• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsepsi Pengaturan Mengenai Kepemilikan Atas Kapal Karam Bersejarah (Historic Shipwrecks) Berdasarkan Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsepsi Pengaturan Mengenai Kepemilikan Atas Kapal Karam Bersejarah (Historic Shipwrecks) Berdasarkan Hukum Internasional"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Konsepsi Pengaturan Mengenai Kepemilikan Atas Kapal Karam

Bersejarah (Historic Shipwrecks) Berdasarkan Hukum Internasional

Meike Rachmana, Melda Kamil Ariadno, Arie Afriansyah Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Transnasional

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Meike.rachmana@ui.ac.id

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai Perkembangan teknologi yang telah mendorong pesatnya penemuan terhadap benda-benda budaya bawah air. Salah satunya yakni kapal karam bersejarah yang didalamnya terkandung nilai yang sangat tinggi baik secara historis, arkeologis ataupun ekonomis. Keberadaan kapal karam bersejarah yang sangat signifikan inilah yang menjadikan isu kepemilikan atasnya merupakan suatu hal yang penting. Benturan kepentingan terjadi antara Negara bendera kapal, penemunya, Negara dimana kapal karam bersejarah tersebut karam ataupun negara dari mana muatan didalamnya berasal. Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan dibahas konsepsi pengaturan mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah di tingkat internasional melalui konvensi dan hukum kebiasaan internasional terkait, di tingkat nasional melalui peraturan dan praktik di beberapa negara dunia serta pengaturan dan praktik penerapannya di Indonesia.

Kata Kunci: Historic Shipwrecks, Benda budaya bawah air, Kapal Karam bersejarah, kepemilikan, Negara Pantai.

The Conception on Regulation of Historic Shipwrecks Ownership in accordance with International Law

Abstract

This article discusses about Technology development that pushed forward an access to underwater cultural heritage. One of them is historic shipwrecks which contain historical, archaeological or economic value. The significance of this historic shipwrecks leads to an issue about ownership. The dispute over historic shipwrecks happen because there is a clash about jurisdiction over the historic shipwrecks among Flag-state country, Finder, Coastal state, or state origin of the cargo. Therefore, it is an important thing to see the conception on regulation of historic shipwrecks at international level through international convention, at national level through its regulation and practice in several countries and also the regulation and practice in Indonesia.

Keyword: Historic Shipwrecks, Underwater Cultural Heritage, Ownership, Flag State, Coastal State.

Pendahuluan

Perhatian dunia internasional terhadap kekayaan peninggalan sejarah berupa warisan budaya bawah air dalam beberapa abad terakhir mulai meningkat.1 Diperkirakan terdapat lebih 3 juta runtuhan kapal yang karam di bawah air yang membawa didalamnya beragam

1Constance Johnson, For Keeping or for Keeps?An Australian Perspective on Challenges Facing the

Development of a Regime for the Protection of Underwater Cultural Heritage, Melbourne Journal of

(2)

benda seperti koin emas, guci dan benda-benda berharga serta bersejarah lainnya.2 Hal ini terlihat dari ditemukannya The Mary Rose Shipwrecks, R.M.S. Titannic Shipwrecks, Belitung Shipwreck ataupun situs bersejarah bawah laut seperti Alexandria lighthouse and Cleopatra’s palace (Mesir), Ancient Carthage (Tunisia), dan Jamaica’s Port Royal yang dihancurkan pada 1692.3

Semakin pesatnya penemuan terhadap benda-benda budaya bawah air ini tidak lepas dari perkembangan teknologi yang telah membuka akses menuju Kapal Karam Bersejarah serta Muatannya (Historic Shipwrecks) menjadi lebih terjangkau dibandingkan sebelumnya, ketika ombak masih menjadi benteng alam yang sukar untuk ditembus yang mana telah melindungi kapal karam dan reruntuhannya selama berabad-abad.4

Akses menuju kapal karam bersejarah serta muatannya selanjutanya disebut kapal karam bersejarah menjadi lebih terbuka sejak Jacques Cousteau dan Emile Gagnan menciptakan the aqualung5 di tahun 1942-1943,6 yang memungkinkan untuk menjangkau ke area laut yang lebih dalam. Akses ini tidak hanya dapat digunakan oleh peneliti dan arkeolog tetapi juga oleh pemburu harta karun dan pencari harta kapal karam.7 Selanjutnya, pada awal abad ke-21 penyelam dengan Open Circuit8 telah dapat menyelam hingga kedalaman 100 meter dan dengan Closed circuit re-breathers9 dapat menyelam ke kedalaman lebih dari 140 meter.10

Kemajuan teknologi dalam bidang penyelaman ini, yang mana membuat akses terhadap kapal karam bersejarah menjadi lebih mudah telah menyebabkan posisi kapal karam

2 UNESCOPRESS, UNESCO Press Release No. 97-2008(dapat diakses di

http://www.ioc-unesco.org/index.php)

3UNESCOPRESS, UNESCO Press Release No. 97-2008(dapat diakses di

http://www.ioc-unesco.org/index.php)

4Ibid.

5 Tabung udara atau Tangki oksigen adalah alat yang berbentuk tabung terbuat dari baja atau aluminium

bertekanan tinggi untuk menampung oksigen yang digunakan untuk membantu pernafasan pda saat menyelam.Biasanya dikenakan di punggung penyelam dengan sebuah selang yang menyalurkan udara dari tabung ke mulut. Aqualung merupakan salah satu dari anggota peralatan selam (dalam bahasa Inggris disebut "SCUBA", kepanjangan dari Self-Contained Underwater Breathing Apparatus dapat diartikan seperangkat alat bernafas di bawah air).

6 http://www.unesco.org/new/en/culture/themes/underwater-cultural-heritage/protection/ (Diakses pada

16 februari 2014, Pukul 20:08 WIB)

7 Ibid.

8 Alat penyelaman tradisional dimana penyelam menghirup udara dari tabung gas dan

mengeluarkannya.

9 Alat penyelaman yang menggunakan fungsi pengolahan kembali udara yang telah di hirup oleh

penyelam.

