• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2003 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Ketua. Syamsul Maarif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2003 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Ketua. Syamsul Maarif"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Tanpa terasa tahun 2002 telah berlalu dan telah dua setengah tahun pula Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bekerja mengemban amanat konstitusional sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang No. 5/1999. Sebagai lembaga pengawas persaingan usaha, salah satu tugas KPPU yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 5/1999 adalah menyampaikan laporan berkala kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Laporan berkala Tahun 2002 ini disusun sebagai wujud pertanggung jawaban KPPU kepada Presiden dan DPR. Laporan ini menguraikan pelaksanaan tugas KPPU, meliputi pelaksanaan seluruh program dan kegiatan dalam kurun waktu 2002. Sebagaimana tercermin di dalam laporan berkala ini, banyak kemajuan yang telah dicapai tetapi tidak sedikit pula hambatan yang dihadapi dalam kurun waktu tersebut.

KPPU menyadari bahwa tanpa dukungan luas dari publik, teramat sulit bagi KPPU untuk dapat mencapai berbagai kemajuan dalam pelaksanaan tugasnya, di tengah kehadiran berbagai kendala dan tantangan yang tidak ringan. Karena itu pada kesempatan ini, KPPU menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, atas dukungan dan kerjasamanya selama ini.

Laporan berkala ini sudah barang tentu tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Karena itu dalam rangka penyempurnaannya, KPPU terbuka terhadap kritik, saran, dan masukan dari berbagai pihak.

Jakarta, Januari 2003

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Ketua

(2)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi iii

Bab I PENDAHULUAN 1

Bab II PROGRAM KERJA KPPU 2002 3

Penegakan Hukum 3

Pengembangan Kebijakan 4

Pengembangan Kelembagaan 4

Komunikasi 5

Pengembangan Sistem Informasi 6

Bab III GAMBARAN UMUM PERSAINGAN USAHA 2002 7

Bab IV PENEGAKAN HUKUM 10

Penanganan Laporan Publik dan Inisiatif 11

Perkara Dalam Proses Pemeriksaan 12

Perkara Yang Telah Diputus 13

Litigasi dan Monitoring Putusan 28

Bab V PELAKSANAAN MONITORING, KAJIAN dan

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN 32

Monitoring 32

Kajian 38

Dengar Pendapat 42

(3)

Bab VI PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN 51

Pengembangan Organisasi 51

Penyusunan Pedoman UU No.5/1999 53

Status Kelembagaan 53

Pengembangan Strategi KPPU 54

Sarana dan Prasarana 55

Pengembangan Kerjasama Antar Lembaga 55

Kerjasama Internasional 57

Bantuan Teknis 57

Kunjungan dan Pertukaran Informasi 61

Partisipasi Aktif dalam Forum Internasional 63

Pengembangan Sumber Daya Manusia 64

Bab VII SOSIALISASI dan PENGEMBANGAN KOMUNIKASI 65

Sosialisasi Melalui Lokakarya 65

Sosialisasi dan Komunikasi Melalui Media Massa 68

Pertemuan Dengan Para Pakar 69

Bab VIII KENDALA dan TANTANGAN 70

Resistensi Pemburu Rente 70

Lingkungan Kebijakan 71

Peradilan dan Institusi Penegakan Hukum Terkait 71 Otonomi dan Inisiatif – Inisiatif Daerah 72

Merger dan Akuisisi 73

Posisi Staf Sekretariat KPPU 73

Persaingan Sebagai Budaya Baru 74

Hambatan – Hambatan Internal 74

Bab IX PENUTUP 76

Lampiran

Lampiran I : Daftar Putusan KPPU 79

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999. Sebagai produk hukum ekonomi yang lahir di tengah krisis ekonomi serta hingar bingar “reformasi” di berbagai bidang, kelahiran UU No.5/1999 menimbulkan semangat sekaligus harapan baru di bidang perekonomian.

Betapa tidak, krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 merupakan puncak dari akumulasi persoalan kebijakan dan praktek persaingan usaha yang berlangsung tanpa fondasi dan kerangka yang menjamin tumbuhnya iklim usaha yang sehat. Karena itu lahirnya UU No.5/1999 diharapkan dapat menjadi bingkai bagi lahirnya iklim persaingan usaha yang sehat guna mewujudkan dunia usaha yang efisien yang memberikan pilihan-pilihan yang luas bagi konsumen, yang pada akhirnya diharapkan mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dalam perjalanan waktu yang relatif sangat singkat tentu saja menjadi sesuatu yang mustahil untuk memenuhi tujuan tadi. Sebagai lembaga yang diberi amanat untuk mengawasi pelaksanaan UU No.5/1999, KPPU berupaya seoptimal mungkin untuk menjalankan tugasnya. Namun sebagai sebuah lembaga baru KPPU tentu saja dihadapkan pada sejumlah persoalan.

Sebagai sebuah institusi publik, Laporan tahun 2002 ini merupakan pertanggungjawaban KPPU kepada publik, selain tentu saja menjadi bentuk pertanggungjawaban konstitusional KPPU kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Laporan ini membahas pelaksanaan program dan kegiatan – kegiatan KPPU sepanjang tahun 2002. Sebagaimana layaknya

(5)

sebuah laporan, Bab I berisi mengenai pendahuluan yang membahas tujuan, sistematika dan isi laporan ini. Bab II memaparkan program 2002 yang dirumuskan tahun sebelumnya. Sedangkan Bab III menguraikan gambaran umum persaingan usaha Indonesia sepanjang tahun 2002.

Berdasarkan UU No.5/1999, tugas utama yang diemban KPPU sebagai pengawas persaingan usaha adalah penegakan hukum. Program penegakan hukum yang meliputi kegiatan-kegiatan penanganan laporan publik, pemecahan kasus atau perkara serta kegiatan litigasi dan monitoring putusan diuraikan pada Bab IV.

Kasus atau perkara yang ditangani dapat pula merupakan perkara inisiatif KPPU. Perkara inisiatif ini dapat bersumber dari kajian maupun monitoring pelaku usaha. Perlu juga diketahui bahwa selain penegakan hukum, tugas utama lainnya dari KPPU adalah memberikan saran dan pertimbangan kebijakan kepada pemerintah. Untuk mendukung program ini, KPPU mengembangkan kajian regulasi dan perundang-undangan maupun dengar pendapat (hearing) dengan berbagai pihak dan institusi. Karena itu selain membahas program kegiatan monitoring pelaku usaha, Bab V juga membahas pelaksanaan program kajian regulasi dan perundang-undang, dengar pendapat serta saran dan kebijakan pertimbangan kepada pemerintah.

Sebagai sebuah lembaga baru, pengembangan kegiatan kelembagaan merupakan salah satu program prioritas KPPU. Pelaksanaan program ini dibahas secara detail pada Bab VI, meliputi antara lain pengembangan instrumen-instrumen operasional hubungan antar lembaga baik nasional maupun internasional, serta pengembangan sumberdaya manusia.

Sebagai sesuatu yang baru pengenalan UU/5/1999 dan KPPU kepada stakeholder persaingan usaha dilaksanakan melalui program komunikasi. Pelaksanaan program ini dibahas secara detail pada bab VII.

(6)

Dalam usianya yang sangat belia KPPU dalam melaksanakan tugas-tugasnya tentu masih berhadapan dengan sejumlah kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kendala-kendala yang dihadapi KPPU sepanjang tahun 2002 diuraikan pada Bab VIII. Sedangkan Bab IX menyimpulkan seluruh isi bab-bab sebelumnya.

Laporan tahunan ini sudah barang tentu tidak lepas dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Untuk itu KPPU mengharap masukan dan kritikan semua pihak, yang tentunya akan sangat membantu penyempurnaan laporan ini.

(7)

BAB II

PROGRAM KERJA KPPU 2002

Seluruh kegiatan pada tahun 2002 merupakan pelaksanaan atas rencana strategis yang telah dituangkan dalam bentuk Program Kerja KPPU. Kelancaran pelaksanaan kegiatan pada tahun 2002 tersebut tidak terlepas dari dukungan pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Proyek Pemberdayaan Persaingan Usaha Tahun Anggaran 2002 Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta bantuan teknis dari beberapa organisasi internasional yang mempunyai perhatian khusus pada masalah persaingan usaha.

Program kerja KPPU yang dilaksanakan pada tahun 2002 adalah perwujudan tugas-tugasnya yang diamanatkan oleh UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Program kerja dimaksud terdiri dari : Penaatan / Penegakan Hukum (Compliance); Pengembangan Kebijakan (Policy Development); Pengembangan Kelembagaan (Institutional

Development); Komunikasi (Communication); dan Pengembangan

Sistem Informasi (Information System Development).

Penegakan Hukum

Program penegakan hukum merupakan program yang memayungi pelaksanaan tugas utama KPPU selaku lembaga yang diberi amanat mengawasi pelaksanaan UU No.5/1999. Kegiatan utama dalam program ini meliputi rangkaian proses penanganan dugaan pelanggaran UU No.5/1999 mulai dari penanganan laporan yang berasal dari masyarakat maupun yang bersifat inisiatif, pemeriksaan dan penyelidikan, pembuatan putusan, monitoring

(8)

pelaksanaan putusan hingga diupayakannya bantuan hukum bila terdapat masalah hukum atas putusan yang telah ditetapkan.

