• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Wawancara a. Proses Kematian Anak

HASIL ANALISIS DATA

A. Analisis Responden I (Pipit)

3. Data Wawancara a. Proses Kematian Anak

Pipit sangat membanggakan almarhum Wibi dari kedua anaknya yang lain. Ia mengatakan bahwa putranya ini sangat ganteng, putih, dan pintar. Karena keramahannya, Wibi disukai banyak orang, khususnya oleh para tetangga Pipit. Proses melahirkan Wibi juga cukup mudah, tidak memerlukan waktu yang sangat lama untuk mengeluarkannya dari rahim. Sejak Pipit mengandung putra keduanya ini, ia mengaku tidak banyak memiliki keluhan seperti ibu-ibu hamil lainnya.

Selain berharap agar anak yang ia kandung ini dapat lahir dengan selamat dan sehat, ia juga mengharapkan agar anaknya kelak dapat bersekolah dan berprestasi, sehingga dapat membantu kedua orangtuanya.

Wibi lahir dengan keadaan yang normal, sama dengan anak-anak yang lainnya dan terlihat tidak ada kelainan yang mengkhawatirkan. Di umurnya yang kedua, barulah terlihat bahwa mata Wibi seperti tidak bersinar. Hanya saja Pipit menganggapnya sebagai hal yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang-orang pada umumnya.

“...Udah gitu pernah periksa kan, ”Bu, itu kok ga ada cahayanya Bu? Ibu coba periksa Bu” kata dokternya...”

(R1.W1/b.95-97/hal.4)

”... Ketauannya waktu dia berumur 2 tahun. Jadi orang bilang kok ga ada sinar di matanya. Kakak bilang, ’biasa itu, dia bisa ngeliat orang halus lho’.”

(R1.W1/b.84-87/hal.3)

” Iya. Dia memang bisa nampak. Cuma kita ga taulah kenapa ya kan...” (R1.W1/b.89-90/hal.3)

Semakin hari kondisi mata Wibi semakin parah. Ada semacam benjolan yang tumbuh di dekat telinganya, dan kalau ditekan, maka akan mengeluarkan cairan semacam selai. Cairan ini tidak hanya keluar melalui benjolan tersebut, tetapi juga melalui mata Wibi. Melihat ini, Pipit dan suaminya mencoba menutup mata anak mereka dengan perban, dan mencari bantuan ke kantor Lurah agar mereka dapat membawa Wibi ke rumah sakit tanpa harus dikenakan biaya, karena kondisi keuangan keluarga Pipit yang tidak memungkinkan. Setelah sebelumnya berkonsultasi dengan seorang dokter, Pipit dan suaminya akhirnya membawa Wibi untuk diperiksa di rumah sakit. Dokter menyarankan agar mata Wibi dioperasi, tetapi operasi belum bisa dilakukan karena pada waktu itu bertepatan

dengan akan datangnya Hari Raya Haji. Sebulan Pipit berada di rumah sakit untuk menunggu operasi dilakukan, sementara mata Wibi terus-menerus mengeluarkan cairan dan akhirnya biji matanya keluar. Sebelum dibawa ke rumah sakit, Wibi juga pernah dibawa ke pengobatan alternatif karena kondisi keuangan rumah tangga Pipit yang tidak mencukupi untuk membawa ke rumah sakit.

Menurut Pipit, semasa putranya ini masih hidup, ia sering bertanya-tanya di dalam hati kalau-kalau anaknya dipanggil oleh Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dirinya. Pikiran seperti ini muncul ketika ia sedang melihat anaknya.

”... Udah gitu kalo tidur, kakak sering bilang gini ’Ya Allah ya Tuhanku, anakku ini ganteng kali. Kalo diambil dariku, bisa gila aku ini. Misalnya tiba-tiba diambil, bisa gilalah aku’...”

(R1.W1/b.169-172/hal.6)

”... Kalo misalnya dia maen jungkit-jungkit kan, ada terpikir ’Panjang ga umur anakku ini ya’. Ada firasat kayak gitu...”

(R1.W1/b.174-177/hal.6)

Menjelang kematiannya, Wibi sering meminta hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Pipit. Ini membuat Pipit semakin merasa bahwa hidup anaknya tidak akan lama lagi. Perkataan dokter yang menyuruh ia memberikan apapun yang diminta oleh Wibi, membuatnya semakin sering berpikir tentang kematian anaknya.

”... Kata dokternya gini, ’Bu, nanti anak Ibu minta apa aja, kasi aja Bu. Tidak ada pantangan’ katanya. Dari situ kakak udah mikir gini, ’Ih, ya Allah ya Tuhanku, orang ini kok udah bilang gini ya? Apa anakku udah mau meninggal ya?’...”

