• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis: Sistem Pendeteksi Wajah Manusia pada Citra Digital, Setyo Nugroho

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tesis: Sistem Pendeteksi Wajah Manusia pada Citra Digital, Setyo Nugroho"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Ilmu Komputer

Jurusan Ilmu-Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam

Diajukan oleh:

Setyo Nugroho 18661/I-4/1445/02

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

JOGJAKARTA

2004

(2)
(3)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Jogjakarta, Maret 2004

(4)
(5)

v

Dengan mengucap Alhamdulillahirabbil’alamin kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt, atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Komputer di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.

Selama penulisan tesis ini kami menyadari banyak pihak telah memberikan bantuannya, sehingga pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

• Drs. Agus Harjoko, M.Sc, Ph.D, selaku pembimbing tesis yang telah memberikan bimbingannya dengan penuh kesabaran.

• Drs. Retantyo Wardoyo, M.Sc, Ph.D, selaku pengelola program studi Pascasarjana S2 Ilmu Komputer UGM Jogjakarta.

• Drs. Satria Dharma, selaku Ketua STMIK STIKOM Balikpapan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi lanjut dan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk terus maju.

• Dian Farida Anies dan Nadia Fitri Zafira, istri dan anakku tercinta, yang dengan tulus telah memberikan kesempatan, dukungan, doa, pengorbanan, pengertian, kesabaran dan ketabahan yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan semua ini.

• Ibu bapak di Wonogiri dan di Surabaya, serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan doanya.

(6)

vi

Tito, Mbak Lia, Bernard, Pak Manik, Bu Umi, Pak Sugeng, Eko, Rika, Eny, Adib, Harry, Robby, Devan, Dody, Jose, Dila, Iche, Leli, Dewi, Desti, Rama, Kevin.

• Pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuannya selama ini.

Akhir kata, kami sadar bahwa kami masih memiliki keterbatasan dan kekurangan sehingga karya ini mungkin masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan tangan terbuka.

Jogjakarta, Maret 2004

(7)

vii

Halaman Judul ...i

Halaman Pengesahan ...ii

Pernyataan ...iii

Halaman Persembahan ...iv

Kata Pengantar ...v

Daftar Isi ...vii

Daftar Gambar ...x

Daftar Tabel ...xi

Intisari ...xii Abstract ...xiii BAB I. Pendahuluan ...1 1.1. Latar Belakang ...1 1.2. Perumusan Masalah ...2 1.3. Batasan Masalah ...2 1.4. Keaslian Penelitian ...2 1.5. Manfaat Penelitian ...3 1.6. Tujuan Penelitian ...4 1.7. Tinjauan Pustaka ...4 1.8. Sistematika Penulisan ...5

(8)

viii

2.2.1. Knowledge-Based Method ...9

2.2.2. Feature Invariant Approach ...10

2.2.3. Template Matching ...11

2.2.4. Appearance-Based Method ...12

2.3. Jaringan Syaraf Tiruan ...12

2.3.1. Multi-Layer Perceptron...13

2.3.2. Supervised Learning ...14

2.3.3. Algoritma Backpropagation ...15

2.3.4. Variasi pada Algoritma Backpropagation ...17

2.3.5. Algoritma Quickprop ...18

BAB III. Perancangan dan Implementasi Sistem ...20

3.1. Data dan Peralatan Penelitian ...20

3.2. Perancangan Sistem ...21

3.2.1. Diagram Aliran Data (Data Flow Diagram) ...22

3.2.2. Jaringan Syaraf Tiruan ...26

3.2.3. Pelatihan Active Learning ...28

3.2.4. Detektor Wajah ...30

3.2.4.1. Ekstraksi Subcitra ...32

3.2.4.2. Resizing ...32

(9)

ix

3.3. Implementasi Sistem ...35

3.3.1. Jaringan Syaraf Tiruan ...36

3.3.2. Window Scanning ...39

3.3.3. Resizing...40

3.3.4. Histogram Equalization...41

3.3.5. Masking ...42

3.3.6. Penggabungan (Merging) Kandidat Wajah ...45

BAB IV. Hasil dan Pembahasan ...47

4.1. Pengukuran Evaluasi Unjuk Kerja ...47

4.2. Hasil Deteksi Kandidat Wajah ...47

4.3. Hasil Deteksi ...48

4.4. Pengaruh Jumlah Data Training yang Digunakan ...52

4.5. Pengaruh Algoritma Quickprop pada Kecepatan Training...53

4.6. Pengaruh Metode Active Learning ...53

BAB V. Kesimpulan Dan Saran ...55

5.1. Kesimpulan ...55

5.2. Saran ...56 Daftar Pustaka

(10)

x

Gambar 3.1. Sistem Deteksi Wajah...22

Gambar 3.2. DFD level 0 Sistem Trainer JST ...22

Gambar 3.3. DFD level 1 Sistem Trainer JST ...23

Gambar 3.4. DFD level 0 Sistem Detektor Wajah ...24

Gambar 3.5. DFD level 1 Sistem Detektor Wajah ...25

Gambar 3.6. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan ...27

Gambar 3.7. Metode Pelatihan Active Learning ...29

Gambar 3.8. Diagram Alir Bagian Detektor Wajah ...31

Gambar 3.9. Contoh Citra dan Histogramnya ...42

Gambar 3.10. Contoh citra yang telah mengalami proses resizing, histogram equalization, dan masking ...44

Gambar 3.11. Beberapa contoh data wajah yang telah mengalami preprocessing ...44

Gambar 4.1. Hasil deteksi sebelum dan sesudah proses merging ...48

Gambar 4.2. Contoh Hasil Deteksi Wajah ...50

Gambar 4.3. Contoh Hasil Deteksi dengan False Positive dan Wajah yang Tidak Terdeteksi ...51

(11)

xi

Tabel 4.1. Beberapa hasil deteksi pada data uji MIT-23 ...49 Tabel 4.2. Pengaruh Jumlah Data Training pada Unjuk Kerja

Deteksi Wajah ...52 Tabel 4.3. Pengaruh Algoritma Quickprop pada Kecepatan Training ...53 Tabel 4.4. Pengaruh Active Learning pada Unjuk Kerja Deteksi Wajah ...54

(12)

sangat penting dalam sistem pengenalan wajah (face recognition) yang digunakan dalam identifikasi biometrik. Deteksi wajah juga dapat digunakan untuk pencarian atau pengindeksan data wajah dari citra atau video yang berisi wajah dengan berbagai ukuran, posisi, dan latar belakang. Dalam penelitian ini diimplementasikan sistem deteksi wajah yang menggunakan jaringan syaraf tiruan multi-layer perceptron dan algoritma Quickprop. Sistem deteksi wajah memperoleh kemampuan deteksinya dengan cara belajar dari contoh (learning by examples). Pelatihan dilakukan dengan metode active learning untuk meminimalkan banyaknya data yang digunakan untuk pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi dari sistem deteksi wajah sangat tergantung pada jumlah dan jenis data yang digunakan dalam pelatihan. Algoritma Quickprop dan teknik active learning dapat dimanfaatkan untuk membantu mempercepat proses pelatihan.

(Kata kunci: deteksi wajah, jaringan syaraf tiruan, Quickprop, active learning)

(13)

used in searching and indexing still image or video containing faces in various size, position, and background. This paper describes a face detection system using multi-layer perceptron and Quickprop algorithm. The system achieves its ability by means of learning by examples. The training is performed using active learning method to minimize the amount of data used in training. Experimental results show that the accuracy of the system strongly depends on the quality and quantity of the data used in training. Quickprop algorithm and active learning method can improve the training speed significantly.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Teknologi pengenalan wajah semakin banyak dimanfaatkan, antara lain untuk sistem pengenalan biometrik (di samping fitur biometrik yang lain seperti sidik jari dan suara), sistem pencarian dan pengindeksan database citra digital dan database video digital, sistem keamanan kontrol akses area terbatas, konferensi video, dan interaksi manusia dengan komputer.

Pendeteksian wajah (face detection) adalah salah satu tahap awal yang sangat penting sebelum dilakukan proses pengenalan wajah (face recognition). Pada kasus seperti pemotretan untuk pembuatan KTP, SIM, dan kartu kredit, citra yang didapatkan umumnya hanya berisi satu wajah dan memiliki latar belakang seragam dan kondisi pencahayaan yang telah diatur sebelumnya sehingga deteksi wajah dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Namun pada kasus lain sering didapatkan citra yang berisi lebih dari satu wajah, memiliki latar belakang yang bervariasi, kondisi pencahayaan yang tidak tentu, dan ukuran wajah yang bervariasi di dalam citra. Contohnya adalah citra yang diperoleh di bandara, terminal, pintu masuk gedung, pusat perbelanjaan, dan citra yang didapatkan dari foto di media massa atau hasil rekaman video.

