan sedikit bervariasi dari bagian pangkal ke ujung batang. Untuk digunakan sebagai kayu solid, batang kelapa sawit setidaknya memiliki 4 kelemahan yaitu: stabilitas dimensi rendah, kekuatan rendah, keawetan rendah, dan sifat pemesinan yang rendah sehingga batang kelapa sawit tidak dapat digunakan dalam bentuk alami (Bakar, 2003).

Batang kelapa sawit terdiri atas dua komponen utama, yaitu jaringan ikatan pembuluh (vascular bundles) dan jaringan parenkim. Struktur jaringan penyusun kelapa sawit tidak jauh berbeda dengan struktur penyusun pada tanaman monokotil dan dikotil yaitu berupa kumpulan serat, jaringan pengangkut dan jaringan parenkim dalam komposisi tertentu. Parenkim berdinding tipis dan mengandung karbohidrat yang tinggi.

Kandungan parenkim ini meningkat pada bagian batang yang semakin tinggi. Parenkim batang kelapa sawit atas mengandung pati sampai 40%. Dan diketahui pula bahwa batang kelapa sawit yang tersusun atas vascular bundle (ikatan pembuluh) dan parenchyma (parenkim) memiliki sifat mekanis dan sifat keawetan yang tergolong rendah serta mengandung kadar air yang tinggi. Dengan mengetahui sifat fisis dan kimia vascular bundle yang merupakan bagian terluar dari batang kelapa sawit maka tidak menutup kemungkinan akan adanya penelitian-penelitian lanjutan untuk memberikan nilai ekonomis yang tinggi untuk batang kelapa sawit yang umumnya masih dianggap sebagai limbah saat ini (Afandy, 2007).

Vascular bundle (jaringan pembuluh) merupakan ikatan pembuluh yang terdiri atas serat, pembuluh penyalur makanan atau metaxylem (mata dan proto). Pemisahan vascular bundle secara

(14)

manual mengalami beberapa kesulitan yaitu pada saat penarikan bagian vascular bundle dari batang, karena memiliki ikatan yang kuat terhadap parenkimnya pada beberapa bagian. Sifat mekanis batang kelapa sawit dipengaruhi oleh berat jenis vascular bundle. Namun karena jumlah zat kayu penyusun vascular bundle lebih rendah maka kekuatan mekanis batang kelapa sawit juga akan rendah. Hasil pengujian sifat fisis tidak dipengaruhi konsentrasi larutan dan lama perebusan, nilai-nilai pengujian sifat kimia kelarutan dalam air dingin dan NaOH 1% dipengaruhi oleh lama perebusan dan konsentrasi (Bakar, 2003).

E. Serbuk Sawit sebagai Bahan Aditif didalam Lumpur Pengeboran

Lumpur pengeboran merupakan faktor yang penting dalam operasi pengeboran. Kecepatan pengeboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pengeboran sangat tergantung dari lumpur pengeboran yang dipakai. Lumpur pengeboran diperkenalkan pertama kali dalam pengeboran putar pada sekitar awal tahun 1900. Pada mulanya orang hanya menggunakan air untuk mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu. Kemudian dengan berkembangnya teknologi pengeboran, lumpur mulai digunakan, dan fungsi lumpur menjadi semakin komplek dan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur tersebut ditambahkan bahan-bahan kimia (additive). Salah satu contoh lumpur pengeboran dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6. Contoh Lumpur Pengeboran dalam Kemasan

Sumber: http://migasnet04badruz777.blogspot.com/2009_05_10_archive.html

1. Fungsi utama lumpur pengeboran adalah : a. Mengangkat serbuk bor ke permukaan

Serbuk bor yang dihasilkan pada waktu operasi pengeboran harus segera diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor di dasar lubang. Kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa faktor, antara lain : kecepatan aliran di anulus, viskositas plastik, yield point lumpur pengeboran dan slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan.

