• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pendidikan pada Masa Dinasti Abbasiyah Oleh: Imam Fu adi. Kata Kunci: ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan Islam, kurikulum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sejarah Pendidikan pada Masa Dinasti Abbasiyah Oleh: Imam Fu adi. Kata Kunci: ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan Islam, kurikulum."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Dinasti Abbasiyah adalah salah satu dinasti besar dalam sejarah peradaban Islam. Di tangan dinasti ini, umat Islam mengalami kemajuan yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan. Akar-akar kebangkitan kegiatan intelektual di zaman Abbasiyah diawali dengan persentuan umat-Islam dengan sejumlah wilayah-wilayah yang dikuasai oleh dinasti sebelumnya, yang ternyata memiliki petensi tinggi dalam pengembangan tradisi ilmiah. Debut kegiatan ilmiah dalam Dinasti Abbasiyah ini adalah adanya gerakan penerjemahan atas karya-karya Yunani,Persi, dan India. Dinamika gerakan penerjemahan ini kemudian dilajutkan dengan melakukan modifikasi-modifikasi dan penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam dataran pragmatis pengembangan dinamika intelektual di masa Dinasti Abbasiyah ini terjadi secara subur melalui lembaga-lembaga formal dan non-formal. Lembaga-lembaga ilmiah inilah yang kemudian mengangkat pamor Dinasti Abbasiyah di bidang ilmu pengetahuan dan sains.Tulisan ini mencoba untuk mengulas persentuhan umat Islam dengan kebudayaan asing serta usaha-usaha penyelenggaraan dunia pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah.

Kata Kunci: ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan Islam, kurikulum.

A. Pendahuluan

Berakhirnya kekuasaan Dinasti Umayah mengantarkan Dinasti Abbasiyah untuk naik panggung kekuasaan, yang ditandai dengan dilantiknya khalifah pertama yaitu Abu al-Abbas al-Safah pada tahun 132 H/749 M di Masjid Kufah. Al-Safah berarti penumpah darah (the blood pourer). Gelar al-Safah diberikan kepada Abu al-Abbas sebagai khalifah pertama dari dinasti Abbasiyah yang pendirian kedinastiannya dibangun dengan pembunuhan secara besar-besaran terhadap orang-orang Dinasti Umayah1. Semenjak itu, Dinasti Abbasiyah tumbuh dan berkembang

dengan cepat menggantikan masa-masa kejayaan Dinasti Umayah. Bahkan pada hal-hal tertentu yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah jauh melebihi dari kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa-masa sebelumnya.

Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung

1 Carl Brockelmann, History of the Islamic Peoples, (London: Routledge ann Kegan

Paul, t.t.), hal. 107; lihat pula W. Montgomery Watt, The Majesty that was Islam, Hartono Hadikusuma (terj.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 31

(2)

Sejarah telah mencatat bahwa di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, umat Islam mencapai puncak kemajuannya di bidang kebudayaan dan peradaban Islam. Berbagai kemajuan dan perubahan dijumpai di masa ini, terutama sejak al-Mansur menduduki jabatan kekhalifahan sejak pada tahun 754 M sampai dengan masa pemerintahan al-Mutawakkil (847 M). perubahan dan kemajuan yang ditemui pada masa ini tidak hanya terjadi pada bidang politik yang ditandai dengan perpindahan tampuk kekuasaan dari tangan Dinasti Umayah ke tangan Dinasti Abbasiyah, akan tetapi perubahan dan kemajuan tersebut juga terjadi di dalam bidang administrasi, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika Harun Nasution menyebut masa ini sebagai masa kemajuan Islam serta masa pembentukan dan perkembangan kebudayaan Islam.2 Philip K. Hitti menyebut masa ini dengan masa keemasan Abbasiyah (the golden prime of the Abbasids).3

Dari banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Abbsiyah itu, barangkali yang paling menonjol adalah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Terkait dengan masalah ini, penulis ingin membahas sekitar persoalan pendidikan di masa Dinasti Abbasiyah, karena masa-masa ini terkenal dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan secara pesat.

B. Pembahasan

1. Persentuhan Umat Islam dengan Kebudayaan Asing dan Gerakan Penerjemahan di Masa Dinasti Abbasiyah

Perluasan kekuasaan Islam melalui penaklukan-penaklukan secara besar-besaran dimulai sejak masa khulafa’ al rasyidin dan dilanjutkan oleh pemerintahan Dinasti Umayah. Dengan penaklukan-penaklukan itu, umat Islam bisa menguasai Persia, Afganistan, sebagian India, Turkistan, Balukhisran, sebagian Romawi Timur, Spanyol, dan lain-lain. Dengan demikian, umat Islam telah mampu membentuk satu imperium yang besar. Umat Islam telah mampu menaklukkan negara-negara kaya ketika itu dan sekaligus memiliki peradaban yang tinggi, terutama Persia, Asia Kecil, Mesir, dan negeri-negeri di Afrika Utara, yang kesemuanya adalah pusat-pusat dari peradaban dunia pada masa itu4.

