• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Psychological Well-Being dan Work Engagement pada Karyawan yang Bekerja di Lokasi Tambang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Psychological Well-Being dan Work Engagement pada Karyawan yang Bekerja di Lokasi Tambang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Psychological Well-Being dan Work Engagement pada Karyawan

yang Bekerja di Lokasi Tambang

Kimberly dan Siti Dharmayati Bambang Utoyo Program Studi Sarjana, Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara psychological well-being dan work engagement pada karyawan yang bekerja di lokasi tambang. Pengukuran psychological well-being dilakukan dengan menggunakan alat ukur The Scale of Psychological Well-being

(SPWB) yang disusun oleh Carol D. Ryff (1989) dan untuk mengukur work engagement

digunakan alat ukur Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang disusun oleh Schaufeli dkk. pada tahun 2002. Partisipan penelitian berjumlah 75 orang, memiliki karakteristik usia 20-44 tahun dan telah bekerja selama lebih dari satu tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological well-being dan work engagement ( r = 0.635, p<0.01, two tails), yang artinya peningkatan pada psychological well-being diikuti dengan peningkatan pada work engagement karyawan.

Kata Kunci :

Pekerja Tambang; Psychological Well-Being; Work Engagement Abstract

This research was conducted to find the correlation between psychological well-being and work engagement in mining site workers. Psychological well-being was measured by using

The Scale of Psychological Well-being (SPWB) which is developed by Carol D. Ryff (1989) and work engagement was measured by using Utrecht Work Engagement Scale (UWES) that have been developed by Schaufeli et al. (2002). The participants of this research are 75 persons, with age ranges between 20-44 years old and had been working in the mining site for at least one year. The result shows that psychological well-being is positively correlated with work engagement (r = 0.635, p<0.01, two tails), which means that increase in psychological well-being leads to increase of employee’s work engagement.

Keywords:

Mining Site Worker; Psychological Well-Being; Work Engagement Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan jaman, pandangan organisasi atau perusahaan mengenai karyawan pun berubah, dari yang memandang karyawan sebagai sumber daya (resources) yang dapat digunakan oleh organisasi untuk mencapai tujuan, menjadi karyawan sebagai modal (capital) penting bagi perusahaan untuk menjalankan, mengembangkan, dan mencapai tujuan organisasi secara optimal. Pandangan ini membuat karyawan dilihat memiliki potensi yang dapat memberikan keuntungan kompetitif pada organisasi dan juga sebagai pemeran utama dalam menggunakan dan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki organisasi (Ivanović, Galičić, & Krstevska, 2010). Dengan memandang karyawan sebagai modal,

(2)

organisasi harus memberikan perhatian khusus bagi karyawannya dan selalu berusaha untuk memberikan kenyamanan, serta memastikan keamanan karyawan selama bekerja, sehingga karyawan dapat merasa pekerjaan mereka sebagai salah satu pengalaman hidup yang menyenangkan. Pandangan ini membuat organisasi saat ini fokus untuk dapat membuat karyawan mereka terikat dengan pekerjaan dan organisasinya.

Keterikatan karyawan dengan pekerjaannya atau yang disebut juga dengan work engagement adalah suatu kondisi atau derajat yang menunjukkan seberapa besar seseorang benar-benar menghayati peran kerjanya (Saks, 2006). Work engagement didefinisikan oleh Schaufeli dan Bakker (2003) sebagai suatu kondisi pikiran yang positif terkait pekerjaan. Kahn (1990) menyebutkan bahwa dalam engagement, seseorang bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif, dan emosi selama mereka bekerja. Schaufeli dan Bakker (2003) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki work engagement akan menunjukkan level energi yang tinggi, merasa pekerjaan yang dilakukan berarti dan signifikan, merasa tertantang dengan tugas-tugas yang diberikan, memiliki level konsentrasi yang tinggi, dan selalu antusias serta senang ketika mengerjakan tugasnya. Lebih lanjut, Schaufeli dan Bakker (2003) menjelaskan orang yang tidak memiliki work engagement

digambarkan hanya memiliki sedikit tenaga, kesenangan dan stamina dalam hal yang berkaitan dengan pekerjaan, tidak merasa pekerjaannya bermakna atau menantang, tidak menghayati pekerjaan, dan tidak mengalami kesulitan untuk lepas dari pekerjaannya tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli dan Bakker (2003), disebutkan bahwa

work engagement berhubungan dengan kesehatan karyawan yaitu rendahnya tingkat depresi atau stres yang. Selain itu, work engagement juga dikatakan berhubungan dengan sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan organisasinya, seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan rendahnya tingkat turnover karyawan, serta dapat mempengaruhi organizational citizenship behavior. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Megani (2012) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara work engagement dengan kesiapan karyawan untuk berubah. Hal ini berarti bahwa karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan memiliki kesiapan untuk berubah yang juga tinggi.

Untuk dapat meningkatkan engagement karyawan tersebut, organisasi sebaiknya perlu mengetahui hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi engagement. Simon (2011) menyebutkan bahwa seorang karyawan dapat engaged jika ia menemukan arti dan motivasi personal dalam bekerja, mendapat dukungan interpersonal yang positif, bekerja dalam lingkungan kerja yang efisien, memiliki keterlibatan dalam pengambilan keputusan, memiliki

(3)

kesempatan untuk mengungkapkan ide, kesempatan untuk mengembangan diri, dan jika organisasi menunjukkan kepeduliannya pada kesehatan dan well-being karyawan.