Secara umum, resultan kecepatan (atau kecepatan pengangkatan) serbuk bor adalah merupakan perbedaan antara kecepatan di anulus, Vr, dan slip velocity, Vs.

b. Mengontrol tekanan formasi

Untuk keselamatan pengeboran, tekanan formasi yang tinggi juga harus diimbangi dengan tekanan hidrostatik lumpur yang tinggi, sehingga tekanan hidrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi. Secara efektif perbedaan antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan

(15)

formasi (overbalance pressure) harus sama dengan nol, tetapi dalam praktek harganya sekitar 100 - 200 psi. Untuk mengontrol tekanan formasi tersebut dilakukan dengan mengatur berat (densitas) lumpur.

c. Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring

Perputaran pahat dan drillstring terhadap formasi akan menghasilkan panas, sehingga dapat mempercepat keausan pahat dan drillstring. Selain panas yang ditimbulkan akibat gesekan juga panas yang berasal dari formasi itu sendiri, dimana semakin dalam formasi yang dibor, temperatur juga semakin tinggi. Dengan adanya lumpur pengeboran, maka panas tersebut dapat ditransfer keluar dari lubang bor. Lumpur pengeboran dapat membantu mendinginkan drillstring dengan menyerap panas dan melepaskannya, melalui proses konveksi dan radiasi, pada udara di sekitar mud pit. Lumpur pengeboran juga dapat melumasi pahat dan drillstring dengan menurunkan friksi drillstring dan pahat dengan formasi yang ditembus. Untuk mendapatkan pelumasan yang lebih baik pada umumnya dapat ditambahkan sedikit minyak kedalam lumpur.

d. Membersihkan dasar lubang bor

Secara umum, pembersihan dasar lubang bor dilakukan dengan menggunakan fluida yang encer pada shear rate tinggi saat melewati nozzle pada pahat. Ini berarti bahwa fluida yang kental kemungkinan besar dapat digunakan untuk membersihkan lubang bor, jika fluida tersebut mempunyai sifat shear thinning yang baik. Dan pada umumnya, fluida dengan kandungan padatan (solid content) yang rendah merupakan fluida yang paling baik untuk membersihkan dasar lubang bor.

e. Membantu dalam evaluasi formasi

Sifat fisik dan kimia lumpur pengeboran berpengaruh terhadap program well logging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon, batas air-minyak, dan lainnya untuk korelasi, maka dilakukan well logging, yaitu memasukkan sonde/alat kedalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan media penghantar, dalam hal ini lumpur merupakan penghantar listrik. Sebagai contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengukuran spontaneous potential (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi hampir sama. Disamping itu, oil mud akan menghambat resistivitas karena minyak akan bertindak sebagai insulator dan dapat mencegah terjadinya aliran listrik. Oleh karena itu, pemilihan lumpur pengeboran harus sesuai dengan program evaluasi formasi.

f. Melindungi formasi produktif

Perlindungan formasi produktif sangat penting. Oleh karena itu, pengendapan mud cake pada dinding lubang bor dapat mengijinkan operasi pengeboran terus berjalan dan tidak menyebabkan kerusakan formasi produktif. Kerusakan formasi produktif biasanya akan menurunkan permeabilitas disekitar lubang bor.

g. Membantu stabilitas formasi

Pada lubang bor sering dijumpai adanya problem stabilitas yang disebabkan oleh fenomena geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas, hidrasi clay, dan tekanan tinggi. Lumpur pengeboran harus mampu mengontrol problem-problem tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pengeboran dapat terus dilanjutkan. Perencanaan sistem lumpur untuk menjaga stabilitas lubang bor sering digunakan sebagai basis untuk pemilihan jenis dan sifat lumpur.

(16)

2. Jenis Lumpur Pengeboran: a. Fresh Water Muds

Adalah lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1 % berat garam). Jenis-jenis lumpur fresh water muds adalah : Spud Mud, Natural Mud, Bentonite – treated mud, Phosphate treated mud, Organic colloid treated mud, “Red” mud, Calcium mud, Lime treated mud, Gypsum treated mud dan Calcium salt.

Spud Mud, adalah lumpur yang digunakan pada pemboran awal atau bagian atas bagi conductor casing. Fungsi utamanya adalah untuk mengangkat cutting dan membuka lubang di permukaan.

Natural Mud, yaitu dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa cair, sifat-sifatnya bervariasi tergantung formasi yang di bor. Lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface casing.

Bentonite – treated Mud, yaitu mencakup sebagian besar dari tipe-tipe air tawar. Bentonite adalah material paling umum yang digunakan untuk koloid inorganic yang berfungsi mengurangi filtrate loss dan mengurangi tebal mud cake. Bentonite juga menaikkan viskositas.

