• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA. A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Udara di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA. A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Udara di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA

A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Udara di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan perbandingan 2:3 antara daratan dan perairan dimana kapal dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas untuk melintasi alur laut yang telah ditetapkan. Hal ini sangat berpotensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara asing karena terbukanya ruang udara diatas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Untuk itu diperlukan adanya undang-undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI, kedaulatan negara di ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada: Pasal 4 menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam

(2)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.

Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disusun dengan mengacu pada Konvensi Chicago 1944 dan memperhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan wilayah udara, indepedensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus tetap berada pada warga negara Indonesia, persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai 10 pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif transportasi udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak dibawah umur, pengangkutan bahan dan atau barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi

(3)

tanggung jawab, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability), tatanan kebandaraan dan lain-lain.28

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: negaranegara pihak mengakui bahwa tiap-tiapa negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif ats ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya.20 Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua Konvensi ini dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negar juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai Laut wilayah dan oleh Pasal 2 ayat (2) konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuanketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibetnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang di atas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara di bawahnya.

29

28

Ade A.Y Marbun, “Prinsip antara Hukum Udara Internasional dan Hukum Udara Nasional”, dalam http://ademarbun.blogspot.co.id/2012/11/prinsip-antara-hukum-udara-nasional-dan.html diakses 12 Juni 2017

29

(4)

Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dengan demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang udara tersebut telah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan menyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya.

B. Kedaulatan Wilayah Udara Republik Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 30 Ruang wilayah negara meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. Sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh atas wilayah udara, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional, Pasal 1 disebutkan bahwa “every State has complete and exclusive sovereignity over the airspace above its territory.”31

30

Undang-Undang No. 43 Tahun 2008, Tentang Wilayah Negara

31

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, tentang Penerbangan. Penjelasan Pasal 5

Pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menyebutkan negara Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Indonesia. Ruang udara mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu negara, salah satunya dilihat dari aspek integritas wilayah dan keamanan nasional, yang harus di dayagunakan

(5)

sebaik-baiknya.32 Sebagai bagian dari kedaulatan suatu negara, ruang udara mempunyai fungsi strategis sebagai aset nasional yang sangat berharga termasuk didalamnya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.33

Udara merupakan salah satu sumber daya alam dan unsur lingkungan.34 Udara selain mengandung sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan untuk kemakmuran rakyat, udara juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain misalnya kepentingan politik. Karakteristik sumber daya alam di udara terdiri dari: sumber daya energi (surya dan angin), sumber daya gas, sumber daya ruang. Kekhasan wilayah udara Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada di antara Benua Asia-Australia, serta di dua Samudera Pasifik-Hindia menyebabkan wilayah udara Indonesia menjadi penggerak sirkulasi udara global dan pembentukan iklim dunia yang merupakan keunggulan strategis wilayah udara Indonesia.35

Prinsip sampai ketinggian tidak terbatas ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi seiring dengan kemajuan teknologi seperti peluncuran dan penempatan satelit di ruang angkasa.

36

32

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Mitra Karya, Jakarta, 2003, hal. 271.

33

Ibid., hal 298

34

Philip Kristanto, Ekologi Industri, Andi, Yagyakarta, 2002, hal. 40.

35

Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional, hal 35

36

Sefriani, Loc Cit

Yang dalam kegiatan ini akan bersinggungan dengan kedaulatan negara yang dilalui dalam proses peluncuran tersebut. Masalah status hukum ruang udara diatas wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan untuk melakukan penerbangan, mulai dibahas secara resmi dalam Konvensi Paris yang berlanggsung dari 10 Mei dan berakhir 29 Juni 1910. Latar

(6)

belakang Konvensi Paris 1910 adalah kenyataan banyaknya penerbangan yang berlangsung di Eropa, tanpa memerhatikan kedaulatan negara di bawahnya (negara kolong)

Tiga aspek yang harus diperhatikan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Aspek keamanan dan keselamatan,

2. Aspek pertahanan negara

3. Aspek lingkungan hidup. Pertahanan dan keamanan negara adalah segala upaya untuk mempertahankan kadaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.37

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan ekslusif atas ruang udara yang terdapat diatas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua Konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.

