• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN AMANDEMEN UUD 1945 DALAM MENGATUR KESEIMBANGAN ANTARA KEKUASAAN EKSEKUTIF DAN LEGISTALIF DALAM SISTEM PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN AMANDEMEN UUD 1945 DALAM MENGATUR KESEIMBANGAN ANTARA KEKUASAAN EKSEKUTIF DAN LEGISTALIF DALAM SISTEM PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN AMANDEMEN UUD 1945 DALAM MENGATUR

KESEIMBANGAN ANTARA KEKUASAAN EKSEKUTIF DAN

LEGISTALIF DALAM SISTEM PEMERINTAH REPUBLIK

INDONESIA

Sumi Hartoyo

Email : Sumihartoyo@ut.co.id

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukun UNS Surakarta Moh Jamin

Email : Jamin_mh@yahoo.com Supanto

Email : Supanto.8787@gmail.com Dosen Fakultas Hukum UNS

Abstract

This article aims: what is be restriction wisdom existence reason kekuasan executive in republic of indonesia country constitution amendment year 1945 and, are republic of indonesia country constitution amendment result norms year 1945 creation check and balances in republic of indonesia government system. this watchfulness bases in law watchfulness kind normatif or explanation doktrinal, with analyze law ingredients related to troubleshoot. watchfulness result is concluded that is that executive power restriction is democratic government creation and democratic body politic creation, constitution amendment negera republic of indonesia tahun1945 creation check and balances in government system

Keyword: amandemen constitution 1945, executive power restriction, check and balances

Abstrak

Artikel ini hendak mengkaji: Apakah yang menjadi alasan adanya kebijakan pembatasan kekuasan eksekutif dalam amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan, apakah Norma-norma hasil amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat terciptanya check and balances dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Penelitian ini mendasarkan pada jenis penelitian hukum normatif atau pengertian doktrinal, dengan menganalisis bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan. Hasil penelitian disimpulkan yakni pembatasan kekuasaan eksekutif itu terciptanya pemerintahan yang demokratis dan terciptanya negara hukum yang demokratis, Amandemen UUD Negera Republik Indonesia Tahun1945 telah terciptanya check and balances dalam sistem pemerintahan Kata Kunci : Amandemen UUD 1945, pembatasan kekuasaan eksekutif, check and balances

A. Pendahuluan

Kemunculannya asas Demokrasi di Eropa abad XIX, hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan) di era modern. Untuk itu timbulah gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik tertulis maupun tidak tertulis. Di atas konstitusi inilah bisa ditentukan batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak-hak politik rakyat, sehingga kek uasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan inilah yang kemudian dinamakan

konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan (Meriam Budiarjo, 1982. Dasar–dasar Hukum Politik, Jakarta, PT Gramedai Hal 97). Dalam gagasan konstitusionalisme undang-undang dasar dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak asasi manusia dari warganegaranya.

Di Indonesia, sebagaimana telah diketahui bersama bahwa yang dimaksud dengan konstitusi adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara yang secara

(2)

formal sekaligus sumber hukum tertinggi di Indonesia, telah memilih konsep kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945; Kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Namun dalam kenyataan empirik sepanjang sejarah berlakunya Undang Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) selalu menimbulkan pemerintahan yang tidak demokratis karena Undang Undang Dasar ini kurang memenuhi syarat sebagaimana dituntut oleh ajaran konstitusionalisme yang harus menutup pintu bagi pemerintahan otoriter. Tegasnya ajaran konstitusionalisme yang telah digagas lebih awal daripada konstitusi itu sendiri, mengajarkan bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaan harus diperinci secara tegas (Miram Budiarjo, 1982, Dasar-dasar Hukum

Politik. PT. Gramedia. Jakarta Hal 97 ).

Menurut Mahfud. MD, bahwa langkah awal reformasi adalah reformasi konstitusi (Mahfud MD, Konstitusi dan hukum dalam kontroversi Dalam pandangannya, era reformasi merupakan momentum yang bagus untuk melakukan reformasi terhadap Undang Undang Dasar 1945. Tidak ada catatan resmi siapa pihak atau kelompok maupun organisasi yang pertama kali melontarkan gagasan amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945 di era reformasi. Hanya saja berbagai kelompok mahasiswa yang mengusung agenda reformasi pada tahun 1998 telah mencantumkan tuntutan berupa amandemen Undang Undang Dasar 1945.

