• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghayatan Grief Pada Ayah Yang Menghadapi Kematian Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penghayatan Grief Pada Ayah Yang Menghadapi Kematian Anak"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PENGHAYATAN GRIEF

PADA AYAH YANG MENGHADAPI KEMATIAN ANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

YOLAND DOROTHY S.

051301119

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Penghayatan Grief pada Ibu yang Menghadapi Kematian Anak

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penghayatan grief pada ibu yang menghadapi kematian anak. Kematian adalah sesuatu hal yang pasti dialami oleh setiap orang. Ibu memiliki hubungan yang intim dengan anak yang dimulai sejak ia mengandung. Anak adalah harapan dan masa depan orangtua, sehingga kehilangan anak dapat diartikan sebagai kehilangan harapan dan masa depan orangtua. Grief harus dijalani oleh setiap orang saat menghadapi kematian orang yang dicintai, demikian juga oleh ibu. Grief memiliki 5 fase, yaitu shock, awareness to loss, conservation/withdrawal, healing, dan renewal, dan setiap fase akan dilewati ketika menghadapi kematian orang yang dicintai.

Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan konstruk operasioanal (theory based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara menadalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah 3 orang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga responden menjalani grief dengan waktu yang berbeda-beda. Responden I menjalani grief sampai sekitar 2 tahun, responden II menjalani grief dalam waktu 2 bulan, dan responden III menjalani grief dalam waktu sekitar 2-3 tahun. Faktor yang mempengaruhi bagaimana ketiga responden menjalani grief adalah hubungan interpersonal responden dengan anak, dan latar belakang keagamaan/filosofis responden.

(3)

Grief of Mother who was have Death Child

ABSTRACT

The aim of this research is to discover how grief of mother that was have ding child. Death is a something that every people faced. Mother have a close relationship with her child begin she is pregnant. Child is a hope and future of parent, so when parent lose his/her child, they lose his/her hope and future. Grief must having when someone face a death of his/her loved.

For this research used approach qualitative method.The technique that used to gain respondent is theory based/ operational construct sampling. This research used in-depth interview method to collecting data. Respondents of this research were three mother who was have a death child.

The result of this research showed that all of three respondents having grief in different time and different way. The first respondent was having grief in 2 years, the second respondent was having grief in 2 months, and the third respondent was having grief in 2-3 years. Some factors that impact the respondent’s grief are close relationship with her child and religion/spirituality of respondent.

(4)

KATA PENGANTAR

Terima kasih serta Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa, oleh karena rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Proposal penelitian ini berjudul “Penghayatan Grief Pada Ibu Yang Menghadapi

Kematian Anak”. Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis mendapat banyak

bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aprilia Fadjar Pertiwi, M.Si, Psikolog, selaku dosen pembimbing, yang

telah menyediakan waktu, tenaga, kritik, saran, dan perhatian kepada

penulis selama proses penyusunan penelitian ini.

2. Keluarga penulis yang selalu mendukung, memberikan semangat dan

perhatian penuh, dan senantiasa mendoakan penulis, sehingga penulis dapat

tetap berusaha dan berjuang untuk menyelesaikan penelitian ini.

3. Para sahabat penulis, baik yang ada di kost, kampus, kepanitiaan, dan

organisasi yang telah memberikan dukungan maupun saran demi kelancaran

penelitian ini.

Akhir kata, penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan dan

kekurangan dalam penelitian ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Terima kasih.

Medan, Desember 2009

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Grief ... 11

1. Definisi Grief ... 11

2. Karakteristik Grief ... 11

B. Fase Grief ... 12

1. Fase Pertama: Shock ... 12

2. Fase Kedua: Awareness of Loss... 15

3. Fase Ketiga: Conservation and the Need to Withdraw ... 16

4. Fase Keempat: Healing ... 17

5. Fase Kelima: Renewal ... 19

C. Faktor-faktor Psikologis yang Mempengaruhi Reaksi Grief... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

A. Pendekatan Kualitatif ... 22

B. Metode Pengumpulan Data ... 23

C. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 25

1. Tape Recorder (Alat Perekam) ... 25

2. Pedoman Wawancara ... 25

D. Partisipan ... 26

1. Prosedur Pengambilan Partisipan ... 26

(6)

3. Karakteristik Partisipan ... 27

E. Prosedur Penelitian ... 27

1. Tahap Persiapan ... 27

2. Tahap Pelaksanaan ... 28

3. Tahap Analisis Data dan Interpretasi Data ... 28

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI ... .... 51

A. Responden I ... .... 51

1. Analisa Data .... ... ...51

a. Deskripsi identitas diri responden I . ... ...51

b. Latar belakang responden I ... .... 52

c. Data observasi umum responden I ... .... 54

1. Data Hasil Wawancara ... 56

2. Interpretasi Data ... 78

B. Responden II ... 84

1. Analisa Data ... 84

a. Deskripsi identitas diri responden II ... 84

b. Latar belakang responden II ... 85

c. Data obsevasi mum responden II... 86

1. Data Hasil Wawancara ... 89

2. Interpretasi Data ... 105

C. Responden III ... 112

1. Analisa Data ... 112

a. Deskripsi identitas diri responden III... 112

b. Latar belakang responden III ... 113

c. Data observasi umum responden III ... 114

1. Data Hasil Wawancara ... 116

(7)

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 149

A. Kesimpulan ... 149

B. Diskusi ... 156

C. Saran ... 159

1. Saran Praktis... 159

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 160

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Gambaran Umum Responden I ... 51

Tabel 2 Waktu Wawancara Responden I ... 54

Tabel 3 Interpretasi Responden I ... 78

Tabel 4 Gambaran Umum Responden II ... 84

Tabel 5 Waktu Wawancara Responden II ... 86

Tabel 6 Interpretasi Responden II ... 105

Tabel 7 Gambaran Umum Responden III ... 112

Tabel 8 Waktu Wawancara Responden III ... 114

Tabel 9 Interpretasi Responden III ... 135

(9)

Penghayatan Grief pada Ibu yang Menghadapi Kematian Anak

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penghayatan grief pada ibu yang menghadapi kematian anak. Kematian adalah sesuatu hal yang pasti dialami oleh setiap orang. Ibu memiliki hubungan yang intim dengan anak yang dimulai sejak ia mengandung. Anak adalah harapan dan masa depan orangtua, sehingga kehilangan anak dapat diartikan sebagai kehilangan harapan dan masa depan orangtua. Grief harus dijalani oleh setiap orang saat menghadapi kematian orang yang dicintai, demikian juga oleh ibu. Grief memiliki 5 fase, yaitu shock, awareness to loss, conservation/withdrawal, healing, dan renewal, dan setiap fase akan dilewati ketika menghadapi kematian orang yang dicintai.

Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan konstruk operasioanal (theory based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara menadalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah 3 orang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga responden menjalani grief dengan waktu yang berbeda-beda. Responden I menjalani grief sampai sekitar 2 tahun, responden II menjalani grief dalam waktu 2 bulan, dan responden III menjalani grief dalam waktu sekitar 2-3 tahun. Faktor yang mempengaruhi bagaimana ketiga responden menjalani grief adalah hubungan interpersonal responden dengan anak, dan latar belakang keagamaan/filosofis responden.

(10)

Grief of Mother who was have Death Child

ABSTRACT

The aim of this research is to discover how grief of mother that was have ding child. Death is a something that every people faced. Mother have a close relationship with her child begin she is pregnant. Child is a hope and future of parent, so when parent lose his/her child, they lose his/her hope and future. Grief must having when someone face a death of his/her loved.

For this research used approach qualitative method.The technique that used to gain respondent is theory based/ operational construct sampling. This research used in-depth interview method to collecting data. Respondents of this research were three mother who was have a death child.

