PENGHAYATAN GRIEF
PADA AYAH YANG MENGHADAPI KEMATIAN ANAK
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
YOLAND DOROTHY S.
051301119
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Penghayatan Grief pada Ibu yang Menghadapi Kematian Anak
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penghayatan grief pada ibu yang menghadapi kematian anak. Kematian adalah sesuatu hal yang pasti dialami oleh setiap orang. Ibu memiliki hubungan yang intim dengan anak yang dimulai sejak ia mengandung. Anak adalah harapan dan masa depan orangtua, sehingga kehilangan anak dapat diartikan sebagai kehilangan harapan dan masa depan orangtua. Grief harus dijalani oleh setiap orang saat menghadapi kematian orang yang dicintai, demikian juga oleh ibu. Grief memiliki 5 fase, yaitu shock, awareness to loss, conservation/withdrawal, healing, dan renewal, dan setiap fase akan dilewati ketika menghadapi kematian orang yang dicintai.
Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan konstruk operasioanal (theory based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara menadalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah 3 orang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga responden menjalani grief dengan waktu yang berbeda-beda. Responden I menjalani grief sampai sekitar 2 tahun, responden II menjalani grief dalam waktu 2 bulan, dan responden III menjalani grief dalam waktu sekitar 2-3 tahun. Faktor yang mempengaruhi bagaimana ketiga responden menjalani grief adalah hubungan interpersonal responden dengan anak, dan latar belakang keagamaan/filosofis responden.
Grief of Mother who was have Death Child
ABSTRACT
The aim of this research is to discover how grief of mother that was have ding child. Death is a something that every people faced. Mother have a close relationship with her child begin she is pregnant. Child is a hope and future of parent, so when parent lose his/her child, they lose his/her hope and future. Grief must having when someone face a death of his/her loved.
For this research used approach qualitative method.The technique that used to gain respondent is theory based/ operational construct sampling. This research used in-depth interview method to collecting data. Respondents of this research were three mother who was have a death child.
The result of this research showed that all of three respondents having grief in different time and different way. The first respondent was having grief in 2 years, the second respondent was having grief in 2 months, and the third respondent was having grief in 2-3 years. Some factors that impact the respondent’s grief are close relationship with her child and religion/spirituality of respondent.
KATA PENGANTAR
Terima kasih serta Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, oleh karena rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
Proposal penelitian ini berjudul “Penghayatan Grief Pada Ibu Yang Menghadapi
Kematian Anak”. Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis mendapat banyak
bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Aprilia Fadjar Pertiwi, M.Si, Psikolog, selaku dosen pembimbing, yang
telah menyediakan waktu, tenaga, kritik, saran, dan perhatian kepada
penulis selama proses penyusunan penelitian ini.
2. Keluarga penulis yang selalu mendukung, memberikan semangat dan
perhatian penuh, dan senantiasa mendoakan penulis, sehingga penulis dapat
tetap berusaha dan berjuang untuk menyelesaikan penelitian ini.
3. Para sahabat penulis, baik yang ada di kost, kampus, kepanitiaan, dan
organisasi yang telah memberikan dukungan maupun saran demi kelancaran
penelitian ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan dan
kekurangan dalam penelitian ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Terima kasih.
Medan, Desember 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Grief ... 11
1. Definisi Grief ... 11
2. Karakteristik Grief ... 11
B. Fase Grief ... 12
1. Fase Pertama: Shock ... 12
2. Fase Kedua: Awareness of Loss... 15
3. Fase Ketiga: Conservation and the Need to Withdraw ... 16
4. Fase Keempat: Healing ... 17
5. Fase Kelima: Renewal ... 19
C. Faktor-faktor Psikologis yang Mempengaruhi Reaksi Grief... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 22
A. Pendekatan Kualitatif ... 22
B. Metode Pengumpulan Data ... 23
C. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 25
1. Tape Recorder (Alat Perekam) ... 25
2. Pedoman Wawancara ... 25
D. Partisipan ... 26
1. Prosedur Pengambilan Partisipan ... 26
3. Karakteristik Partisipan ... 27
E. Prosedur Penelitian ... 27
1. Tahap Persiapan ... 27
2. Tahap Pelaksanaan ... 28
3. Tahap Analisis Data dan Interpretasi Data ... 28
BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI ... .... 51
A. Responden I ... .... 51
1. Analisa Data .... ... ...51
a. Deskripsi identitas diri responden I . ... ...51
b. Latar belakang responden I ... .... 52
c. Data observasi umum responden I ... .... 54
1. Data Hasil Wawancara ... 56
2. Interpretasi Data ... 78
B. Responden II ... 84
1. Analisa Data ... 84
a. Deskripsi identitas diri responden II ... 84
b. Latar belakang responden II ... 85
c. Data obsevasi mum responden II... 86
1. Data Hasil Wawancara ... 89
2. Interpretasi Data ... 105
C. Responden III ... 112
1. Analisa Data ... 112
a. Deskripsi identitas diri responden III... 112
b. Latar belakang responden III ... 113
c. Data observasi umum responden III ... 114
1. Data Hasil Wawancara ... 116
BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 149
A. Kesimpulan ... 149
B. Diskusi ... 156
C. Saran ... 159
1. Saran Praktis... 159
2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 160
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Gambaran Umum Responden I ... 51
Tabel 2 Waktu Wawancara Responden I ... 54
Tabel 3 Interpretasi Responden I ... 78
Tabel 4 Gambaran Umum Responden II ... 84
Tabel 5 Waktu Wawancara Responden II ... 86
Tabel 6 Interpretasi Responden II ... 105
Tabel 7 Gambaran Umum Responden III ... 112
Tabel 8 Waktu Wawancara Responden III ... 114
Tabel 9 Interpretasi Responden III ... 135
Penghayatan Grief pada Ibu yang Menghadapi Kematian Anak
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penghayatan grief pada ibu yang menghadapi kematian anak. Kematian adalah sesuatu hal yang pasti dialami oleh setiap orang. Ibu memiliki hubungan yang intim dengan anak yang dimulai sejak ia mengandung. Anak adalah harapan dan masa depan orangtua, sehingga kehilangan anak dapat diartikan sebagai kehilangan harapan dan masa depan orangtua. Grief harus dijalani oleh setiap orang saat menghadapi kematian orang yang dicintai, demikian juga oleh ibu. Grief memiliki 5 fase, yaitu shock, awareness to loss, conservation/withdrawal, healing, dan renewal, dan setiap fase akan dilewati ketika menghadapi kematian orang yang dicintai.
Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan konstruk operasioanal (theory based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara menadalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah 3 orang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga responden menjalani grief dengan waktu yang berbeda-beda. Responden I menjalani grief sampai sekitar 2 tahun, responden II menjalani grief dalam waktu 2 bulan, dan responden III menjalani grief dalam waktu sekitar 2-3 tahun. Faktor yang mempengaruhi bagaimana ketiga responden menjalani grief adalah hubungan interpersonal responden dengan anak, dan latar belakang keagamaan/filosofis responden.
Grief of Mother who was have Death Child
ABSTRACT
The aim of this research is to discover how grief of mother that was have ding child. Death is a something that every people faced. Mother have a close relationship with her child begin she is pregnant. Child is a hope and future of parent, so when parent lose his/her child, they lose his/her hope and future. Grief must having when someone face a death of his/her loved.
For this research used approach qualitative method.The technique that used to gain respondent is theory based/ operational construct sampling. This research used in-depth interview method to collecting data. Respondents of this research were three mother who was have a death child.
