• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stabilized Rice Bran and Its Application in Analog Rice Formulation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Stabilized Rice Bran and Its Application in Analog Rice Formulation"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

STABILISASI BEKATUL DAN PENERAPANNYA

PADA BERAS ANALOG

MAYA KURNIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras Analog adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Maya Kurniawati

(3)

RINGKASAN

MAYA KURNIAWATI. Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras Analog. Dibimbing oleh SLAMET BUDIJANTO dan NANCY D. YULIANA.

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sangat tinggi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah. Oleh sebab itu Pemerintah mengeluarkan kebijakan Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009 untuk percepatan diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal.

Pengembangan beras analog merupakan salah satu alternatif produk pangan untuk mendukung progam diversifikasi pangan. Teknologi yang digunakan dalam pembuatan beras analog adalah teknologi ekstrusi. Pencampuran dengan berbagai komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini dan lebih mudah untuk persiapan, penggunaan, serta pengembangan produk. Pada proses pembuatan beras analog ini bahan baku lokal yang digunakan adalah tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul.

Latar belakang penggunaan tepung jagung, sagu, dan kedelai adalah karena makanan ini sudah cukup akrab di masyarakat Indonesia sehingga beras analog diharapkan dapat dengan mudah diterima di masyarakat. Selain itu, tepung jagung digunakan karena memiliki serat lebih tinggi dari tepung terigu. Tepung kedelai merupakan sumber protein. Penambahan protein dapat meningkatkan nilai gizi dan memperbaiki tekstur beras analog. Bahan lain penyusun beras analog adalah sagu. Sagu merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia Timur.

Bahan lain yang digunakan dalam beras analog adalah bekatul. Bekatul memiliki serat tinggi dan aktivitas antioksidan. Bekatul mengandung tokoferol (vitamin E), tokotrienol, dan ϒ-oryzanol yang memiliki kapasitas antioksidan. Bekatul juga memiliki indeks glikemik rendah. Bekatul adalah produk samping dari penggilingan gabah untuk menghasilkan beras sosoh. Bekatul harus segera distabilkan setelah diproduksi untuk melindunginya dari aktivitas lipase yang dapat mengurangi kualitas bekatul karena dapat membentuk off flavor. Beberapa metoda telah lebih dahulu diteliti untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul. Namun, umumnya metoda tersebut sulit untuk dioperasikan dan membutuhkan lebih banyak energi sehingga kurang cocok untuk penggilingan padi skala kecil sehingga dalam penelitian ini dikembangkanlah alat stabilisasi bekatul yang lebih sederhana yaitu single screw conveyor.

Tahap awal penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek perlakuan stabilisasi dengan menggunakan single screw conveyor kemudian dilihat

pengaruhnya terhadap kandungan asam lemak bebas dan komponen bioaktif (α

(4)

Penelitian ini menunjukkan bahwa stabilisasi bekatul dengan menggunakan single screw conveyor mampu secara signifikan mencegah peningkatan kadar ALB bekatul terstabilisasi dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan A120 adalah perlakuan terbaik untuk mencegah ketengikan (kadarALB <10%) dengan

penurunan α-tokoferol dan ϒ-oryzanol yang minimum. Hal tersebut berarti bahwa

single screw conveyor berpotensi untuk digunakan pada penggilingan padi skala kecil-menengah untuk menghasilkan bekatul terstabilisasi yang tahan terhadap ketengikan.

Bekatul terstabilisasi kemudian digunakan untuk formulasi beras analog dengan menggunakan program Mixture Design dalam Design Expertv 7.0 (DX7).

Mixture Design adalah program yang digunakan untuk mendapatkan formula optimal pada suatu produk. Penentuan formula didasarkan pada respon tingkat kecerahan dan aktivitas antioksidan beras analog. Formula yang diperoleh dari program Mixture Design adalah tepung jagung 32.17%, sagu 16.67%, tepung kedelai13.3%, bekatul 3.16%, dan GMS 1.33% (air 50% dari adonan kering). Beras analog dibandingkan dengan beras sosoh dan Beras Cerdas. Berdasarkan hasil karakterisasi beras analog didapatkan hasil kadar protein beras analog lebih tinggi dari beras biasa dan Beras Cerdas (11,4%) dan serat pangan dalam beras analog tergolong tinggi yaitu 13.3% (> 6%). Hasil analisis sensori menunjukkan beras analog dan Beras Cerdas memiliki skor netral-agak suka. Uji indeks glikemik pun dilakukan pada beras analog. Pelaksanaan uji indeks glikemik berdasarkan Ethical Approval No.LB 02.01/5.2/KE.209/2013 yang dikeluarkan oleh Komisi Etik Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Uji indeks glikemik dilakukan untuk mengetahui potensi beras analog sebagai pangan fungsional. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa indeks glikemik dari beras analog formula optimum adalah 54 ± 18.

(5)

SUMMARY

MAYA KURNIAWATI. Stabilized Rice Bran and Its Application in Analog Rice Formulation. Supervised by SLAMET BUDIJANTO and NANCY D. YULIANA.

Indonesian rice consumption is one of the largest one in the world. This condition has raised concern to from the government. They issued Presidential Decree No. 22 in 2009 aims accelerate food diversification progam based on local resources.

The development of analog rice can be one alternative to support food diversification program. Extrusion technology is used in manufacturing process of analog rice. This technology enables to formulate rice with various compositions and also makes product preparation and development easier. Corn flour, sago, soy flour, and rice bran are local resources used for analog rice.

Corn flour, soy flour, and sago were used because these raw materials have been very common for Indonesian society, therefore analog rice resulted in this study was expected to be easily accepted in Indonesia. Corn flour was used because it has higher dietary fiber than wheat. Soy flour was used as a source of protein. The presence of protein increases the nutritional value and improves the texture of the analog rice. Other raw material of analog rice is sago. Sago is one of the primary food in East Indonesia. Rice bran contains high dietary fiber and has good antioxidant activity. Rice bran contains tocopherol (vitamin E), tocotrienols and oryzanol that have antioxidant capacity. Rice bran also has low glycemic index. Rice bran is a by-product of rice mill. It is a thin layer covering the rice seeds after husk removal. Rice bran must be stabilized immediately upon production to protect it from lipase activity, which can reduce quality of the rice bran by stimulating off flavor formation. Many methods have been developed to deactivate the lipase in rice bran. However, those methods are difficult to operate and they require a lot of energy so that less suitable for small rice milling unit. Therefore in this study, we developed another stabilization method by using single screw conveyor.

The initial study was undertaken to determine the effects of stabilization treatment by using a single screw conveyor to the content of free fatty acids and bioactive

(6)

The stabilized rice bran obtained from the most optimum condition was used in analog rice formulation using Mixture Design in Design Expert program (DX7). Mixture Design in the Design Expert v 7.0 (DX7) is a program used to obtain the most optimum formula for the studied product. In this study determination of the best formula was based on the lightness and antioxidant activity of analog rice as two responses. The most optimum formula obtained from DX7 progam consisted of 32.17% corn flour, sago 16.67%, 13.3% soybean flour, 3.16% rice bran, and 1.33% GMS (with water content of 50% of the dry dough). The analog rice was characterized and compared with the milled rice and Beras Cerdas. This study obtained protein content of analog rice was higher than milled rice and Beras Cerdas (11.4%) while dietary fiber in analog rice was as high as 13.3% (>6%). Results of sensory analysis showed that both analog rice and Beras Cerdas had a score of neither like nor dislike-like slightly (Analog rice score was 4.97 and Beras Cerdas 4.90). Glycemic index test was then performed for the resulted analog rice. It was based on Ethical Approval No. LB 02.01/5.2/KE.209/2013 issued by the Ethics Commission of the Ministry of Health of Indonesia. Based on the data obtained, it showed that the glycemic index of the optimum analog rice was 54 ± 18.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang

Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)

STABILISASI BEKATUL DAN PENERAPANNYA

PADA BERAS ANALOG

MAYA KURNIAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras

Analog

Nama Mahasiswa : Maya Kurniawati

Nomor Pokok : F251110351

Program Studi : Ilmu Pangan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Slamet Budijanto, MAgr Dr. Nancy D. Yuliana, MSc