Hal ini juga dinyatakan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai Laut Wilayah dan oleh Pasal 2 ayat 2 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang

37

(7)

memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah Negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu Negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibatnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang diatas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan territorial Negara yang berada dibawahnya.38

Disamping itu, dalam kegiatan lalu lintas udara internasional sering pula terjadi pelanggaran kedaulatan udara suatu Negara oleh pesawat-pesawat sipil maupun militer. Dalam hal ini negara yang kedaulatan udaranya dilanggar dapat menyergap pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya dilanggar tidak boleh menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bersifat

Hal ini sering terjadi diatas wilayah udara Indonesia bagian timur oleh pesawat-pesawat udara asing terutama selama bagian kedua tahun 1999 dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh Negara-negara. Demikianlah, untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi, Negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional dibidang kerjasama pengawasan ataupun keamanan. Sebagai contoh kerja sama ini adalah Konvensi 13 Desember 1960 dimana sejumlah Negara Eropa menyerahkan penanganan masalah-masalah ini kepada Organisasi Eropa untuk keamanan Navigasi Udara (eurocontrol) yang direvisi pada tahun 1981.

38

(8)

bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat. Ketentuan ini yang mengakomodasikan kedaulatan territorial Negara dan konsiderasi-konsiderasi kemanusiaan yang mendasar dan yang harus berlaku bagi semua orang, diingatkan dan ditegaskan oleh Protokol Montreal 1983 yang memuat amandemen terhadap Pasal 3 Konvensi Chicago, dan diterima pada tanggal 10 Mei 1984, sebagai akibat dari peristiwa penembakan Boeing 747 Korean Airlines, 1 September 1983.

Sengketa-sengketa sebagai akibat penetrasi wilayah udara suatu Negara oleh pesawat-pesawat udara sipil atau militer Negara lain juga menandai sejarah penerbangan internasional terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II. Peristiwa yang sangat dikenal di tengah memuncaknya suasana Perang Dingin adalah insiden U2.39

39

Gerhard Von Glahn, Op.Cit, Seventh Edition, p. 336-337.

Insiden U2 ini terjadi tanggal 1 Mei 1960 dimana pesawat tersebut yang sedang melakukan misi pengintaian jarak jauh kedalam wilayah Uni Soviet ditembak jatuh dan pilotnya, Francis. G. Powers ditangkap. Kejadian tersebut oleh Uni Soviet telah dijadikan sebagai alas an untuk membatalkan pertemuan puncak antara Presiden Eisenhower dan Perdana Menteri Nikita Kruschev di Paris. Dalam insiden ini, Amerika Serikat memang telah melanggar kedaulatan udara Uni Soviet dank arena itu tidak mengajukan protes dan juga tidak memprotes diadilinya dan dihukumnya pilot pesawat tersebut. Powers akhirnya dibebaskan pada tahun 1962 melalui suatu kesepakatan pembebasan seorang mata-mata rusia oleh Amerika Serikat.

(9)

Pada 1 September 1983, sebuah penerbangan sipil B – 747 milik Korean Air Lines dengan nomor Penerbangan 007 (KAL 007, KE 007 ) ditembak jatuh oleh jet tempur Soviet di atas Laut Jepang tepatnya di sebuah kawasan yang terletak di sebelah barat Pulau Sakhalin. Seluruh penumpang dan awak yang berjumlah 269 orang meninggal dunia.40

Tidak hanya delimitasi vertical antara ruang udara dan atariksa ini menimbulkan kesukaran untuk memberikan defenisi terhadap jkedua ruang udara tersebut sepanjang menyangkut pemilikannya. Kedaulatan penuhn dan ekslusif suatu Negara terhadap udara tanpa batas ketinggian tidak mempunyai dasar seperti juga keinginan negara-negara pantai untuk menguasai laut sejauh mungkin tanpa Dalam insiden tersebut, 269 penumpang yang umumnya terdiri dari orang Korea, Jepang, dan Amerika Serikat meninggal. Diketahui kemudian bahwa pesawat Korea tersebut tersesat kedalam wilayah udara Uni Soviet diatas semenanjung Kamchatta, Laut Okhotsk, dan Pulau Sakhalin. Tidak kurang dari delapan pesawat pemburu Soviet di gelar untuk mengikuti pesawat Korea tersebut. Akhirnya setelah dinyatakan bahwa pesawat-pesawat pemburu tersebut gagal dalam usahanya mengadakan kontak dengan pesawat Korea tersebut, salah satu dari pesawat pemburu menghancurkannya dengan peluru udara dan semua penumpang diatas penerbangan 747 tersebut tewas seketika. Selanjutnya Uni Soviet menjelaskan bahwa pesawat udara Korea tersebut pada malam hari itu telah dianggap sebagai pesawat mata-mata AS, RC-135, disamping adanya pula anggapan dari pilot-pilot Soviet bahwa pesawat Korea tersebut sedang mengumpulkan data-data rahasia militer.