2 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press,

1983), hal. 31

3 Philip K. Hitti, History of the Arabs, Edisi X, (London: The Macmillon Press

Ltd., 1974), hal. 297

4 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan

(3)

Sebagai kelanjutan dari berdirinya imperium Umayah yang kuat dan luas itu, dapat melapangkan jalan untuk terjadinya percampuran bangsa-bangsa serta asimilasi peradaban. Orang-orang Islam yang pada waktu itu sebagai pemegang tampuk pemerintahan mulai terpengaruhh oleh budaya-budaya negara lain dan mulai meninggalkan sebagian cara-cara hidup mereka, sebagai akibat dari pergaulan mereka dengan orang yang berperadaban lebih tinggi.

Percampuran bangsa-bangsa serta asimilasi peradaban diantara bangsa-bangsa yang terjadi itu nampaknya lebih jelas lagi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Karena usaha-usaha penaklukan telah dikurangi dan mengarahkan perhatian terhadap perdamaian, dan juga disebabkan oleh banyaknya perkawinan di antara bangsa-bangsa. Salah satu hal yang sangat membantu ke arah akulturasi kebudayaan serta peradaban itu ialah banyaknya perkawinan dengan budak dari berbagai bangsa, sehingga menyebabkan percampuran darah diantara golongan merdeka dengan golongan budak. Sebab lain yang mempercepat percampuran kebudayaan dan asimilasi diantara bangsa-bangsa itu ialah pengabaian fanatisme terhadap golongan Arab yang berkembang pada masa Dinasti Umayah, dan mulai mempraktekkan prinsip persamaan di banyak bidang di kalangan umat Islam tanpa memandang bangsa dan warna kulit. Pemimpin-pemimpin Dinasti Abbasiyah banyak membuang sikap fanatisme ini dan mengantikannya dengan memperkokoh dasar-dasar agama sebagai sendi negara. Sebagai akibat dari pentikberatan perhatian dalam hal di atas, maka imperium Islam berada dalam satu ikatan yang kokoh untuk beberapa abad, baik dalam hal politik maupun dalam kegiatan intelektual5. Dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, kegiatan intelektual dan tradisi ilmiah lebih nampak kemajuannya dibandingkan dengan kemajuan di bidang-bidang lain.

Kegiatan intelektual itu sendiri, bukan langsung mengalami kemajuan begitu saja di jaman Abbasiyah, melainkan sudah terintis dan terkait dengan sejarah sebelumnya. Hanya saja di zaman Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan pendidikan memang mendapatkan apresiasi yang tinggi.

Tercatat dalam sejarah bahwa sebelum kedatangan Islam telah terdapat berbagai pengembangan tradisi ilmiah Yunani, India, dan Persia. Diantara kota-kota yang menjadi pusat pengembangan tradisi ilmiah tersebut antara lain Alexandria (Mesir), Jundisapur (Iraq), Antakia (Syiria), Bachtra (Persia), Edessa, dan Harran.

Ketika wilayah Islam meluas hingga memasuki wilayah Persia, propinsi-propinsi tertentu di wilayah Byzantium serta Afrika Utara,

(4)

mulailah terjadi persentuhan umat Islam dengan tradisi ilmiah yang sejak lama telah berkembang di beberapa kota tersebut di atas. Artinya, pengaruh budaya asing tersebut sudah masuk ke dunia Islam sejak masa Dinasti Umayah (abad ke-7 M), walaupun secara nyata pengaruhnya baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah.

Selanjutnya persentuhan itu meningkat kepada aktivitas

penerjemahan. Gerakan penerjemahan ini sebenarnya telah dimulai sejak masa Dinasti Umayah di Damaskus6. Hanya saja, seperti yang dinyatakan

Ahmad Amin, penerjemahan pada masa itu lebih bersifat pribadi, belum secara formal7.

Meskipun penerjemahan sudah dimulai sejak masa Dinasti Umayah, tetapi baru mengalami kemajuan pada masa Abbasiyah, dan mencapai puncaknya di masa khalifah Harun Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun (813-833 M). Al-al-Makmun pernah mengirim rombongan penerjemah ke Konstantinopel, Roma, dan lain-lain untuk menghimpun buku-buku sains dan filsafat yang belum ada pada umat Islam untuk diterjemahkan di Baghdad8. Pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun, aktifitas penerjemahan banyak difokuskan pada karya-karya filsafat Yunani dan sains lainnya. Dan pada masa al-Mutawakkil, matematikawan Sabia, Tsabit bin Qumah (836-901 M) dan muridnya menerjemahkan karya-karya Yunani, terutama di bidang Geometri dan astronomi, termasuk juga karya Apollonius dan Archimides9.

Sebelum diterjemahkan karya-karya Yunani, diterjemahkan juga karya-karya India. misalnya al-Fazzari menerjemahkan buku Shiddanta (sebuah risalah Sansekerta tentang astronomi) karena itu al-Fazzari dikenal sebagai astronom pertama di dunia Islam.

Selain itu, diterjemahkan juga karya-karya Persia. Pada masa Harun al-Rasyid, al-Fadl bin Nawbakht (wafat 815 M) menerjemahkan beberapa karya astronom Iran. Hanya saja, melalui penerjemahan Khalilah wa

Dimmah oleh Ibn al-Muqaffa (757 M), seiring Zoroaster yang masuk Islam,

membuat pengaruh kesusastraan dan seni rupa Persia terhadap umat Islam lebih dominan dibanding dengan sains dan filsafat.