The result of this research showed that all of three respondents having grief in different time and different way. The first respondent was having grief in 2 years, the second respondent was having grief in 2 months, and the third respondent was having grief in 2-3 years. Some factors that impact the respondent’s grief are close relationship with her child and religion/spirituality of respondent.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kelahiran seorang anak adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh
orangtua di awal pernikahan, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi stabilitas pernikahan (Hurlock, 1980). Anak menjadi begitu
berharga bukan hanya disebabkan adanya hubungan darah, tetapi terdapat
hubungan emosional yang lebih dalam. Ikatan emosional antara anak dan orangtua
ini terbentuk sejak awal kehamilan, dimana orangtua mulai mencoba
membayangkan dan menggambarkan anak mereka secara fisik, serta mulai
mencari nama yang tepat bagi bayi mereka. Setelah anak lahir, ikatan antara anak
dan orangtua semakin kuat. Orangtua mulai belajar bagaimana merawat anak dan
tidak jarang mereka mengalami konflik dengan diri mereka sendiri dan pasangan
saat mengasuh anak, seperti kurangnya waktu untuk beristirahat karena harus
tetap siaga menjaga bayi mereka. Semakin sulit situasi yang harus dihadapi
orangtua dalam merawat anak, maka hubungan emosional antara anak dan
orangtua semakin kuat. Hal ini disebabkan karena orangtua semakin merasakan
adanya dorongan untuk melindungi dan bertanggungjawab bagi anak mereka
(Sanders, 1992).
Selain adanya ikatan emosional yang kuat anatara orangtua dan anak,
Dimatteo (1991) mengatakan anak adalah harapan dan masa depan orangtua. Saat
anak lahir, orangtua mulai melihat diri mereka pada anak dan mulai
berkembang pada anak. Selain itu, Sanders (1992) juga mengatakan anak
membawa orangtua kepada suatu kontak sosial yang baru, melalui aktivitas,
sekolah, dan peristiwa-peristiwa yang dialami anak sehari-hari.
Kehilangan anak menjadi peristiwa yang sangat sulit bagi orangtua karena
harapan-harapan dan impian-impian mereka seakan lenyap seketika. Kehilangan
anak dapat disebabkan karena anak lari dari rumah, adanya penculikan anak, atau
kematian. Bagi orangtua, kehilangan anak tidak hanya diartikan sebagai hilangnya
anak secara fisik, tetapi juga orangtua kehilangan aspek-aspek dari hidup mereka
(Sanders, 1992).
Persepsi orangtua terhadap hilangnya anak kemudian menyebabkan
terjadinya suatu proses reaksi psikologis, sosial, dan fisik. Kondisi seperti inilah
yang disebut dengan grief. Grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi
fisik sebagai persepsi dari kehilangan. Grief merupakan reaksi yang normal terjadi
saat orangtua kehilangan anak (Rando, 1984). Moules (2009) menambahkan
bahwa grief adalah proses yang dialami seseorang untuk menarik diri dan
memutuskan hubungan karena peristiwa kematian, kemudian memiliki keyakinan
untuk keluar dari rasa kehilangan mereka dan belajar untuk mengucapkan selamat
tinggal kepada orang yang mereka kasihi.
Menurut Sanders (1992), kematian anak merupakan grief yang sangat
menyakitkan dan prosesnya berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Owen
dkk (dalam Hoyer, Rybash, dan Roodin, 1996) melakukan suatu penelitian untuk
membandingkan reaksi grief yang dikaitkan dengan tipe kehilangan (loss) yang
berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa orangtua yang sedang berduka karena
kuat daripada orang yang berduka karena kematian pasangan hidup atau anak
yang berduka karena kematian orangtuanya. Beberapa peneliti dan terapis yakin
bahwa seseorang yang mengalami grief memerlukan waktu paling sedikit 1 tahun
untuk pulih dari keadaannya (Hoyer, Rybash, & Roodin, 1996). Karena grief
bersifat sangat individual (Attig & Storebe dalam Hoyer, Rybash, & Roodin,
1996), tentunya waktu yang diperlukan untuk menjalani proses grief juga
berbeda-beda pada tiap orang.
Kliman (dalam Rando, 1984) menyatakan kehilangan anak menghadapkan
orangtua pada banyak fakta. Orangtua merasa bahwa ada yang hilang dari diri
mereka. Orangtua harus menghadapi kenyataan kehilangan anak, kehilangan
mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang telah mereka tanamkan pada diri anak,
dan orangtua juga harus kehilangan harga diri mereka sendiri karena merasa gagal
untuk menjaga anak.
Sanders (1992) juga menyatakan kehilangan anak (parental grief) dapat
menyebabkan orangtua menjadi putus asa, cemas, marah, merasa bersalah, dan
stres. Perasaan seperti ini timbul karena orangtua merasa bertanggungjawab untuk
menjaga anak dengan baik, membuat mereka aman, dan melindungi mereka dari
bahaya (Dimatteo, 1991), sehingga kehilangan anak seakan-akan membuktikan
bahwa orangtua telah gagal melakukan tanggung jawab tersebut. Orangtua juga
mengalami frustasi karena kerinduan mereka yang begitu mendalam pada anak
(Sanders, 1992). Hal ini juga sesuai dengan apa yang dialami oleh Wita (bukan
nama asli):
demam biasa, jadi ku kasi obat demam aja. Tapi karna aku sepele dengan demamnya, pergilah dia jadinya.”
(Komunikasi Personal, 24 Oktober 2009)
Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Wijngaards-de Meiji
dkk (dalam Keesee, Currier, & Neimeyer, 2008) pada 219 pasangan suami istri
yang menghadapi kematian anak setelah 6, 13, dan 20 bulan, dikatakan bahwa
penyebab kematian, jumlah anak yang masih hidup, dan usia anak yang
meninggal memberikan variasi dan keunikan dalam pengalaman grief. Penelitian
ini juga membuktikan bahwa seecara umum orangtua yang memiliki anak yang
meninggal karena kecelakaan memiliki simptom grief yang lebih tinggi. Tetapi
terlepas dari penyebab kematian anak, orangtua pasti merasakan bahwa kematian
anak adalah suatu peristiwa yang sangat menyakitkan bagi mereka. Seperti yang
telah diuraikan di atas, orangtua merasa kehilangan masa depan dan
impian-impian mereka yang telah mereka rencanakan pada diri anak.
Ayah dan ibu memiliki pengalaman grief yang berbeda-beda saat
kehilangan anak. Ini disebabkan karena adanya hubungan yang unik dengan anak,
yang tidak terlepas dari bagaimana peran mereka terhadap anak (Sanders, 1992).
Cacciatore (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) menyatakan perbedaan pengalaman
grief ini juga disebabkan karena perbedaan kepribadian yang mendasar antara
ayah dan ibu. Sebagian besar ayah melihat “secara umum” sedangkan ibu lebih
detail. Ayah menekankan pada pikiran, sedangkan ibu menekankan pada
perasaan. Ayah berpikir secara logika dan realistis, sedangkan ibu lebih intuitif
dan idealis. Ayah mengatasi stres dan grief secara internal, sedangkan ibu secara
eksternal. Dalam peristiwa kematian anak, masyarakat menganggap bahwa
membesarkan anak dan memiliki kedekatan yang lebih dengan anak (Yayasan
Pulih, 2008).