Pengembangan Kebijakan

Tugas utama KPPU lainnya adalah pemberian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan yang mendorong lahirnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tugas ini dilaksanakan melalui pelaksanaan program pengembangan kebijakan.

Beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung Program Pengembangan Kebijakan antara lain adalah penyusunan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, penyusunan kertas kerja kebijakan (policy paper), kajian atas sektor industri dan perdagangan, kajian atas peraturan perundang-undangan, monitoring pelaku usaha, dengar pendapat dengan pihak-pihak terkait serta penyusunan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah.

Pengembangan Kelembagaan

Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas – tugas utama KPPU tersebut, unsur penataan dan penguatan kelembagaan menjadi salah satu pilar penting yang perlu terus dikembangkan.

Oleh karena itu pengembangan kelembagaan menjadi salah satu program kerja KPPU. Program ini menjadi sangat penting mengingat KPPU sebagai lembaga baru dengan sumber daya yang masih sangat terbatas.

Kegiatan - kegiatan yang menjadi bagian dari program ini meliputi pengembangan instrumen-instrumen operasional seperti pengembangan organisasi dan penyusunan aturan - aturan internal, penyusunan pedoman / petunjuk operasional UU No.5/1999

(9)

(guidelines), pembahasan status kelembagaan khususnya untuk sekretariat, pengembangan strategi KPPU serta pemenuhan fasilitas kerja baik sarana dan prasarana guna menunjang pelaksanaan tugas KPPU, pengembangan kerjasama antar lembaga, pengembangan kerjasama internasional, dan pengembangan sumber daya manusia,

Komunikasi

Hukum dan budaya persaingan merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi kalangan pelaku usaha, penegak hukum dan aparat pemerintah lainnya. Untuk itu, kegiatan-kegiatan yang bersifat mendorong internalisasi nilai – nilai persaingan menyadarkan melalui introduksi dan peningkatan pemahaman masyarakat akan hukum dan budaya persaingan menjadi sangat penting artinya bagi efektivitas UU No.5/1999 dalam mendorong lahirnya iklim persaingan usaha yang sehat.

Dengan internalisasi nilai – nilai persaingan serta dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman atas persaingan usaha yang sehat diharapkan akan mendorong tumbuhnya perilaku self

correction di dunia usaha dan masyarakat. Hal ini mendasari

dicanangkannya Komunikasi menjadi salah satu program kerja KPPU.

Kegiatan diseminasi informasi seperti sosialisasi, lokakarya, seminar, workshop dan temu usaha kepada masyarakat luas khususnya pelaku usaha, aparat penegak hukum, aparat pemerintah lainnya, akademisi dan jurnalis serta organisasi – organisasi non pemerintah merupakan bagian dari program ini.

(10)

Pengembangan Sistem Informasi

Di era modern dewasa ini, informasi dan sistem informasi memegang peran strategis bagi kelangsungan suatu organisasi. Sebagai organisasi baru dengan substansi bidang tugas yang juga masih relatif sangat baru, kelangsungan organisasi, pelaksanaan tugas dan kinerja KPPU akan sangat tergantung pada pengelolaan informasi.

Oleh karena itu, sejak awal pembentukannya, KPPU menempatkan pengembangan sistem informasi sebagai salah satu program prioritas. Meskipun demikian, laporan pelaksaan program ini dipadukan dalam bagian laporan mengenai pelaksanaan program pengembangan kelembagaan.

(11)

BAB III

GAMBARAN UMUM PERSAINGAN USAHA 2002

Banyak kemajuan dicapai di dalam upaya memperbaiki persaingan usaha di Indonesia sepanjang tahun 2002, baik di tingkat mikro (perusahaan) maupun pada kebijakan-kebijakan pemerintah, meskipun kemajuan-kemajuan tersebut masih belum seperti yang diharapkan. Kemajuan-kemajuan tersebut tentunya tidak lepas dari dampak berlakunya UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang telah memasuki tahun ke 3 (tiga).

Di tingkat mikro perusahaan, kemajuan-kemajuan mulai terasa pada sikap dunia usaha yang mulai menjadikan UU No. 5/1999 sebagai salah satu referensi dalam memformulasikan strategi usahanya. Peningkatan ini adalah buah dari sosialisasi yang secara intensif dan berkesinambungan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sepanjang tahun 2002.

Namun di tengah perbaikan-perbaikan yang mulai terasa, praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat oleh sebagian besar pelaku usaha lainnya tetap saja marak, baik di sektor swasta maupun di sektor publik. Sebagian memang belum memahami esensi UU No. 5/1999, namun sebagian lainnya justru memanfaatkan celah kelemahan dalam infrastruktur penegakan hukum terkait, sehingga luput dari jeratan undang-undang ini.

Hingga akhir tahun 2002, perilaku anti persaingan yang terasa sangat menonjol antara lain adalah persekongkolan tender, penyalahgunaan posisi dominan, kartel dan perjanjian tertutup. Hal ini tercermin baik dari laporan yang disampaikan oleh publik, hasil-hasil monitoring dan kajian, maupun isu - isu yang berkembang di dalam wacana publik. Kendati demikian, tidak banyak dari fenomena tersebut yang dapat dibawa ke meja pemeriksaan dan

(12)

menghasilkan putusan, terutama karena kesulitan dalam pembuktian baik formil maupun materiil.

Sebagai perilaku anti persaingan yang sangat menonjol, persekongkolan tender menjadi menarik untuk disimak lebih jauh justru karena sebagian besar fenomena ini berkaitan dengan transaksi-transaksi penjualan atau privatisasi aset-aset negara, atau tender proyek-proyek yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu perilaku anti persaingan dalam bentuk persekongkolan tender setidaknya melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau instansi-instansi pemerintah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat kebocoran APBN yang cukup besar dan berlangsung sejak lama merupakan konsekuensi ketidakefektifan mekanisme pengawasan tender. Pada gilirannya, hal ini menjadi salah satu sumber inefisiensi anggaran. Perlu dicatat bahwa berdasarkan Kepres No. 18/2000, penggunaan APBN yang besaran nilainya lebih dari Rp 50 juta mutlak dialokasikan melalui tender, kecuali pembayaran bunga dan cicilan pokok utang, pembayaran gaji pegawai dan komponen lainnya. Jika mekanisme pengawasan tender berlangsung efektif, maka sangat bisa jadi bahwa utang luar negeri tidak menjelma menjadi penyakit kronis Indonesia. Sayangnya, kasus-kasus yang berkaitan dengan tender proyek-proyek APBN tidak mudah untuk disentuh karena kesulitan dalam pembuktian formil dan materiil.

Persekongkolan tender juga sangat terasa pada penjualan aset-aset negara. Pada tahun 2002 tercatat misalnya kasus penjualan saham dan obligasi konversi PT. Indomobil Sukses Internasional Tbk. dan beberapa penjualan aset lain yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Seperti halnya dengan persekongkolan tender proyek-proyek APBN, persekongkolan tender penjualan aset-aset negara juga sulit untuk disentuh karena masalah yang sama.

(13)

Di lingkungan kebijakan (regulatory environment), kemajuan-kemajuan juga mulai terasa pada sejumlah undang-undang yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maupun pada beberapa kebijakan pemerintah. Hal ini paling tidak tercermin pada internalisasi nilai-nilai persaingan pada beberapa produk peraturan perundang-undangan dan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian dan dunia usaha. Sebagai contoh Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi yang menghapuskan adanya monopoli produksi minyak dan gas bumi yang sebelumnya dimiliki oleh PT. Pertamina. Sementara pada kebijakan pemerintah tercermin diantaranya pada upaya mengembalikan kewenangan penentuan tarif angkutan penumpang udara, dari INACA (Indonesian National Air Carrier Association) kepada pemerintah, yang oleh pemerintah pada gilirannya menyerahkan penentuan tarif pada mekanisme pasar.

Namun di tengah arah sejumlah kebijakan yang kian mendukung upaya menciptakan iklim persaingan sehat, sejumlah besar kebijakan lainnya justru cenderung mematikan embrio persaingan sehat yang mulai diperkenalkan. Pertimbangan menumbuhkan persaingan usaha yang sehat, hampir tidak tampak pada sebagian besar kebijakan pemerintah akhir-akhir ini. Upaya deregulasi pasar, termasuk upaya mengurangi campur tangan pemerintah pada perekonomian dan dunia usaha, tidak tampak dilakukan secara nyata.

Beberapa issue yang tercatat paling menonjol adalah kebijakan pengaturan tata niaga gula pasir, penerapan bea masuk dan SNI di bidang industri tepung terigu, pengaturan tata niaga impor tekstil dan produk tekstil, kebijakan pengaturan bisnis VoIP yang kontra kompetisi, kebijakan “duopoly” sektor telekomunikasi Indonesia, serta berbagai kasus privatisasi BUMN yang menghidupkan praktek monopoli baru atau revitalisasi monopolis lama. Kasus privatisasi Indosat merupakan salah satu contoh

(14)

aktual privatisasi BUMN yang mendorong konsentrasi industri, bahkan praktek monopoli baru, di sektor telekomunikasi nirkabel (selular).