Phospate treated Mud, yaitu mengandung polyphospate untuk mengontrol viscositas gel strength dan juga dapat mengurangi filtrate loss serta mud cake dapat tipis.

Organic colloid treated Mud, terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau carboxymethyl cellulose pada lumpur yang digunakan untuk mengurangi filtration loss pada fresh water mud.

Red Mud, yaitu mendapatkan dari warna yang dihasilkan oleh treatment dengan cautic soda dan gueobracho (merah tua). Jenis lumpur ini adalah alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphospate untuk lumpur dengan pH dibawah 10.

Calcium Mud, yaitu lumpur yang mengandung larutan calcium (di sengaja). Calcium bisa ditambah dengan bentuk slake lime (kapur mati), semen, plaster (CaSO4) atau CaCl2.

b. Salt Water Mud

Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt dome) atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran air garam yang terbor. Filtrate loss-nya besar dan mud-cake-nya tebal bila tidak ditambah organic colloid, pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu presentative untuk menahan fermentasi starch. Jika salt mudnya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite. Adapun jenis-jenis lumpur salt water mud adalah : Unsaturated salt water mud, Saturated salt-water mud dan Sodium-Silicate muds.

c. Oil Base Mud

Adalah lumpur yang dibuat dengan minyak sebagai fase continue dan attapulgite sebagai pengganti bentonite memiliki kadar air dibawah 3-5% volume untuk mengontrol viscositas, menaikan gel strength, efek kontaminasi, untuk menaikan gel strength perlu ditambahkan zat kimia. Manfaat oil base mud adalah pada completion dan workover sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit dan mempermudah pemasangan casing dan liner.

(17)

Oil-in-water Emultion Muds (Emulsion Mud)

Pada lumpur ini, minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai sebagai fasa kontinu. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss berkurang. Keuntungannya adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate naik, pengurangan korosi pada drillstring, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan pompa boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drillstring. Viskositas dan gel lebih mudah dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak sebagai thinner. Fresh water oil-in-water emulsion muds adalah lumpur yang mengandung NaCl sampai 60,000 ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan menambahkan emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan sejumlah minyak yang biasanya 5 – 25% volume. Jenis emulsifier bukan sabun lebih disukai karena ia dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan Ca tanpa memperkecil emulsifiernya dalam hal efisiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan agitasi (diaduk).

Oil Base and Oil Base Emulsion Mud

Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya. Komposisinya diatur agar kadar airnya rendah (3 – 5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi efek kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss, perlu ditambahkan zat-zat kimia.

Manfaat oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik terhadap formasi maupun formasi produktif (untuk completion mud). Kegunaan terbesar adalah pada completion dan work-over sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drillpipe yang terjepit, mempermudah pemasangan casing dan liner.

Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion mud mempunyai manfaat yang sama seperti oil base-mud, yaitu filtratnya minyak dan karena itu tidak menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaan utamanya adalah bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara 15 – 50% volume, tergantung densitas dan temperatur yang diinginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air merupakan bagian dari lumpur, maka lumpur ini dapat mengurangi bahaya api, dan pengontrolan flow propertinya dapat seperti water base mud.

d. Gaseous Drilling Fluids

Adalah lumpur yang dibuat dengan udara atau gas sebagai fase continue dan air sebagai fase dispersant dibawah 5% volume total, lumpur ini digunakan pada pemboran daerah yang memiliki kondisi air sangat minim serta pada pemboran daerah dengan jenis batuan yang sangat keras dan bertemperatur tinggi. Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering. Dengan gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak boleh bocor. Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya formasi air dapat menyebabkan bit balling (bit dilapisi cutting/padatan) yang merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan digunakannya cara ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan yang ketat pada bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zone-zone dengan tekanan

(18)

rendah. Suatu cara pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated mud drilling dimana sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan pada sirkulasi lumpur untuk memperendah tekanan hidrostatik (untuk loss circulation zone), mempercepat pemboran dan mengurangi biaya pemboran

3. Komposisi Lumpur Pengeboran

Secara umum lumpur pengeboran terdiri dari tiga komponen atau fasa pembentuk sebagai berikut :

a. Fasa cair (air atau minyak)