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 sampai Juni

2013 ini adalah bekatul dan beras analog dengan judul “Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras Analog”.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada Prof. Dr. Slamet Budijanto, MAgr dan Dr. Nancy D. Yuliana MSc selaku komisi pembimbing atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam memberikan masukan, arahan, bimbingan dan motivasi sejak penulis mengikuti pendidikan, pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya tesis ini. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan pada Bapak Drs.Alibata Harahap, Apt, MKes (Mantan Kepala Balai Besar POM di Palembang), Ibu Dra. Indriaty Tubagus, Apt, MKes (Kepala Balai Besar POM di Palembang sekarang), Ibu Dra. Arofah Nur Fahmi, Apt, MM, dan Bapak Yudi Noviandi, SFarm, Apt, MTech atas kesempatan, arahan, dan motivasi pada penulis dari awal pengajuan beasiswa studi hingga terselesainya studi ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, dan suami atas segala pengertian, kesabaran, dukungan dan doanya selama penulis memulai studi sampai dengan selesainya studi. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan

Bogor, Juli 2013

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

2 STABILISASI BEKATUL

Pendahuluan 3

Bahan dan Metode 4

Hasil dan Pembahasan 9

Simpulan 14

3 FORMULASI BERAS ANALOG

Pendahuluan 15

Bahan dan Metode 17

Hasil dan Pembahasan 26

Simpulan 39

4 PEMBAHASAN UMUM 39

5 SIMPULAN DAN SARAN 42

DAFTAR PUSTAKA 43

(14)

DAFTAR TABEL

2.1 Hasil analisis kadar asam lemak tokoferol, dan oryzanol bekatul 15

3.1 Karakterisasi bahan baku beras analog 26

3.2 Formula beras analog untuk pemilihan konsentrasi bekatul terbaik 29

3.3 Interval dari variabel penyusun beras analog 29

3.4 Rancangan formula beras analog hasil progam DX7 beserta respon kecerahan dan kadar antioksidan

30

3.5 Kapasitas antioksidan bahan baku beras analog 31

3.6 Formula optimum hasil olahan progam DX7 32

3.7 Hasil validasi beras analog terhadap respon 32

3.8 Karakteristik fisik dan kimia pada beras analog 34

3.9 Hasil analisis sensori beras analog dan beras cerdas 36

DAFTAR GAMBAR

2.1 Diagram penelitian stabilisasi bekatul 6

2.2 Alat single screw conveyor untuk stabilisasi bekatul 9

2.3 Reaksi hidrolisis trigliserida oleh lipase 10

2.4 Kenaikan kadar ALB bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimapanan

11

2.5 Kandungan tokoferol bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimapanan

12

2.6 Hasil kromatogram analisis γ-oryzanol pada bekatul segar 13

2.7 Kandungan γ-oryzanol bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C

selama 2 minggu penyimpanan

14

3.1 Proses pembuatan tepung kedelai 18

3.2 Proses pembuatan beras analog 19

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil perhitungan analisis γ-oryzanol 49

2 Hasil perhitungan analisis tokoferol 51

3 Hasil analisis bilangan asam 53

4 Hasil uji statistik analisis bilangan asam 54

5 Hasil uji statistik analisis oryzanol 55

6 Hasil uji statistik analisis tokoferol 56

7 Analisis aktivitas antioksidan 57

8 Hasil validasi aktivitas antioksidan formula optimum 59

9 Hasil uji t-test aroma pada beras analog 60

10 Hasil uji t-test kecerahan pada beras analog 61

11 Hasil uji t-test tekstur pada beras analog 62

12 Hasil uji t-test beras analog secara overall 63

13 Hasil uji t-test aroma pada nasi beras analog 64

14 Hasil uji t-test tekstur pada nasi beras analog 65

15 Hasil uji t-test rasa pada nasi beras analog 66

16 Hasil uji t-test kecerahan pada nasi beras analog 67

17 Hasil uji t-test pada nasi beras analog secara overall 68

18 Data indeks glikemik 69

(16)

1

PENDAHULUAN UMUM

1.1Latar Belakang

Pangan pokok merupakan pangan yang sebagian besar dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk dalam suatu wilayah.Masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras sebagai makanan pokoknya sehingga mereka masih beranggapan jika belum makan nasi maka mereka sebenarnya belum makan.

Ketergantungan tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Target progam Kementrian Pertanian pada tahun 2012 adalah menurunnya konsumsi beras 1.5 % per tahun dengan digantikan oleh sumber karbohidrat lokal Indonesia.

Pengembangan potensi sumber karbohidrat lokal sebagai pangan pokok alternatif telah banyak dilakukan. Namun sumber karbohidrat lokal untuk subsitusi beras sebagai salah satu pangan pokok belum banyak berkembang di masyarakat. Hal tersebut mungkin terjadi karena pola konsumsi masyarakat yang telah sangat dekat dengan nasi sebagai salah satu produk olahan beras sehingga proses pengembangan subsitusi beras dalam bentuk lain masih dirasa kurang tepat. Oleh sebab itu muncul adanya pemanfaatan sumber karbohidrat lokal non-beras dalam bentuk non-beras analog sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan.

Beras analog adalah produk olahan yang dibuat dari bahan non-beras serta memiliki zat gizi dan bentuk mendekati beras (Mishra et al. 2012).Pembuatan beras analog dengan metode ekstrusi menghasilkan bentuk hampir menyerupai beras aslinya (Koide et al. 1999; Steiger 2011; Budijanto 2011).Prinsip proses ekstrusi pada industri pangan umumnya berdasarkan pada gelatinisasi pati, pembentukan kompleks lemak-pati, denaturasi dan teksturisasi protein, pengaruh tekanan/penggilingan dan pengembangan (Hurber 2000). Pencampuran dengan berbagai macam komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini selain kemudahan dalam preparasi, penggunaan, dan pengembangan produksi (Kato 2006).

Beras analog dapat dibuat dengan mengkombinasikan beberapa tepung-tepungan non beras (Budijanto dan Yulianti 2012).Kombinasi tersebut dilakukan untuk mendapatkan tekstur dan komposisi nutrisi yang diinginkan (Steiger 2011).Bahan yang digunakan pada beras analog adalah tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul.

Penggunaan tepung jagung dan sagu karena bahan pangan tersebut telah cukup familiar dalam masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan pokok sehingga diharapkan beras analog dapat dengan mudah diterima dalam masyarakat.Kelebihan tepung jagungkarena mengandungserat pangan dan beta-karoten (pro vitamin A) (Suarni dan Firmansyah 2005).

(17)

Bekatul juga ditambahkan sebagai ingridien pada beras analog.Bekatul merupakan sumber serat yang telah dikembangkan sebagai ingredien fungsional (Qureshi et al.2002). Selain serat, bekatul memiliki banyak komponen bioaktif.Komponen tersebut diantaranya tokoferol (vitamin E) tokotrienol, dan ϒ -oryzanol (Damayanthiet al. 2010; Schramm et al. 2007; Qureshi et al. 2002).Keberadaan komponen bioaktif tersebut menyebabkan bekatul memiliki aktivitas antioksidan.Selain itu, bekatul juga dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Most et al. 2005; Qureshi et al. 2002; Gerhardt dan Galo 1998). Adanya serat pangan dapat membentuk matriks di sekeliling granula pati serta mengikat air dalam produk sehingga daya cerna pati menurun pula (Fennema 1995).

Pemanfaatanbekatul untuk konsumsi manusiamasih terbatas hingga saat ini. Sebagian besar hanya digunakan untuk makanan ternak. Bekatul relatif tidak stabil selama penyimpanan.Minyak bekatul mengandung sejumlah besar mono-, di-, dan trigliserida, asam lemak bebas, glikolipid, dan fosfolipid (McCaskill dan Zhang 1999).Oleh karena itu, bekatul harus distabilkan segera setelah penggilingan untuk melindunginya dari aktivitas lipase. Aktivitas lipase dapat mengurangi kualitas bekatul dengan merangsang pembentukan off flavor dan odor(Tao et al.

1993 dan Lakkakula et al. 2004) sehingga dapat mempengaruhi sifat sensori bekatul.

Beberapa metode pemanasan untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul telah dilaporkan.Stabilisasi bekatul dengan pemanasan microwave (Tao et al.1993), ohmic heating (Lakkakula et al.2004), otoklaf (Damayanthi et al. 2010),

twin screw extruder (Budijanto 2011).Namun metode stabilisasi tersebut kurang cocok untuk diterapkan di penggilingan padi skala kecil-menengah karena energi dan biaya operasional yang dibutuhkan lebih banyak.Oleh sebab itulah dikembangkan alat penstabilisasi bekatul yang berupa single screw conveyor.Adanya stabilisasi bekatul diharapkan dapat meningkatkan umur simpan lebih lama sehingga dapat digunakan sebagai salah satu ingridien beras analog.Pada penelitian ini juga dicari kondisi terbaik stabilisasi bekatul

berdasarkan parameter asam lemak bebas, α-tokoferol, dan γ-oryzanol.

