• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Beras Analog Optimum

3. FORMULASI BERAS ANALOG

3.2 Bahan dan Metode

3.3.4 Karakterisasi Beras Analog Optimum

Beras analog optimum yang diperoleh selanjutnyadianalisis secara fisik, kimia, sifat fungsional (aktivitas antioksidan dan indeks glikemik), serta analisis sensori. Analisis fisik yang dilakukan berupa analisis tingkat kecerahan dan analisis kimia berupa analisis proksimat, derajat gelatinisasi, α-tokoferol, dan ϒ- oryzanol, dan serat pangan, analisis sifat fungsional berupa kapasitas antioksidan dan indeks glikemik.Analisis sensori yang dilakukan berupa uji t-test untuk membandingkan beras analog bekatul dan beras analog yang telah beredar di masyarakat (Beras Cerdas). Hasil analisa secara lengkap adalah sebagai berikut:

a b

Analisis Fisik dan Kimia

Hasil analisis fisik dan kimia beras analog, beras analog komersil (Beras Cerdas), dan beras sosoh dapat dilihat pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8 Karakteristik fisik dan kimia beras analog

Karakteristik Beras analog a) Beras cerdas Beras sosoh

Kadar air (%) 4.22 13.44 11.22b) Kadar abu (%bk) 2.07 0.68 0.56 b) Kadar lemak (%bk) 5.36 0.75 1.37c) Kadar protein (%bk) 11.4 4.14 8.66 c) Serat pangan (%) 13.3 5.44 0.80 c) Total fenol (%) 0.05 0.04 - α-tokoferol (mg/100 g) 1.00 - - ϒ-oryzanol (µg/g sampel) 48.70 - - Derajat gelatinisasi (%) 59.41 62.01 64.21c) Kecerahan 48.90 59.33 60.31a) Amilosa (%) 28.02 21.60 23.22

Sumber: a). Hasil analisis peneliti, b)Sumber : Ohtsubo (2005), c)Liuet al. (2011) Analisis fisik yang dilakukan adalah analisis tingkat kecerahan.Tingkat kecerahan merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan penerimaan beras.Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bahwa tingkat kecerahan beras analog lebih rendah dibandingkan beras sosoh.Nilai kecerahan pada beras analog, beras cerdas, dan beras sosoh berturut-turut adalah 59.41, 59.33, dan 64.21.Tingkat kecerahan yang rendah pada beras analog disebabkan karena adanya penambahan tepung kedelai dan bekatul.Penambahan tepung kedelai dapat menyebabkan reaksi Maillard bila dilakukan pemanasan suhu tinggi (Widaningrum et al. 2005; Bressani 1990). Protein (asam amino) dan pati (gula pereduksi) akan berikatan membentuk melanoidin yang bewarna coklat. Selain itu juga kecerahan berkurang juga karena adanya penambahan bekatul yang memang secara alami bewarna coklat.

Analisis kimia berupa analisis proksimat juga dilakukan pada beras analog. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar lemak, dan kadar protein. Kadar air dari beras analog diperoleh 4.22%. Kadar air tersebut dalam batas aman untuk penyimpanan beras analog. Steiger (2011) menyatakan kadar air beras analog <15% agar aman dalam penyimpanan dan mencegah pertumbuhan kapang. Kadar protein pada beras analog lebih tinggi daripada beras sosoh maupun beras cerdas yaitu 11.4%.Hal tersebut terjadi karena pada beras analog diberikan tambahan tepung kedelai.Tepung kedelai digunakan untuk menghasilkan produk tinggi protein dan rendah karbohidrat bila dibandingkan dengan beras aslinya.Menurut hasil analisis, kandungan protein dan karbohidrat tepung kedelai berturut-turut adalah 36.33% dan 26.72%.Kandungan lemak pada beras analog (5.36%) lebih tinggi dibandingkan beras cerdas (0.75%) ataupun beras sosoh (1.37%).Kandungan lemak pada beras analog beras berasal dari adanya penambahan tepung kedelai dan bekatul dengan kandungan lemak berturut-turut adalah 27.11% dan 16.54%.