Secara khusus, ibu menganggap keluarga seperti sebuah lingkaran dimana
ibu memiliki tanggung jawab secara emosional. Ibu berkomunikasi kepada setiap
anggota keluarga dan membantu mereka berkomunikasi satu sama lain, baik
antara ayah dengan anak, maupun antara anak yang satu dengan anak lainnya.
Saat anak meninggal, ibu merasa lingkaran keluarga ini menjadi rusak, dan ia
tidak bisa berperan seperti sebelumnya. Ibu tidak hanya mengalami grief karena
kematian salah satu anaknya, tetapi juga karena kehilangan keseimbangan dalam
sistem keluarga. Pada akhirnya, ibu merasa dirinya terisolasi dari lingkungan
sosial, sulit memahami dan menerima perihal peristiwa kematian anaknya tetapi
memiliki kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi untuk dirinya sendiri (Sanders,
1992).
Setiap individu memiliki caranya sendiri dalam menghayati grief dan
melalui proses pemulihan. Proses ini sangat bergantung pada latar belakang
budaya, kebiasaan, agama, serta dukungan dari orang terdekatnya (Rando, 1984).
Sanders (1992) menyatakan ada 5 (lima) fase yang dilewati seseorang
selama ia berada dalam kondisi grief. Fase-fase tersebut adalah shock, awareness
of loss, conservation and the need to withdraw, healing, dan renewal.
Menurut Shlain (dalam DiMatteo, 1991), proses grief mencakup pada
perkembangan dari tidak percaya menjadi suatu penerimaan. Perubahan ini tidak
terjadi begitu saja, tetapi membutuhkan suatu proses yang panjang dimana
seseorang yang mengalami grief bisa saja kembali ke keadaan sebelumnya
kematian menjadi memiliki cara pandang yang lebih luas, dari menerima peristiwa
kematian yang sudah lewat menjadi menenggelamkan diri pada dunia khayal dan
mimpi-mimpi bahwa orang yang sudah meninggal sebenarnya masih hidup.
Proses ini memakan waktu yang sangat lama sampai terbentuknya penerimaan
secara emosional bahwa orang yang sangat dikasihi benar-benar sudah meninggal
dunia. Proses ini secara normal terjadi antara 2 (dua) tahun sampai dua setengah
tahun.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana ibu menjalani
grief yang ia alami ketika menghadapi kematian anak dan bagaimana dampak
fisik, psikologis, dan sosial grief tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana penghayatan grief pada ibu dalam menghadapi
kematian anak.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penghayatan grief pada ibu yang
D. Manfaat Penelitian
Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat
manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan masukan empiris dalam hal gambaran penghayatan grief
pada ibu dalam menghadapi kematian anak.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan sumbangan informasi dan dorongan kepada para ibu
lainnya yang juga menghadapi kematian anak, untuk dapat lebih mudah
dalam menjalani grief.
b. Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran bagaimana
grief yang dialami oleh ibu, sehingga pihak keluarga, saudara, sahabat, dan
masyarakat dapat lebih memperhatikan kondisi ibu saat menghadapi
kematian anak.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan berisikan inti sari dari :
Bab I : Pendahuluan
Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam
menjelaskan permasalahan penelitian.
Bab III : Metode Penelitian
Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan,
responden penelitian, metode pengumpulan data, alat
pengumpulan data, dan prosedur penelitian.
Bab IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian
Berisi mengenai deskripsi data responden penelitian dan analisa
data wawancara yang dilakukan pada responden penelitian.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Berisi tentang kesimpulan penelitian, diskusi, dan saran penelitian
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. GRIEF 1. Definisi Grief
Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan
reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).
Sanders (1998) menambahkan bahwa grief adalah penderitaan yang emosional
yang kuat dan mendalam, yang dialami seseorang akibat peristiwa kehilangan
seperti kematian orang yang dicintai. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa grief adalah proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik seseorang sebagai
akibat dari persepsi terhadap kehilangan. Dalam penelitian ini, kehilangan
dimaksudkan pada kematian anak.
2. Karakteristik Grief
Menurut Rando (1984), ada beberapa karakteristik grief, yaitu:
a. Diwujudkan dalam bagian-bagian psikologis, sosial, dan fisik.
b. Merupakan suatu perkembangan yang terus-menerus termasuk
perubahan-perubahan yang terjadi selama proses tersebut berlangsung.
c. Terjadi secara alami, merupakan reaksi yang tidak diharapkan.
d. Merupakan reaksi terhadap pengalaman dari banyaknya jenis kehilangan
(loss), tidak hanya kematian.
e. Bersifat unik, didasarkan pada persepsi individual terhadap kehilangan
adanya pengakuan atau validasi dari orang lain terhadap kehilangan (loss)
agar seseorang mengalami grief.
B. FASE GRIEF
Menurut Sanders (1992), ada 5 (lima) fase berbeda yang ada pada saat berduka. Fase ini tidak harus berawal dari satu titik, dan tidak harus melewati
setiap proses secara berurutan. Individu bisa saja mengalami fase pertama,
kemudian langsung mengalami fase keempat tanpa harus menjalani fase kedua
dan ketiga. Individu juga bisa mengalami satu fase lebih dari satu kali. Tidak
harus semua simptom dari fase tertentu dialami oleh individu, tetapi bisa saja
hanya sebagian dari simptom tersebut. Dikatakan juga bahwa simptom dan
intensitas grief berbeda pada tiap orang.
1. Fase Pertama: Shock
Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami
perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat
pertama kali menyadari terjadinya kehilangan.
Shock secara umum digunakan untuk menggambarkan sejumlah
trauma yang derita. Secara natural, trauma ini bergantung pada banyak hal:
bagaimana, kapan, dan dimana kematian itu terjadi. Jika kematian
digambarkan terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba, shock yang dialami
oleh anggota keluarga mungkin akan lebih kuat. Kondisi dimana kematian
terjadi akan mempengaruhi tingkat keparahan dan panjangnya waktu yang
Fase shock memiliki beberapa karakteristik umum, yang dapat
diidentifikasi sebagai:
a. State of Alarm
Ketika berada dalam keadaan shock, tubuh berada dalam keadaan
tanda-tanda fisiologis yang kuat. Respon fisik ini adalah reaksi natural
ketika perasaan aman sedang terancam. Ketika mengalami kehilangan
(loss), reaksi yang dirasakan seperti perasaan takut dan kadang-kadang
menjadi panik. Akibatnya, tubuh membentuk sebuah posisi pertahanan
untuk melindungi diri.
b. Ketidakpercayaan
Ketidakpercayaan dan penolakan terjadi ketika dalam keadaan
berduka karena kedua hal ini bertindak sebagai pertahanan. Kedua hal ini
membantu untuk menjalani proses kehilangan (loss) yang sesungguhnya.
Pada saat pertama kali mengalami grief, sangat tidak mungkin untuk
berpikir tentang hal lain kecuali tentang kehilangan (loss).
c. Confusion
Mulai merasa kebingungan, tidak bisa mengingat apapun, sulit
berkonsentrasi, menghilangkan benda-benda seperti kunci, kacamata, atau
buku agenda, dan merasa sulit untuk mengambil keputusan. Reaksi ini
sangat normal. Dunia seakan-akan telah hancur saat orang yang dicintai
diambil.
d. Restlessness
Di awal masa duka, individu akan merasa resah dan gelisah.
sadar dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Individu sering terlihat
berjalan mondar-mandir dari suatu ruangan ke ruangan yang lain tanpa
suatu tujuan yang jelas.
e. Feelings of Unreality
Merasa bahwa keadaan yang dialami saat itu bukanlah suatu hal
yang nyata. Ini merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri dalam
menghadapi situasi emosi yang sangat menyakitkan.
f. Helplessness
Individu merasa membutuhkan pertolongan, karena peristiwa
kehilangan merupakan suatu kejadian dalam hidup yang dapat
menyebabkan individu sulit mengontrol diri, dan tidak ada sesuatu yang
dapat dilakukan untuk mengembalikan orang yang dicintai. Individu
merasa seperti anak-anak kembali, serta membutuhkan bantuan orang lain
untuk mengontrol diri sehingga dapat menjalani hidup secara wajar.