1.2Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengembangkan metode stabilisasi bekatul menggunakan metode single screw conveyor.

2. Mendapatkan formulasi optimum menggunakan progam DX7dari beras analog berbahan dasar jagung dengan penambahan bekatul dan tepung kedelai.

3. Mengkarakterisasi beras analog yang dihasilkan meliputi sifat fisik, komposisi kimiawi, sifat fungsional, dan penerimaan sensori.

(18)

1.3Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah dapat menghasilkan bekatul yang stabil terhadap ketengikan dan menghasilkan beras analog berbahan dasar tepung jagung yang memiliki potensi sebagai makanan yang berguna bagi kesehatan.

2 STABILISASI BEKATUL

2.1 Pendahuluan

2.1.1 Latar Belakang

Bekatul merupakan produk samping dari penggilingan beras yang merupakan lapisan tipis pada padi setelah dilakukan penghilangan sekam sebelumnya (Tao et al. 1993; Prakash 1996) dengan rendemen sekitar 8% dari beras giling (Sereewatthanawut et al. 2008). Jumlah produksi bekatul sekitar 50-60 juta ton per tahun di dunia (Devi dan Arumughan 2007), yang sebagian besar digunakan sebagai bahan pakan ternak, pupuk, dan bahan bakar (Pan et al. 2005 dan Zullaikah et al. 2005).

Bekatul merupakan sumber protein, serat, dan karbohidrat yang baik (Qureshi et al. 2002). Bekatul juga mengandung tokoferol dan tokotrienol (Xu dan Godber 2000; Schramm et al. 2007). Selain karena kandungan serat, banyak penelitian telah melaporkan potensi bekatul sebagai ingridien fungsional karena kandungan tokoferol dan oryzanol (Huang 2003; Iqbal et al. 2005). Oryzanol merupakan antioksidan yang hanya ditemukan dalam bekatul dan dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan lebih kuat dari tokoferol (Devi dan Arumughan 2007).γ-Oryzanol merupakan golongan fitosterol yang merupakan senyawa ester asam ferulat. Senyawa ini telah dilaporkan untuk mengurangi kolesterol pada manusia (Gerhardt dan Gallo 1998) dan mengurangi risiko penyakit jantung koroner (Cicero dan Gerosa 2005)

Minyak bekatul mengandung sejumlah besar mono-, di-, dan trigliserida, asam lemak bebas (ALB), glikolipid, dan fosfolipid (McCaskill dan Zhang 1999).Oleh karena itu, bekatul harus distabilkan segera setelah penggilingan untuk melindunginya dari aktivitas lipase.Aktivitas lipase dapat mengurangi kualitas bekatul dengan merangsang pembentukan off flavor (Tao et al. 1993; Lakkakula et al. 2004).

Beberapa metode pemanasan untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul telah dilaporkan. Randall et al. (1985) melaporkan bahwa perlakuan panas adalah metode praktis dan murah untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul segar segera setelah penggilingan. Suhu pemanasan di bawah 100 °C tidak cukup untuk menstabilisasi bekatul sementara perlakuan panas di atas 140 °C tidak dianjurkan karena akan merusak kualitas bekatul (Fernando dan Hewavitharana 1990).

(19)

dengan microwave menunjukkan bahwa kandungan ALB sedikit meningkat selama 4 minggu penyimpanan pada 25 °C (Tao et al. 1993). Penggunaan ekstruder untuk menstabilkan bekatul juga telah dilaporkan.Randall et al. (1985) menggunakan suhu 125-135 °C selama 1-3 detik dengan ekstruder ulir tunggal. Penelitian Budijanto (2011), twin screw extruder digunakan untuk stabilisasi bekatul pada kondisi optimum T1 (suhu input) = 130 °C, T2 (suhu tengah) = 160 °C, T3 (suhu output) = 230 °C dan speedscrew dan feedscrew 12 Hz. Metode ini telah berhasil menghambat kerja lipase pada bekatul dengan hasil peningkatan kandungan ALB hanya 1.48% setelah 15 hari penyimpanan. Namun, banyak energi yang dibutuhkan dalam operasi twin screw extruder, sehingga metode ini kurang cocok untuk unit penggilingan padi skala kecil.Penelitian ini mengembangkan metode stabilisasi bekatul dengan menggunakan single screw conveyor. Prinsip instrumen ini mirip dengan twin screw extruder yang menggunakan perputaran ulir untuk mendorong bekatul tetapi tidak membutuhkan tekanan uap seperti pada twin screw extruder, ukurannya relatif kecil dan kompak, serta sangat mudah untuk mengoperasikannya sehingga dapat dengan mudah dipergunakan pada penggilingan padi skala kecil-menengah.Variabel yang dikendalikan oleh alat ini untuk menstabilkan bekatul adalah suhu dan kecepatan ulir.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek stabilisasi dengan menggunakan single screw conveyor terhadap kandungan ALB, nutrisi dan

komponen bioaktif (α-tokoferol dan γ-oryzanol) bekatul.Sebagai hasil akhir,

diharapkan dapat memperoleh kondisi stabilisasi bekatul terbaik yang dapat menghambat ketengikan pada bekatul sehingga dapat dipergunakan sebagai ingridien pangan.

2.1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. mencari kondisi stabilisasi bekatul yang terbaik (suhu dan kecepatan single screw conveyor). Parameter yang digunakan adalah kenaikan ALB selama penyimpanan 2 minggu.

2. mengkarakterisasi bekatul yang terstabilisasi berupa kandungan tokoferol dan

ϒ-oryzanol.

2.1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mengetahui kondisi terbaik single screw conveyor untuk dapat menghasilkan bekatul yang stabil terhadap ketengikan.

2.2 Bahan dan Metode

2.2.1 Tempat dan Waktu

(20)

2.2.2 Bahan

Bahan untuk pembuatan bekatul adalah padi Ciherang dari Sumedang, Jawa Barat. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain heksana dan isopropanol PA (Merck, Germany), methanol, asetonitril, dan diklorometan standar HPLC (Merck, Germany), standar α-tokoferol (Sigma, Japan) dan oryzanol campuran (Wako Chemical Industries Co. Ltd, Japan), asam askorbat (JT. Baker, USA), serta bahan-bahan untuk analisis kimia lainnya.

2.2.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin giling padi (Satake, Japan),mesin sosoh beras (Satake, Japan),penyaring 100 mesh, dan single screw conveyor (F-Technopark, IPB). Peralatan analisis meliputi penangas air, oven, neraca analitik, hot plate, vorteks, spektrometer UV-Vis (Shimadzu, Japan), HPLC (Agilent, USA), inkubator, dan kromameter (Minolta, USA)

2.2.4 Penentuan Kondisi Terbaik Stabilisasi Bekatul

Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu berupa: (1) tahap pembuatan bekatul, (2) tahap penentuan kondisi terbaik stabilisasi bekatul dengan alat stabilisasi, dan (3) karakterisasi komponen tokoferol dan oryzanol dari bekatul terstabilisasi.

Pembuatan bekatul diawali dengan penggilingan gabah terlebih dahulu yang akan menghasilkan beras giling dan sekam. Beras giling kemudian disosoh untuk mendapatkan bekatul dan beras sosoh yang telah berwarna putih.

Bekatul yang didapatkan dari pengolahan gabah kemudian segera distabilisasi dengan single screw conveyor.Perlakuan stabilisasi yang digunakan adalah A100 (15Hz, 100°C), A120 (15Hz, 120°C), A140 (15Hz, 140°C), B100 (25Hz, 100°C), B120 (15Hz, 120°C) dan B140 (25Hz, 140°C).Hasil stabilisasi diayak dengan ukuran 100 mesh.

Bekatul yang telah terstabilisasi dan bekatul segar kemudian dianalisis kandungan ϒ-oryzanol dan tokoferolnya dengan metode HPLC untuk mengetahui tingkat pengaruh proses stabilisasi terhadap kandungan dua komponen tersebut. Bekatul dikemas dengan plastik dan disimpan dalam dalam inkubator 37o C selama 2 minggu.

(21)

.