The result of this research showed that all of three respondents having grief in different time and different way. The first respondent was having grief in 2 years, the second respondent was having grief in 2 months, and the third respondent was having grief in 2-3 years. Some factors that impact the respondent’s grief are close relationship with her child and religion/spirituality of respondent.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelahiran seorang anak adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh

orangtua di awal pernikahan, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor

yang mempengaruhi stabilitas pernikahan (Hurlock, 1980). Anak menjadi begitu

berharga bukan hanya disebabkan adanya hubungan darah, tetapi terdapat

hubungan emosional yang lebih dalam. Ikatan emosional antara anak dan orangtua

ini terbentuk sejak awal kehamilan, dimana orangtua mulai mencoba

membayangkan dan menggambarkan anak mereka secara fisik, serta mulai

mencari nama yang tepat bagi bayi mereka. Setelah anak lahir, ikatan antara anak

dan orangtua semakin kuat. Orangtua mulai belajar bagaimana merawat anak dan

tidak jarang mereka mengalami konflik dengan diri mereka sendiri dan pasangan

saat mengasuh anak, seperti kurangnya waktu untuk beristirahat karena harus

tetap siaga menjaga bayi mereka. Semakin sulit situasi yang harus dihadapi

orangtua dalam merawat anak, maka hubungan emosional antara anak dan

orangtua semakin kuat. Hal ini disebabkan karena orangtua semakin merasakan

adanya dorongan untuk melindungi dan bertanggungjawab bagi anak mereka

(Sanders, 1992).

Selain adanya ikatan emosional yang kuat anatara orangtua dan anak,

Dimatteo (1991) mengatakan anak adalah harapan dan masa depan orangtua. Saat

anak lahir, orangtua mulai melihat diri mereka pada anak dan mulai

(12)

berkembang pada anak. Selain itu, Sanders (1992) juga mengatakan anak

membawa orangtua kepada suatu kontak sosial yang baru, melalui aktivitas,

sekolah, dan peristiwa-peristiwa yang dialami anak sehari-hari.

Kehilangan anak menjadi peristiwa yang sangat sulit bagi orangtua karena

harapan-harapan dan impian-impian mereka seakan lenyap seketika. Kehilangan

anak dapat disebabkan karena anak lari dari rumah, adanya penculikan anak, atau

kematian. Bagi orangtua, kehilangan anak tidak hanya diartikan sebagai hilangnya

anak secara fisik, tetapi juga orangtua kehilangan aspek-aspek dari hidup mereka

(Sanders, 1992).

Persepsi orangtua terhadap hilangnya anak kemudian menyebabkan

terjadinya suatu proses reaksi psikologis, sosial, dan fisik. Kondisi seperti inilah

yang disebut dengan grief. Grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi

fisik sebagai persepsi dari kehilangan. Grief merupakan reaksi yang normal terjadi

saat orangtua kehilangan anak (Rando, 1984). Moules (2009) menambahkan

bahwa grief adalah proses yang dialami seseorang untuk menarik diri dan

memutuskan hubungan karena peristiwa kematian, kemudian memiliki keyakinan

untuk keluar dari rasa kehilangan mereka dan belajar untuk mengucapkan selamat

tinggal kepada orang yang mereka kasihi.

Menurut Sanders (1992), kematian anak merupakan grief yang sangat

menyakitkan dan prosesnya berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Owen

dkk (dalam Hoyer, Rybash, dan Roodin, 1996) melakukan suatu penelitian untuk

membandingkan reaksi grief yang dikaitkan dengan tipe kehilangan (loss) yang

berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa orangtua yang sedang berduka karena

(13)

kuat daripada orang yang berduka karena kematian pasangan hidup atau anak

yang berduka karena kematian orangtuanya. Beberapa peneliti dan terapis yakin

bahwa seseorang yang mengalami grief memerlukan waktu paling sedikit 1 tahun

untuk pulih dari keadaannya (Hoyer, Rybash, & Roodin, 1996). Karena grief

bersifat sangat individual (Attig & Storebe dalam Hoyer, Rybash, & Roodin,

1996), tentunya waktu yang diperlukan untuk menjalani proses grief juga

berbeda-beda pada tiap orang.

Kliman (dalam Rando, 1984) menyatakan kehilangan anak menghadapkan

orangtua pada banyak fakta. Orangtua merasa bahwa ada yang hilang dari diri

mereka. Orangtua harus menghadapi kenyataan kehilangan anak, kehilangan

mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang telah mereka tanamkan pada diri anak,

dan orangtua juga harus kehilangan harga diri mereka sendiri karena merasa gagal

untuk menjaga anak.

Sanders (1992) juga menyatakan kehilangan anak (parental grief) dapat

menyebabkan orangtua menjadi putus asa, cemas, marah, merasa bersalah, dan

stres. Perasaan seperti ini timbul karena orangtua merasa bertanggungjawab untuk

menjaga anak dengan baik, membuat mereka aman, dan melindungi mereka dari

bahaya (Dimatteo, 1991), sehingga kehilangan anak seakan-akan membuktikan

bahwa orangtua telah gagal melakukan tanggung jawab tersebut. Orangtua juga

mengalami frustasi karena kerinduan mereka yang begitu mendalam pada anak

(Sanders, 1992). Hal ini juga sesuai dengan apa yang dialami oleh Wita (bukan

nama asli):

(14)

demam biasa, jadi ku kasi obat demam aja. Tapi karna aku sepele dengan demamnya, pergilah dia jadinya.”

(Komunikasi Personal, 24 Oktober 2009)

Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Wijngaards-de Meiji

dkk (dalam Keesee, Currier, & Neimeyer, 2008) pada 219 pasangan suami istri

yang menghadapi kematian anak setelah 6, 13, dan 20 bulan, dikatakan bahwa

penyebab kematian, jumlah anak yang masih hidup, dan usia anak yang

meninggal memberikan variasi dan keunikan dalam pengalaman grief. Penelitian

ini juga membuktikan bahwa seecara umum orangtua yang memiliki anak yang

meninggal karena kecelakaan memiliki simptom grief yang lebih tinggi. Tetapi

terlepas dari penyebab kematian anak, orangtua pasti merasakan bahwa kematian

anak adalah suatu peristiwa yang sangat menyakitkan bagi mereka. Seperti yang

telah diuraikan di atas, orangtua merasa kehilangan masa depan dan

impian-impian mereka yang telah mereka rencanakan pada diri anak.

Ayah dan ibu memiliki pengalaman grief yang berbeda-beda saat

kehilangan anak. Ini disebabkan karena adanya hubungan yang unik dengan anak,

yang tidak terlepas dari bagaimana peran mereka terhadap anak (Sanders, 1992).

Cacciatore (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) menyatakan perbedaan pengalaman

grief ini juga disebabkan karena perbedaan kepribadian yang mendasar antara

ayah dan ibu. Sebagian besar ayah melihat “secara umum” sedangkan ibu lebih

detail. Ayah menekankan pada pikiran, sedangkan ibu menekankan pada

perasaan. Ayah berpikir secara logika dan realistis, sedangkan ibu lebih intuitif

dan idealis. Ayah mengatasi stres dan grief secara internal, sedangkan ibu secara

eksternal. Dalam peristiwa kematian anak, masyarakat menganggap bahwa

(15)

membesarkan anak dan memiliki kedekatan yang lebih dengan anak (Yayasan

Pulih, 2008).

Secara khusus, ibu menganggap keluarga seperti sebuah lingkaran dimana

ibu memiliki tanggung jawab secara emosional. Ibu berkomunikasi kepada setiap

anggota keluarga dan membantu mereka berkomunikasi satu sama lain, baik

antara ayah dengan anak, maupun antara anak yang satu dengan anak lainnya.