Kesehatan dan well-being atau psychological well-being karyawan merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi hidup seseorang, termasuk dalam konteks kerja.

Psychological well-being dapat didefinisikan sebagai pencapaian kesempurnaan yang merepresentasikan realisasi potensi individu yang sesungguhnya (Ryff, 1995). Bila dihubungkan dengan pekerjaan, psychological well-being merupakan faktor yang dapat mempengaruhi performa dan sikap karyawan, dimana karyawan yang mampu menyadari potensi dirinya dan merealisasikan potensi tersebut, akan dapat menunjukkan performa yang baik.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, psychological well-being pada karyawan memiliki peran yang signifikan dalam mempengaruhi performa kerja seseorang. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wright, Cropanzano, dan Bonett (2007) yang menemukan bahwa kepuasan kerja dapat menjadi prediktor dari perfoma kerja jika orang tersebut memiliki psychological well-being yang tinggi. Page dan Vella-Brodrick (2009) juga menyebutkan bahwa menjaga dan meningkatkan kesehatan mental karyawan dapat meningkatkan performa kerja karyawan dan menurunkan tingkat turnover dalam organisasi. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aggarwal-Gupta, Vohra, dan Bhatnagar (2010) yang menyebutkan bahwa meningkatnya well-being individu dalam organisasi dapat mengarahkan terjadinya peningkatan reaksi afektif terhadap pekerjaan dan juga mempengaruhi tingkat turnover serta absen. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Aggarwal-Gupta, Vohra, dan Bhatnagar (2010) ditemukan bahwa psychological well-being

memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen organisasi dan juga persepsi karyawan terhadap dukungan yang diberikan oleh organisasi.

Selain mempengaruhi performa kerja, tingkat turnover, komitmen berorganisasi, dan

organizational citizenship behavior, psychological well-being juga berkaitan dengan keterikatan seseorang akan pekerjaannya. Karyawan yang memiliki psychological well-being

yang tinggi akan memiliki keterikatan dengan pekerjaan yang tinggi. Pandangan tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Robertson dan Cooper (2010), yang mengungkapkan bahwa interaksi antara psychological well-being dan engagement yang dimiliki karyawan dapat mengarah pada terciptanya kondisi full engagement, dimana pada kondisi tersebut karyawan memiliki kondisi psikologis yang sehat, sekaligus tingkat

engagement tinggi yang akan berlangsung dalam waktu lama. Lebih lanjut, Robertson dan Cooper (2010) juga mengatakan bahwa psychological well-being merupakan salah satu faktor

(4)

yang mempengaruhi engagement, dimana tingginya well-being dapat membantu meningkatkan engagement dan rendahnya well-being akan menyebabkan rendahnya

engagement.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara psychological well-being dan work engagement, yang akan dilakukan pada para karyawan yang bekerja di lokasi tambang di Indonesia. Peneliti memilih karyawan yang bekerja di lokasi tambang karena peneliti melihat adanya isu menarik yang membedakan karyawan yang bekerja di lokasi tambang dengan karyawan kantoran pada umumnya, seperti jam kerja yang panjang, lokasi kerja yang terpencil, resiko kerja yang tinggi, dll. Semua kondisi kerja tersebut biasanya dikompensasi oleh perusahaan dengan memberikan gaji dan tunjangan yang tinggi untuk karyawannya, dengan harapan bahwa karyawan dapat merasa perusahaan sangat menghargai kerja keras mereka dan dapat meningkatkan well-being

karyawan.

Akan tetapi, bagi karyawan yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda, mereka tidak hanya memiliki tujuan untuk mendapatkan karir yang baik, tetapi mereka juga memiliki tugas perkembangan untuk mencari pasangan hidup dan membangun keluarga (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Seperti yang disebutkan oleh Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) bahwa masa dewasa muda adalah masa dimana seseorang perlu untuk membangun hubungan intim dengan orang lain dan juga membentuk keluarga. Dengan berada di lokasi penambangan (site) yang terpencil, kesempatan bagi para karyawan untuk bertemu dengan keluarganya dan membangun hubungan dengan orang lain menjadi terbatas. Mereka kemungkinan hanya dapat membangun hubungan pertemanan dengan sesama karyawan yang bekerja di tempat yang sama atau dengan penduduk sekitar. Oleh karena itu, penelitian ini akan dilakukan untuk melihat hubungan psychological well-being dan work engagement pada pekerja tambang yang berada pada rentang usia dewasa muda.

Tinjauan Teoritis Work Engagement

Dalam penelitian ini akan digunakan pengertian work engagement yang dikembangkan oleh Schaufeli dan Bakker (2003). Work engagement didefinisikan Schaufeli dan Bakker (2003, pp. 4-5) sebagai:

”A positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and absorption. Rather than a momentary and specific state, engagement

(5)

refers to a more persistent and pervasive affective-cognitive state that is not focused on any particular object, event, individual, or behavior.

Definisi tersebut, menyatakan bahwa work engagement adalah kondisi pikiran yang positif dan berkaitan dengan pekerjaan, yang dicirikan dengan vigor, dedication, dan absorption.

Vigor merujuk pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi selama bekerja, kemauan untuk menyalurkan tenaga pada pekerjaan, dan ketahanan walaupun menghadapi kesulitan.