Gambar 2.1 Diagram penelitian stabilisasi bekatul

2.2.5 Analisis Laboratorium

Ekstraksi Minyak Bekatul

Bekatul diekstrak menggunakan heksana untuk mendapatkan minyak bekatul yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Bekatul direndam dalam pelarut heksana dengan perbandingan bekatul:heksana sebesar 1:3 selama 24 jam sambil digoyang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan. Minyak bekatul yang masih bercampur heksana selanjutnya diuapkan menggunakan rotavapor vakum

Gabah

Analisis oryzanol dan tokoferol

Bekatul terstabilisasi

Sekam

Analisis oryzanol dan tokoferol

Penyimpanan selama 2 minggu pada suhu 37°C

Beras sosoh Penggilingan

Beras pecah

Bekatul

Penstabilisasian (suhu dan kecepatan ulir) suhu 100, 120, dan 140°C kecepatan ulir 15 dan 25 Hz

Penyosohan selama 2 menit

Analisis bilangan asam pada minggu ke-0, 1, dan 2

Bekatul terstabilisasi terpilih 3x

(22)

dengan suhu penguapan berkisar antara 54-60°C (Damayanthiet al. 2010). Minyak ini akan dianalisis kandungan ALB dan α-tokoferol

Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas (AOAC 940.28)

Minyak bekatul sebanyak1 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 50 ml etanol 95% netral, dipanaskan hingga mendidih (± 10 menit) dalam penangas air sambil diaduk. Larutan ini kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N, menggunakan indikator fenolftalein sampai terbentuk warna merah muda yang persisten selama 30 detik.Analisis dilakukan dua ulangan.

ALB ሺ ሻ NaOH x N NaOH x 2 210x contoh (mg x 100

Keterangan :

V NaOH : volume titran (ml) NNaOH : normalitas NaOH

M : berat molekul oleat (sesuai jenis lemak dominan sampel)

W : berat contoh minyak (g)

Analisis α-Tokoferol (AOAC 971.30)

Persiapan sampel

Sebanyak 1 g minyak bekatul ditimbang ke dalam tabung reaksi 50 ml kemudian ditambah 0.3 g asam askorbat dan 4 ml etanol. Selanjutnya ditambahkan 1 ml KOH 70%.Gas N2 dihembuskan untuk menghindari oksidasi

udara. Larutan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80°C selama 15 menit dan didinginkan cepat dengan air mengalir. Larutan diletakkan dalam labu pemisah dan ditambahkan air 20 ml. Larutan diekstrak dengan penambahan heksana a 25 ml sebanyak 3 kali.Penambahan NaCl jenuh dilakukan jika terbentuk emulsi.Ekstrak heksana disatukan dan dicuci dengan akuadem hingga netral (gunakan indikator PP).Ekstrak dilewatkan dalam natrium sulfat anhidrous untuk mengikat air yang tersisa. Ekstrak heksana kemudian diuapkan dengan gas N2. Sampel dilarutkan kembali dengan fase gerak dalam labu takar 5 ml dan

ditepatkan volumenya hingga tera. Sampel disaring dengan kertas Whatman 0.45µm dan dihilangkan gelembung udaranya.Injeksi sebanyak 20µ dilakukan untuk pengujian dengan HPLC. Analit akan terukur pada panjang gelombang 280 nm. Analisis dilakukan dua ulangan.

Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)

Detektor : UV Vis

Fase Gerak : Metanol : Isopropanol (98 : 2) Laju Alir : 1.0 ml/menit

Persiapan baku

(23)

Konsentrasi ሺppmሻ Asp x Cst x sp sp

Keterangan :

Asp : Area contoh Cst : konsentrasi standar

Vsp : Volume pelarutan sampel (ml) Wsp : bobot contoh (g)

Analisisϒ-oryzanol (Xu dan Godber 2000)

Persiapan sampel larutan disentrifugasi 3000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit.Lapisan organik dikumpulkan dalam tabung reaksi. Residu yang tersisa dicampurkan dengan 5 ml pelarut isopropanol:heksana dan disentifugasi lagi. Lapisan organik yang didapat dikumpulkan bersama dengan lapisan organik yang didapat sebelumnya.

Air akuades 5 ml ditambahkan dalam tabung reaksi untuk mencuci lapisan organik.Tabung reaksi didiamkan selama 10 menit lalu diambil larutan organiknya. Proses pencucian diulangi hingga dua kali. Setelah itu, lapisan organik dihembuskan gas N2 untuk menguapkan pelarut organik.

Minyak bekatul hasil ekstraksi dilarutkan dengan fase gerak.Setelah itu larutan sampel disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 µm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu sebelum diinjeksikan ke dalam kolom HPLC.Sebanyak 20µl larutan sampel disuntikkan dalam kolom HPLC. Analit akan terbaca pada panjang gelombang 330 nm. Analisis dilakukan dua kali ulangan.

Persiapan Baku

Kuantifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan baku standar γ-oryzanol. Larutan baku standar γ-oryzanol dibuat dengan menimbang 25.0 mg baku γ -oryzanol dalam labu 50.0 ml. Deret standar dibuat 5 seri yaitu 0 ppm-250 ppm yang dilarutkan dengan fase gerak. Setelah itu larutan standar baku disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 mm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah:

Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)

Detektor : UV Vis

Fase Gerak : metanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat (50:44:3:3by vol)

Laju Alir : 1.0 ml/menit

Identifikasi komponen oryzanol dilihat berdasarkan waktu retensi (RT) yang dibandingkan dengan standar.

(24)

2.3.1 Stabilisasi Bekatul

Bekatul setelah disosoh akanmudah mengalami kerusakan hidrolisis. Kerusakan hidrolisis terjadi karena adanya kontak antara enzim lipase dan minyak bekatul.Laju hidrolisis enzim lipase dipengaruhi oleh konsentrasienzim, suhu reaksi, kadar air, konsentrasi substrat dan pH. (Lakkakula et al. 2004).

Menurut Randall et al. (1985), kemungkinan besar enzim lipase terdapat pada testa dan lapisan selubung biji sedangkan lemaknya tersimpan pada selaput aleuron dan lembaga. Enzim lipase aktivitasnya akan meningkat apabila terjadi perusakan pada lapisan biji dan aleuron saat proses penyosohan. Lipase mampu menghidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas (ALB) dan gliserol.Selanjutnya asam-asam lemak dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk-bentuk peroksida, keton, dan aldehid (Tao et al. 1993).Aktivasi enzim lipase dapat menyebabkan kerusakan pada bekatul karena terjadi kenaikan ALB (Lakkakula et al. 2004). Oleh sebab itu diperlukan proses stabilisasi bekatul untuk mecegah reaksi hidrolisis terus berlanjut.

Stabilisasi pada penelitian kali ini menggunakan alat stabilisasi berupa single screw conveyor buatan F-Technopark, IPB (Gambar 2.2).Alat ini memiliki prinsip kerja seperti single screw extruder. Bekatul akan dimasukkan lewat hopper lalu bekatul akan dilewatkan dalam ulir yang dilengkapi pemanas di selongsong ulirnya. Ulir akan mendorong bekatul dengan kecepatan tertentu sehingga bekatul dapat dipanaskan secara merata.

Gambar 2.2 Alat single screw conveyor untuk stabilisasi bekatul

(25)

padi Pandan Wangi dan IR-64.Gabah digiling terlebih dahulu sehingga diperoleh beras pecah kulit.Beras pecah kulit disosoh selama 2 menit dan didapatkan bekatul.Bekatul diayak (ukuran 100 mesh) agar ukurannya lebih seragam.

Perlakuan yang diterapkan dalam proses stabilisasi ini adalah perlakuan suhu dan kecepatan ulir. Suhu yang digunakan adalah suhu 100, 120, dan 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz dan 25 Hz. Menurut Tao et al. (1993) suhu dibawah 100°C kurang untuk menginaktivasi lipase dan suhu diatas 140°C dapat menyebabkan terjadinya case hardening dan warna coklat tua pada bagian permukaan bekatul. Kecepatan ulir minimal yang dipilih adalah 15 Hz yang merupakan batas minimal kecepatan ulir dari daya kerja alat.

Kombinasi perlakuan yang didapatkan yaitu : (1) suhu 100°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A100), (2) suhu 120°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A120), (3) suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A140), (4) suhu 100°C dan kecepatan ulir 25 Hz (B100), (5) suhu 120°C dan kecepatan ulir 25 Hz (B120), (6) suhu 140°C dan kecepatan ulir 25 Hz, dan terakhir kontrol (bekatul segar). Parameter yang digunakan adalah ALB sebagai indikator kestabilan bekatul dan analisis ϒ -oryzanol dan tokoferol sebagai indikasi perubahan komponen bioaktif akibat proses stabilisasi.