Gagasan mengenai perlunya perubahan terhadap Undang Undang Dasar 1945 makin menunjukkan arah yang lebih nyata ketika pemerintahan di pimpinan Presiden Habibie membentuk suatu panel di bawah Kantor Wakil Presiden dengan beranggotakan, antara lain, Bagir Manan, Sri Soemantri, Jimly Asshiddiqie, Ismail Suny, Adnan Buyung Nasution, Yusril Ihza Mahendra, Harun Alrasyid, Abdulkadir Besar (Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung Setjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI Jakarta 2006 Hal.7).

Selanjutnya perubahan politik yang terjadi sebagai hasil pemilihan umum tahun 1999 mengukuhkan MPR sebagai pengendali dalam proses perubahan, serta tidak menafikan

legislatif dalam sistem pemerintahan republik indonesia.

B. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian hukum normative, dan menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hukum. Data yang digunakan , berupa data sekunder meliputi:

1. Bahan-bahan hukum Primer :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer antara lain :

a. Hasil Karya (Ilmiah) dari kalangan hukum b. Hasil-hasil penelitian terdahulu yang

relevan.

c. R i s a l a h - r i s a l a h p e m b a h a s a n persidangan-persidangan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

1. Alasan adanya Kebijakan Pembatasan Kekuasaan Eksekutif dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Secara Garis besar bahwa alasan pembatasan kekuasaan eksekutif di Indonesia sangat diperlukan sebab:

a. Untuk m ewujudkan pemer intahan yang demokratis maka masa jabatan Presiden yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ini berarti setiap 5 tahun Presiden bisa dipilih lagi harus di amandemen. Ketentuan ini bisa menjadikan Presiden seumur hidup, dan akan membahayakan demokrasi sebab tanpa ada pembatasan masa jabatan. Tiadanya pembatasan jabatan Presiden akan menimbulkan : 1) Presiden akan otoriter

2) Akan terjadi kolosi, korupsi dan nepotisme

3) Timbul kultus individu

4) Tidak ada regenerasi yang baik Berdasar alasan tersebut masa jabatan Presiden harus dibatasi dengan

(3)

sehingga dapat memenuhi rasa keadilan dan mengurangi sifat tamak dan dapat mewujudkan regenerasi positif dan berkesinambungan karena memberi kesempatan generasi muda. Pembatasan masa jabatan presiden dilakukan dengan mengubah Pasal 7 Undang-undang Dasar 1945 yang di amandemen menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 Tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Dengan berdasar Pasal 7 Undang Undang Dasar 1945 hasil amandeman ini tegas membatasi masa jabatan Presiden sehingga tidak bisa ditafsirkan dengan pengertian lain. b. Untuk mewujudkan negara hukum yang

demokratis kekuasaan eksekutif harus dibatasi dalam campur tangan urusan yudikatif, sebab dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang asli Pasal 24 ayat 1 menyatakan ”Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang Undang. Lahirnya Undang Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah membelenggu para hakim dan advokat serta para intelektual, sebab dalam Pasal 19 ada ketentuan bahwa Presiden boleh campur tangan dengan leluasa dalam tiap tahapan proses peradilan demi kelangsungan revolusi atau kepentingan nasional. Hal tersebut dipertegas oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada konsiderannya jelas menyebutkan bahwa Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lemahnya posisi pengadilan semakin nyata apabila dalam pelaksanaannya tugasnya berhadapan dengan kepentingan pemerintah.

Dengan dicabutnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tersebut maka kewenangan presiden untuk melakukan intervensi terhadap proses pemeriksaan perkara tidak lagi memiliki payung hukum. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 membawa spirit perubahan yang mendasar pada kekuasaan kehakiman.

Pasal 11 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi :

“Badan-badan yang melakukan pe r a di la n t e r s eb ut P as a l 10 ( 1 ) ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan”.

Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa untuk melakukan intervensi kedalam proses peradilan, maka menurut peneliti peluang eksekutif harus dibatasi dengan Undang-Undang Dasar bukan hanya dengan Undang Undang supaya tidak bisa lagi ikut campur dalam urusan pengadilan. Setelah munculnya Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen, khusus Pasal 24 ayat (1) dan (2), dan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka kedudukan pengadilan semakin kuat dan sulit diintervensi oleh kekuasaan eksekutif tetapi berganti yang mengintervensi orang yang bermasalah tetapi mempunyai uang banyak untuk mengintervensi.

c. Untuk menjadikan kedudukan Presiden dan DPR sederajad. Kekuasaan eksekutif harus dibatasi terhadap kekuasaan legislasi, sebab Pasal 21 ayat (2) Undang Undang dasar 1945 yang asli, menyatakan Rancangan Undang Undang yang sudah disetujui oleh eksekutif dan legislatif tidak disahkan oleh Preseiden maka Rancangan Undang Undangh tidak bisa diajukan lagi dalam persidangan, ini menggambarkan bahwa kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membuat Undang-Undang rendah atau lemah. Hal ini tercermin dalam hal Rancangan Undang Undang Penyiaran dimana Rancangan Undang Undang itu sudah disetujui oleh eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat, namun Dewan Perwakilan Rakyat diminta merevisi Rancangan Undang Undang tersebut. Ini menjadikan alasan untuk membatasi kekuasaan eksekutif dalam hal legislasi. Dengan Pasal 20 ayat 5 Undang Undang 1945 hasil amendemen yang menyatakan bahwa, dalam hal rancangan Undang Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu

(4)

30 hari semenjak rancangan disetujui, rancangan Undang Undang tersebut sah menjadi Undang Undang dan wajib di Undangkan. Dengan Pasal 20 ayat 5 Undang Undang Dasar 1945 hasil amendemen ini Presiden tidak dapat lagi menggantung rancangan Undang Undang yang telah disetujui untuk menunggu pengesahan dari Peresiden, apalagi membatalkannnya.

d. Untuk pengangkatan Duta oleh Presiden perlu dibatasi. Pasal 13 ayat 1 Undang-u nd a ng D as ar Ne g ar a R e pUndang-u b li k Indonesia Tahun 1945 yang asli mengatur pengangkatan Duta penuh ditangan Presiden. Akibatnya dalam penempatan Duta oleh Presiden kadang-kadang kurang sesuai dalam memilih Duta tersebut. Karena tidak sesuai dengan keahliannya, dan tidak bisa mewakili negara Indonesia dimana ia ditempatkan. K a r e n a d a s a r p en g an g k a t a nn y a berdasarkan kepentingan Presiden sperti orang yang tidak disukai karena kritis dalam pemikiran, maka orang-orang itu akan dijadikan Duta Besar k ar ena dianggap m embahay akan penguasa, atau pengangkatan sebagai duta besar sebagai politik balas budi. Maka untuk mengatisipasi hal itu Pasal 13 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen menyatakan: dalam hal mengangkat duta Presiden memperhatiakn pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat diaharapkan Presiden tidak seenaknya mengangkat duta besar sehingga politik menyingkirkan lawan dan balas budi dapat dihindari.

e. Dalam hal pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi kekuasaan Presiden yang tertuang dalam Pasal 14 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang asli yang berbunyi ” Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi” pasal tersebut perlu diubah. Sebab kekuasaan Presiden dalam menjalankan Pasal 14 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika tidak dibatasi akan melemahkan upaya penegakan hukum dan melumpuhkan efek jera dan akan menghancurkan moral penegak hukum, karena ia merasa kerja kerasnya

tersebut. Dengan alasan tersebut Undang Undang Dasar 1945 yang diamandemen yang berbunyi: presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan per tim bangan Mahk am ah A gung. Dengan pertimbangan mahkamah Agung diharapkan Persiden menelusuri rekam jejak orang-orang yang akan diberi grasi dan rehabilitasi sehingga dalam pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden dapat mewujutkan keadilan baik dari segi hukum maupun adil bagi masyarakat. Dalam hal pemberi amnesti dan abolisi menurut Pasal 14 ayat 2 Undang Undang Dasar yang diamandemen Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembatasan kekuasanan Presiden diharapkan bahwa hal tersebut dalam pemberian amnesti dan abolisis akan bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

f. Presiden dalam memberikan gelar tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dalam Pasal 15 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dibatasi sebab bila tidak ada batas-batas yang jelas akan menimbulkan masalah karena untuk mendapat gelar, tanda jasa, itu harus memenuhi kriteria misalnya:

1) Memiliki keteladan dan intregritas moral

2) Berkelakuan baik

3) Berjasa terhadap negara dan bangsa 4) Tidak pernah dihukum

5) Tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara

6) Pernah angkat senjata dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia

Sehingga jangan sampai mendapat jasa, dan gelar tetapi masa lalunya pernah menjadi pengkhianat bangsa, maka perlu pertimbangan baik dari lembaga-lembaga negara maupun masyarakat. Dengan berlakunya pasal 15 Undang undang Dasar 1945 yang diamandemen yang berbunyi : Presiden memberi gelar, tanda jasa dan Lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan Undang Undang. Dengan terbitnya Undang Undang No 20 tahun 2009, sehingga Presiden tidak bisa lagi dapat

(5)

dibatasi oleah Undang-undang tersebut. 2. K e m a m p u a n N o r m a - n o r m a H a s i l Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dalam mewujudkan Check and Balance dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia.

Menurut Peneliti ada lima hal yang menjadi permasalahan tentang kedudukan presiden dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

a. Dalam perubahan Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 presiden yang semula mempunyai kekuasaan membentuk Undang Undang, berdasarkan Pasal 20 ayat 1 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari hasil amandemen kekuasaan membentuk Undang Undang beralih dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat , ini menurut peneliti hanya menjadi beban Dewan Perwakilan Rakyat , karena Dewan Perwakilan Rakyat tidak memiliki tenaga yang ahli dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya hanya menyetujui, merubah dari isi Rancangan Undang Undang tersebut. Penyusunan prolegnas tidak diserta data-data atau hasil kajian yang valid. Kebanyakan prolegnas Rancangan Un d an g Un da ng in i s ia t if De wa n Perwakilan Rakyat hanya mengajukan judulnya saja tanpa diserta dengan naskah akademik atau kajian-kajian sebelumnya yang membuktikan bahwa Rancangan Undang Undang tersebut penting bagi kehidupan Indonesia. Dalam paraktenya Rancangan Undang Undang usulan perintah lebih rapi dan siap dibandingkan Rancangan Undang Undang usulan Dewan Perwakilan Rakyat (Desain Hukum Hal 11. No. 2 Tahun 2011 Hal 7) dalam proses pembentukan UU ini kedudukan presiden sangat kuat sebab UU yang susah payah dirancang oleh Dewan Perwakilan Rakyat bila tidak disetujui oleh Presiden tidak ada artinya sehingga hanya membuang waktu.

b. Kedudukan presiden Pasal 7 B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diamandemen.

Memberi kedudukan Presiden lebih kuat dalam memerintah sebab presiden tidak serta merta bisa dijatuhkan oleh MPR dari usulan Dewan Perwakilan

Rakyat , usulan pemberhentian presiden dan wakil presiden harus diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat ke MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan ke MK untuk memeriksa, mengadili dan memutusan pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, Korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan / atau presiden dan / atau wakil presiden tak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden Pasal 7B ayat 1 UUD 1945 yang diamandemen. Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 yang diamandemen, pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 yang diamandemen, apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan atau wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negera, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan atau terbukti bahwa presiden dan atau wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian presiden dan wakil presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Keputusan Majelis Permusyawaratan Rak yat atas us ul pem ber hentian presiden dan atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan mengatakan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. sehingga sulit untuk menjatuhkan presiden sehingga ini memperkuat sistem presidentil menurut peneliti Presiden mempunyai keleluasaan dalam menjalankan APBN dan tidak dituntut bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat tetapi bertanggung jawab pada hukum. c. Pengangkatan dan penerimaan Duta

(6)

Pasal 13 ayat 2 dalam mengangkat D u t a , P r e s i d e n m e m p e r h a t i k a n pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut penulis pengangkatan Duta oleh Presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ini penting supaya pengangkatan bisa lebih tepat karena mewakili kepentingan bangsa, sebelum amandemen UUD 1945 pengangkatan Duta terkesan untuk membuang orang-orang dekat Presiden yang banyak mengkritisi atau orang yang melakukan kesalahan tetapi dekat dengan presiden semua itu karena tidak ada pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat .

Menurut Pasal 13 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen, Presiden menerima penempatan duta Negara lainnya memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat hal ini menyulitkan presiden, sebab apabila Dewan Perwakilan Rakyat memberi pertimbangan yang intinya menolak akan membuat Negara yang mengirim akan tersinggung sehingga menjadikan permasalahan dengan Negara lain. Pengangkatan dan penerimaan duta tidak lagi hak preogratif Presiden secara penuh karena meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini akan membuat Presiden lebih jeli dalam menerima duta dan untuk menerliti apakh duta yang dikirim itu pernah mempunyai masalah dengan Indonesia atau tidak, maka perlu pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi apabila Dewan Perwakilan Rakyat memebri pertimbangan untuk menolak maka akan menjadikan Negara yang menempatkan dutanya akan tersinggung dan akan menjadikan ketegangan hubungan anatara Indonesia sebagai penerima dengan Negara yang menempatkan dutanya di Indonesia.

d. Pemberian grasi dan rehabilitasi Pasal 14 ayat 1.

P r es i den m em ber i gr a s i da n rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Makamah Agung Pasal 14 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukkan hak prerogatif Presiden terganggu oleh pertimbangan Makamah

Agung.

Menurut peneliti hal ini kurang tepat sebab Pasal 13 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan mempengaruhi perilaku Presiden selaku kepala negara untuk memberikan grasi dan rehabilitasi terhadap seseorang. Sebab terpidana itu adalah masalah yang sudah diurusi oleh MA dan dimintakan pertimbangan MA lagi oleh Presiden jelas ini akan menghasilkan pertimbangan – pertimbangan masa lalu yang telah diputuskan oleh MA. Presiden dalam permintaan pertimbangan kepada MA itu harus pertimbangan-pertimbangan diluar hukum saja misalnya masalah kemanusiaan, masalah usia, masalah keamanan, masalah kelakukan dan lain-lain.

e. Presiden memberi amnesti dan abolisi memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 14 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut peneliti pemberian amnesti dan abolisi harus memperhatik an pertimbangan DPR, hal ini diperlukan untuk demi menjaga keamanan dan keadilan dalam masyarakat, sehingga untuk memberi manesti Presiden perlu pertimbangan DPR, sebab amnesti itu bila tidak tepat akan mengganggu keamanan masyarakat dan Negara. Sedangkan pemberian abolisi Presiden perlu perlu pertimbangan DPR ini untuk menjaga keadilan demi hukum dan demi kepentingan umum dengan pertimbangan DPR akan menghasilkan abolisi yang adil.

D. Kesimpulan

1. Alasan adanya Kebijakan Pembatasan Kekuasaan Eksekutif dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

a. Pembatasan masa jabatan Presiden dap at m ewujud ka n Ne gar a ya ng demokratis dan regenerasi yang baik. b. Pembatasan kekuas aan eksekutif

dalam campur tangan yudikatif akan mewujudkan Negara hukum demokratis. c. Pembatasan kekuas aan eksekutif dalam hal legislasi perlu sekali sehingga

(7)

pengesahan RUU yang telah disetujui bersama tidak ada lagi hambatan. d. Hak prerogratif Presiden perlu dibatasi

sehingga dalam mener apkan hak prerogratifnya dapat dijalankan secara adil.

2. Kemampuan Norma-norma Hasil Amandemen U nd a ng - U n da n g D as ar 1 94 5 da l am mewujudkan Check and Balance dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia. a. Norma yang diatur dalam Pasal 20 ayat

1 UUD 1945 yang telah diamandemen telah mewujudkan Check and Balance dalam pembuatan Undang-undang b. Norma dalam Pasal 7 B UUD 1945 yang

diamandemen memberi kedudukan yang kuat Presiden dalam memerintah. c. Norma dalam Pasal 13 ayat 2 dan Pasal

13 ayat 3 menunjukkan penugasan maupun penerimaan duta telah melalui

d. Norma Pasal 14 ayat 1 Persiden dalam memberi grasi dan rehabiltasi dengan pertimbangan MA adalah pertimbangan yang menyangkut masalah kemanusiaan misalnya usia,keamanan,kelakuan, sehingga bukan pertimbangan dalm hal hukum.

e. Norma Pasal 14 ayat 2 yang diamandemen Presiden dalam memberi amnesti dan abolisi meminta pertimbangan DPR adalah demi mewujudkan keamanan dalam masyarakat dan negara serta demi keadilan dan kepentingan umum. E. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi diatas disarankan

Presiden harus melaksanakan dengan kosekuen pertimbangan DPR maupun MA, namun pertimbangan ini jangan merupakan satu-satunya dasar bagi Presiden dalam membuat keputusan.

