• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hijab Allah SWT dengan Makhluknya: Ulasan Kritis Kitab Misykat Al-Anwar Karya Abu Hamid Al-Ghazali Salahuddin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hijab Allah SWT dengan Makhluknya: Ulasan Kritis Kitab Misykat Al-Anwar Karya Abu Hamid Al-Ghazali Salahuddin"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Ulasan Kritis Kitab Misykat Al-Anwar Karya Abu Hamid Al-Ghazali

Salahuddin∗

Abstrak

“Hijab merupakan penghalang yang menghalangi pencari makrifat dari apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan." Bagi para sufi, apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan adalah Allah, atau wajah Allah. Secara bertingkat-tingkat, Al-Ghazâlî menggambarkan unsur yang menyelubungi manusia dari Tuhan bersifat transenden mutlak. Dari sudut pandang transendensi (tanzîh) mutlak atau keesaan mutlak (fardânîyah), Tuhan berada di atas setiap kualitas.

Al-Ghazâlî mengklasifikasi orang-orang yang terhijab menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Yang terhijab oleh kegelapan murni semata, 2) Yang terhijab oleh cahaya yang bercampur dengan kegelapan, dan 3) Yang terhijab oleh cahaya murni semata.

Kata kunci: hijab, misykat al-anwar, al-Ghazali

A. Pendahuluan

Hijab berasal dari akar kata hajaba-yahjub-hajban/hijâban yang berarti menutupi.1 Dalam tasawuf, istilah ini digunakan dalam arti segala sesuatu dari diri manusia yang menyembunyikan dan menutupi Allah.2 Dengan demikian, berbicara tentang hijab berarti berbicara tentang penghalang dari melihat apa yang ada di balik hijab itu. Salah satu definisi paling awal dari istilah teknik tasawuf bagi kata hijab dikemukakan oleh Abû Nasr as-Sarrâj (w. 378 H/988 M). "Hijab merupakan penghalang yang menghalangi pencari makrifat dari apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan."3 Bagi para sufi, apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan adalah Allah, atau wajah Allah.4

Istilah lain yang juga biasa digunakan para sufi dalam arti yang sama dengan istilah hijab adalah satr, yang menunjuk kepada tirai yang menghijab antara hamba dan Tuhan-Nya. Menurut Ibn ‘Arabî (w. 638 H/1240 M), satr adalah hijab yang dengannya seseorang terhalang dari

kedudukan yang mulia, di mana

sesungguhnya ia adalah bukti (dalil) atas sesuatu yang tertabiri. Jadi satr adalah hijab dan sekaligus bukti.5

Rujukan-rujukan pada hijab menjadi

sangat umum dalam pembicaraan maupun tulisan-tulisan sufi awal. Hal ini karena sudah terlanjur dipahami bahwa kaum sufi sejati mengalami penyingkapan hijab. Abû Bakr al-Kalâbâdzî (w. 380 H/990 M) misalnya, dalam pendahuluan kitabnya, At-Ta'âruf lî Madzâhib Ahl al-Tashawwuf (Mengenal Mazhab Ahli Tasawuf), setelah terlebih dahulu memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi saw., ia beralih memuji tokoh-tokoh Muslim yang telah secara utuh meneladani Nabi saw., bukan hanya meneladani perbuatan-perbuatannya yang bersifat lahir, melainkan juga

memahami ucapan-ucapannya dan

melaksanakan aspek-aspek batinnya. Karena itu, mereka menyamai Nabi saw. dalam penyingkapan hijab yang merupakan jawaban dari doanya, "Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami hakikat segala sesuatu."6 Cahaya mereka menembus hijab, dan mata hati mereka menjelajahi Singgasana.7

B. Hadis tentang Hijab

Al-Ghazâlî sendiri memulai

pembahasan tentang hijab dalam kitab ini dengan mengutip suatu hadis Nabi saw. yang juga merupakan hadis yang paling umum dikutip dalam konteks ini. Hadis

(2)

tersebut adalah: ﻥﺇ ﷲ ﲔﻌﺒﺳ ﺎﺑﺎﺠﺣ ﻦﻣ ﺭﻮﻧ ﺔﻤﻠﻇﻭ ﻮﻟ ﺎﻬﻔﺸﻛ ﺖﻗﺮﺣﻷ ﺕﺎﺤﺒﺳ ﻪﻬﺟﻭ ﻞﻛ ﻦﻣ ﻪﻛﺭﺩﺃ ﻩﺮﺼﺑ . ٨

“Allah mempunyai tujuh puluh hijab cahaya dan kegelapan. Seandainya Ia menyingkap hijab-hijab itu, niscaya keagungan wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.”

Ada versi lain yang dipandang lebih sahih oleh para ahli hadis yaitu, "Hijab Allah adalah cahaya, seandainya Ia menyingkap hijab itu, niscaya keagungan wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.”9 Kata kerja yang digunakan dalam arti menyingkap dalam kedua hadis tersebut adalah kasyf atau "penyingkapan hijab", dan Allahlah yang menyingkap hijab itu, bukan makhluk. Al-Ghazâlî sendiri memahami bahwa hijab yang disebutkan di dalam hadis tersebut tidak dilihat dari sudut pandang Allah SWT. tapi dilihat dari sudut pandang makhluk-Nya yang dalam keadaan mahjûb (terhijab) dari-Nya. Karena dalam pandangan umum para sufi, Allah SWT. tidak pernah terhijab dari makhluk-Nya. Makhluk itu sendirilah yang menghijab dirinya dari Allah SWT.

Pada bagian lain dari kitab ini disebutkan bahwa Nabi saw. dalam sebuah hadisnya disebutkan bahwa beliau senantiasa berdoa agar diperlihatkan segala sesuatunya sebagaimana adanya. Para sufi

ketika mengomentari hadis ini

mengibaratkan bahwa dunia ini mirip sebuah pentas, sebuah ciptaan yang temporer, yang dengan melampauinya panggung bisa dilihat di mana, pada saat lain, permainan lain akan dipentaskan dan aktor lain akan menjalankan peran-peran mereka. Kita cenderung melihat dunia seolah-olah ia bersifat solid, permanen, dan substansial. Akan tetapi, jika dilihat dari mata Kebenaran, dunia akan tampak nyata.

Ketika pandangan kita menembus

panggung, kita mulai bisa melihat kehidupan sebagaimana adanya, melalui mata Khâliq. Hanya dengan itu kita bisa memandang semesta yang riil. Tujuh puluh ribu tabir antara kita dan Tuhan sebenarnya

adalah kebiasaan dan pikiran yang mencegah kita dari ingat dan menyadari hubungan langsung kita dengan Tuhan. Setiap saat kita menembus selapis tabir, kita sedikit lebih dekat dengan pusat spiritual kita. Setiap saat bayangan yang terlukis memperdayakan kita, lalu kita jadi terlepas dari diri kita sendiri. Tugas para sufi ada dua: pertama, mengembangkan kemampuan menyadari dan mengingat Tuhan; kedua, membantu orang lain untuk mengerjakan hal yang sama. Ketika seseorang berkembang, kedua tugas itu tergabung dan pada akhirnya, menjadi sama (identik).