2.3.2Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan Asam Lemak Bebas

Analisis ALB telah banyak dilakukan sebagai indikator kestabilan bekatul (Randall et al.1985; Tao et al. 1993; Lakkakula et al. 2004; Budijanto et al.

2010). Asam lemak bebas merupakan hasil reaksi hidrolisis trigliserida yang dikatalis oleh enzim lipase.Reksi hidrolisis trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.3.

H2C-COO-R H2C-OH

HC-COO-R + 3H2O HC-OH + 3RCOOH

lipase

H2C-COO-R H2C-OH

(Trigliserida) (Gliserol) (ALB)

Gambar 2.3 Reaksi hidrolisis trigliserida oleh lipase (Fennema 1995)

Analisis ALB pada bekatul segar dan terstabilisasi dilakukan pada hari ke-0 dan setelah penyimpanan selama 2 minggu dalam inkubator 37°C. Suhu tersebut dipilih karena merupakan suhu optimum dari lipase bekatul (Kao dan Luh 1991).Hasil kenaikan ALB pada bekatul selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(26)

penyimpanan. Namun bekatul yang terstabilisasi hanya mengalami peningkatan ALB antara 3.09%-6.75%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pemanasan dengan single screw conveyor dapat memperlambat kerusakan bekatul terstabilisasi secara nyata.

Peningkatan ALB terendah yaitu terjadi pada perlakuan suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A140).Pada perlakuan tersebut, bekatul mengalami pemanasan lebih tinggi dan lebih lama dibandingkan perlakuan lainnya. Namun berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan stabilisasi pada suhu 120°C dan 140°C tidak berbeda nyata sehingga pada suhu 120°C pun sudah cukup untuk menginaktivasi enzim lipase dan memperlambat kerusakan bekatul.

Hasil pengujian ALB dapat dilihat pada Tabel 2.1. Penyimpanan pada minggu kedua didapatkan bahwa pada bekatul yang diberi perlakuan suhu 120°C dan 140°C (A120, A140, B120, dan B140) memiliki kadar ALB dibawah 10% yaitu berturut-turut 7.87%, 8.30%, 8.58%, dan 7.56%. Namun perlakuan dengan suhu 100°C (A100 dan B100) memiliki kadarALB >10% yaitu 12.11% dan 10.22%

Gambar 2.4 Kenaikan kadarALB pada bekatulyang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C.

Menurut Tao et al. (1993) kadarALB bekatul lebih dari 10% sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena sudah tengik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 100°C belum mampu untuk mendenaturasi enzim lipase sehingga masih terjadi peningkatan ALB lebih dari 10% setelah 2 minggu penyimpanan. Hasil analisis tersebut sesuai dengan pernyataan Tao et al. (1993) bahwa proses pemanasan pada bekatul di atas suhu 100°C dibutuhkanuntuk mendenaturasi enzim lipase sehingga bekatul menjadi lebih tahan terhadap ketengikan karena reaksi hidrolisis.

2.3.3 Pengaruh Stabilitasi Bekatul terhadap Kandungan α-tokoferol 39.91a

segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kenaikan

ALB (%)

(27)

Analisis kandungan tokoferol dilakukan pada minyak hasil ekstraksi bekatul. Hasil analisis masing-masing perlakuan dan bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Kandungan tokoferol pada bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C.

Kandungan tokoferol yang didapatkan yaitu antara 217.92-236.86 µg/g minyak. Kandungan tokoferol tersebut sesuai dengan penelitian Schramm et al.

(2007) pada bekatul varietas Cypress and Cheniere yaitu antara 170.26-218.21 µg/g minyak bekatul serta penelitian Anwar et al. (2005) pada bekatul dari beras Pakistan yaitu antara 175.12-304.2 µg/g.

Nilai tertinggi kandungan tokoferol diperoleh dari perlakuan B100 (kecepatan ulir 25Hz dan suhu 100°C) sebanyak 236.86 ug/g±1.91 sedangkan yang terendah adalah perlakuan B140 (kecepatan ulir 25Hz dan suhu 140°C) yaitu 227.48±19.23 ug/g.Uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan signifikan antar perlakuan.Perbedaan kandungan tokoferol yang signifikan terlihat pada perlakuan B100 (kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 100°C). Kandungan tokoferol pada perlakuan A100, A120, A140, B120, dan B140 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan B100 merupakan perlakuan yang bisa mempertahankan kestabilan tokoferol lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.

2.3.4 Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan γ- Oryzanol

Berdasarkan analisis γ-oryzanol dengan HPLC menggunakan metode Xu dan Godber (2000) pada kromatogram terdapat 4 peak yang terpisahkan pada RT 17-25 menit (Gambar 4). Namun setiap peak tidak dapat teridentifikasi karena

segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kandungan

α-tokoferol (ug/g)

(28)

standar yang digunakan adalah γ-oryzanol campuran yang tidak spesifik terhadap komponen oryzanol tertentu sehingga untuk mendapatkan total oryzanol dengan cara menjumlahkan area dari 4 peak tertinggi tersebut (Pascual et al. 2011; Chen dan Bergman 2005; Xu dan Godber 2000).Identifikasi tiap-tiap peak telah dilakukan oleh Cho et al. (2012) yang mengidentifikasi γ-oryzanol berupa cycloartenyl ferulat (peak 1), 24-methylenecycloartanyl ferulate (peak 2), campesteryl ferulate (peak 3), dan sitosteryl ferulate (peak 4). Gambar kromatogram bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Hasil kromatogram analisis γ-oryzanol pada ekstrak heksana bekatul segar dengan menggunakan kolom RP-18,fase gerak methanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat (50:44:3:3

by volume), serta laju alir fase gerak 1 ml/menit. Peak1 cycloartenyl ferulat, peak 2 24-methylenecycloartanyl ferulate, peak 3campesteryl ferulate, danpeak 4sitosteryl ferulate.

(29)

Gambar 2.7 Kandunganγ-oryzanol pada bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, dan B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C.

Secara umum kandungan oryzanol akan berkurang selama penyimpanan. Kandungan γ-oryzanol tertinggi pada bekatul segar yaitu 2408.03±5.01 ug/g sedangkan pada bekatul yang telah distabilisasi pada perlakuan kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C (A100) yaitu 2025.79±63.53 ug/g. Penurunan kadar ϒ -oryzanol sebanyak 15.87% dari bekatul segar. Kadar ϒ-oryzanol terendah didapatkan dari perlakuan kombinasi kecepatan ulir 15Hz dan suhu 140°C (A140) yaitu 1571.81±22.81 ug/g. Hal tersebut kemungkinan terjadi dengan kecepatan ulir yang 15Hz, bekatul lebih lama terpapar suhu tinggi (suhu 140°C) dibandingkan dengan kecepatan ulir 25 Hz.

Perlakuan panas yang tinggi akan menyebabkan pengurangan kandungan ϒ -oryzanol. Khuwijitjaru et al. (2009) menyatakan bahwa kadarϒ-oryzanol akan menurun apabila dilakukan pemanasan 120-200°C. Penurunan kadarϒ-oryzanol ini disebabkan terjadinya oksidasi pada suhu tinggi. Namun penurunan ϒ-oryzanol yang rendah bila dibandingkan antara bekatul segar dan bekatul yang terstabilisasi karena menurut Qureshi et al. (2000) dan Azrina et al. (2008) terjadi karena komponen larut lemak seperti ϒ-oryzanol dan tokoferol terikat pada jaringan tanaman.

2408.03a

2025.79b 1871.35c

1571.81d

1807.24c 1793.41c 1766.81c

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Kontrol A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kandungan

ϒ-oryzanol (ug/g)

(30)

Tabel 2.1 Hasil analisis kadar asam lemak, tokoferol, dan ϒ-oryzanol pada

Kontrol 44.53±0.71a 2408.03±56.59a 242.14±4.40a

A100 12.11±1.19b 2025.79 ±77.06b 227.99±4.77b

A120 7.87±0.31d 1871.35±189.06c 230.66±3.61b

A140 8.30±0.59d 1571.81±77.43d 227.80±15.38b

B100 10.22±0.24c 1807.24±65.72c 236.86±1.91ab

B120 8.58±0.87d 1793.41±104.80c 227.48±2.98b

B140 7.60±0.29d 1766.81±45.11c 228.13±41.21b

a

Angka-angka dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100 °C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120 °C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 140 °C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 100 °C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120 °C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 140 °C.