Fasa cair lumpur pengeboran pada umumnya dapat berupa air, minyak, atau campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air asin tidak jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% lumpur pengeboran menggunakan air, karena mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan (solid content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi. Istilah oil-base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%. Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50 -70% (sebagai fasa kontinyu) dan air 30 - 50% (sebagai fasa diskontinyu).

b. Fasa padat ( reactive solids dan inert solids)

Merupakan padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya membentuk koloid (clay). Clay air tawar merupakan bentonite mengahisap (absorp) air tawar membentuk bentonite. Yield merupakan jumlah bbl lumpur yang dihasilkan dari 1 ton clay agar viskositas lumpur 15 cp. Yield bentonite = 100 bbl/ton, bentonite bentonite mengadsorp air tawar, sehingga volumenya menjadi 10 kali atau lebih, disebut dengan hidrasi / swelling. Dapat berupa barite (BaSO4), untuk menaikkan densitas lumpur. Dapat juga berasal dari formasi yang dibor dan ikut terbawa

Fasa padat dibagi dalam dua kelompok, yaitu padatan dengan berat jenis rendah dan padatan dengan berat jenis tinggi. Padatan berat jenis rendah dibagi menjadi dua, yaitu Non-reactive solid (inert solid) dan Reactive solid.

Reactive solid adalah clay, merupakan padatan yang dapat bereaksi dengan air, membentuk koloid. Clay dapat didefinisikan sebagai berikut :

-  Padatan dengan diameter kurang dari 2

- Partikel yang bermuatan listrik dan mampu menyerap air - Material yang dapat mengembang (swelling) jika menyerap air

Clay (atau low-gravity reactive solid) ditambahkan ke dalam air agar diperoleh sifat-sifat fisik seperti viskositas dan yield point yang diperlukan untuk mengangkat serbuk bor atau untuk menjaga agar serbuk bor tidak mengendap pada saat tidak ada sirkulasi. Mekanisme pembentukan viskositas dan yield point yang tinggi pengembangannya sangat komplek dan belum seluruhnya dapat difahami. Hal ini dihubungkan dengan struktur internal partikel-partikel clay dan gaya-gaya elektrostatik yang mempertahankannya jika clay terdispersi dalam air.

Pada dasarnya ada dua jenis clay yang digunakan dalam pembuatan water-base mud, yaitu :

a) Bentonitic clay (gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay montmorillonite (smectite), dan hanya dapat digunakan dengan air tawar, karena baik viskositas maupun yield point tidak dapat terbentuk pada air asin. Bentonit yang ada di pasaran bukan merupakan sodium montmorillonite murni, tetapi mempunyai kandungan sodium montmorillonite sekitar 60 -70%. Sodium montmorillonte adalah merupakan material yang berbentuk plat-plat seperti lembaran-lembaran buku. Plat-plat tersebut . Bentonit

(19)

menyerap sangat tipis dengan ukuran partikel kurang dari 0.1 air tawar pada permukaan partikel-partikelnya, sehingga dapat menaikkan volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut “swelling” atau “hidrasi”. Besarnya swelling yang terjadi dapat dilihat dengan meningkatnya kekentalan atau viskositas lumpur, yang tergantung dari luas permukaan dan total jumlah air yang diserap oleh clay.

b) Attapulgite (salt gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay palygorskite, dan hanya dapat mengasilkan viskositas dan yield point yang tinggi baik pada air tawar maupun air asin. Salt water clay (attapulgite), akan terjadi swelling jika dimasukkan dalam air asin. Kelima sistem tersebut diatas mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bahwa kerja sistem-sistem tersebut berlangsung pada waktu yang bersamaan.

Operasi pengeboran adalah merupakan suatu kegiatan yang terpadu dengan kegiatan-kegiatan lainnya dalam industri perminyakan. Pada masa sekarang, operasi pengeboran dapat dilaksanakan baik di darat (on-shore) maupun di lepas pantai (off-shore). Peralatan yang digunakan untuk operasi pada kedua tempat tersebut pada prinsipnya sama, perbedaannya adalah tempat untuk menempatkan menara (rig) serta perlengkapannya.

c. Additive

Aditif merupakan bahan yang ditambahkan sehingga mud memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang terjadi pada saat pemboran berlangsung. Additive berfungsi Sebagai thinner / penurun viskositas quabracho, fosfat, sodium tannate, lignosulfonates, lignit, surfactant (surface active agents). Sebagai viscosifier / peningkat viskositas CMC, starch, senyawa polimer.

