• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODOLOGI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3. METODOLOGI PENELITIAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai

komponen dan proses secara detil, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, serta hubungan antara fenomena yang dikaji. Oleh karena itu, metode deskriptif ini lebih mengutamakan proses input dan pengolahan input secara eksploratif agar dapat merekomendasikan proses yang lebih baik untuk mendapatkan output yang lebih baik pula (Boer, 2004).

3.2. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis-jenis data yang akan dikumpulkan dan sumber-sumber data yang diperlukan, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1) Pengumpulan data hasil survei (baik primer maupun sekunder):

a. Inventarisasi dan tabulasi data hasil survei yang dilakukan oleh Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertambangan, Kantor Pertanahan dan sebagainya;

b. Pemetaan data hasil survei ke dalam peta-peta tematik sesuai kebutuhan analisis;

2) Kuesioner dan wawancara melalui teknik pengambilan contoh dengan “purposive sampling”:

Kuesioner ini diperlukan untuk melakukan monitoring, evaluasi, serta prioritasi, stipulasi tujuan, dan rencana kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan. Teknik analisis yang digunakan adalah M-AHP atau sering pula disebut Analisis Prioritas. Berkenaan dengan ini, maka teknik pengambilan contoh yang sesuai adalah melalui “purposive sampling”. Populasi dan teladan penelitian yang diambil memang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan tujuannya, yaitu

(2)

pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses perumusan kebijakan dan sekaligus pelaksana program dan kegiatan (para aktor kebijakan publik).

Anggota populasi tersebut adalah: pejabat struktural di Bappeda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pariwisata, Dinas Pertambangan dan Mineral, Badan Penanaman Modal dan Potensi Daerah, Kantor Pertanahan, serta para lintas pemangku kepentingan lainnya di wilayah pesisir dan lautan, seperti: Departemen Kelautan dan Perikanan, Camat, Kepala Desa, masyarakat pesisir dan nelayan.

3) Observasi (pengamatan) lapangan:

Melengkapi data dari hasil survei, laporan dan publikasi resmi, serta guna mencocokan dan melihat kondisi eksisting dari data atau hasil-hasil tersebut, maka dilakukan pula pengamatan (observasi) lapangan, langsung pada obyek-obyek penelitian.

3.3. Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis Data:

1) Data kategorik: kebijakan-kebijakan publik di bidang pemanfaatan ruang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2) Data hasil survei peneliti (primer) berupa hasil wawancara dan kuesioner, yaitu:

a. Data pendapat responden untuk analisis M-AHP, yaitu prioritasi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut ditinjau dari tiga aspek, yaitu: (i) aspek prioritas pemanfaatan, (ii) aspek prioritas pencapaian nilai sosial-ekonomi, dan (iii) aspek prioritas penanganan konflik pemanfaatan; Skala prioritas ini kemudian diuji realisasinya dalam program dan pembangunan daerah; b. Data pendapat responden untuk instrumen “Riset Persepsional” konsep

“marine cadastre”, yaitu untuk mengukur pengetahuan atau pemahaman serta urgensi penerapan konsep ini;

Responden: adalah para aktor (pelaku) perumus sekaligus pelaku kebijakan penataan ruang pesisir dan laut, yaitu para pejabat instansi dan dinas pemerintah daerah serta lintas pemangku kepentingan lainnya, khususnya camat dan kepala desa. Sebelum pengisian kuesioner dilakukan, peneliti

(3)

menyelenggarakan audensi dengan sekelompok pakar (yang terdiri dari 5 hingga 8 orang dalam satu kelompok) pada instansi, dinas, dan kantor yang bersangkutan untuk menjelaskan maksud dan tujuan serta cara pengisian kuesioner. Keputusan setiap pengisian butir-butir kuesioner merupakan hasil diskusi (expert choice) dari kelompok pakar dimaksud.

3) Data hasil survei pihak lain (sekunder):

a. Data perencanaan dan hasil kinerja dari suatu kebijakan pemanfaatan ruang (dan sumberdaya) pesisir dan laut, dalam bentuk RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan LPJ (Laporan Pertanggung-Jawaban) Kepala Daerah;

b. Data yang berhubungan dengan ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut, berupa APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) sektor pesisir dan kelautan;

c. Data A-biotic (non-hayati), Biotic (hayati), dan Culture (budidaya) eksisting wilayah penelitian;

4) Data sekunder lainnya:

a. Fakta wilayah (data statistik wilayah);

b. Publikasi dan laporan lainnya dan diyakini dapat dipertanggungjawabkan.

3.3.2 Sumber Data:

1) Pemerintah dan Daerah selaku aktor perumus kebijakan publik; 2) Publikasi dan hasil laporan program, proyek, dan penelitian; serta 3) Masyarakat pesisir dan nelayan.

3.4. Metode Analisis

Analisis kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

Retrospektif dan Prospektif (Ex-Post Θ Ex-Ante). Kedua bentuk ini merupakan

analisis kebijakan yang “retrospektif” kepada masalah dan “prospektif” (berorientasi) kepada solusi. Bentuk analisis ini mengkaji “apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat” (ex post) kemudian “apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan” (ex ante) (periksa Gambar 10).