Selain analisis proksimat, juga dilakukan analisis serat pangan dan derajat gelatinisasi.Analisis serat pangan dan derajat gelatinisasi penting dilakukan

karena menentukan tekstur produk (Koide et al. 1999; Alsaffar 2011).Serat pangan pada beras analog cukup tinggi yaitu 13.3% bila dibandingkan beras biasa yang hanya 0.80% dan beras cerdas 5.5%.Produk pangan sudah dikatakan tinggi serat apabila mengandung serat pangan 3-6% (Widowati et al. 2010).Tepung jagung sebagai penyusun utama beras analog (66.11% dari adonan) memiliki kandungan serat tinggi yaitu 11.21%. Menurut Suarni dan Firmansyah (2005), tepung jagung mengandung komponen fungsional seperti serat pangan.Serat dari beras analog berasal dari tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul.Menurut Liu

et al. (2011) serat pangan pada bekatul adalah 33.12%.Serat pangan juga

diperoleh dari penambahan tepung kedelai. Menurut Widaningrum et al. (2005)

tepung kedelai juga merupakan bahan pangan tinggi serat.Kadar serat pada tepung kedelai adalah 17.31%. Selain tepung jagung dan kedelai, bekatul juga merupakan

bahan baku penyumbang serat pangan pada beras analog. Serat dari bekatul

sudah dikembangkan sebagai ingredient fungsional pada produk pangan (Qureshi

et al. 2002).Serat pangan merupakan komponen pangan yang penting dalam produk pangan.Serat pangan berperan dalam memperlambat kecepatan pencernaan bahan pangan dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan diubah menjadi energi makin sedikit (Bressani 1990; Englsyt et al. 2007).

Hasil analisis derajat gelatinisasi pada beras analog adalah 59.41%.Derajat gelatinisasi tersebut termasuk derajat gelatinisasi optimum pada beras analog.Derajat gelatinisasi yang optimum sehingga tekstur beras tetap kompak dan baik saat dimasak menurut Koide et al. (1999) adalah 50-95%.Derajat gelatinisasi beras analog yang didapat lebih rendah dari beras sosoh (64.21%) maupun beras cerdas (62.01%).Derajat gelatinisasi yang lebih rendah pada beras analog terjadi karena kandungan serat pangan dan protein beras analog yang lebih tinggi dari beras cerdas ataupun beras sosoh.Serat pangan dan protein menurut Alsaffar (2011) dapat membentuk matrik disekitar granula pati sehingga dapat menghambat hidrolisis amilosa karena masuknya air ke granula pati terhambat dan derajat gelatinisasi menjadi lebih rendah.

Analisis Sensori dengan Uji t-test

Analisis sensori merupakan analisis yang penting untuk menentukan penerimaan panelis terhadap produk pangan yang dibuat (Meilgaard 1999).Uji t- test dilakukan untuk menganalisis karakteristik sensori antara beras analog bekatul dengan Beras Cerdas.Parameter yang diujikan untuk ujisensori adalah parameter kecerahan, tekstur, rasa (untuk nasi dari beras analog), dan keseluruhan.Hasil analisis sensori dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Kecerahan memang merupakan parameter yang penting dalam penentuan kesukaan terhadap beras.Hal tersebut dikarenakan presepsi masyarakat tentang beras itu cerah berwarna putih.Kecerahan pada beras merupakan salah satu parameter yang pertama kali akan dinilai oleh konsumen dan merupakan hal penting dalam penerimaan pangan tersebut (Leon et al. 2006). Kecerahanberdasarkan analisis hedonik didapatkan hasil bahwa kecerahan pada beras analog dan beras cerdas berbeda nyata.Panelis agak suka terhadap beras cerdas dengan skor rata-rata 5.13 (agak suka) sedangkan pada beras analog rata-