(15)

1.2. Perumusan Masalah

Masalah deteksi wajah dapat dirumuskan sebagai berikut: diberikan masukan sebuah citra digital sembarang, maka sistem akan mendeteksi apakah ada wajah manusia di dalam citra tersebut. Jika ada maka sistem akan memberitahu berapa wajah yang ditemukan dan lokasi wajah-wajah tersebut di dalam citra. Keluaran dari sistem adalah posisi subcitra berisi wajah yang berhasil dideteksi.

1.3. Batasan Masalah

Untuk menjaga fokus dari penelitian ini, maka beberapa batasan yang diberikan adalah sebagai berikut :

• Wajah yang akan dideteksi adalah wajah yang menghadap ke depan (frontal), dalam posisi tegak, dan tidak terhalangi sebagian oleh objek lain.

• Metode yang dipakai adalah jaringan syaraf tiruan multi-layer perceptron dengan algoritma pelatihan Quickprop.

• Citra yang dideteksi menggunakan format BMP atau JPG.

1.4. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang deteksi wajah dan pengenalan wajah telah dilakukan sebelumnya, antara lain dengan menggunakan metode Eigenface [Turk dan Pentland, 1991], dengan distribusi Gaussian dan clustering [Sung dan Poggio, 1994], dengan jaringan syaraf tiruan dan arbitrasi [Rowley et al., 1998], dengan

(16)

support vector machine [Osuna et al., 1997], dan dengan metode statistik dan wavelet [Schneiderman, 2000].

Pada penelitian [Rowley et al., 1998] digunakan jaringan syaraf tiruan yang dilatih dengan menggunakan algoritma backpropagation standar dengan momentum. Sedangkan pada tesis ini akan dibuat sistem pendeteksi wajah yang menggunakan jaringan syaraf tiruan dan dilatih dengan menggunakan algoritma Quickprop. Algoritma Quickprop ini pertama kali diperkenalkan pada [Fahlman, 1988] dengan tujuan untuk mempercepat proses training pada jaringan syaraf tiruan.

Kemudian akan dilakukan penelitian pada pengaruh berbagai parameter yang digunakan terhadap unjuk kerja dari sistem. Parameter-parameter yang digunakan misalnya banyaknya data training, penggunaan algoritma Quickprop pada kecepatan training, dan penggunaan metode active learning pada hasil pelatihan.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

• Dapat digunakan untuk mendeteksi wajah manusia pada citra digital.

• Dapat dimanfaatkan sebagai salah satu tahap praproses dari sistem pengenalan wajah atau verifikasi wajah.

• Dapat digunakan untuk mengumpulkan data wajah secara otomatis dari citra yang berisi wajah dengan berbagai ukuran, posisi, dan latar belakang.

(17)

1.6. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sistem deteksi wajah dengan masukan berupa citra digital sembarang. Sistem ini akan menghasilkan subcitra berisi wajah-wajah yang berhasil dideteksi.

1.7. Tinjauan Pustaka

Deteksi wajah dapat dipandang sebagai masalah klasifikasi pola dimana dengan input berupa citra masukan akan ditentukan output berupa label kelas dari citra tersebut. Dalam hal ini terdapat dua label kelas, yaitu wajah dan non-wajah [Sung, 1996].

Teknik-teknik pengenalan wajah yang dilakukan selama ini banyak yang menggunakan asumsi bahwa data wajah yang tersedia memiliki ukuran yang sama dan latar belakang yang seragam. Di dunia nyata, asumsi ini tidak selalu berlaku karena wajah dapat muncul di dalam citra dengan berbagai ukuran, berbagai posisi, dan latar belakang yang bervariasi [Hjelmas, Low, 2001].

Pendeteksian wajah (face detection) adalah salah satu tahap awal

(preprocessing) yang sangat penting sebelum dilakukan proses pengenalan wajah

(face recognition). Bidang-bidang penelitian yang juga berkaitan dengan

pemrosesan wajah (face processing) adalah autentikasi wajah (face

authentication), lokalisasi wajah (face localization), penjejakan wajah (face

tracking), dan pengenalan ekspresi wajah (facial expression recognition) [Yang,

(18)

1.8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan terdiri dari : BAB I. Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II. Landasan Teori

Bab ini membahas dasar-dasar teori dari citra digital, deteksi wajah, jaringan syaraf tiruan, algoritma backpropagation, algoritma Quickprop, dan metode pelatihan active learning.

BAB III. Perancangan dan Implementasi Sistem

Bab ini membahas tentang data dan peralatan penelitian, perancangan dan implementasi sistem deteksi wajah.

BAB IV. Hasil dan Pembahasan

Bab ini membahas tentang hasil pengujian dan pembahasan dari sistem deteksi wajah.

BAB V. Kesimpulan dan Saran

(19)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Citra Digital

Citra digital adalah suatu citra f(x,y) yang memiliki koordinat spatial, dan tingkat kecerahan yang diskrit. Citra yang terlihat merupakan cahaya yang direfleksikan dari sebuah objek. Fungsi f

( )

x,y dapat dilihat sebagai fungsi dengan dua unsur. Unsur yang pertama merupakan kekuatan sumber cahaya yang melingkupi pandangan kita terhadap objek (illumination). Unsur yang kedua merupakan besarnya cahaya yang direfleksikan oleh objek ke dalam pandangan kita (reflectance components). Keduanya dituliskan sebagai fungsi i

( )

x,y dan

( )

x y

r , yang digabungkan sebagai perkalian fungsi untuk membentuk fungsi

( )

x y

f , . Fungsi f

( )

x,y dapat dituliskan dengan persamaan :

( ) ( ) ( )

x y i x y r x y

f , = , ∗ , (2.1)

di mana

( )

, dan 0

( )

, 1 0<i x y <∞ <r x y <

Citra digital merupakan suatu matriks yang terdiri dari baris dan kolom, dimana setiap pasangan indeks baris dan kolom menyatakan suatu titik pada citra. Nilai matriksnya menyatakan nilai kecerahan titik tersebut. Titik-titik tersebut dinamakan sebagai elemen citra, atau pixel (picture elemen). [Gonzales and Woods, 1992].

(20)

Histogram equalization

Histogram equalization digunakan untuk melakukan perluasan kontras citra (contrast strecthing) secara otomatis. Setelah melalui histogram equalization, citra akan memiliki histogram yang lebih seragam [Gonzalez, 1992].

Misalkan r adalah nilai graylevel pixel citra yang akan diproses, dan pr(rk) adalah probabilitas munculnya level grayscale rkdi dalam citra.

1 ,..., 1 , 0 1 0 ) ( = ≤rdan k = Ln n r p k k k r (2.2)

di mana L adalah banyaknya level grayscale, nk adalah banyaknya pixel dengan level grayscale rk muncul di dalam citra, dan n adalah banyaknya seluruh pixel di dalam citra. 1 ,..., 1 , 0 1 0 ) ( 0 0 − = ≤ ≤ = = = = = L k dan r n n n n r T s k k j j k j j k k (2.3)

2.2. Deteksi Wajah

Deteksi wajah dapat dipandang sebagai masalah klasifikasi pola dimana inputnya adalah citra masukan dan akan ditentukan output yang berupa label kelas dari citra tersebut. Dalam hal ini terdapat dua label kelas, yaitu wajah dan non-wajah [Sung, 1996].

Teknik-teknik pengenalan wajah yang dilakukan selama ini banyak yang menggunakan asumsi bahwa data wajah yang tersedia memiliki ukuran yang sama dan latar belakang yang seragam. Di dunia nyata, asumsi ini tidak selalu berlaku karena wajah dapat muncul dengan berbagai ukuran dan posisi di dalam citra dan dengan latar belakang yang bervariasi [Hjelmas, Low, 2001].

(21)

Pendeteksian wajah (face detection) adalah salah satu tahap awal yang sangat penting sebelum dilakukan proses pengenalan wajah (face recognition). Bidang-bidang penelitian yang berkaitan dengan pemrosesan wajah (face

processing) adalah [Yang, 2002]:

• Pengenalan wajah (face recognition) yaitu membandingkan citra wajah masukan dengan suatu database wajah dan menemukan wajah yang paling cocok dengan citra masukan tersebut.

• Autentikasi wajah (face authentication) yaitu menguji keaslian/kesamaan suatu wajah dengan data wajah yang telah diinputkan sebelumnya.

• Lokalisasi wajah (face localization) yaitu pendeteksian wajah namun dengan asumsi hanya ada satu wajah di dalam citra

• Penjejakan wajah (face tracking) yaitu memperkirakan lokasi suatu wajah di dalam video secara real time.

• Pengenalan ekspresi wajah (facial expression recognition) untuk mengenali kondisi emosi manusia.

