1
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA ANGKUTAN PERBATASAN TERINTEGRASI BUSWAY
Theresia Mulyani*, Rinitami Njatrijani, Sartika Nanda Lestari Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
E-mail : theresiamulyani@yahoo.com Abstrak
Kemacetan merupakan sebuah permasalahan kompleks yang dihadapi Provinsi DKI Jakarta. Tingginya penggunaan kendaraan pribadi membuat keadaan jalan di ibukota semakin sesak, karena tidak hanya penduduk asli, namun juga masyarakat commuter yang bertempat tinggal di kota penyangga DKI Jakarta. Berbagai cara dilakukan pemerintah, salah satunya adalah meluncurkan sarana transportasi massal yaitu APTB yang terintegrasi dengan Transjakarta.
APTB merupakan sebuah transportasi massal yang dibutuhkan masyarakat ibukota untuk menunjang sarana transportasi antara ibu kota Jakarta dengan wilayah penyangga yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Namun seiring berjalannya waktu, dalam pelaksanaannya, masih banyak hak-hak pengguna jasa layanan transportasi bus APTB yang belum terpenuhi.
Metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder berupa Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta peraturan terkait lainnya dengan menggunakan uraian deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian, penumpang kerap kali tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya diberikan oleh penyedia layanan jasa Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway. Kekurangan tersebut diakibatkan karena dalam pengoperasiannya ada beberapa hal yang masih tidak sejalan dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Banyak hal yang harus dibenahi oleh penyelenggara Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway agar pelayanan yang diberikan dapat maksimal dan hak-hak pengguna jasa sebagai penumpang dapat terjamin.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Bus APTB, Pengangkut, Penumpang
Abstract
Traffic congestion is a complex issue that the province of DKI Jakarta is facing. The great numbers of private vehicle ownership cause the streets in Jakarta to get even denser, as they are not only from the locals, but also from the commuters from the suburbs of DKI Jakarta. The government of DKI Jakarta has already found many ways to solve the issue, one of them is by launching a new public transportation, APTB, that is integrated with TransJakarta.
APTB is a type of public transportation the people of Jakarta need to provide a transportation between Jakarta and its suburbs, i.e. Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi. However, as time goes by, there have been a lot of unfulfilled rights of the APTB passengers.
The type of method used in this research is judicial normative, by using the secondary data of Law No. 22 of 2009 on Road Traffic, Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, and other related regulations analyzed by analytical descriptive approach.
Based on the research, the passengers often do not have the rights that are supposed to be given by the provider of Busway-Integrated Border Transport (APTB). The problem is caused by some of its operations that contradict with regulations by the government. There are many things that need to be improved by the provider of Busway-Integrated Border Transport, so people can experience a maximum service and their rights as passengers can be guaranteed.
2
I. PENDAHULUAN
Kota Jakarta adalah kota yang aktif dengan banyak aktifitas. Menurut data pada tahun 2015, jumlah penduduk Jakarta sebesar 10.075.300 jiwa.1 Hal ini menunjukan bahwa Jakarta merupakan salah satu kota terpadat di Indonesia. Kepadatan ini menimbulkan kepadatan penduduk besar yaitu kemacetan.
Kemacetan merupakan salah satu dari begitu banyak masalah yang ada di kota Jakarta. Mobilitas yang padat mengakibatkan jalan-jalan raya menjadi super padat karena sebagian besar masyarakat membawa kendaraan pribadinya. Dengan begitu kemacetan yang terjadi di ibu kota ini berdampak besar pula terhadap kawasan di sekitarnya yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Keterbatasan ketersediaan transportasi dapat menyebabkan tersendatnya mobilitas masyarakat untuk memenuhi hak sosial masyarakat dalam bentuk mobilisasi masyarakat yang dinamis.2
Mobilisasi yang terjadi di Jakarta dengan masyarakat-masyarakat kota satelit (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) disebabkan karena Jakarta merupakan pusat pembangunan ekonomi Indonesia yang didalamnya terdapat banyak kesempatan kerja.
1 “Kepadatan penduduk”,
http://bappedajakarta.go.id/?page_id=1131 , diakses pada hari minggu 6 juni 2016 pukul 09.51.
2 Zaini Noer & Usman Melayu,
Kebijakan Transportasi, Jakarta: Simposium III FSTPT, halaman 5.
Hal tersebut menjadi magnet untuk menarik masyarakat yang tinggal di sekitaran Jakarta untuk menjadi penglaju. Jutaan warga dari kota di sekitaran Jakarta pulang-pergi setiap harinya untuk mencari penghidupan di pusat pembangunan ekonomi Indonesia tersebut.