2. Fase Kedua: Awareness of Loss
Fase kedua ini ditandai dengan emosi yang tidak menentu setiap
harinya. Saat bangun pagi individu merasa cemas dan merasa takut saat akan
beranjak dari tempat tidur. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan
karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai
menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Ada beberapa karakteristik
dari fase ini:
Inidividu merasa takut akan bahaya, merasa tidak aman dan terjadi
pergolakan batin dalam diri individu. Ada kecemasan yang berlebihan
karena merasa kehilangan orang yang selama ini begitu dekat dan menjadi
tempat individu bergantung baik secara fisik maupun psikologis.
b. Conflict
Rasa kehilangan dapat menimbulkan banyak konflik. Dari
penelitian ditemukan bahwa banyak orang yang mengalami grief takut
untuk tinggal sendiri tetapi juga ragu untuk tinggal dengan orang lain,
disini terjadi konflik dalam diri orang tersebut. Konflik lain yang sering
terjadi adalah antara adanya perasaan tidak rela akan kehilangan orang
yang dicintai.
c. Acting Out Emotional Expectations
Orang yang mengalami grief, sering melakukan tindakan
emosional secara tidak sadar, seperti marah tanpa alasan yang jelas.
d. Prolonged Stress
Individu memilih cara untuk mengeluarkan emosinya, baik dengan
menangis, berteriak, ataupun memilih untuk menahan kesedihannya.
3. Fase Ketiga: Conservation and the Need to Withdrawal
Fase ini adalah fase dimana individu lebih suka menyendiri dan
menarik diri dari pergaulan. Di fase ini, individu merasa sangat kelelahan, dan
memerlukan istirahat dan pemulihan kembali. Berikut adalah karakteristik dari
fase ini:
Selama periode ini individu lebih suka menyendiri, menjauh dari
teman-teman untuk dapat berpikir dan istirahat.
b. Despair rather than depression
Individu kehilangan harapan dan merasa putus asa karena
menginginkan orang yang dicintainya dapat kembali seperti semula atau
sebelumnya.
c. Diminished Social Support
Orang yang mengalami grief membutuhkan dukungan sosial
sebanyak mungkin dan dalam jangka waktu yang lama untuk
membantunya menjalani grief.
d. Helplessness/Loss of Control
Individu merasa membutuhkan pertolongan karena merasa tidak
berdaya dan kehilangan kendali.
4. Fase Keempat: Healing
Pada fase ini, seseorang mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami.
Beberapa karakteristiknya adalah:
a. Reaching a Turning Point
Orang yang mengalami grief mulai memasuki proses pemulihan,
tetapi sulit untuk menentukan kapan dan dimana seseorang mulai
mengalami hal itu karena tidak ada peningkatan aktivitas secara tiba-tiba.
Individu perlahan-lahan menyadari bahwa kekuatannya telah pulih dan ia
melakukan lebih banyak kegiatan dan tidak mudah lelah seperti yang
b. Assuming Control
Individu mulai dapat mengendalikan dirinya kembali setelah
melewati peristiwa yang menakutkan, khususnya yang telah membuat
perubahan secara drastis terhadap diri individu. Pada fase ini individu
sangat takut untuk mengambil keputusan, terutama yang dapat membuat
keadaan menjadi lebih buruk sehingga ia lebih banyak diam dan tidak
bertindak apapun.
c. Relinquishing Roles
Pembagian peran dalam keluarga, dimana setiap orang memiliki
peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga tercipta stabilitas
dan keseimbangan dalam keluarga. Ketika keluarga ”kehilangan” salah
satu anggotanya, terjadi perubahan keseimbangan sistem keluarga
sehingga harus dilakukan penyesuaian kembali. Peranan itu harus
digantikan anggota keluarga lain, misalnya: peran ayah diambil oleh anak
laki-laki. Menyerahkan peran dan mendapat peran yang baru adalah hal
yang paling berat yang dialami individu.
d. Forming a New Identity
Kematangan yang diperoleh ketika individu mampu untuk
menerima tanggung jawab baru dan menjalani hidup yang berbeda yang
lebih didasarkan pada keputusannya sendiri daripada pada keputusan yang
diambil oleh orang lain.
e. Centering Ourselves
Individu tidak dapat memulai memperbaiki diri tanpa memusatkan
individu tidak mengetahui bagaimana perasaannya sebenarnya, apa yang ia
butuhkan untuk dirinya atau apa yang ingin dilakukan. Memusatkan
perhatian pada diri bukan berarti lebih mengutamakan ego atau self
centered, melainkan individu mencari pusat stabilitas dirinya. Individu
harus yakin bahwa ia dapat membut keputusan terhadap dirinya sendiri
berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri, bukan karena orang lain.
5. Fase Kelima: Renewal
Pada fase ini, seseorang mulai beradaptasi, menerima, dan belajar
untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi yang sudah
meninggal dunia. Karakteristik fase ini adalah sebagai berikut:
a. Renewing self awareness
Setelah peristiwa grief, terjadi suatu proses transisi yang membawa
individu dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Individu membutuhkan
waktu untuk memproses hal-hal yang telah dialaminya, sebelum ia
mampu menerima suatu hal yang baru.
b. Accepting responsibility for ourselves
Individu bertanggungjawab atas hidup dan nasibnya sendiri.
c. Learning to live without
Kehilangan anggota keluarga berarti adalah belajar untuk hidup
tanpa mereka. Jika individu benar-benar ingin memulai suatu hidup yang
baru, ia perlu mencari aktivitas lain untuk mengisi kekosongan di
C. FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI REAKSI GRIEF
Ada beberapa faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi reaksi
grief menurut Rando (1984), yaitu:
1. Hubungan interpersonal antara orang yang sudah meninggal dengan orang
yang mengalami grief
Kelekatan akan selalu mempengaruhi grief seseorang. Semakin lekat
hubungan antara orang yang mengalami grief dengan orang yang sudah
meninggal, maka grief akan lebih sulit diatasi.
2. Peran dari orang yang telah meninggal di dalam keluarga
Setiap anggota keluarga memainkan berbagai macam peran dalam
sebuah unit keluarga. Kehilangan dihasilkan karena adanya peran yang tidak
lagi dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah meninggal.
Adanya peran yang hilang di dalam keluarga, dan proses adaptasi
terhadap peran dan tanggung jawab baru yang harus dijalani oleh orang-orang
yang mengalami grief, adalah hal-hal yang mempengaruhi pengalaman grief
seseorang.
3. Pengalaman masa lalu seseorang terhadap kehilangan dan kematian
Pengalaman masa lalu tidak hanya akan memberikan harapan, tetapi
juga akan mempengaruhi strategi coping dan/atau mekanisme pertahanan yang
digunakan oleh orang yang mengalami grief. Jika situasi yang sama terjadi
sudah pernah terjadi sebelumnya, hal ini akan lebih mudah diatasi
dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi pertama kali yang terasa asing.
