• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DINAMIKA MARHAENISME. memperhatikan latar belakang munculnya teori tersebut, termasuk dalam situasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DINAMIKA MARHAENISME. memperhatikan latar belakang munculnya teori tersebut, termasuk dalam situasi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DINAMIKA MARHAENISME

II.1. Marhaenisme : Teori Politik Soekarno

Akan lebih baik atau lebih tepat jika mempelajarai suatu teori dengan memperhatikan latar belakang munculnya teori tersebut, termasuk dalam situasi yang bagaimana sehingga pencipta suatu teori mencetuskan teorinya. Maka, Marhaenisme sebagai hasil rumusan teori Bung Karno, perlu dikaji konteks kemunculannya karena teori tersebut bukan semata-mata hasil pemikiran Bung Karno yang bersifat reflektif-rasional saja. Dalam melahirkan teori tersebut penghayatan dan emosi Bung Karno sungguh-sungguh hadir.

Sudah menjadi hukum psikologis bahwa apa pun pandangan hidup/filsafat dari seseorang juga ditentukan oleh pengalaman hidupnya pada masa yang telah lewat. Demikian pula ketika mengamati warna teori politik—Marhaenisme— Bung Karno, maka perlu diperhatikan juga sejarah hidup Bung Karno.

Soekarno dilahirkan pada 6 Juni 1901 di Surabaya. Di masa dewasa Soekarno akrab disapa Bung Karno. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, anak dari Raden Hardjodikromo. Ibunya bernama Idayu Nyoman Rai. Dari gelar raden yang ada depan nama ayahnya, jelas menunjukkan bahwa Soekarno masih berdarah ningrat.

Ketika masa kanak-kanak, Soekarno tidak hanya diasuh oleh kedua orangtuanya, tetapi juga oleh pembantu rumah tangganya, seorang dari desa, yang dipercaya oleh ibunya untuk mengasuh Soekarno. Dari pembantunya tersebut

(2)

yang bernama Sarinah33

Dari ibunya yang berdarah Bali, Soekarno mungkin telah mewarisi citra rasa kesenian yang lebih bergairah dari pada yang bisa Soekarno jumpai di Jawa, tempat orang lebih memikirkan bagaimana untuk mengawetkan dan mengasihi suatu tradisi kebudayaan yang sangat halus daripada melakukan pembaruan dan eksperimentasi. Sedangkan dari ayahnya, Soekarno memperoleh pengetahuan mistik Jawa, suatu pengetahuan yang membuat orang menjadi sadar akan kebutuhan suatu penataan yang teratur atas alam.

, Soekarno mendapatkan kasih sayang yang utuh dari seorang perempuan. Sarinah juga menanamkan pengaruh pada Soekarno untuk belajar mencintai rakyat jelata.

34

Pada tahun 1916, setelah menyelesaikan dua tahun sekolah dasar Belanda pada ELS (Europeesche Lagere School = Sekolah Dasar Eropa) di Mojokerto, Soekarno melalui jasa teman baik teman ayahnya, yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto, mendaftarkan diri pada HBS (Hoogere Burger School = Sekolah Tinggi Warganegara atau Sekolah Menengah Belanda) di Surabaya. Selama di Surabaya Soekarno tinggal di rumah Tjokroaminoto. Kejadian tersebut akan membawa arti yang menentukan bagi masa depannya, karena Tjokroaminoto yang menjabat sebagai Ketua Organisasi Massa Sarekat Islam adalah tokoh pusat nasionalisme Indonesia pada waktu itu. Di pemondokannya itulah Soekarno mendapatkan pengalaman pertamanya tentang kegairahan yang mulai mengetuk

33

Nama Sarinah kemudian dilambangkan sebagai wanita Indonesia yang utama. Pada tahun 1960-an, nama ini selanjutnya diabadikan dengan nama Sarinah pada sebuah Toserba (toko serba ada) bertingkat di Jalan Thamrin, Jakarta. Nama Sarinah ini kemudian juga diangkat menjadi sebuah akronim oleh Soekarno sendiri menjadi “Siapa Anti Indonesia Niscaya Akan Hancur”, sebuah akronim untuk membangkitkan semangat anti kapitalisme dan Imperialisme tahun 1960-an. Ir Soekarno, Sarinah, Jakarta: Inti Idayu Press, 1984, hal. 11.

34

John D. Legge, Soekarno : Sebuah Biografi Politik, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 30.

(3)

hati masyarakat Indonesia akan energi politik yang mulai bangkit guna mempersiapkan perlawanan terorganisasi melawan pemerintah kolonial.

Menurut Bernard Dahm, untuk dapat mempelajari Soekarno, perlu dimengerti mitologi Jawa. Mitologi tersebut tercermin dalam cerita-cerita wayang. Dalam mitologi tersebut juga memuat kepercayaan tentang Ratu Adil dan Ramalan Jayabaya. Frustasi, harapan, dan kedatangan juru selamat merupakan intisari dari konsep kepercayaan tersebut.

Frustasi dialami akibat penindasan, penjajahan, kezaliman, dan angan-angan yang kuat tentang perubahan zaman yang diidam-idamkan. Perubahan zaman tersebut akan datang bersamaan dengan kehadiran seorang Ratu Adil yang akan menjadi juru selamat dari segala macam bentuk kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan. Mitos tersebut mempercayai berlakunya semacam perputaran sejarah (cyclical movement of history) yang tidak dapat dielakkan oleh suatu bangsa dalam proses perkembangannya. Demikian Soekarno dan jutaan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, berpegang pada mitos tersebut, dan Jayabaya, Raja Kediri, dianggap sebagai sumber utama pencetus mitos tersebut.35

35

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1980, hal 115.

Sifat tidak mengenal kompromi terhadap musuh luar atau asing jelas ditunjukkan oleh sikap anti kolonialis dan anti imperialis dari Soekarno yang keras. Sedangkan sikap bersedia kompromi yang dimiliki oleh Soekarno terlihat dari usahanya untuk bekerja sama dengan yang segolongan dengan dirinya (yaitu yang sama-sama menentang penjajahan asing).