2.4 Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa stabilisasi dengan single screw conveyor dapat menghambat peningkatan ALB dari bekatul. Perlakuan terbaik adalah perlakuan A120 (kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C) karena perlakuan tersebut dapat menghasilkan peningkatan ALB<10% dengan penurunan tokoferol dan oryzanol minimum selama penyimpanan 2 minggu pada suhu 37°C.

3. FORMULASI BERAS ANALOG

3.1 Pendahuluan 3.1.1 Latar Belakang

Beras analog adalah produk olahan yang dibuat dari sebagian atau seluruhnya bahan non-beras yang memiliki bentuk seperti butiran beras padi (Mishra et al. 2012).Keanekaragaman sumber karbohidrat lokal di Indonesia memungkinkan berbagai macam kombinasi tepung yang digunakan untuk menghasilkan beras analog.

(31)

analog.Kelebihan penggunaan ekstruder dalam pembuatan beras analog adalah waktu pembuatan singkat, produktivitas tinggi, biaya murah (Riaz 2000), kualitas produk pun lebih terjaga karena merupakan proses terkontrol (Hurber 2000), serta pencampuran dengan berbagai macam komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini (Budijanto 2011).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan beras analog.Samad (2003) membuat beras analog berbentuk sagu mutiara dari campuran tepung sagu dan tepung ubi kayu.Kelemahannya adalah bentuk beras belum mendekati bentuk beras sebenarnya.Budijanto dan Yulianti (2012) mengembangkan beras analog berbahan dasar tepung jagung, sorgum, dan sagu dengan menggunakan bahan pengikat GMS 2%.

Pada penelitian ini, tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul digunakan sebagai bahan penyusunnya.Penggunaan tepung jagung dan sagu karena bahan pangan tersebut telah cukup familiar dalam masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan pokok sehingga diharapkan beras analog dapat dengan mudah diterima dalam masyarakat.Kelebihan tepung jagung sebagai bahan pangan adalah kandungan serat pangannya lebih tinggi dibandingkan dengan terigu.Tepung jagung mengandung serat pangan, unsur Fe, dan beta-karoten (pro vitamin A) (Suarni dan Firmansyah 2005).

Bahan penyusun beras analog lainnya adalah tepung kedelai.Koide et al. (1999) membuat fabricated rice dari tepung gandum, tepung beras, pati jagung, tepung kedelai, isolat protein kedelai, dan protein whey. Konsentrat protein whey dan isolate protein whey yang ditambahkan sebanyak 0.5-7%. Menurut Koide et al. (1999), beras analog yang dihasilkan mengandung protein sebesar 3.5% sedangkan pada beras aslinya mengandung 7% protein sehingga diperlukan penambahan protein untuk menghasilkan nilai protein sama atau lebih tinggi dari beras aslinya. Kelebihan tepung kedelai mengandung protein cukup tinggi (lebih dari 35%).Selain itu tepung kedelai mengandung antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan.Penambahan tepung kedelai selain menambahkan protein sebagai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur produk.Protein dapat membentuk matriks dengan karbohidrat sehingga dapat menurunkan daya cerna karbohidrat (Alsaffar 2011).Penurunan daya cerna karbohidrat dapat berpotensi menjadi bahan pangan dengan nilai IG yang rendah.

Bahan penyusun beras analog yang lain adalah bekatul. Bekatul memiliki potensi besar sebagai bahan pangan fungsional tetapihinggasaatini pemanfaatannya untukmanusia masih terbatas. Sebagian besar bekatul masih dimanfaatkan untuk makanan ternak padahal bekatul berpotensi sebagai ingridien fungsional pada bahan pangan.Bekatul merupakansumberserat,mengandung vitamin B dari golongan tiamin, riboflavin, niasin (asam nikotinat) dan piridoxin serta dalam bekatul juga ditemukan komponen bioaktif (Qureshi et al.

(32)

3.1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan formulasi optimum menggunakan progam Mixture Design

DX7dari beras analog berbahan jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul. 2. Mengkarakterisasi beras analog yang dihasilkan meliputi sifat fisik

(kecerahan dan derajat gelatinisasi), komposisi kimiawi (proksimat, serat pangan, amilosa, oryzanol, dan tokoferol), sifat fungsional (aktivitas antioksidan dan indeks glikemik), dan penerimaan sensori (kecerahan, rasa, aroma, dan tekstur).

3.2 Bahan dan Metode

3.2.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biokimia dan Kimia Ilmu dan Teknologi Pangan dan Gedung F-Technopark di Institut Pertanian Bogor.Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan dari bulan Desember 2012 sampai dengan Juni 2013.

3.2.2 Bahan

Bahan untuk pembuatan beras analog adalah jagung, sagu Riau, bekatul padi Ciherang, kedelai Cianjur, dan Gliseril Monostearat (GMS). Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain heksana, isopropanol PA (Merck, Germany), metanol, asetonitril, dan diklorometan HPLC grade (Merck, Germany), standar tokoferol (Sigma, Japan) dan oryzanol (Wako Chemical Industries Co. Ltd, Japan), asam askorbat (JT. Baker, USA), dan bahan untuk analisis kimia lainnya.

3.2.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah twin screw extruder, disc mill, mixer, tray oven, dansaringan 100 mesh Peralatan analisis meliputi penangas air, oven, neraca analitik, hot plate, vorteks, spektrometer UV-Vis (Shimadzu, Japan), HPLC (Agilent, USA), inkubator, dan kromameter (Minolta, USA).

3.2.4 Pembuatan Bahan Baku

(33)

.

Gambar 3.1 Proses pembuatan tepung kedelai

3.2.5 Formulasi Beras Analog

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan formula standar yang akan digunakan pada penelitian utama nanti. Bahan-bahan kering ditimbang sesuai dengan formula (tepung dan GMS) dan dicampur hingga homogen dengan

mixer selama 10 menit. Setelah itu dilakukan penambahan air sebanyak 50% dari total adonan (Budijantodan Yulianti 2012).Air ditambahkan sedikit demi sedikit hingga adonan tercampur rata. Adonan kemudian diekstrusi dengan menggunakantwin screw extruder. Hasil produk ekstrusi dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama 4 jam untuk mencapai kadar air 4-15 % (Budijanto dan Yulianti 2012). Diagram pembuatan beras analog dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Formulasi optimum didapatkan dengan menggunakan progam Mixture Design

(DX7).Faktor yang dipakai sebagai variabel adalah tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul.Respon yang dipakai adalah aktivitas antioksidan dan tingkat kecerahan.Hasil analisis respon dengan menggunakan progam Mixture Design

DX7dengan tiga variabel akan menghasilkan 16 formula beras analog.

Kedelai

Steaming150°C, 1 menit

Pengeringan suhu 70°C, 6 jam

Penggilingan

Pengayakan 60 mesh

(34)

Gambar 3.2 Proses pembuatan beras analog

Formula optimum yang telah didapatkan akan divalidasi sebanyak 5 kali ulangan berdasarkan rekomendasi progam Mixture DesignDX7 tersebut. Validasi dilakukan terhadap respon aktivitas antioksidan dan tingkat kecerahan.Analisis terhadap formula beras analog optimum dilakukan setelah diketahui hasil validasi memenuhi model dari progam. Analisis yang dilakukan antara lain uji proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), derajat gelatinisasi, amilosa, uji serat pangan, analisis tokoferol, analisis ϒ-oryzanol, total fenol, aktivitas antioksidan, indeks glikemik, sertaanalisissensori t-test terhadap beras analog dan

GMS Tepung jagung, tepung

kedelai, dan bekatul

Pencampuran 10 menit

Suhu

Feed (T1) : 95oC Compressing (T2) : 95oC Metering (T3) : 95oC Kecepatan Auger : 18 Hz Screw : 15Hz

Cutter : 50Hz Penimbangan sesuai

formulasi

Air Pencampuran bahan

kering 10 menit

Ekstrusi

Pengeringan dengan oven 60oC , 4 jam

Beras analog hasil formulasi Mixture Design

DX7

Analisis tingkat kecerahan dan aktivitas antioksidan

Analisis proksimat, amilosa, derajat gelatinisasi, serat pangan,

tokoferol, oryzanol, total fenol aktivitas antioksidan, indeks glikemik, dan analisis sensori Beras analog

(35)

nasi dari beras analog (kecerahan, tekstur, rasa, aroma, dan penampakan keseluruhan).

3. 2.6 Metode analisis

Analisis α-Tokoferol (AOAC 971.30)

Persiapan sampel

Beras analogbubukdiekstrak menggunakan heksanauntuk mendapatkan minyak beras analog yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Beras analog direndam dalam pelarut heksana dengan perbandingan beras:heksana sebesar 1:3 selama 24 jam sambil digoyang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan. Minyak yang masih bercampur heksana selanjutnya diuapkan menggunakan rotavapor vakum dengan suhu penguapan berkisar antara 54-60°C (Damayanthiet al. 2010).