Additive lumpur pemboran adalah material-material yang ditambahkan untuk merawat lumpur agar sesuai sifat-sifatnya dengan yang dibutuhkan.

 Material Pemberat Lumpur, Material yang ditambahkan untuk menaikkan berat jenis lumpur atau disebut juga dengan weight material. Seperti : Barite atau Barium Sulfate, Calcium Carbonate untuk oil base mud dan Galena.

 Material Pengental Lumpur, Zat kimia pengental lumpur merupakan bahan untuk menaikkan viskositas dari lumpur bor. Material ini termasuk viscosifier. Seperti : Wyoming bentonite, High Yielding Clay, Attapulgite clay untuk salt water mud dan Extra high yield bentonite.

 Material Pengencer Lumpur, Zat kimia pengencer lumpur ini makdusnya adalah zat kimia yang digunakan untuk menurunkan viskositas lumpur bor atau disebut juga Thinner. Seperti : Chrome lignosulfonate, Alkaline lignite, Sodium Acid Pyrophospate, dll.

Filtration Loss Control Agent, Filtration Loss Control Agent maksudnya adalah bahan-bahan untuk mengurangi filtration loss dan menipiskan mud cake. Seperti : Pregelatinized Starch, Sodium Carboxymethylcellulose, dll.

Loss Circulation Material (LCM), Bahan ini untuk menyumbat bagian yang menimbulkan lost circulation. Jadi bahan untuk menghentikan lost circulation. Seperti : Blended Fiber, Graded Mica, Ground walnut hulls.

(20)

Tabel 4. Contoh dan Spesifikasi Loss Circulation Material

Bahan Tipe Deskripsi

Kulit kacang Butiran 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes Plastik Butiran 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes Batu kapur Butiran 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes Belerang Butiran 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes Kulit kacang Butiran 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes Percite Butiran 50% - 3/16 + 10 Mesh; 50% - 10+ 100 Mes Cellophane Lembaran ¾” Serpihan

Serbuk gergaji Serat ¼” Partikel Rumput ilalang Serat ½” Partikel Jerami Serat 3/8” Partikel Kulit biji kapas Butiran Halus Ilalang rawa Serat 3/8” Partikel Kertas kaca Lembaran ½” Serpihan Hancuran kayu Serat ¼” serat

Dalam penelitian ini, serbuk sawit dihasilkan sebagai salah satu bahan alternatif dalam menyumbat bagian yang menimbulkan loss circulation. Serbuk sawit nantinya akan digunakan sebagai loss circulation material di zona-zona yang menghasilkan loss dengan cara menginjeksikan secara bersamaan dengan lumpur. Dalam proses pengeboran, bila terdapat zona porous dan lumpur pengeboran masuk ke dalam zona tersebut maka tidak ada lagi sirkulasi keatas, akibat yang ditimbulkan yaitu kolam lumpur berkurang sehingga timbul blow out. Bila kondisi tersebut terjadi dan lumpur secara terus menerus dimasukkan akan percuma, oleh karna itu zona porous harus disumbat dengan serbuk sawit yang nantinya akan dibuat.

F. Perencanaan Industri

Menurut Gittinger (1986), proyek adalah kegiatan usaha yang menggunakan sumberdaya untuk memperoleh manfaat atau keuntungan. Perencanaan proyek yang baik tergantung pada tersedianya berbagai informasi mengenai adanya investasi yang potensial dan informasi mengenai pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan tujuan-tujuan lainnya. Analisis proyek menyediakan informasi proyek-proyek yang dipilih untuk dilaksanakan lalu menjadi alat agar penggunaan sumberdaya tersebut dapat menciptakan pendapatan.

Perencanaan proyek terdiri dari beberapa tahap, yaitu perencanaan, penjadwalan dan kendali operasi. Menentukan tujuan dan kebutuhan terhadap fungsi waktu merupakan kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan. Kegiatan pada tahap penjadwalan adalah (i) mengumpulkan sumberdaya dan meletakkannya pada aktivitas yang sesuai, (ii) menghubungkan tiap aktivitas dan selalu merevisi setiap kegiatan yang telah dilakukan. Tahap kendali operasi merupakan tahapan untuk mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya, serta melakukan revisi bahkan jika diperlukan merubah rencana (Heizer dan Barry, 1993).

Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang benar-benar tepat dan jelas alasan, tujuan, kegunaan dan sasaran, metode, dasar perhitungan dan perhitungannya. Perencanaan juga memiliki data dan informasi yang lengkap dan benar, serta efektif agar proyek dapat dijalankan dengan lancar (Wijandi, 1996).

(21)

Menurut Djamin (1993), tahap persiapan suatu industri dapat dilihat sebagai suatu rangkaian kegiatan yang pada akhirnya harus ditunjang dengan sejumlah studi dan dokumen-dokumen untuk memungkinkan mengambil keputusan suatu rencana investasi. Pendirian suatu industri memiliki prioritas aspek-aspek yang perlu deiperhatikan yakni (i) pasar dan pemasaran, (ii) teknis dan teknologis, (iii) manajemen organisasi dan sumber daya manusia, (iv) finansial, (v) sosial-ekonomi, (vi) hukum dan (vii) lingkungan. Tiap aspek tersebut dianalisis dan dirangkum, kemudian dibuat rekomendasi kelayakannya (Umar, 2003).

1. Aspek Pasar dan Pemasaran

Menurut Kotler (2002), pemasaran adalah proses sosial dan manjerial yang dengan proses itu, perseorangan atau kelompok, memperoleh apa saja yang diinginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai. Pasar dan pemasaran terjadi karena adanya kebutuhan manusia yang menimbulkan permintaan, yakni keinginan akan produk spesifik yang didukung dengan kemampuan dan ketersediaan untuk membeli.

Sutojo (2000) menyatakan bahwa fokus aspek pasar dan pemasaran produk yang dihasilkan mencakup tiga hal, yaitu:

a. Memperoleh gambaran, apakah pada masa yang akan datang terdapat permintaan pasar yang dapat menyerap produk yang dihasilkan.

b. Memperoleh gambaran bagaimana suasana persaingan pasar pada masa yang akan datang, siapa saja perusahaan pesaing, dan apakah produk yang dihasilkan mampu memperoleh pangsa pasar (market share) yang memadai.

c. Memperoleh gambaran tentang prospek perkembangan faktor ekstern perusahaan yang dapat mempengaruhi permintaan produk dan suasana persaingan pasar.

Riset pemasaran diperlukan untuk mengidentifikasi peluang pasar dan pesaing. Riset pemasaran adalah penelitian di bidang pemasaran yang dilakukan secara sistematis untuk membantu penentu kebijakan merumuskan strategi pemasaran. Tujuan utama riset adalah mendapatkan informasi pasang yang akurat, sehingga produk dapat disebar sesuai dengan keadaan pasar. Pengumpulan data dapat dilakukan secara langsung (wawancara, telepon) dan tidak langsung (penggunaan internet, perpustakaan) (Rangkuti, 1997).

Menurut Roberts dan Berger (2003), identifikasi pesaing bertujuan untuk mengetahui keadaan persaingan perusahaan saat ini dan masa datang. Identifikasi pesaing menganalisis secara detail bagaimana persaingan merebut perhatian konsumen dan penjualan terhadap target pasar, termasuk strategi pesaing dalam hal produk, harga, promosi, dan distribusi.

Distribusi produk menggunakan saluran pemasaram tertentu untuk memudahkan pencapaian produk oleh konsumen. saluran pemasaran adalah suatu rangkaian orang dan atau organisasi yang menyampaikan produk ke tangan konsumen. industri dapat memasarkan produk langsung ke konsumen (tanpa perantara), atau menggunakan satu atau lebih rangkaian distributor, agen sampai pengecer untuk memasarkan produk. Pilihan saluran pemasaran akan mempengaruhi penetapan harga, penentuan target volume penjualan dan produksi, sehingga mempengaruhi keuntungan perusahaan (Kotler, 2002).