Namun, yang paling layak untuk dicatat dari hadis di atas adalah bahwa cahaya merupakan hijab. Ini sangat paradoks, mengingat bahwa cahayalah yang membuat kita bisa melihat. Akan tetapi, cahaya memang dapat pula terlalu terang sehingga bisa membutakan mata kita, dan jelas inilah hakikat persoalannya menyangkut Tuhan. Dalam penjelasan sebelumnya, al-Ghazâlî menyatakan bahwa keterhijaban Allah dari makhluk-Nya bukan disebabkan akibat tiadanya perhatian kepada-Nya melainkan justru karena kuatnya pancaran cahaya-Nya. Inilah ide paling mendasar dalam masalah hijab ini. Paradoks yang lain seperti dikemukakan pada bab sebelumnya adalah bahwa pengetahuan sendiri bisa menjadi sebuah hijab. Padahal pengetahuan seperti kita ketahui adalah cahaya Allah yang dapat menghilangkan kegelapan yang diciptakan oleh hijab terbesar, yaitu diri. Kegelapan ini adalah kebodohan yang merupakan lawan kata dari pengetahuan. Meski demikian, tetap kita harus membedakan antara pengetahuan yang menutup jalan Allah dan

pengetahuan yang membantu dalam

menempuh jalan itu. Seperti ilham yang diterima Niffârî, “Hai hamba-Ku! Pengetahuan yang di dalamnya kamu melihat-Ku adalah jalan menuju Aku, dan pengetahuan yang di dalamnya kamu tidak melihat-Ku adalah hijab yang menyesatkan.”10 Untuk membebaskan diri dari hijab, pengetahuan harus melihat Allah di dalam dan melalui hijab. Sebaliknya,

(3)

kebanyakan pengetahuan justru memenjara dan terpenjara. Orang harus mengosongkan dirinya dari semua kesadaran tentang diri dan segala sesuatu yang lain, untuk melihat Allah. Semua praktik hamba Allah yang tertuang dalam syariat merupakan tehnik yamg memungkinkan kita untuk mencapai keadaan itu. Inilah pengetahuan sejati.

Namun, dalam analisis terakhir, “Semua hijab adalah Dia”. Tetapi, ketiadaan adalah Dia. Persamaan dan perbedaan abadi ini merupakan paradoks. Segala sesuatu bukanlah Allah, namun Allah hadir di dalam segala sesuatu.11 Tugas para sufi adalah membimbing manusia pada jalan menuju-Nya, tetapi hal itu tidaklah berarti Allah mencampakkan hijab-hijab itu karena itu memang mustahil. Apa yang dilakukan Allah adalah membawa manusia dari “hijab yang jauh”, yakni kebodohan atau melihat sisi barat sesuatu, kepada “hijab yang dekat”, yaitu menangkap kilasan cahaya Allah yang memancar melalui hijab, atau melihat sisi timur segala sesuatu.12 Dengan demikian, secara singkat, kita bisa menyatakan bahwa hijab tidak akan pernah terangkat. Akan tetapi, bimbingan Allah

dapat memberikan kepada manusia

perlindungan dan keselamatan dari bahaya yang timbul karena hijab.

C. Orang-orang Yang Terhijab menurut al-Ghazali

Uraian al-Ghazâlî tentang orang-orang yang terhijab berikut memperlihatkan kepada kita klasifikasi contoh-contoh orang yang terhijab oleh cahaya tersebut. Al-Ghazâlî mengklasifikasi orang-orang yang terhijab menjadi tiga bagian, yaitu:

I. Yang terhijab oleh kegelapan murni semata.

II. Yang terhijab oleh cahaya yang bercampur dengan kegelapan.

III. Yang terhijab oleh cahaya murni semata.13

Masing-masing dari ketiga bagian tersebut, kata al-Ghazâlî, memiliki sub bagian yang amat banyak. Meski mengaku bisa merangkum sub-sub bagian tersebut,

namun al-Ghazâlî sendiri merasa tidak yakin dengan hasil pembatasan dan rangkuman itu. Sebab, kata al-Ghazâlî, hal itu tidak dapat diketahui dengan pasti, apakah itu yang dimaksud oleh hadis tersebut. Adapun merangkum jumlah tersebut dengan memastikan angkanya sampai tujuh puluh, tujuh ratus, atau tujuh puluh ribu, maka tidak akan ada yang mampu melakukannya selain suatu “kekuatan kenabian”. Meski demikian, al-Ghazâlî menduga bahwa angka-angka itu tidaklah disebutkan untuk membatasi jumlah yang dimaksud, karena telah menjadi kebiasaan umum masyarakat Arab untuk menyebut angka-angka tertentu, tidak untuk membatasi, tetapi hanya untuk menunjukkan banyaknya jumlahnya. Al-Ghazâlî mengakui bahwa persoalan ini di luar kemampuannya, dan hanya Allah SWT. yang mengetahui hakikat hal itu.14

Berikut uraian al-Ghazâlî mengenai ketiga bagian orang-orang yang terhijab tersebut.

1. Yang Terhijab Kegelapan Murni Menurut al-Ghazâlî, orang-orang yang terhijab oleh kegelapan murni adalah orang-orang mulhid (ateis), yang tidak percaya kepada Allah dan hari akhir. Mereka lebih mengutamakan kehidupan dunia atas kehidupan akhirat, karena mereka memang tidak percaya sama sekali kepada akhirat. Kata al-Ghazâlî, ﻢﻫﻭ ﻥﻮﺑﻮﺠﶈﺍ ﺾﺤﲟ ،ﺔﻤﻠﻈﻟﺍ ﻢﻫﻭ ﺓﺪﺤﻠﳌﺍ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻮﻨﻣﺆﻳﻻ ﷲﺎﺑ ﻻﻭ ﻡﻮﻴﻟﺎﺑ ﺮﺧﻵﺍ . ﻢﻫﻭ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺍﻮﺒﺤﺘﺳﺍ ﺓﺎﻴﳊﺍ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺓﺮﺧﻵﺍ ﻢﻷ ﻥﻮﻨﻣﺆﻳﻻ ﺓﺮﺧﻷﺎﺑ ﻼﺻﺃ .

Mereka ini terpetakan lagi menjadi dua jenis.

1.1. Orang-orang yang berusaha mencari penyebab terjadinya alam, kemudian mereka melihat apa yang disebut “alam” (nature) sebagai penyebab terwujudnya segala sesuatu. Sedang alam sendiri adalah sifat yang tertanam dan menetap pada benda-benda (materi) dan ia adalah sesuatu yang gelap, karena tidak memiliki pengetahuan, pencerapan, kesadaran akan dirinya sendiri ataupun konsepsi

(4)

tentangnya. Ia tidak memiliki cahaya yang juga dapat dicerap oleh penglihatan lahiriah.

1.2. Orang-orang yang disibukkan oleh dirinya sendiri. Karena itu, mereka

tidak sempat mempertanyakan

penyebab terwujudnya alam semesta ini. Mereka hidup seperti hewan. Hijab mereka adalah diri mereka sendiri yang memiliki sifat yang amat rendah dan hawa nafsu yang amat gelap. Tidak ada kegelapan yang lebih pekat daripada memperturutkan hawa nafsu. Karena itulah Allah SWT. berfirman: “Tidakkah kau lihat orang yng menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. al-Jâsiyah/25:43). Demikian pula Rasulullah saw. pernah bersabda: “Hawa nafsu adalah sesembahan yang paling dibenci oleh Allah.”15

Kelompok yang disebut terakhir ini, kata al-Ghazâlî, terbagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil. Di antara kelompok ini, ada yang beranggapan bahwa tujuan utama kehidupan dunia adalah pemenuhan ambisi, pemuasan hawa nafsu, dan pelampiasan kesenangan hewani, seperti seks, makan, minum, pakaian, dan

sebagainya. Mereka adalah hamba

kesenangan duniawi. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai Tuhan mereka; mencarinya dengan mengerahkan segala upaya dan beranggapan bahwa keberhasilan

di bidang itu merupakan puncak

kebahagiaan. Mereka rela menempatkan diri mereka sederajat dengan hewan, bahkan lebih rendah. Adakah kegelapan yang lebih pekat dari kegelapan ini? Tipe orang seperti ini terhijab oleh kegelapan murni.16