(4)

Melalui caranya sendiri, Soekarno mengumpulkan ide-ide atau aliran-aliran yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kemudian diolahnya sendiri menjadi ide baru yang dianggapnya bisa diterima oleh semua pihak. Proses semacam ini di dalam ilmu pengetahuan sosial disebut sebagai “sinkretisme” Jawa, yaitu proses menerima dan mengubah unsur-unsur yang berbeda-beda menjadi suatu yang dikehendaki oleh yang membuat proses tersebut. Dalam usahanya mempertemukan ide-ide yang berlainan ke dalam sebuah landasan yang sama, Soekarno di satu pihak mengemukakan segi-segi dari suatu ide atau aliran politik yang memungkinkan untuk diterima oleh ide-ide lain, sedangkan di pihak lain, Soekarno membuka segi-segi tertentu dari ide-ide itu sendiri yang penempatannya ide-ide lain ke dalamnya bisa diterima pula. Diharapkan ide-ide tersebut saling mengisi, memberi, dan menerima.36

Pertama, adalah cita-citanya tentang persatuan nasional. Soekarno sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok. Ketika Soekarno untuk pertama kali merumuskan pikiran melalui tulisannya

Begitu juga dalam merumuskan konsep Marhaenisme. Kata Marhaen dicetuskan oleh Soekarno dalam rangka mempersatukan seluruh kalangan masyarakat Indonesia yang pada saat itu terkotak-kotak pada berbagai jenis identitas, baik dari segi, pekerjaan, ras, agama, suku, golongan, asalkan mereka tersebut miskin dan sengsara. Maka mereka adalah kaum marhaen yang ditindas oleh sistem kapitalisme dan imperialisme.

Dari banyak pemikiran Soekarno tersebut, John D. Legge mencoba merangkum beberapa segi khas dari pemikiran Soekarno.

36

(5)

“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” pada tahun 1926, Soekarno telah melihat keadaan yang memungkinkan lahirnya perpecahan di antara kekuatan-kekuatan pergerakan pada waktu itu. Soekarno menganalisis kekuatan-kekuatan-kekuatan-kekuatan yang ada pada waktu itu, yaitu kekuatan nasionalis, Islam, dan Marxis. Maka Soekarno sampai pada suatu kesimpulan bahwa ketiga kekuatan yang ada itu haruslah bersatu. Tentang hal tersebut Soekarno menulis :

“Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam neger jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di negeri lain. tetapi yakin bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia insyaf, bahwa persatuan lah yang membawa kita kearah kebesaran dan kemerdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa walaupun pikiran kita tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan saja organisasinya, bagaimana persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi mahatma persatuan itu”. 37

Setelah membentuk partai berasaskan nasionalisme, Soekarno melangkah untuk menata kehidupan organisasi politik pergerakan pada waktu itu, karena usaha tersebut merupakan bagian penting dari cita-citanya. Ketika usahanya berhasil membentuk Permufakatan Perhimpunan Politik kebangsaan Indonesia (PPPKI), nampaknya Soekarno mengandalkan organisasi tersebut sebagai suatu Pada masa berikutnya, setelah memperoleh kesempatan dengan penampilannya sebagai pembentuk dan pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia) sejak tahun 1927, Soekarno berusaha merealisasikan ide tersebut dengan berbagai langkah yang diambilnya. Sebagai langkah awal, maka dimulainya dengan menempatkan PNI sebagai suatu partai yang dapat menerima semua aliran di dalam tubuhnya; semua orang dari aliran manapun dan agama apa pun dapat menjadi anggota. PNI berasaskan nasionalisme Indonesia.

37

Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 22.

(6)

alat perjuangan yang efektif untuk mempersatukan semua kekuatan baik yang non koooperatif maupun yang kooperatif.

Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap non kooperatif bukan hanya sebagai taktik, tetapi merupakan hal yang prinsipil. Soekarno menegaskan betapa sia-sianya sikap lunak yang moderat, sebab tidak mungkin ditempuh dengan imperialisme. Akibat wajar dari sikap tersebut adalah suatu rencana untuk memobilisasi rakyat guna melaksanakan perjuangan tersebut. Pendirian PNI dan sepak terjangnya setelah berdirinya partai tersebut merupakan realisasi dari rencana Soekarno.38

Keempat, pengungkapan pidato dan tulisan Soekarno sangat menarik bagi para pendengar dan pembaca dari kalangan Jawa. Salah satu wujudnya yang khas seperti pada tahun 1928 dan 1929 adalah ramalan Soekarno mengenai kebangkitan Jepang dan pecahnya perang Pasifik, sehingga memungkinkan Indonesia mendapatkan kemerdekaannya di kemudian hari. Ini merupakan ramalan yang cerdik dengan daya tarik khusus karena langsung dikaitkan dengan harapan tradisional yang diramalkan jayabaya.

Ketiga, konsep mengenai Marhaenisme. Soekarno menegaskan bahwa Marhaenisme sebagai teori politik sekaligus teori perjuangan sangatlah relevan digunakan sepanjang kapitalisme sekalipun dalam berbagai wujud masih bercokol di bumi. Dalam konteks ini, Marxisme telah memberikan kepada Soekarno alat yang paling sistematis dalam analisis sosial dalam dalam pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.

39

38

John D. Legge, Op.Cit., hal. 121-122.

39

(7)

Baskara T. Wardaya, dalam bukunya Bung Karno Menggugat, dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S mengatakan sifat-sifat menonjol dari Soekarno antara lain:

Pertama, anti imperialisme.40

40

Baskara T. Wardaya, S.J., Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 Hingga G30S. Yogyakarta : Galang Press, 2006, hal. 39-50.

Sebagai sistem politik, imperialisme akan berakhir ketika sebuah wilayahnya yang dijajah menjadi merdeka. Tetapi sebagai sebuah sistem ekonomi, imperialisme dapat berlangsung terus bahkan ketika negara terjajah itu sudah merdeka secara politis. Imperialisme adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan mengatur negara lain.

Kedua, anti-elitisme. Menurut Soekarno, elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial politik yang lebih tinggi dari orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme tersebut tidak kalah berbahaya dengan imperialisme, karena melalui sistem feodal yang ada elitisme bisa dipraktekkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Lebih dari itu, elitisme dapat menjadi penghambat sikap-sikap demokratis masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.

Ketiga, taktik non kooperasi. Sebenarnya sampai pada pertengahan tahun 1921 Soekarno masih mengharapkan adanya kerja sama dengan pemerintah Kolonial Belanda. Soekarno masih berharap bahwa pemerintah Belanda bersedia membantu memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, sebelum negeri jajahan tersebut benar-benar mandiri. Tetapi, pada tahun 1923 Soekarno mulai meninggalkan posisi moderat dan mengambil langkah non kooperasi, menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial.

(8)

Keempat, menggalang persatuan. Kepada para aktivis nasionalis Soekarno menegaskan bahwa tidak ada halangan bagi kaum nasionalis bekerja sama dengan aktivis Islam dan marxis, dan juga sebaliknya.

Kelima, ketika pada 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan. Dalam pledoinya yang terkenal yang berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas Soekarno menyatakan perlawanannya terhadap kolonialis. Meskipun dipenjara berkali-kali, Soekarno sama sekali tidak jera untuk berpolitik maupun untuk menentang ketidakadilan kolonialisme.