10 UNESCO Section of Museums and Cultural Objects Division of Cultural Objects and Intangible

Heritage, UNESCO Convention on protection of underwater cultural heritage 2001,

(3)

bersejarah menjadi lebih rawan.11 Salah satunya, rawan akan konflik atas kepemilikannya antara Negara bendera kapal, penemunya, Negara dimana kapal karam bersejarah tersebut karam ataupun negara dari mana muatan didalamnya berasal.12

Perdebatan mengenai kepemilikan ini menjadikan posisi pencari harta karun di tempat yang sulit, ketika berhadapan dengan klaim dari pemerintah.13 Lebih lanjut, bermunculan gerakan yang mengadvokasikan konsep kapal karam bersejarah serta muatannya sebagai “warisan budaya umat manusia (common heritage of mankind)” dengan mana kapal karam bersejarah ini menjadi milik seluruh umat manusia ataupun negara dari mana kapal tersebut berasal, dan hak dari penemu yang masih diperdebatkan.14

Sejarah telah menunjukan persoalan pengaturan hukum laut memang selalu dipenuhi dengan perselisihan tentang akses dan kontrol terhadap kekayaan laut. Banyak yang percaya bahwa ketika Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea 1982) telah diadopsi, perselisihan selama 50 tahun mengenai kepentingan negara pantai dan negara dengan kekuatan maritim telah terselesaikan dengan baik.15 Kenyataannya, prediksi ini tidak sepenuhnya benar.16 Sebuah perselisihan baru telah muncul dalam hal hak kepemilikan atas kapal karam bersejarah.17 Pentingnya upaya yang serius bagi pengaturan kepemilikan atas terhadap kapal karam bersejarah ini tidak terlepas dari keberadaannya yang tidak ternilai. kapal karam bersejarah, mengemban ikatan eksistensi dan merupakan bukti dari kebudayaan lampau yang memungkinkan masyarakat yang terlibat untuk memperkaya wawasannya tentang peradaban yang belum diketahui.18

Sengketa kepemilikan atas kapal karam bersejarah bukanlah suatu fenomena yang baru19 dan tidak sedikit yang mengambil jalur penyelesaian litigasi.20 Seperti kasus Sea Hunt Inc. and the Commonwealth of Virginia V. The Unidentified Shipwrecked, La Galga dan Juno

11Ibid.

12 David Curfman, Thar Be Treasure Here: Rights to Ancient Shipwrecks in International Waters—A

New Policy Regime, 86 Wash. U. L. Rev.181, 2008. Hal.181. Dapat diakses di http://digitalcommons.law.wustl.edu/lawreview/vol86/iss1/4

13 Ibid. 14 Ibid.

15 David J. Bederman, Historic Salvage and the Law Of The Sea, University of Miami Inter-American

Law Review, 1998. Hal.2.

16 Ibid. 17Ibid.

18 Valentina Sara Vadi, Investing in Culture: Underwater Cultural Heritage and International

Investment Law,(This Article was presented at the UNESCO Conference IKUWA 3: Beyond Boundaries, Third

International Congress on Underwater Archaeology which was held at University College of London, July 9– 12, 2008),Vol.42, Vanderbilt Journal Of Transnational Law,2008. Hal.1.

19 Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In International Waters,

Vol.19, University of Miami Internasional Law and Comparative Law review, 2012. Hal.144.

(4)

dimana terjadi sengketa kepemilikan atas sebuah kapal karam bersejarah (Historic Shipwrecks) antara Commonwealth of Virginia dan Spanyol. Selanjutnya, dalam kasus Black Swan dimana terjadi sengketa antar Odyssey, Peru dan Spanyol. Hal serupa juga terjadi dalam kasus Robinson V. Western Australian Museum.

Sengketa atas kapal karam bersejarah merupakan suatu problematika yang cukup kompleks untuk diselesaikan. Hal ini mengingat adanya benturan kepentingan antar penemu, Negara bendera kapal dengan pemilik muatan kapal yang bersangkutan.21

Wilayah Indonesia yang berada diantara benua Asia dan Australia serta diantara samudera India dan Pasifik, menjadikan posisinya begitu strategis sebagai jalur lalu lintas pelayaran internasional sejak ribuan tahun yang menghubungkan negara-negara di wilayah Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan maupun Asia Timur. Kondisi geografis ini telah membuat perairan Indonesia menjadi salah satu wilayah yang paling banyak dipenuhi oleh kapal-kapal karam.22 Hingga saat ini, telah ditemukan 463 runtuhan kapal karam di Indonesia menurut National Committee of Underwater Heritage, dan masih terdapat 10.000 runtuhan kapal karam di bawah air Indonesia berdasarkan dokumen dari Cina mengenai kapal-kapal yang tidak pernah kembali dari Indonesia.23

Berdasarkan kondisi inilah pengaturan mengenai kepemilikan kapal karam bersejarah serta muatannya di Indonesia menjadi sangat penting karena dengan semakin berkembangnya teknologi maka penemuan atas kapal karam bersejarah akan meningkat pula. Mengingat nilai dari kapal karam bersejarah serta muatannya ini sangat tinggi merupakan suatu konsekuensi logis bahwa akan banyak timbul konflik kepemilikan atas kapal karam bersejarah serta muatannya tersebut. Dalam tingkat internasional telah terdapat konvensi-konvensi internasional yang mengakomodir mengenai pengaturan atas kapal karam bersejarah walaupun hanya secara umum, yakni Law of Find and Law of Salvage, The United Nations Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property 1970, The Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage 197224, The United Nations Convention on the

21 Henn, Op. Cit.

22http://www.huffingtonpost.com/2012/03/31/indonesias-shipwrecks-html(Diakses pada 21 maret 2014) 23 Ibid.

24 The operational guidelines adopted by the World Heritage Committee for implementation of the

Convention state in paragraph 25 that “nomination of immovable property which are likely to become movable will not be considered”. Lihat O’keefee, P.J.2002.Shipwrecked Heritage: a commentary on the UNESCO Convention on Underwater Cultural Heritage. Great Britain: Institute of Art and Law.Hal.39.

(5)

Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dan juga dalam UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural heritage 2001.25

Pengaturan mengenai kepemilikan kapal karam bersejarah juga telah terdapat dalam peraturan nasional beberapa Negara dunia seperti Amerika, Australia, Inggris dan Spanyol yang mana dapat dijadikan acuan untuk legal framework bagi negara-negara lain untuk mengatur mengenai kepemilkan atas kapal karam bersejarah yang berada dalam yurisdiksinya.

Dalam peraturan nasional Indonesia telah terdapat pengaturan yang bersinggungan dengan pengaturan kepemilikan atas kapal karam bersejarah. Seperti, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya digantikan oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya, Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pembagian Hasil Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam antara Pemerintah dan perusahaan, Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam, Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2009 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/Pmk.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam.