Sebagai urat nadi kegiatan penerjemahan itu adalah Bait al-Hikmah, dibangun pada masa al-Makmun, yang semula hanya merupakan

6 Nurcholis Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1984), hal. 23

7 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam I, (Kairo: al-Nahdhah, 1933), hal. 271

8 S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta:

Girimukti Pusaka, 1981), hal.10

9 Muhammad Abd al-Rahman Khan, Sumbangan Islam terhadap Ilmu Pengetahuan

(5)

perpustakaan sederhana di zaman al-Rasyid dengan sebutan Khizanah al-Hikmah10. Di lembaga ini buku filsafat dan sains dari berbagai bahasa

diterjemahkan. Ahmad Syalabi mengatakan bahwa Bait al-Hikmah

merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang saat itu, dan berbagai buku terjemah dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Aramy11. Dari

gerakan penerjemahan inilah akhirnya ilmu pengetahuan dan pendidikan di masa Dinasti Abbasiyah berkembang dengan pesat, hingga mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan kenamaan, seperti Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Ghazali, dan lain-lain.

2. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Non Formal

Sebelum lahirnya pendidikan formal seperti yang terdapat pada pemerintahan Abbasiyah di saat jayanya, sebenarnya sudah terdapat tempat-tempat atau lembaga pendidikan yang sifatnya non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Lembaga-lembaga ini nampaknya sudah ada sejak dahulu dan sebagian tetap berlangsung sampai lahirnya lembaga-lembaga formal yang didirikan oleh pemerintah Abbasiyah. Diantara lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah:

a. Halaqah

Bentuk tempat pendidikan ini oleh Mehdi Nakosteen dikatakan sebagai bentuk yang sederhana dalam pendidikan Islam pada masa awal12.

Halaqah arti harfiahnya adalah perkumpulan yang melingkar. Karena itu dalam hal ini pengkajian yang dilakukan adalah dengan duduk melingkar. Dinamakan demikian karena guru duduk di tengah-tengah di sebuah mimbar atau bantal membelakangi tembok atau tiang dan para pelajar

10 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hal.

109

11 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya (terj.), (Jakarta: Bulan

Bintang, 1973), hal. 92-93

12 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis

(6)

duduk dengan membentuk lingkaran di depan guru. Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatannya. Semakin tinggi tingkatan seseorang atau pelajar, maka ia duduk palin dekat dengan gurunya.

Para pelajar seringkali melakukan perjalanan yang lama untuk bergabung dengan lingkaran seorang guru yang ternama, atau berpindah dari satu lingkaran ke lingkaran lainnya. Kadang-kadang melakukan perjalanan ke kota-kota yang jauh untuk menyerap suatu ilmu dari seorang cendekiawan, kemudian berpindah ke cendekiawan lainnya.

b. Maktab atau Kuttab

Maktab atau Kuttab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi maktab atau kuttab berarti tempat belajar menulis. Munculnya lembaga kuttab ini kalau ditelusuri, akan sampai pada zaman Rasulullah,13 atau mungkin bahkan sebelum datangnya Islam, kuttab ini telah ada di negeri Arab14.

Maktab ini merupakan tempat untuk memperoleh pendidikan dasar.

Pada masa awal Islam hampir di semua kota dan desa, materi yang diberikan sekitar persoalan menulis dan membaca serta mengajarkan pokok-pokok ajaran agama.

Selain di Timur Tengah, maktab ini juga terdapat di banyak negara lain, misalnya Spanyol, Sicilia, dan Afrika. Kurikulumnya berbeda-beda disesuaikan dengan sosial-budaya serta latar belakang setempat.

c. Pendidikan Rendah di Istana

Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak agar mampu melaksanakan tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas dasar pemikiran tersebut, khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan agar anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan tugas-tugas yang akan diembannya nanti. Oleh karena itu mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka15.

Pendidikan di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab

pada umumnya. Di istana, orang tua murid yang membuat rencana pelajaran selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Guru istana disebut mu’addib, karena berfungsi mendidik budi pekerti dan

13 Ibid.

14 Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 89 15 Ibid., hal. 92

(7)

mewariskan pengetahuan orang-orang terdahulu kepada anak-anak pejabat.

d. Toko-Toko Kitab

Saudagar-saudagar buku di jaman dinasti Abbasiyah, bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba saja. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas yang telah memiliki usaha sebagai pedagang kitab, agar mereka mendapat kesempatan untuk membaca dan menelaah serta bergaul dengan para ulama dan pujangga. Dengan demikian toko-toko kitab itu akhirnya berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjual dan membeli buku saja, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya para ulama, pujangga, dan para ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.

e. Rumah-Rumah Para Ulama

Di antara rumah para ulama yang terkenal menjadi tempat belajar adalah rumah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali ibn Muhammad al-Fasihi, Ya’kub bin Killis, wazir khalifah al-Aziz Billah al-Fatimy, dan lain-lain.

