• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan memakan waktu yang tidak pendek. 1. meningkatnya kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan memakan waktu yang tidak pendek. 1. meningkatnya kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masyarakat selalu mengalami perubahan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak perlu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi kondisi yang tercipta adalah hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat sehingga peristiwa-peristiwa yang sebenarnya merupakan perbuatan melawan hukum tak dapat diatasi hanya karena hukumya tidak atau belum ada. Kondisi ini tercipta karena hukum yang dikembangkan lebih ditekankan kepada hukum tertulis, yang pembuatan dan pemberlakuannya dilakukan melalui prosedur tertentu dan memakan waktu yang tidak pendek.1

Perkembangan masyarakat memiliki dampak yang positif berupa meningkatnya kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan kemanusiaan dan dampak negatif berupa munculnya kejahatan yang mengancam kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Meski demikian tidak semua perkembangan masyarakat memiliki perkembangan negatif. Tak dapat di tentukan secara pasti bahwa perubahan masyarakat itu akan menimbulkan kejahatan sebagaimana ditetapkan dalam Forth United Nations congress on the prevention of crime and the treatment of offender ataupun

1

Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika , Jakarta 2008 hal 5-6

(2)

sebaliknya perubahan masyarakat mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kongres PBB tersebut mengakui bahwa beberapa aspek penting dari perkembangan masyarakat dianggap potensial sebagai kriminogen, artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan kejahatan. Aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi pertambahan penduduk, perpindahan penduduk setempat, mobilitas sosial dan perubahan teknologi.2

Faktor kriminogen dari perkembangan masyarakat itu muncul dalam bentuk kejahatan yang tiada bandingnya dalam KUHP atau dengan kata lain merupakan kejahatan jenis baru. Hukum pidana sebagai sebuah bidang kajian memiliki keterbatasan, yang menyebabkan hukum pidana tak mampu menjangkau sebab-sebab kejahatan yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, dan hukum pidana hanyalah bagian kecil dari sarana kontrol sosial masyarakat yang tak dapat menjadi obat mujarab bagi keseluruhan persoalan kejahatan.3

Hal ini tentunya adalah suatu keadaan yang menggambarkan keadaan yang tidak baik Dimana penegakan hukum akan sulit tercapai, maka cita-cita luhur bangsa untuk memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, khususnya bagi mereka yang mencari keadilan.akan sulit terealisasi. Jika kita berpegang secara teguh terhdap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP maka konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang belum ada di atur dalam undang-undang sebelumnya maka pelakunya akan bebas dari jerat hukum. Jika dikaitkan dengan persoalan

2

Ibid, hal 7-8

3

(3)

keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan fungsinya dengan membiarkan ketidak adilan bagi para korban dan menguntungkan para pelaku kejahatan.

Perkembangan konsekuensi dari salah satu asas fundamental dalam hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pidana berdasarkan waktu (lex temporis de licti) atau yang biasa dikenal dengan asas legalitas khususnya yang berkaitan dengan asas retro aktif (berlaku surut).

Ketentuan seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga buah asas yang sangat penting yaitu :4

1. Bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis

2. Bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut dan

3. Bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana.

4

P.A.F. Lamintang,., Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, hal. 140

(4)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimanakah pemberlakuan asas retroaktif dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia 3. Bagaimanakah perkembangan asas retroaktif dalam tindak pidana korupsi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan asas retroaktif dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia.

3. Untuk mengetahui Bagaimanakah kebijakan perkembangan asas retroaktif dalam tindak pidana korupsi.

(5)

1. Secara teoritis, melalui penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pemikiran serta pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana, baik untuk kalangan mahasiswa sendiri atau para akademisi sebagai bibit unggul yang akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang.

2. Manfaat praktis, diharapkan pula melalui penulisaan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan proses peradilan yang baik dan tepat, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang mencari keadilan dan dapat memberikan rasa keadilan yang sebesar-besarnya di tengah masyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Pemberlakuan Asas Retroaktif dan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia ”, ini diangkat karena penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang paradigma hukum di negara kita yang menganut asas legalitas namun dalam pelaksanaannya telah terjadi perubahan paradigma yaitu dengan menerapkan asas retroaktif yang secara teori bertentangan dengan asas legalitas yang kita anut yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP .

Menurut penulis, banyak pembahasan mengenai asas legalitas, namun dalam hal ini penulis menitik beratkan pada pergeseran nilai atau perubahan paradigma yang terjadi dalam pemberlakuan hukum Pidana. Dimana asas legalitas yang kita anut selama ini bertujuan untuk melindungi Hak Asasi

(6)

Manusia, namun di lain pihak asas itu harus di simpangi dengan alasan perlindungan Hak Asasi Manusia juga yaitu dengan memberlakukan asas retroaktif yang secara nyata tidak sesuai dengan asas legalitas.

Oleh sebab itu, keaslian skripsi ini masih terjamin adanya. Apabila ditemukan tulisan atau judul yang hampir bersamaan dengan skripsi ini, apabila ditinjau pembahasan dan titik berat permasalahannya maka akan ditemuai perbedaan secara nyata yang akan membedakan skripsi ini dengan tulisan atau skripsi yang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif

Seperti yang telah di kemukakan, bahwa dalam dunia akademik fakultas hukum, masalah pemberlakuan retroaktif hanya dibahas sebagai pelengkap pembahasan asas legalitas dalam pasal 1 ayat(1) KUHP , namun setelah diterbitkannya Perpu No.1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dimana terkandung dan akan diterapkannya asas retoaktif. Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas legalitas atau “principle of legality” atas dasar extra ordinary crime seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat .

Masalah yang perlu mendapat pengkajian mendalam adalah makna retroaktif itu sendiri, artinya apakah retroaktif hanya berlaku terhadap undang baru yang menciptakan delik baru ataukah juga berlaku terhadap undang-undang baru yang juga merupakan perubahan dari undang-undang-undang-undang lama sehingga

(7)

tidak menciptakan delik baru. Makna dari pemberlakuan secara retroaktif itu adalah hanya terbatas pada delik baru yang memenuhi kriteria perbuatan-perbuatan yang membahayakan kelangsungan hidup negara, bangsa dan masyarakat.

Apabila membahas tentang pemberlakuan hukum pidana, secara garis besar dapat dibedakan dua garis besar pemberlakun hukum pidana yaitu pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat.5

Ini berarti bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita hanya dapat diberlakukan bagi tindakan-tindakan yang telah dilakukan orang 1.1 Berlakunya Undang-undang Pidana menurut Waktu.

Bila kita membahas tentang Pasal 1 ayat (1) KUHP, dikatakan bahwa ketentuan pidana seperti yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP antara lain mengandung sebuah asas yang mengatakan bahwa undang-undang pidana yang beraku di negara kita tidak dapat diberlakukan secara surut.

Asas tersebut ternyata adalah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 2 dari Algemene van Wetgeving voor Indonesia yang mengatakan :

De wet Verbindt alleen voor het toekomende en heeft geene

terugwerkende kracht” yang artinya : undang-undang itu hanya mengikat bagi hal-hal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan untuk diberlakukan surut.

5

(8)

setelah undang-undang pidana tersebut mempunyai suatu kekuatan hukum untuk diberlakukan sebagai undang-undang.

Mengenai saatnya yang tepat tentang bilamana suatu rencana undang-undang itu mulai mempunyai suatu kekuatan hukum untuk diberlakukan secara sah sebagai suatu undang-undang, hal tersebut biasanya ditentukan dalam salah satu pasal dari undang-undang yang bersangkutan.

Pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dalam ilmu hukum pidana ketentuan ini disebut sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale yang mempunyai makna tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa di dahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Francis Bacon (1561-1626) seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium

moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya).6

Diberlakukannya lex-loci delicti atau undang-undang yang berlaku di tempat tindak pidana itu telah dilakukan terhadap pelakunya, telah dikenal orang sejak abad kesembilan. Sejak abad tersebut diberlakukannya undang-undang pidana suatu negara, baik terhadap warganegaranya sendiri maupun terhadap orang-orang asing yang diketahui telah melakukan suatu tindak pidana di dalam wilayahnya, ataupun diberlakukannya undang-undang pidana suatu negara asing terhadap orang-orang yang sesungguhnya bukan warga negara tersebut, 1.2 Berlakunya undang-undang pidana menurut tempat

6

(9)

sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing lagi dalam praktek seperti yang tercatat di dalam sejarah hukum pidana.

Dari sejarah hukum pidana itu pula, kita mengetahui bahwa sudah sejak lama orang mengenal apa yang oleh MAYER disebut “elementer prinzip”atau yang oleh VAN HAMEL disebut “grondbeginsel”, yang menentukan bawa pada waktu mengedili seseorang yang dituduh telah melakukan suatu tindak pidana itu, hakim tidak dibenarkan memberlakukan undang-undang pidana lain kecuali yang berlaku di negaranya sendiri.7

7

Ibid. hal 87.