Secara umum peraturan Indonesia diatas mengartikan kapal karam bersejarah sebagai kekayaan laut yang merupakan sumber daya sejarah, budaya, ilmu pengetahuan dan ekonomi sehingga pemanfatannya perlu dikelola untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan pembangunan nasional. Dalam hal penanganan kapal karam beserta muatannya ini dibentuk sebuah panitia nasional pengangkatan dan pemanfaatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam (Pannas BKMT) yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung pada presiden.

25 Lihat O’keefee, P.J.2002.Shipwrecked Heritage: a commentary on the UNESCO Convention on

(6)

Sebagai sebuah Negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki banyak Kapal Karam bersejarah serta Muatannya yang tidak ternilai harganya. Seperti Geldermalsen yang ditemukan oleh Michael hatcher pada tahun 198526, Belitung Shipwreck yang ditemukan pada tahun 1998 di pulau belitung27, ataupun Cirebon Shipwreck yang ditemukan di laut jawa28.

Konflik mengenai kepemilikan atas Kapal Karam Bersejarah serta Muatanya di Indonesia pun bukanlah hal baru. Dalam Geldermalsen Shipwrecks Indonesia berselisih dengan Belanda mengenai kepemilikannya.29 Pada 1985, Geldermalsen beserta muatannya di angkat oleh Michael hatcher tanpa izin dari pemerintah Indonesia.30 Surat Kabar Indonesia, Forum keadilan (No 26/II, 14 April 1994) menyebutkan usaha pengangkatan yang dilakukan hatcher sebagai penjarahan.31 Selain itu terjadi juga konflik antara Indonesia dan Malaysia

atas kapal Flor de la Mar.32 Walaupun, kasus tidak diajukan oleh Malaysia kepada ICJ, tetapi

bukan tidak mungkin jika kedepannya Indonesia harus memantapkan posisinya dalam hal klaim atas kapal beserjarah serta muatan Flor de la Mar untuk kedepannya.33

Pokok permasalahan yang diangkat dalam artikel ini adalah:

1. Bagaimana Konsepsi Pengaturan mengenai kepemilikan atas Kapal Karam bersejarah beserta Muatannya berdasarkan Hukum Internasional?

2. Bagaimana Pengaturan Mengenai Kepemilikan atas kapal Karam Bersejarah beserta Muatannya di beberapa Negara dan Praktik penyelesaian sengketa kepemilikan atas kapal karam bersejarah serta muatannya?

3. Bagaimana Pengaturan mengenai Kepemilikan atas kapal Karam Bersejarah beserta Muatannya di Indonesia serta Penerapannya?

26Michael hatcher and A. Thorncroft.1987.The Nangkin Cargo.London: HamishHamilton.Hal.166. 27 http://archaeology.about.com/od/bcthroughbl/qt/belitung_shipwreck.htm (diakses pada 19 Februari

2014, Pukul 09.00 WIB)

28

http://cirebon.musee-mariemont.be/project-history/an-untouched-wreck-an-exemplary-excavation.htm?lng=en (diakses pda 19 Februari 2014, Pukul 09.45 WIB)

29 Arvin CC Mogot, Pengaruh Tenggelamnya Kapal Asing Beserta Isinya di Perairan Indonesia

terhadap Kedaulatan Indonesia atas Wilayah Perairannya: Studi tentang Kapal Geldermalsen yang Tenggelam di Perairan Indonesia Tahun 1752, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1993), Hal. 68-69.

30 Ibid. 31 Ibid.

32 Robert F Marx and Jenifer Marx, The Search for Sunken Treasure: Exploring the World’s Great

Shipwrecks, (Toronto: Key Porter Books, 1993), Hal.65-66. Lihat juga Singapore Journal of International law &

Comparative Law (1998) dalam judul Ownership Rights Over Archaeological/ Historical Objects Found in

Indonesian Waters: Republic Of Indonesia Act No 5 Of 1992 On Cultural Heritage Objects And Its Related Regulations. Hal. 142-143.

(7)

Tujuan umum dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai pengaturan mengenai perlindungan Kapal Karam bersejarah serta Muatannya dalam hukum internasional. Tujuan ini juga untuk memberi pemahaman yang lebih mendalam mengenai Pengaturan Kepemilikan atas Kapal Karam Bersejarah serta Muatannya di beberapa negara dunia termasuk Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan artikel ini berbentuk penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.34 Dalam penulisan artikel ini, penulis memakai penelitian yuridis normatif. Oleh karena itu, upaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.35 Dalam artikel ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data yang tertulis36, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penulisan artikel ini. Metode analisa data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan artikel ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.37 Penulis menggunakan kombinasi antara bahan hukum primer,38 sekunder,39 dan tersier.40 Bahan Hukum Primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Bahan hukum primer yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan Kapal Karam bersejarah serta Muatannya yaitu Law of Find and Law of Salvage, The United Nations Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and

34 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:

Raja Grafindo, 2001), hlm. 13-14.

35 Ibid. hlm. 13.

36 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press), 2007), hlm. 21.

37 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 67.

38 Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 52 menyatakan bahwa, “bahan hukum primer yaitu bahan-bahan

hukum yang mengikat.”

39 Ibid., dinyatakan bahwa, “bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.”

40 Ibid., dinyatakan bahwa, “bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk

(8)

Transfer of Ownership of Cultural Property 1970, The United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dan juga dalam UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural heritage 2001. Ketentuan Hukum nasional beberapa Negara berupa Abandoned Shipwreck Act 1987 (ASA) (Amerika); Historic Shipwreck Act 1976 (HSA) (Australia); The Protection of wreck Act 1973 dan Merchant Shipping Act 1995 (Inggris); The Spanish Historical Heritage law No. 16 of 1985 (Spanyol); serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya, Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pembagian Hasil Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam antara Pemerintah dan perusahaan, Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam, Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2009 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/Pmk.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam (Indonesia). Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, yang isinya tidak mengikat.

Bahan sekunder tersebut antara lain meliputi buku, jurnal, majalah, artikel ilmiah, surat kabar, serta karya ilmiah lainnya yang membahas mengenai masalah hukum laut. Data lain yang diperoleh dari penelitian bahan kepustakaan tersebut akan dianalisa melalui pendekatan kualitatif dan untuk mendukung data serta bahan, maka akan menggunakan alat pengumpul data lain yaitu wawancara dengan narasumber. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopendia, dan lain-lain.