Segolongan lainnya beranggapan bahwa tujuan utamanya adalah penaklukan, penguasaan, penangkapan, penahanan dan pembunuhan. Begitulah gagasan sebagian bangsa Arab (Badui), suku bangsa Kurdi tertentu, dan juga banyak sekali di antara orang-orang tolol. Kata al-Ghazâlî, mereka terhijab oleh kegelapan berupa sifat-sifat buas. Karena sifat-sifat tersebut telah

sedemikian rupa menguasai mereka. Mereka menganggap perburuan mereka itu sebagai puncak kebahagiaan. Mereka ini sudah puas dengan menempati kedudukan binatang buas, malah lebih rendah lagi.17

Golongan ketiga beranggapan bahwa tujuan utamanya adalah kekayaan dan

kemakmuran, karena harta benda

merupakan alat untuk memuaskan hawa nafsu. Yang mereka utamakan adalah penumpukan dan pelipatgandaan kekayaan – pelipatgandaan harta benda, rumah, kebun, logam mulia, burung, domba, sawah, dan sebagainya. Orang-orang seperti ini menimbun uang mereka di bawah tanah. Anda lihat mereka membanting tulang seumur hidup, menantang bahaya di darat, bahaya di laut, di bukit yang tinggi, di

lembah yang curam, mengumpulkan

kekayaan, dan mengangkanginya hanya untuk diri mereka sendiri – dan entah masih berapa lama lagi yang lainnya. Al-Ghazâlî menyebutkan bahwa mereka inilah yang dimaksud oleh Rasulullah ketika beliau bersabda, “Celakalah orang yang mengabdi kepada uang! Celakalah orang yang mengabdi kepada emas!”18 Sungguh, kegelapan apakah yang lebih pekat dari kegelapan yang dikenakan pada orang ini? Sungguh emas dan perak hanyalah dua jenis logam, yang dicari bukan hanya logam-logam itu sendiri, yang tidak lebih baik daripada kerikil kecuali bila dijadikan sarana untuk mencapai berbagai tujuan, dan dibelanjakan untuk hal-hal yang memang perlu.19

Golongan keempat, kata al-Ghazâlî, selangkah lebih maju ketimbang ketololan total golongan ketiga tadi. Golongan ini beranggapan bahwa kebahagiaan yang besar dapat ditemukan pada besarnya pamor, kemasyhuran diri, besarnya jumlah pengikut, dan pengaruh atas orang lain. Kata al-Ghazâlî, Anda melihat orang-orang ini mengagumi diri mereka di muka cermin, hingga, salah seorang dari mereka terkadang rela menanggung lapar di rumahnya, membelanjakan uangnya yang pas-pasan untuk membeli pakaian, dan berupaya untuk mematut-matut dirinya sebaik

(5)

mungkin dengan pakaian itu, semata-mata untuk menghindari pandangan yang menghina bila ia bepergian keluar rumah.

Selanjutnya al-Ghazâlî mengatakan bahwa selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi kelompok-kelompok kecil lainnya yang tak terbilang jumlahnya. Mereka terhijab dari Allah swt akibat kegelapan murni, yaitu diri mereka sendiri yang gelap. Tak perlu kiranya menyebutkan orang per-orang dari kelompok-kelompok tersebut di atas sesudah penjelasan ini menurut jenisnya masing-masing. Termasuk dalam lingkaran kelompok ini adalah orang-orang yang mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh dengan lisannya, tetapi hal tersebut barangkali lebih karena dorongan oleh rasa takut, kepura-puraan, dan laku dekoratif di hadapan kaum Muslim, atau karena dorongan ingin mengeruk kekayaan umat Islam, dan atau karena fanatisme untuk membela agama atau madzhab nenek moyang. Selama mereka ini masih berkutat pada hanya sekedar ucapan di bibir tanpa tindakan praktis berupa amalan saleh sebagai manifestasi dari ucapan mereka, maka kalimat tersebut tidak akan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Bahkan penguasa mereka adalah thâgût yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.20 Adapun orang yang terpengaruh positif oleh kalimat tauhid tersebut, di mana ia sedih dengan keburukan amalnya dan senang dengan kebaikan amalnya, maka orang ini telah keluar dari hijab kegelapan, meski ia banyak berbuat maksiat.21

Dengan demikian, dari paparan tersebut secara garis besar dapat kita ringkas bahwa orang-orang yang terhijab oleh kegelapan murni adalah:

Kaum Ateis, yang terbagi menjadi:

(a) Para filosof naturalis yang tuhannya adalah alam.

(b) Orang-orang yang egoistis, yang mempertuhankan hawa nafsunya, yang terbagi lagi menjadi:

1. Para pencari kesenangan sensual 2. Para pencari kekuasaan

3. Para pencari harta, dan

4. Para pencari kemegahan dunia Tiga yang disebut terakhir adalah sifat yang melekat pada diri orang-orang yang rakus.

2. Yang Terhijab oleh Cahaya

Sekaligus Kegelapan

Menurut al-Ghazâlî, orang-orang yang terhijab oleh cahaya sekaligus kegelapan ini dapat dipetakan dalam tiga kategori jenis berdasarkan sumber kegelapan mereka, yaitu dari indera, khayal, analogi-analogi rasio yang destruktif.22 Kata al-Ghazâlî, ﺔﻔﺋﺎﻃ ﺍﻮﺒﺠﺣ ﺭﻮﻨﺑ ﻥﻭﺮﻘﻣ ﺔﻤﻠﻈﺑ ﻢﻫﻭ ﺔﺛﻼﺛ ﻑﺎﻨﺻﻷ : ﻒﻨﺻ ﺄﺸﻨﻣ ﻢﻬﺘﻤﻠﻇ ﻦﻣ ﳊﺍ ،ﺲ ﻒﻨﺻﻭ ﺄﺸﻨﻣ ﻢﻬﺘﻤﻠﻇ ﻦﻣ ،ﻝﺎﻴﳋﺍ ﻒﻨﺻﻭ ﺄﺸﻨﻣ ﻢﻬﺘﻤﻠﻇ ﻦﻣ ﺕﺎﺴﻳﺎﻘﻣ ﺔﻴﻠﻘﻋ ﺓﺪﺳﺎﻓ .

2.1. Orang yang terhijab oleh cahaya sekaligus kegelapan inderawi. Mereka terbagi lagi dalam berbagai kelompok atau aliran yang pemikirannya sedikit banyak tidak terpaku pada diri mereka sendiri dan tidak terlepas sama sekali dari pencarian Tuhan serta keinginan untuk mengenal-Nya. Yang pertama dari mereka adalah kaum penyembah berhala dan yang terakhir adalah kaum tsanawiyah (yang menduakan Tuhan), Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan. Di antara kedua golongan ini terdapat berbagai tingkatan.23

2.1.1. Kaum Penyembah Berhala. Secara umum mereka mengetahui bahwa ada Tuhan yang harus mereka utamakan di atas nafu-nafsu gelap mereka. Mereka juga memiliki kepercayaan bahwa Tuhan mereka lebih mulia dari segalanya, lebih berharga dari segala yang berharga. Akan tetapi, kesadaran ini tidak berlanjut, kabut kegelapan indera menyelubungi dan menghalangi mereka untuk melangkah dan melewati batas indera. Karena itu, mereka lalu membuat patung-patung indah yang terbuat dari logam-logam mulia dan batu permata, seperti emas, perak, dan