rata skor panelis 3.79 (agak tidak suka-netral).Panelis lebih menyukai beras yang lebih cerah. Beras cerdas berwarna lebih cerah karena bahan bakunya yang berasal dari tepung mocaf, tepung jagung, dan susu skim. Namun pada nasi analog, nasi dari beras cerdas dan nasi analog tidak berbeda nyata atribut kecerahannya. Hal tersebut terjadi karena pada beras cerdas mengandung susu skim sehingga saat pemasakan kemungkinan terjadi reaksi Maillard pula akibat reaksi antara protein dari susu dan gula pereduksi. Reaksi Maillard menyebabkan warna coklat pada nasi analog sehingga menyebabkan kecerahannya berkurang. Tabel 3.9 Hasil analisis sensori beras analog dan beras cerdas

Sampel Parameter

Kecerahan Tekstur Keseluruhan Rasa

Beras analog bekatul 3.79b 5.50a 4.97 a -

Beras cerdas 5.13a 4.76b 4.90 b -

Nasi beras analog bekatul 3.54 a 4.72 a 4.51 a 4.35 b

Nasi beras cerdas 3.88 a 4.03 b 4.05 b 4.79 a

Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Tekstur yang dimaksud dalam penilaian sensori beras analog adalah kekerasan pada beras analog dan kelengketan pada produk nasi dari beras analog.Hasil penilaian atribut tekstur beras analog menunjukkan nilai berbeda nyata.Skor penilaian terhadap beras analog 5.50 (agak suka-suka) sedangkan pada Beras Cerdas 4.76 (netral-agak suka).Penilaian panelis yang lebih tinggi terhadap tekstur beras analog dikarenakan bentuk beras analog yang lebih mirip beras pada umumnya dan bentuk lebih seragam. Penilaian panelis terhadap tekstur pada nasi Beras Cerdas menunjukkan skor 4.03 (netral) sedangkan pada nasi beras analog mempunyai skor 4.72(netral-agak suka). Menurut panelis karena pada nasi dari Beras Cerdas lebih lengket dan kenyal (menempel satu sama lain) sedangkan nasi beras analog lebih terpisah sehingga lebih mirip dengan nasi pada aslinya. Hal tersebut terjadi karena kandungan amilosa dari beras analog lebih tinggi dari dari beras cerdas.Amilosa dari beras analog adalah 28.02% yang tergolong dalam kriteria beras pera (amilosa tinggi) sedangkan Beras Cerdas tergolong beras beramilosa sedang (20-24%).Beras beramilosa tinggi saat dimasak tidak saling menempel dan keras saat kering. Menurut Alliawati (2003), kadar amilosa berpengaruh dalam menentukan tekstur nasi. Berdasarkan kandungan amilosa, klasifikasi beras dibedakan menjadi beras beramilosa tinggi (>25%), sedang (20- 24%), rendah (10-20%), dan sangat rendah (<10%).

Rasa merupakan parameter penting dalam penerimaan sebuah produk pangan (Meilgaard et al. 1999).Berdasarkan hasil uji hedonik berbeda nyata antara nasi dari beras analog dan Beras Cerdas.Nasi dari beras analog memiliki nilai skor kesukaan 4.35 (dari netral-agak suka) sedangkan pada nasi dari Beras Cerdas didapatkan skor kesukaan 4.79 (netral-agak suka).Skor itu berarti panelis mulai mau menerima rasa dari beras analog walau saat penilaian, panelis masih membandingkan beras analog dengan beras pada umumnya.Presepsi panelis yang merasakan nasi dari beras memiliki rasa normal (hambar nasi) turut mempengaruhi penilaian panelis terhadap beras analog.