Menurut Bernard Dahm dalam Baskara T. Wardaya, S.J., mengatakan bahwa yang menjadi pesan pokok Soekarno, bahwa Soekarno tetap mempunyai prinsip yang sama, di satu pihak, melawan imperialisme sampai keakar-akarnya, dan di lain pihak, membangun suatu tatanan baru dengan menyatukan berbagai ideologi yang berbeda ke dalam suatu kesatuan yang harmonis. Conference of the New Emerging Force (Conefo) yang direncanakan berlangsung pada 1966 (tetapi batal dilaksanakan, karena pada tahun-tahun setelah G30S/1965 posisi Soekarno mulai goyah) juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menyatukan berbagai kekuatan dunia guna melawan imperialisme – kapitalisme. Kemenangan atas imperialisme, menurut Soekarno, akan melapangkan bagi lahirnya perdamaian abadi di dalam masyarakat yang bebas dari penindasan manusia.41

41

Ibid, hal. 69-70. Lihat juga pidato Soekarno di hadapan Sidang Umum PBB ke XV,30 September 1960 dalam Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1965.

(9)

Cita-cita Soekarno untuk memperjuangkan masyarakat yang bebas dari kapitalisme dan imperialisme secara konsisten terus dilakukan oleh Soekarno hingga akhir kekuasaannya. Kenyataan Indonesia setelah merdeka masyarakat yang dicita-citakan belum tercapai. Kapitalisme masih berurat akar kuat dalam masyarakat Indonesia. Dan ini merupakan kesulitan Soekarno di satu pihak, kondisi masyarakat yang dicita-citakan belum tercapai, di pihak lain “Partai Marhaen” yang seharusnya memegang kendali pemerintahan Indonesia, boleh dikatakan tidak mampu mendominasi kekuatan politik di Indonesia (dengan sendirinya yang dimaksudkan Partai Marhaen disini yaitu PNI, Partindo, dan beberapa partai kecil lain yang berasaskan Marhaenisme).

Meskipun tidak diragukan bahwa sebagian besar partai yang ada setelah kemerdekaan Indonesia memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, tetapi hal tersebut bukan merupakan jaminan bagi Soekarno untuk dapat digerakkan dan diarahkan dalam rangka terwujudnya Sosialisme Indonesia yang membebaskan kaum marhaen dari penderitaan dan kemiskinan.

Bahkan dari beberapa partai pada masa Demokrasi Terpimpin ada yang dibubarkan oleh Soekarno yakni Masyumi dan PSI dan ada satu lagi yang dibekukan yaitu Murba. Menurut beberapa kalangan menilai bahwa representasi kekuatan marhaenis tunggal yang dapat menguasai pemerintahan Indonesia yaitu terletak di tangan Soekarno pribadi, sebagai Presiden Republik Indonesia, dan secara penuh kekuasaannya baru terlaksana sesuai dengan UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Di dalam partai yang berasaskan Marhaenisme seperti di dalam PNI pun ternyata banyak didapatkan orang-orang yang disebut oleh Soekarno sebagai

(10)

“marhaenis gadungan”. Artinya orang-orang yang tidak sepaham dalam memperjuangkan cita-cita masyarakat marhaenis sesuai dengan garis kebijaksanaan atau tafsiran pencetusnya, yaitu Bung Karno. Atas persetujuan Soekarno, banyak dari orang-orang tersebut, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, yang dipecat dari keanggotaan partainya dengan indikasi sebagai marhaenis gadungan.42

Tuduhan Soekarno tersebut berangkat dari ketidakharmonisan hubungannya dengan pimpinan PNI saat itu yang dikatakannya cenderung konservatif dan kompromistis. Sekalipun telah memenangkan Pemilihan Umum pada tahun 1955, sepak terjang PNI justru semakin kendur dan meninggalkan wataknya sebagai partai nasionalis radikal yang berasaskan Marhaenisme. Hal tersebut ditandai dari banyaknya kebijakan politik Soekarno yang tidak sejalan dengan keputusan DPP PNI. DPP PNI cenderung berhati-hati dalam menentukan sikap politik. Bahkan cenderung berskap ambivalen terhadap konsep ideologi politik Bung Karno yang lebih progresif-revolusioner. Perbedaan karakteristik tersebut tampak pada akhir tahun 1958. ketika itu, PNI mencoba memobilisasi partai-partai lain ke dalam “Front Pancasila” untuk mempertahankan Parlemen. Walaupun pada akhirnya gagal karena PNI sendiri mengalami keragu-raguan.43

Pada tahun 1959, ketika Soekarno mencetuskan Demokrasi Terpimpin untuk menggantikan Demokrasi Liberal yang justru menyebabkan kekisruhan politik, sejumlah Ormas Front Marhaenis mendukung konsepsi Soekarno tersebut.

42

Nazaruddin Syamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, Jakarta: Rajawali, 1984.

43

Front Pancasila adalah organisasi taktis yang dibentuk oleh PNI untuk membangun koalisi dengan lawan-lawan politiknya guna menentang pembubaran Parlemen. Achmad Suhawi, Gymnastik Politik Nasionalis Radikal : Fluktuasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Jakarta : Rajawali Press, 2009, hal. 93.

(11)

Namun Demokrasi Terpimpin justru ditentang oleh DPP PNI. Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya perpecahan di tubuh PNI itu sendiri.

Banyak oknum di dalam tubuh PNI yang berpikiran sempit mengenai sifat nasionalisme PNI. Secara historis, karena kebutuhan sesaat untuk mendapatkan pendukung dalam jumlah besar, PNI ternyata kemudian menjadi tempat penampungan atau menyelamatkan diri bagi mereka yang mempunyai latar belakang pendukung Belanda atau bala tentara fasis Jepang di masa lalu, terutama para pamong praja dan pegawai negeri. Agar kedudukannya yang dijabat dalam struktur pemerintahan tidak diganti, maka mereka masuk PNI, yang pada kenyataannya memang melindungi mereka. Hal tersebut juga sekaligus menjadi penjelasan mengapa banyak anggota PNI yang berasal dari pamong praja atau birokrasi. Selain itu, akibat bermacam-macamnya sifat atau watak di dalam kepemimpinan PNI – adanya tokoh-tokoh yang berhaluan nasionalis radikal seperti Mangunsarkoro, Dr. AK Gani, Dr. Isa dan Mr. Sartono; adanya tokoh-tokoh yang dikenal berkemampuan sebagai administrator, seperti Mr. Wilopo, Usep Ranuwijaya, S.H.; adanya tokoh-tokoh yang mewakili kaum birokrat pamong praja, seperti Sanusi Harjadinata, Hadi Subeno, Osa Maliki; adanya tokoh-tokoh yang berhaluan kiri seperti Mr. Ali Sastroamodjojo, Mr. Sunario, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo – ternyata yang membuat warna politik PNI menjadi kurang jelas.