Pembahasan

konsep kepemilikan atas kapal karam bersejarah serta muatannya dalam tingkat internasional, praktik negara-negara dunia dan tingkat nasional di Indonesia. Pertama, dalam hal konsep kepemilikan atas kapal karam bersejarah dalam hukum internasional dilihat dari pengaturan konvensi internasional seperti The United Nations Convention on the Law of the

(9)

Sea 1982 (UNCLOS) yang mana kepemilikan atas kapal karam bersejarah di bagi berdasarkan zona maritim.

Di zona perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial UNCLOS mengatur bahwa di laut teritorial Negara kepemilikan atas kapal kara bersejarah merupakan jurisdiksi dari Negara pantai. Di zona laut tambahan UNCLOS tidak dibahas mengenai kepemilikan ats kapal karambersejarah serta muatannya tetapi dikatakan bahwa kapal asing tidak dapat melakukan pengangkatan kapal karam bersejarah tanpa izin dari Negara pantai yang memiliki yurisdiksi atas jalur tambahan tersebut. Oleh karena itu, pengaturan yang lebih spesifik akan diatur dalam hukum nasional Negara masing-masing. Di Landas Kontinen UNCLOS tidak mengatur mengenai kepemilikan ats kapal karam bersejarah. Di wilayah Area UNCLOS mengatur semua benda yang bersifat arkeologis dan bersejarah seperti kapal karam bersejarah serta muatannya tidak berada dibawah jurisdiksi Negara manapun.

Dalam The United Nations Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit ImportExport and Transfer of Ownership of Cultural Property 1970 pengaturan mengenai kepemilikan atas benda budaya dan bersejarah seperti karam bersejarah tunduk pada keberlakuan hukum nasional tiap Negara.

Dalam UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001 (Konvensi UCH) yang mengedepankan prinsip perlindungan dan penghilangkan eksploitasi komersial dari kepemilikan atas kapal karam bersejarah mengatur bahwa kapal karam bersejarah harus dilindungi untuk kepentingan umat manusia sehingga kepemilikan oleh pihak pribadi ataupun swasta tidak dimungkinkan.

Selanjutnya, Law of Finds memberikan hak atas properti yang telah hilang dan ditelantarkan kepada seseorang yang secara sah dan adil menemukannya pertama kali dan menjadikan properti bersangkutan miliknya dengan maksud untuk menjadi pemiliknya dan Law of Salvage kepemilikan oleh pemilik aslinya tidak hilang tetapi penyelamat kapal karam (salvor) diberikan imbalan berdasarkan persentase nilai dari kapal karam serta muatan yang diselamatkan.

Kedua, jika dilihat dari peraturan negara-negara di dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Spanyol terlihat bahwa dalam negara-negara ini telah memiliki pengaturan khusus mengenai kapal karam bersejarah. Amerika Serikat mengatur mengenai kapal karam bersejarah dalam Abandoned Shipwrecks Act 1987 (ASA). Berdasarkan ASA pada bagian 43 United State Code (U.S.C.) 2105, Rights of ownership sub-bagian 43 Chapter 39 U.S.C. 2105(a) Section 6, 28 April 1988 dikatakan Amerika Serikat menyatakan haknya

(10)

atas 3 jenis kapal yang ditelantarkan di wilayah laut teritorialnya sejauh 3 mil41 (saat ini 12 mil setelah dideklarasikan oleh presiden Ronald Reagan, Proclamation No. 5928, Territorial Sea of the United States of America, 54 Fed. Reg. 777 (Jan. 9, 1989))42 dari tepi pantai dan wilayah perairan Amerika Serikat.43 Inggris mengatur mengenai kapal karam bersejarah dalam Protection of Wrecks Act 1973 dan untuk kapal militer diatur dalam Protection of Military Remain Act 1986. Protection of Wrecks Act 1973 dibentuk untuk melindungi kapal karam yang memiliki nilai sejarah, arkeologis ataupun kepentingan artistik. Hal ini diurus oleh National heritage Organization atas kepentingan Department for Culture, Media and

Sport (DCMS). Protection of Military Remain Act 1986 dibentuk untuk melindungi kapal

militer yang tenggelam atau terdampar saat melaksanakan tugasnya. Hal ini diadministrasikan oleh Ministry of Defence (MOD).44

Australia mengatur mengenai kapal karam bersejarah dalamThe Historic Shipwrecks Act 1976 (HSA). Secara umum HSA memberikan kewenangan kepada menteri yang ditunjuk untuk mendeklarasikan semua kapal karam serta muatannya yang berada di wilayah perairan Australia atau perairan yang berada diatas landas kontinen dan berusia sekurang-kurangnya 75 tahun sebagai kapal karam bersejarah dan untuk mendeklarasikan wilayah disekitar kapal karam bersejarah serta muatannya sebagai wilayah yang dilindungi (Protected Zone).45

41 Pada bagian 43 U.S. Code § 2106 - Relationship to other laws dikatakan bahwa keberlakuan dari peraturan ini

tidak akan mengga“…(b) Laws of United States

This chapter shall not change the laws of the United States relating to shipwrecks, other than those to which this chapter applies.”

42 The territorial sea is a maritime zone over which the United States exercises sovereignty. Sovereignty

extends to the airspace above and to the seabed below the territorial sea. The U.S. territorial sea extends 12 nautical miles from the baseline di akses di website U.S. Maritime Limits & Boundaries http://www.nauticalcharts.noaa.gov/csdl/mbound.htm. President Thomas Jefferson created the U.S. Coast

Survey in 1807 to provide nautical charts that would help the young nation with safe shipping, national defense, and maritime boundaries. Lembaga ini merupakan bagian dari National Oceanic and Atmospheric

Administration, United States Department of Commerce.

43 In 1988, President Ronald Reagan extended the breadth of the territorial sea of the United States

from three nautical miles to twelve. By Presidential Proclamation the United States asserted sovereignty and jurisdiction over the territorial sea extending from the baseline seaward a distance of twelve nautical miles. The presidential proclamation specifically stated that it did not extend or alter “existing Federal or State law or any jurisdiction, rights, legal interests, or obligations derived therefrom.” Some federal laws have not been updated to reflect this boundary change and the extension of the territorial sea has resulted in inconsistent definitions of the territorial sea in U.S. domestic law. Dikutip dari U.S. Commission On Ocean Policy, An Ocean Blueprint

For The 21st Century: Final Report Of The U.S. Commission On Ocean Policy 43 (2004) oleh Joe Mathews dalam Redefining the Territorial Sea in the Clean Water Act: Replacing Outdated Terminology and Extending

Regulatory Jurisdiction, Sea Grant Law and Policy Journal, Vol. 4, No. 1 (Summer 2011). Hal. 114.