Parameter uji secara keseluruhan dari beras analog bekatul dan Beras Cerdas menunjukkan bahwa beras analog dan Beras Cerdas tidak berbeda nyata.Beras analog bekatul memiliki skor 4.97 (netral-agak suka) dan Beras Cerdas mempunyai skor 4.90 (netral-agak suka). Menurut pendapat panelis, Beras Cerdas memiliki keunggulan dari segi kecerahan dibandingkan beras analog bekatul.Namun beras analog bekatul memiliki keunggulan dari bentuk dan ukurannya yang menyerupai beras aslinya serta tidak berbuntut dan seragam.

Pada nasi dari hasil olahan beras analog didapatkan skor kesukaan beras analog bekatul adalah 4.51(netral-agak suka) dan beras cerdas 4.05 (netral-agak suka).Panelis berpendapat bahwa rasa pada beras analog bekatul terdapat rasa pahit dan sedikit langu.Rasa pahit kemungkinan berasal dari bekatul.Bekatul mengandung komponen tannin yang memang memiliki rasa pahit. Aroma langu didapatkan karena adanya bahan baku tepung kedelai. Bau langu yang timbul terjadi karena adanya reaksi enzimatis pada kedelai saat pengolahan menjadi tepung. Pada beras cerdas, dari segi rasa panelis lebih suka tetapi dari tekstur nasi yang dihasilkan lebih lengket dan menempel satu sama lain sehingga kurang disukai oleh panelis (cenderung netral).

Aktivitas Antioksidan

Analisis antioksidan dilakukan terhadap beras analog.Berdasarkan hasil analisis didapatkan kapasitas antioksidan dari beras analog adalah 7.51 µg CEQ/mg sampel sedangkan pada beras cerdas 3.25 µg CEQ/mg sampel.Hal tersebut terjadi kemungkinan karena beras analog menggunakan bahan tepung jagung kuning, tepung kedelai, dan bekatul yang berdasarkan analisis memiliki kapasitas antioksidan.Kapasitas antioksidan tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul berturut-turut adalah 21.35, 21.56, dan 21.90 ug CEQ/mg sampel. Selain analisis kapasitas antioksidan, juga dilakukan analisis total fenol pada beras analog dan Beras Cerdas. Berdasarkan analisis didapatkan total fenol pada beras analog dan Beras Cerdas adalah 0.05% dan 0.02%. Total fenol pada beras analoglebih tinggi daripada Beras Cerdas kemungkinan karena adanya tepung kedelai dan tepung bekatul pada beras analog. Menurut Yawadio et al. (2007), bekatul mengandung komponen fenol yang terkandung dalam beras pecah kulit. Dua jenis fenol tersebut adalah asam ferulat (85.7%) dan tokoferol (14.3%). Kapasitas antioksidan dan total fenol pada beras analog juga terlihat dengan

adanya kandungan komponen bioaktif (α-tokoferol dan ϒ-oryzanol) dari beras

analog. Kandungan α-tokoferol pada beras analog adalah 1 mg/100 g.

Berdasarkan penelitian Pangestuti et al. (2004), kandungan tokoferol pada flakes 2.38 mg/100 g dengan menggunakan wheat germ 15%, dan tepung ubi jalar:tepung kecambah kedelai (1:1 total 85%). Tokoferol merupakan senyawa fenolik sehingga mempunyai sifat sebagai antioksidan pada produk beras analog.Kandungan ϒ-oryzanol pada beras analog adalah 48.70 µg/g sampel.ϒ- oryzanol pada beras analog berasal dari bekatul yang ditambahkan pada beras analog (6.5%).Kandungan ϒ-oryzanol pada bekatul adalah 1871.35 µg/g sampel bekatul. Menurut Azrina et al. (2008), ϒ-oryzanol merupakan komponen bioaktif yang baru ditemukan di dalam bekatul.

Indeks Glikemik Beras Analog

Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat saat ini menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus. Tindakan pencegahan diperlukan untuk mencegah timbulnya penyakit tersebut.Cara memilih pangan yang tepat diantaranya dengan menggunakan pendekatan indeks glikemik.Indeks glikemik merupakan pendekatan yang dikembangkan Jenkins et al.