Selain itu terdapat organisasi yang mencoba menginterpretasikan pikiran-pikiran Bung Karno termasuk Marhaenisme yang dibentuk oleh kelompok-kelompok konservatif dari unsur-unsur partai Murba, SOKSI dan IPKI dengan “Angkatan Darat” di belakang layar. Organisasi tersebut bernama Badan

(12)

Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS mencoba memberikan interpretasi terhadap pikiran-pikiran Soekarno tersebut agar tidak radikal serta lebih anti komunis melalui berbagai media massa. Tindakan dan cara-cara BPS tersebut terindikasi dibiayai oleh CIA sehingga dibubarkan pada tahun 1964.44

Oleh karena itu, dalam menggalang kekuatan yang revolusioner seperti yang dicita-citakan dalam Marhaenisme, Soekarno berpaling ke partai-partai lain yang menunjukkan sikap progresif-revolusioner, terutama dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Dalam amanatnya pada gemblengan Pendidikan Kader Pelopor marhaenis pada tanggal 24 dan 25 Maret 1965 di Jakarta, secara berulang-ulang Soekarno menandaskan bahwa orang-orang marhaenis tidak hanya terdapat di dalam barisan PNI/Front Marhaenis, melainkan juga terdapat dalam barisan partai-partai lain. Dalam pidato itu juga Soekarno menegaskan kalau diantara kalangan marhaenis ada yang tidak menyetujui kesatuan dan persatuan Marhaenisme yang bersifat progresif-revolusioner, orang tersebut adalah marhaenis gadungan. Yang dimaksudkan Soekarno dengan persatuan dan kesatuan tersebut adalah persatuan dalam Nasakom (Nasionalis-agama-komunis).45

Dari pemikiran tersebut jelas bahwa Soekarno ingin merangkul sekaligus melindungi golongan Komunis, karena di dalam golongan Komunis Soekarno mendapatkan sejumlah jutaan golongan marhaen dan marhaenis sesuai dengan kriterianya. Dukungan dari segenap lapisan masyarakat dan partai politik yang memiliki unsur-unsur Marhaenisme tersebut penting bagi Soekarno dalam rangka

44

Ibid., hal. 103.

45

Ir. Soekarno, Marhaenisme Adalah Teori Perjuangan dalam Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis, Jakarta: Departemen Penerangan dan Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia, 1965, hal. 32-33.

(13)

mencapai langkah selanjutnya yaitu menghapuskan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia bahkan di dunia. Langkah pertama, Indonesia merdeka, telah tercapai. Maka langkah selanjutnya yaitu pengisisan kemerdekaan agar yang berkuasa di dalam pemerintahan Republik Indonesia adalah semacam satu partai federasi yang berasaskan Marhaenisme.

Sejak Demokrasi Terpimpin, tidak dapat diragukan hangatnya perhatian Soekarno terhadap PKI. Ketika PKI dimusuhi oleh berbagai kekuatan politik di Indonesia seperti TNI (Tentara Nasional Indonesia), partai-partai berbasiskan agama, serta komprador asing, Soekarno menjalankan peranannya sebagai pelindung PKI. Namun, kedekatan tersebut justru membuat cita-cita Soekarno terusik bahkan buyar setelah peristiwa G30S/1965 meletus yang mengakibatkan terjadinya krisis politik diikuti krisis ekonomi.

Secara massif kekuatan-kekuatan marhaenis dan kekuatan pro pemerintahan Soekarno dimusnahkan dengan berbagai cara seperti: pembunuhan, penangkapan seseorang yang diduga terlibat G30S 1965 tanpa proses peradilan yang adil, dan lain sebagainya yang disinyalir sebagai kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno.

II.2. Marhaenisme: Marxisme yang Dipraktekkan di Indonesia

Antara Karl Marx dan Soekarno, keduanya sama-sama memiliki keprihatinan terhadap mereka yang tertindas, yang miskin, dan dimiskinkan karena suatu sistem yang tidak adil, suatu sistem yang mengeksploitasi manusia. Dan keprihatinan Marx terhadap kaum proletar yang tertindas dan terasing akibat dari sistem kapitalisme ini telah membuahkan suatu teori dan sekaligus suatu teori

(14)

perjuangan yang pengaruhnya sangat luar biasa di permukaan bumi ini. Yang dimaksud teori dalam konteks ini yaitu suatu asas-asas atau hukum-hukum yang dapat dijadikan landasan untuk hidup bermasyarakat dan bernegara. Sedangkan teori perjuangan dapat diartikan sebagai asas-asas atau hukum-hukum yang berfungsi sebagai landasan perjuangan untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Teori perjuangan Marx, yang kemudian dikenal sebagai Marxisme juga sangat berpengaruh dalam benak Soekarno, dan banyak inspirasi dari pemikiran dan tingkah laku politik Soekarno sejak tahun 1920-an akhir dipengaruhi Marx, demikian pula tulisan-tulisannya. Hal ini begitu banyak terlihat dari kutipan-kutipan dan sanjungan serta persetujuan terhadap pikiran-pikiran Karl Marx dan buah karya Marx, yaitu Marxisme. Bahkan secara jujur Soekarno kemudian mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, artinya, Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Indonesia.46

46

Ir. Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press – Yayasan Pendidikan Soekarno, 1984, hal. 93.

Sebetulnya, jika mengikuti tulisan-tulisan Soekarno pada tahun 1920-an dan 1930-an sudah terdapat benih-benih bagi Soekarno untuk membuat perumusan demikian. Hal ini sengaja dieksplisitkan oleh Soekarno karena menurut pengakuannya sendiri, pada awal tahun 1960-an banyak pihak yang mencoba menafsirkan Marhaenisme. Maka kesimpulan Soekarno tersebut jelas merupakan tantangan bagi orang-orang yang mencoba menafsirkan Marhaenisme yang tidak sesuai dengan rumusan Soekarno pada tahun-tahun itu. Di kemudian hari orang-orang tersebut disebut sebagai marhaenis gadungan seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.

(15)

Dukungan terpenting terhadap rumusan Soekarno bahwa “Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia” tersebut datang dari PNI/Front Marhaenis47, suatu partai yang berasaskan Marhaenisme, pada awal tahun 1960-an d1960-an mencapai puncaknya pada tahun 1964, saat dikeluark1960-annya “Deklarasi Marhaenis”. Deklarasi tersebut telah disetujui Bung Karno sebagai suatu pernyataan mengenai tafsiran tentang Marhaenisme yang sesuai dengan ajaran dan rumusan Bung Karno.48

1)Menegaskan bahwa Marhaenisme adalah Marhaenisme seperti yang dicetuskan Bung Karno pada tahun 1927; sebagai hasil penarikan pelajaran yang tepat dari praktek perjuangan rakyat Indonesia dan rakyat lain di muka bumi, yang ditindas dan dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Praktek tersebut merupakan senjata ampuh di tangan kaum marhaen sebagai asas dan cara perjuangan dan memberikan landasan yang kukuh dan menjamin kemenangan kaum marhaen dengan menggalang semua kekuatan progresif-revolusioner yang berporoskan Nasakom.