Dipergunakannya rumah para ulama tersebut menurut Ahmad Syalabi adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat. Misalnya rumah al-Ghazali setelah tidak mengajar lagi di madrasah Nizamiyah dan menjalani kehidupan sufi. Para pelajar datang ke rumahnya karena kehausan akan ilmu pengetahuan, terutama karena pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka. Selain rumah al-Ghazali adalah rumah milik Ali ibn Muhammad al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang syi’ah kemudian dipecat dari mengajar di Nizamiyah, lalu mengajar di rumahnya sendiri. Ulama-ulama itu dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan, maka kelompok-kelompok pelajar tetap mengunjungi rumahnya untuk meneruskan pelajaran16.

f. Salon Sastra

Salon-salon sastra yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, menjadi tempat bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan. Pertemuan tersebut menarik perhatian para cendekiawan besar untuk berdiskusi, bertukar

(8)

pikiran, berkomunikasi tentang bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sangat luas serta tentang topik-topik yang sedang aktual, sehingga menjadi pusat-pusat penggalian ilmu pengetahuan yang sangat orisinal17.

Salon-salon tersebut mencapai puncaknya selama periode Abbasiyah, di bawah para khalifah seperti Harun al-Rasyid. Mereka menggunakan salon-salon tersebut untuk mengadakan tukar pikiran tentang persoalan-persoalan yang luas dan beragam di antara para cendekiawan ternama, terutana di bidang agama, ilmu kalam, filsafat, retorika, tata bahasa, dan puisi (syair). Al-Makmun, khalifah yang ilmu lainnya, mendorong dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mengadakan tukar pikiran serta dialog diantara para cendekiawan yang berbeda pendapat dalam filsafat dan ilmu kalam (Aristotelian dan anti-Aristotelian) yang pada masa itu saling bertentangan. Dengan cara ini istana khalifah dan istana raja-raja muslim berikutnya berfungsi sebagai pusat kebudayaan18.

g. Badi’ah (Dusun tempat tinggal Badwi)

Di wilayah perkotaan, umumnya bahasa Arab sudah rusak dan menjadi bahasa pasaran serta campur baur dengan bahasa lain. Tidak demikian halnya di badi’ah-badi’ah, tempat tinggal orang-orang Arab, dipandang tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Mereka masih sangat memperhatikan kefasihan berbahasa dengan memelihara kaidah-kaidah bahasanya. Dengan demikian, badi’ah-badi’ah ini merupakan sumber bahasa arab asli dan murni19.

Oleh karena itu, khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badi’ah-badi’ah ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni, dan mempelajari pula sya’ir-sya’ir serta sastra Arab dari sumber yang asli. Banyak ulama dan ahli pengetahuan lainnya pergi ke sana untuk tujuan yang sama. Sehingga badi’ah-badi’ah tersebut menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa Arab dan sastra Arab.

h. Rumah Sakit

Pada zaman kejayaan Islam, rumah sakit bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat orang-orang sakit saja, tetapi juga untuk mendidik tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu

17 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam…, hal. 65 18 Ibid., hal. 66

(9)

obatan atau farmasi. Karena itu rumah sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.

i. Perpustakaan

Ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang di dunia Islam, peran perpustakaan Islam sudah terasa penting. Karena itu perpustakaan yang sifatnya umum diselenggarakan oleh pemerintah atau waqaf dari para ulama dan sarjana.

Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya itu dikatakan sedah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.

j. Masjid

Tempat pendidikan muslim yang paling khas dan bertahan paling lama adalah di masjid. Di mana saja Islam tersebar pada abad pertama dengan perkembangannya yang luar biasa, tradisi belajar di masjid selalu turut menyertainya. Dengan demikian, wajarlah apabila khalifah terdahulu sedikit demi sedikit melihat pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan, tapi juga sebagai pusat penngajaran bagi kaum muda20.

k. Khanqah, Zawiyah, dan Ribath

Lembaga-lembaga pendidikan ini lebih menyerupai monastry dan

hermitage karena para pelajar mengasingkan diri mereka untuk belajar dan beribadat di lembaga ini, sebagaimana biasanya disediakan untuk orang mistik dan sufi.

Kanqah pada umumnya lebih tersebar luas dan lebih berperan

daripada zawiyah atau ribath. Al-Maqrizi mengatakan bahwa di dalam salah satu khanqah, di sana telah diatur beberapa mata pelajaran, diantaranya adalah mata pelajaran untuk empat mazhab, beberapa mata pelajarn hadis, beberapa mata pelajaran membaca al-Qur’an dalam tujuh buah riwayat. Tiap-tiap mata pelajaran diasuh oleh sorang guru, dan tiap-tiap guru mempunyai sekumpulan pelajar, dan diisyaratkan kepada mereka

20 Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),

(10)

menghadiri pelajaran dan melaksanakan semua protokoler atau semacam jadwal tasawuf21.

Setiap hari diaturlah untuk murid-murid berupa makanan, daging, roti, dan dalam sebulan sekali diberi Halwa, sabun, dan minyak. Pada sebagian khanqah masing-masing, seperti makanan, minuman, pakaian, dan obat-obatan, bahkan terdapat di sana tukang cukur dan tukang pijit untuk para pelajar. Sehingga hal itu sangat kondusif sekali untuk mereka mengasingkan diri untuk belajar dan beribadat, tanpa harus berhubungan, tanpa harus berhungan dengan dunia luar.