Sementara itu, perkembangan-perkembangan positif yang telah dicapai di sektor transportasi khususnya transportasi udara, kembali mendapat desakan dari pelaku usaha yang mengupayakan pemberlakuan kembali regulasi yang menghambat persaingan. Hal yang sama sangat terasa pula di bidang-bidang transportasi lainnya. KPPU mengembangkan forum dengar pendapat dengan berbagai pihak di bidang transportasi dan melihat kemajuan yang cukup signifikan dengan makin berkurangnya upaya campur tangan pemerintah di bidang ini. Walaupun demikian, KPPU masih melihat beberapa kebijakan yang diskriminatif dan kurang fair berkaitan dengan pengaturan teknis. Misalnya dalam pengaturan jalur garis lintas penerbangan (airline routes), yang mengundang protes dari perusahaan-perusahaan penerbangan baru. Hal ini semata-mata terjadi karena adanya konflik kepentingan pemerintah sebagai regulator sekaligus sebagai pelaku usaha (BUMN).

Kebijakan – kebijakan pemerintah di tingkat lokal (daerah) juga menandai pasang-surutnya iklim persaingan usaha. Sepanjang tahun 2002, kebijakan – kebijakan anti persaingan usaha di tingkat daerah otonom terasa sangat marak. Meskipun terwujud dalam berbagai bentuk, tetapi kebijakan daerah yang sangat menonjol adalah diskriminasi perlakuan antara pelaku usaha lokal dengan pelaku – pelaku usaha dari daerah lain, peraturan – peraturan lokal yang memberikan lisensi monopoli kepada pelaku – pelaku usaha tertentu dan pembentukan badan – badan usaha yang melibatkan pemerintah daerah serta pemberian lisensi monopoli kepada badan usaha yang bersangkutan.

Melihat latar belakang dan arah kebijakan yang berkembang sepanjang 2002, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa terdapat kecenderungan yang kuat akan kian maraknya perilaku perburuan

(15)

rente, yakni upaya pelaku usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa melalui persaingan usaha yang sehat.

(16)

BAB IV

PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum (law enforcement) adalah tugas utama atau inti dari seluruh tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 / 1999) kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tugas tersebut dilaksanakan KPPU melalui tindakan penanganan perkara, penerbitan penetapan-penetapan dan putusan-putusan atas perkara yang ditangani, dan pelaksanaan upaya-upaya lanjutan yang terkait dengan eksistensi dan pelaksanaan penetapan dan putusan atas suatu perkara, yaitu tindakan monitoring putusan dan upaya litigasi.

Penanganan perkara dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 / 1999 sebagai tugas prioritas KPPU dilaksanakan baik dalam kerangka tindakan yang bersifat responsif terhadap laporan dugaan pelanggaran UU No. 5 / 1999 dari masyarakat (publik) atau pelaku usaha, maupun sebagai suatu tindakan yang bersifat inisiatif berdasarkan hasil temuan KPPU sendiri. Sedangkan output dari penanganan perkara tersebut adalah penetapan-penetapan dan putusan-putusan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap perkara bersangkutan. Pada akhirnya, terhadap seluruh putusan yang telah diterbitkan KPPU diperlukan upaya lanjutan berupa monitoring terhadap pelaksanaan putusan-putusan tersebut dan upaya litigasi jika atas putusan-putusan tersebut terdapat upaya keberatan (challenge) ke Pengadilan Negeri yang dilakukan pelaku usaha terkait.

(17)

A. Penanganan Laporan Publik dan Inisiatif.

Sejak berdirinya hingga akhir Desember 2002, KPPU telah menerima 86 (delapan puluh enam) laporan publik tentang dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999. Dari 86 (delapan puluh enam) laporan publik tersebut, 49 (empat puluh sembilan) laporan diterima KPPU pada tahun 2002. Laporan publik tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Laporan yang berkaitan dengan dugaan persekongkolan tender sejumlah 27 (dua puluh tujuh);

2. Laporan yang berkaitan dengan kebijakan anti-persaingan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejumlah 8 (delapan);

3. Laporan yang berkaitan dengan dugaan kartel sejumlah 1 (satu);

4. Laporan yang berkaitan dengan dugaan praktek perjanjian tertutup sejumlah 1 (satu);

5. Laporan yang berkaitan dengan dugaan praktek monopoli sejumlah 1 (satu);

6. Laporan yang berkaitan dengan dugaan praktek penyalahgunaan posisi dominan sejumlah 1 (satu);

7. Laporan yang berkaitan dengan dugaan praktek alokasi pasar sejumlah 1 (satu); dan

8. Laporan yang bukan merupakan kewenangan / kompetensi KPPU sejumlah 8 (delapan);

Sementara laporan yang diajukan berdasarkan inisiatif dari KPPU sejak KPPU berdiri berjumlah 4 (empat), dan khusus tahun 2002 berjumlah 3 (tiga) dengan klasifikasi yang terdiri dari 2 (dua) buah laporan tentang dugaan persekongkolan tender dan 1 (satu) buah laporan tentang dugaan kartel.

(18)

Sebagaimana diketahui, proses penanganan perkara di KPPU dilakukan melalui berbagai tahapan, yaitu:

1. Tahap Klarifikasi kejelasan dan atau kelengkapan laporan yang disampaikan oleh publik (Klarifikasi Laporan);

2. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang dilakukan oleh Tim Pemeriksaan Pendahuluan; 3. Tahap Pemeriksaan Lanjutan selama-lamanya 90 (sembilan

puluh) hari yang dilakukan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

4. Tahap Pembuatan Putusan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang dilakukan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 5. Pembacaan Putusan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan

Usaha.

Namun sesuai dengan prosedur penanganan perkara yang ditetapkan, tidak semua perkara yang ditangani sampai pada tahap putusan. Bahkan ada sebagian besar perkara tidak dapat diteruskan ke dalam tahap pemeriksaan. Selain karena ketidakjelasan dan atau ketidaklengkapan laporan, juga karena tidak ditemukannya bukti-bukti awal yang cukup untuk memulai pemeriksaan.

B. Perkara Dalam Proses Pemeriksaan

Satu-satunya perkara yang tersisa dan masih dalam tahap pemeriksaan pada akhir tahun 2002 adalah Perkara Nomor 05/KPPU-L/2002 mengenai dugaan praktek penyalahgunaan posisi dominan di sektor film dan bioskop. Perkara ini masih dalam status pemeriksaan lanjutan dan sesuai dengan jadwal direncanakan akan tuntas pada awal tahun 2003.

(19)

C. Perkara yang Telah Diputus

Dari sejumlah perkara baik yang diangkat dari laporan publik maupun perkara – perkara inisiatif, hingga Desember 2002, 9 (sembilan) perkara telah diputuskan dan dibacakan di muka umum.

Dari 9 (sembilan) putusan komisi tersebut, 2 (dua) di antaranya ditangani pada tahun 2000 dan diputuskan pada 2001, yaitu kasus tender di PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) dan kasus penguasaan retail oleh Indomaret. Sementara itu, perkara yang penanganannya telah dimulai pada 2001 dan sampai dengan Tahap Pemeriksaan Lanjutan yang diakhiri dengan pembacaan putusan pada 2002 adalah sebanyak 7 (tujuh) perkara, yaitu:

1. Perkara Nomor 08/KPPU-L/2001 mengenai persekongkolan tender bakalan sapi impor di Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur yang putusannya dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 19 April 2002.

2. Perkara Nomor 03/KPPU-I/2002 mengenai persekongkolan tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses International yang putusannya dibacakan dalam sidang terbuka pada 30 Mei 2002.

3. Perkara Nomor 09/KPPU-L/2001 mengenai persekongkolan tender OSP/CAN (Out Side Plan / Chopper Access Network) di PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, yang putusannya dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 6 Juni 2002.

4. Perkara Nomor 08/KPPU-L/2001 mengenai persekongkolan tender Pengadaan Barite dan Bentonite di YPF Maxus Southeast Sumatera BV, yang putusannya dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum pada 17 Juli 2002.

(20)

5. Perkara Nomor 10/KPPU-L/2001 mengenai Penentuan Daftar Rekanan Asuradur di Bank BNI yang putusannya dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum pada 18 Juli 2002.

6. Perkara Nomor 02/KPPU-I/2002 mengenai Dugaan Kartel Industri Day Old Chicks (DOC) yang putusannya dibacakan dalam sidang terbuka pada tanggal 27 Agustus 2002.

7. Perkara Nomor 01/KPPU-I/2002 mengenai Pembagian Pekerjaan antara PT SPIJ dengan PT Citra Turbindo yang putusannya dibacakan dalam sidang terbuka pada tanggal 29 Agustus 2002.