Sebagai suatu ketentuan yang bersifat umum, para penulis umumnya tidak menyangkal kebenaran ketentuan seperti yang terdapat dalam asas dasar tersebut diatas. Sungguhpun demkian, orang juga harus mengakui kenyataan, bahwa dewasa ini adalah sulit bagi negara manapun di dunia ini untuk melaksanakan keinginan memberlakukan ketentuan seperti yang terdapat dalam asas dasar tersebut tanpa penyimpangan sedikit pun juga, setidak-tidaknya dengan memperhatikan undang-undang pidana yang berlaku di negara-negara lain.

Asas-asas tentang berlakunya undang-undang pidana menurut tempat atau yang dalam bahasa Belanda disebut “de beginselen van de werking der straafwet naar de plaats. Asas asas tersebut adalah :

a. Asas Teritorial atau territorialiteits beginsel atau yang juga disebut lands beginsel;

(10)

b. Asas Kebangsaan atau nationaliteits beginsel atau yang juga disebut

personaliteits beginsel atau actieve persoonlijkheidsstelsel atau actieve nationaliteits beginsel atau yang juga disebut subjecktionsprinzip;

c. Asas Perlindungan atau universliteits beginsel atau yang juga disebut passief nationaliteits beginsel atau realprinzip atau schutz prinzip atau yang oleh Profesor SIMONS juga disebut prinzip der beteiligten rechtsordnug dan

d. Asas Persamaan atau yang juga disebut wetstrafpflege atau yang oleh Profesor van HAMEL juga disebut weltrechtspflege.8

Het eerrste lid van het eerste artikel van het W.v.S., dat inhoudt, dat geen feit strafbaar is dan uit kracht van een daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling, is een beginsel-artikel

2. Pengertian Asas Legalitas.

9

Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Demikian pula menurut Van Eikema Hommes . Hommes menyatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap

demikian artikel yang dibuat oleh Jonkers.

Pada intinya Jonkers menyatakan bahwa menurut pasal I ayat (1) KUHP, tidak ada pidana yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan unadang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit di dalam undang-undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret. .

8

Ibid. hal 89

9

J.E. jonkers, HandboekVan Het Nederlansch-Indische Strafrecht, E.J Bril,Leiden 1946, Hal. 1, yang dikutip dari buku Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana.

(11)

sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Bellefroid dan Hommes, Sudikno Mertokusumo kemudian menyimpulkan bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturn perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukn dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Ditegaskan lagi oleh Sudikno, bahwa asas hukum bukanlah kaedah hukum yang konkret, melainkan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat umum atau abstrak.10

Kembali pada defenisi asas legalitas, kiranya terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana bahwa pengertian asas legalitas adalah: “Tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu.

11

1. Bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis

. Ketentuan seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga buah asas yang sangat penting yaitu :

2. Bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut dan

10

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Sebuah Pengntar,Liberty, Yogyakarta,2001 Hal. 34-35.

11

Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,

(12)

3. Bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana.

Perihal sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, Menurut Bambang Poernomo, dengan segala faktor yang mempengaruhinya, terdapat empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas. Yaitu :

1. Asas legalitas hukum pidana yang bertitik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini, menurut G.W Paton, adalah nulla poena sine lege. Perlindungan individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam undng-undang.

2. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah ciptaan Feurbach: nullum delictum,nulla poena sine preavia lege poenale.

3. Asas Legalitas hukum pidana bertitik berat tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga pada ancaman pidananya, agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.

4. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas di sini bukan hanya didasarkan pada kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja, akan

(13)

tetapi didasarkan pada ketentuan hukum yang berdasarkan ukurannya dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin ada suatu perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Dengan mengutip pendapat Paton, Bambang Poernomo menyatakan bahwa adagium yang dipakai disini adalah nullum crimen sine poena.12

3. Perkembangan Hukum Pidana

Secara dogmatis dapat dikatakan, bahwa dalam hukum pidana terdapat tiga pokok permasalahan yaitu :

1. Perbuatan yang dilarang.

2. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.

3. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu.

Akan tetapi apabila hukum pidana dipandang secara fungsional, dalam arti bagaimana perwujudan bekerjanya hukum pidana itu dalam masyarakat, maka dapat dilihat adanya tiga fase:

1. Pengancaman pidana terhadap perbuatan (yang tidak disukai) oleh pembuat undang-undang.

2. Penjatuhan pidana kepada seseorang (korporasi) oleh hakim atas perbuatan yang dilakukan oleh orang (korporasi) terebut.