(4)

Gambar 10. Prosedur umum dalam metodologi analisis kebijakan yang berorientasi kepada masalah dengan bentuk analisis kebijakan “Ex-Post Θ Ex-Ante” (Dunn, 1994)

Adapun metode analisis kebijakan yang digunakan adalah prosedur yang relatif bersifat khusus yang digunakan bersama-sama dengan metode analisis kebijakan untuk menjawab pertanyaan (memberikan solusi) yang lebih terbatas. Contoh teknik yang biasa digunakan dalam analisis kebijakan misalnya: teknik estimasi korelasi berkala dalam metode deret berkala dan analisis B/C

(Benefit-Cost Ratio), yaitu perhitungan biaya dan laba diskonto terhadap nilai sekarang dan

kalkulasi tingkat keuntungan internal (IRR: Internal Rate of Return) dari suatu proyek atau program (Dunn, 1994). Demikian pula, Skema DPSIR merupakan contoh lain dari teknik analisis atas kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (khususnya sumberdaya air) dan lingkungan hidup (Vàzquez, 2003; Marsili-Libelli, 2003; Picollo et al., 2003).

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka metode analisis kebijakan dalam penelitian ini mengaplikasikan beberapa prosedur analisis yang semula secara parsial tidak berhubungan satu dengan yang lain, yaitu:

PENEMUAN MASALAH Masalah apa yang harus diatasi?

PEMECAHAN MASALAH Apa solusi masalahnya? Kinerja Kebijakan Masa Depan Kebijakan Hasil Kebijakan Aksi Kebijakan Masalah Kebijakan Evaluasi Prediksi Pemantauan Rekomendasi Perumusan Masalah 4. PeruPerDin amika Pe ru mus an Masal ah Pe rum us an Masal ah

RETROSPEKTIF (Ex Post): Apa yang telah terjadi dan perbedaan apa yang dihasilkan

PROSPEKTIF (Ex Ante): Apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan (solusi)

(5)

3.4.1 Analisis Data Spasial: Metode Survei Sumberdaya ABC

Penggunaan analisis data spasial merupakan fenomena baru dalam analisis kebijakan publik. Hasil analisis ini berkaitan langsung dengan konsep “marine

cadastre” yang menjadi kerangka dasar analisis kebijakan, berkenaan dengan

filosofi kadaster, yaitu “the boundary of tenure” (batas tenurial). Dalam skema analisis kebijakan publik Dunn (1994), analisis ini berada dalam prosedur pemantauan.

Analisis data dalam prosedur pemantauan difokuskan kepada analisis spasial dari kenyataan (existing) penggunaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dibandingkan dengan kebijakan tata ruang saat ini (Perda Tata Ruang Pesisir dan Lautan). Analisis data spasial ini menggunakan analisis layer (strata) informasi yang diperoleh dari survei non-hayati, hayati, dan budidaya wilayah penelitian dengan menggunakan teknik Metode Survei Sumberdaya ABC (Tamtomo, 2004 setelah Skibicki, 1995); Analisis ini sangat diperlukan baik untuk prosedur pemantauan itu sendiri, maupun prosedur analisis kebijakan berikutnya, yaitu prosedur evaluasi.

Metode Survei Sumberdaya ABC adalah suatu cara pengorganisasian, pertampalan, pembandingan informasi struktural, dan proses komponen-komponen informasi landskap untuk menetapkan batas-batas taman nasional dan suaka alam yang banyak digunakan di Kanada dan Amerika Serikat. Dalam penelitian ini, dengan cara yang sama metode tersebut digunakan untuk mengolah komponen-komponen informasi pesisir dan lautan untuk maksud yang lebih dinamis, yaitu pemasok informasi spasial untuk analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut.

Metode ini merupakan pendekatan metode multi disiplin untuk mengamati dan menganalisis interaksi ikatan-ikatan fisik dan kultur (budidaya) pada wilayah pesisir dan lautan. Metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan dan interaksi spasial di antara komponen-komponen sumberdaya pesisir dan lautan, yaitu komponen fisik, biotik, dan kegiatan-kegiatan manusia dengan segala dampaknya terhadap alam. Tahapan penting dalam metode ini adalah evaluasi faktor-faktor signifikan dari unsur-unsur atau komponen-komponen wilayah dan

(6)

batasan-batasan yang ada di dalamnya. Secara diagramatik tahapan-tahapan metode ABC diperagakan dalam Gambar 11.

Prosedur Metode Survei Sumberdaya ABC secara garis besar meliputi empat tingkatan aktifitas yang harus dilakukan, yaitu:

1) Aktifitas tingkat pertama. Kumpulkan, analisis, dan sintesiskan informasi sesuai dengan tujuan penelitian. Komponen-komponen data abiotik, biotik, dan kultural direprentasikan di atas dua set peta, satu untuk menunjukkan informasi struktural dan lainnya untuk menunjukkan informasi fungsional. 2) Aktifitas tingkat kedua. Tentukan faktor-faktor keunggulan (significance) dan

keterbatasan (constraints) sesuai dengan tujuan penelitian. Aktifitas level kedua ini digunakan untuk menginterpretasikan keunggulan sosio-ekonomi lingkungan dan keterbatasan sosio-ekonomi lingkungan. Hasil interpretasi ini dituangkan di atas dua set peta (layer) yang diekstrak dari kombinasi aspek-aspek ekologi yaitu, keanekaragaman flora dan fauna, komunitas, manfaat ekologis dan bahaya ekologis, kondisi relatif (seperti keunikan abiotik, kelangkaan species, dan kelangkaan abiotik), serta nilai bagi manusia (seperti nilai ekonomi dan nilai rekreasi). Setiap data abiotik, biotik, dan budidaya di wilayah pesisir dan laut dipetakan ke dalam zona-zona wilayah. Dengan demikian didapatkan beberapa zona, seperti zona sumberdaya mineral, zona bahaya laut, zona populasi ikan, zona terumbu karang, zona mangrove, zona nilai ekonomi, dan zona hak ulayat laut masyarakat hukum adat.