(6)

yaqut (batu nilam), lalu menjadikannya sebagai “tuhan-tuhan”. Orang-orang ini silau dan tertutup oleh cahaya kemuliaan dan keindahan sifat-sifat Allah dan cahaya-cahaya-Nya. Akan tetapi, mereka melekatkan sifat-sifat itu kepada benda-benda inderawi sehingga mereka terhijab oleh cahaya tersebut oleh kegelapan indera. Karena sesungguhnya indera adalah kegelapan bila dibandingkan dengan alam ruhani seperti telah diuraikan sebelumnya.24 2.1.2. Sekelompok orang yang berasal

dari pedalaman Turki, tidak

mempunyai agama dan juga aturan hukum (syariat). Mereka meyakini bahwasanya mereka memiliki Tuhan, dan Tuhan mereka adalah “yang paling indah dari segala sesuatu”. Karena itu, bila melihat sosok manusia yang memiliki keindahan luar biasa, begitu pula pohon, kuda dan hal-hal inderawi lainnya, mereka akan bersujud kepadanya, dan berkata: “Ia adalah Tuhan kami.” Mereka ini terhijab oleh cahaya keindahan yang bercampur dengan kabut kegelapan indera. Keadaan mereka lebih baik baik

dibandingkan dengan kaum

penyembah berhala, sebab yang mereka sembah ialah “keindahan mutlak”, bukan sosok tertentu. Mereka tidak mengaitkan keindahan ini dengan individu. Selain itu, yang mereka sembah adalah “keindahan alami”, bukan keindahan buatan tangan mereka.25

2.1.3. Sekelompok orang yang mengatakan bahwa “Tuhan kita haruslah bersifat nurani (bersifat cahaya) pada zatnya, cemerlang dalam bentuknya, memiliki kekuasaan pada dirinya, amat berwibawa sehingga tak mungkin dapat didekati. Akan tetapi, ia haruslah sesuatu yang mahsûs (dapat dicerap oleh indera), sebab tidak ada arti bagi sesuatu yang tidak dapat dicerap (ghair mahsûs) bagi mereka.” Kemudian mereka mendapati api

memiliki sifat-sifat ini, maka mereka

pun menyembahnya dan

menjadikannya sebagai Tuhan. Mereka ini terhijab oleh cahaya kekuasaan dan

kecemerlangan. Kedua-duanya

termasuk di antara cahaya-cahaya Allah SWT.26

2.1.4. Mereka yang berasumsi bahwa kita-lah yang menguasai api dengan mekanisme nyala dan padam. Api berada di bawah kendali kita sehingga ia tidak layak disebut Tuhan. Tuhan sejati menurut mereka adalah yang mempunyai sifat-sifat keindahan dan kecemerlangan, dan kita berada di bawah mekanisme kontrolnya, dan di samping itu ia juga menyandang sifat-sifat kemuliaan dan ketinggian. Ilmu tentang bintang (astronomi), dan

pengaruh-pengaruh yang

ditimbulkannya (astrologi), sangat populer di kalangan mereka. Oleh sebab itu, di antara mereka ada yang menyembah bintang Syi’ra, ada pula yang menyembah Jupiter atau bintang-bintang lainnya, tergantung pada besarnya pengaruh masing-masing menurut kepercayaan mereka. Mereka terhijab dengan cahaya ketinggian, yaitu di antara cahaya-cahaya Allah SWT.27

2.1.5. Mereka yang hampir bersesuaian dengan kelompok sebelum ini. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak selayaknya dilabeli dengan atribut besar dan kecil daam konteks esensi kecahayaan. Dia haruslah berupa esensi kecahayaan yang terbesar. Maka mereka pun menyembah matahari ketika melihatnya sebagai yang terbesar. Mereka terhijab oleh cahaya kebesaran di samping cahaya-cahaya lainnya, dibarengi dengan kabut kegelapan indera.28

2.1.6. Mereka yang agak lebih maju dari kelompok-kelompok sebelum ini. Kata

mereka: “Matahari tidaklah

memonopoli semua cahaya, benda-benda lain pun memiliki cahaya-cahaya.

(7)

Tidak sepatutnya ada sekutu bagi Tuhan dalam kecahayaannya.” Karena itu, mereka pun menyembah “cahaya mutlak” yang menghimpun semua cahaya, lalu menganggapnya sebagai Rabb al ‘Âlamîn, Tuhan semesta alam, yang kepada-Nya dinisbahkan segala

kebaikan. Kemudian mereka

menyaksikan pula terjadinya kejahatan-kejahatan di dunia ini dan menganggap tidak sepantasnya menisbahkan hal itu kepada Tuhan mereka. Sebab Tuhan seharusnya dijauhkan dari hal-hal seperti itu. Berdasarkan itu mereka mempercayai adanya pertentangan antara dia dan kegelapan, dan bahwa alam ini dikuasai oleh dua kekuatan, atau dua Tuhan; yakni cahaya dan kegelapan, yang adakalanya mereka namakan “Yazdan” dan “Ahraman”. Mereka itu adalah kelompok tsanawiyah

(yang menduakan Tuhan).

Demikianlah, cukup bagi anda uraian ini sekadar menyebutkan mengenai aliran-aliran ini meski sesungguhnya masih banyak lagi aliran lainnya semacam ini.29

2.2. Orang-orang yang terhijab oleh sebagian cahaya yang disertai oleh kegelapan khayali. Mereka ini dapat melampaui indera dan menetapkan tentang adanya sesuatu di balik benda-benda inderawi. Kendati demikian, mereka tidak mampu melampaui daya

khayal, sehingga mereka pun

menyembah “suatu maujud yang duduk di atas arsy (singgasana)”. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah kelompok Mujassimah, yakni yang menyatakan bahwa Tuhan berjisim (bertubuh). Kemudian, kelompok-kelompok Karrâmiyah. Aku tidak hendak menguraikan tentang pendapat-pendapat serta aliran-aliran mereka, sebab kurasa tak ada gunanya. Akan tetapi yang paling tinggi tingkatannya di antara mereka adalah pengikut aliran yang menafikan semua bentuk kejisiman Tuhan serta

perubahan-perubahan kondisi yang menyertainya kecuali satu hal, yaitu tentang bersemayamnya Tuhan di suatu arah tertentu yang dapat ditunjuk, yakni “di atas”. Sebab, kata mereka, sesuatu yang tidak dinisbahkan ke suatu arah dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “tidak ada”, karena tidak dapat dikhayalkan. Orang-orang seperti ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang ma’qûl (dapat dicerna oleh akal) ialah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.30

2.3. Mereka yang terhijab oleh cahaya-cahaya Ilahi yang disertai oleh kesimpulan-kesimpulan akal yang salah, berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yang keliru dan diliputi kegelapan. Maka mereka kemudian menyembah Tuhan yang bersifat mendengar, melihat, mengetahui, berkuasa, berkehendak, hidup, dan tersucikan dari (mendiami) segala arah. Akan tetapi, mereka memahami sifat-sifat ini sesuai dengan sifat-sifat-sifat-sifat manusiawi mereka sendiri. Adakalanya sebagian mereka menegaskan bahwa firman-Nya terdiri dari huruf-huruf dan suara-suara seperti ucapan kita sendiri. Sebagian dari mereka berpendirian agak lebih maju lagi dengan mengatakan bahwa firman-Nya itu “menyerupai bisikan hati kita”, yakni tanpa huruf dan tanpa suara. Demikian pula jika dituntut untuk menjelaskan tentang hakikat sifat-sifat mendengar, melihat, dan hidup yang berkaitan dengan-Nya, mereka kembali ke sikap tasybih (menyerupakan sifat Allah swt dengan makhluk-Nya) dalam hakikat maknanya, walaupun mereka

mengingkarinya dengan ucapan

mereka. Ini disebabkan mereka sama sekali tidak mampu memahami makna-makna sebenarnya dari penyebutan sifat-sifat ini dalam kaitannya dengan

(8)

Allah SWT. Karena itu pula, mereka mengatakan bahwa kehendak-Nya bersifat baru (hadîts), bukan lama (qadîm) seperti juga sifat kehendak kita, dan bahwa Ia bertujuan dalam setiap perbuatan-Nya seperti halnya kita bertujuan.31

Ini semua, Kata al-Ghazâlî, adalah aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang cukup terkenal, tidak perlu diuraikan secara terperinci. Secara keseluruhan mereka adalah orang-orang yang terhijab dari Allah swt oleh beberapa jenis cahaya yang disertai

kesimpulan-kesimpulan berdasarkan

perkiraan-perkiraan analogis yang keliru. Al-Ghazâlî menyebut iman sebagai suatu derajat cahaya dan silogisme palsu sebagai hijab kegelapan. Dalam risalah ini, dia mengidentifikasi mutakallimûn dengan kelompok terbaik "di antara mereka yang terhijab oleh campuran cahaya dan kegelapan.

