• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki perusahaan serta sebagai informasi yang mencerminkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki perusahaan serta sebagai informasi yang mencerminkan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Hery, 2013:7). Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen dalam mengelola sumber daya yang dimiliki perusahaan serta sebagai informasi yang mencerminkan kinerja perusahaan. Menurut Algery (2013), investor cenderung hanya memerhatikan angka laba yang tersaji dalam laporan keuangan tanpa memerhatikan proses yang digunakan untuk mencapai tingkat laba tersebut. Mengetahui begitu pentingnya informasi laba ini membuat manajer sering melakukan tindakan dysfunctional behaviour (perilaku tidak semestinya). Dysfunctional behaviour tersebut dipengaruhi oleh adanya asimetri informasi dalam konsep teori keagenan.

Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan perusahaan sebagai sekumpulan kontrak yang dilakukan antara pihak pemilik modal (principal) dengan manajer (agent). Prinsipal dalam hal ini pemegang saham mempercayakan semua aktivitas perusahaan dan mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada manajer. Perusahaan yang memisahkan fungsi kepemilikan dan fungsi pengelolaan akan rentan terhadap konflik. Prinsipal mengharapkan manajer dapat mengelola perusahaan dengan baik untuk meningkatkan kemakmurannya, namun

(2)

2

kenyataannya manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajer karena hanya memiliki sedikit informasi dan tidak dapat secara langsung mengawasi aktivitas manajemen sehari-hari sedangkan manajer sebagai agen lebih banyak memiliki informasi internal perusahaan.

Adanya asimetri informasi antara prinsipal dan manajer akan menimbulkan masalah keagenan (agency problem). Terdapat dua jenis permasalahan yang ditimbulkan oleh asimetri informasi yaitu adverse selection dan moral hazard (Jensen dan Meckling, 1976). Adverse selection (keputusan serba salah) adalah keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi akibat kelalaian manajer dalam menjalankan tugas. Selanjutnya, moral hazard (penyimpangan moral) merupakan permasalahan yang muncul jika manajer tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan cenderung bertindak oportunis.

Asimetri informasi ini akan memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management). Menurut Scott (2011:423), manajemen laba merupakan suatu tindakan manajer yang memilih kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan yang spesifik. Salah satu cara untuk mengukur manajemen laba adalah dengan menggunakan proksi discretionary accrual. Discretionary accrual adalah komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajer (Firdaus, 2013).

Jensen (1986) menyatakan bahwa salah satu penyebab masalah keagenan antara manajer dan prinsipal adalah konflik kepentingan berkaitan dengan

(3)

3

penggunaan arus kas bebas (free cash flow) perusahaan. Arus kas bebas merupakan kas yang tersisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif (Jensen, 1986). Kieso (2007:219) mendefinisikan arus kas bebas sebagai jumlah arus kas diskresioner perusahaan untuk membeli investasi tambahan, melunasi utang, membeli saham treasury, atau hanya untuk menambah likuiditas perusahaan. Ross et al. (2000) menyatakan bahwa arus kas bebas sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada kreditur atau pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau investasi pada aset tetap. Jadi, arus kas bebas dapat disimpulkan sebagai sisa kas yang dimiliki perusahaan, setelah perusahaan membiayai semua investasi dan modal kerja untuk kegiatan operasionalnya dalam rangka pengembangan usaha.

Adanya arus kas bebas dalam perusahaan dapat menyebabkan terjadinya konflik antara prinsipal dengan manajer. Prinsipal menginginkan agar arus kas bebas dibagikan dalam bentuk dividen sehingga menambah kesejahteraan mereka, sedangkan manajer menginginkan arus kas bebas tersebut digunakan untuk membiayai investasi meskipun peluang pertumbuhan perusahaan rendah. Manajer tidak menginginkan arus kas bebas tersebut dibagikan sebagai dividen, karena pembayaran dividen kepada pemegang saham akan mengurangi sumber ekonomi yang berada dalam kekuasaan manajer sehingga akan mengurangi kekuatan manajer dalam perusahaan. Selain itu, pembayaran dividen lebih memungkinkan adanya peningkatan monitoring oleh pasar modal ketika perusahaan harus menghimpun modal baru untuk membiayai investasi (Jensen, 1986).

Manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan

(4)

4

NPV negatif (Jensen, 1986). Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar sumber daya perusahaan yang ada di bawah kendali manajer, sehingga semakin besar kemungkinan manajer dapat menyalahgunakan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Overinvestment dengan menggunakan arus kas bebas dilakukan untuk menghindari pengawasan yang berhubungan dengan penambahan modal dari luar perusahaan (Rosdini, 2009).

Overinvesment yang dilakukan oleh manajer mungkin saja dapat meningkatkan ukuran perusahaan tetapi tidak dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang. Adanya penurunan kinerja atau penurunan laba akan menyebabkan penurunan tingkat pengembalian saham, yang mungkin akan memicu prinsipal (pemegang saham) untuk mengganti CEO dan senior eksekutif lain (Chung et al., 2005). Dalam upaya untuk mencegah melaporkan penurunan laba, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba (income maximization) untuk menyembunyikan dampak negatif dari overinvesment yang dilakukannya. Hal ini didukung oleh penelitian Richardson (2006) dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa arus kas bebas berpengaruh positif pada overinvesment. Penelitian mengenai arus kas bebas dan manajemen laba dilakukan Bukit dan Iskandar (2009), Kangarluei et al. (2011) serta Bhundia (2012) yang memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif antara manajemen laba dan arus kas bebas, dengan kata lain arus kas bebas dapat memotivasi tindakan manajemen laba dan hubungan yang signifikan terjadi pada perusahaan yang memiliki arus kas bebas tinggi. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis free cash flow dari Jensen (1986) dan hasil penelitian Chung et al. (2005).

(5)

5

Berbeda dengan temuan tersebut, hasil penelitian Agustia (2013) serta Kono dan Yuyetta (2013) menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap manajemen laba. Menurut Agustia (2013), perusahaan dengan nilai arus kas bebas yang tinggi cenderung tidak melakukan manajemen laba, karena dalam hal ini sebagian besar investor merupakan transient investors (pemilik sementara perusahaan) yang lebih terfokus pada informasi arus kas bebas yang menunjukkan bagaimana kemampuan perusahaan dalam membagikan dividen. Perusahaan akan mampu meningkatkan harga sahamnya, karena investor melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden. Wang (2010) juga menyatakan bahwa keberadaan arus kas bebas dalam perusahaan justru akan meningkatkan peluang investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk karena memiliki kesempatan untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan operasi yang sedang berjalan. Dengan adanya kesempatan yang dimiliki, perusahaan diharapkan mampu menunjukkan kinerja baik yang dapat dilihat dari pertumbuhan laba yang diperoleh perusahaan. Selain konflik kepentingan yang berkaitan dengan penggunaan arus kas bebas, faktor lainnya yang dapat memicu tindakan manajemen laba adalah ketika perusahaan mengalami penurunan CAR (Capital Adequacy Ratio), khususnya pada perusahaan perbankan. Pemilihan variabel CAR dalam penelitian ini merujuk pada kasus manajemen laba yang terjadi pada PT. Bank Lippo Tbk tahun 2002. Kasus ini muncul setelah Bank Lippo menerbitkan dua versi laporan keuangan yang berbeda antara yang dipublikasikan kepada publik dan yang dilaporkan kepada Bapepam. Pada kasus ini pencantuman kata “audited” pada

(6)

6

Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 membawa implikasi pada perhitungan akun-akun didalamnya yang terlihat baik namun sesungguhnya bukan keadaan yang sebenarnya.

Laporan keuangan yang disampaikan ke publik mencatat total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, laba tahun berjalan sebesar Rp. 98,77 miliar dan CAR sebesar 24,77 persen (Bapepam, 2003). Sekilas dengan membaca laporan ini, investor melihat bahwa kinerja perusahaan berjalan dengan baik. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang diambil investor akan menguntungkan perusahaan, misalnya investor akan melakukan pembelian saham PT. Bank Lippo Tbk secara besar-besaran. Hal ini tentunya merugikan investor sebab dengan dasar informasi yang salah maka keputusan yang diambil juga tidak tepat.