Pembangunan ekonomi membutuhkan jasa angkutan yang cukup serta memadai. Tanpa adanya transportasi sebagai sarana penunjang tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara.3 Bus sebagai angkutan perkotaan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menunjang pembangunan. Bus merupakan salah satu alat transportasi umum yang memiliki kapasitas pengangkutan orang yang besar sehingga lebih efisien jika dibandingkan dengan alat transportasi lainnya.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan transportasi, terutama teruntuk masyarakat yang tinggal di kawasan ibu kota yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, maka Dinas Perhubungan DKI bersama dengan UPTB (Unit Pelayanan Transjakarta Busway) membentuk suatu armada angkutan umum yang dinamakan APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway).
APTB merupakan armada bus yang terintegrasi dengan bus Transjakarta yang ditujukan untuk melayani rute di luar DKI Jakarta
3 H. A. Abbas Salim, 1993,
Manajemen Transportasi, Jakarta: PT Raja Grafindo, halaman 1.
3
yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Transjakarta sendiri mulai beroperasi pada 15 januari 2004 yang bertujuan untuk memberikan jasa angkutan umum yang cepat, aman, nyaman dan terjangkau bagi warga Jakarta. Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenom yang sukses di Kolombia. Perencanaan Transjakarta sudah dimulai sejak tahun 1997, namun dibatalkan dengan pertimbangan keselamatan lalu lintas.4 APTB telah didesain menjadi 18 trayek (lintasan) yang akan tersebar merata di seluruh wilayah Jabodetabek dan diproyeksikan dapat mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang masuk ke Jakarta.
Bus terintegrasi busway saat ini menjadi salah satu andalan masyarakat penglaju yang tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak memberikan kondisi-kondisi yang kurang memuaskan, mengingat pentingnya peran pelaku usaha dalam menunjang keselamatan, keamanan dan kenyamanan untuk para pengguna jasa. Maka pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pengguna jasa transportasi merupakan hal yang penting.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul, “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Angkutan
Perbatasan Terintegrasi Busway.” 4 “Sejarah Busway”,
http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta, diakses pada hari Minggu, 6 Juni 2016 pukul 09.58
II. METODE
A. Metode Pendekatan
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang ditentukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologi berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu.5
Penelitian hukum merupakan upaya untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang benar mengenai hukum, yaitu pengetahuan yang dapat dipakai untuk menjawab atau memecahkan secara benar suatu masalah tentang hukum. Mencari dan menemukan itu tentu saja ada caranya, yaitu melalui metode.6
Pada penelitian ini yang dijadikan obyek penelitian adalah aspek perlindungan hukum terhadap penumpang pada angkutan perbatasan terintegrasi busway. Sehubungan dengan obyek penelitian tersebut, maka dalam upaya untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terinci, maka metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal-pasal dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai permasalahan yang diangkat.
5 Soerjono Soekamto, 2006,
Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, halaman 42.
6 M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, halaman 21.
4
Pendekatan yuridis menitikberatkan penelitian pada studi kepustakaan yang berkaitan. Bahan pustaka merupakan bahan hukum dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder.7 Sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh kesinambungan antara peraturan dengan penerapan yang terjadi dalam praktek dan kasus yang diangkat. B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.8 Dengan penggunaan analisis deskriptif ini diharapkan penulis dapat merangkai peristiwa yang terjadi secara sistematis, rinci, dan lengkap untuk menggambarkan permasalahan yang ada. Juga untuk menemukan korelasi antara peraturan-peraturan yang ada dengan pokok permasalahan yaitu perlindungan terhadap penumpang.
7 Soekanto dan Mamuji, 2003,
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali, halaman 23-24.
8 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004,
Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: PT Raja Grafindo, halaman 25.
C. Metode Analisis Data
Untuk menarik kesimpulan dari data yang telah terkumpul, maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, karena sebagian besar data yang terkumpul bersifat kualitatif. Kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.9 Dalam metode analisis kualitatif, data yang telah terkumpul tersebut dipilih dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif yang merupakan jawaban untuk permasalahan yang ada pada penelitian ini. Selanjutnya hasil analisis dan kesimpulan tersebut disusun dalam bentuk penulisan hukum/skripsi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelayanan bus APTB dalam memenuhi Hak-Hak Pengguna Layanan Jasa Transportasi
Dalam bab pembahasan ini membahas mengenai pelayanan bus APTB apakah telah memenuhi hak-hak pengguna jasa layanan transportasi. Bahwa konsumen atau dapat disebut juga sebagai pemakai barang dan/atau jasa yang dalam hal ini adalah pemakai atau pengguna jasa angkutan umum perbatasan
9 Sudarwan Danim, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif Rancangan Metodologi, Presentasi, dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Penelitian Pemula Bidang Ilmu Sosial, Pendidikan, dan humaniora, Bandung: Remaja Rosdakarya, halaman 51.