44 Protected Wrecks, diakses pada 18 Mei 2014, 06:25 Wib

http://www.english-heritage.org.uk/professional/advice/hpg/has/protectedwrecks/

45 Ibid., Historic Shipwrecks Act 1976 (Cth) ss 4A, 7; see also Navigation Act 1912 (Cth) s 302(b),

which requires persons finding or taking possession of a wreck outside Australian territory and bringing it to Australia to notify the receiver of the wreck; s 308 provides that the Commonwealth is entitled to any unclaimed wrecks found in Australia.

(11)

Spanyol mengatur mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah dalam The Spanish Historical Heritage law No. 16 of 1985. The Spanish Historical Heritage law No. 16 of 1985 mengatur bahwa semua warisan budaya yang ditemukan secara tidak sengaja secara otomatis berada dalam kontrol pemerintah; dengan perjanjian terhadap penemu dan pemilik tanah.46 Berdasarkan peraturan ini preservation in situ merupakan pilihan utama.47 The Spanish Historical Heritage law No. 16 of 1985 mengakomodir pemberian izin eskavasi arkeologis semua warisan budaya yang berusia lebih dari 100 tahun, berada di wilayah laut territorial dan perairan diatas landas kontinen Negara spanyol.

Dalam tataran praktik di negara-negara ini sengketa kepemilikan atas kapal karam bersejarah bukanlah suatu perkara yang mudah untuk diputuskan. seperti terlihat dalam kasus La Galga dan Juno yang mana melibatkan banyak pihak seperti negara bagian Virginia, Pemerintah Federal Amerika Serikat, perusahaan pengangkat Sea Hunt dan Pemerintah Spanyol.48 Berdasarkan putusan pengadilan maka Spanyol tetap memiliki hak atas Juno dan klaim kepemilikan Spanyol atas La Galga diberikan pada Virginia sebagai pihak yang berwenang dalam hal penerbitan izin sebagai negara pantai yang memiliki jurisdiksi.

Dalam kasus Black Swan Pengadilan Amerika memberikan kepemilikan juga kepada Spanyol sebagai negara bendera kapal.49 Tetapi, pada kasus Titanic pengadilan menolak permintaan dari RMST berdasarkan Law of salvagedan memutuskan bahwa kapal Titanic merupakan bagian dari warisan budaya dasar laut sehingga semua tindakan yang dilakukan pihak swasta dijaga ketat oleh pemerintah dengan menggunakan Titanic treaty.50

Selanjutnya, terlihat pada kasus Dodington Coins yang mana melibatkan Pemerintah Afrika Selatan dan Pengadilan Inggris, sengketa kepemilikan diselesaikan dengan perjanjian pembagian antara pengangkat dan pemerintah Afrika Selatan Karena pengadilan Inggris menolak untuk mengadili sengketa bersangkutan.51 Dalam Kasus Robinson V. Western Australian Museum sengketa kepemilikan atas kapal karam bersejarah justru yang

46 Mark Staniforth, Op. Cit. Hal.10. 47 Ibid.

48 Kevin Berean, Seahunt, INC. v. The Unidentified Shipwrecked Vessel or vessels: How the Fourth

Circuit Rocked the Boat, Brooklyn law review, 2002. Lihat juga http://www.admiraltylawguide.com/circt/4thseahunt.html.

49 Marian Keigh Miller, Underwater cultural heritage: is the Titanic still in peril as courts battle over

the fuure of the historical vessel?, Emory international law review, 2006. Hal.16.

50 Ibid.

51 John Gribble and Craig Forrest, Underwater Cultural Heritage at Risk: The Case of the Dodington

Coins, Hal.313. di akses pada 18 Mei 2014 di

http://books.google.co.id/books?id=yvXTcGC5CwQC&pg=PA303&lpg=PA303&dq=Robinson+v.+The+Weste rn+Australian+Museum,&source=bl&ots=8ujp2NrKke&sig=f1g4BHAksje2GAmV_SPbzsNcflY&hl=en&sa=X &ei=xtV4U8jNNsmfkAXZlIGAAg&redir_esc=y#v=onepage&q=Robinson%20v.%20The%20Western%20Aust ralian%20Museum%2C&f=true

(12)

berdampak pada perubahan legislasi di Australia dan perjanjian bilateral dengan Belanda sebagai negara yang memiliki hubungan dengan kapal yang ditemukan oleh Robinson.52

Dalam pengaturan dan praktik nasional di Indonesia, isu kepemilikan atas kapal karam bersejarah mengalami problematika yang berkepanjangan. Hal ini terjadi karena adanya konflik antara peraturan yang berlaku yakni antara UU No. 11 Tahun 2010 Tentang cagar Budaya dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2009 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam. Konflik ini terjadi karena peraturan-peraturan tersebut memegang nilai yang berbeda dalam hal pengangkatan dan kepemlikan atas kapal karam bersejarah.

Kapal karam bersejarah yang di tetapkan sebagai cagar budaya bawah air telah dilarang untuk diangkat berdasarkan UU No. 10 Tahun 2011 kecuali untuk kepentingan penelitian. Hal ini menyebabkan eksploitasi ekonomi terhadap kapal karam bersejarah serta muatannya tidak dimungkinkan di Indonesia. Implikasinya maka semua kepemilikan atas cagar budaya bawah air oleh individu sudah tidak dimungkinkan lagi di Indonesia. Tetapi dalam Keppres No.12 Tahun 2009 justru memperlakukan kapal karam bersejarah kedalam kategori semua kapal yang memiliki muatan yang berharaga dan dapat digunakan untuk kepentingan komersial. Hal ini sejalan dengan UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang dikeluarkan oleh kementerian yang sama yakni Kementerian kelautan dan Perikanan, yang mengategorikan kapal karam bersejarah sebagai sumber daya. Hal ini berimplikasi pada kemungkinkan adanya eksploitasi ekonomi atas sumber daya tersebut.

Tumpang tindih peraturan dan juga tumpang tinggi kepentingan antara kementerian menyebabkan kepemilikan atas kapal karam serta muatannya di Indonesia sedang menemui jalan buntu dalam hal pengimplementasiannya terbukti dengan adanya moratorium pemberian izin pengangkatan di Indonesia sejak tahun 2010. Lebih lanjut, dalam UU cagar Budaya telah dikatakan bahwa semua cagar budaya seperti kapal karam bersejarah di larang untuk di ekspor ke luar negeri tetapi Indonesia tetap saja kehilangan cagar budaya berupa kapal karam bersejarah serta muatannya karena walaupun moratorium terjadi tetap saja ada pihak-pihak yang mengangkat dan mengeksploitasi kapal karam bersejarah. Oleh karena itu, kepastian hukum mengenai hal ini perlu diciptakan melalui harmonisasi dari peraturan-peraturan terkait.