Respon seseorang terhadap kehilangan dan kematian secara umum
menggambarkan norma, adat-istiadat, dan persetujuan dari lingkungan
sosial-budaya. Keagamaan/filosofis seseorang secara signifikan mempengaruhi
kepercayaan, makna, dan nilai yang dipegang oleh seseorang untuk hidup,
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Kualitatif
Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat
pengalaman-pengalaman subjektif individu ketika mengalami grief karena kematian anak,
maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan
variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Poerwandari 2001).
Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) metode kualitatif memungkinkan
peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam
dan detail, dan fakta berupa kumpulan data yang tidak dibatasi oleh kategori yang
ditetapkan sebelumnya. Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus
menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus-kasusnya.
Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam dan detail serta
penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang,
interaksi dan perilaku yang teramati.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada
peneliti untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran partisipan,
perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkapkan dengan
B. Metode Pengumpulan Data
Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,
disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti.
Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya,
analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah
jenis pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001).
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
wawancara, yaitu wawancara mendalam (in-depth interviewing).
Wawancara mendalam merupakan satu bentuk wawancara, yang
dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap
peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Wawancara
mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background
life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang
hendak diteliti. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu sesuai
dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu
tersebut. Hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Banister dkk,
dalam Poerwandari 2001).
Dengan demikian, wawancara mendalam akan memungkinkan peneliti
untuk mengungkap semua aspek-aspek yang ingin diungkap dalam penelitian ini
dengan detail.
Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman
wawancara sebagai panduan agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang
Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di
luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.
Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik
funnelling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2001) yaitu memulai dari
pertanyaan-pertanyaan yang umum yang semakin lama semakin khusus.
Selama wawancara, peneliti juga melakukan observasi sebagai alat
tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi
partisipan, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat
bagaimana reaksi partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk
diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan
reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana
keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan
dalam proses wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan data tambahan
selama wawancara berlangsung.
Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat,
mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek
dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2001).
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas,
dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian
yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus
dipenuhi berbagai tetek bengek yang tidak relevan (Poerwandari, 2001).
C. Responden Penelitian
Karakteristik partisipan adalah seorang ibu yang memiliki anak yang telah
meninggal dunia. Pada saat diwawancarai, anak sudah meninggal dunia minimal
dua tahun lamanya. Menurut Shlain (dalam DiMatteo, 1991), seseorang akan
pulih dari kondisi grief selama rentang waktu kurang lebih dua tahun sampai dua
setengah tahun, meskipun hal ini tidak berlaku pada setiap orang. Hal ini menjadi
acuan untuk pemilihan karakteristik subjek agar memungkinkan untuk melihat
terjadinya 5 (lima) fase grief yang dialami oleh seseorang.
2. Jumlah responden penelitian
Partisipan dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah yang
besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
Pada dasarnya, jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan
secara tegas di awal penelitian (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007). Menurut
Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes,
oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus
diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa
yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya
yang tersedia.
Pada penelitian ini, jumlah partisipan yang direncanakan adalah sebanyak
3 orang dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan memerlukan pendekatan yang
mendalam terhadap subjek tentang grief yang dialami oleh ibu saat menghadapi
kematian anak, dengan sumber daya dan waktu yang terbatas. Pendekatan
subjek tidak diambil satu orang saja, dengan alasan agar dapat dibandingkan
antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dan dapat melihat perbedaan
individual.
3. Prosedur pengambilan responden
Untuk mendapatkan partisipan yang sesuai dengan tujuan penelitian,
maka peneliti menggunakan prosedur pengambilan sampel yang berfokus pada
intensitas, yaitu pengambilan partisipan yang diperkirakan mewakili (penghayatan
terhadap) fenomena secara intens (Patton dalam Poerwandari, 2001).
Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai partisipan yang
memiliki anak yang sudah meninggal dunia, sehingga partisipan telah mengalami
(menghayati) grief karena kehilangan seorang anak.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Pengambilan daerah penelitian
tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian
karena lokasi peneliti berada di daerah tersebut. Lokasi penelitian bisa berada
dimana saja tergantung pada kenyamanan dan keinginan responden untuk diambil
datanya.
E. Alat Bantu Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpul data,
seperti:
Suatu wawancara tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja,
karena indera manusia terbatas, yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan
hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang mendukung penelitian. Menurut
Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat
transkripnya secara verbatim (kata demi kata).
Agar peneliti tidak perlu sibuk untuk mencatat jalannya pembicaraan,
maka peneliti menggunakan tape recorder. Tape recorder dapat membantu
peneliti untuk tetap fokus kepada topik pembicaraan, sehingga memungkinkan
peneliti juga untuk melakukan observasi yang dapat menambah data atau hal-hal
yang mendukung sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Pedoman Wawancara
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat semi struktur
untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibicarakan, sekaligus
menjadi daftar pengecek (checklist) tentang aspek yang telah dan yang belum
dibicarakan.
Pedoman wawancara berupa open ended question, disusun berdasarkan
teori-teori dalam Bab II. Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak
digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan bagi peneliti untuk
menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara, agar data yang dihasilkan lebih
lengkap dan bervariasi.
Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif
untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam
yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam
bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu
ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas
penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud
mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial
atau pola interaksi yang kompleks.
Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas
penelitian ini, antara lain dengan:
1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini
adalah seorang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.
2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan fase-fase grief dan faktor-faktor
yang mempengaruhi reaksi grief. Menggunakan pertanyaan terbuka dan
wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.
3. Memperpanjang keikutsertaan responden dalam pengumpulan data di
lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih
banyak tentang subjek penelitian.
4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam
bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal
kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini
dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas
5. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil
wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang
dilakukan setelahnya.
G. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan
a. Melakukan wawancara awal terhadap ibu yang memiliki anak yang telah
meninggal dunia. Hal ini dilakukan pada tahap paling awal penelitian,
yang bertujuan untuk melihat aspek psikologis apa yang dialami oleh ibu.
Setelah itu, merumuskan permasalahan yang akan diteliti.
b. Mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama penelitian, seperti
tape-recorder.
c. Peneliti menganalisa dan memilih teori-teori mengenai kondisi grief yang
akan digunakan dalam penelitian ini.
d. Menyusun serangkaian pertanyaan untuk dijadikan sebagai pedoman
wawancara yang didasarkan dari teori-teori yang dipakai.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
a. Menghubungi calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik
partisipan.
b. Membuat janji pertemuan yang sesuai dengan waktu yang disepakati
dengan partisipan yang bersedia memberikan informasi yang sesuai
c. Informed consent, yaitu partisipan menyatakan persetujuannya untuk
terlibat dalam penelitian, setelah ia mendapatkan informasi yang benar
tentang penelitian yang melibatkannya tersebut (Kvale dan Neuman dalam
Poerwandari, 2001).
d. Meminta izin partisipan untuk merekam pembicaraan pada tape recorder
dari awal sampai akhir wawancara.
e. Wawancara terlebih dahulu diawali dengan percakapan-percakapan ringan
sebelum melakukan wawancara mendalam. Hal ini bertujuan untuk
membuat suasana wawancara menjadi rileks dan tidak kaku.
f. Wawancara dimulai dari pertanyaan-pertanyaan umum, yang kemudian
makin lama makin khusus berdasarkan pedoman wawancara yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
3. Tahap Pencatatan Data
Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat
perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Hasil rekaman ini
kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah
salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di
atas kertas.