40

https://www.jejaktapak.com/2015/03/26/kisah-pelanggaran-udara-7-b-747-korean-airlines-vs-su-15-soviet/diakses tanggal 17 Juni 2017

(10)

batas. Keinginan untuk menguasai ruang udara atau laut tanpa batas ini mungkin didasarkan atas bentuk fisik udara, yang seperti juga halnya dengan laut, secara materiil tidak terpisah dari bumi dan bahkan melekat sepenuhnya. Alas an sebenarnya mungkin berasal dari pertimbangan kepentingan keamanan nasional. Dalam hal ini soal jarak sama sekali tidak memainkan peranan pelindung dalam era teknologi canggih dewasa ini, karena bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penerbangan pesawat asing diatas wilayah suatu Negara terhadap keamanan nasional Negara lain adalah sama, lepas dari ketinggian terbangnya pesawat asing tersebut.

Konvensi-konvensi Paris dan Chicago sama sekali tidak membuat ketentuan mengenai delimitasi horizontal dari ruang udara. Karena tidak adanya ketentuan ini, tapal batas udara hanya dapat ditetapkan dengan merujuk kepada tapal batas darat dan laut. Tapal bats udara harus sesuai dengan garis-garis batas darat dan laut. Namun, dari segi praktis nyatalah bahwa dengan kecepatan luar biasa pesawat-pesawat dewasa ini sulitlah untuk menentukan dimana persisnya batas-batas wilayah tersebut. Alat-alat teknik yang digunakan oleh kapten-kapten pesawat hanya memberikan hasil-hasil yang kurang lengkap. Saat ini sedang dikembangkan terus alat-alat teknik dimaksud, termasuk pendeteksinya untuk memperoleh data-data yang lengkap apakah telah terjadi pelanggaran. Kesalahan atau kekhilafan mungkin saja terjadi yang merupakan asal usul pelanggaran-pelanggaran tapal batas udara secara tidak sengaja. Hal tersbeut sering pula digunakan sebagai alas an bagi para pelanggar batas.

(11)

Pada sidang ke-45 Legal Sub Committee of the UNCOPUOS di Wina, 5-14 Juni 2002, beberapa Negara menyampaikan pandangan-pandangan mengenai defenisi dan batas antariksa yang terbagi dalam beberapa kelompok pendapat yaitu:

1. Perlunya secara jelas mendefenisikan antariksa dan yang memisahkannya dari ruang udara yang menjadi bagian kedaulatan suatu negara;

2. Tidak adanya defenisi dan batas antariksa akan dapat membawa ketidak pastian hukum dibidang hukum udara dan antariksa dan karenanya perlu dipastikan guna mengurangi kemungkinan perselisihan antar Negara yang mungkin timbul;

3. Perlunya membuat keseimbangan antara prinsip kedaulatan negara diruang udara dan prinsip kebebasan eksplorasi dan penggunaan antariksa;

4. Tidak perlu membuat defenisi mengenai batas antariksa mengikat tidak adanya defenisi tersebut tidak menimbulkan masalah pelaksanaan hukum.

C. Pengaturan Hukum Wilayah Udara Negara Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan wilayah kepulauan dengan perbandingan 2: 3 antara daratan dan perairan dimana kapal dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas untuk melintasi alur alut yang telah ditetapkan. Hal ini sangat berpotensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara asing karena terbukanya ruang udara diatas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).41

41

http://www.suduthukum.com/2017/02/sejarah-hukum-udara-di-indonesia.html, diakses tanggal 16 Juni 2017.

(12)

Untuk itu diperlukan adanya undang-undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI, Kedaulatan negara di ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada: Pasal 4 menyatakan bahwa NKRI berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara NKRI. Sebagai negara berdaulat, NKRI memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara NKRI, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam Pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab NKRI untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah NKRI secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan NKRI.42

Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disusun dengan mengacu pada Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran,

42

(13)

dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan wilayah udara, indepedensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warga negara Indonesia, persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai 10 pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif transportasi udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak dibawah umur, pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab, tanggung jawab pengangkut terhadapap pihak ketiga