3. Yang Terhijab oleh Cahaya-cahaya Murni

Menurut al-Ghazâlî, orang-orang yang terhijab oleh cahaya-cahaya murni terdiri dari berbagai aliran. Kata al-Ghazâlî,

ﰒ ﻥﻮﺑﻮﺠﶈﺍ ﺾﺤﲟ ﺭﺍﻮﻧﻷﺍ ﻢﻫﻭ ﻑﺎﻨﺻﺃ ﻻﻭ ﻦﻜﳝ ﻢﻫﺅﺎﺼﺣﺇ : ﲑﺷﺄﻓ ﱃﺇ ﺔﺛﻼﺛ ﻑﺎﻨﺻﺃ ﻢﻬﻨﻣ . ..

Namun al-Ghazâlî dalam hal ini hanya menyebutkan tiga jenis saja, yakni: 3.1. Orang-Orang yang benar-benar

mengetahui makna sifat-sifat yang dinisbahkan kepada Allah SWT. Mereka menyadari bahwa penyebutan sifat-sifat kalâm (firman), irâdah (kehendak), qudrah (kemampuan, kecakapan), 'ilm (pengetahuan) dan lain sebagainya yang dinisbahkan kepada Allah swt, tidaklah sama

dengan penisbahannya kepada

manusia. Karena itu, mereka enggan mendefinisikan sifat-sifat ini. Mereka hanya mau mendefinisikannya dalam

hubungan antara Dia dengan

makhluk-Nya saja seperti yang dilakukan oleh Musa a.s. ketika

menjawab pertanyaan Fir’aun: “Siapa itu Rabb al-‘Âlamîn?” Mereka lalu menjawab bahwa Tuhan Yang Maha Tersucikan dari makna sifat-sifat ini adalah Dia yang menggerakkan lelangit dan mentadbirkannya.32

3.2. Mereka yang pikirannya lebih maju dan tingkatnya lebih tinggi dari yang sebelum ini, yaitu mereka yang menyadari adanya kemajemukan di lelangit, dan bahwa “penggerak” setiap langit secara khusus adalah makhluk lain yang disebut malaikat. Malaikat ini jumlahnya banyak.

Keadaan mereka dibandingkan

dengan cahaya-cahaya Ilahiyah seperti bintang di antara cahaya-cahaya inderawi. Kemudian tampak bagi mereka bahwa lelangit ini berada dalam lingkup falak lainnya, yang dengan gerakannya, segala sesuatunya ikut bergerak satu kali dalam sehari semalam. Maka ar-Rabb (Tuhan Maha Pengatur dan Pemelihara), adalah Penggerak “jirm (benda jisim) paling utama” yang mencakup semua falak. Hal ini berdasarkan pengertian bahwa Ia wajib dinafikan dari segala bentuk kemajemukan.33

3.3. Mereka yang tingkatnya lebih tinggi lagi dari kelompok sebelum ini. Mereka

menyatakan bahwa perbuatan

“menggerakkan benda-benda secara langsung” sepatutnya merupakan suatu bentuk pelayanan bagi Rabb al-‘Âlamîn, ibadat kepada-Nya serta ketaatan seorang hamba di antara

hamba-hamba-Nya. Hamba yang

disebut “malaikat” itu, kedudukannya dalam hubungannya dengan cahaya-cahaya Ilahiyah yang murni, seperti bulan dengan cahaya-cahaya inderawi. Berdasarkan hal ini – kata mereka – maka ar-Rabb adalah al-Mutha’, yang ditaati oleh si “penggerak”. Dengan begitu, Ar-Rabb swt mempunyai penggerak utama atas semuanya, dengan cara mengeluarkan perintah, bukan dengan menanganinya secara

(9)

langsung. Untuk menjelaskan hal itu sampai kepada hakikatnya, tidaklah mudah, bahkan tidak terjangkau oleh sebagian besar pemahaman umum, di samping tak terpenuhi oleh buku seperti ini.34 Ringkasnya, orang-orang tersebut di atas semuanya telah terhijab oleh cahaya-cahaya murni. 3.4. Mereka yang telah sampai di akhir

perjalanan” (al-wâshilûn). Bagi mereka tersingkap bahwa yang disebut

al-muthâ‘ (yang ditaati) ini,

bagaimanapun, masih memiliki suatu sifat yang berlawanan dengan keesaan mutlak, disebabkan suatu rahasia tersembunyi, yang buku ini tidak cukup memiliki kemampuan untuk

menyingkapkannya. Adapun

kedudukan al-muthâ‘ ini dalam hubungannya dengan Wujûd al-Haqq (Allah swt) adalah seperti matahari dengan cahaya murni atau bara api dalam hubungannya dengan substansi api yang murni.

ﻥﺇﻭ ﺔﺒﺴﻧ ﺍﺬﻫ ﻉﺎﻄﳌﺍ ﱃﺇ ﺩﻮﺟﻮﻟﺍ ﳊﺍ ﻖ ﺔﺒﺴﻧ ﺲﻤﺸﻟﺍ ﰲ ﺭﻮﻨﻟﺍ ﺾﶈﺍ ﻭﺃ ﺔﺒﺴﻧ ﺮﻤﳉﺍ ﱃﺇ ﺮﻫﻮﺟ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻑﺮﺼﻟﺍ

Oleh sebab itu, orang-orang ini pun beralih dari “yang menggerakkan lelangit”

serta “yang memerintahkan

penggerakannya”; dan sampailah mereka ke suatu Maujud Yang Maha Tersucikan dari segala sesuatu yang dapat terjangkau oleh bashar (penglihatan mata) para penglihat maupun oleh bashirah (mata hati) mereka. Mereka mendapati-Nya sebagai Yang Maha Qudus dan Maha Tersucikan dari segala yang telah kami lukiskan sebelumnya.35

Kemudian orang-orang ini pun terbagi lagi dalam beberapa bagian. Di antara mereka ada yang mengalami keadaan yang menyebabkan terbakarnya segala yang pernah dicerap oleh penglihatannya, lalu ia sendiri menjadi larut dan luluh kendati masih terus menatap “Keindahan” dan “Kequdusan” di samping menatap dirinya sendiri dalam “keindahan” yang diraihnya dan telah mencapai Hadhrat Ilahiyah.