H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data
Beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif menurut Poerwandari
(2007), yaitu :
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang
diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan
mensistemasi data secara lengkap dan mendatail sehingga data dapat
memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua
peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting,
meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan
prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak
(dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggap paling efektif bagi
data yang diperolehnnya (Poerwandari, 2007).
2. Organisasi data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa
organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :
a. Memperoleh data yang baik,
b. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan,
c. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian peneliti.
Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah
(catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses
sebagainya (transkip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode
khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data
dan langkah analisis.
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola
yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola tersebut tampil secara
acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses
mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau
indikator yang kompleks, kulifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau
hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara
minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan
interpretasi fenomena.
4. Tahapan interpretasi/analisis
Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi
mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam.
Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poewandari,
2007), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding)
terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat
(condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari
pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandah peneliti,
melainkna dikembalikan pada pemahaman diri subjek penelitian, dilihat dari sudut
pandangg dan pengertian penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi
pemahaman biasa yang kritis (critical commnsense understanding) terjadi bila
peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti
mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada
kerangka pemahamn subjek, bersifat krisis terhadap apa yang dikatakan subjek,
membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam
konteks penalaran umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai
masyarakat umum dalam mana subyek berada. Ketiga, konteks interpretasi
pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini,
kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan
yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subyek ataupun
penalaran umum.
5. Pengujian terhadap dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita
mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan sementara.
Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji
ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini
temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang
ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda
dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari
penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif
harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta yang tidak
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA
Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) responden penelitian. Pada bagian ini
akan dipaparkan hasil wawancara dengan ketiga responden penelitian (nama
bukan sebenarnya) dan analisis dari data yang diperoleh. Tabel berikut adalah
gambaran umum dari ketiga responden penelitian tersebut :
Tabel 1
Gambaran Umum Responden Penelitian
Responden 1 Responden 2 Responden 3
Nama Pipit Vira Ida
Pekerjaan Pembantu Rumah Tangga
Karyawan Konveksi
Perawat
Suku Bangsa Karo-Sunda Melayu Karo
Jumlah anak 3 orang 2 orang 4 orang
Kanker mata Kelainan jantung sejak dalam
kandungan
Kecelakaan lalu lintas
1. Deskripsi Data
Pipit adalah anak ke 5 dari 7 bersaudara. Karena kondisi keuangan di
dalam keluarga, Pipit hanya bisa mengecap pendidikan sampai ke jenjang SD saja.
Pipit menikah muda. Di usianya yang masih muda, 18 tahun, Pipit sudah harus
meninggalkan keluarganya dan memulai kehidupan yang baru bersama suaminya.
Pipit bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaannya adalah menyuci dan
menyetrika, kemudian pulang ke rumah pada siang atau sore hari. Selain itu, Pipit
juga mencari tambahan uang dari keahliannya untuk mengusuk (mengurut)
orang-orang yang meminta jasanya. Suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia mau
mengerjakan pekerjaan apa saja yang bisa ia kerjakan.
Pipit memiliki 3 orang anak. Putra pertama bernama Ari, yang saat ini
sudah menduduki kelas 3 SMP. Putra kedua bernama Wibi, sedangkan putra
ketiga bernama Sandi, yang berusia 8 tahun dan belum bersekolah.
Wibi adalah putra Pipit yang sudah meninggal dunia 9 tahun yang lalu
karena penyakit kanker mata. Setelah dilakukan pengobatan ke beberapa tempat,
penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, dan akhirnya Wibi meninggal dunia.
2. Data Observasi
Pipit memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus,
dengan berat badannya sekitar 50 kg dan tinggi badan sekitar 145 cm. Pipit
berkulit putih bersih dan memiliki rambut sebahu. Ia tinggal di rumah yang
setengahnya berdinding tembok, dan setengahnya lagi terbuat dari papan. Rumah
ini hanya memiliki satu jendela di ruang tamu, dan sering tertutupi dengan
pengap dan udara hanya masuk melalui pintu depan. Rumah Pipit hanya berjarak
sekitar 8 meter dengan rumah kakak-kakaknya.
Wawancara yang pertama dan kedua dilakukan di rumah Pipit. Pada
wawancara yang pertama, Pipit memakai kaus berkerah berwarna hitam dan
celana pendek putih, sehingga terkesan santai. Pipit menyambut peneliti dengan
begitu bersahabat, bahkan sampai menyuguhkan makanan ringan dan minuman
segar selama wawancara berlangsung. Pipit menjawab semua pertanyaan dengan
mudah meskipun di beberapa saat Pipit tidak sanggup menahan air matanya ketika
menceritakan tentang Wibi. Selama menceritakan bagaimana kejadian saat Wibi
meninggal, Pipit terus-menerus memandangi foto Wibi yang juga ditunjukkan
kepada peneliti. Di awal wawancara, Pipit mengaku bahwa ia sebenarnya tidak
ingin ditanyakan tentang kematian anaknya, tetapi kalau cerita itu bisa membantu
orang lain, ia akan menceritakannya dengan senang hati. Selama wawancara
berlangsung, putra ketiga Pipit (Sandi) beberapa kali menyela percakapan dengan
meminta minum atau makanan kepada ibunya. Sesekali Pipit harus keluar rumah
menjemput Sandi karena tetangganya melaporkan bahwa putranya mengganggu
anak tetangga. Hal ini membuat peneliti harus mengulang pertanyaan dan
meminta Pipit menjelaskan kembali.
Pada wawancara kedua, Pipit memakai kaus berkerah berwarna ungu dan
celana pendek putih. Pipit mengaku baru pulang dari rumah majikannya dan
sedang menyiapkan makan siang untuk keluarganya, sehingga peneliti harus
menunggu hingga makan siang selesai. Wawancara dilakukan di ruang tamu, dan
selama wawancara berlangsung, putra pertama Pipit (Ari) dan Sandi ikut duduk di
sesekali terhenti karena Sandi sempat mencoba mengambil alat perekam yang
diletakkan di antara peneliti dan Pipit. Diakui Pipit, Sandi memang sangat senang
jika ada tamu yang datang ke rumahnya, sehingga Sandi akan mencoba mencari
perhatian pada setiap tamu yang datang. Akibatnya, Pipit sering terganggu ketika
akan menjawab pertanyaan karena harus menghentikan ulah Sandi, sehingga
jawaban sering diberikan secara berulang-ulang. Rumah Pipit yang bersebelahan
dan sangat rapat dengan rumah-rumah tetangganya mengakibatkan Pipit sering
berkomunikasi dengan para tetangganya dengan suara yang keras, dan mereka
sering mengobrol dari rumah ke rumah tanpa bertatap muka. Hal ini membuat
wawancara harus dihentikan sementara karena Pipit harus menanggapi apa yang
dikatakan oleh tetangganya, tetapi wawancara dapat dilanjutkan kembali dan bisa
diatasi dengan mengulang pertanyaan.
Pipit cukup kooperatif selama pengambilan data. Setiap pertanyaan
dijawab dengan panjang lebar dan jelas serta detail. Bahkan terkadang Pipit
memberikan uraian yang panjang tanpa ditanya oleh peneliti.
3. Data Wawancara a. Proses Kematian Anak
Pipit sangat membanggakan almarhum Wibi dari kedua anaknya yang lain.