CAR merupakan rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank dalam menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2005:121). CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko. Jadi, semakin tinggi CAR semakin baik kondisi sebuah bank. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013, bank dinyatakan sehat jika memiliki CAR minimum 8 persen.

Untuk dapat bersaing, sebuah bank harus bekerja pada tingkat efisiensi yang tinggi dan mampu mengelola risiko serta memiliki modal yang cukup sebagai penggerak aktivitas operasional (Taswan, 2012:139). Modal ini digunakan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank. Nilai CAR yang

(7)

7

meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva yang ada dan perputaran aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba (Cahyono, 2008 dalam Arriela, 2013).

Indikasi praktik manajemen laba terjadi di sektor perbankan telah diteliti oleh Bertrand (2000). Dalam penelitian tersebut ditemukan bukti secara empiris bank di Swiss yang sedikit kurang atau mendekati ketentuan batasan kecukupan modal cenderung untuk meningkatkan rasio kecukupan modal (CAR) mereka agar memenuhi persyaratan dengan cara melakukan manajemen laba. Susanto (2003) dalam Zahara dan Veronica (2009) menemukan adanya indikasi praktik pengelolaan laba yang dilakukan oleh kelompok bank tidak sehat dan salah satu faktor dominan yang mendorong bank melakukan pengelolaan laba adalah motif meningkatkan kinerja bank. Penelitian Nasution dan Setiawan (2007) juga membuktikan alasan perusahaan perbankan melakukan manajemen laba adalah ketatnya regulasi perbankan dibandingkan industri lain, salah satunya adalah bank harus memenuhi kriteria CAR minimum.

Penelitian yang dilakukan oleh Arriela (2013) membuktikan bahwa CAR berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba perusahaan perbankan. Hasil penelitian Indriani (2010) tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal (CAR) berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, hasil ini juga didukung oleh penelitian Firdaus (2013). Akan tetapi, dalam penelitian Zahara dan Veronica (2009), Setiawati

(8)

8

(2010) serta Sari (2012) menunjukkan hasil bahwa CAR tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Untuk mengurangi terjadinya tindakan manajemen laba maka upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih baik, karena hal ini akan mendorong terciptanya keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Sistem ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) (Wardhani dan Joseph, 2010). Dengan adanya good corporate governance dapat membantu para pengguna informasi keuangan untuk lebih yakin bahwa laporan keuangan yang dihasilkan bebas dari pelanggaran (fraud).

Good corporate governance (GCG) merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya (FCGI, 2006). Dengan adanya GCG diharapkan laporan keuangan yang dilaporkan oleh agen sebagai pertanggungjawaban kinerjanya, prinsipal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sampai sejauh mana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen.

Mekanisme GCG yang dijalankan sesuai dengan standar dan prosedur perusahaan akan dapat meminimalisir tindakan manajemen perusahaan yang melenceng terutama agar tidak mengarah kepada praktik manajemen laba yang dapat mengancam kelangsungan hidup suatu perusahaan. Penerapan mekanisme GCG secara konsisten juga dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan

(9)

9

dapat menghambat terjadinya manajemen laba sehingga dapat menggambarkan kinerja fundamental perusahaan yang baik (Anggana dan Prastiwi, 2013).

Pengukuran GCG dalam penelitian ini menggunakan proksi dewan komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Alasan pemilihan keempat proksi tersebut karena berdasarkan pernyataan Jensen dan Meckling (1976) konflik kepentingan dalam hubungan keagenan dapat diminimumkan melalui mekanisme monitoring secara langsung yang bertujuan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan. Fungsi monitoring tersebut dapat dilakukan oleh keempat proksi GCG yang digunakan dalam penelitian ini.