Dedication merujuk pada keikutsertaan yang intens pada pengerjaan tugas dan merasakan adanya signifikansi, antusias, inspirasi, rasa bangga, dan tantangan terhadap pekerjaan yang dimiliki. Absorption merujuk pada konsentrasi penuh dan dengan senang hati mengerjakan pekerjaannya, dimana biasanya waktu terasa cepat berlalu dan merasa sulit untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Engagement yang diungkapkan oleh Schaufeli dan Bakker (2003) ini tidak merujuk pada kondisi yang sesaat dan spesifik, tetapi lebih pada kondisi afeksi-kognitif yang terus berlanjut dan nyata, yang tidak terfokus pada objek, situasi, individu, atau tingkah laku tertentu.

Psychological Well-Being

Konsep mengenai psychological well-being telah menjadi perhatian banyak peneliti sampai saat ini. Penelitian mengenai psychological well-being kebanyakan diarahkan oleh dua konsep utama dari positive functioning, yaitu konsep yang diungkapkan oleh Bradburn dimana ia mendefinisikan kebahagian sebagai bentuk keseimbangan antara afek positif dan negatif, dan konsep yang menekankan pada kepuasan hidup (life satisfaction) sebagai indikator utama wellbeing (Ryff & Keyes, 1995).

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima dan mempertahankan sikap positif terhadap dirinya sendiri, memiliki hubungan yang baik dan dapat menunjukkan kasih sayang atau kepedulian pada orang lain, tidak bergantung pada orang lain serta memiliki standar personal, mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi dirinya, memiliki tujuan hidup dan percaya bahwa hidupnya berarti, serta dapat mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi yang dimiliki. Dalam penelitian ini, akan digunakan pengertian psychological well-being yang dikembangkan oleh Ryff.

Dalam memformulasikan teori mengenai psychological well-being, Ryff (1989) menjelaskan mengenai beberapa dimensi yang telah ia teliti untuk mengoperasionalkan

(6)

dimensi tersebut. Berikut adalah dimensi psychological well-being yang diungkapkan oleh Ryff (1989), antara lain:

Penerimaan diri (Self acceptance). Penerimaan diri didefinisikan sebagai hal utama dari kesehatan mental, karakteristik aktualisasi diri, fungsi yang optimal, dan kedewasaan. Dengan mempertahankan sikap positif terhadap diri sendiri dapat menjadi karakteristik utama dari fungsi psikologis yang positif.

Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others). Kemampuan untuk mencintai dilihat sebagai komponen utama dari kesehatan ental. Orang yang telah mencapai self actualization digambarkan sebagai orang yang memiliki empati yang kuat dan kasih sayang untuk semua manusia, serta dapat menunjukkan cinta yang lebih besar, persahabatan yang lebih kuat, dan identifikasi terhadap orang lain yang lebih sempurna. Hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan salah satu kriteria dari kedewasaan. Teori perkembangan pada orang dewasa juga menekankan pada pencapaian kedekatan hubungan dengan orang lain (intimacy) serta pemberian arahan dan petunjuk pada orang lain (generativity). Oleh karena itu, hubungan dengan orang lain menjadi salah satu hal penting dalam konsep psychological well-being.

Otonomi (autonomy). Orang yang dapat berfungsi secara optimal digambarkan sebagai orang yang memiliki internal locus of evaluation, dimana seseorang tidak melihat atau bergantung pada orang lain untuk persetujuan, akan tetapi mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan standar personal.

Penguasaan lingkungan (Environmental mastery). Kemampuan seseorang untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya merupakan salah satu karakteristik kesehatan mental. Perkembangan yang terjadi selama hidup juga digambarkan dengan adanya kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan pada kemampuan seseorang untuk menjadi lebih baik di dunia dan merubahnya secara kreatif melalui aktivitas fisik atau mental. Perspektif ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan bagian penting dalam kerangka kerja psychological well-being.

Tujuan hidup (purpose in life). Kesehatan mental diartikan sebagai adanya kepercayaan yang memberikan seseorang perasaan bahwa hidup memiliki tujuan dan arti. Orang yang dapat berfungsi secara positif memiliki tujuan, intensi, dan arahan, yang berkontibusi pada timbulnya perasaan bahwa hidup itu bermakna.

Pengembangan diri (personal growth). Fungsi psikologis yang optimal membutuhkan tidak hanya seseorang dapat mencapai kelima hal yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga

(7)

harus terus mengembangkan potensi dirinya untuk terus berkembang sebagai seorang manusia. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi yang dimiliki merupakan perspektif utama dari pengembangan diri.

Metode Penelitian

Berdasarkan cara perolehan data, penelitian ini termasuk kedalam tipe penelitian kuantitatif karena data yang akan digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari skor

psychological well-being dan skor work engagement. Berdasarkan tujuan penelitian menurut Kumar (2005), penelitian ini termasuk kedalam tipe penelitian korelasional karena ingin melihat hubungan antara psychological well-being dengan work engagement. Berdasarkan sifat penelitian (nature of investigation), penelitian ini termasuk dalam non-experimental study dimana dalam penelitian ini hanya akan dilihat hubungan antara kedua variabel tanpa melakukan manipulasi.