Pada dasarnya apabila merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pelanggaran wilayah udara terjadi pada saat suatu pesawat udara melintas terbang di wilayah udara NKRI tanpa dilengkapi izin dari pihak yang berwenang. Adapun yang dimaksud pesawat udara dalam ketentuan ini adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Berdasarkan definisi tersebut maka ketentuan Pasal 5 ini dapat diberlakukan untuk berbagai jenis

(third parties liability), tatanan kebandaraan

(14)

pesawat udara manapun yang bertanda Indonesia maupun asing, baik pesawat terbang sipil maupun militer.43

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.44

Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur bahwasanya pesawat udara tersebut diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan. Personel pemandu lalu lintas penerbangan kemudian akan menginformasikan adanya pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan dan kawasan udara terlarang dan terbatas kepada aparat yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertahanan Negara. Apabila pesawat tersebut tidak menaati perintah dan peringatan yang diberikan oleh personel pemandu lalu lintas maka dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara untuk ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau kawasan udara terlarang dan terbatas atau untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara tertentu di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 45

43

Danang Risdiarto.Op.Cit, hal 73-74

44

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Dinamika Global, Alumni, Bandung, Cetakan ke-8, 2010, hal 389

45

(15)

Guna meminimalisir potensi pelanggaran terhadap ketentuan kedaulatan wilayah negara yang dipandang akan menimbulkan risiko terhadap aspek keselamatan dan keamanan penerbangan di wilayah NKRI oleh pesawat udara sipil asing, Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2015 tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri dengan Pesawat Udara Sipil Asing Ke dan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun bentuk perlindungan adalah dengan mewajibkan pesawat udara sipil asing yang melakukan kegiatan angkutan udara bukan niaga dan niaga tidak terjadwal luar negeri yang akan tiba atau berangkat dari wilayah NKRI untuk mendapatkan izin terbang.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penerbangan, diantaranya:

1. Undang Undang No. 15 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi UndangUndang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan

2. Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2001 tentang Keamanan dan KeselamatanPenerbangan

3. Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2001 tentang Kebandarudaraan

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

5. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara 46

46

Dennylorenta.wordpress.com/2010/05/06/kedirgantaraan-dan-konsepsi-kedaulatansuatu-negara-di-udara/diakses tanggal 17 Juni 2017

(16)

Pengaturan kedaulatan negara di wilayah udara dalam hukum nasional Indonesia mengatur hal ini terutama UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yaitu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.47

1. Kedaulatan Negara di Wilayah Udara dalam Konstitusi.

Berikut penjelasan masing-masing undang-undang tersebut.

Konstitusi dalam sistem peraturan perundang-undangan sebuah negara merupakan norma hukum yang dianggap paling tinggi tingkatannya yang menjadi rujukan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Konstitusi kemudian dianggap sebagai sumber hukum tertulis.48 Konstitusi kemudian dikonstruksi dalam naskah tertulis sebenarnya bertujuan mewujudkan tripartite tujuan hukum yaitu keadilan (justice), kepastian (certainty) dan kegunaan/kemanfaatan.49 Tujuan tertinggi konstitusi menurut Jimly Asshidiqie.50

Kostitusi tertulis Indonesia tidak saja mengatur mengatur tentang hubungan lembaga negara, hak asasi manusia, aspek-aspek hukum internasional, termasuk di dalamnya adalah pengaturan wilayah negara dan hak penguasaan negara atas sumber daya alam. Oleh karena itu untuk mengoptik bagaimana adalah menciptakan keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai-nilai ideal, kemerdekaan, kebebasan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama sebagai tujuan kehidupan negara yang dirancang oleh para pendiri bangsa (the founding fathers).

47

Endang Puji Lestari. Konsepsi Hak Penguasaan Negara Atas Wilayah Udara Di Tengah Kebijakan Liberalisasi Penerbangan. Jurnal Volume 4, Nomor 2, Agustus 2015, hal 333

48

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 25

49

Jimly Ashididqie. Pengantar Hukum Tata Negara: Jilid I. Konstitusi Press, Jakarta, 2004, hal. 76

(17)

konstitusi Indonesia mengatur tentang pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), maka yang dapat kita rujuk pengaturannya adalah pengaturan tentang wilayah negara sebagai sumber daya alam dan pengaturan tentang hak penguasaan negara atas sumber daya alam. Dalam UUD NRI 1945 terdapat dua pasal yang mengatur tentang hal tersebut yaitu Pasal 25 A mengatur tentang wilayah negara dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pada pasal 25 A diatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara. Pada Pasal 33 ayat (3) diatur bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”51

2. Pengaturan Kedaulatan Negara di Ruang Udara dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

Pengaturan wilayah negara dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara merupakan amanat Pasal 25 UUD 1945. Di samping itu undang-undang ini sebenarnya mengukuhkan kembali pengakuan hukum internasional atas kedaulatan negara atas wilayah udara, darat, dan laut dalam berbagai perjanjian internasional.