Saat anak meninggal, ibu merasa lingkaran keluarga ini menjadi rusak, dan ia

tidak bisa berperan seperti sebelumnya. Ibu tidak hanya mengalami grief karena

kematian salah satu anaknya, tetapi juga karena kehilangan keseimbangan dalam

sistem keluarga. Pada akhirnya, ibu merasa dirinya terisolasi dari lingkungan

sosial, sulit memahami dan menerima perihal peristiwa kematian anaknya tetapi

memiliki kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi untuk dirinya sendiri (Sanders,

1992).

Setiap individu memiliki caranya sendiri dalam menghayati grief dan

melalui proses pemulihan. Proses ini sangat bergantung pada latar belakang

budaya, kebiasaan, agama, serta dukungan dari orang terdekatnya (Rando, 1984).

Sanders (1992) menyatakan ada 5 (lima) fase yang dilewati seseorang

selama ia berada dalam kondisi grief. Fase-fase tersebut adalah shock, awareness

of loss, conservation and the need to withdraw, healing, dan renewal.

Menurut Shlain (dalam DiMatteo, 1991), proses grief mencakup pada

perkembangan dari tidak percaya menjadi suatu penerimaan. Perubahan ini tidak

terjadi begitu saja, tetapi membutuhkan suatu proses yang panjang dimana

seseorang yang mengalami grief bisa saja kembali ke keadaan sebelumnya

(16)

kematian menjadi memiliki cara pandang yang lebih luas, dari menerima peristiwa

kematian yang sudah lewat menjadi menenggelamkan diri pada dunia khayal dan

mimpi-mimpi bahwa orang yang sudah meninggal sebenarnya masih hidup.

Proses ini memakan waktu yang sangat lama sampai terbentuknya penerimaan

secara emosional bahwa orang yang sangat dikasihi benar-benar sudah meninggal

dunia. Proses ini secara normal terjadi antara 2 (dua) tahun sampai dua setengah

tahun.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana ibu menjalani

grief yang ia alami ketika menghadapi kematian anak dan bagaimana dampak

fisik, psikologis, dan sosial grief tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana penghayatan grief pada ibu dalam menghadapi

kematian anak.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penghayatan grief pada ibu yang

(17)

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat

manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan masukan empiris dalam hal gambaran penghayatan grief

pada ibu dalam menghadapi kematian anak.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan sumbangan informasi dan dorongan kepada para ibu

lainnya yang juga menghadapi kematian anak, untuk dapat lebih mudah

dalam menjalani grief.

b. Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran bagaimana

grief yang dialami oleh ibu, sehingga pihak keluarga, saudara, sahabat, dan

masyarakat dapat lebih memperhatikan kondisi ibu saat menghadapi

kematian anak.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berisikan inti sari dari :

Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

sistematika penulisan.

(18)

Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam

menjelaskan permasalahan penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan,

responden penelitian, metode pengumpulan data, alat

pengumpulan data, dan prosedur penelitian.

Bab IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian

Berisi mengenai deskripsi data responden penelitian dan analisa

data wawancara yang dilakukan pada responden penelitian.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Berisi tentang kesimpulan penelitian, diskusi, dan saran penelitian

(19)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. GRIEF 1. Definisi Grief

Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan

reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

Sanders (1998) menambahkan bahwa grief adalah penderitaan yang emosional

yang kuat dan mendalam, yang dialami seseorang akibat peristiwa kehilangan

seperti kematian orang yang dicintai. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan

bahwa grief adalah proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik seseorang sebagai

akibat dari persepsi terhadap kehilangan. Dalam penelitian ini, kehilangan

dimaksudkan pada kematian anak.

2. Karakteristik Grief

Menurut Rando (1984), ada beberapa karakteristik grief, yaitu:

a. Diwujudkan dalam bagian-bagian psikologis, sosial, dan fisik.

b. Merupakan suatu perkembangan yang terus-menerus termasuk

perubahan-perubahan yang terjadi selama proses tersebut berlangsung.

c. Terjadi secara alami, merupakan reaksi yang tidak diharapkan.

d. Merupakan reaksi terhadap pengalaman dari banyaknya jenis kehilangan

(loss), tidak hanya kematian.

e. Bersifat unik, didasarkan pada persepsi individual terhadap kehilangan

(20)

adanya pengakuan atau validasi dari orang lain terhadap kehilangan (loss)

agar seseorang mengalami grief.

B. FASE GRIEF

Menurut Sanders (1992), ada 5 (lima) fase berbeda yang ada pada saat berduka. Fase ini tidak harus berawal dari satu titik, dan tidak harus melewati

setiap proses secara berurutan. Individu bisa saja mengalami fase pertama,

kemudian langsung mengalami fase keempat tanpa harus menjalani fase kedua

dan ketiga. Individu juga bisa mengalami satu fase lebih dari satu kali. Tidak

harus semua simptom dari fase tertentu dialami oleh individu, tetapi bisa saja

hanya sebagian dari simptom tersebut. Dikatakan juga bahwa simptom dan

intensitas grief berbeda pada tiap orang.

1. Fase Pertama: Shock

Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami

perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat

pertama kali menyadari terjadinya kehilangan.

Shock secara umum digunakan untuk menggambarkan sejumlah

trauma yang derita. Secara natural, trauma ini bergantung pada banyak hal:

bagaimana, kapan, dan dimana kematian itu terjadi. Jika kematian

digambarkan terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba, shock yang dialami

oleh anggota keluarga mungkin akan lebih kuat. Kondisi dimana kematian

terjadi akan mempengaruhi tingkat keparahan dan panjangnya waktu yang

(21)

Fase shock memiliki beberapa karakteristik umum, yang dapat

diidentifikasi sebagai:

a. State of Alarm

Ketika berada dalam keadaan shock, tubuh berada dalam keadaan

tanda-tanda fisiologis yang kuat. Respon fisik ini adalah reaksi natural

ketika perasaan aman sedang terancam. Ketika mengalami kehilangan

(loss), reaksi yang dirasakan seperti perasaan takut dan kadang-kadang

menjadi panik. Akibatnya, tubuh membentuk sebuah posisi pertahanan

untuk melindungi diri.

b. Ketidakpercayaan

Ketidakpercayaan dan penolakan terjadi ketika dalam keadaan

berduka karena kedua hal ini bertindak sebagai pertahanan. Kedua hal ini

membantu untuk menjalani proses kehilangan (loss) yang sesungguhnya.

Pada saat pertama kali mengalami grief, sangat tidak mungkin untuk

berpikir tentang hal lain kecuali tentang kehilangan (loss).

c. Confusion

Mulai merasa kebingungan, tidak bisa mengingat apapun, sulit

berkonsentrasi, menghilangkan benda-benda seperti kunci, kacamata, atau

buku agenda, dan merasa sulit untuk mengambil keputusan. Reaksi ini

sangat normal. Dunia seakan-akan telah hancur saat orang yang dicintai

diambil.

d. Restlessness

Di awal masa duka, individu akan merasa resah dan gelisah.

(22)

sadar dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Individu sering terlihat

berjalan mondar-mandir dari suatu ruangan ke ruangan yang lain tanpa

suatu tujuan yang jelas.

e. Feelings of Unreality

Merasa bahwa keadaan yang dialami saat itu bukanlah suatu hal

yang nyata. Ini merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri dalam

menghadapi situasi emosi yang sangat menyakitkan.

f. Helplessness

Individu merasa membutuhkan pertolongan, karena peristiwa

kehilangan merupakan suatu kejadian dalam hidup yang dapat

menyebabkan individu sulit mengontrol diri, dan tidak ada sesuatu yang

dapat dilakukan untuk mengembalikan orang yang dicintai. Individu

merasa seperti anak-anak kembali, serta membutuhkan bantuan orang lain

untuk mengontrol diri sehingga dapat menjalani hidup secara wajar.