Penelitian ini ditujukan kepada karyawan perusahaan pertambangan dan perminyakan yang bekerja di lokasi tambang dan sampel penelitian ini adalah karyawan-karyawan dengan range usia 20-44 tahun, yang sudah bekerja selama minimal satu tahun. Lokasi tambang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lokasi tambang yang ada di pulau-pulau Indonesia, seperti di Kalimantan (Barat, Selatan, Timur, Utara), Sumatera (Selatan, Utara, Riau), Jawa (Timur dan Barat), dan Papua (Timika). Sampel penelitian diambil dengan menggunakan desain non-probablity sampling. Secara lebih spesifik, desain yang akan digunakan adalah

convenience sampling, yaitu berdasarkan kesediaan partispan untuk mengisi kuesioner (Graveter & Forzano, 2009). Selain itu, untuk lebih memudahkan pencarian partisipan, digunakan pula snowball sampling (Kumar, 2005) dimana peneliti terlebih dahulu mencari partisipan yang memenuhi karakteristik penelitian dan kemudian meminta bantuan partisipan tersebut untuk mengenalkan dan memberikan informasi kontak teman kerja partisipan kepada peneliti, yang juga memiliki karakteristik serupa.

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini akan digunakan kuesioner. Terdapat beberapa keuntungan dalam menggunakan kuesioner, yaitu lebih murah, dapat menghemat waktu, lebih mudah untuk disebarkan, dan memiliki anonimitas yang lebih besar dibandingkan metode pengumpulan data lainnya (Kumar, 2005). Anonimitas yang tinggi ini terjadi karena tidak ada interaksi tatap muka antara partisipan dan peneliti, sehingga partisipan dapat merasa lebih nyaman dalam memberikan jawaban. Dalam penelitian ini, kuesioner akan diberikan kepada partisipan secara online atau melalui e-mail. Cara ini dipilih

(8)

karena dianggap yang paling memungkinkan untuk dilakukan, mengingat lokasi kerja partisipan yang sulit dijangkau.

Pengukuran variabel work engagement dilakukan dengan menggunakan alat ukur

Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang disusun oleh Schaufeli dkk. pada tahun 2002 dan memiliki tiga aspek, yaitu vigor, dedication, dan absorption yang sudah diadaptasi oleh Wijaya (2011) dan diuji kembali reliabilitas dan validitasnya oleh Megani (2012). Wijaya (2011) melakukan adaptasi dan menghasilkan alat ukur UWES yang memiliki 20 item dan menggunakan skala Likert dengan tujuh skala, mulai dari tidak pernah hingga selalu (0-6). Alat ukur ini memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,942 dan validitas konstruk internal consistency yang signifikan pada los 0.01. Megani (2012) kembali melakukan uji validitas dan reliabilitas alat ukur UWES yang diadaptasi oleh Wijaya (2011). Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa alat ukur UWES hasil adaptasi memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,928 dan validitas internal consistency yang signifikan pada los 0.01.

Pengukuran variabel psychological well-being dilakukan dengan menggunakan alat ukur The Scale of Psychological Well-being (SPWB) yang telah diadaptasi oleh para peneliti yang tergabung dalam payung penelitian Psychological Well-Being dibawah bimbingan Dra. Dharmayati Bambang Utoyo, MA., Ph.D. Alat ukur ini telah diukur validitas dan reliabilitasnya sejak tahun 2011. Puspa (2012) dan Aryaningtias (2012) telah juga menggunakan alat ukur ini pada sampel remaja dan dewasa muda. Alat ukur ini memiliki enam dimensi yaitu self acceptance, positive relations with orhers, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Masing-masing dimensi memiliki 3 item, sehingga total item dalam alat ukur SPWB ini adalah 18 item. Skala yang digunakan dalam alat ukur ini adalah skala Likert dengan enam skala, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Agak Tidak Setuju (ATS), Agak Setuju (AS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Alat ukur ini memiliki dua jenis item, yaitu item favourable dan item unfavourable. Skor yang diberikan untuk item favourable adalah 1 untuk STS, 2 untuk TS, dan seterusnya sampai 6 untuk SS. Pemberian skor untuk item unfavourable dilakukan secara terbalik (reverse score).

Selanjutnya, pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, antara lain; teknik analisis statistik deskriptif yang digunakan untuk mengolah gambaran data partisipan, yang dilakukan dengan menghitung mean, frekuensi, dan presentase data yang diperoleh; Pearson Correlation yang digunakan untuk melihat hubungan antara psychological well-being dan work engagement.; independent sample t-test yang digunakan untuk membandingkan mean dua kelompok, yaitu mean dua variabel pada kelompok usia dan jenis

(9)

kelamin; dan one way anova yang digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean lebih dari dua kelompok, yaitu mean pada kelompok berdasarkan status pernikahan, penghasilan, dan sistem keamanan.

Hasil Penelitian

Tabel 1 menunjukkan bahwa psychological well-being dan work engagement memiliki korelasi yang signifikan (r = 0.635, p<0.01, two tails). Hasil korelasi menunjukkan hubungan yang positif, dimana peningkatan pada psychological well-being diikuti dengan peningkatan pada work engagement karyawan. Dengan koefisien korelasi r = 0.635, maka diperoleh r2 = 0.403, yang berarti bahwa 40.3% dari variasi skor work engagement dapat dijelaskan oleh

psychological well-being. Sesuai dengan kriteria Cohen (dalam Gravetter & Wallnau, 2007), nilai r2 yang lebih besar dari 0.25 berarti memiliki pengaruh yang kuat. Dengan kata lain,

psychological well-being dan work engagement pada karyawan yang bekerja di lokasi tambang memiliki hubungan yang cukup kuat dengan r2 = 0.403.