Pengaturan wilayah negara dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara ini menurut Pasal 3 undang-undang ini bertujuan menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa, menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan mengatur pengelolaan dan

50

(18)

pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya. Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara ini mengukuhkan wilayah negara meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Ketentuan pasal ini merupakan deklarasi bangsa Indonesia akan wilayah udara sebagai salah satu bentuk kedaulatan negara atas ruang udara.

3. Pengaturan Kedaulatan Negara dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Terkait kedaulatan negara di ruang udara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur secara khusus kedaulatan negara dalam Pasal 5 undang-undang ini menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”. Bila ditilik lebih jauh ternyata ada perbedaan penggunaan istilah antara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 memaknai istilah complete and exclusive dalam Konvensi Chicago 1944 sebagai penuh dan utuh, sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menggunakan istilah penuh dan eksklusif. Tidak ada penjelasan dalam undang-undang ini tentang perubahan istilah utuh menjadi eksklusif. Sebagai implementasi kedaulatan negara di ruang udara pemerintah menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

51

E. Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke Montreal 1999, Kiblat Buku Utama, Bandung, 2008, hal. 27

(19)

Penerbangan ini berperan melaksanakan kedaulatan negara dalam bentuk wewenang dan tanggung jawab terkait pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

Bentuk kedaulatan negara di udara di bidang pertahanan dan keamanan negara dilakukan melalui:

1. Kewenangan pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas. 2. Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui

kawasan udara terlarang. Larangan tersebut bersifat permanen dan menyeluruh.

Sedangkan kawasan udara terbatas adalah kawasan udara yang hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara.52

Terkait kedaulatan negara di dunia penerbangan undang-undang ini memberikan hak penguasaan dan pembinaan penerbangan kepada Pemerintah. Pembinaan penerbangan yang dimiliki pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Sementara hak penguasaan negara atas dunia penerbangan terlihat dalam ketentuan yang berkaitan dengan angkutan udara.53

Undang-undang ini membagi angkutan udara niaga yang terdiri atas: angkutan udara niaga dalam negeri dan angkutan udara niaga luar negeri. Terkait angkutan udara niaga dalam negeri, Pasal 84 undang-undang ini mengatur tentang penerapan asas kabotase yang ada dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944 yang menentukan bahwa angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan

52

(20)

oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. 54

53Moh. Iksan Tatang, “Praktek Indonesia dalam Pemanfaatan Wilayah Udara”, Jurnal

Hukum Internasional, Air Law, Jurnal FH UI, Volume 3 Nomor 2 Januari 2006, hal. 186

54 Agus Pramono, Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia, Jakarta,

Referensi

Dokumen terkait

Terima kasih Istri tercinta Rambu Ana Jawa, S.Farm., Apt., anak-anak saya, Raditya Satrio Wibowo, Rafif Adhwa Wibowo dan Rakha Akhtar Wibowo, yang telah dengan penuh

Lipolisis dari gliserol dalam bentuk glukosa dan dapat menyebabkan glukosa darah meningkat dan asam lemak bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi mengganggu peredaran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa yaitu : Landasan MA, menerima permohonan Banding Perkara sengketa tanah No 855 k/pdt.sus/2008 adalah

Daerah sebaran Hutan Rawa Gambut Tropika ini meliputi semua hutan alam yang tumbuh pada hutan rawa bergambut (organik), terletak pada delta-delta sungai (mencapai 5.000 meter

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor merupakan lembaga teknis di lingkungan Pemerintah Kota Bogor yang memiliki kewenangan dalam Fungsi

Seleksi pada sapi Aceh di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Aceh Indrapuri dapat dilakukan pada umur 1 tahun dan 1.5 tahun, sedangkan nilai heritabilitas

Fungi dapat menimbulkan penyakit yang dibedakan menjadi 2 golongan:.. 1) Mikosis : infeksi kapang yang menyerang kulit, rambut, kuku, dsb 2) Mikotoksikosis : gejala keracunan

Pemaparan latar belakang diatas, bisa diketahui bahwa ruang lingkup pembahasan tentang berbuat baik kepada orang-orang lemah dalam Kitab Abu Dawud no indeks 2594 meliputi