Tantangan yang dihadapi pada masalah deteksi wajah disebabkan oleh adanya faktor-faktor berikut [Yang, 2002]:

• Posisi wajah. Posisi wajah di dalam citra dapat bervariasi karena posisinya bisa tegak, miring, menoleh, atau dilihat dari samping.

• Komponen-komponen pada wajah yang bisa ada atau tidak ada, misalnya kumis, jenggot, dan kacamata.

• Ekspresi wajah. Penampilan wajah sangat dipengaruhi oleh ekspresi wajah seseorang, misalnya tersenyum, tertawa, sedih, berbicara, dan sebagainya.

(22)

• Terhalang objek lain. Citra wajah dapat terhalangi sebagian oleh objek atau wajah lain, misalnya pada citra berisi sekelompok orang.

• Kondisi pengambilan citra. Citra yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti intensitas cahaya ruangan, arah sumber cahaya, dan karakteristik sensor dan lensa kamera.

Penelitian dari [Yang, 2002] mengelompokkan metode deteksi wajah menjadi empat kategori, yaitu:

1. Knowledge-based method. Metode ini kebanyakan digunakan untuk lokalisasi wajah.

2. Feature invariant approach. Metode ini kebanyakan digunakan untuk lokalisasi wajah.

3. Template matching method. Metode ini digunakan untuk lokalisasi wajah maupun deteksi wajah.

4. Appearance-based method. Metode ini kebanyakan digunakan untuk deteksi wajah.

2.2.1. Knowledge-Based Method

Metode ini menggunakan dasar aturan-aturan yang biasanya digunakan oleh manusia untuk menentukan apa saja yang membentuk suatu wajah. Pada pendekatan ini, metode deteksi wajah dikembangkan berdasar pada aturan (rule) yang didapat dari pengetahuan para peneliti tentang wajah manusia.

Sebagai contoh, suatu wajah di dalam citra biasanya memiliki dua buah mata yang simetris, sebuah hidung, dan sebuah mulut. Relasi antara fitur-fitur

(23)

tersebut dapat direpresentasikan sebagai jarak atau posisi. Pada tahap pertama fitur-fitur wajah diekstraksi lebih dulu, kemudian kandidat wajah ditentukan berdasarkan aturan yang dipakai.

Masalah utama pada pendekatan ini adalah kesulitan dalam menerjemahkan pengetahuan manusia ke dalam aturan yang akan dipakai. Jika aturannya terlalu detail (strict), maka akan sering gagal mendeteksi wajah yang tidak memenuhi aturan tersebut. Jika aturannya terlalu umum (general), akan menghasilkan terlalu banyak false positive. Masalahnya akan bertambah sulit jika harus mendeteksi wajah dengan pose yang bervariasi karena aturan yang dipakai harus dapat menghadapi semua kemungkinan yang ada. Metode ini biasanya hanya dapat bekerja dengan baik pada wajah frontal dan tegak dengan latar belakang sederhana.

2.2.2. Feature Invariant Approach

Algoritma pada metode ini bertujuan untuk menemukan fitur-fitur struktural dari wajah yang tetap eksis meskipun terdapat variasi pose, sudut pandang, dan kondisi cahaya. Pada pendekatan ini, para peneliti mencoba menemukan fitur-fitur yang tidak berubah (invariant) pada wajah. Asumsi ini didasarkan pada observasi bahwa manusia dapat dengan mudah mendeteksi wajah dengan berbagai pose dan kondisi cahaya, sehingga disimpulkan bahwa pasti ada sifat-sifat atau fitur-fitur yang bersifat invariant. Fitur wajah seperti alis, mata, hidung, mulut, biasanya diekstraksi dengan edge detector. Selanjutnya dibentuk

(24)

suatu model statistik yang mendeskripsikan hubungan antara fitur-fitur tersebut untuk menentukan ada tidaknya wajah.

Warna kulit manusia juga dapat digunakan untuk membantu memperkirakan area wajah. Namun biasanya deteksi warna kulit ini dikombinasikan dengan metode lainnya seperti shape analysis dan motion

information [Yang, 1998].

2.2.3. Template Matching

Pada metode ini akan disimpan beberapa pola wajah standar untuk mendeskripsikan wajah secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya. Pada saat pendeteksian akan dihitung korelasi antara citra input dengan citra pola wajah yang tersimpan sebelumnya.

Pada pendekatan ini, para peneliti mencoba menemukan fitur-fitur yang tidak berubah (invariant) pada wajah. Asumsi ini didasarkan pada observasi bahwa manusia dapat dengan mudah mendeteksi wajah dengan berbagai pose dan kondisi cahaya, sehingga tentunya ada sifat-sifat atau fitur-fitur yang bersifat invariant. Fitur wajah seperti alis, mata, hidung, mulut, biasanya diekstraksi dengan edge detector. Selanjutnya dibentuk suatu model statistik yang mendeskripsikan hubungan antara fitur-fitur tersebut untuk menentukan ada tidaknya wajah.

(25)

2.2.4. Appearance-Based Method

Pada metode ini, model wajah dipelajari melalui proses training dengan menggunakan satu set data pelatihan yang berisi contoh-contoh wajah. Kemudian hasil training ini digunakan untuk mendeteksi wajah. Secara umum metode ini menggunakan teknik-teknik dari analisa statistik dan machine learning untuk menemukan karakteristik-karakteristik yang relevan dari wajah maupun non-wajah.

Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah metode Eigenfaces

[Kirby, Sirovich, 1990], distribution-based dan clustering [Sung, Poggio, 1994], jaringan syaraf tiruan [Rowley, 1998], support vector machines (SVM) [Osuna, 1997], Sparse Network of Winnows (SNoW) [Yang, 2000], Naive Bayes Classifier

[Schneiderman, 1998], Hidden Markov Model (HMM) [Nefian, 1998], Kullback

relative information [Colmenarez, 1997], dan decision trees [Huang, 1996].

2.3. Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf tiruan adalah suatu sistem pemrosesan informasi yang cara kerjanya memiliki kesamaan tertentu dengan jaringan syaraf biologis [Fausett, 1994]. Jaringan syaraf tiruan dikembangkan sebagai model matematis dari syaraf biologis dengan berdasarkan asumsi bahwa:

1. Pemrosesan terjadi pada elemen-elemen sederhana yang disebut neuron. 2. Sinyal dilewatkan antar neuron melalui penghubung.

3. Setiap penghubung memiliki bobot yang akan mengalikan sinyal yang lewat.

(26)

4. Setiap neuron memiliki fungsi aktivasi yang akan menentukan nilai sinyal output.

Jaringan syaraf dapat digolongkan menjadi berbagai jenis berdasarkan pada arsitekturnya, yaitu pola hubungan antara neuron-neuron, dan algoritma trainingnya, yaitu cara penentuan nilai bobot pada penghubung.

2.3.1. Multi-Layer Perceptron

Multi-Layer Perceptron adalah jaringan syaraf tiruan feed-forward yang terdiri dari sejumlah neuron yang dihubungkan oleh bobot-bobot penghubung. Neuron-neuron tersebut disusun dalam lapisan-lapisan yang terdiri dari satu lapisan input (input layer), satu atau lebih lapisan tersembunyi (hidden layer), dan satu lapisan output (output layer). Lapisan input menerima sinyal dari luar, kemudian melewatkannya ke lapisan tersembunyi pertama, yang akan diteruskan sehingga akhirnya mencapai lapisan output [Riedmiller, 1994].

Setiap neuron i di dalam jaringan adalah sebuah unit pemrosesan sederhana yang menghitung nilai aktivasinya yaitu si terhadap input eksitasi yang juga disebut net input neti.

∈ − = ) (i pred j j ij i i s w net θ (2.4)

dimana pred(i) melambangkan himpunan predesesor dari unit i, wij melambangkan bobot koneksi dari unit j ke unit i, dan θi adalah nilai bias dari unit i. Untuk membuat representasi menjadi lebih mudah, seringkali bias digantikan dengan suatu bobot yang terhubung dengan unit bernilai 1. Dengan demikian bias dapat diperlakukan secara sama dengan bobot koneksi.

(27)

Aktivasi dari unit i, yaitu si , dihitung dengan memasukkan net input ke dalam sebuah fungsi aktivasi non-linear. Biasanya digunakan fungsi logistik sigmoid: i net i i f net e s + = = 1 1 ) ( log (2.5)

Salah satu keuntungan dari fungsi ini adalah memiliki derivatif yang mudah dihitung: ) 1 ( * ) ( log i i i i i f net s s net s = = ∂ ∂ (2.6)

Nilai dari fungsi sigmoid di atas memiliki nilai output antara 0 dan 1. Jika diinginkan nilai output antara –1 dan 1, dapat digunakan fungsi bipolar sigmoid berikut [Fausett, 1994]: 1 1 2 ) ( log = + − = i net i i g net e s (2.7)

Derivatif dari fungsi tersebut adalah:

) 1 ( * ) 1 ( 2 1 ) ( log i i i i i g net s s net s = + ∂ ∂ (2.8)

2.3.2. Supervised Learning

Tujuan pada pembelajaran supervised learning adalah untuk menentukan nilai bobot-bobot koneksi di dalam jaringan sehingga jaringan dapat melakukan pemetaan (mapping) dari input ke output sesuai dengan yang diinginkan. Pemetaan ini ditentukan melalui satu set pola contoh atau data pelatihan (training data set).