2. Aspek Teknis dan Teknologis

Menurut Umar (2003), aspek teknis dan teknologis merupakan aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan industri secara teknis dan operasi hingga industri tersebut selesai dibangun. Aspek teknis dan teknologis dalam perencanaan proyek meliputi:

(22)

a. Pemilihan dan perencanaan produk agar dapat ditentukan gambaran peralatan dan teknologi yang hendak digunakan.

b. Pemilihan teknologi produksi berdasarkan sumberdaya yang ada dan kualitas yang ingin dicapai.

c. Rencana kapasitas produksi ekonomi (volume produksi) atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama jangka waktu tertentu.

d. Penentuan lokasi pabrik

e. Penentuan proses produksi dan tata letak pabrik, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain.

f. Perencanaan jumlah produksi yang dipengaruhi (i) permintaan, (ii) kapasitas pabrik, (iii) suplai bahan baku, (iv) kemampuan modal dan (v) peraturan pemerintah.

g. Perencanaan mengenai persediaan dan pengawasan kualitas produk

Sutojo (2000) menyatakan bahwa syarat-syarat sebagai jaminan kelayakan teknologi mutu yang digunakan adalah

a. Mutu, spesifikasi, dan jenis produk yang dihasilkan dapat diterima oleh konsumen. b. Tidak akan menimbulkan kesulitan dalam pengadaan tenaga teknis, bahan baku, dan

bahan pembantu.

c. Dapat menjamin tercapainya kapasitas produksi ekonomis.

d. Tidak akan meningkatkan anggaran peralatan prosuksi secara berlebihan.

e. Sebaiknya menghasilkan sebanyak mungkin jenis produk dengan mempergunakan bahan baku yang sama.

f. Tidak akan menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar lokasi proyek.

g. Pernah diterapkan dan berhasil di tempat atau negara lain.

Sutojo (1996) menyebutkan bahwa evaluasi aspek teknis dan teknologis mencakup beberapa hal di bawah ini:

1. Penentuan lokasi proyek yaitu lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, baik untuk pertimbangan lokasi maupun lahan proyek. Peubah-peubah yang perlu diperhatikan antara lain iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik dan air, keadaan dan sikap masyarakat dan rencana masa depan perusahaan untuk perluasan. Penentuan lokasi proyek harus memperhatikan faktor-faktor antara lain iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik, air, sikap masyarakat, serta rencana pengembangan industri ke depan. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu letak konsumen potensial atau pasar sasaran, letak bahan baku, dan peraturan pemerintah.

2. Penentuan kapasitas produksi ekonomis yang merupakan volume atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama waktu tertentu. Kapasitas produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi operasi proyek yang akan didirikan. Kapasitas produksi ditentukan berdasarkan perpaduan hasil penelitian berbagai macam komponen evaluasi, yaitu perkiraan jumlah penjualan produk di masa yang akan datang atau kemungkinan pasar yang akan diraih, kemungkinan pengaduan bahan baku, bahan pembantu dan tenaga kerja, serta tersedianya mesin dan peralatan di pasar sesuai dengan teknologi yang diterapkan.

3. Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh kemungkinan pengadaan tenaga ahli, bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam dan lainnya tergantung proyek yang didirikan.

Gambar

Gambar 1. Taksonomi sistem informasi manajemen
Gambar 2. Struktur sistem penunjang keputusan (Turban, 1991)
Gambar 4. Roda Rolet dengan ukuran slot yang masing-masing mewakili peluang  terpilihnya kromosom
Tabel 4. Contoh dan Spesifikasi Loss Circulation Material

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui pengaruh proses dry shot peening terhadap kekuatan material maka dilakukan beberapa pengujian mekanis.. Spesimen yang dipersiapkan adalah aluminium

(b) Mampu mengembangkan kemanfaatan penyelesaian model matematika yang diusulkan dalam memecahkan masalah fisik atau gejala alam yang spesifik untuk diaplikasikan pada

Puji syukur dan terima kasih Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah, maka Penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi

Rencana proses atau process planning yang dihasilkan dari penyusunan matriks Process Planning adalah penggunaan 8 mm bending punch , penggunaan 8 mm bending dies

Hasil pemeriksaan tajam penglihatan jauh pasien dengan ETDRS chart di unit low vision mengalami peningkatan sampai 2/40 setelah operasi katarak pada mata kanan, meskipun

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa perubahan struktur pembuluh xilem yang meliputi rasio area, diameter serata diameter lubang pembuluh xilem akar

Ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat jawa.. Kepercayaan animisme dan dinamisme sangat mempercayai