(1981).Penentuan indeks glikemik dilakukan menggunakan subjek manusia.Relawan yang dipilih adalah relawan yang memiliki gula darah puasa normal (60-120 mg/dl).Darah yang diambil melalui pembuluh kapiler yang terdapat di jari tangan (Ragnhild et al. 2004). Prinsip pengukuran gula darah dengan menggunakan alat glukometer adalah sampel darah yang diperoleh melalui ujung jari dengan menyentuhkan ke ujung test strip. Kerja tes strip ini memiliki daya kapilaritas. Saat wadah darah diujung strip penuh, maka akan terjadi reaksi antara glukosa dengan reagen yang terdapat pada celah strip (enzim glukosa oksidase dan kalium ferisianida). Glukosa dan kalium ferisianida akan diubah menjadi asam glukonat dan kalium ferosianida. Kalium ferosianida mencerminkan proporsi gula darah dalam sampel. Kalium ferosianida akan teroksidasi menjadi ferisianida kembali dan menghasilkan elektron yang akan terbaca oleh alat glukometer.

Karbohidrat yang dicerna dengan cepat akan menghasilkan IG tinggi sebaliknya karbohidrat yang dicerna dengan lambat akan menghasilkan IG rendah. Jumlah, bentuk, kondisi memasak suatu produk pangan, usia, serta jenis kelamin juga mempengaruhi respon glukosa terhadap gula darah (Hallfrisch dan Behall 2000).

Berdasarkan pengujian didapatkan bahwa indeks glikemik nasi dari beras analog formula optimum adalah 54. Nilai tersebut lebih rendah dari nasi beras sosoh dengan IG 69 (Powell et al. 2002).Indeks glikemik tergantung pada bahan penyusunnya, kandungan protein, jumlah serat, dan kandungan amilosa (Hallfrisch dan Behall 2000).Pada beras analog formula optimum dapat dilihat bahwa bahan penyusun beras analog tergolong merupakan bahan berindeks glikemik rendah.Tepung jagung memiliki IG 42 (Helmy dan El-Mehiry 2012), bekatul dengan IG 21 (Miller et al.1992), dan kacang kedelai dengan IG 51 (Marsono et al.2002). Pada Beras Cerdas bahan penyusunnya berupa tepung sagu,

Jumlah serat juga mempengaruhi indeks glikemik beras analog.Kandungan serat beras analog tinggi yaitu 13.3%.Serat yang tinggi terjadi karena adanya penambahan tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul yang merupakan bahan penyusun beras analog yang tinggi serat pula (>6%).Keberadaan serat pada bahan pangan juga dapat memperlambat pencernaan karbohidrat.Serat membentuk matriks diluar granula pati sehingga dapat menghambat pencernaan dari karbohidrat (Alsaffar 2011).

Selain serat, kandungan protein juga mempengaruhi indeks glikemik dari beras analog.Kadar protein beras analog juga tinggi yaitu 11.4%.Hal tersebut terjadi karena adanya penambahan tepung kedelai saat formulasi beras analog.Menurut penelitian Gularte et al. (2012), penambahan tepung kacang- kacangan pada produk pangan dapat menurunkan indeks glikemik hingga 18%.Protein juga dapat membentuk matrik pangan diluar granula pati.Keberadaan matriks pangan tersebut dapat menghalangi gelatinisasi pati sehingga

memperlambat pencernaan pati (Alsaffar 2011). Faktor lain yang mempengaruhi indeks glikemik adalah kandungan amilosa pada suatu bahan pangan. Kandungan amilosa pada beras analog tergolong amilosa tinggi (>25%).Kadar amilosa juga berpengaruh terhadap daya cernanya karbohidrat (Hu et al. 2004) karena keberadaan struktur liniearnya yang kompak sehingga sulit dicerna oleh enzim (Ek et al. 2011).