3) Aktifitas tingkat ketiga. Rangkum dan atau integrasikan semua data dan informasi sesuai dengan tujuan penelitian. Peta-peta yang telah dihasilkan dianalisis dan diinterpretasikan untuk menghasilkan rangkuman keunggulan dan batasan sosio-ekonomi lingkungan. Inter-relasi wilayah-wilayah yang mempunyai keunggulan dan batasan abiotik, biotik, dan budidaya digunakan sebagai indikator utama penggunaan atau pemanfaatan ruang laut dan isu-isu manajemen.

4) Aktifitas tingkat keempat. Perumusan proposal manajemen. Langkah-langkah tersebut dilakukan “step-by-step” secara iteratif untuk merumuskan hasil final berupa penetapan wilayah-wilayah perencanaan sesuai dengan keunggulan dan keterbatasan ekologis suatu wilayah (Skibicki, 1995).

Data inventori dan analisis signifikan dan kendala wilayah dengan Metode Survei Sumberdaya ABC diperoleh dari hasil survei lapangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, serta pihak konsultan, meliputi:

1) Data abiotik (karakter fisik) wilayah pesisir dan lautan:

a. struktural: yaitu iklim, kondisi oseanografi, sebaran pulau-pulau kecil dan pasir laut;

b. fungsional: formasi gelombang laut dan dominasi pasang-surut air laut serta arus dan iklim;

(7)

Gambar 11. Metode Survai Sumberdaya ABC (Abiotic-Biotic-Culture) sebagaimana dikemukakan oleh Bastedo, Nelson dan Theberge, sesuai diagram dan teks aslinya (Skibicki, 1995) 2) Data biotik (biota dan ekosistem) wilayah pesisir dan lautan:

a. struktural: sebaran fisik mangrove dan terumbu karang wilayah pesisir dan lautan;

b. fungsional: sebaran fungsi ekosistem mangrove dan terumbu karang pada wilayah pesisir dan lautan, misalnya sebagai lokasi pemijahan ikan (spawning ground), pembesaran ikan (nursery ground), dan penyangga ekosistem;

3) Data budidaya (kegiatan manusia) di wilayah pesisir dan lautan:

a. struktural: penambangan (pasir dan mineral), akuakultur, pertambakan, bangunan-bangunan kelautan dan jasa-jasa lingkungan;

(8)

b. fungsional: fungsi khusus kawasan;

3.4.2 Analisis Prioritas Kebijakan Melalui M-AHP

AHP (Analytical Hierarchy Process) adalah suatu proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Awalnya AHP dikembangkan oleh Saaty (1986) dari University of Pitsburgh, USA. Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, AHP memegang tiga prinsip, yaitu: prinsip meyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas, dan prinsip konsistensi logis. Dalam pelaksanannya seluruh prinsip-prinsip dimaksud harus dapat diukur, namun sesuatu tidak dapat diukur dengan tanpa skala. Untuk itu diperlukan suatu skala untuk mengukur sifat-sifat yang tanwujud.

Ketiga prinsip dasar Proses Hirarki Analitik harus:

1) Menggambarkan dan menguraikan secara hirarkis (penyusunan hirarki), yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah;

2) Pembedaan prioritas dan sintesis (penetapan prioritas), yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya; dan

3) Mencerminkan konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Departemen Perikanan dan Kelautan telah mengembangkan M-AHP (Modified AHP). Metode AHP hanya baik untuk menganalisis < 10 program atau kegiatan yang akan ditentukan prioritasnya. M-AHP didesain untuk > 10 prioritas dan masing-masing dikaitkan dengan sasaran atau tujuan dan bukan dengan membandingkan antar kegiatan. Metode ini dapat digunakan untuk berbagai kepentingan atau analisis lain, misalnya untuk menetapkan suatu program telah sesuai dengan perencanaan atau tidak melalui proses monitoring, dan menilai keberhasilan suatu program melalui proses evaluasi (Budiharsono, 2001).

1) M-AHP Untuk Monitoring

Monitoring dimaksudkan untuk “mengukur” sejauh mana suatu kebijakan dilaksanakan, berjalan sesuai rencana atau tidak. Kriteria pemantauan yang

(9)

digunakan adalah: realisasi fisik tata ruang, kepatuhan (konsistensi) pemanfaatan ruang sesuai tata ruang, ada tidaknya masalah hukum, dan ada tidaknya masalah teknis-administrasi.