Menurut Alzoubi dan Selamat (2012), pemegang saham bergantung pada kemampuan dewan komisaris dan komite audit untuk memantau kinerja manajemen. Oleh karena itu, tanggung jawab kualitas pelaporan keuangan terletak pada efektivitas peran dewan dan komite auditnya. Adanya kepemilikan manajerial dapat berperan sebagai pihak yang dapat menyatukan kepentingan antara manajer dan pemegang saham, sehingga dapat menekan terjadinya praktik manajemen laba. Selanjutnya, kepemilikan saham oleh investor institusional dapat meningkatkan fungsi monitoring terhadap kinerja manajer sehingga mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan yang akan dapat mengurangi perilaku oportunistik manajer (Cornet et al., 2009). Adanya dewan komisaris independen akan membantu pengawasan terhadap dewan direksi menjadi lebih baik. Dalam menjalankan tugasnya anggota dewan komisaris harus bersikap independen. Oleh sebab itu, dalam keanggotaan dewan komisaris harus terdapat anggota dari luar perusahaan yang independen (Farida, 2012). Jika independensi dewan komisaris lemah, maka ada kecenderungan

(10)

10

terjadinya moral hazard oleh para direktur perusahaan untuk memenuhi kepentingannya. Penelitian Kouki et al. (2011), Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) serta Anggana dan Prastiwi (2013) menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka (2007) menunjukkan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Akan tetapi, hasil penelitian Yu (2006), Murhadi (2009), Oktovianti dan Agustia (2012) menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Peran komite audit seringkali dihubungkan dengan kualitas pelaporan keuangan karena dapat membantu dewan komisaris dalam mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Suaryana, 2005). Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu mengurangi praktik manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean (2011) serta Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) yang menyatakan terdapat pengaruh negatif antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al. (2006) dan Alves (2011) juga mengungkapkan kesimpulan yang sama. Selain itu, penelitian Bukit dan Iskandar (2009) memberikan hasil bahwa komite audit dapat memoderasi hubungan antara surplus arus kas bebas dan manajemen laba, dimana dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang meningkatkan laba. Namun, hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian Alkdai dan Hanefah (2012) yang menyatakan bahwa besar kecilnya ukuran komite audit terbukti tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

(11)

11

Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013). Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) membuktikan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual diskresioner perusahaan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) serta Midiastuty dan Machfoeds (2003). Namun, hasil penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian Boediono (2005) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan hasil penelitian Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) memberikan bukti bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri (Cornett et al., 2009). Hasil penelitian Widyastuti (2009) dan Indriastuti (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accrual, sehingga kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunistik manajemen. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian oleh Yang et al.

(12)

12

(2009), Ujiyantho dan Pramuka (2007), Guna dan Herawaty (2010), serta Oktovianti dan Agustia (2012) yang menghasilkan kesimpulan bahwa variabel kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba karena investor institusional sebagai pemilik sementara perusahaan lebih terfokus pada current earnings.

Adanya perbedaan hasil penelitian sebelumnya, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh arus kas bebas, capital adequacy ratio dan good corporate governance pada manajemen laba. Seperti yang diketahui bahwa tindakan manajemen laba merupakan tindakan yang berada di daerah abu-abu (grey area), yaitu antara aktivitas yang diijinkan oleh prinsip akuntansi dan aktivitas yang merupakan kecurangan. Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui faktor-faktor dan motivasi apa saja yang memengaruhi tindakan manajemen laba. Di Indonesia masalah arus kas bebas belum banyak mendapat perhatian karena perusahaan-perusahaan tidak mengumumkan arus kas bebas secara eksplisit. Berbeda dengan di Amerika Serikat, arus kas bebas cukup mendapat perhatian karena terdapat badan independen seperti Value Line Investment Survey yang mengumumkan secara berkala arus kas bebas yang dimiliki perusahaan (Uyara dan Tuasikal, 2003). Perusahaan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah perusahaan sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode pengamatan tahun 2010-2014. Alasan penelitian dilakukan pada perusahaan perbankan, pertama, perusahaan perbankan seringkali dikeluarkan dari penelitian yang dilakukan selama ini karena struktur modal yang berbeda dengan badan usaha pada umumnya. Kedua, karena industri perbankan merupakan industri yang melibatkan

(13)

13

penghimpunan dan pengelolaan dana masyarakat, dimana usahanya sangat mengandalkan kepercayaan masyarakat, sehingga perusahaan akan selalu berusaha menunjukkan kinerja yang baik. Selain itu, perusahaan perbankan juga lebih rentan terhadap risiko seperti kredit macet, sehingga perusahaan ini memiliki regulasi yang lebih ketat dibandingkan jenis perusahaan lainnya, salah satunya adalah aturan BI tentang ketentuan minimun CAR yang harus dipenuhi untuk menunjukan tingkat kesehatan bank. Hal ini akan menjadi tekanan bagi pihak manajemen, dan mendorong tindakan manajemen laba agar perusahaan dapat menjaga kepercayaan masyarakat dan memehuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI sehingga tidak mengancam kelangsungan usahanya.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Apakah arus kas bebas berpengaruh pada manajemen laba?