Adapun zawiyah lebih menyerupai khanqah dari segi tujuan. Akan tetapi zawiyah ini lebih kecil dari khanqah. Zawiyah dibangun untuk orang-orang sufi yang fakir supaya mereka dapat belajar dan beribadat. Zawiyah

ini kadang-kadang didirikan oleh seorang atau kadang-kadang pula didirikan oleh seorang syaikh yang terkenal dan banyak ilmunya22.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan ribath adalah rumah-rumah orang sufi dan tempat tinggal mereka yang didiami oleh sejumlah orang dari fuqara’ yang mengasingkan diri, yang tidak mempunyai keluarga, dan mempersiapkan diri mereka untuk belajar dan beribadat semata-mata23. Ketiga tempat pendidikan tersebut paling banyak dikenal di kalangan sufi.

Lembaga-lembaga pendidikan non-formal itu –meskipun tidak seluruhnya– masih tetap berlangsung hingga kejayaan Islam di masa Abbasiyah. Lembaga-lembaga tersebut merespon perkembangan ilmu pengetahuan di samping melaksanakan tugas utamanya yaitu untuk mewariskan pengetahuan-pengetahuan agama pada generasi muslim selanjutnya. Bahkan sampai lahirnya lembaga-lembaga pendidikan formal pun, sebagian sarana pendidikan yang bercorak non-formal itu tetap masih ada.

3. Lembaga-Lembaga Pendidikan Formal dan Materi yang Diberikan

Bersamaan dengan majunya ilmu pengetahuan dan kebudayaan di masa dinasti Abbasiyah, lahir pulalah pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah. Sebenarnya timbulnya lembaga pendidikan formal dalam dunia Islam itu merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.

21 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat…, hal. 46 22 Ibid., hal. 47

(11)

Di antara faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya sekolah-sekolah formal itu antara lain24:

a. Halaqah-halaqah yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang di dalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, di samping sering pula mengganggu orang yang beribadat di dalam masjid. Keadaan demikian mendorong untuk dipindahkannya halaqah-halaqah tersebut ke luar lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-bangunan sebagai ruang belajar atau kelas-kelas tersendiri. Dengan demikian kegiatan pengajaran dari halaqah-halaqah tersebut tidak saling mengganggu satu sama lain.

b. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan, baik mengenai ilmu pengetahuan keagamaan maupun umum, maka diperlukan semakin banyaknya halaqah-halaqah yang tidak mungkin keseluruhannya tertampung dalam ruang masjid.

Di samping dua faktor di atas, terdapat faktor-faktor lain yang mendorong penguasa dan pemegang pemerintahan pada masa Abbasiyah untuk mendirikan sekolah sebagai bangunan-bangunan yang terpisah dari masjid. Faktor-faktor lain itu, menurut hemat penulis adalah bahwa pada umumnya para penguasa terdorong untuk mendirikan sekolah itu demi kepentingan politik. Agar rakyat bersimpati kepada penguasa dan akhirnya penguasa memiliki kedudukan yang kuat di tampuk kepemimpinan25.

Lembaga-lembaga pendidikan formal dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Sekolah-sekolah Rendah (Kuttab)

Pada permulaan masa Abbasiyah dan masa selanjutnya, terdapat banyak kuttab dan guru-guru yang mengajar. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kuttab itu sudah ada sebelum kejayaan Abbasiyah, karena itu penulis beranggapan bahwa keberadaan kuttab formal pada masa Abbasiyah ini merupakan upaya memperkuat status kuttab yang telah ada sebelumnya, dengan memperbaiki sarananya atau membangun kuttab

baru yang bersifat formal.

Mahmud Yunus mengatakan bahwa pada saat itu setiap desa ada satu kuttab bahkan ada yang lebih. Di kota Balram (Sicilia) terdapat kurang lebih 300 orang guru kuttab, pada kuttab Abul Qasim al-Balkhi terdapat

24 Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 100 25 Ibid.

(12)

kurang lebih 3000 orang murid kutab. Hal ini membuktikan betapa banyaknya guru dan murid di kuttab26.

Adapun materi yang diberikan pada pengajaran sekolah-sekolah rendah (kuttab) ini secara umum sebagai berikut 27:

a. Membaca al-Qur’an dan menghafalnya.

b. Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, shalat, puasa, dsb.

c. Menulis

d. Kisah (riwayat orang-orang besar Islam)

e. Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa).

f. Berhitung

g. Pokok-pokok nahwu dan sharaf.

Materi yang diberikan di masing-masing wilayah tu berbeda-beda, tergantung pada sosial budaya serta latar belakang wilayahnya. Di Maroko, pada anak-anak hanya diajarkan al-Qur’an saja serta dipentingkan tulisannya, serta tidak dicampurkan dengan materi lain seperti hadis, fiqh, syair atau natsar. Di Tunisia, dicampurkan pelajaran al-Qur’an, hadis, dan poko-pokok ilmu agama, tetapi menghafal al-Qur’an sangat dipentingkan. Di Irak dan sekitarnya dipentingkan pelajaran al-Qur’an dan bermacam-macam ilmu serta kaidah-kaidahnya. Tetapi tidak dipentingkan tulisan indah pada kuttab, hanya cukup tulisan sederhana.