2. Fase Kedua: Awareness of Loss

Fase kedua ini ditandai dengan emosi yang tidak menentu setiap

harinya. Saat bangun pagi individu merasa cemas dan merasa takut saat akan

beranjak dari tempat tidur. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan

karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai

menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Ada beberapa karakteristik

dari fase ini:

(23)

Inidividu merasa takut akan bahaya, merasa tidak aman dan terjadi

pergolakan batin dalam diri individu. Ada kecemasan yang berlebihan

karena merasa kehilangan orang yang selama ini begitu dekat dan menjadi

tempat individu bergantung baik secara fisik maupun psikologis.

b. Conflict

Rasa kehilangan dapat menimbulkan banyak konflik. Dari

penelitian ditemukan bahwa banyak orang yang mengalami grief takut

untuk tinggal sendiri tetapi juga ragu untuk tinggal dengan orang lain,

disini terjadi konflik dalam diri orang tersebut. Konflik lain yang sering

terjadi adalah antara adanya perasaan tidak rela akan kehilangan orang

yang dicintai.

c. Acting Out Emotional Expectations

Orang yang mengalami grief, sering melakukan tindakan

emosional secara tidak sadar, seperti marah tanpa alasan yang jelas.

d. Prolonged Stress

Individu memilih cara untuk mengeluarkan emosinya, baik dengan

menangis, berteriak, ataupun memilih untuk menahan kesedihannya.

3. Fase Ketiga: Conservation and the Need to Withdrawal

Fase ini adalah fase dimana individu lebih suka menyendiri dan

menarik diri dari pergaulan. Di fase ini, individu merasa sangat kelelahan, dan

memerlukan istirahat dan pemulihan kembali. Berikut adalah karakteristik dari

fase ini:

(24)

Selama periode ini individu lebih suka menyendiri, menjauh dari

teman-teman untuk dapat berpikir dan istirahat.

b. Despair rather than depression

Individu kehilangan harapan dan merasa putus asa karena

menginginkan orang yang dicintainya dapat kembali seperti semula atau

sebelumnya.

c. Diminished Social Support

Orang yang mengalami grief membutuhkan dukungan sosial

sebanyak mungkin dan dalam jangka waktu yang lama untuk

membantunya menjalani grief.

d. Helplessness/Loss of Control

Individu merasa membutuhkan pertolongan karena merasa tidak

berdaya dan kehilangan kendali.

4. Fase Keempat: Healing

Pada fase ini, seseorang mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami.

Beberapa karakteristiknya adalah:

a. Reaching a Turning Point

Orang yang mengalami grief mulai memasuki proses pemulihan,

tetapi sulit untuk menentukan kapan dan dimana seseorang mulai

mengalami hal itu karena tidak ada peningkatan aktivitas secara tiba-tiba.

Individu perlahan-lahan menyadari bahwa kekuatannya telah pulih dan ia

melakukan lebih banyak kegiatan dan tidak mudah lelah seperti yang

(25)

b. Assuming Control

Individu mulai dapat mengendalikan dirinya kembali setelah

melewati peristiwa yang menakutkan, khususnya yang telah membuat

perubahan secara drastis terhadap diri individu. Pada fase ini individu

sangat takut untuk mengambil keputusan, terutama yang dapat membuat

keadaan menjadi lebih buruk sehingga ia lebih banyak diam dan tidak

bertindak apapun.

c. Relinquishing Roles

Pembagian peran dalam keluarga, dimana setiap orang memiliki

peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga tercipta stabilitas

dan keseimbangan dalam keluarga. Ketika keluarga ”kehilangan” salah

satu anggotanya, terjadi perubahan keseimbangan sistem keluarga

sehingga harus dilakukan penyesuaian kembali. Peranan itu harus

digantikan anggota keluarga lain, misalnya: peran ayah diambil oleh anak

laki-laki. Menyerahkan peran dan mendapat peran yang baru adalah hal

yang paling berat yang dialami individu.

d. Forming a New Identity

Kematangan yang diperoleh ketika individu mampu untuk

menerima tanggung jawab baru dan menjalani hidup yang berbeda yang

lebih didasarkan pada keputusannya sendiri daripada pada keputusan yang

diambil oleh orang lain.

e. Centering Ourselves

Individu tidak dapat memulai memperbaiki diri tanpa memusatkan

(26)

individu tidak mengetahui bagaimana perasaannya sebenarnya, apa yang ia

butuhkan untuk dirinya atau apa yang ingin dilakukan. Memusatkan

perhatian pada diri bukan berarti lebih mengutamakan ego atau self

centered, melainkan individu mencari pusat stabilitas dirinya. Individu

harus yakin bahwa ia dapat membut keputusan terhadap dirinya sendiri

berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri, bukan karena orang lain.

5. Fase Kelima: Renewal

Pada fase ini, seseorang mulai beradaptasi, menerima, dan belajar

untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi yang sudah

meninggal dunia. Karakteristik fase ini adalah sebagai berikut:

a. Renewing self awareness

Setelah peristiwa grief, terjadi suatu proses transisi yang membawa

individu dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Individu membutuhkan

waktu untuk memproses hal-hal yang telah dialaminya, sebelum ia

mampu menerima suatu hal yang baru.

b. Accepting responsibility for ourselves

Individu bertanggungjawab atas hidup dan nasibnya sendiri.

c. Learning to live without

Kehilangan anggota keluarga berarti adalah belajar untuk hidup

tanpa mereka. Jika individu benar-benar ingin memulai suatu hidup yang

baru, ia perlu mencari aktivitas lain untuk mengisi kekosongan di

(27)

C. FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI REAKSI GRIEF

Ada beberapa faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi reaksi

grief menurut Rando (1984), yaitu:

1. Hubungan interpersonal antara orang yang sudah meninggal dengan orang

yang mengalami grief

Kelekatan akan selalu mempengaruhi grief seseorang. Semakin lekat

hubungan antara orang yang mengalami grief dengan orang yang sudah

meninggal, maka grief akan lebih sulit diatasi.

2. Peran dari orang yang telah meninggal di dalam keluarga

Setiap anggota keluarga memainkan berbagai macam peran dalam

sebuah unit keluarga. Kehilangan dihasilkan karena adanya peran yang tidak

lagi dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah meninggal.

Adanya peran yang hilang di dalam keluarga, dan proses adaptasi

terhadap peran dan tanggung jawab baru yang harus dijalani oleh orang-orang

yang mengalami grief, adalah hal-hal yang mempengaruhi pengalaman grief

seseorang.

3. Pengalaman masa lalu seseorang terhadap kehilangan dan kematian

Pengalaman masa lalu tidak hanya akan memberikan harapan, tetapi

juga akan mempengaruhi strategi coping dan/atau mekanisme pertahanan yang

digunakan oleh orang yang mengalami grief. Jika situasi yang sama terjadi

sudah pernah terjadi sebelumnya, hal ini akan lebih mudah diatasi

dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi pertama kali yang terasa asing.

(28)

Respon seseorang terhadap kehilangan dan kematian secara umum

menggambarkan norma, adat-istiadat, dan persetujuan dari lingkungan

sosial-budaya. Keagamaan/filosofis seseorang secara signifikan mempengaruhi

kepercayaan, makna, dan nilai yang dipegang oleh seseorang untuk hidup,

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat

pengalaman-pengalaman subjektif individu ketika mengalami grief karena kematian anak,

maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan

variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Poerwandari 2001).