(28)

Setiap pasangan pola p terdiri dari vektor input xp dan vektor target tp. Setelah selesai pelatihan, jika diberikan masukan xp seharusnya jaringan menghasilkan nilai output tp. Besarnya perbedaan antara nilai vektor target dengan output aktual diukur dengan nilai error yang disebut juga dengan cost function:

∈ − = P p n p n p n s t E ( )2 2 1 (2.9)

di mana n adalah banyaknya unit pada output layer. Tujuan dari training ini pada dasarnya sama dengan mencari suatu nilai minimum global dari E.

2.3.3. Algoritma Backpropagation

Salah satu algoritma pelatihan jaringan syaraf tiruan yang banyak dimanfaatkan dalam bidang pengenalan pola adalah backpropagation. Algoritma ini umumnya digunakan pada jaringan syaraf tiruan yang berjenis multi-layer feed-forward, yang tersusun dari beberapa lapisan dan sinyal dialirkan secara searah dari input menuju output.

Algoritma pelatihan backpropagation pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan [Fausett, 1994], yaitu:

1. Input nilai data pelatihan sehingga diperoleh nilai output 2. Propagasi balik dari nilai error yang diperoleh

3. Penyesuaian bobot koneksi untuk meminimalkan nilai error

Ketiga tahapan tersebut diulangi terus-menerus sampai mendapatkan nilai error yang diinginkan. Setelah training selesai dilakukan, hanya tahap pertama yang diperlukan untuk memanfaatkan jaringan syaraf tiruan tersebut.

(29)

Secara matematis [Rumelhart, 1986], ide dasar dari algoritma backpropagation ini sesungguhnya adalah penerapan dari aturan rantai (chain rule) untuk menghitung pengaruh masing-masing bobot terhadap fungsi error:

ij i i ij w s s E w E ∂ ∂ ∂ ∂ = ∂ ∂ (2.10) dan j i ij i i i ij i f net s w net net s w s ) ( log′ = ∂ ∂ ∂ ∂ = ∂ ∂ (2.11)

dimana wij adalah bobot penghubung dari neuron j ke neuron i, si adalah output, dan neti adalah jumlah hasilkali pada input dari neuron i.

Untuk menghitung ∂Esi , yaitu pengaruh output si terhadap error E, dapat dibedakan menjadi dua kasus berikut:

• jika i adalah unit output, maka:

) ( ) ( 2 1 2 i i i i i i s t s s t s E = ∂ − ∂ = ∂ ∂ (2.12)

• jika i bukan unit output, maka perhitungan ∂Esi menjadi sedikit lebih

kompleks. Di sini digunakan lagi aturan rantai:

∈ ∂ ∂ ∂ ∂ = ∂ ∂ ) (i succ k i k k i s s s E s E ∈ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ = ) (i succ k i k k k k s net net s s E ∈ ′ ∂ ∂ = ) ( log ) ( i succ k k k ki w net f s E (2.13)

(30)

di mana succ(i) melambangkan semua unit k yang ada di dalam layer berikutnya ke arah output layer.

Persamaan (2.11) memiliki asumsi bahwa nilai ∂Esk untuk unit di layer berikutnya yang terhubung dengan unit i telah diketahui nilainya. Untuk itu perhitungan dilakukan mulai dari output layer, kemudian baru menghitung derivatif unit-unit di layer sebelumnya dengan menggunakan persamaan (2.11). Dengan kata lain, informasi error dipropagasikan secara berurutan bermula dari output layer dan berakhir pada input layer, sehingga algoritma ini diberi nama backpropagation [Riedmiller, 1994].

Setelah didapatkan derivatif parsial dari setiap bobot penghubung, maka untuk meminimisasi fungsi error dilakukan metode gradient descent:

) ( ) ( ) 1 (t w t w t wij + = ij +∆ ij (2.14) dan ) ( ) ( t w E t w ij ij ∂ − = ∆

ε

(2.15)

Pilihan nilai learning rate

ε

akan sangat berpengaruh pada proses training. Jika

ε

terlalu kecil, training akan memerlukan iterasi yang banyak sehingga lama untuk mencapai konvergen. Jika

ε

terlalu besar, bisa timbul osilasi sehingga tidak akan mencapai nilai error yang diharapkan.

2.3.4. Variasi pada Algoritma Backpropagation

Salah satu metode paling awal yang diusulkan untuk mengatasi masalah lamanya waktu training adalah dengan menambahkan term momentum:

(31)

) 1 ( ) ( ) ( + ∆ − ∂ ∂ − = ∆ t w t w E t w ij ij ij

ε

µ

(2.16)

di mana parameter momentum µ akan menentukan besarnya pengaruh perubahan bobot pada iterasi sebelumnya. Cara ini dapat bekerja dengan baik pada kasus tertentu, namun tidak bersifat umum. Kadang-kadang malah diperoleh hasil yang lebih baik tanpa menggunakan momentum sama sekali [Riedmiller, 1994].

Ada beberapa algoritma yang telah diusulkan untuk mempercepat proses training pada jaringan multi-layer perceptron. Di antaranya adalah algoritma Quickprop [Fahlman, 1988], resilient propagation (RPROP) [Riedmiller, 1993],

dan Scaled Conjugate Gradient (SCG) [Moller, 1990].

2.3.5. Algoritma Quickprop

Pada algoritma Quickprop dilakukan pendekatan dengan asumsi bahwa kurva fungsi error terhadap masing-masing bobot penghubung berbentuk parabola yang terbuka ke atas, dan gradien dari kurva error untuk suatu bobot tidak terpengaruh oleh bobot-bobot yang lain [Fahlman, 1988]. Dengan demikian perhitungan perubahan bobot hanya menggunakan informasi lokal pada masing-masing bobot. Perubahan bobot pada algoritma Quickprop dirumuskan sebagai berikut: ) 1 ( * ) ( ) 1 ( ) ( ) ( ) ( ∆ − ∂ ∂ − − ∂ ∂ ∂ ∂ + ∂ ∂ − = ∆ wt t w E t w E t w E t w E t w

ε

(2.17) di mana:

(32)

) (t w ∆ : perubahan bobot ) 1 ( −

wt : perubahan bobot pada epoch sebelumnya

ε

: adalah learning rate ) (t w E ∂ ∂ : derivatif error ) 1 ( − ∂ ∂ t w E

: derivatif error pada epoch sebelumnya

Pada eksperimen dengan masalah XOR dan encoder/decoder [Fahlman, 1988], terbukti bahwa algoritma Quickprop dapat meningkatkan kecepatan training. Eksperimen dari [Schiffmann, 1993] juga menunjukkan peningkatan kecepatan training dan unjuk kerja yang signifikan.

(33)

BAB III

PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI SISTEM

3.1. Data dan Peralatan Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sekumpulan citra untuk pelatihan (training data set) dan sekumpulan citra untuk pengujian (testing

data set). Citra untuk pelatihan maupun untuk pengujian diperoleh dari berbagai

sumber seperti foto, majalah, koran, televisi, dan internet. Citra yang akan digunakan untuk pengujian tidak akan digunakan dalam pelatihan. Citra yang digunakan memiliki 256 level keabuan (grayscale).

Data citra untuk pelatihan dan pengujian yang diperoleh dari internet antara lain berasal dari:

- “The ORL Database of Faces”, AT&T Laboratories Cambridge (URL: http://www.uk.research.att.com/pub/data/att_faces.tar.Z),

- “Test Images for the Face Detection Task” dari MIT dan CMU (URL: http://www.cs.cmu.edu/~har/faces.html),

- “CBCL Face Database #1”, MIT Center For Biological and Computation Learning (URL: http://www.ai.mit.edu/projects/cbcl),

- “UMIST Face Database” [Graham, Allinson, 1998] (URL: http://images.ee.umist.ac.uk/danny/index.html).

Jumlah citra data wajah yang digunakan sebanyak 1000 citra wajah berukuran 20x20 pixel. Proses pemotongan (cropping) bagian wajah dari citra dilakukan secara manual. Kemudian dilakukan preprocessing yang berupa

(34)

resizing, histogram equalization, dan masking. Dari 1000 citra wajah tersebut juga dibuat 2000 citra tambahan dengan cara melakukan proses pencerminan dan rotasi dari 5 sampai 10 derajat terhadap citra asal secara random, sehingga secara keseluruhan diperoleh 3000 citra wajah.