Berdasarkan hasil karakterisasi beras analog dengan bahan baku tepung jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul, diperoleh hasil beras analog mengandung protein dan serat tinggi serta indeks glikemik rendah. Hasil analisis tersebut menunjukkan beras analog berpotensi dikembangkan produk pangan fungsional yang berbasiskan sumber daya lokal Indonesia

3.4 Simpulan

Beras analog pada peneltian ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional karena merupakan sumber serat 13.3% (>6%), mengandung komponen bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan (tokoferol dan oryzanol), dan indeks glikemik 54. Formula optimum beras analog berdasakan parameter antioksidan dan kecerahan adalah tepung jagung 32.17%, tepung sagu 16.67%, tepung kedelai 13.3%, bekatul 3.16%, dan GMS 1.33% (air 50% dari jumlah adonan).Hasil analisis sensori yang dilakukan menunjukkan beras analog dan nasi dari beras analog secara keseluruhan memiliki nilai kesukaan dari netral-agak disukai sehingga masih perlu dilakukan pengembangan produk lagi untuk meningkatkan penerimaan sensorinya.

4

PEMBAHASAN UMUM

Ketahanan pangan adalah kondisi pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau (BKP 2012).Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam Undang-undang Pangan nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Diversifikasi pangan atau keragaman konsumsi pangan merupakan salah satu strategi mencapai ketahanan pangan. Diversifikasi pangan adalah upaya penganekaragaman pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk (Kementan 2009).

Kendala utama diversifikasi pangan di Indonesia adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, adanya budaya dimasyarakat Indonesia yang bila belum makan nasi berarti belum makan, dan kurangya ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat. Rakyat Indonesia menurut data Kementrian Pertanian RI tahun 2009, mengkonsumsi beras lebih banyak daripada

asupan karbohidrat yang dibutuhkan, yakni mencapai 62.2%.Konsumsi padi- padian untuk mencukupi karbohidrat itu cukup 50% saja dan sisanya umbi- umbian dan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung dan sagu (BKP 2012).Bahan-bahan selain beras tersebut sudah digunakan sebagai bahan pangan, tetapi masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok.Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal kemudian diterbitkan.Harapan penerbitan peraturan tersebut adalah untuk mengurangi konsumsi beras hingga sekitar 3% per tahun sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras.

Pangan yang baik bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan energi dan nutrisi dalam tubuh tetapi juga diharapkan dapat bermanfaaat bagi kesehatan.Produk pangan fungsional yang memiliki potensi bermanfaat bagi kesehatan pun terus dikembangkan.Hal tersebut mengingat makin meningkatnya penyakit degeneratif di Indonesia contohnya penyakit dibetes mellitus. Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang akan meningkat jumlahnya di masa mendatang. Penyakit ini perlu mendapat perhatian karena banyaknya komplikasi-komplikasi yang ditimbulkannya dan merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang paling berperan dalam penatalaksanaannya adalah pasien sendiri dan keluarganya. Diabetes mellitus akan berkembang menjadi suatu penyebab utama kematian di Indonesia. World Health Organization (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita DM terbanyak keempat di dunia yaitu sekitar 8,6% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 danInternational Diabetes Federation (IDF) memperkirakan adanya kenaikan 8,2 juta penderita DM di Indonesia pada tahun 2020 (Vosloo 2005). Penderita DM dianjurkan memilih pangan IG rendah sebab dengan pangan IG rendah, kadar glukosa darah tidak meningkat secara drastis.

Salah satu produk yang dikembangkan untuk mendukung progam diversifikasi pemerintah dan menghasilkan pangan yang berpotensi bermanfaat bagi kesehatan adalah beras analog.Beras analog adalah produk olahan yang dibuat dari sebagian atau seluruhnya bahan non-beras yang memiliki bentuk seperti butiran beras padi (Mishra et al. 2012).