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) metode kualitatif memungkinkan

peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam

dan detail, dan fakta berupa kumpulan data yang tidak dibatasi oleh kategori yang

ditetapkan sebelumnya. Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus

menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus-kasusnya.

Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam dan detail serta

penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang,

interaksi dan perilaku yang teramati.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada

peneliti untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran partisipan,

perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkapkan dengan

(30)

B. Metode Pengumpulan Data

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,

disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti.

Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya,

analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah

jenis pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001).

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode

wawancara, yaitu wawancara mendalam (in-depth interviewing).

Wawancara mendalam merupakan satu bentuk wawancara, yang

dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap

peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Wawancara

mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background

life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang

hendak diteliti. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu sesuai

dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu

tersebut. Hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Banister dkk,

dalam Poerwandari 2001).

Dengan demikian, wawancara mendalam akan memungkinkan peneliti

untuk mengungkap semua aspek-aspek yang ingin diungkap dalam penelitian ini

dengan detail.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman

wawancara sebagai panduan agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang

(31)

Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di

luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.

Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik

funnelling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2001) yaitu memulai dari

pertanyaan-pertanyaan yang umum yang semakin lama semakin khusus.

Selama wawancara, peneliti juga melakukan observasi sebagai alat

tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi

partisipan, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat

bagaimana reaksi partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk

diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan

reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana

keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan

dalam proses wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan data tambahan

selama wawancara berlangsung.

Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat,

mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek

dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2001).

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,

aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas,

dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian

yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus

dipenuhi berbagai tetek bengek yang tidak relevan (Poerwandari, 2001).

C. Responden Penelitian

(32)

Karakteristik partisipan adalah seorang ibu yang memiliki anak yang telah

meninggal dunia. Pada saat diwawancarai, anak sudah meninggal dunia minimal

dua tahun lamanya. Menurut Shlain (dalam DiMatteo, 1991), seseorang akan

pulih dari kondisi grief selama rentang waktu kurang lebih dua tahun sampai dua

setengah tahun, meskipun hal ini tidak berlaku pada setiap orang. Hal ini menjadi

acuan untuk pemilihan karakteristik subjek agar memungkinkan untuk melihat

terjadinya 5 (lima) fase grief yang dialami oleh seseorang.

2. Jumlah responden penelitian

Partisipan dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah yang

besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

Pada dasarnya, jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan

secara tegas di awal penelitian (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007). Menurut

Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes,

oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus

diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa

yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya

yang tersedia.

Pada penelitian ini, jumlah partisipan yang direncanakan adalah sebanyak

3 orang dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk

mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan memerlukan pendekatan yang

mendalam terhadap subjek tentang grief yang dialami oleh ibu saat menghadapi

kematian anak, dengan sumber daya dan waktu yang terbatas. Pendekatan

(33)

subjek tidak diambil satu orang saja, dengan alasan agar dapat dibandingkan

antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dan dapat melihat perbedaan

individual.

3. Prosedur pengambilan responden

Untuk mendapatkan partisipan yang sesuai dengan tujuan penelitian,

maka peneliti menggunakan prosedur pengambilan sampel yang berfokus pada

intensitas, yaitu pengambilan partisipan yang diperkirakan mewakili (penghayatan

terhadap) fenomena secara intens (Patton dalam Poerwandari, 2001).

Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai partisipan yang

memiliki anak yang sudah meninggal dunia, sehingga partisipan telah mengalami

(menghayati) grief karena kehilangan seorang anak.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Pengambilan daerah penelitian

tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian

karena lokasi peneliti berada di daerah tersebut. Lokasi penelitian bisa berada

dimana saja tergantung pada kenyamanan dan keinginan responden untuk diambil

datanya.

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpul data,

seperti:

(34)

Suatu wawancara tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja,

karena indera manusia terbatas, yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan

hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang mendukung penelitian. Menurut

Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat

transkripnya secara verbatim (kata demi kata).

Agar peneliti tidak perlu sibuk untuk mencatat jalannya pembicaraan,

maka peneliti menggunakan tape recorder. Tape recorder dapat membantu

peneliti untuk tetap fokus kepada topik pembicaraan, sehingga memungkinkan

peneliti juga untuk melakukan observasi yang dapat menambah data atau hal-hal

yang mendukung sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Pedoman Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat semi struktur

untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibicarakan, sekaligus

menjadi daftar pengecek (checklist) tentang aspek yang telah dan yang belum

dibicarakan.

Pedoman wawancara berupa open ended question, disusun berdasarkan

teori-teori dalam Bab II. Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak

digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan bagi peneliti untuk

menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara, agar data yang dihasilkan lebih

lengkap dan bervariasi.

(35)

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif

untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam

yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam

bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu

ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas

penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud

mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial

atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas

penelitian ini, antara lain dengan:

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini

adalah seorang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan fase-fase grief dan faktor-faktor

yang mempengaruhi reaksi grief. Menggunakan pertanyaan terbuka dan

wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

3. Memperpanjang keikutsertaan responden dalam pengumpulan data di

lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih

banyak tentang subjek penelitian.

4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam

bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal

kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini

dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas

(36)

5. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil

wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang

dilakukan setelahnya.

G. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

a. Melakukan wawancara awal terhadap ibu yang memiliki anak yang telah

meninggal dunia. Hal ini dilakukan pada tahap paling awal penelitian,

yang bertujuan untuk melihat aspek psikologis apa yang dialami oleh ibu.

Setelah itu, merumuskan permasalahan yang akan diteliti.

b. Mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama penelitian, seperti

tape-recorder.

c. Peneliti menganalisa dan memilih teori-teori mengenai kondisi grief yang

akan digunakan dalam penelitian ini.

d. Menyusun serangkaian pertanyaan untuk dijadikan sebagai pedoman

wawancara yang didasarkan dari teori-teori yang dipakai.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Menghubungi calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik

partisipan.

b. Membuat janji pertemuan yang sesuai dengan waktu yang disepakati

dengan partisipan yang bersedia memberikan informasi yang sesuai

(37)

c. Informed consent, yaitu partisipan menyatakan persetujuannya untuk

terlibat dalam penelitian, setelah ia mendapatkan informasi yang benar

tentang penelitian yang melibatkannya tersebut (Kvale dan Neuman dalam

Poerwandari, 2001).

d. Meminta izin partisipan untuk merekam pembicaraan pada tape recorder

dari awal sampai akhir wawancara.

e. Wawancara terlebih dahulu diawali dengan percakapan-percakapan ringan

sebelum melakukan wawancara mendalam. Hal ini bertujuan untuk

membuat suasana wawancara menjadi rileks dan tidak kaku.

f. Wawancara dimulai dari pertanyaan-pertanyaan umum, yang kemudian

makin lama makin khusus berdasarkan pedoman wawancara yang telah

dipersiapkan sebelumnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat

perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Hasil rekaman ini

kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah

salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di

atas kertas.

H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data

Beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif menurut Poerwandari

(2007), yaitu :

(38)

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang

diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan

mensistemasi data secara lengkap dan mendatail sehingga data dapat

memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua

peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting,

meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan

prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak

(dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggap paling efektif bagi

data yang diperolehnnya (Poerwandari, 2007).

2. Organisasi data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa

organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

a. Memperoleh data yang baik,

b. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

c. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian peneliti.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah

(catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses

sebagainya (transkip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode

khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data

dan langkah analisis.