2) Apakah capital adequacy ratio berpengaruh pada manajemen laba? 3) Apakah dewan komisaris independen berpengaruh pada manajemen laba? 4) Apakah komite audit berpengaruh pada manajemen laba?

5) Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh pada manajemen laba? 6) Apakah kepemilikan institusional berpengaruh pada manajemen laba?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

(14)

14

1) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh arus kas bebas pada manajemen laba.

2) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh capital adequacy ratio pada manajemen laba.

3) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh dewan komisaris independen pada manajemen laba.

4) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh komite audit pada manajemen laba. 5) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh kepemilikan manajerial pada

manajemen laba.

6) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh kepemilikan institusional pada manajemen laba.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut.

1) Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta menambah referensi bagi penelitian sejenis maupun civitas akademika lainnya dalam rangka memperluas wawasan yang dimiliki. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian dan pengembangan selanjutnya.

2) Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh arus kas bebas, capital adequacy ratio dan good corporate governance pada

(15)

15

manajemen laba sehingga dapat menjadi acuan dalam peningkatan kewaspadaan terhadap praktik manajemen laba serta sebagai bahan pertimbangan bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi pada suatu perusahaan.

1.5 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dijabarkan dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab II Kajian Pustaka dan Hipotesis

Dalam bab ini dijelaskan landasan teori dan konsep yang mendasari penelitian serta hipotesis penelitian. Adapun teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teori keagenan (agency theory) sebagai grand theory, manajemen laba, arus kas bebas, capital

adequacy ratio (CAR), good corporate governance (GCG), dewan

komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerian dan kepemilikan institusional.

(16)

16 Bab III Metode Penelitian

Dalam bab ini digambarkan desain penelitian serta dijelaskan mengenai lokasi dan ruang lingkup wilayah penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan dalam menguji hipotesis penelitian.

Bab IV Data dan Pembahasan Hasil Penelitian

Bab ini merupakan isi pokok dari keseluruhan penelitian, dimana didalamnya akan dijelaskan mengenai gambaran umum daerah atau wilayah penelitian, deskripsi dan hasil dari pengolahan data serta interpretasi atau pembahasan dari hasil penelitian.

Bab V Simpulan dan Saran

Dalam bab terakhir ini dijelaskan mengenai simpulan dari penelitian secara keseluruhan dan memberikan saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan baik mengenai tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah yang dibahas dalam penelitian maupun saran untuk pengembangan dan penyempurnaan penelitian-penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten adalah penyesuaian terhadap data dan informasi terkini, indikatif program pembangunan, indikator kinerja

Senat Universitas mengirimkan Daftar Calon Rektor kepada Pengurus Yayasan beserta risalah rapat proses seleksi dan penetapan Bakal Calon Rektor menjadi Calon Rektor dan

Dengan asumsi seluruh pengungsian dilakukan dengan berjalan kaki, maka perlu dikalkulasi kecepatan berjalan pengungsi sehingga dapat sampai ke tempat evakuasi dalam waktu

Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan kepada RSUD Panembahan Senopati Bantul untuk memberikan makanan diet dengan modifikasi kacang merah untuk pasien Diabetes

Bareskrim dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan melakukan upaya paksa terhadap Narapidana, Tahanan dan Petugas di lingkungan Lapas dan Rutan yang diduga melakukan

Tinjauan Hukum Islam terhadap Passive Income di Mulia Artha Qives Bisnis MLM dalam kajian fiqih kontemporer dapat ditinjau dari dua aspek yaitu produk barang atau jasa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian metode resitasi terhadap kreativitas dan hasil belajar peserta didik fisika yang

Rumusan masalah dan tujuan penelitian fokus pada tingkat stres subjek sebelum dan sesudah diberi perlakuan terapi menulis ekspresif dan proses yang dilaksanakan subjek