Citra non-wajah diambil dari 96 file citra yang tidak terdapat wajah di dalamnya. Contoh citra non-wajah adalah gambar pemandangan dalam dan luar ruangan, pepohonan, bunga, batuan, bangunan, dan lain-lain. Jika diambil seluruhnya, akan didapatkan lebih dari 36 juta subcitra berukuran 20x20 pixel. Tidak semua subcitra non-wajah tersebut akan diambil untuk pelatihan, namun dipilih secara otomatis dengan teknik active learning sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan prosesor Intel Celeron 667 MHz, memori 256 MB SDRAM, harddisk 20 GB, dan scanner. Implementasi perangkat lunaknya ditulis dengan menggunakan bahasa program C++ dengan compiler Borland C++ Builder.

3.2. Perancangan Sistem

Secara garis besar sistem deteksi wajah yang dibangun di sini dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:

- Trainer JST (Jaringan Syaraf Tiruan), digunakan untuk pelatihan yang akan menghasilkan nilai bobot-bobot penghubung jaringan syaraf tiruan. - Detektor wajah, digunakan untuk mendeteksi wajah di dalam citra setelah

(35)

Gambar berikut menunjukkan perancangan sistem deteksi wajah secara garis besar.

Gambar 3.1. Sistem Deteksi Wajah

3.2.1. Diagram Aliran Data (Data Flow Diagram)

Diagram aliran data (DFD) dari sistem deteksi wajah terdiri dari 2 bagian utama, yaitu: Sistem Trainer JST dan Sistem Detektor Wajah. Gambar 3.2 menunjukkan DFD level 0 dari Sistem Trainer JST.

Gambar 3.2. DFD level 0 Sistem Trainer JST

Hasil Deteksi Testing Data Set Training Data Set Detektor Wajah Trainer JST Bobot JST Hasil Training Citra Masukan Sistem Trainer JST User Training Data Set

Tampilan Proses Training

(36)

Sistem Trainer JST dijabarkan lebih lanjut dengan DFD level 1 yang ditunjukkan pada gambar 3.3. Training data set terdiri dari contoh wajah maupun non-wajah berukuran 20x20 pixel. Training data set akan mengalami preprocessing berupa histogram equalization, masking, dan normalisasi. Hasil dari preprocessing ini dijadikan sebagai input untuk proses training yang menggunakan jaringan syaraf tiruan.

Setelah proses training selesai, akan dihasilkan nilai bobot jaringan syaraf tiruan yang disimpan di dalam suatu struktur data. Selanjutnya nilai bobot ini akan disimpan ke dalam file yang dikehendaki oleh user. File ini nantinya akan digunakan di dalam proses deteksi wajah.

Gambar 3.3. DFD level 1 Sistem Trainer JST

User Contoh wajah User Citra telah di-normalisasi Bobot JST 1. Histogram Equalization Nilai Bobot JST

Tampilan Proses Training Contoh non-wajah 2. Masking 3. Normalisasi Citra telah di-masking

Citra telah diproses hist. equalization

4. Training

(37)

Gambar 3.4 menunjukkan DFD level 0 dari Sistem Detektor Wajah. Sedangkan penjabaran lebih lanjut dari Sistem Detektor Wajah yang berupa DFD level 1 ditunjukkan pada gambar 3.5.

Gambar 3.4. DFD level 0 Sistem Detektor Wajah

User memberikan masukan kepada sistem detektor wajah berupa citra masukan yang akan dideteksi dan file bobot JST yang diperoleh dari hasil training. Citra masukan ini akan dibaca dan dikonversi menjadi array.

Selanjutnya pada citra tersebut dilakukan pencarian kandidat wajah. Pencarian kandidat wajah dilakukan dengan ekstraksi subcitra menggunakan window berukuran 20x20. Window ini digeser ke seluruh daerah citra, mulai dari sudut kiri atas sampai sudut kanan bawah, dengan tujuan agar dapat mendeteksi wajah di semua posisi di dalam citra. Pada proses ekstraksi subcitra ini citra juga akan diperkecil secara berulang dengan perbandingan 1:1.2 dengan tujuan agar dapat mendeteksi wajah dengan semua ukuran di dalam citra.

Selanjutnya subcitra 20x20 pixel tersebut akan mengalami preprocessing berupa histogram equalization, masking, dan normalisasi yang sama seperti pada

Sistem Detektor Wajah User Lokasi Wajah User Citra Masukan Pilihan Bobot JST

(38)

saat training. Hasil preprocessing ini dijadikan sebagai input untuk pengklasifikasi JST. Pengklasifikasi JST ini akan menghasilkan kandidat-kandidat wajah.

Gambar 3.5. DFD level 1 Sistem Detektor Wajah

Citra Masukan User Pilihan Bobot JST Bobot JST Terpilih Array Pixel Citra Lokasi Wajah Kandidat Wajah Bobot JST 1. Pilih Bobot JST User Nilai Bobot JST 3. Cari kandidat wajah 4. Merging 2. Baca citra

(39)

Selanjutnya kandidat-kandidat wajah ini akan mengalami proses merging

untuk mendapatkan hasil akhir berupa lokasi dan ukuran wajah yang terdeteksi. Hasil akhir deteksi ini akan ditampilkan kepada user, dan dapat disimpan ke dalam file jika diinginkan oleh user.

3.2.2. Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf yang digunakan pada sistem ini menggunakan jenis multi-layer perceptron. Arsitektur yang digunakan diadaptasi dari hasil penelitian [Rowley, 1998] dengan sedikit modifikasi. Susunan unit dari jaringan ini ditunjukkan pada gambar 3.6.

Lapisan input terdiri dari 400 unit input, yang menerima masukan dari nilai grayscale pixel 20x20 dari subcitra yang akan dideteksi. Sebelum dijadikan input untuk JST, nilai grayscale yang berkisar dari 0 sampai 255 dinormalisasi menjadi antara –1 dan 1. Cara ini disarankan oleh [LeCun, 1998] yang menunjukkan bahwa konvergensi umumnya akan lebih cepat tercapai jika nilai rata-rata dari input data training mendekati nol.

Lapisan output terdiri dari sebuah unit dengan nilai keluaran berkisar antara –1 dan 1. Pada training data set didefinisikan nilai 1 untuk data wajah dan – 1 untuk data non-wajah. Agar nilai output dari JST memiliki range antara –1 sampai dengan 1, digunakan fungsi aktivasi sigmoid bipolar:

1 1 2 ) ( log = + − = i net i i e net g s

Lapisan tersembunyi (hidden layer) terdiri dari total 25+16=41 unit. Bagian pertama terhubung dengan lapisan input yang membentuk 25 area

(40)

berukuran 4x4 pixel. Bagian kedua terhubung dengan lapisan input yang membentuk 16 area berukuran 5x5 pixel.

Susunan koneksi seperti ini dipilih dengan tujuan agar unit-unit tersembunyi dapat mendeteksi fitur-fitur lokal dari wajah yang berperan dalam membedakan antara citra wajah dengan non-wajah. Susunan semacam ini juga umum digunakan pada kasus pengenalan suara dan karakter [Rowley, 1998].

Secara keseluruhan jaringan ini memiliki 883 bobot penghubung, sudah termasuk bias. Pada sistem [Rowley, 1998] yang lebih kompleks, jumlah bobot penghubungnya mencapai 4357. Dengan jumlah bobot yang semakin besar diperlukan data pelatihan yang lebih banyak, waktu training yang lebih lama, dan waktu deteksi yang lebih lama.

Gambar 3.6. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan

input 20x20 pixel grid 5x5 pixel Hidden Layer grid 4x4 pixel Output Input Layer

(41)

Untuk meningkatkan kecepatan proses pelatihan digunakan algoritma Quickprop. Algoritma Quickprop ini pertama kali diperkenalkan pada [Fahlman, 1988] sebagai salah satu alternatif dari algoritma backpropagation untuk melakukan pelatihan pada multi-layer perceptron.

Hasil akhir training yang berupa nilai bobot-bobot penghubung akan disimpan ke suatu file. File ini nantinya akan digunakan oleh detektor wajah untuk melakukan tugasnya.

3.2.3. Pelatihan Active Learning

Pada saat pelatihan, relatif mudah untuk memilih contoh citra wajah yang akan digunakan. Namun untuk memilih contoh citra non-wajah adalah lebih sulit, karena jenis objek non-wajah di dunia ini jauh lebih banyak daripada objek wajah. Karena itu pelatihan dilakukan dengan menggunakan teknik yang disebut dengan

active learning yang juga digunakan pada [Sung, 1996]. Cara ini disebut juga

dengan bootstrapping pada [Rowley, 1998].