5
terintegrasi busway, sering mendapatkan masalah yang berkaitan dengan pelayanan yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha sehingga harus dilindungi. Berarti konsumen di sini berkaitan erat dengan hukum perlindungan konsumen, dimana dalam undang-undang tersebut mengatur beberapa hal berkaitan dengan konsumen.
Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway merupakan angkutan publik yang berbeda dengan angkutan publik lainnya. Sistem pelayanan dan fasilitasnya yang lebih lengkap dan lebih bersahabat menjadikan bus ini memiliki tingkat kenyamanan yang lebih dibanding lainnya. Bus APTB ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan transportasi lainnya seperti bus kopaja yang memiliki skala pelayanan tidak jauh berbeda dengan APTB.
Terkait masalah kualitas pelayanan, ada beberapa hal yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha dalam memenuhi hak-hak pengguna jasanya. Hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh konsumen sebagai pengguna jasa tersebut diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Di antara 9 (sembilan) hak yang diatur, ada satu hak yang pengaturannya diatur secara khusus dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Hak-hak tersebut adalah:
1. Hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih dan
mendapatkan barang
dan/atau jasa yang sesuai
dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang diberikan;
3. Hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau
jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat
dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang
diberikan;
5. Hak untuk mendapat
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen
secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan
pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak
diskriminatif. Ini mencakup hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya;
8. Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi,
dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan 9. Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pengaturan mengenai perlindungan hak-hak konsumen dalam hal jasa layanan angkutan umum tercantum di dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
6
dan Angkutan Jalan (LLAJ). Di dalam undang-undang tersebut, hak konsumen dijamin melalui adanya pengaturan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pengusahan jasa angkutan umum dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya.
Secara umum kewajiban itu tercantum dalam Pasal 141 UU LLAJ, bahwa perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yangmeliputi: a. Keamanan; b. Keselamatan; c. Kenyamanan; d. Keterjangkauan; e. Kesetaraan; dan f. Keteraturan;
Memang pada perkembangan dan pelaksanannya masih banyak yang perlu dibenahi atau diperbaiki. Misalnya dari segi kenyamanan dan keteraturan. Namun itu semua bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak Transjakarta saja, tetapi masyarakat dan pemerintah juga memiliki andil yang sama dalam menciptakan suatu sistem transportasi yang baik dan dapat diandalkan.
Pengaturan lainnya dapat dilihat dalam Pasal 186 sampai Pasal 194 UULLAJ, yaitu sebagai berikut: a. Perusahaan angkutan umum wajib
mengangkut orang dan/atau
barang setelah disepakati perjanjian
angkutan dan/atau dilakukan
pembayaran biaya angkutan oleh
penumpang dan/atau pengirim
barang;
b. Perusahaan angkutan umum wajib
mengembalikan biaya angkutan
yang telah dibayar oleh penumpang
dan/atau pengirim barang jika
terjadipembatalan pemberangkatan;
c. Perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian yang diderita
oleh penumpang atau pengirim
barang karena lalai dalam
melaksanakanpelayanan angkutan;
d. Perusahaan angkutan umum
wajib mengasuransikan tanggung
jawabnya;
e. Pengemudi kendaraan bermotor
umum dapat menurunkan
penumpang dan/atau barang yang
diangkut pada tempat pemberhentian
terdekat jika penumpang dan/atau
barang yang diangkut dapat
membahayakan keamanan dan
keselamatan angkutan;
f. Perusahaan angkutan umum
bertanggung jawab atas kerugian
yang diakibatkan oleh segala
perbuatan orang yang dipekerjakan
dalam kegiatan penyelenggaraan
angkutan;
g. Perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang yang
meninggal dunia atau luka
akibat penyelenggaraan angkutan,
kecuali disebabkan oleh suatu
kejadian yang tidak dapat dicegah
atau dihindari atau karena
kesalahan penumpang;
h. Pengangkut tidak bertanggung
jawab atas kerugian barang
bawaan penumpang, kecuali jika
penumpang dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut disebabkan
oleh kesalahan atau kelalaian
pengangkut;
i. Perusahaan angkutan umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat
membuktikan bahwa kerugian
tersebut disebabkan oleh kesalahan
7