Daftar Pustaka

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Prenada Media Group, Jakarta Adi Wibowo. 2008. Hukum dan Implementasi Kebijakan. Jakarta: Gramedia

A.G Subarsono. 2005. Evaluasi kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bagir Manan. 1999. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: Gama Media Offset.

Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. Burhan Ashofa. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, 2010. Teori dan Hukum Konstitusi

________2009. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 2 - Undang Undang Dasar 1945 dan

Pembahasan, Jakarta: Jalur Mas Media.

Dimyati Hartono, 2009, Problematik dan solusi Amandemen Undang Undang Dasar 1945. PT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Esmi Warassih Pujirahayu. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru Utama.

H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Pers.

Indriyanto Seno Aji, 2009, Humanisme dan Pembaharuan Penegakan hukum. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

(8)

Irfan Islamy, 2007, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, 2006, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden

secara Langsung, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Johny Ibrahim, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media Publishing. Malang. Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mahfud M.D. 1999. Hukum Dan Pilar Demokrasi. Gama Media. Yogyakarta: .2009. Konstitusi dan Hukum

Dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT.

.2010.Perdebatan Hukum Tatanegara Pasca Amandemen Konstitusi

Miriam Budiardjo, 1982, Dasar-dasar Hukum Politik. Jakarta: PT. Gramedia.

Postpositivist Analysis of the Politics of the Polycy Process”, Policy Studies Journal, Vol. 26, No. 3 Moh Kusnardi, Bintan R. Saragih, 2008. Hukum Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Ni’matul Huda, 2010, Ilmu Negara

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Philippe Nonet, Philip Selzmick, 2008, Hukum Responsif. Bandung: Penerbit Nusa Media.

Richard d. Aidrich. 2007. “Judicial Independence in a Democratic Society, The Advocate”, The Law Review

of The International Academy of Trial Lawyers. Vol.1. No.l. January.

Robert Saidman dan Chamblis. 1971. Law, Order and Power,

Scott Barclay. 1999. “Law and Policy”, Policy Studies Journal. Vol. 27. No. 1

Setiono. 2004. Materi Matrikulasi Hukum dan Kebijakan Publik, Surakarta: Pascasarjana UNS

Solichin Abdul Wahab, 2008, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan

Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Soetandyo Wognjosoebroto. 2002. Hukum. Paradigma dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa).

Soerjono Sukanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan Undang Undang Dasar di Indonesia 1945-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia.

Ghalia Indonesia. Bogor.

Thomas Biekland. 1998. “Law, Policy Making, and the Policy Proces: Closing the Gaps, Policy Studies

Journal, Vol. 26, No. 2

Winarno Surakhmad.1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. Yogyakarta: Transito

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Perundang-Undangan Yang Baik. Jakarta: PT. Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Konsultasi Laporan PPL Konsultasi terkait dengan Daftar nilai yang akan diserahkan kepada Ibu arini yang harus dipenuhi bagi siswa – siswi yang belum tuntas remedial selain itu

Berdasar hasil survey dan wawancara alasan mengapa para pelanggan berbelanja di Indomaret adalah harga yang lebih murah dari pada Alfamart, pelayanan yang lebih

Penelitian ini ada lah untuk mengetahui Hubungan antara Masa kerja dan Arah Angin Dengan Kadar Kolinesterase Darah Pada Petani Padi Pengguna Pestisida di Desa Pangian Tengah,

Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa masa kerja petani lama ( > 1 tahun) mempunyai risiko 5 kali lebih besar untuk mengalami keracunan pestisida bila dibandingkan

Wakil dari Angkutan Laut, yang ditunjuk oleh Kepala Staf Angkatan Laut, sebagai Wakil Ketua I merangkap anggota;.. Wakil dari Angkatan Darat, yang ditunjuk oleh Kepala

Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu pemberlakuan perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

Leuwih écésna Modul Diklat Guru Pembelajar Basa Sunda Kelompok Kompeténsi Gngawengku 10matéri poko, nu ngawengku 4 (opat) matéri poko kompeténsi pédagogik, jeung 6

Ramli Eksekutif membutuhkan suatu perangkat lunak yang membantu perhitungan Harga Pokok Produksi dan mengestimasi aktivitas-aktivitasnya sehingga menghasilkan cost