Bahan yang dipakai pada beras analog adalah bekatul.Bekatul memiliki aktivitas antioksidan dan tinggi serat.Selain itu bekatul mengandung tokoferol (vitamin E), tokotrienol dan oryzanol yang memiliki kapasitas antioksidan.Bekatul juga memiliki indeks glikemik rendah yaitu 19 (Miller et al.

1992).Bekatul merupakan produk samping dari penggilingan beras. Badan Pusat Statistik (2012) melaporkan hasil produksi beras Indonesia mencapai 69 juta ton dan diperkirakan akan meningkat lagi sekitar 0.31% pada tahun 2013. Berdasarkan hasil produksi beras tersebut diperkirakan produksi bekatul di Indonesia mencapai 4.8 juta ton setahun yang diperoleh dari hasil penggilingan beras di Indonesia.Jumlah bekatul yang melimpah tersebut belum diikuti dengan pemanfaatannya secara maksimal.Hal tersebut terjadi karena sifatnya yang kurang stabil selama penyimpanan (mudah tengik).

Bekatul harus distabilkan segera setelah penggilingan untuk melindunginya dari aktivitas lipase.Beberapa metode pemanasan untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul telah dilaporkan.Pemanasan ohmik diterapkan oleh Lakkakula et al. (2004) danpemanasan dengan ekstruder dilakukan oleh Randall et al.(1985)

dan Budijanto et al. (2010).Namun penelitian di atas sulit dalam pengoperasiannya dan membutuhkan energi yang lebih banyak sehingga metode ini kurang cocok untuk unit penggilingan padi kecil.Penelitian ini mencari perlakuan terbaik stabilisasi bekatul dengan menggunakan single screw conveyor.Prinsip instrumen menggunakan perputaran ulir untuk mendorong bekatul.Variabel yang dikendalikan oleh alat ini untuk menstabilkan bekatul adalah suhu dan kecepatan ulir. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pemanasan dengan single screw conveyor dapat memperlambat kerusakan bekatul terstabilisasi secara nyata. Perlakuan terbaik yang didapatkan berdasarkan penelitian stabilisasi bekatul (Bab II) adalah perlakuan A120 (kecepatan ulir 15Hz, suhu 120°C).

Selain bekatul juga digunakan tepung jagung, kedelai, dan sagu.Penggunaan tepung jagung, kedelai, dan sagu karena bahan pangan tersebut telah cukup familiar dalam masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan pokok sehingga diharapkan beras analog dapat dengan mudah diterima dalam masyarakat.

Kelebihan tepung jagung sebagai bahan pangan adalah kandungan serat pangannya lebih tinggi dibandingkan dengan terigu. Tepung kedelai menurut Widaningrum et al. (2005) adalah sumber protein dengan kadar protein pada tepung kedelai adalah 41.71%. Keberadaan protein selain dapat meningkatkan nilai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur pada beras analog.Penurunan daya cerna karbohidrat dapat berpotensi menjadi bahan pangan dengan nilai IG yang rendah. Bahan lain penyusun beras analog adalah sagu. Sagu merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia.Konsumsi sagu oleh masyarakat Indonesia dalam bentuk tepung yang diolah menjadi pangan tradisional. Pangan tradisional yang ada seperti papeda, sagu lempeng, sagu goreng dan lain-lain.

Teknologi yang dipergunakan dalam pembuatan beras analog adalah teknologi ekstrusi.Penggunaan ekstruder merupakan teknologi yang memudahkan dalam pembuatan beras analog.Pencampuran dengan berbagai macam komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini selain kemudahan dalam preparasi, penggunaan, dan pengembangan produksi (Bab III).

Formulasi beras analog dengan menggunakan progam Mixture design dalam Design Expert v 7.0 (DX7) untuk mendapat formula yang optimum dalam suatu produk (Cornell 1990).Penentuan model berdasarkan respon antioksidan dan

Dokumen terkait