52 High Court of Australia, Robinson v. Western Australian Museum (1977) 138 CLR 283, 31 Agustus

(13)

Kesimpulan

Dalam hal pengaturan mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah di tingkat internasional sampai saat ini belum ada kepastian mengenai pengaturannya. Belum di berikan jawaban jelas mengenai siapakah pemilik dari kapal karam bersejarah yang ditemukan adalah milik penemu, negara bendera kapal ataupun negara pantai dimana kapal tersebut karam. Dalam tataran nasional negara-negara dunia seperti Amerika, Inggris, Australia dan Spanyol telah terdapat legislasi nasional walaupun demikian dalam praktiknya keputusan yang dihasilkanpun belum menciptakan suatu kepastian hukum. Di Indonesia sendiri pengaturan nasional khusus mengenai kapal karam bersejarah belum ada tetapi terdapat beberapa peraturan yang relevan seperti UU cagar budaya No. 11 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2009 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang Tenggelam. Sayangnya, peraturan ini tidak sinkron yang mana akhirnya menciptakan ketidak pastian hukum.

Saran

Kesadaran Negara-negara Dunia mengenai perlunya pengaturan Internasional yang jelas dalam hal pengaturan mengenai Kapal Karam Bersejarah serta muatannya (Historic Shipwrecks) harus mulai di tingkatkan. Hal ini mengingat besarnya nilai kapal karam bersejarah serta muatannya ini baik secara historis, arkeologis ataupun ekonomis serta kecenderungan kasus kepemilikan yang melibatkan negara-negara berdaulat didalamnya. Inkonsistensi antara peraturan Nasional dan Praktik mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah harus dikaji ulang oleh negara-negara bersangkutan sehingga dapat menciptakan kepastian hukum mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah. Dan Indonesia harus segera melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangnya mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah secara konsisten dan bekesinambungan antara pihak-pihak yang terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kementerian kelautan dan Perikanan dan kementerikan Politik, Hukum dan HAM agar dapat menciptakan kepastian hukum.

Daftar Referensi

Daftar referensi atau daftar acuan berisi daftar pustaka yang digunakan untuk menulis naskah ringkas atau artikel ini.

(14)

Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Barbara T. Hoffman. Art and Cultural Heritage: Law, Policy, and Practice. Cambridge University Press, 2006. Baslar, Kemal. The Concept of the Common heritage of Mankind in International Law. Nijhoff Publisher, 1998. Black, Henry Campbell, et al. Black’s Law Dictionary, 6th ed. St. Paul: West Publishing, 1991.

Blume, Kenneth J. Historical Dictionary of the U.S. Maritime Industry. Scarecrow Press, 2011.

Borelli, Silvia dan Frederico Lenzerini. Cultural Heritage, Cultural Rights, Cultural Diversity: New

Developments in International Law. Martinus Nijhoff Publishers, 2012.

Brice, Geoffrey. Brice on Maritime Law of Salvage. Sweet & Maxwell, 2011.

Butler, Daniel Allen. Unsinkable: The Full Story of the RMS Titanic. Stackpole Books, 1998. Brownlie, Ian. Principles of Public International Law. Oxford University Press, 2003.

C. Esposito dan Fraile C. The Unesco Convention on Underwater Cultural Heritage: A Spanish View. Leiden dan Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.

Churchill, R.R. dan A.V. Lowe. The Law of the Sea, 3rd edition. Inggris: Manchester University Press, 1999. Dromgoole, Sarah. Legal Protection of the Underwater Cultural Heritage: National and International

Perspectives. London: Kluwer Law International, 1999.

Dromgoole, Sarah. Underwater CultuRAL Heritage and International Law. Cambridge; Cambridge University Press, 2013.

Dupuy, Rene Jean & Daniel Vignes, Underwater archaeological and Historical Object: a Handbook on the Law

of the Sea. Martinus Nijhoff, 1991.

Forrest, J.S. International Law and the Preservation of Underwater Cultural Heritage. University of Wolverhampton, 2000.

Garabello, Roberta dan Tullio scovazzi. The Protection of the Underwater Cultural Heritage: Before and After the 2001 UNESCO Convention. Boston: M. Nijhoff, 2003.

Hatcher, Michael dan A. Thorncroft. “The Nangkin Cargo.” London: HamishHamilton. 1987.

Hoffman, Barbara T. Art and Cultural Heritage: Law, Policy, and Practice. Cambridge University Press, 2006. Jameson, John H. dan Della A. Scott-Ireton. Out of the Blue: Public Interpretation of Maritime Cultural

Resources. Springer, 2007.

Jorg, C. J. A. The Geldermalsen: history and porcelain. Kemper Pub, 1986.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional,. Bandung: Alumni, 2003.

O’keefee, P.J. Shipwrecked Heritage: a commentary on the UNESCO Convention on Underwater Cultural

Heritage. Great Britain: Institute of Art and Law, 2002.

Malanczuk, Peter. Akehurst’s Modern Introduction to International Law.London: Routledge,1997. Martin, C. Fullfathom five: Wrecks of the Spanish Armada. New York: Viking Press, 1981.

Marx, Robert F. dan Jenifer Marx. The Search for Sunken Treasure: Exploring the World’s Great

Shipwrecks.Toronto: Key Porter Books, 1993.

Meessen, Karl Matthias. Extraterritorial Jurisdiction in Theory and Practice. Martinus Nijhoff Publishers, 1996. Mogot, Arvin C. C. Pengaruh Tenggelamnya Kapal Asing Beserta Isinya di Perairan Indonesia terhadap

Kedaulatan Indonesia atas Wilayah Perairannya: Studi tentang Kapal Geldermalsen yang Tenggelam di Perairan Indonesia Tahun 1752. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1993.

Nijhoff, Martinus. UNCLOS 1982 Commentary: Supplementary Documents. Vol. 1. Center for Oceans Law and Policy University of Virginia: Martinus Nijhoff Publishers, 2012.

Nordquist, Myron dan Satya N. Nandan. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, Volume VII: A

Commentary, Vol.7. Center for Oceans Law and Policy University of Virginia. Martinus Nijhoff Publishers, 2011.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo, 2001.