Sesuai dengan metode yang digunakan, maka perlu dilakukan penjenjangan (hirarki), yang kemudian dari hirarki ini dapat dilakukan pembobotan atau prioritas kriteria pelaksanaan suatu program, yaitu program penataan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan (Gambar 12).

Gambar 12. Hirarki monitoring pelaksanaan kebijakan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan

Kuesioner disusun berdasarkan analisis dengan menggunakan penjenjangan sesuai tahapan pada gambar di atas. Kuesioner ini didesain dalam bentuk matriks untuk pengisian skala Saaty.

Setiap pengisian sel dalam matriks diisi dengan angka skala Saaty yang merupakan hasil diskusi dari para responden, umumnya terdiri dari lima sampai delapan orang responden, yaitu para pejabat eselon yang berada dalam suatu instansi. Sebelum pengisian kuesioner selalu diawali dengan wawancara oleh peneliti dengan para responden.

LEVEL 1: FOKUS LEVEL 2: KRITERIA LEVEL 3: PELAKSANAAN PROGRAM

MONITORING IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR & LAUT

PENCAPAIAN TARGET FISIK PENATAAN

RUANG

KEPATUHAN PEMANFAATAN RUANG

SESUAI TATA RUANG

ADA TIDAKNYA PERMASALAHAN PEMDA KAB. KEP. RIAU KECAMATAN DI KAB KEP. RIAU DESA KAB KEPULAUAN RIAU MASYARAKAT KAB. KEP. RIAU

(10)

2) M-AHP Untuk Evaluasi

Prosedur evaluasi merupakan analisis untuk penciptaan premis-premis nilai yang diperlukan untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan. Evaluasi menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Prosedur ini dapat disamakan dengan penaksiran, pemberian peringkat, dan penilaian. Dengan demikian, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai dan manfaat hasil kebijakan, atau dengan kata lain hasil evaluasi menjawab pertanyaan: apa perbedaan yang dibuat (Dunn, 1994).

Pembobotan atau prioritasi setiap indikator keberhasilan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dapat dilakukan melalui analisis M-AHP. Indikator keberhasilan tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok kriteria sosial ekonomi dan kelompok kriteria konflik sumberdaya dan ekosistem (lingkungan hidup).

Kriteria pertama, evaluasi keberhasilan program menurut kriteria aspek

sosial-ekonomi (Gambar 13).

Gambar 13. Hirarki evaluasi keberhasilan program menurut kriteria aspek sosial-ekonomi LEVEL 1: FOKUS LEVEL 2: KRITERIA LEVEL 3: PELAKSANAAN PROGRAM Penerimaan

PAD Penerimaan Devisa Penyerapan Tenaga Kerja Pemda Kab Kepulauan Riau Camat di Kab Kepulauan Riau Desa di Kab Kepulauan Riau Masyarakat Kab Kepulauan Riau Peningkatan Pendapatan Masyarakat Peningkatan Kesempatan Berusaha EVALUASI SOSIAL-EKONOMI PROGRAM KEBIJAKAN

(11)

Selanjutnya, kriteria kedua: yaitu evaluasi pelaksanaan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dilakukan analisis yang sama dari hasil kuesioner dan wawancara, yaitu terhadap kelompok kriteria aspek konflik sumberdaya dan ekosistem (lingkungan hidup). Sama dengan metode yang telah digunakan, maka penjenjangan (hirarki) disusun dalam tiga tingkatan, kemudian dari hirarki ini dapat dilakukan pembobotan atau prioritas kriteria pelaksanaan suatu program, yaitu program penanganan konflik sumberdaya dan ekosistem dalam pemanfaatan ruang pesisir dan lautan (Gambar 14).

Aplikasi evaluasi program atau kegiatan menggunakan aplikasi yang telah dikembangkan dan digunakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Software aplikasi ini diperoleh dari Budiharsono (2001). Kegiatan evaluasi merupakan kegiatan untuk mengetahui “keberhasilan” dari suatu program, yang dalam hal ini adalah program penataan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan. Evaluasi keberhasilan suatu program dapat ditinjau dari berbagai aspek, namun untuk penelitian ini (dan juga umumnya) dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok sosial-ekonomi dan kelompok konflik sumberdaya dan ekosistem.

Gambar 14. Hirarki evaluasi keberhasilan program menurut kriteria aspek konflik sumberdaya dan lingkungan hidup

LEVEL 1: FOKUS LEVEL 2: KRITERIA LEVEL 3: PELAKSANAAN PROGRAM

EVALUASI KONFLIK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN HIDUP PROGRAM KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR & LAUT

Penurunan Pelanggaran Pemanfaatan Ruang dan SDKP Penurunan Konflik Pemanfaatan Ruang dan SDKP Perbaikan Ekosistem (Lingkungan Hidup) Pemda Kab Kepulauan Riau Camat di Kab Kepulauan Riau Desa di Kab Kepulauan Riau Masyarakat Kab Kepulauan Riau Peningkatan Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak RakyatAtas Pemanfaatan Ruang dan SDKP

(12)

Pengelompokan ini juga telah sesuai dengan asas dan tujuan penataan ruang berdasarkan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sebagai berikut: 1) Pasal 2: Penataan Ruang berasaskan:

a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan;

b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum; 2) Pasal 3: Penataan Ruang bertujuan:

a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan;

b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya;

c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:

• mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera,

• mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, • meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan

dengan memperhatikan sumberdaya manusia,

• meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,

• mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta mengurangi dampak negartif terhadap lingkungan,

• mewujudkan keseimbangan kepentingan, kesejahteraan, dan keamanan.