(39)

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola

yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola tersebut tampil secara

acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses

mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau

indikator yang kompleks, kulifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau

hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara

minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan

interpretasi fenomena.

4. Tahapan interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi

mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam.

Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poewandari,

2007), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding)

terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat

(condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari

pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandah peneliti,

melainkna dikembalikan pada pemahaman diri subjek penelitian, dilihat dari sudut

pandangg dan pengertian penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi

pemahaman biasa yang kritis (critical commnsense understanding) terjadi bila

peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti

mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada

kerangka pemahamn subjek, bersifat krisis terhadap apa yang dikatakan subjek,

(40)

membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam

konteks penalaran umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai

masyarakat umum dalam mana subyek berada. Ketiga, konteks interpretasi

pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini,

kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan

yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subyek ataupun

penalaran umum.

5. Pengujian terhadap dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita

mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan sementara.

Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji

ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini

temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang

ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda

dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari

penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif

harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta yang tidak

(41)

BAB IV

HASIL ANALISIS DATA

Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) responden penelitian. Pada bagian ini

akan dipaparkan hasil wawancara dengan ketiga responden penelitian (nama

bukan sebenarnya) dan analisis dari data yang diperoleh. Tabel berikut adalah

gambaran umum dari ketiga responden penelitian tersebut :

Tabel 1

Gambaran Umum Responden Penelitian

Responden 1 Responden 2 Responden 3

Nama Pipit Vira Ida

Pekerjaan Pembantu Rumah Tangga

Karyawan Konveksi

Perawat

Suku Bangsa Karo-Sunda Melayu Karo

Jumlah anak 3 orang 2 orang 4 orang

Kanker mata Kelainan jantung sejak dalam

kandungan

Kecelakaan lalu lintas

(42)

1. Deskripsi Data

Pipit adalah anak ke 5 dari 7 bersaudara. Karena kondisi keuangan di

dalam keluarga, Pipit hanya bisa mengecap pendidikan sampai ke jenjang SD saja.

Pipit menikah muda. Di usianya yang masih muda, 18 tahun, Pipit sudah harus

meninggalkan keluarganya dan memulai kehidupan yang baru bersama suaminya.

Pipit bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaannya adalah menyuci dan

menyetrika, kemudian pulang ke rumah pada siang atau sore hari. Selain itu, Pipit

juga mencari tambahan uang dari keahliannya untuk mengusuk (mengurut)

orang-orang yang meminta jasanya. Suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia mau

mengerjakan pekerjaan apa saja yang bisa ia kerjakan.

Pipit memiliki 3 orang anak. Putra pertama bernama Ari, yang saat ini

sudah menduduki kelas 3 SMP. Putra kedua bernama Wibi, sedangkan putra

ketiga bernama Sandi, yang berusia 8 tahun dan belum bersekolah.

Wibi adalah putra Pipit yang sudah meninggal dunia 9 tahun yang lalu

karena penyakit kanker mata. Setelah dilakukan pengobatan ke beberapa tempat,

penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, dan akhirnya Wibi meninggal dunia.

2. Data Observasi

Pipit memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus,

dengan berat badannya sekitar 50 kg dan tinggi badan sekitar 145 cm. Pipit

berkulit putih bersih dan memiliki rambut sebahu. Ia tinggal di rumah yang

setengahnya berdinding tembok, dan setengahnya lagi terbuat dari papan. Rumah

ini hanya memiliki satu jendela di ruang tamu, dan sering tertutupi dengan

(43)

pengap dan udara hanya masuk melalui pintu depan. Rumah Pipit hanya berjarak

sekitar 8 meter dengan rumah kakak-kakaknya.

Wawancara yang pertama dan kedua dilakukan di rumah Pipit. Pada

wawancara yang pertama, Pipit memakai kaus berkerah berwarna hitam dan

celana pendek putih, sehingga terkesan santai. Pipit menyambut peneliti dengan

begitu bersahabat, bahkan sampai menyuguhkan makanan ringan dan minuman

segar selama wawancara berlangsung. Pipit menjawab semua pertanyaan dengan

mudah meskipun di beberapa saat Pipit tidak sanggup menahan air matanya ketika

menceritakan tentang Wibi. Selama menceritakan bagaimana kejadian saat Wibi

meninggal, Pipit terus-menerus memandangi foto Wibi yang juga ditunjukkan

kepada peneliti. Di awal wawancara, Pipit mengaku bahwa ia sebenarnya tidak

ingin ditanyakan tentang kematian anaknya, tetapi kalau cerita itu bisa membantu

orang lain, ia akan menceritakannya dengan senang hati. Selama wawancara

berlangsung, putra ketiga Pipit (Sandi) beberapa kali menyela percakapan dengan

meminta minum atau makanan kepada ibunya. Sesekali Pipit harus keluar rumah

menjemput Sandi karena tetangganya melaporkan bahwa putranya mengganggu

anak tetangga. Hal ini membuat peneliti harus mengulang pertanyaan dan

meminta Pipit menjelaskan kembali.

Pada wawancara kedua, Pipit memakai kaus berkerah berwarna ungu dan

celana pendek putih. Pipit mengaku baru pulang dari rumah majikannya dan

sedang menyiapkan makan siang untuk keluarganya, sehingga peneliti harus

menunggu hingga makan siang selesai. Wawancara dilakukan di ruang tamu, dan

selama wawancara berlangsung, putra pertama Pipit (Ari) dan Sandi ikut duduk di

(44)

sesekali terhenti karena Sandi sempat mencoba mengambil alat perekam yang

diletakkan di antara peneliti dan Pipit. Diakui Pipit, Sandi memang sangat senang

jika ada tamu yang datang ke rumahnya, sehingga Sandi akan mencoba mencari

perhatian pada setiap tamu yang datang. Akibatnya, Pipit sering terganggu ketika

akan menjawab pertanyaan karena harus menghentikan ulah Sandi, sehingga

jawaban sering diberikan secara berulang-ulang. Rumah Pipit yang bersebelahan

dan sangat rapat dengan rumah-rumah tetangganya mengakibatkan Pipit sering

berkomunikasi dengan para tetangganya dengan suara yang keras, dan mereka

sering mengobrol dari rumah ke rumah tanpa bertatap muka. Hal ini membuat

wawancara harus dihentikan sementara karena Pipit harus menanggapi apa yang

dikatakan oleh tetangganya, tetapi wawancara dapat dilanjutkan kembali dan bisa

diatasi dengan mengulang pertanyaan.

Pipit cukup kooperatif selama pengambilan data. Setiap pertanyaan

dijawab dengan panjang lebar dan jelas serta detail. Bahkan terkadang Pipit

memberikan uraian yang panjang tanpa ditanya oleh peneliti.

3. Data Wawancara a. Proses Kematian Anak

Pipit sangat membanggakan almarhum Wibi dari kedua anaknya yang lain.

Ia mengatakan bahwa putranya ini sangat ganteng, putih, dan pintar. Karena

keramahannya, Wibi disukai banyak orang, khususnya oleh para tetangga Pipit.

Proses melahirkan Wibi juga cukup mudah, tidak memerlukan waktu yang sangat

lama untuk mengeluarkannya dari rahim. Sejak Pipit mengandung putra keduanya

(45)

Selain berharap agar anak yang ia kandung ini dapat lahir dengan selamat dan

sehat, ia juga mengharapkan agar anaknya kelak dapat bersekolah dan berprestasi,

sehingga dapat membantu kedua orangtuanya.

Wibi lahir dengan keadaan yang normal, sama dengan anak-anak yang

lainnya dan terlihat tidak ada kelainan yang mengkhawatirkan. Di umurnya yang

kedua, barulah terlihat bahwa mata Wibi seperti tidak bersinar. Hanya saja Pipit

menganggapnya sebagai hal yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki

orang-orang pada umumnya.