(15)

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2007. Staniforth, Mark dan Michael Nash. Maritime Archaeology: Australian Approaches. New York: Springer, 2006. Starke, G. Pengantar Hukum internasional. Jakarta: Sinar Grafika,1989.

Stevens,Timothy T. “The Abandoned Shipwreck Act of 1987: Finding the Proper Ballast for the States.” Villanova Law Review, Vol. 37. Issue 3. 1992.

Strati, Anastasia. The Protection of the Underwater Cultural Heritage: an emerging Objective of the

Contemporary Law of the Sea. Boston: M. Nijhoff Publishers, 1995.

Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Toman, Jiri. The protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict. Paris: UNESCO,1996.

JURNAL

Allain, Jean. “Maritime Wrecks: Where The Lex Ferenda of The Underwater Cultural Heritage Collides With The Lex Lata of The Law of The Sea Convention.” Virginia Journal of International law (1998). Bederman, David J. “Historic Salvage and the Law of the Sea.” University of Miami Inter-American Law Review

(1998).

Bederman, David J. “Maritime Preservation Law: Old Challenges, New Trends.” Widener Law Symposium

Journal (2002).

Berean, Kevin. “Seahunt, INC. v. The Unidentified Shipwrecked Vessel or vessels: How the Fourth Circuit Rocked the Boat.” Brooklyn Law Review (2002).

Bryant, Christopher R. “The Archaeological Duty of Care: The Legal, Professional, and Cultural struggle over Salvaging Historic Shipwrecks.” Albany law review (2001).

Coleman, Patrick. “UNESCO and The Belitung Shiwrecks: The need for a Permissive definition of “Commercial Exploitation.” George Washinton International Law Review.Vol.45. (2013).

Croome, A. “The United States' Abandoned Shipwreck Act Goes Into Action: A Report.” International Journal

of Nautical Archaeology (1992).

Curfman, David. “Thar Be Treasure Here: Rights to Ancient Shipwrecks in International Waters—A New Policy Regime.” Washington University Law Review (2008).

Doran, Kevin. “Adrift on the High Seas: The Application of Maritime Salvage Law to Historic Shipwrecks in International Waters.” South-western Journal of International Law (2012).

Doyle, Megan B. “Ownership By Display: Adverse Possession To Determine Ownership Of Cultural Property.”

The George Washington International Law Review (2009).

Forest, Craig. “Historic Wreck Salvage: An International Perspective.” Tulane Maritime Law Journal (2009).

Forrest, Craig. “Strengthening the International Regime for the Prevention of the Illicit Trade in Cultural Heritage.” Melbourne Journal of International Law (2003).

Forrest, Craig. “A New International Regime for the Protection of The Underwater Cultural Heritage.”

International and comparative Law Quarterly. Vol. 51. (2002).

Gleason, Linsey. “Possession” and the Abandoned Shipwreck Act: Promoting The Discovery Of Historic Shipwrecks And Preventing an Unconstitutional Destruction Of Federal Admiralty Jurisdiction.”

(16)

Henn, Cathryn. “The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In International Waters.”

University of Miami International Law and Comparative Law Review. Vol.7 (2012).

Johnson, Constance. “For Keeping or for Keeps? An Australian Perspective on Challenges Facing the Development of a Regime for the Protection of Underwater Cultural Heritage.”Melbourne Journal of

International Law (2000).

Mcquown, Terence P. “An Archaeological Argument for the Inapplicability of Admiralty Law in the Disposition Of Historic Shipwrecks.” William Mitchell Law Review (2000).

Miller, Marian Keigh.”Underwater cultural heritage: is the Titanic still in peril as courts battle over the future of the historical vessel.” Emory International Law Review (2006).

Murphy, Russel G. “The Abandoned Shipwreck Act of 1987 in the Millennium: Incentives to High Tech Piracy?.” Tulane Marine Law Journal (2003).

Nayati, Pudak. “Ownership Rights Over Archaeological/Historical Objects Found In Indonesian Waters: Republic Of Indonesia Act No 5 Of 1992 On Cultural Heritage Objects And Its Related Regulations.”

Singapore Journal of International & Comparative Law (1998).

Oxman, Benard H. ”Marine Archaeology and the International Law of the Sea.” Columbia Law Review (1998). Peltz, Robert D. “Salvaging Historic Wrecks.” Tulane Marine Journal (2000).

Peppetti, Jon D. “Building the Global Maritime Security Network: a Multinational legal Structure to Combat Transnational Threats.” Naval Law Review (2008).

Richmond, Allison Leigh. “Scrutinizing The Shipwreck Salvage Standard: Should A Salvor Be Rewarded For Locating Historic Treasure?.” New York International Law Review (2010).

Robol, Richard T. “Legal Protection for Underwater Cultural Resources: Can We Do Better?.” Journal of Maritime and Comparative Law (1999).

Segarra, Jonathan Joseph Beren. “Above Us the Waves: Defending The Expansive Jurisdictional Reach of American Admiralty Courts In Determining The Recovery Rights to Ancient or Historic Wrecks.”

Journal of Maritime Law and Commerce (2012).

Staniforth, Mark. “International Approaches to Underwater Cultural Heritage.” Department of Arhaeology,

School of Humanities, Flinders university, South Australia, (2009).

Stern, Justin S. “Smart Salvage: Extending Traditional Maritime Law to Include Intellectual Property.” Fordham

Law Review. Vol. 68. Issue.6. (2000).

Spencer, Paul R. “Broadcasting Video Online From 5000 Feet Underwater: A Proposal To Help Ensure An Archaeological Duty Of Care For Historic Shipwrecks.” California Western Law Review (2012). Vadi, Valentina Sara. “Investing in Culture: Underwater Cultural Heritage and International Investment Law.”

Vanderbilt Journal of Transnational Law. Vol.42. (2008).

Wright, Brooke. “Keepers,Weepers, or no finders at all: the effect of international trends on the exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive law in the salvage of historic wrecks”. Tulane Maritime Law Journal (2008).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

(17)

Indonesia. Undang-undang tentang Cagar Budaya, UU No. 11 Tahun 2010, LN No. 130 Tahun 2010, TLN No.5168.

Indonesia. Undang-undang tentang Benda Cagar Budaya, UU No.5 Tahun 1992, LN No. 27 Tahun 1992, TLN 3470.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014. LN No.2 Tahun 2014, TLN No. 5490.