3) Pasal 15 ayat (1): Dalam pemanfaatan ruang dikembangkan perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati hak penduduk sebagai warga negara.

3.4.3 Analisis Riset Persepsional “Marine Cadastre”

Merujuk kepada filosopi dari suatu kadaster, yaitu “the boundary of tenure”, maka sesungguhnya substansi konsep “marine cadastre” telah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan telah dikenalnya zonasi atau

(13)

persil-persil laut untuk berbagai macam penguasaan dan pemanfaatan. Bentuk-bentuk persil dimaksud, adalah: persil budidaya ikan (keramba), batas-batas alur perlayaran (di lokasi perairan pelabuhan laut), rumah-rumah nelayan di atas laut (pelantar), persil kawasan lindung laut, batas-batas hak ulayat laut, batas-batas wilayah perikanan tangkap, dan lain sebagainya.

Gambar 15. Berbagai kegiatan manusia berikut hak-hak atas pesisir dan perairan laut dalam gambaran “persil laut” 3-dimensi, landasan konsep kadaster 3-dimensi dan “marine cadastre”, sebagaimana gambar dan teks aslinya (Nichols and Monahan, 1999).

Selanjutnya, mengamati praktek-praktek penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut di negara-negara lain, demikian pula kajian-kajian akademis tentang hal tersebut, maka konsep “marine cadastre” sesungguhnya telah pula dikenal cukup luas (Gambar 15). Namun penamaan atau nomenklatur konsep “marine cadastre” ini diyakini masih merupakan konsep yang baru bagi masyarakat. Oleh sebab itu, untuk melengkapi kajian atau analisis kebijakan pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan dalam disertasi ini, maka dilakukan suatu “Riset Persepsional” tentang konsep “marine cadastre” melalui kuesioner melalui “purposive sampling” dengan responden, yaitu para aktor kebijakan.

(14)

3.4.4 Analisis Nilai Ekonomi Total (TEV) Kawasan dan Analisis Biaya – Manfaat (B-C Analysis) Dalam Skema DPSIR

Indikator ekonomi kawasan saat ini dihitung melalui Total Economic

Valuation (TEV), yaitu menduga nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam

suatu kawasan dan sumberdaya alamnya, baik nilai guna maupun nilai

fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan

pengelolaannya. Secara umum TEV digambarkan dalam persamaan sebagai berikut (Kusumastanto, 2003.b):

(TEV) = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV) ... (1) Di mana:

DUV = Direct Use Value (nilai guna langsung)

Adalah output (barang dan jasa) yang terkandung di dalam suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan;

IUV = Indirect Use Value (nilai guna tak langsung)

Adalah barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya tidak secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut; OV = Option Value (nilai opsional)

Adalah potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen; Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat memanfaatkan potensi SDA di waktu mendatang;

BV = Bequest Value (nilai pewarisan)

Adalah nilai yang berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan

(preservation) suatu sumberdaya agar dapat diwariskan kepada

generasi mendatang sehingga mereka dapat mengambil manfaat daripadanya sebagai manfaat yang telah diambil oleh generasi sebelumnya;

EV = Existence Value (nilai keberadaan)

Adalah nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya; Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai subyektif yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam;

Dalam prosedur TEV digunakan teknik valuasi sumberdaya dan lingkungan dilanjutkan dengan analisis Biaya – Manfaat menggunakan kriteria: NPV, B/C, dan IRR yang secara matematis disajikan sebagai berikut (Kusumastanto, 2003.b; Dixon and Hufschmidt, 1986):

(15)

t r M e C e B d C d B NPV ) 1 ( ) ( ) ( − − − + − = ... (2) Di mana:

NPV = net present value

Bd = benefit dari kebijakan/program pembangunan

Cd = cost dari kebijakan/program pembangunan

Be = benefit ditinjau dari lingkungan pada kebijakan tersebut

Ce = cost ditinjau dari lingkungan pada kebijakan tersebut

M = biaya mitigasi (biaya untuk menghindari efek negatif dari kebijakan) Dalam analisis multi-years maka persamaan tersebut dapat disajikan sebagai berikut:

n r n C n B r C B r C B C B NPV ) 1 ( ) ( ... 2 ) 1 ( ) 2 2 ( ) 1 ( ) 1 1 ( 1 ) 0 0 ( + − + + − + + − + − = ... (3) di mana:

Bt = benefit dalam periode waktu t

Ct = cost dalam periode waktu t

r = social discount rate (DR)

Representasi rumus-rumus ini di dalam program spreadsheet Microsoft Excel©,

ditulis sebagai berikut:

NPV (2) dirumuskan dalam spreadsheet cell = NPV(DR;NB0:NBn) NPV (3)dirumuskan dalam spreadsheet cell = SUM(PV0:PVn)

di mana:

DR = Discount Rate (r)

NB0 = Net Benefit pada tahun ke nol

NBn = Net Benefit pada tahun ke n

PV0 = Present Value pada tahun ke nol PVn = Present Value pada tahun ke n

∑ = + − = n t r t t C t B C NetB 1(1 ) / ... (4)       − − + + − − + ∆ + + = NPV NPV NPV i i i IRR ( ) ... (5)