Ringkasan kasus dan putusan komisi mengenai tender pengadaan bakalan sapi impor di Jawa Timur dapat dilihat pada Boks 1.1., tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional pada Boks 1.2., tender di PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. pada Boks 1.3., tender pengadaan Barite & Bentonite di YPF Maxus Southeast Sumatra BV pada Boks 1.4., penunjukan rekanan asuradur di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. pada Boks 1.5., dugaan kartel Industri

Day Old Chicks (DOC) pada Boks 1.6., dan dugaan pembagian

(21)

Boks 1.1

KASUS TENDER PENGADAAN SAPI BAKALAN KEREMAN IMPOR DI JAWA TIMUR (PERKARA NOMOR : 07/KPPU-LI/2001)

Kasus ini berawal dari laporan sebuah organisasi pengusaha di Jawa Timur yang ikut menjadi peserta Tender Pengadaan Sapi Bakalan Kereman Impor dari Australia dalam Proyek Pembangunan dan Pembinaan Peternakan di Kabupaten/Kota se-Jawa Timur Tahun Anggaran 2000 Dinas Peternakan Jawa Timur. Yang dilaporkan (Terlapor) adalah Koperasi Pribumi Jawa Timur (KOPI Jatim). KPPU menindaklanjuti laporan tersebut dengan melakukan Pemeriksaan Pendahuluan mulai tanggal 22 Agustus 2001 yang diteruskan kemudian dengan Pemeriksaan Lanjutan.

Dari pemeriksaan terungkap telah terjadi persekongkolan dan atau kerjasama antara Terlapor dengan Panitia Pelelangan dan atau pihak yang berhubungan dengan Panitia Pelelangan. Persekongkolan dan atau kerjasama tersebut terjadi dalam mengatur, menentukan, dan mengarahkan proses lelang untuk kepentingan Terlapor melalui perlakuan eksklusif (khusus) dan keringanan persyaratan pelelangan terhadap Terlapor yang berbeda dengan peserta lelang yang lain.

Bentuk perlakuan khusus adalah keberangkatan Terlapor bersama dan atas biaya Dinas Peternakan Jawa Timur dan atau Panitia Pelelangan ke Australia pada tanggal 17 Oktober 2000 untuk melakukan survey bersama atas sapi yang akan dibeli Terlapor. Padahal pada saat itu belum ditentukan pemenang lelangnya karena Lelang Ulang baru dalam tahap pengumuman pembukaan pendaftaran.

Terdapat keringanan persyaratan yang tidak wajar dalam Surat Perintah Kerja sebagai hasil negosiasi teknis dalam rangka Penunjukan Langsung. Hal ini dapat dibuktikan dari ketat/mutlaknya persyaratan administratif dan teknis dalam tahap lelang dan lelang ulang yang dengan serta merta dieliminasi secara drastis pada tahap penunjukan langsung. Persyaratan dimaksud adalah persyaratan pengalaman impor sapi 2 (dua) tahun. Apabila pada Tahap Lelang dan Lelang Ulang, Panitia Pelelangan bersikukuh untuk mempertahankan persyaratan tersebut sebagaimana diatur dalam RKS sehingga menyebabkan semua Peserta Lelang gugur, dalam tahap Penunjukan Langsung, persyaratan ini tidak diperlukan dan diganti dengan fakta bahwa Terlapor mampu melampirkan rekomendasi Konsulat Republik Indonesia tentang reputasi eksportir Hallen Australian Livestock Traders Pty, Ltd. dan sama sekali tidak menjelaskan reputasi Terlapor sebagai importir.

Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, maka Majelis Komisi memutuskan :

1. Menyatakan Terlapor secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan pasal 22 UU No. 5/1999 karena melakukan persekongkolan dengan pihak lain yaitu drh. Sigit Hanggono Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur, dan Ir. Suhadji Ketua Panitia Pelelangan dalam mengatur penentuan Pemenang Tender/Lelang dalam Pengadaan Sapi Bakalan Kereman Impor dari Australia dalam Proyek Pembangunan dan Pembinaan Peternakan di Kabupaten/Kota se Jawa Timur Tahun Anggaran 2000

2. Melarang Terlapor mengikuti kegiatan Pengadaan Sapi Bakalan atau kegiatan serupa di Jawa Timur

dan atau wilayah Republik Indonesia selama dipimpin oleh pengurus yang pada saat pembacaan Putusan ini masih menjabat untuk kurun waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal putusan dibacakan.

3. Menyarankan Gubernur Jawa Timur sebagai atasan langsung drh. Sigit Hanggono Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur, dan Ir. Suhadji Ketua Panitia Pelelangan, untuk mengambil tindakan administratif sehubungan dengan keterlibatan drh. Sigit Hanggono Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur, dan Ir. Suhadji Ketua Panitia Pelelangan dalam pelanggaran Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh Terlapor

(22)

Boks 1.2

KASUS TENDER SAHAM DAN OBLIGASI INDOMOBIL (PERKARA NO. 03/KPPU-I/2002)

Pada tanggal 20 November 2001, BPPN dan PT Holdiko Perkasa mengumumkan tender penjualan 72,63 persen saham milik Pemerintah di PT. Indomobil Sukses Internasional Tbk. (IMSI). Tiga peserta memasukkan penawaran akhir pada tanggal 4 Desember 2001, yaitu PT Alpha Sekuritas Indonesia, PT Bhakti Asset Management dan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP). Tanggal 5 Desember 2001, PT CSDP dinyatakan sebagai pemenang dalam tender divestasi tersebut, dengan penawaran total senilai Rp. 625 milyar. Padahal sewaktu diambil alih Pemerintah, nilai saham dan convertible bond yang dijual tersebut adalah sekitar Rp. 2,5 trilyun.

Tetapi pelaksanaan dan hasil tender mengandung sejumlah kejanggalan, seperti harga penjualan saham yang rendah, waktu pelaksanaan tender yang singkat, peserta tender yang terbatas dan indikasi pelanggaran prosedur tender. Kejanggalan – kejanggalan ini diperkuat oleh data dan informasi yang mengarah pada indikasi awal yang kuat tentang adanya pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Oleh karenanya, kemudian KPPU memutuskan untuk melakukan pemeriksaan berdasarkan inisiatif.

Pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan atas perkara tersebut dilakukan oleh KPPU dengan memanggil dan mendengarkan keterangan dari BBPN dan beberapa pelaku usaha seperti PT Holdiko Perkasa, PT Trimegah Securities, PT Cipta Sarana Duta Perkasa, PT Bhakti Asset Management, PT Alpha Sekuritas Indonesia, PT. Multi Megah Internasional, PT. Deloitte & Touche FAS, Bank Danamon, Pranata Hajadi dan saksi – saksi lainnya.

Dari pemeriksaan, KPPU mendapatkan bukti-bukti adanya persekongkolan antara panitia tender dalam hal ini adalah BPPN dan PT Holdiko Perkasa dengan peserta – peserta tender, serta persekongkolan yang dilakukan antara peserta – peserta tender. Bukti-bukti tersebut antara lain panitia tender masih menerima dokumen tender dari peserta tender walaupun telah melampaui batas waktu penyerahan dokumen tender, sekitar 20 usulan mark-up Conditional Share Purchase Loan and Transfer

Agreement yang sama yang diajukan oleh masing-masing peserta tender, penyesuaian harga antara

ketiga peserta tender yang bertujuan untuk memenangkan salah satu peserta tender dan sejumlah bukti – bukti lainnya.

Berdasarkan bukti – bukti yang ada, Majelis Komisi mengambil keputusan yang intinya adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan PT Holdiko Perkasa (Terlapor I) dan PT Deloitte & Touche FAS (Terlapor X), secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena melakukan tindakan persekongkolan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha peserta tender, yaitu PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III), PT Bhakti Asset Management (Terlapor VIII) dan PT Alpha Sekuritas Indonesia (Terlapor IX), yang secara terang-terangan dan/atau diam-diam berupa tidak menolak keikutsertaan ketiga peserta tender tersebut dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT Indomobil Sukses International walaupun mengetahui ketiga peserta tender tersebut tidak memenuhi persyaratan dan/atau melanggar prosedur sebagaimana ditentukan dalam Procedures for The Submission of

Bid

2. Menyatakan PT Trimegah Securities (Terlapor II), PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III), Pranata Hajadi (Terlapor IV), Jimmy Masrin (Terlapor V), PT Bhakti Asset Management (Terlapor VIII) dan PT Alpha Sekuritas Indonesia (Terlapor IX) secara bersama-sama dengan sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena melakukan

(23)

tindakan persekongkolan di antara mereka yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat berupa tindakan saling menyesuaikan dan/atau membandingkan dokumen tender dan/atau menciptakan persaingan semu dan/atau memfasilitasi suatu tindakan untuk memenangkan PT Cipta Sarana Duta Perkasa dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT Indomobil Sukses International

3. Menyatakan PT Multi Megah internasional (Terlapor VI) dan Parallax Capital Management (Terlapor VII) kedua-duanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