Menurut keterangan al-Qabishi bahwa materi pelajaran pada kuttab-kuttab terdiri dari dua macam28:

a. Mata pelajaran wajib

b. Mata pelajaran ikhtiariyah (tidak wajib). Mata pelajaran wajib ialah:

1) Al-Qur’an

2) Shalat

3) Do’a

4) Nahwu dan Bahasa Arab (sedikit)

5) Membaca dan menulis

Mata pelajaran ikhtiariyah adalah:

1) Berhitung

2) Semua ilmu Nahwu dan bahasa Arab

3) Syair

4) Riwayat (tarikh Arab)

Demikianlah materi yang diberikan di sekolah-sekolah rendah itu. Meskipun materi yang diberikan di masing-masing wilayah berbeda-beda,

26 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hadikarya Agung, 1989),

hal. 48

27 Ibid., hal. 49 28 Ibid., hal. 50

(13)

tetapi pada umumnya materi yang diberikan itu memiliki kesamaan-kesamaan.

2. Sekolah Tingkat Menengah

Selain sekolah tingkat rendah, terdapat pula sekolah tingkat menengah. Sekolah tingkat menengah ini lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan sekolah kuttab. Seperti halnya kuttab, di sekolah tingkat menengah ini juga tidak ada keseragaman dalam hal materi di seluruh negara Islam. Pada umumnya materi pelajaran yang diberikan adalah29:

a. Al-Qur’an

b. Bahasa Arab dan kesusastraannya

c. Fiqh d. Tafsir e. Hadis f. Nahwu/Sharaf/Balaghah g. Ilmu-ilmu pasti h. Mantiq i. Falak j. Tarikh k. Ilmu-ilmu alam l. Kedokteran m. Musik

Disamping itu, ada mata pelajaram yang bersifat kejuruan. Misalnya untuk menjadi juru tulis di kantor-kantor. Selain belajar bahasa, murid di sini harus belajar surat menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta tulisan indah.

Kalau kita perhatikan, materi yang diberikan pada dua tingkatan sekolah di atas cukup menyolok perbedaannya. Kalau pada sekolah-sekolah rendah, materi yang diberikan berkisar materi-materi keagamaan, seperti materi yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga terdahulu. Hal itu bisa dipahami karena materi keagamaan merupakan materi pokok yang harus dikuasai murid sebelum mempelajari materi yang lain.

Berbeda dengan sekolah tingkat menengah, materi-materi yang diberikan sudah terbias oleh pengaruh dari kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu. Sehingga materinya sudah merupakan jawaban dan respon terhadap kepentingan saat itu. Materi-materi itu antara lain: musik, kedokteran, ilmu-ilmu alam, ilmu falak, ilmu pasti dan lain-lain, yang kesemuanya belum berkembang sebelumnya.

(14)

3. Sekolah Tingkat Tinggi

Sebagai kelanjutan dari kemajuan Islam di bidang pendidikan, maka selain terdapat sekolah tingkat rendah dan sekolah tingkat menengah, terdapat juga sekolah tingkat tinggi. Materi pelajaran pada sekolah tingkat tinggi ini seperti halnya dua sekolah di bawahnya, tidak mempunyai keseragaman di seluruh dunia Islam. Bahkan berbeda-beda pula sesuai dengan perubahan masa dan keadaan. Akan tetapi materi umumnya dibagi menjadi dua jurusan, yaitu30:

a. Ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusastraannya, yang juga disebut dengan ilmu naqliyah, yang meliputi:

1) Tafsir al-Qur’an

2) Hadis

3) Fiqh dan Ushul Fiqh

4) Nahwu/Sharaf

5) Balaghah

6) Bahasa dan sastra Arab

b. Ilmu-ilmu hikmah (filsafat) yang juga disebut ilmu aqliyah, yang meliputi:

1) Mantiq

2) Ilmu-ilmu alam dan Kimia

3) Musik 4) Ilmu pasti 5) Ilmu ukur 6) Falak 7) Ilmu hewan 8) Ilahiyah (ketuhanan) 9) Ilmu tumbuh-tumbuhan 10) kedokteran

Seperti halnya materi-materi pada pendidikan tingkat menengah, maka materi-materi pada pendidikan tingkat tinggi ini jelas terkena pengaruh dari kemajuan jaman Abbasiyah saat itu. Materi-materi di atas banyak dikembangkan oleh para ilmuwan pada saat Abbasiyah maju setelah mengadakan gerakan penerjemahan secara besar-besaran terhadap karya-karya ilmuwan terutama ilmuwan-ilmuwan Yunani, Persia, dan India. Masyarakat Islam di masa Abbasiyah sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan dapat sedemikian maju. Keadaan yang semacam ini nampaknya berpengaruh terhadap dunia pendidikan terutama pada materi-materi yang diberikannya.

30 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 57; lihat juga Zuhairini et.al.,

(15)

4. Sekilas tentang Universitas

Nizamiyah

dan

Mustansiriyyah

Pada saat Dinasti Abbasiyah berjaya dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan, lahirlah suatu universitas yang sangat terkenal. Universitas itu adalah universitas Nizamiyah.

Ketika Turki dari dinasti bani Saljuk mengambil alih kekuasaan khilafah Abbasiyah, Nizamul Mulk diangkat sebagai perdana menteri. Pada tahun 1067 M ia mendirikan perguruan tinggi besar di Baghdad yang kemudian menjadi model bagi Islam ortodoks (salaf) dan diberi nama

Nizamiyah sesuai nama pendirinya. Nizamul Mulk menyediakan angaran

yang sangat besar untuk menggaji para pengajar dan untuk menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi para mahasiswanya31.