Dengan demikian, luluhlah segala yang dapat terlihat di hadapan Yang Maha Melihat.36

Masih ada lagi sekelompok lainnya yang melampaui keadaan orang-orang tersebut, yaitu mereka yang termasuk khawâshsh al-khawâshsh (yang khusus di antara yang khusus). Mereka ini yang “terbakar” oleh cahaya-cahaya wajah-Nya yang Tertinggi lalu tenggelam dalam

gelombang “Kekuatan Keagungan”,

sehingga diri mereka larut dan luluh sama sekali. Karena itu pula, mereka tidak lagi memiliki perhatian sedikitpun ke arah diri mereka sendiri disebabkan kefanaan diri mereka itu. Di saat itu tiada sesuatu pun yang masih tertinggal kecuali Yang Maha Tunggal lagi Maha Benar, sehingga makna firman-Nya, ﻪﻬﺟﻭﻻﺇﻚﻟﺎﻫﺀﻲﺷﻞﻛ “Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya,” (QS. al-Qashash/28: 88) dapat dirasakan oleh mereka dengan dzauq dan hâl. Hal itu telah kami isyaratkan dalam Bab Pertama buku ini, dan telah kami sebutkan pula bagaimana

mereka menyebut tentang ittihâd

(kebersatuan, keadaannya menyatu dengan-Nya), dan bagaimana anggapan mereka tentang itu. Kata al-Ghazâlî, inilah akhir perjalanan “orang-orang yang telah sampai”.37

Di antara mereka ada pula yang tidak menjalani pendakian dan mi’raj dengan cara setahap demi setahap, setingkat demi setingkat, seperti perincian yang telah kami sebutkan sebelum ini. Sehingga pendakian mereka ini tidak banyak makan waktu dan

mereka pun dalam sekejap telah

memperoleh kesempatan paling dahulu untuk meraih ma’rifat tentang kekudusan serta pensucian sifat keagungan Rububiyah sesuci-sucinya dari segala yang harus disucikan atau dijauhkan daripadanya. Karena itu, diri mereka telah diliputi, sejak pertama kali mereka memulai perjalanan, oleh keadaan yang meliputi orang-orang selain mereka pada akhir perjalanannya. Mereka tiba-tiba diserbu oleh tajallî Ilahi (ketersingkapan hijab di antara Dia dan

(10)

mereka) secara sekaligus, sehingga cahaya-cahaya wajah-Nya membakar segala yang dapat dicerap oleh penglihatan inderawi maupun penglihatan batiniah mereka. Keadaan pertama, yakni cara pencapaian bertahap, mirip dengan jalan Nabi Ibrahim Khalîl Allâh a.s., sedangkan yang kedua adalah jalan Nabi Muhammad saw. Namun Allah SWT. tentunya yang lebih mengetahui tentang rahasia-rahasia tapak kaki mereka berdua serta cahaya-cahaya maqâm mereka.38

Demikian tinjauan sekilas tentang aneka ragam orang-orang yang terhijab, yang jumlah mereka akan mencapai tujuh puluh ribu, sekiranya diperinci tingkat-tingkat mereka serta berbagai hijab yang mendinding orang-orang yang sedang meniti jalan pendakian. Bagaimanapun, bila anda teliti, tak seorangpun di antara mereka akan keluar dari bagian-bagian yang telah kami sebutkan. Adakalanya mereka terhijab oleh sifat-sifat manusiawi mereka atau oleh indera, khayal, kesimpulan-kesimpulan akal ataupun oleh cahaya murni sebagaimana uraian yang lalu.39

Al-Ghazâlî mengakhiri penjelasan ini dengan berendah hati mengatakan bahwa hanya inilah yang ada dalam pemikirannya

sekarang dalam rangka

menjawab-menjawab pertanyan-pertanyaan ini,

walaupun harus diakuinya bahwa

pertanyaan ini diajukan kepadanya di saat pikirannya sedang terbagi, perasaannya bercabang, dan perhatiannya sedang tertuju ke persoalan-persoalan selain ini. Lebih lanjut al-Ghazâlî berharap agar anda bersedia memohonkan ampunan baginya daripada tersesatnya pena dan tergelincirnya kaki. Sebab, menurutnya, keberanian mengarungi lautan rahasia-rahasia Ilahi adalah suatu tindakan yang amat berbahaya. Usaha menyingkap cahaya-cahaya di persada tinggi, di balik berbagai hijab, adalah langkah yang tidak mudah.40

D. Epilog: Beberapa Catatan dan Refleksi Kritis

Yang menarik untuk dikomentari di sini adalah paparan al-Ghazâlî tentang konsep mutha’.41 Konsep ini cukup membingungkan para ahli mengenai siapa sebenarnya muthâ’ yang dimaksud oleh al-Ghazâlî tersebut. Beragam pendapat para ahli mengenai hal ini, tetapi yang menarik adalah ulasan yang dikemukakan oleh Nicholson. Menurutnya, mutha’ yang dimaksud oleh imam tersebut adalah bahwa Allah tetap sebagai pencipta alam semesta, tetapi Allah SWT. memerintah melalui al-muthâ’. Meskipun demikian, al-muthâ’ tidak sama dengan Allah, sebab dia juga ciptaan Allah. Hanya yang menjadi masalah ialah apa dan siapa yang dimaksud dengan al-muthâ’ tersebut? Ada yang menyarankan supaya al-muthâ’ disamakan dengan qutb42 (penghulu para sufi), tetapi saran ini nampaknya tidak tepat, karena al-Ghazâlî sendiri sangat keras menolak doktrin Imam tersembunyi dari Syi'ah Isma'ilî, yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai sumber konsep qutb tersebut.43

Bagi Nicholson, al-muthâ’ itu ada hubungannya dengan spekulasi yang bersifat sufistik dari al-Ghazâlî. Oleh karena itu, al-muthâ’ dapat mewakili idea atau contoh pertama dari roh Muhammad.44 Hal ini sesuai dengan hadis yang akan dibicarakan kemudian, yang menyatakan bahwa Adam diciptakan sesuai dengan bentuk-Nya. Oleh karena itu, al-muthâ’ dapat dianggap sebagai suatu kuasa alam yang menjaga tata tertib alam semesta ini. Al-Qur'an juga menerangkan tentang roh, yang merupakan amr Allâh yang oleh al-Jîlî, seorang sufi terkenal abad 14 Masehi, dikatakan bahwa salah satu dari nama roh ketuhanan ialah amr Allâh, yaitu commander dari Allah, yang juga sama dengan doktrin logos.45

Mungkin sekali al-Ghazâlî

mengemukakan konsep al-muthâ’ tersebut berdasar kepada ayat yang maksudnya "Katakanlah, jika kamu betul-betul mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya kamu akan dicintai Allah, dan Allah Maha

(11)

Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Ali ‘Imrân/3: 31). Sementara ayat yang dianggap ada hubungan dengan kata al-muthâ’ adalah seperti kata athî'u yang terdapat dalam ayat yang berarti, "Katakanlah, taatilah Allah dan rasulnya-Nya, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang tidak beriman" (QS. Ali ‘Imrân/3: 32). Jadi kata al-muthâ’ dianggap berasal dari kata athî'u (bentuk perintah). Maksudnya, Allah memerintahkan supaya taat dan patuh kepada Muhammad. Dengan begitu, setiap orang muslim yang baik dianggap sama dengan Muhammad, yang juga al-muthâ’, yang dipatuhi dan ditaati.

Hal menarik lainnya yang penting untuk kembali diungkapkan di sini adalah bahwa al-Ghazâlî dalam bagian ini menaruh perhatian utamanya pada unsur yang menyelubungi manusia. Secara bertingkat-tingkat, dia menggambarkan unsur yang menyelubungi manusia dari Tuhan bersifat transenden mutlak. Dengan kata lain, Tuhan berada dalam keesaan mutlakNya. Dari sudut pandang transendensi (tanzîh) mutlak atau keesaan mutlak (fardânîyah), Tuhan berada di atas setiap kualitas. Karena itu, menyandarkan sifat-sifat atau kualitas-kualitas kepada Tuhan, berarti meniadakan Transendensi mutlak-Nya dan realitas-Nya yang hakiki. Hal ini berbeda dengan uraian sebelumnya ketika mengomentari tentang ayat Cahaya "Tuhan adalah Cahaya Lelangit dan Bumi," sudut pandang al-Ghazâlî adalah sudut pandang tasybîh (analogi atau perbandingan). Maksud utamanya di sini adalah untuk menjelaskan pelbagai derajat cahaya sebagai perwujudan dari Tuhan, Cahaya yang hakiki.