4. Melarang PT Trimegah Securities (Terlapor II), PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III), dan PT Deloitte & Touche FAS (Terlapor X) untuk mengikuti transaksi baru dalam bentuk apapun di lingkungan dan/atau dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan/atau dengan pihak lain yang ditunjuk oleh atau atas kuasa BPPN berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas BPPN baik dalam penyehatan perbankan, penyelesaian aset bank maupun dalam pengembalian uang negara dalam jangka waktu dua tahun terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda atas pelanggaran sebesar 30% dari nilai setiap transaksi

5. Menghukum PT Trimegah Securities (Terlapor II) untuk membayar denda sebesar Rp10.500.000.000,00 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat di Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp10.500.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

6. Menghukum Pranata Hajadi (Terlapor IV) dan Jimmy Masrin (Terlapor V) secara bersama-sama untuk membayar denda sebesar Rp10.500.000.000,00 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp10.500.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

7. Menghukum PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III) untuk membayar denda kepada negara sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp5.000.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

8. Menghukum PT Holdiko Perkasa (Terlapor I), untuk membayar denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp5.000.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

(24)

9. Menghukum PT Deloitte & Touche FAS (Terlapor X) untuk membayar denda sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp10.000.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

10. Menghukum PT Alpha Sekuritas Indonesia (Terlapor IX) untuk membayar denda sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp1.500.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

11. Menghukum PT Bhakti Asset Management (Terlapor VIII) untuk membayar denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp1.000.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

12. Menghukum PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III) untuk membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp228.000.000.000,00 (dua ratus dua puluh delapan miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 75 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai ganti rugi yang dikenakan (Rp228.000.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini

Menyatakan bahwa denda keterlambatan pelaksanaan putusan tetap dihitung meskipun ada upaya hukum

(25)

Boks 1.3

KASUS TENDER DI PT TELEKOMUNIKASI INDONESIA (PERSERO) TBK. (PERKARA NO.09/KPPU-L/2002)

Kasus ini didasarkan pada laporan dari satu pelaku usaha yang pada pokoknya melaporkan PT (Persero) Telekomunikasi Indonesia (selanjutnya disebut Terlapor) telah melakukan persekongkolan untuk memenangkan Consortium Siemens di dalam Tender Paket-I Pengadaan Outside Plan Copper

Access Network (OSP-CAN) di PT (Persero) Telekomunikasi Indonesia yang dibiayai melalui pinjaman

Bank Dunia (IBRD Loan 3904).

Berdasarkan informasi dan kesaksian yang didapatkan dalam serangkain proses pemeriksaan pendahuluan, Tim Pemeriksa merekomendasikan untuk melanjutkan ke tahapan Pemeriksaan Lanjutan. Di dalam Pemeriksaan Lanjutan telah diperiksa Pelapor, Terlapor dan sejumlah saksi.

Berdasarkan keterangan yang terungkap dalam proses pemeriksaan, proses pelaksaanan tender OSPCAN tersebut secara umum dapat dijelaskan sebagaimana berikut:;

- Tender OSP-CAN merupakan International Competitive Bidding/one stage tender berdasarkan World

Bank’s Guidelines, dimana Pemenang tender harus mendapatkan persetujuan dari Bank Dunia.

- Dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa pemenang tidak boleh memenangkan 3 (tiga) paket sekaligus, maka setelah proses klarifikasi, Consortium RML-Energex dinominasikan oleh Terlapor sebagai pemenang di Paket I dan dimintakan persetujuan oleh Terlapor kepada Bank Dunia.

- Selama proses permintaan persetujuan, kepada Bank Dunia berkali-kali mempertanyakan pengalaman Consortium RML-Energex dibidang Telekomunikasi kepada Terlapor. Dalam rangka menjawab pertanyaan Bank Dunia, Terlapor berkali-kali pula menghubungi Consortium RML-Energex untuk meminta pengalaman kerja di bidang Telekomunikasi sesuai permintaan Bank Dunia. Disamping itu ditemukan fakta-fakta yang mengarahkan persekongkolan antara Terlapor dengan Consortium RML-Energex berupa pemberian informasi yang bersifat rahasia/confidential, antara lain berupa Fotokopi faximili Bank Dunia tanggal 30 April 2001 kepada Koordinator Project

Implementation Unit (PIU) Bank Dunia, Posisi harga penawaran masing-masing peserta tender

setelah proses evaluasi atau normalisasi harga penawaran setelah klarifikasi, surat penominasian Consortium RML-Energex oleh Terlapor kepada Bank Dunia sebagai pemenang Paket-I tender OSPCAN, korespondensi PIU dengan Bank Dunia, dan Surat penominasian Consortium Siemens sebagai pemenang Paket-I tender OSPCAN kepada Bank Dunia.

- Karena dokumentasi tendernya tidak sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam dalam RFP, khususnya record of experience in telecommunication project, maka Bank Dunia menolak untuk menyetujui Consortium RML-Energex. Pada akhirnya Bank Dunia menyetujui Consortium Siemens sebagaimana dinominasikan oleh Terlapor sebagai pemenang tender Paket I OSPCAN tersebut.

Meskipun Majelis Komisi menemukan adanya nuansa persekongkolan antara Terlapor dengan Consortium RML-Energex, namun pada akhirnya persekongkolan tersebut tidak berhasil

memenangkan Consortium RML-Energex sebagai pemenang tender OSP-CAN di Paket I. Karena itu

persekongkolan dalam kasus ini tidak sesuai dengan persekongkolan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 UU No.5/1999.

Pada sisi lain persekongkolan sebagaimana dilaporkan oleh Pelapor, yaitu antara Terlapor dengan Consortium Siemens, tidak dapat dibuktikan setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan oleh Majelis Komisi. Dengan demikian Majelis Komisi memutuskan bahwa Terlapor, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. dan SIEMENS Consortium tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(26)

Boks 1.4

KASUS TENDER PENGADAAN BARITE & BENTONITE DI YPF MAXUS SOUTHEAST SUMATRA B.V.

(PERKARA NO. 08/KPPU-L/2001)

Perkara ini berawal dari laporan satu pihak (Pelapor) yang pada pokoknya melaporkan bahwa persyaratan tender pengadaan Barite dan Bentonite yang diselenggarakan oleh YPF Maxus Southeast Sumatra B.V. (Terlapor) bersifat diskriminatif.

Dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, Tim Pemeriksa menemukan indikasi kuat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor yaitu beberapa persyaratan tender cenderung mengada-ada dan mengarah kepada salah satu peserta tender, persyaratan tersebut antara lain: persyaratan cap API Monogram dalam kemasan Barite dan Bentonite, serta pengalaman memasok Barite dan Bentonite kepada perusahaan minyak lepas pantai minimal 2 (dua) tahun, yang hanya dapat dipenuhi oleh salah satu peserta tender. Berdasarkan temuan tersebut, Tim Pemeriksa menetapkan untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan.

Garis besar perkara ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Terlapor menyelenggarakan tender pengadaan Barite dan Bentonite (Tender no. B/S/0226) dengan sistem 1 (satu) sampul, yang diumumkan pada tanggal 9 Juli 2001. Terlapor menyusun persyaratan tender yang cenderung berdasarkan kemampuan 3 (tiga) perusahaan yang selama ini memasok Terlapor yaitu: PT. M-I Indonesia, PT. Baroid Indonesia, dan PT. Milchem Indonesia.

• Setelah melalui prakualifikasi, hanya 5 (lima) peserta yang lulus dari 14 (empat belas) peserta yang mendaftar yaitu: PT. M-I Indonesia, PT. Baroid Indonesia, PT. Carana Bungapersada, PT. Gading Megah, dan PT. Bakrie&Brother.

• Beberapa peserta mengajukan keberatan atas persyaratan yang diajukan oleh Terlapor: persyaratan cap API Monogram dan pengalaman memasok Barite dan Bentonite kepada perusahaan minyak lepas pantai minimal 2 (dua) tahun, karena kedua persyaratan tersebut tidak relevan dan hanya dapat dipenuhi oleh peserta tender tertentu.

• Peserta yang ikut pembukaan tender ada 3 (tiga) yaitu: PT. M-I Indonesia, PT. Carana Bungapersada, dan PT. Gading Megah. Terlapor membuka harga penawaran dari ketiga peserta tersebut dan ternyata PT. Carana Bungapersada adalah peserta dengan harga penawaran paling rendah.

• Selanjutnya Terlapor melakukan evaluasi teknis secara terpisah dari pembukaan tender padahal sistem tender yang digunakan adalah satu sampul yang hanya melihat harga sebagai penentu utama.

• Pada saat evaluasi teknis, PT. Carana Bungapersada dan PT. Gading Megah tidak memenuhi persyaratan: cap API Monogram dan pengalaman. Kemudian Terlapor menunjuk PT. M-I Indonesia (yang sebenarnya adalah peserta dengan harga penawaran tertinggi) sebagai pemenang tender tersebut.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, Majelis Komisi menyimpulkan bahwa: Terlapor tidak melakukan persekongkolan dan penguasaan pasar. Tetapi Majelis Komisi melihat adanya penyimpangan pelaksanaan SK No. 077/C0000/2000-SO mengenai evaluasi teknis secara terpisah dari pembukaan tender dalam sistem satu sampul. Karena itu Majelis Komisi Memutuskan:

(27)

CNOOC Southeast Sumatra B.V. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22, Pasal 19 huruf a. dan d. Undang-undang Nomor 5 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Memerintahkan kepada Terlapor, YPF Maxus Southeast Sumatra B.V. yang sekarang bernama CNOOC Southeast Sumatra B.V. untuk memperbaiki persyaratan-persyaratan tender pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakannya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dan terbuka.