12

(14)

3. Pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana (misalnya lembaga pemasyarakatan) atas orang yang dijatuhi pidana tersebut.13

Sudarto berpendapat bahwa dalam fase pertama, pidana masih beupa ancaman, berupa norma sanksi minimum dan maksimum, jadi pidana masih bergantun di awang-awang, artinya belum terwujud sama sekali, sedangkan dalam fase kedua pidana sudah lebih konkret, misalnya dua tahun penjara, yang dijatuhkan kepada orang-orang tertentu. Dalam fase ketiga, pidana sudah betul dirasakan oleh orang yang dikenai, yaitu dalam pidana penjara, kalau betul-betul terpidana hilang kemerdekaannya untuk pergi kemana yang ia kehendaki, atau dalam hal pidana mati, kalau terpidana sudah benar-benar hilang nyawanya atau dalam hal pidana denda, kalau terpidana secara nyata berkurang kekayaannya pada waktu ia membayar denda.

Dengan padangan yang demikian itu, maka sesuai dengan yang dikemukakan pada awal tulisan, dapat dipahami bahwa pembaharuan huku pidana tidak hanya meliputi hukum pidana materil (substantif) saja, meskipun harus diakui bahwa bagian hukum pidana yang memuat ancaman hukum pidana terhadap perbuatan seseorang (korporasi) merupakan bagian yang penting. Kriminalisasi perbuatan yang tidak disukai masyarakat dan penentuan syarat apa yang harus dipenuhi sebelum seseorang dapat dipidana beserta ancaman

13

Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia dalam Simposium pembaharuan Hukum pidana Nasional, Bina Cipta, Jakarta, 1986, Hal. 29.

(15)

pidananya merupakan masalah yang sangat penting dan mudah, yang kadang-kadang tidak disadari benar oleh kebanyakan orang.14

1. Untuk menjamin kebebasan Individu dari kesewenang-wenangan penguasa

4. Pengertian Pergeseran Paradigma Dalam Hukum Pidana

Sistim hukum pidana yang kita anut memuat asas legalitas yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan..

Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang undangan pidana (non retroaktif). Pemberlakuan surut diijinjkan jika sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 ayat(2) KUHP. Larangan pemberlakuan ini didasarkan pada pemikiran :

2. juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurbach).

Terlepas dari tujuan dia atas dengan adanya pemberlakuan asas retro aktif sebagai pengecualian dari asas Legalitas merupakan suatu pergeseran paradigma bagi pemberlakuan hukum di Indonesia. Dimana pemberlakuan asas retroaktif ini menjadi penting setelah terjadinya peristiwa bom bali pada Tahun 2002. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa asas legalitas itu dibuat untuk melindungi Hak Asasi Manusia, jadi akan menjadi suatu hal yang diharuskan pula apabila Asas Legalitas itu sendiri disimpangi untuk kepentingan Hak asasi manusia juga.

14

(16)

Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu pemberlakuan perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” menjadi muatan materi dalam undang-undang dasar seperti yang tercantum dalam pasal 28 I ayat (1) undang-undang dasar negara republik Indonesia 1945.

Sehubungan dengan berlakunya asas retroaktif ini, Sudarto (1990) lebih lanjut berpenapat bahwa:

“Aturan tentang tidak berlaku surutnya suatu peraturan pidana ini dapat diterobos oleh pembentuk undang-undang sebab aturan itu hanyalah tercantum dalam unang-undang biasa. Jadi, apabila pembentuk undang-undang menyatakan suatu undang-undang-undang-undang berlaku surut, hal itu sepenuhnya adalah hak pembentuk undang-undang sendiri. Di sini berlaku asas lex posterior derogat legi priori, artinya dalam hal tingkatan peraturan itu sama maka peraturan yang ditetapkan,kemudian mendesak peraturan yang terdahulu. Lain halnya, jika aturan ini (maksudnya ketentuan “retroaktif”) masuk dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 pasal 14 ayat (2) yang sejak tanggal 17 agustus 1959 tidak berlaku lagi .15

1. Jenis Penelitian F. Metode Penelitian

Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencari sesuatu. Sebagaimana tentang cara penulisan harus dilakukan maka metode penelitian hukum yang digunakan penulis antara lain :

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah penelitian yang dilakukan dan

15

Nyoman Serikat Putra Jaya, . Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana.PT Citra Aditya, Bandung 2008 Hal 10.