Berkaitan dengan keamanan dan keselamatan lalu lintas, UU LLAJ mengatur beberapa hal berikut:
a. Perusahaan angkutan umum wajib membuat, melaksanakan dan menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. Perusahaan angkutan umum wajib membuat, melaksanakan dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan AngkutanJalan;
Dari dua pengaturan tersebut, Transjakarta telah mengupayakan sistem transportasi yang mengepankan keamanan, baik dari sarana utamanya yaitu armada bus dan juga dari sarana penunjangnya, yaitu baik jalur khusus bus maupun dari halte-halte yang dibuat sedemikian rupa sehingga memberikan keamanan yang diwajibkan oleh undang-undang. Misalnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di setiap bus APTB terdapat palu pemecah kaca jika terjadi keadaan darurat. Kemudian setiap bus memiliki dua pemadam api yang ditempatkan di bagian depan dan belakang bus. Pintu setiap halte telah dibuat otomatis, untuk menjaga agar para penumpang tidak terjatuh. Pada saat ini beberapa pintu tersebut memang sudah tidak berfungsi lagi dikarenakan rusak, yang sebenarnya merupakan kesalahan dari konsumen itu sendiri. Mungkin yang perlu dilakukan di sini adalah bagaimana Transjakarta berupaya mengoptimalkan sarana dan
prasarana yang dimiliki agar dapat memberikan keamanan kepada konsumen. Berkaitan dengan perlindungan hak konsumen yang memiliki keterbatasan fisik atau memiliki kondisi fisik khusus, maka
UU LLAJ mengatur
bahwa perusahaan angkutan umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang lalu lintas dan angkutan jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil dan orang sakit yang meliputi:
a. Aksesibilitas;
b. Prioritas pelayanan; dan c. Fasilitas pelayanan;
Pada dasarnya Transjakarta telah mengupayakan beberapa hal untukmenjamin konsumen atau para penumpang yang memiliki kondisi fisik tertentu. Misalnya desain Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang ada dibuat denganbentuk yang landai sehingga akan memudahkan para penyandang cacat untuk menggunakannya.10
Namun sepertinya
hal ini tidak dibuat secara maksimal. Banyak halte-halte busway yang aksesnya hanya dapat ditempuh melalui tangga yang cukup terjal. Penumpang harus melewati tangga jembatan yang tidak landai, yang sama sekali bukan diperuntukkan bagi mereka-mereka dengan kondisi fisik khusus. Bahwa jembatan busway yang digunakan saat ini merupakanmilik Dinas Perhubungan Jakarta. Jembatan milik Dinas Perhubungan memang disediakan untuk masyarakat umum
10 Buku Profil Transjakarta, Op.Cit.,
8
menyeberang jalan. Ketika busway dibangun, tidak mungkin dibuat jembatan khusus busway di sepanjang jalan, karena dianggap tidak efektif. Maka, digunakanlah jembatan umum yang sudah ada, kemudian disambung dengan jembatan baru yang khusus dibuat sebagai akses menuju halte busway. B. Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Oleh Pengguna Jasa yang Dirugikan Atas Pelayanan yang Telah Diberikan Oleh Bus APTB
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 dan Pasal 48 UU Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa tata cara penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang berupa:
Penyelesaian sengketa secara damai yang dilakukan sendiri oleh pihak konsumen dan pelaku usaha tanpa bantuan dari pihak lain dan penyelesaian sengketa melalui BPSK yang menggunakan mekanisme alternative dispute resolution, yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrase.
2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
Selain dua cara di atas, menurut Pasal 46 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu dengan cara class action. Class action adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, yang mana suatu gugatan atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri sendiri sekaligus
mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud. Gugatan dengan caraclass action dasar hukumnya adalah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Berdasarkan hasil penelitian studi kepustakaan yang peneliti teltiti, bahwa pihak Transjakarta lebih mengutamakan jalur damai ketimbang meneruskan suatu perkara ke dalam pengadilan. Mereka membuka kesempatan kepada konsumen yang merasa dirinya dirugikan oleh pelayanan Transjakata untuk menuntut hak mereka, namun dengan jalur damai, tanpa melibatkan pihak ketiga. Ini dikarenakan Transjakarta adalah suatu badan publik, yang membawa citra pelayanan transportasi massal terdepan. Apabila kita mengacu kepada Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Konsumen, Transjakarta sebagai pelaku usaha memang memiliki kewajiban untuk menjalankan tanggung jawabnya, terutama dalam hal ini mengenai bagaimana penanganan masalah konsumen yang mengalami kerugian dari pelayanan yang diberikan Transjakarta.