3. Memerintahkan kepada PERTAMINA untuk dengan sungguh-sungguh melakukan pengawasan terhadap seluruh KPS dan mitra kerjanya agar dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa mengikuti ketentuan SK No. 077/C0000/2000-SO dengan memberikan kesempatan kepada pelaku usaha secara terbuka sehingga tercipta persaingan usaha yang sehat.

(28)

Boks 1.5

KASUS PENUNJUKKAN REKANAN ASURADUR DI PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK

(PERKARA NO. 10/KPPU-L/2001)

Kasus berawal dari laporan pada 22 Agustus 2001 kepada KPPU yang pada intinya menyatakan bahwa PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (Terlapor) membatasi penutupan asuransi jaminan kredit debitur BNI dengan hanya menunjuk 4 (empat) perusahaan asuransi sebagai rekanan asuransinya. Perusahaan asuransi tersebut adalah: PT. Asuransi Tri Pakarta; PT. Asuransi Wahana Tata; PT. Maskapai Asuransi Indonesia; dan PT (persero) Jasa Asuransi Indonesia.

Penunjukan tersebut menghilangkan kebebasan debitur yang mengajukan kredit pinjaman kepada BNI untuk memilih perusahaan asuransi yang akan digunakannya. Selain itu, penunjukan untuk rekanan asuransi juga mengakibatkan perusahaan asuransi yang lain tidak bisa masuk dan bersaing untuk melayani nasabah BNI yang akan mengasuransikan agunannya.

Setelah melakukan pemeriksaan, Majelis Komisi pada dasarnya berpendapat bahwa perjanjian yang dibuat antara Terlapor dengan 4 rekanan asurasur tersebut berpotensi melanggar prinsip-prinsip pasal 4, 15 dan 19 Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Tetapi unsur-unsur dari pasal-pasal tersebut tidak terpenuhi oleh bukti-bukti yang ada.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Komisi mengambil keputusan yang intinya adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Terlapor, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4, Pasal 15 ayat (2), dan Pasal 19 huruf a dan huruf d Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Memerintahkan kepada Terlapor, PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk., untuk membatalkan perjanjian yang berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat, yaitu perjanjian tanggal 16 April 2002 No. DIR/006 No.146/DIR/PKS/2002 antara Terlapor dengan PT. Wahana Tata, perjanjian No. DIR/009 No. 068/DIR/2002 antara Terlapor dengan PT. MAI dan perjanjian No.DIR/007 N0. PKS 013.AJI/IV/2002 antara Terlapor dengan PT. Jasindo;

3. Memerintahkan kepada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., untuk memberikan

kesempatan yang sama kepada perusahaan-perusahaan asuransi agar dapat bersaing secara sehat dan terbuka.

(29)

Boks 1.6

KASUS KARTEL INDUSTRI DAY OLD CHICK (DOC) (PERKARA NO. 02/KPPU-I/2002)

Kasus ini berawal dari adanya laporan sebuah organisasi peternak unggas yang menduga bahwa lima pelaku usaha yang bergerak dalam bidang perunggasan yaitu PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, PT Sierad Produce, Tbk, PT Leong AyamSatu Primadona dan PT Wonokoyo Jaya Corporindo telah melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Dalam laporan tersebut, Pelapor tidak dapat memberikan informasi yang jelas mengenai dugaan pelanggaran tersebut sehingga tidak dapat ditindaklanjuti ke dalam pemeriksaan pendahuluan. Namun mencermati perkembangan industri peternakan (perunggasan) sebagai industri yang strategis, Komisi berinisiatif untuk melakukan public hearing mengenai permasalahan disekitar DOC. Dari hasil public hearing, Komisi memutuskan untuk melakukan Monitoring terhadap kegiatan pelaku usaha yang dilaporkan oleh organisasi peternak tersebut.

Hasil monitoring mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap Pasal 11 UU No. 5 /1999, yang dilakukan oleh PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, PT Sierad Produce, Tbk, PT Leong Ayam Satu Primadona dan PT Wonokoyo Jaya Corporindo. Oleh sebab itu Komisi memutuskan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan menjadikan perkara yang berkaitan dengan DOC tersebut menjadi perkara inisiatif.

Hasil Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan menemukan fakta bahwa produksi DOC merupakan produk musiman (seasoning), tidak dapat diatur produksinya dalam waktu singkat dan pasokannya (supply) relatif konstan dalam jangka waktu 1–2 tahun. Produksi DOC tidak dapat diatur dalam waktu yang singkat karena market trend tidak dapat diprediksi. Pada umumnya prediksi permintaan DOC dengan menggunakan dasar peak season. Sedangkan mengenai dugaan kesepakatan harga yang dibuat oleh para breeder yang dilakukan oleh anggota Gabungan Perusahaan Peternak Unggas Indonesia ditemukan fakta bahwa kesepakatan diantara para anggota GPPU tersebut hanya ditujukan untuk memberikan keringanan harga kepada koperasi peternak di Bogor yang dipimpin oleh Linus Simanjuntak atas permintaan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan.

Berdasarkan informasi, fakta dan dokumen yang diperoleh baik dari pemeriksaan pendahuluan maupun pemeriksaan lanjutan, maka pada tanggal 27 Agustus 2002 Majelis Komisi mengambil keputusan yang intinya PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk, PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk, PT Sierad Produce, Tbk, PT Leong AyamSatu Primadona dan PT Wonokoyo Jaya Corporindo tidak secara sah dan meyakinkan telah melanggar UU No.5/1999.

(30)

Boks 1.7

KASUS PEMBAGIAN PEKERJAAN ANTARA PT. SPIJ DAN PT CITRA TUBINDO (PERKARA NO. 01/KPPU-I/2002)

Perkara ini berawal dari kejanggalan - kejanggalan dalam proses pengadaan pipa casing dan

tubing di Indonesia. Kejanggalan tersebut mengindikasikan adanya duopoli dalam bidang industri

pengolahan pipa casing dan tubing, khususnya untuk proses pemanasan / heat treatment dan pembentukan upsetting pipa, pencantuman merek-merek tertentu dalam persyaratan

pelelangan/tender, dan diskriminasi perolehan surat dukungan / supporting letter. Setelah mendengar keterangan dari beberapa sumber, Komisi menilai perlu dilakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap proses pengadaan pipa casing dan tubing dilingkungan PERTAMINA/Kontraktor Production Sharing (KPS)/Joint Operation Body (JOB)/Technical Assistance Contract (TAC). Dalam perkara ini, yang menjadi Terlapor adalah PT Seamless Pipe Indonesia Jaya dan PT Citra Tubindo, Tbk.

Setelah melakukan pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan, Komisi menemukan fakta bahwa pelaksanaan tender di lingkungan PERTAMINA/KPS/JOB/TAC dilakukan secara terbuka dan diumumkan secara luas oleh panitia tender yang mendapat wewenang dari pejabat yang berwenang. Tugas panitia lelang adalah mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tender yaitu dari mempersiapkan dokumen, memberikan penjelasan kepada peserta tender dan membuat persyaratan tender.

Persyaratan tender meliputi antara lain supporting letter dari perusahaan yang melakukan proses heat treatment, upsetting pipa casing dan tubing, serta kewajiban bagi peserta tender untuk melakukan proses heat treatment dan upsetting di Indonesia. Alasan pencantuman persyaratan tersebut adalah didasarkan kepada kebijaksanaan pemerintah berdasarkan surat edaran Direktorat Pembinaan Pengusahaan Migas No. 005 perihal penggunaan fasilitas heat treatment dan threading di dalam negeri, surat edaran Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 657/396/DJM/97, Surat edaran Menteri Negara Koordinator bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 301/MK.WASPAN/7/1999 dan Surat edaran Menteri Pertambangan dan Energi nomor 698/03/MPE.P/1999, SK PERTAMINA no077.

PT Seamless Pipe Indonesia Jaya dan PT Citra Tubindo merupakan dua perusahaan yang mampu melakukan proses heat treatment dan upsetting. Karena kebijaksanaan pemerintah, terbentuk suatu kondisi dimana para peserta tender pengadaan pipa casing dan tubing yang memerlukan supporting letter untuk proses heat treatment dan upsetting pipa casing dan tubing tidak memiliki pilihan lain kecuali dari PT Seamless Pipe Indonesia Jaya dan PT Citra Tubindo.