Pada teknik active learning ini training dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama training dimulai dengan menggunakan sedikit data non-wajah. Pada tahap berikutnya, data training non-wajah ditambah sedikit demi sedikit. Namun data tambahan tersebut diseleksi hanya untuk data tertentu saja, yaitu data yang yang dideteksi sebagai wajah (false positive) pada hasil training tahap sebelumnya.

(42)

Gambar 3.7. Metode Pelatihan Active Learning

Dengan cara ini, data tambahan yang terpilih untuk training hanya data yang belum berhasil diklasifikasi dengan benar oleh jaringan syaraf tiruan. Data yang sudah dapat diklasifikasi dengan baik oleh jaringan syaraf tiruan tidak perlu ditambahkan sebagai data training. Dengan demikian jumlah data training yang digunakan untuk jaringan syaraf tiruan akan lebih sedikit. Karena data training yang digunakan lebih sedikit, waktu yang diperlukan untuk proses training juga lebih singkat. Koleksi Contoh Data Wajah Data Tambahan Non-Wajah Hasil Deteksi (False Positive) Koleksi Contoh Data Non-Wajah Detektor Wajah Trainer JST Data Training Data Awal Non-Wajah Pilih random Bobot JST Hasil Training

(43)

Pada tahap pertama, bobot awal yang digunakan untuk jaringan syaraf tiruan dipilih secara random. Pada tahap berikutnya, bobot awal yang digunakan adalah bobot yang dihasilkan pada tahap sebelumnya.

3.2.4. Detektor Wajah

Bagian detektor wajah ini menggunakan arsitektur jaringan syaraf yang sama dengan yang digunakan untuk training. Bobot penghubung yang digunakan diambil dari bobot terakhir yang dihasilkan pada proses training dengan menggunakan teknik active learning. Hasil deteksi akan diputuskan sebagai wajah jika output dari JST lebih dari 0, dan diputuskan sebagai non-wajah jika output JST kurang dari atau sama dengan 0. Gambar 3.8 menunjukkan diagram alir bagian detektor wajah.

(44)

Gambar 3.8. Diagram Alir Bagian Detektor Wajah Merging Kandidat Wajah Simpan Kandidat Wajah Pengklasifikasi JST Histogram Equalization Perkecil citra Geser window Window Terakhir? Ukuran citra > 20x20 pixel? Baca Window Pertama

Start Baca Citra

Ya Ya Tidak Tidak Masking Normalisasi Ditemukan Wajah? Tidak Ya Tampilkan

(45)

3.2.4.1. Ekstraksi Subcitra

Pada citra yang akan dideteksi, posisi wajah bisa berada di mana saja. Pengklasifikasi jaringan syaraf tiruan pada detektor wajah memerlukan input citra 20x20 pixel. Karena itu digunakan window 20x20 pixel yang digeser melalui seluruh daerah citra. Detektor akan memeriksa satu persatu subcitra yang dilalui oleh window tersebut.

Pada citra yang dideteksi, wajah bisa memiliki ukuran yang bervariasi. Karena itu citra akan diperkecil secara bertahap dengan skala perbandingan 1:1,2 sebagaimana dilakukan pada [Rowley, 1998]. Pada setiap ukuran citra yang diperkecil, window 20x20 pixel akan digeser melalui seluruh area citra. Dengan demikian detektor dapat mendeteksi wajah dengan berbagai ukuran. Cara ini juga dilakukan pada [Sung, 1996] dan [Rowley, 1998].

3.2.4.2. Resizing

Proses resizing digunakan baik pada citra data pelatihan maupun pada citra yang akan dideteksi. Pada citra data pelatihan, citra wajah yang diperoleh dari berbagai sumber memiliki ukuran yang beragam, karena itu harus diseragamkan sehingga memiliki ukuran 20x20 pixel. Proses resizing atau resampling dilakukan dengan menggunakan metode bilinear interpolation [Press, 1992].

Di sini citra digital dengan dimensi m x n pixel dapat dianggap sebagai matriks dua dimensi. Matriks tersebut memiliki nilai ya[1..m][1..n] yang isinya adalah level grayscale dari pixel di dalam citra. Informasi lokasi dari

(46)

pixel-pixel tersebut disimpan dalam array x1a[1..m] dan x2a[1..n]. Relasi antara nilai-nilai tersebut dapat dituliskan sebagai:

ya[j][k] = y(x1a[j], x2a[k])

Dengan interpolasi, akan diestimasi nilai fungsi y(x1, x2) pada suatu lokasi (x1,x2)

di mana x1 dan x2 bukan nilai integer di antara 1..m dan 1..n. Formula untuk melakukan bilinear interpolasi adalah:

t = (x1 − x1a[j]) / (x1a[j+1]− x1a[j]) u = (x2 − x2a[k]) / (x2a[k+1]− x2a[k])

dan

y(x1, x2) = (1 − t)(1 − u)y1 + t(1 − u)y2 + tuy3 + (1 − t)uy4

di mana

y1 = ya[j][k]

y2 = ya[j+1][k]

y3 = ya[j+1][k+1]

y4 = ya[j][k+1]

yaitu titik-titik yang berada di sekeliling titik yang akan diinterpolasi.

3.2.4.3. Histogram Equalization

Histogram equalization digunakan untuk melakukan perluasan kontras citra (contrast strecthing) secara otomatis. Setelah melalui histogram equalization, citra akan memiliki histogram yang mendekati sama [Gonzalez, 1992].

(47)

Misalkan r adalah nilai graylevel pixel citra yang akan diproses, dan pr(rk) adalah probabilitas munculnya level grayscale rkdi dalam citra.

1 ,..., 1 , 0 1 0 ) ( = ≤rdan k = Ln n r p k k k r

di mana L adalah banyaknya level grayscale, nk adalah banyaknya pixel dengan level grayscale rk muncul di dalam citra, dan n adalah banyaknya seluruh pixel di dalam citra. 1 ,..., 1 , 0 1 0 ) ( 0 0 − = ≤ ≤ = = = = = L k dan r n n n n r T s k k j j k j j k k

3.2.4.4. Masking

Proses masking dilakukan untuk menutup bagian sudut-sudut citra sehingga mengurangi kemungkinan variasi data yang muncul pada bagian-bagian tersebut. Dengan demikian dimensi dari data juga akan menjadi lebih kecil. Proses ini juga dilakukan pada penelitian [Sung, 1996] dan [Rowley, 1998].

3.2.4.5. Penggabungan (

Merging

) Kandidat Wajah

Pada saat mendeteksi wajah di suatu citra, seringkali pengklasifikasi JST mendeteksi wajah di beberapa lokasi yang bersinggungan untuk sebuah wajah yang sama. Untuk itu dilakukan penggabungan (merging) pada hasil deteksi yang bersinggungan tersebut dengan mengambil nilai rata-rata dari posisi dan ukuran window dimana wajah tersebut dideteksi. Proses penggabungan ini juga dilakukan pada penelitian [Rowley, 1998].

(48)

3.2.4.6. User Interface

Dari sudut pandang pemakai, masukan dari detektor wajah adalah file citra dengan format BMP atau JPG. File citra tersebut dapat dipilih melalui suatu kotak dialog di mana pemakai dapat memilih drive dan folder yang diinginkan.

Output dari hasil deteksi adalah lokasi-lokasi wajah yang berhasil dideteksi. Area di mana wajah terdeteksi juga akan ditandai dengan kotak. Lokasi-lokasi wajah yang terdeteksi dapat disimpan ke suatu file, sehingga di lain waktu dapat dilihat kembali tanpa harus mengulangi proses deteksi.

Pemakai dapat memilih set nilai bobot penghubung yang diinginkan. Jika trainer JST menjalani training lebih lanjut dengan tambahan data training baru, maka akan dihasilkan nilai bobot yang baru. Nilai bobot yang baru ini dapat digunakan untuk melakukan deteksi wajah dengan menggunakan program yang sama.

Sistem detektor wajah ini juga dirancang agar dapat melakukan deteksi wajah pada beberapa citra sekaligus secara batch, dan menyimpan informasi hasil deteksinya di suatu file. Dengan cara ini, pemakai dapat membiarkan program melakukan deteksi untuk sejumlah file citra sekaligus, kemudian baru mengamati hasil deteksinya setelah seluruh citra selesai di deteksi.

3.3. Implementasi Sistem

Untuk mengimplementasikan sistem, dibuat program aplikasi dengan menggunakan bahasa C++. User interface dibuat dengan menggunakan fasilitas komponen visual yang disediakan Borland C++ Builder.