Demikian pula representasi rumus-rumus ini di dalam program spreadsheet Microsoft Excel©, ditulis sebagai berikut:

B/C = SUM(PV1:PVn)/-PV0 IRR = (NB0:NBn; DR)

Di mana:

Net B/C = rasio biaya-manfaat suatu kebijakan (program/proyek)

IRR = Internal Rate of Return (tingkat kemampuan pengembalian biaya

program/proyek), untuk program non-komersial/non analisis finansial, maka IRR = EIRR (Economic Internal Rate of Return)

t = time (waktu)

(16)

Kriteria kelayakan (feasibility) suatu program pembangunan dapat dinyatakan layak apabila:

NPV > 0; B/C > 1; dan IRR > DR

Dalam mengidentifikasi dan menetapkan komponen-komponen TEV digunakan skema DPSIR. Dalam lima tahun terakhir, khususnya dalam prosedur monitoring dan evaluasi kebijakan publik di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (khususnya manajemen sumberdaya air), telah berkembang penggunaan metode analisis multi-kriteria dalam skema DPSIR sebagai suatu analisis multi kriteria (MCA). MCA sesungguhnya bukan suatu pendekatan yang sangat baru, metode serupa telah pula digunakan dengan nama yang lain dalam substansi yang sama, yaitu model Multi Objective Multi Criteria dalam metode AHP (Saaty, 1986) dan MAUA: Multi Atribute Utility Analysis (Dunn, 1994).

MCA adalah suatu metode analisis untuk menentukan skala preferensi di antara berbagai set alternatif menjadi suatu rangkaian tujuan eksplisit yang telah dinyatakan oleh pembuat keputusan, yang telah pula menetapkan kriteria-kriteria terukur untuk mengevaluasi tujuan yang telah dicapai. MCA banyak digunakan baik dalam sektor publik maupun swasta, sehingga dalam perkembangannya metode ini sering pula disebut sebagai MCDA (Multi Criteria Decision Analysis). MCDA adalah suatu pendekatan sekaligus serangkaian teknik untuk menyediakan keseluruhan alternatif, dari yang paling diinginkan sampai kepada yang paling tidak diinginkan (OPDM, 2005).

Dalam konteks analisis kebijakan publik, kerangka konsepsi DPSIR ini merupakan tahapan strukturisasi dari MCA: analisis multi-kriteria di dalam prosedur evaluasi kebijakan (Vàzquez, 2003). Dengan kata lain, di dalam kerangka skema DPSIR dapat diaplikasikan teknik MCA untuk analisis kebijakan publik (Giupponi, 2001).

Skema DPSIR pertama dikembangkan oleh Turner and Adger. Sebagai kerangka baku kajian dampak, maka Skema DPSIR adalah merupakan analisis proses pengelolaan lingkungan hidup yang digambarkan sebagai umpan balik yang mengontrol suatu siklus yang terdiri dari lima tahapan, yaitu (Gambar 16):

(17)

1) Driving forces (akar masalah): penyebab “tekanan-tekanan” pada lingkungan hidup, seperti kebutuhan manusia akan tanah pertanian, energi, industri, transportasi, perumahan, dan sebagainya;

2) Pressures (tekanan-tekanan): terhadap lingkungan hidup, misalnya eksploitasi sumberdaya tanah, air, mineral, dan sumberdaya alam lainnya serta tekanan emisi polusi;

3) State (“keadaan” lingkungan): yang berubah akibat adanya “tekanan-tekanan”, misalnya kualitas dari berbagai media lingkungan seperti air, tanah, dan udara, serta konsekuensi kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan kebutuhan-kebutuhan kehidupan manusia maupun makhluk lainnya, penyediaan sumberdaya, dan sebagainya;

4) Impact (dampak): perubahan keadaan lingkungan terhadap kesehatan manusia, ekosistem, keanekaragaman hayati, nilai amenitas (kenyamanan), nilai finasial, dan lain sebagainya (dapat pula dinyatakan dalam tingkat kerusakan lingkungan);

5) Responses (tanggapan): upaya masyarakat (para politikus, pembuat keputusan) untuk memecahkan masalah-masalah atas dampak yang telah dievaluasi, yaitu dalam bentuk ukuran-ukuran kebijakan dan aksi perencanaan (Bowen, 2003, Vàzquez, 2003, Giupponi, 2001, Picollo, 2003).

Gambar 16. Analisis Multi Kriteria dalam Skema DPSIR (Giupponi, 2003 dengan tambahan konteks analisis dan evaluasi sosial-ekonomi dan manajemen pesisir terpadu, Bowen, 2003)

Respons

Tekanan Pola-pola penggunaan

tanah pada pemukiman masyarakat pesisir dalam pengembangan sector industri pesisir dan kelautan

ƒ Dinamika kebijakan ƒ Perubahan institusional

ƒ Perubahan dalam dinamika nutrient ƒ Beban kontaminasi dalam

sedimen kelautan

ƒ Biaya penanggulangan pencemaran ƒ Nilai rekreasi ƒ Nilai perikanan komersial Indikator sosial-ekonomi tertentu (khusus) dapat menggambarkan dorongan-dorongan sistem atau sustainability dari karakteristik State yang ditetapkan sebelumnya Akar Masalah Ekosis-tem Dampak ƒ Perubahan wetland pesisir ƒ Pembangunan industri ƒ Pemanfaatan wilayah dan

(18)

Selanjutnya, dalam laporan penelitian mereka tentang sumberdaya air di daerah aliran sungai, Kronvang et al. (2005) menggambarkan komponen-komponen dari skema DPSIR sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 9 berikut ini. Sebagai suatu analisis multi kriteria, maka skema DPSIR juga dapat menggabungkan indikator sosial-ekonomi dan manajemen pesisir dan laut terpadu dalam representasi matriks-matriks analisis (Gambar 17).