Tabel 1. Hubungan antara psychological well-being dan work engagement pada karyawan yang bekerja di lokasi tambang

Variabel r r2 Sig. (p)

psychological well-being dan

work engagement 0.635* 0.403 0.01

*Korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed)

Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0.008, p<0.05) antara skor rata-rata psychological well-being pada usia 20 – 24 tahun 25 – 44 tahun. Begitu pula dengan rata-rata skor work engagement, dimana skor rata-rata partisipan yang berusia 20 – 24 tahun lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata skor partisipan yang berusia 25 – 44 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata partisipan yang berusia antara 25 – 44 tahun memiliki work engagement lebih besar dibandingkan dengan partisipan yang berusia 20 – 24 tahun.

Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor rata-rata laki-laki dan perempuan, baik pada psychological well-being maupun pada work engagement. Berdasarkan status perkawinan, terdapat perbedaan yang signifikan (p= 0.002, p<0.05) dalam skor rata-rata psychological well being yang diperoleh partisipan yang single

(M = 4,48), sudah menikah (M = 4,74), dan duda/janda (M = 5,5). Perbedaan juga terjadi pada skor rata-rata work engagement, dimana partisipan yang berstatus duda/janda memiliki skor rata-rata paling tinggi (M = 5,125), diikuti dengan partisipan yang berstatus sudah menikah

(10)

(M = 4,76), dan terakhir partisipan yang belum menikah dengan skor work engagement rata-rata sebesar M = 4,55. Walaupun begitu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p= 0.179, p<0.05) antara skor rata-rata work engagement berdasarkan status pernikahan.

Berdasarkan analisis mengenai penghasilan, terdapat perbedaan yang signifikan baik pada skor rata-rata psychological well-being (p= 0.011, p<0.05), maupun work engagement

(p= 0.027, p<0.05). Dari tabel 4.3.3 tersebut juga dapat dilihat bahwa rata-rata skor

psychological well-being paling tinggi diperoleh oleh partisipan yang memiliki penghasilan lebih dari 50 juta rupiah (M = 5,11) dan yang paling rendah adalah partisipan dengan penghasilan kurang dari 5 juta rupiah (M = 4,25). Hal tersebut juga terjadi pada work engagement, dimana rata-rata skor work engagement paling tinggi terlihat pada partisipan yang memiliki penghasilan lebih dari 50 juta rupiah (M = 5,175) dan skor rata-rata paling rendah terlihat pada partisipan yang memiliki penghasilan lebih kecil dari 5 juta rupiah (M = 4,25).

Berdasarkan analisis mengenai persepsi terhadap sistem keamanan yang ada di tempatnya bekerja, terlihat terdapat perbedaan yang signifikan pada skor rata-rata psychological well-being (p= 0.001, p<0.05), dimanaskor rata-rata paling rendah diperoleh oleh partisipan yang mempersepsikan sistem keamanan di tempat kerjanya kurang baik (M = 3,98). Hal serupa juga terjadi pada rata-rata skor work engagement, dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara partisipan yang mempersepsikan sistem keamanan di tempat kerjanya kurang baik, cukup baik, dan sangat baik, dengan signifikansi sebesar p= 0.000, p<0.05.

Tabel 2. Gambaran perbedaan mean masing-masing variabel berdasarkan karakteristik demografis

Karakteristik Demografis

Psychological Well-Being Work Engagement

mean SD sig. mean SD sig.

Usia 20-24 25-44 4,315 0,55 0.008** 4,28 0,775 0.045* 4,685 0,449 4,739 0,53 Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 4,614 0,435 0.922 4,63 0,595 0.577 4,594 0,724 4,73 0,7 Status Belum menikah 4,48 0,53 0.002** 4,55 0,67 0.179 Menikah 4,74 0,322 4,76 0,503 Duda/Janda 5,5 0,314 5,125 0,389

(11)

Pendapatan < Rp 5 juta 4,25 0,57 0.011* 4,25 0,67 0,027* Rp 5 -10 juta 4,62 0,388 4,644 0,49 Rp 10 – 20 juta 4,88 0,443 5,004 0,61 Rp 20 – 30 juta 4,59 0,678 4,72 0,88 Rp 30 – 50 juta 4,83 0 4,35 0 > Rp 50 juta 5,11 0,314 5,175 0,389 Sistem Keamanan Kurang Baik Cukup Baik Sangat Baik 3,98 0,74 0.001** 3,8 0,59 0.000** 4,714 0,389 4,792 0,487 4,576 0,47 4,589 0,66

* Signifikan pada level 0.05 (2-tailed) ** Signifikan pada level 0.01 (2-tailed) Kesimpulan dan Diskusi

Secara umum, kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara psychological well-being dan work engagement pada karyawan yang bekerja di lokasi tambang. Hubungan antara psychological well-being dan work engagement

ini menunjukkan hubungan yang positif, yang artinya peningkatan pada kondisi psychological well-being diikuti dengan peningkatan pada work engagement karyawan yang bekerja di lokasi tambang. Hubungan positif ini juga dapat berarti sebaliknya yaitu, peningkatan pada

work engagement diikuti dengan peningkatan pada psychological well-being karyawan yang bekerja di lokasi tambang.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara psychological well-being dan work engagement pada karyawan yang bekerja di lokasi tambang. Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Robertson dan Cooper (2010) bahwa psychological well-being merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi engagement, dimana tingginya well-being dapat membantu meningkatkan

engagement dan rendahnya well-being akan menyebabkan rendahnya engagement. Hal ini juga sesuai dengan korelasi positif yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu peningkatan pada kondisi psychological well-being juga akan diikuti dengan peningkatan pada work engagement karyawan yang bekerja di lokasi tambang. Selain itu, hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Robertson, Birch, dan Cooper (2012) yang