Indonesia. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.27 Tahun 2007, LN No. 84 Tahun 2004, TLN No. 4739.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Benda Cagar Budaya, PP No. 10 Tahun 1993 tentang. LN No. 14 tahun 1993.

Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pembagian Hasil Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal

yang Tenggelam antara Pemerintah dan perusahaan, Keppres No. 25 Tahun 1992.

Indonesia. Keputusan Presiden tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal

Muatan kapal yang Tenggelam, Keppres No. 107 Tahun 2000.

Indonesia. Keputusan Presiden tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal

Muatan kapal yang Tenggelam, keppres, No. 19 Tahun 2007.

Indonesia. Keputusan Presiden tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal

Muatan kapal yang Tenggelam, Keppres No. 12 Tahun 2009.

Peraturan Menteri Keuangan No: 184/Pmk.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam

Amerika, Public Law No.100-298. Abandoned Shipwreck Act of 1987. Australia, Historic Shipwrecks Act 1976.

Inggris, The protection of Wreck Act 1973.

Spanyol, The Spanish Historical Heritage law No. 16 of 1985.

KONVENSI INTERNASIONAL

United Nations, United Convention on the Law of the Sea, 1982.

United Nations, The United Nations Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import,

Export and Transfer of Ownership of Cultural Property, 1970.

UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). UNESCO convention on the

protection of the Underwater Cultural Heritage 2001. DOKUMEN LAIN

Aubry, Michele. “Federal and State Shipwreck Management in The United States Of America”. Bulletin Of The Australian Institute For Maritime Archaeology, 1992.

Burruman, Elizabeth. “From the President: The Belitung Shipwrecks.” Archaeology (September-Oktober 2011). Encyclopedia Of Underwater And Maritime Archaeology. Edited By James P. Delgado. London: British

(18)

Junus Satrio A.(Ketua Ahli arkeologi Indonesia, Mantan wakil ketua I, Direktorat Pelestarian cagar Budaya dan Permuseuman, kemendikbud).”Perlindungan Warisan Budaya Menurut Undang-undang Cagar Buaya.” http://iaaipusat.wordpress.com/2012/03/17/perlindungan-warisan-budaya-daerah-menurut-undang-undang-cagar-budaya/Odyssey press release, 18 Mei 2007.

UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Anastasia Strati: Draft Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage: Commentary, UNESCO Doc CLT-99/WS/8 (drafted April 1999) 97 (‘Commentary’).

UNESCO, Annex of UNESCO convention on the protection of the Underwater Cultural Heritage 2001.

UNESCO Section of Museums and Cultural Objects Division of Cultural Objects and Intangible Heritage.

UNESCO Convention on protection of underwater cultural heritage 2001,

2007.(CLT/CIH/MCO/2007/PI/38).

UNESCOPRESS, “UNESCO Press Release No. 97-2008”. United Nations, Document A/3159.

Yearbook of the International Law Commission Vol. II. (1956).

______.International law assessment, report of the International Committee on the Cultural Heritage Law,

1990.

_______.“Clive of India’s Gold Found in Pirate wrecks’.The Times of London. (Senin, 29 September 1997).

WAWANCARA

Junus Satrio Atmodjo. (6 Juni 2014). Tim ahli Cagar Budaya Nasional,Ketua Ahli Arkeologi Indonesia, Mantan wakil ketua I, Direktorat Pelestarian cagar Budaya dan Permuseuman, kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Desse Yussubrasta. (3 Juni 2014). Sub Direktorat Eksplorasi dan Dokumentasi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Siti Zainab. (20 April 2014). Staff Kementerian Kelautan dan Perikanan bagian Panitia Nasional pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (PANNAS BMKT).

KASUS

SEA HUNT, Inc.and Commonwealth of Virginia v. The Unidentified Shipwrecked Vessel or Vessels, Their Apparel, Tackle, Appurtenances,And Cargo Located Within Coordinates.

Black Swan, Nuestra Señora de las Mercedes.Oddysey Marine Inc. V. Kingdom of Spain. Odyssey Marine Exploration, Inc. V. Unidentified, Wrecked, And Abandoned Sailing Vessel, 727 F. Supp.2d 1341, 1344 (M.D. Fla. 2010).

Dodington Coins.

Robinson V. Western Australian Museum.

Treasure salvors, Inc. V. The Unidentified Wrecked and Abandoned Sailing Vessel 1978. R.M.S Titanic, Inc. v. haver, 171 F.3d 943, 961 (4th Cir1999)

Mdm Salvage, Inc. V. The Unidentified, Wrecked And Abandoned Sailing Vessel, 631 F. Supp. 308, 311 (S.D. Fla. 1986)).

Bemis v. The R.M.S. Lusitania, 99 F.3d 1129, 1996.

Treasure Salvors, Inc. V. Unidentified, Wrecked, And Abandoned Sailing Vessel546 F.Supp. 919, 1983 A.M.C. 2040 Florida South 11th Circuit, Atlanta 2-Jul-81 1981.

Referensi

Dokumen terkait

Muka air banjir yang tinggi pada saat musim hujan menyebabkan banyak daerah yang tergenang banjir Daerah rawan banjir menjadi daerah bebas banjir Normalisasi

orangtua mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dari tenaga kesehatan, perawat memperkenalkan anggota timnya yang merawat bayinya, menjelaskan apa yang menjadi

Konfigurasi dengan superposisi phasa STR-TSR pada tinggi pengukuran 1 meter, 5 meter dan 10 meter menghasilkan kerapatan fluks magnet lebih tinggi dibandingkan

1. Metode Studi Pustaka dengan pencatatan secara cermat terhadap obyek yang diamati yaitu mengenai game 2D. Data diperoleh yakni dari buku, jurnal, artikel

Melalui kegiatan presentasi kelompok, siswa dapat mengkomunikasikan hasil diskusi tentang sikap kebersamaan dalam perbedaan kegemaran di rumah dengan percaya diri..

335 Ni Wayan Rati, S.Pd., M.Pd 197612142009122002 Pendidikan Guru Sekolah Dasar 2013 Penerapan Iptek Pendampingan Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) Siaga Bencana Berbasiskan

Dengan menggunakan EVA sebagai alat ukur kinerja yang menjadi dasar dalam pemberian kompensasi bonus, hambatan dalam mengevaluasi keberhasilan suatu proyek atau

Pada fenomena yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 bertentangan dengan teori yang ada, dimana menurut dimana menurut (Tjiptono Darmadji dan Hendy M, 2006:195)