(R1.W1/b.204-209/hal.7)

”... Biasanya ga mau dikasi roti, minta terus. Kakak kasi terus dia makan. Habis itu dibilangnya gini, ‘Bu, jangan jual TV ya Bu. Nanti Bibi mau nonton’. Trus datang kakak, bilang ‘Gapapalah Nak, dijual, biar untuk obat Wibi’. Jadi kakak sedih kali disitu, kenapa lah anakku ini bilang kekgini…”

Menjelang kematiannya, Wibi dipangku oleh ayah dan ibunya. Wibi meminta kepada ayah dan ibunya untuk membawa ia pulang, karena ia lebih suka meninggal di rumah daripada di rumah sakit. Karena sudah lama berada di rumah sakit, Wibi sering melihat bagaimana perlakuan dokter saat ada pasien disana yang meninggal dunia. Hal itu membuatnya takut untuk meninggal di rumah sakit karena ia takut mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang pernah ia lihat sebelumnya. Pipit mengatakan bahwa pada waktu itu Wibi melihat malaikat dan tidak mau diajak pergi oleh malaikat itu. Setelah itu, Wibi pun akhirnya meninggal dunia.

b. Proses Grief 1) Fase-fase Grief a) Fase Shock

Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat pertama kali menyadari terjadinya kehilangan. Pipit mengalami state of alarm, saat ia tiba-tiba tidak sadarkan diri lalu pingsan lalu setelah siuman ia merasa tubuhnya sangat lemas. Pipit juga mengalami confusion, saat ia sulit menyadari tamu-tamu yang datang melayat. Fase pertama ini dilewati oleh Pipit seperti berikut :

Melihat Wibi yang sudah meninggal dunia, Pipit merasa badannya lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Setelah sadar, pikirannya terasa kosong, sampai-sampai ia tidak bisa mengenali para tamu yang datang melayat.

“…Kakak udah pingsan-pingsan, udah ga sadar-sadar. Sementara orang datang bolak-balik, kakak ga tau, udah linglung. Kosong gitu pikirannya, ga tau siapa yang datang...”

(R1.W1/b.330-333/hal.11)

”... Ga sadar lah sebentar. Trus disuruh ngucap. Tapi waktu ngucap-ngucap itu, rasanya roh kita udah ga ada ya, kayak udah melayang gitu. Kayak hilang semangatnya. Lemes badan itu...”

(R1.W2/b.66-69/hal.17)

b) Fase Awareness of Loss

Pada fase ini individu mengalami emosi yang tidak menentu setiap harinya. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Pipit mengalami separation anxiety, ketika ia merasa hampa dan ingin membunuh dirinya sendiri ketika ia telah menyadari bahwa anaknya sudah tidak ada lagi. Prolonged stress juga dialami Pipit saat ia sering menangis saat ia karakoean di rumah, teringat dengan kegiatan yang sering ia lakukan bersama anaknya ketika masih hidup. Pipit juga mengalami conflict, ia melihat masa lalu saat melahirkan Wibi dan mencari-cari kesalahan yang ia lakukan yang mungkin menjadi penyebab kematian anaknya. Dari data yang diperoleh, Pipit juga mengalami fase ini.

Setelah Wibi meninggal dunia, Pipit merasa hidupnya hampa dan tidak memiliki keinginan untuk hidup lagi.

“Hampalah, hampa. Macam ada aja yang kehilangan. Ya kekmanalah, biasa kita nengok, biasa kita nampak dia...”

(R1.W1/b.241-243/hal.8)

Pipit sering merasa sangat merindukan anaknya saat ia melakukan kegiatan yang dulu sering ia lakukan bersama Wibi, seperti karaokean bersama

dengan anak-anaknya pada siang sampai sore hari. Kebiasaan ini biasanya mereka lakukan saat Pipit sudah pulang bekerja.

”... Dulu kakak suka karaoke ya, jadi kami sering nyanyi-nyanyi. Jadi kalo kakak udah nyanyi, orang ini udah tau. ’Itu lagi nyanyi itu, pasti dia teringat anaknya itu. Nanti ga terasa air matanya udah ngalir itu’. Itu lama. Sampai hamil besar adik ini lah. Sampai udah mau melahirkan...” (R1.W2/b.94-99/hal.18)

Pipit juga masih suka menebak-nebak penyebab mata almarhum anaknya seperti itu. Ia memperkirakan beberapa hal yang menyebabkan demikian.