Gambar 17. Diagram Konsep DPSIR sebagaimana teks aslinya (Kronvang et al. 2005)

Pendekatan dan kajian yang dipilih sebagai alat analisis dalam prosedur evaluasi ini adalah bentuk kedua dari Evaluasi Teoritik-Keputusan, yaitu Analisis Multi-atribut Utilitas atau Analisis Multi-kriteria yang diaplikasikan menurut alur “Skema DPSIR” sebagai teknik yang baru berkembang sekitar lima tahun ini (Dunn, 1994; Vàzquez, 2003; Bowen, 2003; Rais, 2004; dan Kronvang, 2005). Teknik ini dapat diintegrasikan dengan aplikasi GIS (Geographic Information

Systems) dan menggunakan analisis data dengan Matriks Analisis dan Matriks

Evaluasi (Picollo et al. 2003; Giupponi, 2001).

Kombinasi (integrasi) metodologi dan metode serta teknik analisis kebijakan publik (Dunn, 1994) dengan Skema DPSIR (Picollo et al. 2003; Giupponi, 2001) merupakan suatu pendekatan yang baru (progressive), termasuk penggunaan aplikasi analisis data spasial Metode Survei Sumberdaya ABC (Skibicki, 1995, Tamtomo, 2004). Gabungan metode ini dipercaya merupakan kelebihan dari penelitian ini, yaitu secara komprehensif dapat memberikan analisis kebijakan

(19)

pemanfaatan ruang pesisir dan laut baik dari aspek: kebijakan, lingkungan, dan ekonomi. Untuk penelitian lanjutan perlu ditambahkan aspek sosial.

3.4.5 Analisis TEV “Best Use” dan Pemodelan Dinamik Menggunakan STELLA©

Turner et al. (1998) mengembangkan suatu model sistem generik untuk wilayah pesisir melalui skema atau kerangka DPSIR. Bagian terpenting yang akan dibahas di sini adalah mengenai “best economic value” dari kawasan pesisir dan laut lokasi penelitian. Secara umum skema model dimaksud dapat dilihat dalam Gambar 18.

Gambar 18. “Model Sistem Generik Wilayah Pesisir” dan “Nilai Total Kawasan” (Turner et al. 1998).

Sistem Pesisir:

(Model Sistem Terpadu)

Konteks Zona Pesisir: (Scenario Models) Pemerintah dan Masyarakat Respons Respons Dampak Tekanan Tekanan Tekanan Pendorong: Kebutuhan-kebutuhan Pemerintah danMasyarakat

Perubahan Sosial Ekonomi:

Peningkatan sosial-ekonomi melalui penambangan pasir darat dan laut, eksploitasi dan alihfungsi mangrove dan

terumbu karang

Aliran Materi:

Kekeruhan air laut, perubahan aliran material dasar laut, sedimentasi, dan abrasi

(Keadaan) Ekosistem Kelautan:

Telah terjadi kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut

(Keadaan) Kegiatan Kelautan:

Perikanan, wisata bahari (perhotelan dan restoran), industri maritim, angkutan laut,

dan jasa-jasa kelautan Nilai

Ekonomi

Nilai Ekonomi

Total

Nilai Total dari Wilayah

Nilai Guna

Nilai Tak Digunakan

Nilai Guna Langsung

Analisis Pasar, Kerugian Produksi, Biaya Perjalanan, Biaya Pengganti & Perbaikan

Nilai Guna Tak Langsung

Biaya Kerusakan, Fungsi Produksi, Harga Kenyamanan, Biaya

Defensif

Nilai Opsional Nilai Tak Digunakan

Nilai keberadaan, pewarisan dan kemanusiaan D P S P R I R P

(20)

Selanjutnya, lebih jauh Dixon and Hufschmidt (1986), menyebutkan bahwa penilaian ekonomi dapat dilakukan melalui satu prosedur empat langkah, yaitu mengidentifikasi seluruh dampak lingkungan atas kebijakan dan program pemerintah, melakukan kuantifikasi dampak tersebut, kemudian melakukan penilaian moneter, dan yang terakhir adalah melakukan perhitungan analisis ekonomi yang umumnya menggunakan teknik analisis B-C (benefit-cost

analysis).

Berdasarkan proses penilaian menurut Nunes, et al. (2003) dan Freeman (2003), terdapat dua kategori valuasi ekonomi, yaitu: (1) metode preferensi

terbuka dan (2) metode preferensi tertulis. Metode pertama, mengeksplorasi data

pasar yang ada dikaitkan dengan komoditas lingkungan. Teknik valuasi yang termasuk dalam kategori ini adalah: “metode biaya perjalanan”, “metode harga

kenyamanan”, “metode perilaku menghindar”, dan “metode fungsi produksi”.