Pendidikan tinggi itu dimaksudkan untuk menghadapi propaganda Syi’ah revolusioner dan mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam yang benar sesuai keyakinan dan pengamalan Sunni. Pada zamannya, universitas itu sangat terkenal dan para guru besarnya yang memiliki peran-peran akademik, mendapatkan penghargaan sedemikian tinggi sehingga mereka sering dipilih untuk menjalankan misi-misi diplomatik. Lembaga pendidikan tinggi ini mempunyai guru besar yang disebut ustadz atau

mudarris, dan masing-masing memiliki seorang asisten yang disebut mu’id

yang mengulangi kata-kata yang diucapkan guru besar yang dibantunya. Disamping staf pengajar, terdapat banyak pegawai dan pustakawan, imam shalat dan petugas pendaftaran. Lembaga pendidikan ini memiliki perpustakaan yang bagus dan masjid yang besar32.

Kuliah pertama sering diikuti oleh pejabat tinggi dan kadang-kadang setelah kuliah selesai diberikan acara-acara hiburan. Guru besar biasanya menyampaikan kuliahnya dengan jelas, kemudian kata-katanya diulangi oleh asistennya sehingga para mahasiswa berkesempatan untuk mencatatnya.

Pada umumnya para pengajar di Nizamiyah adalah para sarjana berbobot, orang-orang yang berbudi pekerti luhur dan berkaliber tinggi. Mereka secara ikhlas membimbing mahasiswanya. Mereka terkenal karena kesalehannya, kesederhanaannya, kerajinannya, kebaikan hatinya serta kejujurannya.

Pengembara terkenal, Ibn Jubair yang mengunjungi Nizamiyah pada tahun 1184 M sangat terkesan atas kuliah yang diikutinya pada suatu petang di hari Jum’at. Setelah selesai kuliah, banyak pertanyaan tertulis

31 Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989) hal. 45

32 Bayard Dodge, Muslim Education in Medievel Times, (Washington DC: t.p.,

(16)

diajukan kepada para pengajar yang bersangkutan dan dijawab satu per satu dengan sabar dan penuh kesungguhan. Kemudian ia melontarkan beberapa pertanyaan kepada para mahasiswa setiap saat dia memberikan jawaban33.

Perguruan tinggi Nizamiyah itu selain didirikan oleh Nizamul Mulk di Baghdad, juga didirikan di tempat-tempat lain, misalnya di Basrah, Mosul, Irak, Isfahan, Nisabur, Persia, Balkh, dan Herat34.

Sedemikian majunya ilmu pengetahuan saat itu, hingga bermunculan perguruan tinggi-perguruan tinggi selain Nizamiyah. Tercatat dalam sejarah di saat majunya ilmu pengetahuan di masa Abbasiyah, terdapat 75 buah lembaga pendidikan tinggi di Baghdad, 40 buah di Aleppo, 13 buah di tripoli, 9 buah di Mosul, 74 buah di Kairo, dan beberapa buah lagi di negara-negara lain35.

Sedangkan mengenai unversitas Mustansiriyah adalah universitas yang dibangun oleh khalifah al-Mustanshir di Baghdad pada abad XIII M. Universitas ini merupakan universitas terindah di dunia Islam. Tenaga dan

biaya yang dipergunakan untuk membangun universitas ini

mengindikasikan betapa besar penghormatan dan penghargaan umat Islam kala itu terhadap ilmu dan para ulama. Keindahan dan kemegahan pembangunan gedung tersebut telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangunan-bangunan yang lain di negeri Islam. Di dalamnya terdapat Iwan (tempat khusus) bagi tiap mazhab yang empat, dan untuk setiap mazhab disediakan seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar 75 orang pelajar secara gratis dan setiap guru diberi gaji bulanan, dan setiap pengajar memperoleh sebuah dinar emas tiap bulan. Sedangkan universitas sendiri menyediakan kepada mereka daging dan roti setiap hari. Ibn al-Furat mengatakan bahwa di sana disediakan perpustakaan yang besar yang melengkapi berbagai cabang ilmu pengetahuan. Perpustakaan ini diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan bagi para pelajar untuk membaca apa yang disukainya, juga dilengkapi dengan alat-alat tulis, yang terdiri dari tinta dan kertas. Pada universitas ini terdapat kamar mandi dan rumah sakit yang dikendalikan seseorang yang ditugasi secara khusus untuk mengobati para pelajar yang sakit setiap hari36.

Le Strange, sebagaimana dikutip oleh Mehdi Nakosten, mengatakan bahwa seseungguhnya pendidikan universitas Mustansiriyyah itu dalam rangka menggantikan kemunduran yang dialami oleh Universitas

33 Ibid., hal. 21

34 Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam…., hal.

47

35 Ibid.

(17)

Nizamiyah37. Akan tetapi ada yang mengatakan lain bahwa pendirian universitas ini dalam rangka menyaingi Universitas Nizamiyah.