(12)

menemukan bahwa psychological well-being dapat mempengaruhi timbulnya sikap kerja yang positif dan meningkatkan produktivitas mereka.

lalui hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa psychological well-being merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi work engagement. Dengan demikian, adanya kondisi psikologis yang baik, ketika seseorang dapat menyadari dan memanfaatkan potensi dirinya secara utuh, akan mempengaruhi performa dan juga penghayatan seseorang terhadap apa yang ia kerjakan. Hal ini juga berlaku sebaliknya, ketika seseorang memiliki keterikatan (engagement) dengan pekerjaannya, ia akan memiliki perasaan dan pikiran yang lebih positif dalam hubungannya dengan pekerjaan (Schaufeli & Bakker, 2004).

Robertson dan Copper (2009) menyebut hal tersebut sebagai keuntungan jangka panjang bagi karyawan karena perasaan berkomitmen dan positif terhadap pekerjaan tersebut berhubungan dengan psychological well-being mereka. Sebagai bagian dari kehidupan seseorang, bekerja juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Ketika seseorang merasa senang dan nyaman dengan apa yang ia kerjakan, tentunya akan berpengaruh pada kondisi psikologis orang tersebut, yang kemudian juga dapat membuatnya menjadi terikat dengan pekerjaan tersebut.

Dari hasil analisis mengenai data demografis, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam skor rata-rata psychological well-being pada usia 20 – 24 tahun dan 25 – 44 tahun. Hal ini mungkin terjadi karena pada rentang usia 25 – 44 tahun, terdapat dua tahap perkembangan, yaitu tahap perkembangan dewasa muda dan juga dewasa madya. Orang yang berada pada tahap perkembangan dewasa madya cenderung memiliki keadaan fisik, kognitif, dan emosi yang baik, serta merasa nyaman dengan kualitas hidup mereka (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Begitu pula dengan rata-rata skor work engagement, dimana rata-rata partisipan yang berusia antara 25 – 44 tahun memiliki work engagement lebih besar dibandingkan dengan partisipan yang berusia 20 – 24 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli dan Bakker (2003), yang mengatakan semakin tua karyawan, mereka akan semakin engaged dengan pekerjaannya.

Selanjutnya, bila dilihat berdasarkan jenis kelamin, tampak bahwa tidak terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, baik pada

psychological well-being maupun pada work engagement. Penemuan ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ryff dan Singer (1996) bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada skor psychological well-being. Pada variabel

work engagement, skor rata-rata laki-laki tidak jauh berbeda dengan skor rata-rata dari partisipan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Drake (2012)

(13)

yang menemukan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan keterikatan (engagement) seseorang dengan pekerjaannya.

Selain berdasarkan usia dan jenis kelamin, penelitian ini juga memberikan informasi mengenai gambaran psychological well-being dan work engagement pekerja tambang berdasarkan pendapatan yang mereka peroleh. Hasil penelitian menunjukkan skor

psychological well-being paling tinggi diperoleh oleh partisipan yang memiliki penghasilan lebih dari 50 juta rupiah dan skor paling rendah diperoleh oleh partisipan dengan penghasilan kurang dari 5 juta rupiah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ryff dan Singer (1996) bahwa ketersediaan pendidikan, status, dan pendapatan yang baik menjadi faktor yang dapat membantu seseorang dalam menghadapi tekanan, tantangan, dan keberagaman dalam hidup. Warr’s vitamin model juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa ketersediaan uang dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang (Hodson, 2001). Hal serupa juga terjadi pada variabel work engagement, dimana skor rata-rata paling tinggi terlihat pada partisipan yang memiliki penghasilan lebih dari 50 juta rupiah dan skor rata-rata paling rendah terlihat pada partisipan yang memiliki penghasilan lebih kecil dari 5 juta rupiah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Vazirani (2007) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement, bahwa sistem kompensasi yang baik dapat membuat karyawan termotivasi untuk bekerja dan dapat membantu meningkatkan engagement

karyawan.

Berdasarkan sistem keamanan, skor rata-rata paling rendah, baik pada psychological well-being maupun pada work engagement, terdapat pada partisipan yang mempersepsikan sistem keamanan di tempat kerjanya kurang baik. Dua hasil yang diperoleh tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aggarwal-Gupta, Vohra, dan Bhatnagar (2010) bahwa persepsi akan dukungan dari organisasi mempengaruhi well-being karyawan. Pada variabel work engagement, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Vazirani (2007) bahwa tingkat engagement menjadi rendah ketika karyawan merasa tidak aman selama bekerja.

Walaupun begitu, hasil mengenai persepsi terhadap sistem keamanan ini mungkin tidak dapat memberikan gambaran yang cukup baik karena dalam proses pengambilan data, peneliti tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan sistem keamanan, sehingga partisipan penelitian mungkin saja mengartikan sistem keamanan tersebut secara berbeda. Selain itu, penelitian ini juga memiliki kekurangan lainnya antara lain, pertama, penyebaran kuesioner yang dilakukan tanpa memfokuskan pada suatu perusahaan tertentu. Hal ini akan dapat mempengaruhi hasil penelitian yang diperoleh karena adanya perbedaan

(14)

budaya organisasi di tempat partisipan penelitian bekerja. Perbedaan budaya ini dapat mempengaruhi keseluruhan aspek pekerjaan dan organisasi, karena budaya merupakan suatu nilai yang menjadi panduan karyawan dalam menilai lingkungan dan bersikap (Jex & Britt, 2008).