Pokok-pokok dari isi Deklarasi Marhaenis pada sebagian besar adalah pengulangan dari tulisan-tulisan Bung Karno pada tahun 1920-an dan 1930-an, kemudian dipadukan dengan ajaran-ajaran Bung Karno setelah kemerdekaan. Beberapa pokok yang ditekankan, yang menyangkut tentang Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia, antara lain:

2)Marhaenisme adalah paham perjuangan yang revolusioner, berdiri di atas sendi-sendinya massa aksi yang revolusioner dan menghendaki syarat-syarat perjuangan yang revolusioner. Marhaenisme ini didasarkan atas sifat dan watak revolusi Indonesia dewasa ini yaitu revolusi nasional demokrasi dan yang berhari depan sosialisme Indonesia ialah masyarakat adil makmur material dan spiritual.

3)Dalam bidang ideologi, deklarasi ini mempunyai satu tafsiran tentang Marhaenisme yaitu Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi-kondisi dan situasi-situasi di Indonesia, dan kemudian untuk melaksanakan indoktrinasi, deklarasi ini menetapkan bahwa materialisme historis ajaran Karl Marx adalah sebagai metode berjuang dan berpikir, demikian pula pemahaman tentang situasi, kondisi, serta sejarah pergerakan rakyat Indonesia adalah mutlak.

4)Mempelajari dan memahami sejarah perkembangan masyarakat Indonesia berarti berorientasi kepada Amanat Penderitaan Rakyat, yaitu memahami sebaik-baiknya

47

Sebagai upaya untuk mendapat simpati kembali dari Soekarno, maka kubu sayap kiri PNI memberikan penegasan bahwa PNI tetap setia pada asas Marhaenisme ajaran Bung Karno, oleh karena itu dinamakan PNI/Front Marhaenis. Penegasan tersebut sekaligus upaya untuk membersihkan marhaenis-marhaenis gadungan yang berada dalam barisan PNI.

48

Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis, Jakarta: Departemen Penerangan dan Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia, 1965, hal. 9-10.

(16)

kebangkitan rakyat Indonesia untuk membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme, imperialisme, dan feodalisme di segala bidang.49

Dalam pemahaman Soekarno tentang Marxisme, dapat diperhatikan bahwa antara Marxisme dan Komunisme seperti terdapat garis pemisah yang tegas. Marxisme adalah suatu denk methode (metode berpikir). Metode berpikir untuk mengerti bagaimana perjuangan harus dijalankan, agar bisa tercapai masyarakat yang adil. Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama Soekarno menegaskan bahwa “Marxisme tidak selalu anti Tuhan”. Marxisme adalah materialisme historis. Materialisme historis tersebut tidak anti Tuhan. Sedangkan filsafat materialisme yang anti Tuhan adalah filsafat feuerbach.

Lebih lanjut Soekarno menegaskan bahwa materialisme historis tersebut adalah suatu cara pengertian, seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah bahwa alam-alam pikiran yang berjalan di masyarakat adalah lebih terbawa oleh bentuk dari hubungan-hubungan ekonomi (economische verhoudingen), yaitu cara produksi di dalam masyarakat. Maka cara tersebut dianggap sebagai faktor yang menentukan bagaimana corak alam pikiran, dan kesadaran manusia.50

Teori Marxisme, menurut Bung Karno, dianggap mengalami perubahan. Marxisme harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Dalam hubungannya dengan negara-negara Asia, negara yang belum ada kaum proletarnya, dalam arti seperti Eropa dan Amerika, pergerakan harus diubah sifatnya, disesuaikan dengan kondisi di Asia. Oleh sebab itu diperlukan kerja sama dengan kekuatan-kekuatan

49

Ibid, hal. 7-11.

50

Ir. Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press – Yayasan Pendidikan Soekarno, 1984, hal. 94-95.

(17)

politik lain, karena perlawanan yang utama bukan kepada kekuasaan, melainkan pada feodalisme dan imperialisme.51

Di sisi lain, banyak pengamat politik menilai opini-opini Soekarno tersebut mengenai Marxisme menandakan bahwa Soekarno adalah seorang Marxis. Terlebih lagi mengenai pandangan Soekarno tentang “masyarakat sama rata sama rasa”. Pandangan tersebut secara tersurat sudah dinyatakan Soekarno dalam tulisannya pada awal tahun 1930-an, terutama di dalam ‘Mencapai Indonesia Merdeka”. Masyarakat “sama rata sama rasa” tersebut selalu dipertentangkan dengan masyarakat yang masih berada di dalam kapitalisme. Pada tahun 1960-an, istilah “sama rata sama rasa” tersebut oleh Bung Karno dihubungkan dengan masyarakat sosialis. Kemudian di dalam masyarakat sosialis tersebut setiap warganya harus dapat menikmati kesejahteraan ekonomi yang tanpa ada kapitalisme.52

Jika diperhatikan, antara teori perjuangan Soekarno dan revolusi proletariat Karl Marx terdapat kesamaan. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Soekarno menginginkan supaya pergerakan rakyat marhaen tersebut tidak boleh kecil-kecilan. Karena tujuan dari pergerakan tersebut adalah ingin mengubah sama sekali sistem masyarakat sampai ke akar-akarnya. Namun, kondisi Indonesia pada waktu Soekarno mencetuskan Marhaenismenya berbeda dengan kondisi sewaktu Marx menganjurkan revolusi proletariatnya. Negara-negara industri di Eropa tempat Marx merumuskan teori Marxismenya adalah negara-negara yang merdeka. Musuh kaum proletar adalah bukan penjajah asing, melainkan kaum

51

Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 19.

52

(18)

borjuis bangsa sendiri. Oleh sebab itu revolusi proletariat pertama-tama ditujukan kepada kaum kapitalis di dalam negeri.

Adapun musuh kaum marhaenis disamping tuan-tuan tanah dan kapitalis bangsa sendiri, yang utama adalah imperialisme dan kapitalisme Belanda, yang pada waktu itu masih bercokol di bumi Indonesia. Oleh sebab itu, Bung Karno mengajukan beberapa syarat untuk menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme tersebut. Dan kemerdekaan adalah syarat pertama. Hal ini sangat masuk akal karena dengan kemerdekaan lah suatu bangsa dapat mendirikan suatu orde masyarakat menurut cita-cita bangsa itu sendiri. Tanpa kemerdekaan, segala gerak dari kegiatan manusia di dalam masyarakat itu guna merealisasikan cita-citanya, akan terhalang.