Sebanyak 1 g minyak beras analog ditimbang ke dalam tabung reaksi 50 ml kemudian ditambah 0.3 g asam askorbat dan 4 ml etanol. Selanjutnya terbentuk emulsi.Ekstrak heksana disatukan dan dicuci dengan akuades hingga netral (gunakan indikator PP).Ekstrak dilewatkan dalam natrium sulfat anhidrous untuk mengikat air yang tersisa. Ekstrak heksana kemudian diuapkan dengan gas N2. Sampel dilarutkan kembali dengan fase gerak dalam labu takar 5 ml dan

ditepatkan volumenya hingga tera. Sampel disaring dengan kertas Whatman 0.45µm dan dihilangkan gelembung udaranya.Injeksi sebanyak 20µ dilakukan untuk pengujian dengan HPLC.Analisis dilakukan dua kali ulangan. Analit akan terukur pada panjang gelombang 280 nm.

Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)

Detektor : UV Vis

Fase Gerak : Metanol : Isopropanol (98 2) Laju Alir : 1.0 ml/menit

Persiapan baku

Larutan baku standar dibuat dengan menimbang 25 mg standar D-αtokoferol yang selalu dibuat segar. Standar baku di tempatkan pada labu takar 50 ml dan ditambahkan fase gerak hingga tera. Setelah itu dibuat deret standar baku hingga 50 ppm. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Konsentrasi tokoferol didapatkan dengan perhitungan sebagai berikut :

(36)

Analisis ϒ-oryzanol (Xu dan Godber 2000)

Persiapan sampel

Sebanyak 1 gram beras analog bubukdilarutkan dengan 5 ml akuades di dalam tabung reaksi 25 ml.Asam askorbat sebanyak 0.2 g kemudian ditambahkan dalam tabung.Larutan tersebut divorteks dan diinkubasi di penangas pada suhu 60°C selama 30 menit. Sebanyak 5 ml pelarut isopropanol:heksana (50:50) ditambahkan dalam tabung dan divorteks selama 30 detik. Setelah homogen, larutan disentrifugasi 3000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit.Lapisan organik dikumpulkan dalam tabung reaksi. Residu yang tersisa dicampurkan dengan 5 ml pelarut isopropanol:heksana dan disentifugasi lagi. Lapisan organik yang didapat dikumpulkan bersama dengan lapisan organik yang didapat sebelumnya.

Air akuades 5 ml ditambahkan dalam tabung reaksi untuk mencuci lapisan organik.Tabung reaksi didiamkan selama 10 menit lalu diambil larutan organiknya. Proses pencucian diulangi hingga dua kali. Setelah itu, lapisan organik dihembuskan gas N2 untuk menguapkan pelarut organik.

Minyak beras analog hasil ekstraksi dilarutkan dengan fase gerak.Setelah itu larutan sampel disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 µ m dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu sebelum diinjeksikan ke dalam kolom HPLC.Sebanyak 20µl larutan sampel disuntikkan dalam kolom HPLC. Analit akan terbaca pada panjang gelombang 330 nm.

Persiapan Baku

Kuantifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan baku standar γ-oryzanol. Larutan baku standar γ-oryzanol dibuat dengan menimbang 25.0 mg baku γ -oryzanol dalam labu 50.0 ml. Deret standar dibuat 5 seri yaitu 0 ppm-250 ppm yang dilarutkan dengan fase gerak. Setelah itu larutan standar baku disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 mm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah:

Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)

Detektor : UV Vis

Fase Gerak : metanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat (50:44:3:3by vol)

Laju Alir : 1.0 ml/menit

Kadar Amilosa (IRRI 1978)

Pembuatan Larutan

Larutan NaOH 1 N dibuat dengan melarutkan 40 g NaOH kristal dengan gelas piala 500 ml. Larutan tersebut dituang ke dalam labu takar 1000 ml dan di tepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Larutan asam asetat 1 N dibuat dengan melarutkan sebanyak 5ml asam asetat glasial dengan air akuades 80 ml dan diaduk hingga homogen.

(37)

ml dan ditambahkan akuades hingga tanda tera serta dikocok hingga tercampur menit dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Larutan iod ditambahkan sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian diukur intensitas warna yang terbentuk.Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

Penetapan Sampel

Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sampel ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel dipanaskan di atas waterbath suhu 95°C selama 10 menit dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 1 ml asetat 1 N dan 2 ml larutan iod ditambahkan.Larutan selanjutnya ditambah akuades sampai tanda tera, dikocok, dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.Kadar amilosa dihitung dengan rumus:

Kadar Amilosa ( ASx P

Keterangan:

A : absorbansi sampel pada panjang gelombang 625 nm S : slope kemiringan pada kurva standar

FP : faktor pengenceran W : berat sampel (g)

Derajat Gelatinisasi (Wooton et al. 1971)

(38)

Pengamatan dilakukan dengan urutan sebagai berikut: (1) larutan yang ditambahkan HCl digunakan sebagai standar (blanko) pati tergelatinisasi; (2) larutan bahan yang ditambahkan HCl dan larutan iodium digunakan sebagai larutan pati tergelatinisasi; (3) larutan bahan yang ditambah NaOH dan HCl sebagai larutan standar (blanko) total pati; (4) larutan bahan yang ditambah NaOH, HCl, dan larutan iodium sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus :

Derajat gelatinisasiሺ ሻ nilai absorbansi pati tergelatinisasinilai absorbansi total pati x 100

Uji Total Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC 985.29)

Persiapan sampel

Sampel kering digiling hingga berukuran 40-50 mesh. Sampel yang mengandung lemak lebih dari 10% harus dihilangkan lemaknya dengan cara dicampurkan dalam 25 ml petroleum eter/g sampel selama satu jam sebanyak tiga kali ulangan, selanjutnya diblender kering. Sampel kemudian dikeringkan selama 12 jam dengan oven biasa pada suhu 105 oC hingga kadar airsampel kurang dari 5%. Kehilangan bobot akibat penghilangan air dan/atau lemak dicatat dan dibuat faktor koreksi yang tepat untuk menghitung % TDF. Prosedur analisis dilakukan terhadap blanko untuk melihat kandungan endapan non serat yang berasal dari reagen atau enzim yang terdapat dalam residu dan dapat terhitung sebagai serat pangan.

Sampel kering ditimbang sebanyak 1 g dalam gelas piala 400 ml.Perbedaan bobot antar sampel diusahakan tidak lebih dari 20 mg.Sebanyak 50 ml buffer fosfat pH 6.0 ditambahkan hingga pH 6.0 ± 0.2.Sebanyak 0.1 ml larutan termamyl

ditambahkan. Gelas piala ditutup menggunakan kertas aluminiumdan diletakkan dalam air mendidih selama 15 menit. Larutan sampel digoyangkan secara perlahan tiap 5 menit.Waktu pemanasan dapat ditambahkan jika jumlah sampel yang ditempatkan di dalam waterbath belum mencapai suhu internal antara 95-100oC.Termometer digunakan untuk memastikan tercapainya suhu 95-100oC selama 15 menit.Prosedur ini dapat dilakukan selama 30 menit.Selanjutnya larutan tersebut didinginkan pada suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7.5 ± 0.2 dengan penambahan 10 ml NaOH 0.275 N.

Sebanyak 5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel dengan cara dilengketkan pada ujung spatula. Protease dapat pula digunakan dalam bentuk larutan (50 mg dalam 1 ml buffer fosfat) yang dipipet sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam sampel sesaat sebelum digunakan. Setelah itu sampel ditutup kembali dengan kertas alufo dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu.Sampel didinginkan dan ditambahkan 10 ml HCl 0.325 M. Nilai pH diukur hingga berkisar antara 4.0-4.6.

(39)

terbentuk endapan.Secara kuantitatif endapan disaring melalui

crucible.Sebelumnya, crucible yang mengandung celite ditimbang.

Residu dari hasil penyaringan dicuci dengan 3 x 20 ml etil alkohol 78%, 2 x 10 ml etil alkohol 95%, dan 2 x 10 ml aseton secara berturut-turut. Filtrasi dapat dibantu dengan pengadukan menggunakan spatula.Waktu yang dibutuhkan untuk pencucian dan penyaringan bervariasi antara 0.1 sampai 6 jam, rata-rata waktu yang dibutuhkan ialah 0.5 jam per sampel. Lamanya waktu filtrasi dapat dikurangi dengan penghisapan vakum secara hati-hati setiap lima menit selama filtrasi.

Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven pada suhu 105oC dan didinginkan dalam desikator baru kemudian ditimbang. Bobot residu didapatkan dari hasil pengurangan bobot crucible dan celite.

Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6.25. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 525oC. Cawan dan abu kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang untuk mendapatkan bobot abu.

Penentuan blanko (B) :

B (mg) = bobot residu – PB – AB

Bobot residu (mg) = rata-rata bobot residu (mg) untuk dua ulangan blanko PB dan AB (mg) = bobot protein dan abu dari kedua ulangan blanko.

Perhitungan total serat pangan (TDF):

TDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100 P dan A (mg) = bobot protein dan abu dari kedua ulangan sampel Bobot sampel (mg)= rata-rata bobot sampel.

Uji Antioksidan metode DPPH (Kubo et al. 2002)

Sampel sejumlah 5 g dilarutkan dalam methanol PA dengan perbandingan 1:4. Campuran diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya campuran disaring dengan bantuan kertas saring untuk mendapatkan larutan sampel.

Sebanyak 2.8 ml metanol PA, 1 ml buffer asetat (pH 5.5), dan 250µl larutan DPPH dimasukkan dalam tabung reaksi dan dikocok kuat (vorteks). Setelah itu, 45µl larutan sampel ditambahkan dalam tabung reaksi dan divorteks. Tabung reaksi diinkubasikan dalam ruang gelap selama 20 menit.Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 517 nm.Aktivitas antioksidan diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi sampel dibandingkan dengan kurva standar kapasitas antioksidan vitamin C (asam askorbat).Satuannya µg vitamin C equivalen/mg sampel (CEQ/mg sampel).

Uji Total Fenol (Slinkard dan Singelton 1977)

Sebanyak 3.9 ml akuades dan 0.5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu (FC) (1:10 dalam akuades) ditambahkan ke dalam 0.1mL minyak beras analog. Larutan tersebut didiamkan selama 3 menit kemudian ditambahkan 2ml Na2CO3 20% dan

(40)

dalam ekstrak etanol dinyatakan sebagai miligram ekuivalen asam galat/gram sampel (mg EAG/g sampel).

Uji Tingkat Kecerahan (nilai L)

Pengukuran warna dilakukan dengan Chromameter CR 300 Minolta. Sistem notasi warna yang terdapat dalam chromameter digunakan sebagai cara sistematik dan objektif untuk mendeskripsikan suatu jenis warna. Pengukuran ditampilkan dalam skala L a b. L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap/hitam), 100 (terang/putih).

Analisis Sensori dengan Uji t-test(Meilgaardet al. 1999)

Analisis sensori merupakan analisis yang menggunakan indera manusia sebagai instrumennya.Analisis sensori yang dilakukan adalah uji t-tes hedonik beras formula optimum dengan beras analog yang telah beredar di pasaran (beras cerdas).Analisis yang dilakukan menyangkut penerimaan terhadap sifat atau kualitas sampel yang diujikan dan melibatkan panelis tidak terlatih sebanyak 72 orang. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan nilai skala terhadap warna, tekstur, aroma, dan kesukaan secara keseluruhan untuk beras serta rasa, warna, tekstur (kelengketan), aroma dan kesukaan secara keseluruhan untuk sampel nasi dari beras analog. Uji hedonik menggunakan skala angka dari 1-7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan desain penyajian sampel menggunakan uji t-test. Data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA).

Uji Indeks Glikemik (Miller et al. 1997)

Beras analog sebelumnya dimasak terlebih dahulu dengan perbandingan beras dan air 1:1 selama 8 menit.Setelah itu dilakukan analisis proksimat terhadap nasi dari beras analog untuk menentukan jumlah sampel yang harus dikonsumsi oleh relawan.Jumlah sampel ditentukan mengandung 50 g karbohidrat.

Penentuan indeks glikemik menggunakan subjek manusia. Relawan yang digunakan dalam pengujian ini diseleksi yang memiliki kadar gula darah puasa normal (70-120 mg/dl). Seleksi dilakukan saat pengujian sampel yang pertama dan terpilih 10 orang relawan.Sampel berikutnya dan pangan acuan diuji pada hari yang berlainan dengan interval minimal 3 hari.

Relawan diminta melakukan puasa selama 10 jam pada malam hari kecuali air putih. Pagi harinya sebanyak ±5 µl darah relawan diambil melalui ujung jari untuk diukur kadar glukosa darahnya dengan menggunakan GlucocardTM Test Strip. Relawan kemudian diminta memakan nasi dari beras analog yang telah disiapkan dan kadar gulanya darahnya kembali diukur pada menit 30, 60, dan 120 menit setelah makan. Pengukuran respon kadar glukosa darah untuk pangan standar (50 g glukosa murni) dilakukan pada hari berbeda dengan rentang minimal 3 hari.

(41)

relawan dihitung dan dirata-rata. Perhitungan untuk nilai IG adalah sebagai berikut :

luas area di bawah respon glikemik standar glukosaluas area di bawah kurva respon glikemik sampel x 100

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku dalam pembuatan beras analog pada penelitian ini adalah tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul. Bahan baku tersebut dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui karakternya secara kimia. Hasil analisis dari bahan baku dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Karakterisasi bahan baku beras analog

Karakter Tepung

jagung

Sagu Tepung

kedelai

Bekatul

Kadar air (%bk) 9.24 9.06 5.05 12.44

Kadar abu (%bk) 0.89 0.07 4.79 9.97

Kadar protein (%bk) 8.48 0.06 36.33 16.54

Kadar lemak (%bk) 2.35 0.17 27.11 16.05

Kadar karbohidrat (%bk) 79.04 90.64 26.72 14.80

Serat pangan (%bk) 11.21 - 17.31 19.71

Amilosa 19.33 27.45 3.72 -

Analisis proksimat yang dilakukan terdiri atas analisis kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat. Kadar air dari tepung jagung, sagu, kedelai, dan bekatul berturut-turut adalah 9.24%, 9.06%, 2.05%, dan 12.44%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kadar air bahan baku masih dibawah 15%. Menurut Steiger (2011), kadar air produk pangan kurang dari 15% akan aman selama penyimpanan.

Berdasarkan Tabel 3.1 juga dapat dilihat kadar protein pada tepung kedelai paling tinggi dibanding bahan baku lainnya. Pengukuran protein kedelai adalah 36.33%.Kandungan protein tersebut lebih rendah dari hasil penelitian Widaningrum et al. (2005) yang menyatakan bahwa protein pada tepung kedelai adalah 41.71%.Perbedaan hasil tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan varietas dan kondisi penanaman (Afandi 2000). Keberadaan protein selain dapat meningkatkan nilai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur pada beras analog (Koide et al.1999; Widaningrum et al. 2005).

Gambar

Gambar 2.1 Diagram penelitian stabilisasi bekatul
Gambar 2.2 Alat single screw conveyor untuk stabilisasi bekatul
Gambar 2.6 Hasil kromatogram analisis γ-oryzanol pada ekstrak heksana
Tabel 2.1 Hasil analisis kadar asam lemak, tokoferol, dan ϒ-oryzanol pada bekatula
+6

Referensi

Dokumen terkait

México se refieren a él simplemente como SEÑA, pero hacen la diferencia entre el lenguaje de signos usado en México y el lenguaje de signos usado en los Estados Unidos, refiriéndose

Dengan demikian para mahasiswa yang memiliki pengetahuan tentang penelitian cenderung akan meningkatkan semangat belajarnya agar dapat mencapai cita-citanya dan

Dalam penelitian, model matematis lebih sering dipakai jika dibandingkan dengan model fisik. Pada model matematis, sistem direpresentasikan sebagai

Peranan fauna tanah terhadap sifat fisik tanah yaitu membantu dalam pembentukan agregat, memperbaiki struktur tanah, aerasi dan drainase; terhadap sifat kimia tanah yaitu

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa penjadwalan yang disarankan untuk meminimisasi makespan dan mengurangi keterlambatan produksi perusaaan

[r]

Frekuensi terbanyak untuk indikator keterampilan dasar berada pada kategori sedang. Dalam penelitian ini, 47.73% mahasiswa menyatakan bahwa tingkat kesiapan keterampilan

Perumusan masalah dari kegiatan ini adalah bagaimana mengoptimalkan perpaduan motif tradisional dengan motif modern dengan harga yang relatif bersaing ,bagaimana