Berdasarkan fakta – fakta yang diperoleh dalam pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan, pada tanggal 29 Agustus 2002 Majelis Komisi memutuskan perkara ini yang inti putusannnya sebagai berikut:

1. Menyatakan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (Terlapor I0 dan PT Citra Tubindo, Tbk (Terlapor II) tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 19 huruf d UU No. 5 tahun 1999;

2. Meminta kepada PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (Terlapor I0 dan PT Citra Tubindo, Tbk (Terlapor II) untuk tidak menggunakan posisi dominannya dengan cara melakukan diskriminasi dan atau menghambat pemberian supporting letter untuk fasilitas jasa heat

treatment dan atau upsetting bagi pelaku usaha yang membutuhkannya;

Meminta kepada PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (Terlapor I) dan PT Citra Tubindo, Tbk (Terlapor II) untuk melakukan kegiatan usaha secara adil, jujur dan terbuka dalam menetapkan harga jasa heat

(31)

Sementara itu, terdapat sejumlah perkara yang penanganannya tidak dapat diteruskan ke Tahap Pemeriksaan Lanjutan. Penghentian penanganan pada Tahap Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan karena tidak adanya bukti awal dan indikasi kuat akan pelanggaran UU No.5/1999.

Selama periode Januari sampai Desember 2002, perkara yang penanganannya hanya sampai Tahap Pemeriksaan Pendahuluan berjumlah 5 (lima) perkara, yaitu :

1. Perkara Nomor 11/KPPU-L/2001 mengenai Penentuan Daftar Rekanan Penilai di Bank Mandiri, yang penetapannya dibuat pada 19 Februari 2002.

2. Perkara Nomor 01/KPPU-L/2002 mengenai Lelang Pengadaan perangkat CCTV di PT Garuda Indonesia, yang penetapannya dibuat pada 7 Maret 2002.

3. Perkara Nomor 02/KPPU-L/2002 mengenai lelang pengadaan perangkat X-Ray di PT Garuda Indonesia yang penetapannya dibuat pada 7 Maret 2002.

4. Perkara Nomor 04/KPPU-L/2002 mengenai pelelangan pekerjaan di Kilang Pertamina UP-VI Balongan, yang penetapannya dibuat pada 16 Juli 2002.

Ringkasan Penetapan Komisi mengenai Penentuan Daftar Rekanan Penilai di Bank Mandiri dapat dilihat pada Boks 1.8.; mengenai Lelang Pengadaan perangkat CCTV di PT Garuda Indonesia pada Boks 1.9.; mengenai lelang pengadaan perangkat

(32)

pelelangan pekerjaan di Kilang Pertamina UP-VI Balongan pada Boks 1.11.

Boks 1.8

KASUS PENENTUAN DAFTAR REKANAN PENILAI DI BANK MANDIRI (PERKARA NOMOR 11/KPPU-L/2001)

Berawal dari Laporan salah satu asosiasi profesi di Jakarta (Pelapor), yang berisi tentang dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT. Bank Mandiri (Terlapor) dalam proses seleksi rekanan jasa penilai, KPPU membentuk Tim Pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan Pendahuluan.

Berdasarkan hasil Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa menemukan beberapa fakta sebagai berikut :

1. Dalam rangka membantu jalannya operasional perusahaannya, Terlapor membutuhkan jasa pihak ketiga;

2. Pada awalnya Terlapor sudah menunjuk 5 rekanan jasa penilai yaitu PT. Ujatek Baru, PT. Aktual Kencana Appraisal, PT. Asian Appraisal, PT. Satyatama Graha Tara dan PT. Aditya Appraisal Bhakti;

3. Terlapor tidak pernah melakukan pemberitahuan secara terbuka mengenai pendaftaran seleksi rekanan jasa penilai di lingkungan kerja Terlapor;

4. Pihak ketiga yang ingin menjadi rekanan penilai Terlapor harus mengajukan permohonan terlebih dahulu;

5. Terlapor mempunyai Komite khusus, yang terdiri dari Komite Teknis, Komite Pengarah, dan Komite Pemutus, yang bertugas untuk melakukan seleksi terhadap calon rekanan berdasarkan suatu kriteria dan prosedur yang telah ditetapkan;

6. Sampai dengan saat ini Terlapor ditingkat pusat telah memiliki 29 rekanan jasa penilai dan 6 rekanan jasa penilai yang sedang dalam proses seleksi, sedangkan di tingkat wilayah terdapat 46 rekanan jasa penilai dan 6 rekanan jasa penilai yang sedang dalam proses seleksi;

7. Meskipun Terlapor hanya memiliki rekanan jasa penilai lokal akan tetapi tidak menutup kemungkinan rekanan jasa penilai lokal tersebut dapat bekerja sama dengan perusahaan jasa penilai asing;

8. Pemerintah tidak pernah mengeluarkan suatu regulasi yang secara khusus mewajibkan bank-bank nasional untuk melakukan seleksi rekanan, yang ada hanya regulasi dari Departemen Keuangan mengenai Ujian Sertifikasi Penilai.

Berdasarkan hasil Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana tersebut di atas, Tim Pemeriksa menetapkan bahwa pemeriksaan perkara dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT. Bank Mandiri (Terlapor) tidak perlu dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan, karena tidak ditemukan bukti awal adanya pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

(33)

Boks 1.9

KASUS LELANG PENGADAAN PERANGKAT CCTV DI PT GARUDA INDONESIA (PERKARA NOMOR 01/KPPU-L/2002)

Perkara ini berawal dari laporan Pengaduan kepada KPPU, bahwa PT Garuda Indonesia telah melakukan penyimpangan dalam pelelangan pekerjaan Pengadaan Perangkat CCTV di Gudang Cargo Perwakilan Setempat Cengkareng. Pelapor menduga kriteria yang dipergunakan PT. Garuda Indonesia dalam tender pengadaan perangkat CCTV mengandung indikasi adanya praktek persaingan usaha yang tidak sehat.Berdasarkan laporan tersebut, KPPU menilai bahwa laporan tersebut telah lengkap dan jelas, sehingga Komisi memutuskan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan.

Keterangan yang diperoleh selama pemeriksaan pendahuluan baik dari Pelapor maupun dari pihak PT Garuda Indonesia menyatakan bahwa proses tender pengadaan CCTV yang tengah berjalan telah dihentikan oleh PT. Garuda Indonesia, karena adanya keberatan dan protes terus-menerus dari berbagai pihak. Karena tender telah dihentikan maka perkara ini tidak lagi menjadi kewenangan KPPU sehingga KPPU memutuskan untuk tidak melanjutkan perkara tender pengadaan CCTV oleh PT Garuda Indonesia ke dalam pemeriksaan lanjutan.

Boks 1.10

KASUS LELANG PENGADAAN PERANGKAT X-RAY DI PT GARUDA INDONESIA (PERKARA NO. 02/KPPU-L/2002)

Perkara ini berawal dari laporan Pengaduan kepada KPPU, bahwa PT Garuda Indonesia telah melakukan penyimpangan dalam pelelangan pekerjaan Pengadaan Perangkat X-Ray di Gudang Cargo Perwakilan Setempat Cengkareng. Pelapor menduga kriteria yang dipergunakan PT. Garuda Indonesia dalam tender pengadaan perangkat X-Ray ada indikasi adanya praktek persaingan usaha yang tidak sehat.

Berdasarkan laporan tersebut, KPPU menilai bahwa laporan tersebut telah lengkap dan jelas, sehingga Komisi memutuskan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan.

Keterangan yang diperoleh selama pemeriksaan pendahuluan baik dari Pelapor maupun dari pihak PT Garuda Indonesia menyatakan bahwa proses tender pengadaan X-Ray yang tengah berjalan telah dibatalkan oleh PT. Garuda Indonesia, karena adanya keberatan dan protes terus-menerus dari berbagai pihak.

Karena tender telah dibatalkan maka perkara ini tidak lagi menjadi kewenangan KPPU sehingga KPPU memutuskan untuk tidak melanjutkan perkara tender pengadaan X-Ray oleh PT Garuda Indonesia ke dalam pemeriksaan lanjutan

(34)

Boks 1.11

KASUS PELELANGAN PEKERJAAN DI KILANG PERTAMINA UP-VI BALONGAN (PERKARA NO. 04/KPPU-L/2002)

Berawal dari laporan salah satu pelaku usaha yang menjadi peserta tender Change Out Catalist

Atmosperic Hydrothreating Unit (COC) di Kilang Pertamina UP VI Balongan Tahun 2002 bahwa telah

terjadi persekongkolan dalam tender tersebut antara Pertamina UP VI Balongan dengan PT. Menara Megah sebagai pemenang tender.

KPPU kemudian menindaklanjuti laporan tersebut dengan melakukan Pemeriksaan Pendahuluan mulai tanggal 3 Juni 2002.

Dalam pemeriksaan ditemukan fakta-fakta antara lain :

- Tender diumumkan pada tanggal 8 Februari 2002 dilanjutkan dengan proses prakualifikasi dan 6 pelaku usaha dinyatakan lulus proses prakualifikasi masing-masing PT. Trubo Jurong dengan

guarantee letter dari Contract Resources Singapore, PT. Kharisma Hidrokarbon dengan guarantee letter dari Dialog/Technivac, PT. Anugerah Fatir dengan guarantee letter dari Contract

Resources Singapore, PT. Promits dengan guarantee letter dari Showa Esterindo Indonesia, PT. Menara Megah dan pelapor dengan guarantee letter dari Contract Resources Singapore.