Syarat kedua, yang dianjurkan oleh Bung Karno yaitu yang berhubungan dengan bagaimana mengatur mekanisme masyarakat ke arah cita-cita kaum marhaen. Menurut Bung Karno, mekanisme tersebut akan tercapai kalau di dalam kemerdekaan itu nanti yang berkuasa adalah kaum marhaen. Alasan tersebut juga tepat, sebab besar kemungkinannya kalau bukan kekuatan marhaenis yang berkuasa setelah Indonesia merdeka, misalnya orang borjuis atau orang-orang ningrat bangsa sendiri, maka kemerdekaan itu dilihat oleh Bung Karno sebagai sesuatu yang tidak mempunyai arti bagi kaum marhaen. Sebab sudah merupakan kecenderungan dari kaum borjuis untuk mempertahankan atau membangun sistem kapitalisme dengan versi yang lebih baru yang memang menguntungkan mereka. dengan perkataan lain, dipertahankan dan ditingkatkannya sistem kapitalisme ini berarti bahwa penindasan terhadap kaum marhaen akan terus berlangsung.

(19)

Di dalam tulisannya yang berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, Soekarno dengan mengutip dari Karl Marx, menganjurkan dan menyetujui adanya revolusi. Soekarno yakin bahwa suatu kelas tidak pernah akan dengan sukarela melepaskan hak-haknya atas dasar kemauannya sendiri. Hak-hak dari kelas borjuis itu hanya dapat terlepas apabila direbut, dipaksa untuk diserahkan kepada kelas marhaen.53

Menurut Bung Karno bahwa didalam sejarah umat manusia itu selalu terdapat pertentangan kelas. Di zaman feodal dahulu, pertentangan terjadi antara tuan yang feodal dan rakyat yang feodal. Di dalam alam kapitalis ini juga ada pertentangan kelas antara kelas kapitalis dan kelas proletar. Sejalan dengan pikiran Marx, kelas-kelas tersebut makin lama makin mengorganisasikan diri dan membentuk perkumpulan seperti serikat sekerja dan sebagainya. Dengan adanya perserikatan tersebut maka kekuasaan kapitalis akan digerogoti, makin lama makin mengkerut. Dan pada akhirnya timbullah dengan sendirinya suatu masyarakat sosialis.54

53

Ibid, hal. 297.

54

Ir. Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press – Yayasan Pendidikan Soekarno, 1984, hal. 118-119.

Meskipun oleh Bung Karno, tercapainya masyarakat sosialis tersebut merupakan hasil dari suatu evolusi, pencapaian itu tidak akan terjadi kalau tanpa perjuangan. Jadi kapitalisme ini hanya bisa digugurkan dengan tenaga kaum marhaen (proletar) yang terhimpun dalam massa aksi yang hebat. Setelah itu digunakan suatu sistem oleh kaum proletar sendiri untuk menggunakan alat-alat industrialisme yang modern, bagi kepentingan kaum proletar semua.

(20)

Selanjutnya dinyatakan oleh Bung Karno bahwa siapa yang tidak proletar tidak boleh ikut campur di dalam urusan ketatanegaraan. Di dalam tata ekonomi pun hanya kaum proletar yang mengurus, mengatur, agar alat produksi modern tersebut dipergunakan untuk kepentungan buruh dan kaum proletar dengan tanpa adanya penghisapan manusia atas manusia.55

55

Ibid. hal. 112.

II.3. Marhaenisme: Suatu Asas Dalam Partai-Partai Politik

Telah disinggung bahwa Bung Karno pada akhirnya mengakui dirinya sebagai seorang Marxis. Sebagai pengikut Marxis, sudah sewajarnya jika tingkah laku dan ajaran-ajaran Soekarno banyak mendapatkan inspirasi dan bercirikan Marxis. Demikian pula Marhaenisme, yang merupakan sebuah teori tentang kemasyarakatan dan kenegaraan yang dilahirkan dari Bung Karno, tidak lepas dari adanya pengaruh Marxisme tersebut.

Pengaruh Marxisme tersebut tidak hanya berhenti di dalam Marhaenismenya Soekarno, melainkan juga dilanjutkan dalam Marhaenismenya partai-partai politik yang berasaskan Marhaenisme. Faktor lainnya adalah bahwa sejak diumumkannya Maklumat Pemerintah tentang Kepartaian pada tahun 1945, maka banyak bermunculan partai politik. Di antara partai politik yang muncul pada waktu itu yaitu partai-partai politik kebangsaan yang berasaskan Marhaenisme. Dalam konteks ini, akan dibahas tiga partai politik berasaskan Marhaenisme tersebut. Masing-masing yaitu Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis, Partai Kedaulatan Rakyat dan sebuah partai yang muncul kembali pada akhir tahun 1950-an, yaitu Partai Indonesia pimpinan Asmara Hadi.

(21)

II.3.1. Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis

Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis, di dalam Anggaran Dasarnya, Pasal 2, menyatakan bahwa Asas Partai Nasional Indonesia ialah: Sosio-nasional-demokrasi (Marhaenisme). Tujuan Partai Nasional Indonesia, sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 3, ialah:

a)Mempertahankan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b)Mewujudkan susunan negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat yang berdasarkan keadilan sosial (masyarakat sosialis).

c)Melaksanakan kerja bersama dengan bangsa-bangsa lain atas dasar persamaan hak untuk mewujudkan susunan masyarakat yang baru yang berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan.

Di dalam keterangan asas diberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Partai Nasional Indonesia adalah Partai Rakyat. Asas Partai Nasional Indonesia adalah: Sosio-nasionalis-demokrasi (Marhaenisme).

2. Asas Sosio-nasionalis-demokrasi adalah gabungan asas-asas nasionalisme dan sosio-demokrasi.

A. sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang berdasarkan kemasyarakatan. nasionalisme adalah paham kebangsaan yang tumbuh karena persamaan nasib dan sejarah serta persamaan kepentingan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa. sosio-nasionalisme mengakui bahwa bangsa-bangsa itu segolongan manusia yang tidak terpisah dari golongan-golongan lain, malahan harus hidup dan bekerja dengan golongan itu semua. karena itu, maka sosio-nasionalisme dalam hubungan internasional mengakui kewajiban bangsa-bangsa untuk bekerja bersama menyusun masyarakat bangsa-bangsa sedunia bebas dari penjajahan dan penindasan baik politis, ekonomis, dan kebudayaan.

B. sosio-demokrasi adalah demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. demokrasi politik mengakui hak yang sama bagi tiap-tiap warga negara untuk ikut menentukan haluan dan susunan negara. demokrasi ekonomi mengakui hak-hak tiap orang untuk hidup sama-sama makmur dengan yang lain. demokrasi sosial mengakui hak tiap-tiap orang untuk mendapat penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial. karena itu mengakui hak yang sama bagi tiap-tiap orang untuk mencapai tingkat kemajuan setinggi-tingginya dalam segala lapangan, sesuai dengan bakatnya.