Ia mengatakan bahwa putranya ini sangat ganteng, putih, dan pintar. Karena
keramahannya, Wibi disukai banyak orang, khususnya oleh para tetangga Pipit.
Proses melahirkan Wibi juga cukup mudah, tidak memerlukan waktu yang sangat
lama untuk mengeluarkannya dari rahim. Sejak Pipit mengandung putra keduanya
Selain berharap agar anak yang ia kandung ini dapat lahir dengan selamat dan
sehat, ia juga mengharapkan agar anaknya kelak dapat bersekolah dan berprestasi,
sehingga dapat membantu kedua orangtuanya.
Wibi lahir dengan keadaan yang normal, sama dengan anak-anak yang
lainnya dan terlihat tidak ada kelainan yang mengkhawatirkan. Di umurnya yang
kedua, barulah terlihat bahwa mata Wibi seperti tidak bersinar. Hanya saja Pipit
menganggapnya sebagai hal yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki
orang-orang pada umumnya.
“...Udah gitu pernah periksa kan, ”Bu, itu kok ga ada cahayanya Bu? Ibu coba periksa Bu” kata dokternya...”
(R1.W1/b.95-97/hal.4)
”... Ketauannya waktu dia berumur 2 tahun. Jadi orang bilang kok ga ada sinar di matanya. Kakak bilang, ’biasa itu, dia bisa ngeliat orang halus lho’.”
(R1.W1/b.84-87/hal.3)
” Iya. Dia memang bisa nampak. Cuma kita ga taulah kenapa ya kan...” (R1.W1/b.89-90/hal.3)
Semakin hari kondisi mata Wibi semakin parah. Ada semacam benjolan
yang tumbuh di dekat telinganya, dan kalau ditekan, maka akan mengeluarkan
cairan semacam selai. Cairan ini tidak hanya keluar melalui benjolan tersebut,
tetapi juga melalui mata Wibi. Melihat ini, Pipit dan suaminya mencoba menutup
mata anak mereka dengan perban, dan mencari bantuan ke kantor Lurah agar
mereka dapat membawa Wibi ke rumah sakit tanpa harus dikenakan biaya, karena
kondisi keuangan keluarga Pipit yang tidak memungkinkan. Setelah sebelumnya
berkonsultasi dengan seorang dokter, Pipit dan suaminya akhirnya membawa
Wibi untuk diperiksa di rumah sakit. Dokter menyarankan agar mata Wibi
dengan akan datangnya Hari Raya Haji. Sebulan Pipit berada di rumah sakit untuk
menunggu operasi dilakukan, sementara mata Wibi terus-menerus mengeluarkan
cairan dan akhirnya biji matanya keluar. Sebelum dibawa ke rumah sakit, Wibi
juga pernah dibawa ke pengobatan alternatif karena kondisi keuangan rumah
tangga Pipit yang tidak mencukupi untuk membawa ke rumah sakit.
Menurut Pipit, semasa putranya ini masih hidup, ia sering bertanya-tanya
di dalam hati kalau-kalau anaknya dipanggil oleh Tuhan, apakah yang akan terjadi
dengan dirinya. Pikiran seperti ini muncul ketika ia sedang melihat anaknya.
”... Udah gitu kalo tidur, kakak sering bilang gini ’Ya Allah ya Tuhanku, anakku ini ganteng kali. Kalo diambil dariku, bisa gila aku ini. Misalnya tiba-tiba diambil, bisa gilalah aku’...”
(R1.W1/b.169-172/hal.6)
”... Kalo misalnya dia maen jungkit-jungkit kan, ada terpikir ’Panjang ga umur anakku ini ya’. Ada firasat kayak gitu...”
(R1.W1/b.174-177/hal.6)
Menjelang kematiannya, Wibi sering meminta hal-hal yang tidak pernah
terpikirkan oleh Pipit. Ini membuat Pipit semakin merasa bahwa hidup anaknya
tidak akan lama lagi. Perkataan dokter yang menyuruh ia memberikan apapun
yang diminta oleh Wibi, membuatnya semakin sering berpikir tentang kematian
anaknya.
”... Kata dokternya gini, ’Bu, nanti anak Ibu minta apa aja, kasi aja Bu. Tidak ada pantangan’ katanya. Dari situ kakak udah mikir gini, ’Ih, ya Allah ya Tuhanku, orang ini kok udah bilang gini ya? Apa anakku udah mau meninggal ya?’...”
(R1.W1/b.204-209/hal.7)
”... Biasanya ga mau dikasi roti, minta terus. Kakak kasi terus dia makan. Habis itu dibilangnya gini, ‘Bu, jangan jual TV ya Bu. Nanti Bibi mau nonton’. Trus datang kakak, bilang ‘Gapapalah Nak, dijual, biar untuk obat Wibi’. Jadi kakak sedih kali disitu, kenapa lah anakku ini bilang kekgini…”
Menjelang kematiannya, Wibi dipangku oleh ayah dan ibunya. Wibi
meminta kepada ayah dan ibunya untuk membawa ia pulang, karena ia lebih suka
meninggal di rumah daripada di rumah sakit. Karena sudah lama berada di rumah
sakit, Wibi sering melihat bagaimana perlakuan dokter saat ada pasien disana
yang meninggal dunia. Hal itu membuatnya takut untuk meninggal di rumah sakit
karena ia takut mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang pernah ia lihat
sebelumnya. Pipit mengatakan bahwa pada waktu itu Wibi melihat malaikat dan
tidak mau diajak pergi oleh malaikat itu. Setelah itu, Wibi pun akhirnya
meninggal dunia.
b. Proses Grief 1) Fase-fase Grief a) Fase Shock
Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami
perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat
pertama kali menyadari terjadinya kehilangan. Pipit mengalami state of alarm,
saat ia tiba-tiba tidak sadarkan diri lalu pingsan lalu setelah siuman ia merasa
tubuhnya sangat lemas. Pipit juga mengalami confusion, saat ia sulit
menyadari tamu-tamu yang datang melayat. Fase pertama ini dilewati oleh
Pipit seperti berikut :
Melihat Wibi yang sudah meninggal dunia, Pipit merasa badannya lemas
dan langsung tidak sadarkan diri. Setelah sadar, pikirannya terasa kosong,
“…Kakak udah pingsan-pingsan, udah ga sadar-sadar. Sementara orang datang bolak-balik, kakak ga tau, udah linglung. Kosong gitu pikirannya, ga tau siapa yang datang...”
(R1.W1/b.330-333/hal.11)
”... Ga sadar lah sebentar. Trus disuruh ngucap. Tapi waktu ngucap-ngucap itu, rasanya roh kita udah ga ada ya, kayak udah melayang gitu. Kayak hilang semangatnya. Lemes badan itu...”
(R1.W2/b.66-69/hal.17)
b) Fase Awareness of Loss
Pada fase ini individu mengalami emosi yang tidak menentu setiap
harinya. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang
yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan
yang terjadi. Pipit mengalami separation anxiety, ketika ia merasa hampa dan
ingin membunuh dirinya sendiri ketika ia telah menyadari bahwa anaknya sudah
tidak ada lagi. Prolonged stress juga dialami Pipit saat ia sering menangis saat ia
karakoean di rumah, teringat dengan kegiatan yang sering ia lakukan bersama
anaknya ketika masih hidup. Pipit juga mengalami conflict, ia melihat masa lalu
saat melahirkan Wibi dan mencari-cari kesalahan yang ia lakukan yang mungkin
menjadi penyebab kematian anaknya. Dari data yang diperoleh, Pipit juga
mengalami fase ini.