Selain itu, al-Ghazâlî juga dengan sangat lugas menyebut secara langsung kelompok atau golongan yang disebut terhijab yang nampaknya belum pernah

dikemukakan oleh ulama-ulama

sebelumnya. Hal ini sangat berbeda misalnya dengan para sufi sebelum dan sesudahnya. Salah satu contoh klassifikasi yang berbeda ini dikemukakan misalnya

oleh Amatullah Armstrong, yang

mengatakan bahwa dalam tahap-tahap awal perjalanan kembali menuju Sumber, sang penempuh jalan spiritual (sâlik) tertabiri oleh aspek lahiriah eksistensi dari aspek

batiniahnya. Dalam tahap-tahap

pertengahan, sang penempuh jalan spiritual tertabiri oleh aspek batiniahnya dari aspek lahiriahnya di mana pada tahap ini dia didominainasi oleh kemabukan spiritual (sukr). Dalam tahap terakhir, aspek-aspek batiniah maupun lahiriah tidak menabiri dirinya dari kehadiran Allah yang dilihatnya di mana-mana, di mana dia didominasi oleh ketidakmabukan spiritual (sahw).46

Rasyîd ad-Dîn Maibudi, seorang ulama sufi yang sezaman dengan al-Ghazâlî menyebutkan tujuh hijab yang menghalangi manusia dari “melihat subtilitas dan menemukan realitas”. Yaitu, akal, pengetahuan, hati, nafsu, persepsi indera, dan kemauan. Akal menahan orang untuk tetap betah di dunia ini dan bahkan menata kehidupan mereka, sehingga mereka tetap jauh dari Yang Mahabenar.. Pengetahuan menarik mereka ke dalam bidang pemainan keangkuhan bersama dengan kawan sebaya mereka, sehingga mereka menetap di bukit

perlombaan dan persaingan. Hati

menjerumuskan mereka ke dalam tahapan keberanian dan kekerasan hati sehingga mereka terjerumus ke dalam godaan bersaing untuk mendapat ketenaran di dunia ini. Akibatnya, mereka pun kehilangan perhatian terhadap agama atau kejayaan agama mereka. Diri secara otomatis menjadi hijab paling besar dan musuh agama. Nabi saw. bersabda, “Musuhmu yang paling jahat adalah dirimu sendiri yang menempatkanmu hanya pada dua pilihan.” Jika kamu menundukkannya, kamu akan menang. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, kamu akan tersungkur tanpa bias bangkit lagi. Persepsi indera adalah hawa nafsu, keinginan adalah pebuatan maksiat dan kemauan adalah kelemahan. Hawa nafsu dan perbuatan maksiat merupakan hijab bagi orang-orang awam, dan kelemahan adalah hijab yang menahan

(12)

orang-orang pilihan Allah dari jalan Allah 47

Dengan demikian, apa yang

membedakan al-Ghazâlî dengan para sufi lainnya ketika berbicara tentang hijab adalah bahwa al-Ghazâlî di dalam kitab ini lebih berani dan tak tanggung-tanggung menyebutkan contoh orang-orang atau aliran yang terhijab, sementara sufi lainnya lebih menekankan pada hijab itu sendiri. Meski demikian, kalau kita kembali menelaah apa yang menghijab orang-orang yang terhijab yang dibicarakan al-Ghazâlî dalam kitab ini, mulai dari yang terhijab oleh kegelapan murni sampai kepada yang terhijab oleh cahaya murni, terlihat bahwa yang menghijab orang-orang tersebut tidak berbeda dengan yang dibicarakan oleh para sufi sebelum maupun sesudah al-Ghazâlî, yakni keinginan-keinginan duniawi dan nafs (ego). Pesan spiritual yang bisa ditangkap dari pemaparan al-Ghazâlî tentang hijab di atas adalah bahwa kita akan sampai ke derajat "cahaya" apabila kita mampu melepaskan semua keterikatan dalam

bentuk hijab-hijab seperti yang

dikemukakan di atas. Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan.

Di sisi lain, kita sebenarnya dapat menyatakan bahwa setiap orang merasakan di dalam hatinya cinta yang kuat kepada Tuhan, baik sadar maupun tidak sadar. Orang-orang yang tidak beriman, yang hanya mengejar tujuan atau cita-cita sekuler, sesungguhnya mencintai dan menyembah Tuhan dalam bentuk mencintai apa yang mereka anggap sebagai kebaikan puncak. Misalnya, orang yang ingin berkuasa akan menginginkan kekuasaan puncak. Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak orang keliru dalam mengenali apa sesungguhnya kebaikan tertinggi itu. Sebagian mungkin menganggap uang sebagai kebaikan tertinggi atau sebagai tuhannya. Yang lain menganggap kekuasaan politik sebagai tuhannya, dan sebagainya. Al-Qur’an menyatakan, Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? (QS. Furqân [25]: 43; QS.

Al-Jâtsiyah [45]: 23).

Jika kemudian apa yang mereka cita-citakan mereka capai, maka cinta fitrah mereka kepada Tuhan, kebaikan tertinggi, akan tetap tak terjawab sehingga mereka akan tetap merasa tidak bahagia dan malah justru akan membuatnya semakin frustrasi. Karena itu, mengakhiri bahasan ini, tepat kiranya penulis mengutip Ibn ‘Arabî yang menyatakan:

“Tidak ada selain Tuhan yang yang pernah dicintai. Tuhanlah yang mewujudkan Diri-Nya sendiri dalam apapun yang dicintai oleh orang yang mencintai. Tidak ada sesuatu yang selain itu yang dicintai. Jadi, seluruh alam semesta mencintai dan dicintai, dan semua ini kembali kepada-Nya sebagaimana tidak ada yang lain yang patut disembah kecuali Dia. Apapun yang disembah oleh seorang hamba (Tuhan), itu disebabkan oleh imajinasi ketuhanan yang salah di dalamnya; jika tidak demikian, Dia tidak akan pernah disembah. Tuhan Yang Mahaagung menyatakan: Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah selain Dia (QS. Al-Isrâ’ [17]: 23). Ini adalah kasus yang berkaitan dengan cinta juga. Tak seorangpun pernah lebih mencintai sesuatu daripada Penciptanya. Akan tetapi, Dia, Yang Mahatinggi, menyembunyikan Diri-Nya dari mereka di balik cinta mereka kepada Zainab, Su‘âd, Hind, Lailâ, dunia ini, uang, posisi sosial, dan subyek lain yang dicintai di alam semesta ini.”48

Daftar Pustaka

al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, Kitab al-jihad wa as-sayr, Bab al-harasah fi al-ghazw fi sabil Allah, Nomor 2673, CD al-Kutub at-Tis’ah. al-Hakîm, Su’ad, Al-Mu’jam ash-Shufi, al-Hikmah fi

Hudud al-Kalimah, Beirut: Dandarah, 1401 H/1981 M.

al-Kalabadzi, Abu Bakr, At-Ta'aruf li Madzahib Ahl at-Tashawwuf, Peny. A. Mahmud dan T.A. Surur, Kairo: tp., 1960.

Arberry, A.J. (Peny. Dan Penerj.), The Mawaqif and Mukhatabât of Muhammad ibn ‘Abdi al-Jabbar, Cambridge: Cambridge University Press, 1935.

(13)

Armstrong, Amatullah, Sufi Terminology: The Mystical Language of Islam, Malaysia: A.S. Noordeen, 1995.

as-Sarraj, Abu Nasr, Kitab al-Luma', Peny. R.A. Nicholson, Leiden: Brill, 1914.

Gairdner, W.H.T., Al-Ghazali's Mishkat al-Anwar, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1924. Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, Beirut: Dar

al-Fikr, 1994.