“...Udah gitu pernah periksa kan, ”Bu, itu kok ga ada cahayanya Bu? Ibu coba periksa Bu” kata dokternya...”

(R1.W1/b.95-97/hal.4)

”... Ketauannya waktu dia berumur 2 tahun. Jadi orang bilang kok ga ada sinar di matanya. Kakak bilang, ’biasa itu, dia bisa ngeliat orang halus lho’.”

(R1.W1/b.84-87/hal.3)

” Iya. Dia memang bisa nampak. Cuma kita ga taulah kenapa ya kan...” (R1.W1/b.89-90/hal.3)

Semakin hari kondisi mata Wibi semakin parah. Ada semacam benjolan

yang tumbuh di dekat telinganya, dan kalau ditekan, maka akan mengeluarkan

cairan semacam selai. Cairan ini tidak hanya keluar melalui benjolan tersebut,

tetapi juga melalui mata Wibi. Melihat ini, Pipit dan suaminya mencoba menutup

mata anak mereka dengan perban, dan mencari bantuan ke kantor Lurah agar

mereka dapat membawa Wibi ke rumah sakit tanpa harus dikenakan biaya, karena

kondisi keuangan keluarga Pipit yang tidak memungkinkan. Setelah sebelumnya

berkonsultasi dengan seorang dokter, Pipit dan suaminya akhirnya membawa

Wibi untuk diperiksa di rumah sakit. Dokter menyarankan agar mata Wibi

(46)

dengan akan datangnya Hari Raya Haji. Sebulan Pipit berada di rumah sakit untuk

menunggu operasi dilakukan, sementara mata Wibi terus-menerus mengeluarkan

cairan dan akhirnya biji matanya keluar. Sebelum dibawa ke rumah sakit, Wibi

juga pernah dibawa ke pengobatan alternatif karena kondisi keuangan rumah

tangga Pipit yang tidak mencukupi untuk membawa ke rumah sakit.

Menurut Pipit, semasa putranya ini masih hidup, ia sering bertanya-tanya

di dalam hati kalau-kalau anaknya dipanggil oleh Tuhan, apakah yang akan terjadi

dengan dirinya. Pikiran seperti ini muncul ketika ia sedang melihat anaknya.

”... Udah gitu kalo tidur, kakak sering bilang gini ’Ya Allah ya Tuhanku, anakku ini ganteng kali. Kalo diambil dariku, bisa gila aku ini. Misalnya tiba-tiba diambil, bisa gilalah aku’...”

(R1.W1/b.169-172/hal.6)

”... Kalo misalnya dia maen jungkit-jungkit kan, ada terpikir ’Panjang ga umur anakku ini ya’. Ada firasat kayak gitu...”

(R1.W1/b.174-177/hal.6)

Menjelang kematiannya, Wibi sering meminta hal-hal yang tidak pernah

terpikirkan oleh Pipit. Ini membuat Pipit semakin merasa bahwa hidup anaknya

tidak akan lama lagi. Perkataan dokter yang menyuruh ia memberikan apapun

yang diminta oleh Wibi, membuatnya semakin sering berpikir tentang kematian

anaknya.

”... Kata dokternya gini, ’Bu, nanti anak Ibu minta apa aja, kasi aja Bu. Tidak ada pantangan’ katanya. Dari situ kakak udah mikir gini, ’Ih, ya Allah ya Tuhanku, orang ini kok udah bilang gini ya? Apa anakku udah mau meninggal ya?’...”

(R1.W1/b.204-209/hal.7)

”... Biasanya ga mau dikasi roti, minta terus. Kakak kasi terus dia makan. Habis itu dibilangnya gini, ‘Bu, jangan jual TV ya Bu. Nanti Bibi mau nonton’. Trus datang kakak, bilang ‘Gapapalah Nak, dijual, biar untuk obat Wibi’. Jadi kakak sedih kali disitu, kenapa lah anakku ini bilang kekgini…”

(47)

Menjelang kematiannya, Wibi dipangku oleh ayah dan ibunya. Wibi

meminta kepada ayah dan ibunya untuk membawa ia pulang, karena ia lebih suka

meninggal di rumah daripada di rumah sakit. Karena sudah lama berada di rumah

sakit, Wibi sering melihat bagaimana perlakuan dokter saat ada pasien disana

yang meninggal dunia. Hal itu membuatnya takut untuk meninggal di rumah sakit

karena ia takut mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang pernah ia lihat

sebelumnya. Pipit mengatakan bahwa pada waktu itu Wibi melihat malaikat dan

tidak mau diajak pergi oleh malaikat itu. Setelah itu, Wibi pun akhirnya

meninggal dunia.

b. Proses Grief 1) Fase-fase Grief a) Fase Shock

Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami

perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat

pertama kali menyadari terjadinya kehilangan. Pipit mengalami state of alarm,

saat ia tiba-tiba tidak sadarkan diri lalu pingsan lalu setelah siuman ia merasa

tubuhnya sangat lemas. Pipit juga mengalami confusion, saat ia sulit

menyadari tamu-tamu yang datang melayat. Fase pertama ini dilewati oleh

Pipit seperti berikut :

Melihat Wibi yang sudah meninggal dunia, Pipit merasa badannya lemas

dan langsung tidak sadarkan diri. Setelah sadar, pikirannya terasa kosong,

(48)

“…Kakak udah pingsan-pingsan, udah ga sadar-sadar. Sementara orang datang bolak-balik, kakak ga tau, udah linglung. Kosong gitu pikirannya, ga tau siapa yang datang...”

(R1.W1/b.330-333/hal.11)

”... Ga sadar lah sebentar. Trus disuruh ngucap. Tapi waktu ngucap-ngucap itu, rasanya roh kita udah ga ada ya, kayak udah melayang gitu. Kayak hilang semangatnya. Lemes badan itu...”

(R1.W2/b.66-69/hal.17)

b) Fase Awareness of Loss

Pada fase ini individu mengalami emosi yang tidak menentu setiap

harinya. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang

yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan

yang terjadi. Pipit mengalami separation anxiety, ketika ia merasa hampa dan

ingin membunuh dirinya sendiri ketika ia telah menyadari bahwa anaknya sudah

tidak ada lagi. Prolonged stress juga dialami Pipit saat ia sering menangis saat ia

karakoean di rumah, teringat dengan kegiatan yang sering ia lakukan bersama

anaknya ketika masih hidup. Pipit juga mengalami conflict, ia melihat masa lalu

saat melahirkan Wibi dan mencari-cari kesalahan yang ia lakukan yang mungkin

menjadi penyebab kematian anaknya. Dari data yang diperoleh, Pipit juga

mengalami fase ini.

Setelah Wibi meninggal dunia, Pipit merasa hidupnya hampa dan tidak

memiliki keinginan untuk hidup lagi.

“Hampalah, hampa. Macam ada aja yang kehilangan. Ya kekmanalah, biasa kita nengok, biasa kita nampak dia...”

(R1.W1/b.241-243/hal.8)

Pipit sering merasa sangat merindukan anaknya saat ia melakukan

(49)

dengan anak-anaknya pada siang sampai sore hari. Kebiasaan ini biasanya mereka

lakukan saat Pipit sudah pulang bekerja.

”... Dulu kakak suka karaoke ya, jadi kami sering nyanyi-nyanyi. Jadi kalo kakak udah nyanyi, orang ini udah tau. ’Itu lagi nyanyi itu, pasti dia teringat anaknya itu. Nanti ga terasa air matanya udah ngalir itu’. Itu lama. Sampai hamil besar adik ini lah. Sampai udah mau melahirkan...” (R1.W2/b.94-99/hal.18)

Pipit juga masih suka menebak-nebak penyebab mata almarhum anaknya

seperti itu. Ia memperkirakan beberapa hal yang menyebabkan demikian.