3. Sosio-nasional-demokrasi mengkendaki:

A. Dalam lapangan politik: perjuangan yang bercorak kebangsaan Indonesia dan susunan pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Bentuk pemerintahan harus menurut suara yang terbanyak dan terbentuk dalam Negara Hukum ‘Kesatuan Republik Indonesia’.

B. Dalam lapangan masyarakat: susunan masyarakat berdasarkan gotong-royong (masyarakat kolektivis), dan karena itu menolak susunan masyarakat yang bercorak individualistis.

4. Masyarakat kolektivis yang dikehendaki Partai Nasional Indonesia adalah masyarakat sosialistis, yaitu masyarakat yang tidak menghendaki adanya hak milik pribadi (privaat eigendom) atas alat-alat produksi (produktie-middelen) yan mengandung kesempatan tindas-menindas dan peras-memeras oleh orang atau golongan satu atas yang lain. dalam mengusahakan tercapainya masyarakat sosialistis itu, Partai Nasional Indonesia mendasarkan paham perjuangan pada kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia. karena itu maka:

A. Terhadap pertentangan modal dan buruh? Partai Nasional Indonesia membela dan menjamin pihak buruh. Modal Harus dipergunakan untuk seluruh tenaga yang bekerja.

(22)

B. Partai Nasional Indonesia memperhatikan filsafat historis materialisme, tetapi Partai Nasional Indonesia berpendirian, bahwa bukan hanya anasir-anasir ekonomi saja yang berpengaruh kepada perjalanan sejarah, melainkan juga cita-cita. jadi, baik keadaan jasmani maupun rohani, berpengaruh pada masyarakat dan antaranya ada sifat pengaruh memengaruhi.

C. Partai Nasional Indonesia menolak diktator dalam bentuk bagaimana juga.

5. Dalam menjalankan paham demokrasi, Partai Nasional Indonesia menuju ke arah demokrasi yang meliputi seluruh pergaulan hidup (total) dan mewujudkan diri sebagai “Partai Rakyat” yang berhaluan revolusioner. oleh karena itu Partai Nasional Indonesia dalam perjuangannya menempuh jalan yang radikal artinya: Dalam menghendaki suatu perubahan, Partai Nasional Indonesia tidak bersifat tanggung-tanggung, melainkan mengusahakan tercapainya suatu perubahan itu sampai ke akar-akarnya.

6. Partai Nasional Indonesia menentang kapitalisme, karena kapitalisme itu menimbulkan sifat memeras dan menindas orang (golongan) yang satu atas yang lain, dan kapitalisme itu ternyata telah menimbulkan imperialisme yan mengakibatkan penjajahan, seperti yang telah kita alami di Indonesia, tiga setengah abad lamanya. Karena menentang kapitalisme, Partai Nasional Indonesia menolak paham liberalisme yang menjadi dasar dan sumber kapitalisme itu.

7. Untuk memenuhi hak demokrasi politik, maka Partai Nasional Indonesia menjalankan Badan Perwakilan Rakyat, akan tetapi, karena perjuangan dalam Badan Perwakilan Rakyat tergantung kepada kekuatan dan pengaruh partai di luar badan-badan itu, maka Partai Nasional Indonesia meletakkan pusat perjuangannya di kalangan dan bersama-sama rakyat marhaen. Karena itu, maka Partai Nasional Indonesia dalam perjuangannya menyatukan diri dengan nasib rakyat marhaen, ialah rakyat yang terbanyak dan yang paling buruk nasibnya.56

II.3.2. Partai Kedaulatan Rakyat

Partai Kedaulatan Rakyat pada mulanya lebih merupakan organisasi kedaerahan. Partai tersebut lahir di daerah Sulawesi setelah satu-satunya partai politik yan ada di daerah tersebut, yakni PNI, dibubarkan sebagai akibat kebengisan Westerling, maka diciptakanlah wadah baru pada 24 November 1946 dengan nama Kedaulatan Rakyat. Tujuan semula dari partai tersebut yaitu: menuntut penjelmaan Sulawesi khususnya dan daerah-daerah lain pada umumnya sebagai daerah yang tidak terpisah dari Negara Republik Indonesia berdasarkan Kedaulatan Rakyat. Kemudian pada tahun 1948 tujuan tersebut berubah, dan akhirnya disempurnakan. Hasil yang telah disempurnakan tersebut kemudian pada Kongres ke-3 tahun 1950, diubah lagi. Pengaruh Marxisme dari partai tersebut dapat dilihat dari keterangan asasnya:

56

(23)

1. Kedaulatan rakyat marhaen menjadi dasar dari:

A. Perjuangan kebangsaan menghendaki paham gotong-royong, yaitu paham asasi dari kaum marhaen yang terdapat di Indonesia. Dalam segala hal harus ada mufakat dan persamaan hak di lapangan politik, ekonomi, dan sosial, berarti harus ada demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Demokrasi politik mengakui hak yang sama bagi tiap-tiap warga negara untuk ikut menentukan haluan dan susunan negara. Demokrasi ekonomi mengakui hak-hak tiap orang untuk hidup sama makmur dengan yang lain dan tidak menghendaki pemerasan satu terhadap yang lain. Demokrasi sosial mengakui hak tiap-tiap morang untuk mendapatkan penghargaan yang sama dalam segala lapangan.

B. Perjuangan sedunia Marhaenisme menuju kepada terleburnya penjajahan dan penindasan dalam segala lapangan (anti imperialisme). paham Marhaenisme dalam hubungan internasional mengadakan perjuangan radikal menentang kapitalisme di dunia, sehingga tersusunlah suatu masyarakat bangsa-bangsa sedunia yang bebas dari penjajahan dan penindasan dalam segala lapangan.

2. Untuk mencapai maksudnya, maka kedaulatan rakyat marhaen menuntut suatu

pemerintahan kerakyatan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan. Karena apabila hanya rakyat marhaen, ialah rakyat yang terbanyak dan yang berdaulat, barulah kita mencapai suatu negara yang adil dan makmur.