(49)

3.3.1. Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf yang digunakan diimplementasikan sebagai objek pada C++. Sebuah kelas abstrak untuk jaringan syaraf tiruan dibuat agar dapat diturunkan menjadi kelas-kelas baru yang memiliki susunan unit dan koneksi yang berbeda-beda. Kelas ini mendefinisikan fungsi-fungsi yang harus diimplementasikan pada setiap jaringan syaraf tiruan. Berikut ini kelas abstrak yang digunakan:

class NNBaseClass // abstract class {

public:

double dTargetValueFace;

virtual void SetInitWeightFileName(AnsiString sInitWeightFileName) = 0;

virtual void SetTrngDataFileName(AnsiString sTrngDataFileName) = 0; virtual int StartTrainingQuickprop() = 0;

virtual int StartTraining() = 0; virtual bool InitWeight() = 0;

virtual void SaveNNWeights(AnsiString sNNWFileName) = 0; virtual double yout(double *x) = 0;

virtual ~NNBaseClass() {}; private: TrainingDataClass *aTRD; int Ntrd; int wrongClass; int wrongClassFace; int wrongClassNonFace; int nDiffSign; AnsiString m_sInitWeightFileName; AnsiString m_sTrngDataFileName; AnsiString className; double CalcError(); void DumpFinalOutput(); };

Training data set dan bobot jaringan syaraf tiruan diimplementasikan dengan struktur data sebagai berikut:

struct TrainingDataClass {

double trd_out; double trd_in[400]; };

(50)

...

double * wh; // bobot pada layer 1 (hidden layer) double * wo; // bobot pada output layer

double * bh; // bias pada layer 1 (hidden layer) double bo; // bias pada layer output

Output dari jaringan syaraf tiruan dihitung dengan lebih dulu menghitung nilai dari unit-unit pada hidden layer. Implementasi program untuk menghitung nilai output dari jaringan syaraf tiruan adalah sebagai berikut:

double NN1dClass::yout(double *x) // hitung actual output utk 1 pattern {

int j;

double hsum, osum, y;

// hitung hasil node pada hidden layer // hitung hout[]

// hidden layer 4x4, masing2 menerima 25 input for (j=0; j<nwo1; j++) { int st = start_16[j]; hsum = (x[st] * wh[st]) + (x[st+1] * wh[st+1]) + (x[st+2] * wh[st+2]) + (x[st+3] * wh[st+3]) + (x[st+4] * wh[st+4]) + (x[st+20] * wh[st+20]) + (x[st+21] * wh[st+21]) + (x[st+22] * wh[st+22]) + (x[st+23] * wh[st+23]) + (x[st+24] * wh[st+24]) + (x[st+40] * wh[st+40]) + (x[st+41] * wh[st+41]) + (x[st+42] * wh[st+42]) + (x[st+43] * wh[st+43]) + (x[st+44] * wh[st+44]) + (x[st+60] * wh[st+60]) + (x[st+61] * wh[st+61]) + (x[st+62] * wh[st+62]) + (x[st+63] * wh[st+63]) + (x[st+64] * wh[st+64]) + (x[st+80] * wh[st+80]) + (x[st+81] * wh[st+81]) + (x[st+82] * wh[st+82]) + (x[st+83] * wh[st+83]) + (x[st+84] * wh[st+84]); hsum += bh[j]; hout[j] = fa(hsum); }

// hidden layer 5x5, masing2 menerima 16 input int n; for (j=0; j<nwo2; j++) { hsum = 0.0; int st = start_25[j]; n = st + 0; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 1; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 2; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 3; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 20; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 21; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 22; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 23; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 40; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 41; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]);

(51)

n = st + 42; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 43; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 60; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 61; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 62; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); n = st + 63; hsum += (x[n] * wh[nwh1+n]); hsum += bh[nwo1+j]; hout[nwo1+j] = fa(hsum); }

// hitung hasil node pada output layer osum = 0.0;

for (j=0; j<nwo; j++) {

osum = osum + (hout[j] * wo[j]); }

osum = osum + bo; y = fa(osum); return y; }

Implementasi program untuk menghitung nilai MSE (mean square error) dari jaringan syaraf tiruan adalah sebagai berikut:

double NN1dClass::CalcError() {

static int i;

static double Ep, y, t; Ep = 0;

for (i=0; i<Ntrd; i++) { y = yout(aTRD[i].trd_in); t = aTRD[i].trd_out; Ep = Ep + pow((t-y),2); } Ep = Ep/Ntrd; return Ep; }

Implementasi program untuk melakukan pelatihan jaringan syaraf tiruan dengan menggunakan algoritma Quickprop dapat dilihat pada Lampiran 1.

(52)

3.3.2. Window Scanning

Proses window scanning dilakukan pada saat akan melakukan deteksi wajah pada citra sembarang. Proses ini diikuti dengan proses resizing untuk melakukan scanning pada skala ukuran citra yang berbeda. Implementasi programnya dapat dilihat pada kutipan kode berikut:

void __fastcall TForm1::DetectFaces1Click(TObject *Sender) { ... ... nFaceFound = 0; nscale = 0; nwindow_allscale = 0; while (true) { nwindow = 0; ntotal_window_currentsize = (w-19)*(h-19); iy = 0; while (true) {

// shift 20x20 window vertically ix = 0;

while (true) {

// shift 20x20 window horizontally

// crop/copy 20x20 image window to img2[][] for (int jy=0; jy<20; jy++) {

for (int jx=0; jx<20; jx++) {

img2[jx][jy] = img1[ix+jx][iy+jy]; }

}

// begin proses this window

// ix, iy is window position in current (resized) image ProcessImageWindow(ix, iy);

// end proses this window nwindow++;

nwindow_allscale++; ix++;

if (blAbortDetection) break; if (blPauseDetection) {

ShowMessage("Detection paused. Press OK to continue."); blPauseDetection = false; } if ((ix+20)>w) break; } iy++; if (blAbortDetection) break; if ((iy+20)>h) break; }

// resampling image to a smaller size, get new height & width // rescaling original image size img0[][] by 1:1.2 (Rowley, 1998), nscale++;

w = (double)img0width * pow((1/RESIZE_IMAGE_BY),nscale); h = (double)img0height * pow((1/RESIZE_IMAGE_BY),nscale); if (blAbortDetection) break;

if ((w<20) || (h<20))

(53)

break; else {

// save result in img1[][]

ResizeImage(w, h); // update img1width, img1height, img1[][] }

} ... }

3.3.3. Resizing

Proses resizing digunakan untuk menyiapkan data training maupun pada saat proses deteksi wajah. Contoh citra wajah yang diperoleh dari berbagai sumber memiliki ukuran yang beragam. Sebelum proses training, resizing

dilakukan pada contoh citra wajah untuk menghasilkan citra data pelatihan yang berukuran 20x20 pixel.

Pada proses deteksi wajah, resizing dilakukan pada citra yang akan dideteksi dengan tujuan agar dapat mendeteksi wajah dalam berbagai ukuran di dalam citra. Implementasi program untuk resizing dapat dilihat pada kutipan kode berikut:

void ResizeImage(int new_width, int new_height) {

// input: img1[][], output: img1[][] int w1, h1, w2, h2;

int x, y, g; int j, k;

int nn1, nn2, nn3, nn4; // four nearest neighborhood pixels double xx1, yy1, t, u;

static unsigned char img1temp[1400][1400]; // temporary resized image

for (int iy=0; iy<img1height; iy++) { for (int ix=0; ix<img1width; ix++) { img1temp[ix][iy] = img1[ix][iy]; // copy image to temporary storage }

}

// previous image size w1 = img1width; h1 = img1height; // new image size w2 = new_width; h2 = new_height;

(54)

for (y=0; y<h2; y++) { yy1 = ((double)y/(h2-1))*(h1-1); k = floor(yy1); u = yy1-k; for (x=0; x<w2; x++) { xx1 = ((double)x/(w2-1))*(w1-1); j = floor(xx1); t = xx1-j; nn1 = img1temp[j][k]; nn2 = img1temp[j+1][k]; nn3 = img1temp[j+1][k+1]; nn4 = img1temp[j][k+1]; g = ((1-t)*(1-u)*nn1) + (t*(1-u)*nn2) + (t*u*nn3) + ((1-t)*u*nn4); img1[x][y] = (char)g; } } img1width = w2; img1height = h2; }

3.3.4. Histogram Equalization

Histogram equalization digunakan untuk melakukan perluasan kontras citra (contrast strecthing) secara otomatis. Dengan demikian citra yang akan dideteksi maupun yang digunakan untuk pelatihan memiliki kontras yang seragam. Implementasi dari histogram equalization dapat dilihat pada kutipan program berikut: void HistogramEqualize() { // histogram equalization static int nr[256]; static int ns[256]; int i, k, ix, iy; unsigned char g; // build histogram table

for (i=0; i<256; i++) nr[i]=0; for (ix=0; ix<DX; ix++) { for (iy=0; iy<DY; iy++) { g = img_in[ix][iy]; nr[g]++; } } for (k=0; k<256; k++) { s = 0; for (j=0; j<=k; j++) s += ((double)nr[j]) / ((double)n_total_pixel); ns[k] = s * 255; }

(55)

for (ix=0; ix<DX; ix++) { for (iy=0; iy<DY; iy++) { g = img_in[ix][iy];

img_out[ix][iy] = (unsigned char)ns[g]; }

} }

Gambar berikut menunjukkan contoh hasil proses histogram equalization pada suatu citra.