Kedua, tidak adanya kontrol terhadap beberapa hal, antara lain status kerja dan posisi karyawan. Perbedaan status ini juga mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian yang diperoleh karena adanya perlakuan yang berbeda pada status karyawan tetap, karyawan kontrak, atau karyawan outsource. Kemudian, perbedaan posisi juga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini karena adanya perbedaan tugas dan tanggung jawab.

Ketiga, peneliti tidak melihat pengaruh lama kerja terhadap psychological well-being

dan work engagement karyawan. Hal ini terjadi karena banyak data yang diperoleh tidak menyertakan berapa lama mereka sudah bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja saat ini, sehingga peneliti memutuskan untuk tidak mengolahnya.

Keempat, penyebaran kuesioner yang dilakukan secara online. Penyebaran kuesioner secara online ini dilakukan oleh peneliti karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk memberikan secara langsung kepada partisipan, mengingat lokasi kerja partisipan yang sangat jauh. Hal ini membuat peneliti tidak dapat memastikan keaslian data yang diperoleh dan juga tidak dapat mengontrol karakteristik orang yang mengisi kuesioner. Akibatnya, ada beberapa data yang diperoleh memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan karakteristik partisipan penelitian, seperti usia yang melebihi batas dan lokasi kerja yang bukan berada di lokasi pertambangan.

Kelima, jumlah partisipan yang tidak terlalu besar dan tidak merata pada pengelompokkan yang dilakukan, misalnya jenis kelamin dan usia. Hal tersebut mungkin dapat mempengaruhi perhitungan statistik yang dilakukan. Akan lebih baik jika penelitian selanjutnya membuat klasifikasi yang lebih jelas dan terarah, agar dapat menyeimbangkan jumlah partisipan dalam setiap kelompok.

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan beberapa saran metodologis dan saran praktis untuk menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya. beberapa saran metodologis yang diajukan antara lain:

1. Dalam penelitian selanjutnya, akan lebih baik jika dilakukan pada satu perusahaan tambang tertentu agar dapat dipastikan bahwa seluruh partisipan memiliki budaya

(15)

organisasi yang sama. Dengan begitu, pengaruh varians budaya organisasi dapat dikurangi.

2. Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan lebih memperhatikan data demografis, seperti latar belakang pendidikan, status kerja partisipan (tetap, kontrak, atau outsource), posisi atau jabatan yang dimiliki, dan lama kerja agar memperoleh hasil penelitian yang lebih kaya dan dapat melihat perbedaan dari masing-masing variabel tersebut.

3. Dari hasil penelitian ini, terdapat perbedaan yang signifikan, baik pada variabel

psychological well-being maupun work engagement pada kategori sistem keamanan. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut tidak dapat memberikan gambaran sebenarnya karena adanya kekurangan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, dalam penelitian selanjutnya, dapat dilakukan kembali penelitian untuk melihat pengaruh sistem keamanan terhadap work engagement atau psychological well-being, dengan memberi penjelasan yang lebih komprehensif mengenai sistem keamanan yang dimaksud, seperti sistem keamanan secara fisik selama proses kerja atau sistem keamanan yang berkaitan dengan stabilitas status dan jaminan masa depan.

4. Memperbanyak jumlah partisipan yang dilibatkan dalam penelitian agar hasil yang diperoleh dapat lebih akurat.

5. Melakukan penelitian lanjutan mengenai work engagement untuk dapat memperoleh informasi yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek lain yang mungkin dapat mempengaruhi work engagement, seperti iklim dan budaya organisasi, persepsi terhadap dukungan organisasi, dll.

Selain saran metodologis, peneliti juga mengajukan beberapa saran praktis berdasarkan hasil penelitian ini, antara lain:

1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara psychological well-being dan work engagement pada karyawan tambang. Oleh karena itu, perusahaan sebaiknya benar-benar memperhatikan kondisi psikologis karyawannya. Salah satu caranya adalah dengan melakukan survei secara berkala mengenai keterikatan (engagement) dan juga aspek-aspek psikologis lainnya dari para pekerja, seperti kepuasan kerja, dll., guna memperoleh umpan balik dari pekerja mengenai kondisi psikologis mereka. Dengan cara ini, mereka akan merasa lebih diperhatikan dan didengarkan oleh organisasinya, sehingga dapat meningkatkan engagement mereka. 2. Bagi perusahaan, sebaiknya lebih memperhatikan well-being karyawan. Salah satu

caranya adalah dengan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengungkapkan keluhan atau masukan bagi perusahaan mengenai apa yang mereka sukai atau tidak

(16)

sukai dari perusahaan. Melalui cara ini, perusahaan dapat mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi perhatian karyawan, sehingga perusahaan dapat mengambil tindak lanjut terkait hal tersebut dan meningkatkan well-being karyawan.

Daftar Pustaka

Aggarwal-Gupta, M., Vohra, N., & Bhatnagar, D. (2010). Perceived organizational support and organizational commitment: the mediational influence of psychological well being.

Journal of Business and Management, 16(2), 105-124. Retrieved from http://search.proquest.com/ docview/847845672

Astriani, D. A. (2013). Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kesejahteraan psikologis karyawan yang menjalani program pengembangan karyawan di bank. (Skripsi Sarjana). Depok: Universitas Indonesia.