3. Kedaulatan rakyat marhaen menghendaki susunan masyarakat gotong-royong

(masyarakat kolektivis) yang berdasarkan keadilan sosial dan bersendikan perikemanusiaan. Masyarakat gotong-royong yan dikehendaki Marhaenisme adalah masyarakat sosialis yang sesuai dengan jiwa rakyat marhaen di Indonesia dan tidak bertentangan dengan sifat ketimuran kita.

a. Tidak menghendaki hak milik pribadi (privaat eigendom) atas alat-alat produksi yang vital.

b. Tidak menghendaki adanya kaum modal yang memeras kaum marhaen.

c. Alat-alat produksi yang vital itu dijadikan hak milik negara supaya terjamin penghidupan sosial rakyat marhaen.57

II.3.3. Partai Indonesia

Partai Indonesia (Partindo) didirikan pada 1 Mei 1931, dengan ketua sementaranya Sartono. Tujuan dari partai tersebut dinyatakan dalam pengertian-pengertian yang sangat luas tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa partai tersebut menganggap bahwa dirinya sebagai ahli waris PNI (Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis) dan berhak menuntut kesetiaan dari anggota PNI, sebuah partai yang telah membubarkan diri pada 25 April 1931. Usia Partindo pun tidak bertahan lama. Setelah melihat bahwa situasinya tidak menguntungkan, maka pada pertengahan November 1936, partai tersebut dibubarkan oleh Sartono.

57

(24)

Uraian tentang Marhaenisme secara rinci dijelaskan oleh Partindo dalam sembilan tesis Marhaenismenya, yang dihasilkan dari konferensi partai pada tahun 1933 di Yogyakarta. sembilan tesis tersebut di kemudian hari juga masih dijadikan pedoman oleh Partindo yang didirikan pada akhir tahun 1950-an, bahkan oleh pendirinya, Asmara Hadi, dilengkapi dengan suatu uraian penjelasan. Kesembilan tesis tersebut antara lain:

1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub didalamnya. 4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan, kaum melarat Indonesia

lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.

5. Didalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.

6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen.

7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.

8. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.

9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.58

Menurut Asmara Hadi, antara sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, keduanya tidak dapat dipisahkan. Artinya perjuangan untuk melaksanakan Marhaenisme terjadi melalui dua fase: fase nasionalisme dan fase sosio-demokrasi. Fase pertama berlaku pada zaman penjajahan sedang fase kedua pada zaman setelah Indonesia merdeka. Adapun yang dimaksud denan sosio-demokrasi oleh partai tersebut yaitu adanya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Kaum marhaen di dalam Indonesia merdeka bukan saja harus berkuasa di dalam lapangan politik, tetapi juga harus berkuasa di dalam lapangan ekonomi. Kaum

58

Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 285.

(25)

marhaen bukan saja harus berkuasa menentukan undang-undang adan aturan pemerintahan, tetapi juga harus berkuasa menentukan aturan ekonomi, aturan produksi, dan aturan distribusi. jadi sosio-demokrasi adalah demokrasinya kaum marhaen yang membuat kaum marhaen berkuasa dan leluasa membangunkan sosialisme di dalam Indonesia merdeka.

Untuk membangun masyarakat marhaen, Partindo menyadari fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Parlemen sebagai forum untuk memperjuangkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah yang menguntungkan kaum marhaen. tetapi yang terpenting adalah menyusun massa aksi di luar parlemen karena hal ini dapat mencegah tumbuhnya sistem kapitalisme di dalam Indonesia dan untuk membangunkan sistem sosialisme menurut teori Marhaenisme.

Dalam sistem sosialisme tersebut, segala alat-alat produksi menjadi kepunyaan seluruh masyarakat, tiap orang mempunyai pekerjaan dan wajib bekerja, pembagian rezeki seadil mungkin sehingga tiap orang mendapat menurut keperluannya atau hajatnya. Mekanisme tersebut bertujuan mengubah seluruh masyarakat. Itulan sebabnya, mengapa Marhaenisme adalah asas perjuangan yang radikal. Dan Marhaenisme juga merupakan asas perjuangan yang revolusioner karena ingin cepat-cepat sampai ke sosialisme.

Karena Partindo berkeyakinan bahwa Marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia, maka sebagai marxisme diperlukan atau merupakan syarat mutlak bagi Marhaenisme yaitu adanya perjuangan kelas:

“Nasionalisme kaum marhaen lain isinya dengan nasionalisme kaum borjuis atau nasionalisme kaum feodal. Sosio-nasionalisme, nasionalisme kaum marhaen adalah nasionalisme yang antiimperialisme, antifeodalisme, dan antikapitalisme. Sosio nasionalisme adalah nasionalisme yang mengandung perjuangan kelas yang laten

(26)

terhadap kelas borjuis dan kelas feodal bangsa sendiri, dan terutama sekali perjuangan yang sadar terhadap kelas kapitalis internasional yang menjalankan imperialisme.”59

59

Asmara Hadi, Marhaenisme Adjaran Bung Karno, Jakarta: Koleksi Perpustakaan Nasional, hal. 52.

Dari ketiga partai yang berasaskan Marhaenisme tersebut dapat dilihat adanya persamaan-persamaan dalam merumuskan gambaran masyarakat marhaenis yang mereka cita-citakan. Persamaan-persamaan tersebut antara lain yaitu (i) cita-cita untuk membentuk masyarakat sosialis Indonesia yang meniadakan sistem kapitalisme dan imperialisme, (ii) menolak adanya hak milik pribadi atas alat-alat produksi yang vital, (iii) supaya alat-alat produksi yang vital tersebut dijadikan hak milik negara, (iv) keinginan agar rakyat marhaen memegang kendali pemerintahan, (v) mengusahakan agar ciri-ciri masyarakat marhaenis adalah gotong-royong yang artinya adalah tiap-tiap orang di dalamnya dapat hidup sama makmur dengan yang lain, atau dengan kata lain sama rasa sama rata, (vi) mengadakan perjuangan nasional menentang kapitalisme dan imperialisme; perjuangan tersebut merupakan perjuangan rakyat marhaen di seluruh dunia agar suatu masyarakat bangsa-bangsa sedunia bebas dari penjajahan dan penindasan dalam segala lapangan.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dengan dilantiknya pegawai dan pejabat berdasarkan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 9

apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dan masa penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima secara obyektif oleh Panitia Pengadaan Alat

Penerapan Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama dalam penerapan berbagai ketentuan baru terutama

4 Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kls II Palembang Perawat D-III Keperawatan II/c 1.. Epidemiolog Kesehatan/Sanitarian D-III Kesehatan

Memahami konsep yang berkaitan dengan aturan pangkat, akar dan logaritma, fungsi aljabar sederhana, persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, sistem persamaan linier, program

2) Kontrak Harga Satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan

Metode yang digunakan terhadap “Analisis Semiotik Dalam Kumpulan Puisi Love Poems ‘Aku dan Kamu’ Saduran Sapardi Djoko Damono,” adalah metode kualitatif deskriptif..

honorarium kepanitiaan, makan minum kantor, ATK, cetak dan penggandaan, perjalanan dinas untuk pengadaan bahan makan minum pasien dan ekstra fooding petuga pelayanan. 51 Pelayanan