”... Itu, sebelum dia meninggal, anakku itu pernah jatuh. Waktu magrib pernah jatuh, tertancap paku. Ayahnya lagi merantau, kakak sibuk jualanlah kan. Kakak cabut, sikit aja, tapi mungkin, mungkin, kena pembuluh darah mata ini ya kan. Gitu kakak ambil, langsung ngucur darahnya. Tapi memang naas ya, mungkin emang jalannya dia mati...” (R1.W1/b.359-366/hal.12)

”... Dulu dia masih kecil, masih umur 6 bulan. Orang banyak kali yang suka menggendong dia kesana kemari, kesana kemari. Tiba-tiba ada yang mau ngasi ke kakak, mutar-mutar, mutar-mutar, tiba-tiba jatuh. Bukannya tinggi kali. Rendahnya. Tapi ya itulah, langsung kejang. Mungkin ya, mungkin, ntah kena apanya gitu.”

(R1.W1/b.367-374/hal.12)

”... permulaannya tau, katanya kalo mata anak kita sakit, ditetesin air susu. Jadi kalo dia sakit mata, kakak tetesin air susu kakak. Itulah kata orang tua dulu. Tapi, ga semua bisa. Air susu kakak tajam. Kena aja sikit di kulit, udah luka. Suka kakak tetesin ke matanya. Waktu bayi dia, merah matanya, kakak tetesin. Sementara air susu awak tajam...”

(R1.W1/b.407-414/hal.14)

c) Fase Conservation and the Need to Withdrawal

Pada fase ini individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari

pergaulan. Individu merasa sangat kelelahan, memerlukan istirahat dan pemulihan

kembali. Pada fase ini, Pipit mengalami withdrawal and the need to rest, ia mulai

menghindari rumah sakit dimana anaknya dulu pernah dirawat, ia juga menolak

(50)

dulu, bahkan ia juga menghindari untuk pergi melayat ke rumah tetangga yang

anaknya meninggal dunia yang memiliki usia rata-rata sama dengan almarhum

anaknya. Pipit juga mengalami despair rather than depression, ia mulai putus asa

dan kehilangan selera makan, bahkan ia tidak lagi melakukan hal-hal yang sering

ia lakukan dulu seperti berdandan. Selain itu, Pipit juga mengalami diminshed

social support, dan ia mendapatkan dukungan sosial dari suami, keluarga besar,

bahkan majikan tempat ia bekerja. Dari data yang diperoleh, fase ketiga ini

dilewati Pipit seperti berikut:

Pipit mengaku sempat tidak sanggup melewati dari rumah sakit dimana

Wibi pernah dirawat. Selain itu, Pipit juga sempat kehilangan selera makannya,

sehingga harus disuapi agar ia mau makan.

”... Kakak kalo lewat dari Pirngadi itu, ga sanggup kadang-kadang. Teringat, teringat aja sama dia. Perasaannya hampa, kayaknya ga mau hidup lagi. Kayaknya mau ikut sama dia...”

(R1.W1/b.247-250/hal.8)

”... Ini kayak kosong, trauma, macam orang streslah. Kekmana orang stres. Ga mau bersolek, ga mau berdandan. Ya gitulah. Yang tadinya kita pesolek, males. Yang tadinya kita periang, agak murung...”

(R1.W1/b.391-395/hal.13)

”... Kalo dulu makan ga bisa, minum ga bisa. Pikiran kosong kali.” (R1.W1/b.418-419/hal.14)

Selain itu, ia juga tidak lagi sering mengobrol dengan para tetangga dan

keluarganya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.

” Becakap pun malas. Ee..., kalo jumpa ya sekedar gitu aja. Apa ya, kayaknya hampa kali. Mau bicara, mau ketawa, itu terbatas. Biasa kita ketawa terpingkal-pingkal ya kan, ini ga lagi…”

(R1.W2/b.166-169/hal.20)

Selama masa berkabung, Pipit merasa bahwa keluarga besarnya sangat

(51)

Wibi. Mereka selalu memberikan semangat dan mengingatkan dia saat ia mulai

menangis karena mengingat Wibi. Meskipun begitu, Pipit mengatakan bahwa

yang paling ia butuhkan adalah perhatian dari suaminya.

”... Biarpun mertua kakak, biarpun ipar-ipar, biarpun kakak awak sendiri, ngasi semangatlah. Ngasi semangat, “Jangan gitu-gitu ajalah, udahlah, ikhlaskan”. Gitu. Itulah. Eceknya ngasi semangatlah, ditambah lagi orang itu datang ke rumah ya kan. jadinya senanglah...”

(R1.W2/b.157-162/hal.20)

”... Kami kan suka ngumpul di depan. Jadi orang itu suka manggil supaya kakak ikut gabung-gabung disana. Kami suka melucu-melucu. Trus nanti kami disitu ketawa-ketawa. Hilang jugalah rasa stres kita itu...”

(R1.W2/b.216-220/hal.21-22)

Sampai sekarang, Pipit tetap tidak bisa menutupi perasaan sedihnya jika

mendengar ada anak orang lain yang meninggal dunia di usia 1 atau 2 tahun ke

atas. Ia langsung teringat dengan kematian Wibi yang juga meninggal dunia di

usia yang sama. Hal ini menyebabkan Pipit tidak pernah pergi melayat jika

mendengar kabar seperti itu. Ia merasa takut dan stres.

”... Tapi ya, jujur kakak, jujur, kalo ada anak orang meninggal, kalo bayi kakak ga terlalu ini ya, anak meninggal umur 2 tahun ke atas atau setahun ke atas gitu kan, itu kakak sering nangis. Teringat sama anak kakak....” (R1.W2/b.375-379/hal.26-27)

”... Makanya kakak ga pernah pergi kalo ada anak orang meninggal, takut kakak, takut stres,sampai sekarang...”

(R1.W2/b.385-387/hal.27)

d) Fase Healing

Fase ini merupakan awal pemulihan dari peristiwa grief. Individu mulai

mencoba keluar dari grief yang ia alami. Pada fase ini, Pipit mengalami reaching

a turning point (mulai dapat beraktivitas kembali), assuming control (mulai dapat

mengontrol dirinya untuk tidak terlalu bersedih karena kematian anaknya),

Referensi

Dokumen terkait

ANAK USIA

pertanian dan sesudah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu di Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, 3) menganalisis perubahan

1) Minimal berijazah S2 dari perguruan tinggi yang terakreditasi B atau berijazah S1 yang direkomendasikan oleh perguruan tinggi yang dituju untuk langsung ke jenjang

 Menjadi kelompok keahlian metalurgi yang unggul, bermartabat, mandiri dan diakui di tingkat nasional dan internasional yang bertumpu pada hasil penelitian dan

menampilkan hasil pemindaian yang sebelumnya berupa angka koordinat x,y,dan z dari sensor optik kemudian ditampilkan atau divusialisasikan sehingga berbentuk objek 3 dimensi

Sedangkan tujuan dari permasalahan ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pangsa Pasar Pembiayaan dan Non Performing Financing (NPF) terhadap

Program Pembinaan Eks Penyandang Penyakit Sosial (Eks Narapidana, PSK, Narkoba Dan Penyakit Sosial Lainnya) dilaksanakan dengan dasar Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1998

Mangga kweni (Mangifera odorata Griff) merupakan salah satu anggota genus Mangifera yang memiliki aroma yang khas pada buah yang telah masak, sehingga mangga