Setelah Wibi meninggal dunia, Pipit merasa hidupnya hampa dan tidak
memiliki keinginan untuk hidup lagi.
“Hampalah, hampa. Macam ada aja yang kehilangan. Ya kekmanalah, biasa kita nengok, biasa kita nampak dia...”
(R1.W1/b.241-243/hal.8)
Pipit sering merasa sangat merindukan anaknya saat ia melakukan
dengan anak-anaknya pada siang sampai sore hari. Kebiasaan ini biasanya mereka
lakukan saat Pipit sudah pulang bekerja.
”... Dulu kakak suka karaoke ya, jadi kami sering nyanyi-nyanyi. Jadi kalo kakak udah nyanyi, orang ini udah tau. ’Itu lagi nyanyi itu, pasti dia teringat anaknya itu. Nanti ga terasa air matanya udah ngalir itu’. Itu lama. Sampai hamil besar adik ini lah. Sampai udah mau melahirkan...” (R1.W2/b.94-99/hal.18)
Pipit juga masih suka menebak-nebak penyebab mata almarhum anaknya
seperti itu. Ia memperkirakan beberapa hal yang menyebabkan demikian.
”... Itu, sebelum dia meninggal, anakku itu pernah jatuh. Waktu magrib pernah jatuh, tertancap paku. Ayahnya lagi merantau, kakak sibuk jualanlah kan. Kakak cabut, sikit aja, tapi mungkin, mungkin, kena pembuluh darah mata ini ya kan. Gitu kakak ambil, langsung ngucur darahnya. Tapi memang naas ya, mungkin emang jalannya dia mati...” (R1.W1/b.359-366/hal.12)
”... Dulu dia masih kecil, masih umur 6 bulan. Orang banyak kali yang suka menggendong dia kesana kemari, kesana kemari. Tiba-tiba ada yang mau ngasi ke kakak, mutar-mutar, mutar-mutar, tiba-tiba jatuh. Bukannya tinggi kali. Rendahnya. Tapi ya itulah, langsung kejang. Mungkin ya, mungkin, ntah kena apanya gitu.”
(R1.W1/b.367-374/hal.12)
”... permulaannya tau, katanya kalo mata anak kita sakit, ditetesin air susu. Jadi kalo dia sakit mata, kakak tetesin air susu kakak. Itulah kata orang tua dulu. Tapi, ga semua bisa. Air susu kakak tajam. Kena aja sikit di kulit, udah luka. Suka kakak tetesin ke matanya. Waktu bayi dia, merah matanya, kakak tetesin. Sementara air susu awak tajam...”
(R1.W1/b.407-414/hal.14)
c) Fase Conservation and the Need to Withdrawal
Pada fase ini individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari
pergaulan. Individu merasa sangat kelelahan, memerlukan istirahat dan pemulihan
kembali. Pada fase ini, Pipit mengalami withdrawal and the need to rest, ia mulai
menghindari rumah sakit dimana anaknya dulu pernah dirawat, ia juga menolak
dulu, bahkan ia juga menghindari untuk pergi melayat ke rumah tetangga yang
anaknya meninggal dunia yang memiliki usia rata-rata sama dengan almarhum
anaknya. Pipit juga mengalami despair rather than depression, ia mulai putus asa
dan kehilangan selera makan, bahkan ia tidak lagi melakukan hal-hal yang sering
ia lakukan dulu seperti berdandan. Selain itu, Pipit juga mengalami diminshed
social support, dan ia mendapatkan dukungan sosial dari suami, keluarga besar,
bahkan majikan tempat ia bekerja. Dari data yang diperoleh, fase ketiga ini
dilewati Pipit seperti berikut:
Pipit mengaku sempat tidak sanggup melewati dari rumah sakit dimana
Wibi pernah dirawat. Selain itu, Pipit juga sempat kehilangan selera makannya,
sehingga harus disuapi agar ia mau makan.
”... Kakak kalo lewat dari Pirngadi itu, ga sanggup kadang-kadang. Teringat, teringat aja sama dia. Perasaannya hampa, kayaknya ga mau hidup lagi. Kayaknya mau ikut sama dia...”
(R1.W1/b.247-250/hal.8)
”... Ini kayak kosong, trauma, macam orang streslah. Kekmana orang stres. Ga mau bersolek, ga mau berdandan. Ya gitulah. Yang tadinya kita pesolek, males. Yang tadinya kita periang, agak murung...”
(R1.W1/b.391-395/hal.13)
”... Kalo dulu makan ga bisa, minum ga bisa. Pikiran kosong kali.” (R1.W1/b.418-419/hal.14)
Selain itu, ia juga tidak lagi sering mengobrol dengan para tetangga dan
keluarganya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.
” Becakap pun malas. Ee..., kalo jumpa ya sekedar gitu aja. Apa ya, kayaknya hampa kali. Mau bicara, mau ketawa, itu terbatas. Biasa kita ketawa terpingkal-pingkal ya kan, ini ga lagi…”
(R1.W2/b.166-169/hal.20)
Selama masa berkabung, Pipit merasa bahwa keluarga besarnya sangat
Wibi. Mereka selalu memberikan semangat dan mengingatkan dia saat ia mulai
menangis karena mengingat Wibi. Meskipun begitu, Pipit mengatakan bahwa
yang paling ia butuhkan adalah perhatian dari suaminya.
”... Biarpun mertua kakak, biarpun ipar-ipar, biarpun kakak awak sendiri, ngasi semangatlah. Ngasi semangat, “Jangan gitu-gitu ajalah, udahlah, ikhlaskan”. Gitu. Itulah. Eceknya ngasi semangatlah, ditambah lagi orang itu datang ke rumah ya kan. jadinya senanglah...”
(R1.W2/b.157-162/hal.20)
”... Kami kan suka ngumpul di depan. Jadi orang itu suka manggil supaya kakak ikut gabung-gabung disana. Kami suka melucu-melucu. Trus nanti kami disitu ketawa-ketawa. Hilang jugalah rasa stres kita itu...”
(R1.W2/b.216-220/hal.21-22)
Sampai sekarang, Pipit tetap tidak bisa menutupi perasaan sedihnya jika
mendengar ada anak orang lain yang meninggal dunia di usia 1 atau 2 tahun ke
atas. Ia langsung teringat dengan kematian Wibi yang juga meninggal dunia di
usia yang sama. Hal ini menyebabkan Pipit tidak pernah pergi melayat jika
mendengar kabar seperti itu. Ia merasa takut dan stres.
”... Tapi ya, jujur kakak, jujur, kalo ada anak orang meninggal, kalo bayi kakak ga terlalu ini ya, anak meninggal umur 2 tahun ke atas atau setahun ke atas gitu kan, itu kakak sering nangis. Teringat sama anak kakak....” (R1.W2/b.375-379/hal.26-27)
”... Makanya kakak ga pernah pergi kalo ada anak orang meninggal, takut kakak, takut stres,sampai sekarang...”
(R1.W2/b.385-387/hal.27)
d) Fase Healing
Fase ini merupakan awal pemulihan dari peristiwa grief. Individu mulai
mencoba keluar dari grief yang ia alami. Pada fase ini, Pipit mengalami reaching
a turning point (mulai dapat beraktivitas kembali), assuming control (mulai dapat
mengontrol dirinya untuk tidak terlalu bersedih karena kematian anaknya),