Satu abad setelah pendirian Universitas Mustansiriyyah, Ibn Batutah pernah berkunjung ke Baghdad pada tahun 1327 M. Sekolah-sekolah hukum (fiqh) di Mustansiriyyah masih banyak yang dikunjungi oleh para mahasiswa dari empat aliran ahl sunnah. Oleh Ibn Batutah digambarkan sebagai “Duduk di bawah kubah dari kayu, di atas sebuah kursi yang dilapisi karpet, berbicara dengan penuh ketenangan dan sikap yang serius, berpakaian serba hitam, mengenakan surban dan didampingi dua orang asisten. Salah seorang darinya, dengan mengangkat tangan ke dekat mulutnya, mengulang dengan suara keras apa yang didiktekan oleh seorang guru” 38.

Ahli geografi Persia, Hamdallah mengatakan bahwa Universitas Mustansiriyyah merupakan bangunan terindah yang ada di Baghdad waktu itu. Tampak berdiri utuh selama beberapa abad, karena terbukti reruntuhan sekolah ini masih tetap ada hingga tahun 1990 M. menempati satu ruangan dasar yang persis terletak di bawah bagian ujung timur Bridge of Boats (Jembatan Kapal) sekarang. Mustanshir juga merestorasi masjid besar dengan mendirikan empat buah dikkah (pangung) di sebelah kanan atau sisi barat dari mimbar, tempat para mahasiswa Mustansiriyyah duduk dan berdiskusi di hari Jum’at setelah orang-orang selesai melaksanakan shalat Jum’at. Sisa-sisa masjid itu masih ada hingga kini. Ketika Niebuhr mengunjungi Baghdad pada tahun 1750 M, ia menemukan bahwa dapur sekolah tinggi Mustansiriyyah kuno, masih dikenali dengan jelas, digunakan, pada saat ia berkunjung itu, sebagai rumah timbang, dan Niebuhr menyalin inskripsi yang tertera nama dan gelar Khalifah Mustanshir dengan pernyataan bahwa Universitas Mustansiriyyah itu telah diselesaikan pada tahun 630 H/1233 M. Sebuah inskripsi yang mirip (yang masih ada) terlihat juga oleh Niebuhr pada reruntuhan masjid dengan tahun 633 H/1236 M tepat ketika restorasi yang dilakukan oleh Mustanshir telah selesai, sebagaimana telah dikatakan di atas. Pondasi tembok seluruhnya kemungkinan jauh lebih tua dari pada tahun tersebut, dan mestinya masjid besar itu adalah sebuah masjid istana khalifah39.

Demikianlah kurang lebih gambaran mengenai pendidikan di masa Dinasti Abbasiyah, masa-masa maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Lembaga-lembag di atas serta materi-materi yang diberikan, kalau kita perhatikan seperti mampu mengikuti

37 Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam…., hal. 68 38 Ibid., hal. 69

(18)

kondisi perkembangan zaman. Sehingga materinya pun adalah materi-materi yang diperlukan saat itu. Hal itu penting untuk dilakukan dalam rangka pelaksanaan dinamisasi pendidikan yang merupakan salah satu prinsip pendidikan.

C. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Persentuhan kebudayaan umat Islam dengan negara lain di zaman Abbasiyah sudah terjadi. Persentuhan itu diapresiasi sedemkian rupa, sehingga dunia Islam mampu meraih puncak kemajuan ilmu pengetahuan di bawah payung Dinasti Abbasiyah.

2. Sebelum lahirnya lembaga pendidika formal di masa Abbasiyah, sudah banyak lembaga-lembaga yang bersifat non-formal yang berlangsung hingga Dinasti Abbasiyah berdiri. Lembaga pendidikan non-formal itu penting artinya untuk pewarisan ilmu pengetahuan kepada generasi muslim selanjutnya.

3. Lahirnya pendidikan formal di zaman Abbasiyah diilhami oleh keterbatasan-keterbatasan pendidikan non-formal yang berlangsung waktu itu, sekaligus untuk menjawab kondisi jaman yang cukup maju dalam bidang ilmu pengetahuan.

4. Persinggungan ilmu pengetahuan dari negara asing seperti Yunani, Persia, dan India, turut memberikan bias pada materi pendidikan Islam di Abbasiyah. Hal itu bisa dipahami sebagai dinamisasi pendidikan, karena ilmu pengetahuan hasil persentuhan dengan negara lain itu memang perlu dikembangkan dalam dunia Islam, agar tidak ketinggalan zaman.

(19)

Daftar Pustaka

Amin, Ahmad, Dhuha al-IslamI, Kairo: al-Nahdhah, 1933.

Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994. Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

Brockelmann, Carl, History of the Islamic Peoples, London: Routledge ann Kegan Paul, t.t.

Dodge, Bayard, Muslim Education in Medievel Times, Washington DC: t.p., 1962.

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Hitti, Philip K, History of the Arabs, Edisi X, London: The Macmillon Press Ltd., 1974.

al-Jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Khan, Muhammad Abd al-Rahman, Sumbangan Islam terhadap Ilmu

Pengetahuan dan Kebudayaan, Bandung: Rosda, 1988.

Madjid (Ed.), Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1983.

Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, Jakarta: Girimukti Pusaka, 1981.

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya (terj.), Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Watt, W. Montgomery, The Majesty that was Islam, Hartono Hadikusuma (terj.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hadikarya Agung, 1989. Zuhairini et al.,Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Referensi

Dokumen terkait