Metode kedua, lebih mengkhususkan kepada teknik eksperimental “pasar

yang terbentuk” melalui teknik penilaian langsung dengan bantuan kuesioner.

Teknik valuasi yang termasuk dalam kategori ini yang paling populer adalah

“metode penilaian kondisional” (MPK) (Adrianto, 2006).

Pendekatan valuasi total adalah valuasi terhadap kontribusi sumberdaya pesisir dan laut kepada perekonomian sebuah kawasan. Berkenaan dengan skema dan model Turner et al. (1998) tersebut di atas, maka dalam penelitian ini telah ditetapkan komponen-komponen valuasi ekonomi kawasan dan sumberdaya di lokasi penelitian, sebagai berikut:

1) Biaya ekonomi, terdiri dari: (a) biaya modal dan periodik: biaya program dan pembangunan tahunan di sektor pesisir dan laut dalam APBD 2005; dan (b)

biaya kerusakan: nilai kerusakan sumberdaya, yaitu mangrove, terumbu

karang, dan akibat penambangan pasir laut;

2) Rent Ekonomi, terdiri dari: (a) DUV berupa PDRB 2005 dari sektor perikanan

dan kelautan; (b) IUV dinilai dari fungsi produksi: berupa pengeluaran

wisatawan bahari dan investasi industri maritim; (c) OV berupa nilai

biodiversity ekosistem mangrove dan terumbu karang yang masih dalam

keadaan baik; (d) BV berupa nilai preservasi eksisting kawasan dan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang sudah dalam keadaan rusak; dan (e) EV

(21)

berupa nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem mangrove dan terumbu karang.

Hasil dari perhitungan TEV kebijakan eksisting dan “best use” disimulasikan dalam sebuah piranti pemodelan dinamik dengan menggunakan perangkat lunak STELLA©.

Dengan demikian maka secara keseluruhan, analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre”, yang meliputi 5 (lima) langkah sebagaimana diuraikan di atas, dinamakan skema analisis “SPLL” (Satu

Prosedur Lima Langkah).

3.5. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

1) Pengumpulan data awal:

Dilaksanakan pada bulan Agustus 2003 (sesuai Surat Pengantar Sekretaris I PS-SPL PPS IPB tanggal 16 Juni 2003, Nomor: 12/K13.9.15/SPL/VI/2003, perihal: Izin Pengumpulan Data Untuk Bahan Pra Penelitian);

2) Pengumpulan data utama:

Dilaksanakan mulai bulan September 2005 hingga bulan Januari 2006 (dibekali dengan Surat Pengantar Sekretaris I PS-SPL PPS IPB tanggal 8 September 2005, Nomor: 11/K13.4.3.2/PL/2005, perihal: Izin Pengumpulan Data Untuk Bahan Penelitian);

3) Tempat penelitian:

Wilayah pesisir dan laut Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau, Propinsi Kepulauan Riau.

Gambar

Gambar 10. Prosedur umum dalam metodologi analisis kebijakan yang  berorientasi kepada masalah dengan bentuk analisis kebijakan
Gambar 11. Metode Survai Sumberdaya ABC (Abiotic-Biotic-Culture)  sebagaimana dikemukakan oleh Bastedo, Nelson dan  Theberge, sesuai diagram dan teks aslinya (Skibicki, 1995)  2)  Data biotik (biota dan ekosistem) wilayah pesisir dan lautan:
Gambar 12.   Hirarki monitoring pelaksanaan kebijakan dan pemanfaatan ruang  pesisir dan lautan
Gambar 13.  Hirarki evaluasi keberhasilan program menurut kriteria aspek sosial- sosial-ekonomi LEVEL 1: FOKUS LEVEL 2: KRITERIA LEVEL 3: PELAKSANAAN PROGRAM  Penerimaan PAD  Penerimaan Devisa  Penyerapan Tenaga Kerja Pemda Kab Kepulauan Riau Camat di Kab
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian Seren taun sebagai tindakan estetik pengahayatan ajaran spiri- tual dengan menggunakan bahasa rasa ke dalam seni dan ritual yang begitu melekat, merupakan

Memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut : pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia ini berdasarkan pancasila

Daftar Koreksian Daerah yang terdapat pada Jadwal Waktu Salat Selama-Lamanya Untuk Daerah Tanjung Karang, Teluk Betung, Panjang, Metro dan Menggala yang dihisab oleh Arius Syaikhi

Yes, right!' The Doctor activated his sonic screwdriver just in time, and what looked like a dark,.!. solid brick wall in front of them blossomed open, allowing the train to

[r]

M A M A T NIM.. “PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN MICROSOFT MATHEMATICS 4.0 TERHADAP KONSENTRASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA PADA POKOK BAHASAN LIMIT FUNGSI DI

Dengan demikian maka dapat di simpulkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan ada pengaruh pijat oksitosin terhadap onset laktasi pada ibu postpartum di RSU

Kabupaten Kebumen lebih meningkatkan perannya dalam program Kesehatan Reproduksi Remaja serta menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan dalam hal menjaga kebersihan organ