Maibudi, Kasyf al-Asrar wa ‘Uddat al-Abrar, peny. A. A. Hikmat, Teheran: Danishgah, 1952. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

Nicholson, R.A., The Idea of Personality in Sufism, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, Kashmiri Bazar, 1964.

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan serta

Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.

1Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir,

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).

2 Amatullah Armstrong, Sufi Terminology: The

Mystical Language of Islam, (Malaysia: A.S. Noordeen, 1995).

3Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma', Peny.

R.A. Nicholson, (Leiden: Brill, 1914), p. 352.

4Wajh Allah (Wajah Allah) adalah Dzat

Transenden dari segala sesuatu atau realitas batin dari setiap entitas. Istilah ini berasal dari al-Qur’an, “Ke mana pun engkau menghadap di situlah Wajah Allah” (QS. al-Baqarah/2: 115). Setiap eksistensi adalah wajah dari Yang Mutlak atau Wajah Tuhan. Setiap pandangan kita menyaksikan wajah dari Yang Mutlak, baik memantulkan Keagungan (jalal) Allah maupun Keindahan (jamâl) Allah. Akan tetapi, hanya manusia-manusia tersucikan dan sempurna yang memantulkan Wajah Tuhan, dan hanya pencinta dan sang arif yang menyaksikan Wajah Keagungan dan Keindahan Tuhan, lihat Amatullah Armstrong, Sufi Terminology: The Mystical Language of Islam.

5

Lihat Su’ad Hakim, Al-Mu’jam ash-Shufi, al-Hikmah fî Hudud al-Kalimah, (Beirut: Dandarah, 1401 H/1981 M).

6Hadis ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab

hadis standard. Realitas apa adanya dalam hadis ini dimaknai juga oleh para sufi dengan Wajh Allâh sebagaimana yang disebutkan di atas.

7Abû Bakr al-Kalâbâdzî, At-Ta'âruf lî

Madzahib Ahl at-Tashawwuf, Peny. A. Mahmud dan T.A. Surur, (Kairo: tp., 1960), p. 19.

8

Hadis dengan matan seperti tersebut tidak dijumpai dalam kitab-kitab hadis standard. Namun dijumpai matan hadis berikut, َِأَِاَوِرَِوُر اَُُ ِ

ٍَْ ُرا ْ َ َََُآ ْ!َ"َْ َ#َ ُتَ%ُ&ُ' ِِ(ْ)َو sebagaimana yang disebutkan di atas.

9Lihat Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Îmân,

no. 263; Ibn Majah, Sunan ibn Majah, Nomor 192, Kitab Muqaddimah, Bab fi Ma Ankarat al-Jahmiyah; dan Ahmad, Musnad Ahmad, Nomor 18765, Kitab Awwalu Musnad al-Kufiyin, Bab Haditsu Abi Musa al-Asy’ari, lihat CD al-Kutub at-Tis‘ah.

10A.J. Arberry (Peny. Dan Penerj.), The

Mawâqif and Mukhâtabât of Muhammad ibn ‘Abdi ‘l-Jabbâr, (Cambridge: Cambridge University Press, 1935), 47: p. 1.

11Lihat William C. Chittick, Sufism: A Short

Introduction, p. 236.

12Lihat Wiiliam C. Chittik, Sufism: A Short

Introduction, p. 257.

13Al-Ghazali, Misykat al-Anwar, p. 89. 14Ibid., p. 90.

15Ibid. Hadis ini tidak ditemukan di dalam

kitab-kitab hadis standard. Namun ada redaksi hadis yang senada, ُ3ِ4ُىً َهٌ,ْ&َ/ُ,ْ&َ-ْاَ*ْ+ِ(seburuk-buruk hamba adalah budak hawa yang menjerumuskannya), lihat at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Kitab Sifat al-Qiyamah wa ar-Raqa’iq wa al-Wara’ ‘an Rasulillah, Bab Ma Ja’a fi Shifah Awani al-Hawdh, Nomor 2372 (CD al-Kutub at-Tis’ah).

16Ibid. 17Ibid.

18Al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, Kitab

al-jihad wa as-sayr, Bab al-harasah fi al-ghazw fi sabil Allah, Nomor 2673, mengemukakan teks hadis itu sebagai berikut: "Biarlah penghamba dinar, dirham, beludru, dan kain-kain yang halus itu jatuh pada wajahnya. Jika semua ini diberikan, dia senang, dan jika ini semua tidak diberikan, dia tidak senang, lihat CD al-Kutub at-Tis’ah, bandingkan juga dengan Ibn Majah, Zuhd 8.

19Al-Ghazali, Misykat al-Anwar, p. 91. 20Al-Baqarah (2): 257.

21Al-Ghazali, Misykat al-Anwar, p. 92. 22Ibid. 23Ibid. 24Ibid., p. 93. 25Ibid. 26Ibid. 27Ibid., p. 94. 28Ibid. 29Ibid. 30Ibid., p. 95. 31Ibid. 32Ibid., p. 96. 33Ibid. 34Ibid., p. 97. 35Ibid. 36Ibid. 37Ibid., p. 98. 38Ibid.

(14)

39Ibid.

40Ibid., pp. 98-99.

41Istilah ini berarti orang yang dipatuhi. Ia

telah menjadi satu istilah tasawuf yang menunjuk kepada pengendali agung alam semesta, yakni khalifah Allah. Sang mutha' sama dengan hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Allah berfrman dalam al-Qur'an, "Barangsiapa taat kepada Rasul, dia taat kepada Allah.." Kalau bukan karena sang muthâ ini, segala sesuatu pasti bakal musnah dan sirna, lihat Amatullah Armstrong, Sufi Terminology,

42Qutb merepresentasikan otoritas tertinggi

dalam hirarki spiritual, dan di sekelilingnya seluruh dunia berputar, dan umumnya tetap tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah. Ia adalah orang yang mensintesakan atau mengumpulkan di dalam dirinya sendiri semua keadaan (hâl) dan maqâm, lihat dari The Unlimited Mercifier, The Spiritual Life and thought of Ibn Arabi, p. 146 & 170.

43R.A. Nicholson, The Idea of Personality in

Sufism, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, Kashmiri Bazar, 1964), p. 63.

44W.H.T. Gairdner, Al-Ghazali's Mishkat

al-Anwar, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1924), p. 5 dan 20-1.

45Bandingkan dengan al-Qur'an al-Isrâ’/17:

85 yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah (Muhammad), roh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali sedikit.”

46Lihat Amatullah Armstrong Sufi Terminology:

The Mystical Language of Islam, p. 95.

47Maibudi, Kasyf al-Asrar wa ‘Uddat al-Abrar,

peny. A. A. Hikmat, (Teheran: Danishgah, 1331-39/1952-60), jil. 6, p. 440.

48Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2,

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh

Pepelegi Indah terbagi menjadi 88 subdas, dimana masing-masing subdas terdiri dari beberapa kawasan dalam tata guna lahannya. Peta tata guna lahan Pepelegi indah

kalangan Syia'ah dengan syirik, dia mengatakan "Cukuplah kalian syirik dengan para imam Ahlul Bayt (salam ke atas mereka), kerana pada Hari Kiamat mereka (para imam)

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 14 Tahun 2019 tentang Tambahan Penghasilan

Struktur pengulangan atau yang biasa disebut loop pada dasarnya adalah kondisi khusus bagi struktur seleksi dimana dengan kondisi tertentu maka proses akan diulang sedangkan untuk

Buku ini merupakan pedoman bagi institusi penyelenggara kegiatan P2KB, anggota PAPDI yang akan melakukan resertifikasi kompetensi, serta Komisi P2KB Cabang yang akan

Hubungan interpersonal dalam arti luas adalah interaksi yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dalam segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan,

Dari noda yang terbentuk tersebut, diketahui bahwa eluen F terlalu polar untuk sampel kunyit.. Karena noda terlalu