Gambar 3.9. Contoh Citra dan Histogramnya

3.3.5. Masking

Proses masking dilakukan untuk menutup bagian sudut-sudut citra sehingga mengurangi kemungkinan variasi yang timbul pada bagian-bagian tersebut. Implementasi dari histogram equalization dapat dilihat pada kutipan program berikut:

(56)

inline bool isMaskPosition_(int x,int y) {

if ((x>4) && (x<15)) return false; if ((y>4) && (y<15)) return false; // kiri atas

if ((x+y)<=4) return true; // kiri bawah

if ((y-x)>=15) return true; // kanan atas

if ((x-y)>=15) return true; // kanan bawah

if ((x+y)>=34) return true; // otherwise return false; } //--- void InitWindowMaskInfo()

// inisialisasi informasi mask pada 4 sudut image window {

int n = 0;

for (int iy=0; iy<20; iy++) { for (int ix=0; ix<20; ix++) { if (isMaskPosition_(ix,iy)) { bl_isMask[ix][iy] = true; uc_isMask[n] = 0x00; } else { bl_isMask[ix][iy] = false; uc_isMask[n] = 0xFF; } n++; } } }

Gambar 3.10 menunjukkan contoh citra yang telah mengalami proses resizing, histogram equalization, dan masking. Sedangkan gambar 3.11 menunjukkan beberapa contoh data wajah yang telah mengalami preprocessing.

(57)

Gambar 3.10. Contoh citra yang telah mengalami proses resizing, histogram equalization, dan masking

Gambar 3.11. Beberapa contoh data wajah yang telah mengalami preprocessing

(58)

3.3.6. Penggabungan (

Merging

) Kandidat Wajah

Hasil deteksi dari pengklasifikasi jaringan syaraf tiruan adalah kandidat-kandidat wajah. Penggabungan (merging) dilakukan untuk menyatukan kandidat-kandidat wajah yang bersinggungan (overlapped) dengan cara mengambil nilai rata-rata dari posisi dan ukuran kandidat-kandidat wajah tersebut. Tujuannya adalah agar satu wajah yang sama tidak dideteksi sebagai beberapa wajah. Implementasi dari proses ini dapat dilihat pada kutipan program berikut:

void __fastcall TForm1::Merge1Click(TObject *Sender) { TRect r; bool blRectMerged; double pctOverlappedPixel; if (nFaceFound==0) { nMergedFaceFoundStage1 = 0; return; }

for (int i=0; i<1000; i++) rMergedFace1[i].nRect = 1; rMergedFace1[1].rect = cFace.rect[1];

rMergedFace1[1].totalNNvalue = cFace.value[1]; nMergedFaceFoundStage1 = 1;

for (int i=2; i<=nFaceFound; i++) { blRectMerged = false;

for (int j=1; j<=nMergedFaceFoundStage1; j++) { TRect newOverlappedRect;

CalcOverlappedRect(cFace.rect[i], rMergedFace1[j].rect, newOverlappedRect, pctOverlappedPixel, dummy);

if (pctOverlappedPixel > THRESHOLD_PCT_OVERLAPPEDPIXEL) { // merge to previous face

rMergedFace1[j].rect = newOverlappedRect; rMergedFace1[j].nRect++; rMergedFace1[j].totalNNvalue += cFace.value[i]; blRectMerged = true; break; } } if (!blRectMerged) {

// not merged to any previous face nMergedFaceFoundStage1++; rMergedFace1[nMergedFaceFoundStage1].rect = cFace.rect[i]; rMergedFace1[nMergedFaceFoundStage1].totalNNvalue = cFace.value[i]; } }

for (int j=1; j<=nMergedFaceFoundStage1; j++) rMergedFace2[j].rect = rMergedFace1[j].rect; nMergedFaceFound = nMergedFaceFoundStage1;

AnsiString s = AnsiString("nMergedFaceFoundStage1=") +

nMergedFaceFoundStage1; Memo1->Lines->Add(s);

(59)

// draw boxes on merged face

Image1b->Picture->Assign(Image1->Picture); for (int j=1; j<=nMergedFaceFound; j++) { r = rMergedFace1[j].rect;

Form1->Image1b->Canvas->Brush->Style = bsClear; Form1->Image1b->Canvas->Pen->Mode = pmCopy; Form1->Image1b->Canvas->Pen->Color = clWhite;

Form1->Image1b->Canvas->Rectangle(r.Left, r.Top, r.Right, r.Bottom); Form1->Image1b->Canvas->Pen->Color = clBlack;

Form1->Image1b->Canvas->Rectangle(r.Left-1, r.Top-1, r.Right+1, r.Bottom+1); } Image1->Hide(); Image1b->Show(); Label6->Caption = AnsiString(nFaceFound) + " ---> " + nMergedFaceFound; }

(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengukuran Evaluasi Unjuk Kerja

Untuk mengukur evaluasi unjuk kerja dari detektor wajah, pada umumnya digunakan dua parameter, yaitu detection rate dan false positive rate [Yang, 2002]. Detection rate adalah perbandingan antara jumlah wajah yang berhasil dideteksi dengan jumlah seluruh wajah yang ada. Sedangkan false positive rate

adalah banyaknya subcitra non-wajah yang dideteksi sebagai wajah.

4.2. Hasil Deteksi Kandidat Wajah

Pada saat dilakukan deteksi wajah pada citra, biasanya sebuah wajah terdeteksi pada beberapa lokasi yang berdekatan. Lokasi-lokasi ini disebut dengan kandidat wajah. Untuk menentukan lokasi final dari wajah perlu dilakukan proses penggabungan (merging) sebagaimana telah dijelaskan pada bab 3.

Gambar 4.1. adalah contoh hasil deteksi sebelum dan sesudah proses

merging. Tampak bahwa sebelum dilakukan proses merging, terdapat beberapa

lokasi kandidat wajah yang terdeteksi, sedangkan kenyataannya hanya terdapat satu wajah di dalam citra tersebut. Setelah dilakukan proses merging, hanya satu lokasi yang dianggap sebagai lokasi wajah yang terdeteksi.

(61)

Gambar 4.1. Hasil deteksi sebelum dan sesudah proses merging

4.3. Hasil Deteksi

Gambar 4.2. dan 4.3. menunjukkan contoh-contoh hasil deteksi yang dilakukan pada beberapa citra pengujian. Untuk membandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dilakukan pengujian dengan data citra standar yang sering digunakan dalam penelitian di bidang deteksi wajah.

Data citra standar yang digunakan berasal dari MIT yang terdiri dari 23 file citra yang secara keseluruhan berisi 149 wajah (MIT-23). Kumpulan citra standar ini pertama kali dipublikasikan pada [Sung, 1994]. Pada data uji ini diperoleh hasil detection rate sebesar 71,14% dan false positives sebanyak 62. Hasil ini diperoleh dengan melakukan training yang menggunakan 3000 data wajah dan 5200 data non-wajah.

Gambar

Gambar 3.1. Sistem Deteksi Wajah
Gambar 3.3. DFD level 1 Sistem Trainer JST
Gambar  3.4  menunjukkan  DFD  level  0  dari  Sistem  Detektor  Wajah.
Gambar 3.5. DFD level 1 Sistem Detektor Wajah
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Gambar 10 merupakan hasil pengujian panel surya, pada gambar 10(a) menunjukkan maksimal daya yang dihasilkan panel surya adalah 44,5 Watt dan Maximum Power Point (MPP)

Kesimpulannya perkara dengan Nomor Register 435/Pdt.G/2013/PA.Mdn, Factor yang menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan karena telah terjadi pemalsuan identitas juga tidak

: A Case Study on Doctoral Scholarship Grantees Learning Speaking for IELTS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Menurut SNI Pd T-14-2003 mengenai perencanaan tebal perkerasan jalan beton semen, apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2%, maka harus dipasang pondasi bawah

Dari pengujian alat bantu safe zone area tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa alat bantu safe zone ini dapat menambah safety saat proses run up dan tentunya

Dari keempat siswa yang diberikan tindakan konseling behavioral dengan teknik penguatan positif dan hasil dari penyebaran kuesioner tersebut ada dua orang siswa yang

Dari hasil penelitian setelah dilakukan perawatan luka di rumah pada pasien ulkus diabetes melitus terdapat pengaruh kecemasan yang semula sebelum dilakukan

Secara garis besar, apabila dilihat dari segi budaya, maka pendidikan masa lampau yang tersurat atau tersirat menjadi dasar peyelenggara pendidikan nasional dapat dibedakan