Drake, T. J. (2012). Assessing employee engagement: A comparison of the job engagement scale and the Utrecht work engagement scale. Available from ProQuest Dissertations and Theses database. (UMI No. 1516919)

Gravetter, F. J., & Forzano, L. A. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd

ed.). Canada: Wadsworth Cengage Learning.

Hodson, C. (2001). Psychology and work. New York, NY: Taylor & Francis.

Ivanović, S., Galičić, V., & Krstevska G. (2010). Transformation of human resources into human capital – base for acquiring competitive advantage. Tourism & Hospitality

Management, 917-924. Retrieved from

http://search.proquest.com/docview/763422398/fulltextPDF/13B9E636F03108A01E5/8 ?accountid=17242

Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational psychology: A scientist-practitioner approach (2nd ed.). New Jersey: John Wiley & Sons.

Kahn, W. A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and disengagement at work. Academy of Management Journal, 33(4), 692-724. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/199783385/

13B9E36696F71F7DAE/6?accountid=17242

Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners (2nd ed.). London: Sage Publication.

Megani, A. (2012). Hubungan antara employee engagement dan kesiapan karyawan untuk berubah (studi pada PT. X). (Skripsi Sarjana). Retrieved from http://www.digilib.ui.ac.id/

(17)

Page, K. M., & Vella-Brodrick, D. A. (2009). The ’what’, ’why’, and ’how’ of employee well being: A new model. Social Indicators Research, 90, 441-458. doi: 10.1007/s11205-008-9270-3

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed.). New York : McGraw-Hill.

Puspa, I. N. (2012). Gambaran psychological well-being pada mahasiswa yang mengalami overweight. (Skripsi Sarjana). Depok: Universitas Indonesia.

Robertson, I. T., Birch, A. J., & Cooper, C. L. (2012). Job and work attitudes, engagement and employee performance: Where does psychological well-being fit in? Leadership and Organization Development Journal, 33(2), 224-232. doi: 10.1108/01437731211216443

Robertson, I. T., & Cooper, C. L. (2010). Full engagement: The integration of employee engagement and psychological well being. Leadership and Organization Development Journal, 31(4), 324-336. doi: 10.1108/01437731011043348

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6),

1069-1081. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/

614295802/13BA4A0F71529DA6CCA/1?accountid=17242

Ryff, C. D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 4(4), 99-104. doi: 10.1111/1467-8721

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well being revisited.

Journal of Personality and Social Psychology. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/614339527/

Ryff, C. D., & Singer, B. (1996). Psychological well-being: Meaning, measurement, and implications for psychotherapy research. Psychotherapy and Psychosomatics, 65, 14-23. Retrieved from http://www.ssc.wisc.edu/

Saks, A. M. (2006). Antecedents and consequences of employee engagement. Journal of Managerial Psychology, 21(7), 600-619. doi: 10.1108/02683940610690169

Schaufeli, W., & Bakker, A. (2003). UWES Utrecht Work Engagement Scale. Preliminary Manual [Version 1, November 2003]. Utrecht University: Occupational Health Psychology Unit. Retrieved from http://www.beanmanaged.eu

Simon, S. S. (2011). The essentials of employee engagement in organizations. Journal of Contemporary Research in Management, 6(1), 63-72.

(18)

Wijaya, M. (2011). Hubungan antara employee engagement dan need for achievement pada karyawan. (Skripsi Sarjana). Depok: Universitas Indonesia.

Wright, T. A., Cropanzano, R., & Bonett, D. G. (2007). The moderating role of employee positive well being on the relation between job satisfaction and job performance.

Journal of Occupational Health Psychology, 12(2), 93-104. doi: 10.1037/1076-8998.12.2.93

Gambar

Tabel 2. Gambaran perbedaan mean masing-masing variabel berdasarkan karakteristik  demografis

Referensi

Dokumen terkait

Tidak terlepas hubungannya dengan pernyataan di atas, maka salah satu tugas dari statistik sebagai ilmu pengetahuan adalah menyajikan atau mendeskripsikan data angka yang

Isu-isu seperti “adab” dan etika perlu terus menjadi teras kepada usaha yang dilakukan di universiti (untuk memastikan manusia yang terhasil dari sistem universiti tidak

Tetapi selepas Israel berjaya menduduki wilayah-wilayah Palestin yang lain pada 1967, beberapa pemimpin Tebing Barat telah mencuba –dalam beberapa cara- untuk mewujudkan satu

Tetapi setelah dilakukan teguran oleh Pengadilan, pihak yang kalah tidak mengindahkan, maka putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap itu tidak dapat

Maka hipotesis kesepuluh yang menyatakan bahwa ROA secara persial memiliki pengaruh positive yang signifikan terhadap CAR pada Bank Umum Swasta Nasional Non

 Peserta test wawancara adalah peserta yang menempati rangking 1 s/d 3 dari hasil penggabungan nilai Test TPA dan Test Kecakapan dari masing-masing formasi.. Sedangkan

Akan tetapi tidak semua perempuan tersebut ditampilkan sebagai sampul majalah, hanya beberapa di antara mereka yang ditampilkan dalam sampul, dan direpresentasikan

(1) Dana Operasional Pimpinan DPRK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b diberikan setiap bulan kepada ketua DPRK dan wakil ketua DPRK untuk menunjang