”... Itu, sebelum dia meninggal, anakku itu pernah jatuh. Waktu magrib pernah jatuh, tertancap paku. Ayahnya lagi merantau, kakak sibuk jualanlah kan. Kakak cabut, sikit aja, tapi mungkin, mungkin, kena pembuluh darah mata ini ya kan. Gitu kakak ambil, langsung ngucur darahnya. Tapi memang naas ya, mungkin emang jalannya dia mati...” (R1.W1/b.359-366/hal.12)

”... Dulu dia masih kecil, masih umur 6 bulan. Orang banyak kali yang suka menggendong dia kesana kemari, kesana kemari. Tiba-tiba ada yang mau ngasi ke kakak, mutar-mutar, mutar-mutar, tiba-tiba jatuh. Bukannya tinggi kali. Rendahnya. Tapi ya itulah, langsung kejang. Mungkin ya, mungkin, ntah kena apanya gitu.”

(R1.W1/b.367-374/hal.12)

”... permulaannya tau, katanya kalo mata anak kita sakit, ditetesin air susu. Jadi kalo dia sakit mata, kakak tetesin air susu kakak. Itulah kata orang tua dulu. Tapi, ga semua bisa. Air susu kakak tajam. Kena aja sikit di kulit, udah luka. Suka kakak tetesin ke matanya. Waktu bayi dia, merah matanya, kakak tetesin. Sementara air susu awak tajam...”

(R1.W1/b.407-414/hal.14)

c) Fase Conservation and the Need to Withdrawal

Pada fase ini individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Individu merasa sangat kelelahan, memerlukan istirahat dan pemulihan kembali. Pada fase ini, Pipit mengalami withdrawal and the need to rest, ia mulai menghindari rumah sakit dimana anaknya dulu pernah dirawat, ia juga menolak untuk mengobrol dengan tetangga-tetangganya seperti yang sering ia lakukan

dulu, bahkan ia juga menghindari untuk pergi melayat ke rumah tetangga yang anaknya meninggal dunia yang memiliki usia rata-rata sama dengan almarhum anaknya. Pipit juga mengalami despair rather than depression, ia mulai putus asa dan kehilangan selera makan, bahkan ia tidak lagi melakukan hal-hal yang sering ia lakukan dulu seperti berdandan. Selain itu, Pipit juga mengalami diminshed social support, dan ia mendapatkan dukungan sosial dari suami, keluarga besar, bahkan majikan tempat ia bekerja. Dari data yang diperoleh, fase ketiga ini dilewati Pipit seperti berikut:

Pipit mengaku sempat tidak sanggup melewati dari rumah sakit dimana Wibi pernah dirawat. Selain itu, Pipit juga sempat kehilangan selera makannya, sehingga harus disuapi agar ia mau makan.

”... Kakak kalo lewat dari Pirngadi itu, ga sanggup kadang-kadang. Teringat, teringat aja sama dia. Perasaannya hampa, kayaknya ga mau hidup lagi. Kayaknya mau ikut sama dia...”

(R1.W1/b.247-250/hal.8)

”... Ini kayak kosong, trauma, macam orang streslah. Kekmana orang stres. Ga mau bersolek, ga mau berdandan. Ya gitulah. Yang tadinya kita pesolek, males. Yang tadinya kita periang, agak murung...”

(R1.W1/b.391-395/hal.13)

”... Kalo dulu makan ga bisa, minum ga bisa. Pikiran kosong kali.” (R1.W1/b.418-419/hal.14)

Selain itu, ia juga tidak lagi sering mengobrol dengan para tetangga dan keluarganya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.

” Becakap pun malas. Ee..., kalo jumpa ya sekedar gitu aja. Apa ya, kayaknya hampa kali. Mau bicara, mau ketawa, itu terbatas. Biasa kita ketawa terpingkal-pingkal ya kan, ini ga lagi…”

(R1.W2/b.166-169/hal.20)

Selama masa berkabung, Pipit merasa bahwa keluarga besarnya sangat berperan besar untuk membuat dia kembali kuat dan tegar menghadapi kematian

Wibi. Mereka selalu memberikan semangat dan mengingatkan dia saat ia mulai menangis karena mengingat Wibi. Meskipun begitu, Pipit mengatakan bahwa yang paling ia butuhkan adalah perhatian dari suaminya.

”... Biarpun mertua kakak, biarpun ipar-ipar, biarpun kakak awak sendiri, ngasi semangatlah. Ngasi semangat, “Jangan gitu-gitu ajalah, udahlah, ikhlaskan”. Gitu. Itulah. Eceknya ngasi semangatlah, ditambah lagi orang itu datang ke rumah ya kan. jadinya senanglah...”

(R1.W2/b.157-162/hal.20)

”... Kami kan suka ngumpul di depan. Jadi orang itu suka manggil supaya kakak ikut gabung-gabung disana. Kami suka melucu-melucu. Trus nanti kami disitu ketawa-ketawa. Hilang jugalah rasa stres kita itu...”