(17)

diajukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permaslahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian hukum doctrinal, sebagaimana yang dikemukan oleh Wigjosoebroto yang membagi penelitian hukum sebagai berikut:

a. penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.

b. penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doctrinal).

c. penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

Menurut Jhonny Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif (doktrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa:16

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

2. Pendekatan Analisis (analytical approach)

3. Pendekatan Historis (historical approach)

4. Pendekatan Filsafat (philosophical approach)

5. Pendekatan kasus (case approach)

Skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan analisis (analisis approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam putusan-putusan hukum, serta menggunakan metode pendekatan perundang-undangn (statute approach), yaitu suatu penelitian normatif yang

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media. Surabaya 20007. hal 300

(18)

bertujuan untuk mengetahui dan membuat aturan undang-undang sebagai acuan dalam membuat penulisan skripsi. Dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul yaitu : PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

2. Data dan Sumber data.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang telah ada dan yang

berhubungan dengan skripsi ini yakni berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.

b. Bahan Hukum sekunder yakni bahan yang diperoleh untuk mendukung dan berkaitan dengan bahan hukum primer yang terdiri dari rancangan Undang-undang, buku, dan Pendapat para sarjana.

c. Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap hukum primer dan sekunder seperti Kamus hukum, Ensiklopedia dan lainnya.17

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat

17

Tampil Anshari Siregar,Metodologi Penelitian Hukum Penulisan skripsi, Pustaka Bangsa Press. Medan, hal 72

(19)

digunkan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu penulisan semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tersebut dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri namun masih dalam konteks yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Secara sistematis gambaran skripsi ini sebagai berikut: Bab I Pendahuluan.

Bab ini menggambarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang membahas Pengertian pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif, Pengertian asas legalitas, pengertian asas keadilan dan pembagian jenis-jenis keadilan,pengertian pergeseran paradigma dalam hukum pidana, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

Bab II Pemberlakuan asas Retroaktif dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia

(20)

Bab ini berisikan Pemberlakuan hukum pidana,Landasan Pemberlakuan Asas Retroaktf, Makna yang terkandung dalam asas retroaktif, Pemberlakuan asas retroaktif dalam hukum pidana Indonesia.

Bab III Kedudukan Asas Leglitas dalam hukum pidana Indonesia

Bab ini menggambarkan tentang bagaiman Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas, Kedudukan Asas Non retroaktif dalam penegakan Hak Asasi Manusia (Ditinjau dari berbagai Peraturan HAM di Indonesia), Pengertian Terorisme dan Asas Retroaktif, Kedudukan Asas Legalitas dalam Tindak Pidana Terorisme (Ditinjau dari berbagai Peraturan Perundang-undangan di Indonesia).

Bab IV Perkembangan Asas Retroaktif dalam tindak pidana korupsi

Bab ini berisikan Tinjauan umum tentang korupsi yang terbagi atas: Pengertian korupsi dan ruang lingkupnya,Bentuk-bentuk korupsi, serta faktor penyebab korupsi., Asas retroakti dalam tindak pidana Korupsi.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merumuskan suatu kesimpulan dari pembahasan yang dilanjutkan dengan memberikan saran yang diharapkan dapat berguna di dalam praktek.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana

ataupun dengan teman yang lain.. Saat membaca, siswa memberi garis bawah. Hal itu bertujuan agar siswa mengetahui kata-kata penting, sehingga secara otomatis siswa

interlayer. Pengembangan bentonit ini dapat terinterkalasi oleh senyawa lain yang ada dalam campuran. Daya pengembangan bentonit dikarenakan banyak kation Na + pada

Kadar air tanah (ω) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat air () dengan berat butiran padat () dalam tanah tersebut yang dinyatakan dalam satuan

Baiklah anak-anakku sekalian, kita lanjutkan kembali pembahasan kita tentang sistem demokrasi dan dinamika demokrasi di Indonesia. Mengapa persoalan ini begitu penting kita pelajari

Faktor perilaku pembelian (buying behavior) memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap skeptis konsumen pada iklan hijau Ades di Kota Palembang. Hasil perhitungan

Delafrooz et al., (2014) yang meneliti pengaruh dari green marketing yaitu eco- label, eco-brand, dan green advertising terhadap perilaku pembelian konsumen menemukan

Darah merupakan jaringan yang terbentuk dari cairan yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu pasma darah yang merupakan cairan darah dan sel-sel darah yaitu elemen-elemen yang