Maka dari itu, konsumen yang merasa dirugikan dapat melapor langsung kepada pusat pengaduan Transjakarta, menyampaikan apa kerugian yang dialaminya. Kemudian pihak Transjakarta tentu perlu menyelidiki kasus yang dilaporkan konsumen tersebut, karena memang beban pembuktian berada di tangan pelaku
9
usaha, artinya bahwa kewajiban membuktikan terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Pengaturan itu sebenarnya juga merupakan upaya perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku usaha dalam hal adanya laporan-laporan kerugian yang bersifat fiktif dan tidak nyata yang dilakukan oleh konsumen yang memiliki itikad yang tidak baik demi mencapai tujuan tertentu. Apabila ternyata setelah dibuktikan, Transjakarta tidak bersalah maka Transjakarta tidak memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut. Bila ternyata terbukti bersalah, maka Transjakarta akan membicarakan secara damai dengan konsumen yang mengalami kerugian tersebut. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa mereka sama sekali berusaha agar setiap penyelesaian permasalahan yang timbul antara
konsumen dengan
Transjakarta diselesaikan dengan cara damai.
Beberapa hal yang perlu diingat dalam hal penggantian kerugian ini adalah
sebagai berikut:
1. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya (Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen); 2. Perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan,
kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang (Pasal 192 ayat 1 UU LLAJ);
3. Jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, perusahaan angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
pemakaman dengan
tidakmenggugurkan tuntutan perkara pidana (Pasal 235 ayat 1 UU LLAJ);
4. Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat kecelakaan lalu lintas, perusahaan angkutan umum wajib memberikan (Pasal 235 ayat 2 UU LLAJ).
IV. KESIMPULAN
Mengacu pada pokok permasalahan yang telah diuraikan dalam Bab Pendahuluan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlindungan konsumen dalam jasa layanan transportasi umum diatur secara umum di dalam UU Perlindungan Konsumen dan diatur secara khusus di dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Semua hak yang tercantum dalam pasal-pasal di kedua undang-undang tersebut harus dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, terutama dalam hal ini pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa sebagai bentuk usahanya. Badan Layanan Umum Transjakarta sebagai pelaku usaha yang
10
memberikan jasa layanan transportasi belum memenuhi hak-hak pengguna jasa secara keseluruhan. Akan tetapi Transjakarta memang telah melakukan upaya yang tidak sedikit dalam menjamin bahwa pelayanan yang mereka berikan telah
memenuhi hak-hak
konsumen, tetapi tidak sedikit pula hal-hal yang masih harus dibenahi dan diperbaiki. Misalnya mengenai kenyamanan dalam bus dan halte, keamanan dan keselamatan yang masih menjadi hal-hal yang paling sering dikelukan konsumen. Namun, tanggungjawab ini tidak hanya berada di tangan pelaku usaha saja, tetapi juga berada di tangan konsumen. 2. Berdasarkan ketentuan Pasal
47 dan Pasal 48 UU Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa tata cara penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara yaitu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan melalui pengadilan. Pada prakteknya, pengaturan tersebut tidak sepenuhnya diterapkan. Transjakarta sangat mengutamakan jalur damai tanpa melibatkan pihak ketiga. Mereka juga sangat terbuka terhadap setiap kerugian-kerugian yang diderita konsumen. Konsumen dapat melaporkan apa kerugian yang dialaminya kepada pihak Transjakarta, dan Transjakarta dengan
kooperatif akan berusaha mencari jalan tengah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Walaupun demikian, ada prosedur-prosedur yang harus dilalui konsumen, yang bertujuan agar pelaku usaha juga dapat terhindar dari laporan-laporan yang sifatnya fiktif. Selama ini, permasalahan antara pihak Transjakarta dan konsumen penyelesaiannya melalui luar pengadilan. Setiap permasalahan selalu dapat diselesaikan secara damai, namun juga memuaskan terutama untuk pihak konsumen, sehingga tidak ada jalur hukum yang perlu ditempuh untuk memperjuangkan kerugian yang diderita konsumen ketika menggunakan jasa Transjakarta.
V. DAFTAR PUSTAKA BUKU
H. Abbas Salim, 1993, Manajemen Transportasi, Jakarta, PT. RajaGrafindo
M Samsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta, PT Rajawali Pers
Soekanto Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press
Zainal Asikin, Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo
11
WEBSITE
“Kepadatan penduduk”,
http://bappedajakarta.go.id/?page_id =1131, diakses pada hari minggu 6 juni 2016 pukul 09.51.
“Sejarah Busway”,
http://id.wikipedia.org/wiki/Transjak arta, diakses pada hari Minggu, 6 Juni 2016 pukul 09.58