(R1.W2/b.216-220/hal.21-22)

Sampai sekarang, Pipit tetap tidak bisa menutupi perasaan sedihnya jika mendengar ada anak orang lain yang meninggal dunia di usia 1 atau 2 tahun ke atas. Ia langsung teringat dengan kematian Wibi yang juga meninggal dunia di usia yang sama. Hal ini menyebabkan Pipit tidak pernah pergi melayat jika mendengar kabar seperti itu. Ia merasa takut dan stres.

”... Tapi ya, jujur kakak, jujur, kalo ada anak orang meninggal, kalo bayi kakak ga terlalu ini ya, anak meninggal umur 2 tahun ke atas atau setahun ke atas gitu kan, itu kakak sering nangis. Teringat sama anak kakak....” (R1.W2/b.375-379/hal.26-27)

”... Makanya kakak ga pernah pergi kalo ada anak orang meninggal, takut kakak, takut stres,sampai sekarang...”

(R1.W2/b.385-387/hal.27)

d) Fase Healing

Fase ini merupakan awal pemulihan dari peristiwa grief. Individu mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami. Pada fase ini, Pipit mengalami reaching a turning point (mulai dapat beraktivitas kembali), assuming control (mulai dapat mengontrol dirinya untuk tidak terlalu bersedih karena kematian anaknya), relinquishing roles (mulai beradaptasi dengan hilangnya satu orang anggota

keluarga), forming a new identity (mulai dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri). Pada responden I hal ini dapat dilihat dari data wawancara yang diperoleh:

Sekitar 2 bulan yang dipakai Pipit setelah kematian Wibi untuk menenangkan dirinya sebelum ia memulai untuk bekerja kembali. Pada saat bekerja, Pipit sering mengeluarkan air mata saat ia teringat dengan anaknya. Pada siang hari saat Pipit sudah pulang bekerja, ia akan kembali menangis ketika mendapati bahwa anak yang akan dia tidurkan hanya ada satu orang, bukan dua orang lagi.

”... Itupun masih nangis-nangis aja. Teringat di rumah kalo lagi sendirian. Kalo kek gini-gini, pas waktu tidur siang kan, biasanya abang itu sama dia, kek ginilah, hidupin kaset, kakak tidur sama anak-anak, nanti tidur tu orang tu berdua. Jadi kalo kita tengok sekarang yang satu ga ada, ya sedih kali lah...”

(R1.W2/b.49-55/hal.16)

“...Pertamanya itu agak ga enaklah, tapi cukuplah itu 2 bulan nangis. Daripada kita di rumah-rumah aja, terbawa stres. Lebih bagus kita bekerjalah...”

(R1.W2/b.244-247/hal.22)

Setelah kematian Wibi, Pipit merasakan ada perubahan di dalam rumahnya dan ia harus beradaptasi dengan keadaan tersebut. Ia sangat merasakan ketidakhadiran Wibi dalam setiap kegiatan yang sering dilakukan secara bersama-sama, seperti saat makan, saat memberi uang jajan, ataupun saat menjelang Lebaran.

”... biasa kita makan berempat ya kan, trus kita makan tinggal bertiga. Itu satu ya kan. Udah gitu biasa minta kita untuk jajan ada dua ya, sekarang udah kehilangan satu. Itu yang kedua. Ketiga, waktu-waktu mau lebaran...”

(R1.W2/b.290-294/hal.24)

Pada fase ini individu mulai beradaptasi, menerima, dan belajar untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi yang sudah meninggal dunia. Pipit mengalami renewing self awareness (kehadiran putra bungsunya menjadi awal pemulihan dari perasaan sedihnya), accepting responsibility for ourselves (ia mulai bisa kembali mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri), dan learning to live without (ia sudah bisa menerima dan belajar menjalani hidup tanpa kehadiran anaknya). Dari data wawancara, didapati bahwa Pipit juga mengalami fase ini, seperti yang diuraikan di bawah ini:

Pipit membutuhkan 2-3 tahun untuk akhirnya pulih dari perasaan sedihnya. Hal ini dikarenakan ia sudah melahirkan putra ketiganya yang dianggap sebagai pengganti Wibi. Putra ketiganya ini memiliki sifat yang hampir sama dengan Wibi. Selain itu, adanya dukungan dari keluarga dan doa yang terus ia panjatkan agar ia cepat dapat melupakan peristiwa yang menimpanya dan tidak berlama-lama berada dalam kesedihannya.

”... Lamalah. Berapa tahun la ya? Ya 2 tahunan atau 3 tahunan lah.” (R1.W2/b.372-373/hal.26)

”... Iyalah. Ditambah dengan berdoa. Kalo kita sedih tapi ga berdoa, untuk apa ya kan. Kita berdoa sama Yang di Atas...”

(R1.W2/b.418-420/hal.28)

Dokumen terkait