- Proses selanjutnya adalah proses pre-bid meeting (rapat pemberian penjelasan) yang kemudian ditandatangani oleh 5 peserta.

- Setelah proses pre bid meeting, tahap selanjutnya adalah proses penawaran harga dan proposal

teknis dimana pelapor tidak dapat mengikuti proses ini karena guarantee letter dari principle Contract Resouces Singapore yang merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi oleh peserta tender dicabut.

- Pada akhirnya proses penawaran harga dan proposal teknis hanya diikuti oleh tiga perusahaan yaitu PT. Anugerah Fatir, PT. Menara Megah dan PT. Kharisma Hidrokarbon., yang kemudian setelah dilakukan pembukaan penawaran dimenangkan oleh PT. Menara Megah yang mempunyai penawaran terendah diantara ketiga peserta tender tersebut.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pendahuluan KPPU berkesimpulan tidak terjadi persekongkolan antara Pertamina UP VI Balongan dengan PT. Menara Megah, sehingga KPPU menetapkan tidak dilanjutkan ke Pemeriksaan Lanjutan dengan Penetapan No. 21/PEN/KPPU/VII/2002 tertanggal 16 Juli 2002.

(35)

D. Litigasi dan Monitoring Putusan

Terhadap putusan KPPU yang telah dibacakan di muka umum dan disampaikan kepada para pelaku usaha terlapor sepanjang tahun 2002, hampir semua pihak yang bersangkutan telah melaksanakan putusan terkait.

Untuk Putusan Komisi yang berkaitan dengan Kasus Penunjukan Rekanan Asuradur, PT. Bank BNI Tbk misalnya, pihak PT. Bank BNI Tbk telah mencabut perjanjiannya dengan PT. Wahana Tata, PT. MAI dan PT. Jasindo sesuai dengan Putusan Komisi No. 10/KPPU-L/2001. Pencabutan perjanjian – perjanjian ini membuka peluang bagi perusahaan asuransi lain untuk menjadi rekanan PT. Bank BNI Tbk.

Hal yang sama terjadi pada pelaksanaan Putusan Komisi tentang Perkara Tender Impor Bakalan Sapi di Jawa Timur. Pihak Koperasi Pribumi (KOPI) sebagai salah satu pihak yang dijatuhi sanksi, berdasarkan hasil monitoring Putusan, ternyata dapat menerima dan melaksanakan Putusan tersebut. Meskipun demikian, rekomendasi yang tertuang dalam Putusan Komisi untuk memberikan sanksi administrasi kepada drh. Sigit Hanggono – Kepala Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur dan Ir. Suhadji – Ketua Panitia Tender dalam kasus ini, ternyata tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur.

Dari hasil monitoring Putusan juga diketahui bahwa Rekomendasi KPPU kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti temuan – temuan tindakan pidana yang tertuang di dalam Putusan Komisi tentang Perkara Tender Penjualan Saham dan Obligasi Konversi PT. Indomobil Sukses Internasional Tbk (PT. IMSI),

(36)

ternyata juga tidak dilaksanakan, meskipun bukti – bukti awal telah dinilai cukup untuk melakukan penyidikan.

Kendati demikian, satu-satunya Putusan Komisi yang memerlukan upaya litigasi adalah Putusan Majelis Komisi mengenai Perkara Tender Penjualan Saham dan Obligasi Konversi PT. IMSI. Sebagaimana ditegaskan di dalam UU No. 5/1999, pelaku usaha yang berstatus terlapor dan diputuskan oleh Majelis Komisi telah melanggar Undang – undang ini, dapat mengajukan keberatan atas putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri, selambat – lambatnya 14 (empat belas) hari setelah yang bersangkutan menerima pemberitahuan putusan dari KPPU.

Berkaitan dengan hal itu, maka terhadap putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002 mengenai persekongkolan tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses International Tbk. pelaku – pelaku usaha yang dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 telah mengajukan berbagai gugatan, baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta maupun melalui peradilan perdata di Pengadilan Negeri setempat. Pelaku usaha tersebut adalah PT Bhakti Asset Management, PT Deloitte & Touche FAS, PT Holdiko Perkasa, PT Trimegah Securities, PT Cipta Sarana Duta Persada, Jimmy Masrin, PT Alpha Sekuritas Indonesia dan Pranata Hajadi. Pengajuan keberatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU No. 5/1999.

KPPU sangat berharap kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang menangani setiap perkara keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut dapat mengambil keputusan seadil-adilnya berdasarkan nurani keadilan seorang hakim tanpa pengaruh dari pihak manapun. Diharapkan pula bahwa Majelis Hakim dapat memahami asas dan tujuan UU No. 5/1999, serta kondisi-kondisi yang terkait.

(37)

Di tengah harapan itulah tampaknya fakta berbicara lain. Putusan Majelis Hakim terhadap 8 (delapan) perkara keberatan tadi ternyata mengabulkan permohonan pelaku – pelaku usaha tersebut yang telah dinyatakan bersalah oleh Majelis Komisi. Majelis Hakim di 3 (tiga) Pengadilan Negeri secara hampir serempak membatalkan Putusan Majelis Komisi No. 03/KPPU-I/2002.

Belum tersedianya hukum acara penanganan perkara keberatan atas Putusan KPPU di Pengadilan tampaknya menjadi batu sandungan dan bakal menjadi kendala besar, bagi pelaksanaan UU No. 5/1999. Karena itu di tengah proses keberatan KPPU atas Putusan – putusan Majelis Hakim di tingkat Pengadilan Negeri seperti tersebut di atas, KPPU menaruh harapan besar terhadap kearifan Mahkamah Agung RI, paling tidak dalam dua hal.

Pertama, menangani perkara keberatan yang berkaitan dengan kasus persaingan usaha dengan seadil-adilnya dengan pertimbangan hukum seluas-luasnya, termasuk pertimbangan ekonomi, sebagai wujud dukungannya terhadap upaya memperbaiki iklim usaha khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Kedua, menerbitkan dengan segera Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) mengenai Tata Cara Penanganan Perkara Keberatan terhadap Putusan KPPU.

(38)

BAB V

PELAKSANAAN MONITORING, KAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

Selain bersumber dari laporan publik, perkara yang diperiksa dapat pula bersumber dari inisiatif KPPU. Perkara-perkara inisiatif ini merupakan hasil-hasil program monitoring pelaku usaha dan kajian industri. Dalam rangka mengumpulkan informasi untuk mendukung pelaksanaan monitoring pelaku usaha dan kajian industri dan regulasi, KPPU mengembangkan pula program dengar pendapat publik (public hearing).

Tetapi pelaksanaan program monitoring pelaku usaha, kajian industri dan dengar pendapat tidak hanya dilakukan untuk mendukung penanganan perkara. Pelaksanaan program-program ini juga dilakukan untuk mendukung tugas lain KPPU, yakni pemberian saran dan pertimbangan kebijakan kepada pemerintah. Dengan kata lain, program-program ini juga dilaksanakan untuk mengevaluasi regulasi dan kebijakan pemerintah dalam konteks pengembangan kebijakan.

A. Monitoring

Program kegiatan monitoring pelaku usaha dilakukan untuk menindaklanjuti munculnya dugaan pelanggaran UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh pelaku usaha tertentu. Dugaan pelanggaran ini bisa berasal dari laporan ataupun hasil pengamatan dan penelitian KPPU terhadap perkembangan yang terjadi di sektor atau kegiatan usaha tertentu.

Dalam pelaksanaanya program monitoring dilakukan melalui penelitian yang cermat dan seksama terhadap perilaku pelaku usaha yang dimonitor. Tim Monitoring melakukan pengumpulan

Referensi

Dokumen terkait

Kami warga pendidik Sekolah Kebangsaan Seri Gambut akan Melaksanakan tugas dengan amanah, cekap, cepat dan tepat untuk melahirkan insan yang cemerlang dalam bidang kurikulum

Setelah 30 menit, tambahkan campuran asam sulfat dan asam asetat dengan perbandingan optimal yang telah diketahui berdasarkan proses sebelumnya lalu diaduk selama 30 menit pada

[r]

Alor Tahun Anggaran 2016 melalui Surat Penetapan Pemenang Pelelangan Umum Nomor: 503.ULP/POKJA KONST/VI/2016 tanggal 24 Juni 2016 telah menetapkan Pemenang Pelelangan Umum

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra Yogyakarta. Keperluan :

Pada hari ini Rabu tanggal Sepuluh bulan Agustus Tahun Dua Ribu Enam Belas kami selaku Kelompok Kerja III Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Barito Timur yang ditetapkan berdasarkan

Sehubungan dengan Pelelangan Paket Pekerjaan Pembuatan Tanggul dan Normalisasi Sungai Lawe Kute Desa Muara Batu pada Dinas Pengairan Kabupaten Aceh Tenggara Sumber Dana APBK

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra Yogyakarta. Keperluan :