• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna ( Thunnus sp )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna ( Thunnus sp )"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp)

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scrombidae, tubuh seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor berbentuk bulan sabit (Saanin 1984). Tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari, tuna besar (yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, albacore) dan ikan mirip tuna (tuna-like species), yaitu marlin, sailfish, dan swordfish (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2005). Morfologi tuna dapat dilihat pada Gambar 1.

Klasifikasi ikan tuna (Saanin 1984 dan FAO 2011) adalah sebagai berikut. Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Famili : Scombridae Genus : Thunnus

Spesies : Thunnus obesus (big eye tuna, tuna mata besar)

T. alalunga (albacore, tuna albacore)

T. albacares (yellowfin tuna, madidihang)

T. tonggol (longtail tuna, tuna ekor panjang)

T. macoyii (southern bluefin tuna, tuna sirip biru selatan)

T. thynnus (northern bluefin tuna, tuna sirip biru utara)

T. atlanticus (blackfin tuna, tuna sirip hitam)

(2)

Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus sp) (Destin Florida Fishing 2005).

Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari tuna mata besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003).

Penangkapan ikan tuna dilakukan menggunakan kapal purse sein, longline, dan pole and line. Hasil tangkapan tuna oleh kapal purse sein sebesar 58%, longline 15%, pole and line 14%, gear lainnya (gillnet coastal, handline, dll) 13%, dan troll <1%. Kapal longline umumnya menangkap tuna mata besar dan tuna sirip biru yang berumur lebih tua, sedangkan kapal purse sein

menangkap cakalang dan madidihang yang berumur lebih muda, serta sesekali tuna mata besar (FAO 2004; Gilman & Lundin 2008).

Tuna merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan dan penampakan eksternal tuna merupakan pertimbangan penting untuk menentukan nilai jual, sehingga penanganan tuna harus dilakukan dengan hati-hati, cepat, dan digunakan suhu rendah segera setelah penangkapan. Selain itu, penanganan yang baik dapat meningkatkan umur simpan dan mempertahankan kesegaran tuna. Aktivitas penanganan ikan tuna di kapal meliputi membunuh tuna (killing), membuang darah (bleeding), membuang insang dan jeroan (gilling and gutting), mencuci (cleaning), dan menyimpan pada suhu rendah (Blanc et al. 2005).

(3)

2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna (Thunnus sp)

Ikan tuna adalah jenis ikan yang mengandung lemak rendah (kurang dari 5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi gizi ikan tuna bervariasi tergantung spesies dan bagian-bagian dari tubuh ikan tersebut. Selain itu, variasi ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: jenis, umur, musim, laju metabolisme, aktivitas pergerakan, dan tingkat kematangan gonad (Stansby & Olcott 1963).

Kandungan lemak ikan tuna berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara daging merah dengan daging putih (Stansby & Olcott 1963). Berdasarkan lapisan lemaknya, daging tuna dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: otoro, chutoro, akami. Otoro dan chutoro merupakan jenis-jenis toro dengan kadar lemak sekitar 25%. Otoro berwarna merah muda, merupakan bagian terbaik dan termahal sebagai bahan baku sashimi, kemudian diikuti oleh chutoro yang berwarna lebih gelap. Bagian daging tuna yang terletak agak di pusat ikan dan berwarna lebih merah dengan kandungan lemak 14% lebih rendah disebut akami. Bagian ini memiliki harga paling murah diantara bagian tubuh ikan tuna yang lainnya.

Ikan tuna tergolong ke dalam ikan dengan protein yang sangat tinggi dan lemak rendah (Stansby & Olcott 1963). Komposisi kimia tersebut dapat mengalami perubahan ketika terjadi proses kemunduran mutu. Kemunduran mutu ikan meliputi perubahan fisik, kimia, dan organoleptik dengan urutan mulai dari pre-rigor, rigormortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba, oksidasi lemak, dan hidrolisis (Huss 1995). Komposisi kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi ikan tuna per 100 gram

Komponen Komposisi kimia (%)

Yellow fin Blue fin Skipjack

Air 74,0 ±0,28 70,1 ±1,98 69,9 ±0,71

Protein 23,2 ± 1,34 25,5 ±4,03 26,0 ±0,28

Lemak 2,4 ±1,41 2,1 ±0,92 2 ±0,07

Karbohidrat 1,0 ±1,27 0,9 ±1,13 0,7 ±0,42

Abu 1,3 ±0,14 1,4 ±0,21 1,4 ±0,07

(4)

Tabel 2 Komposisi asam amino ikan tuna per 100 g

Asam amino Kandungan mg/100g

Threonine 1079 Tryptophane 342,5 Valine 1477,5 Histidine 1476,5 Arginine 1487 Alanine 1569,5 Aspartic acid 2260 Glutamic acid 3171 Glysine 971,5 Proline 1088,5 Serine 953,5

Sumber: Departement of Health, Education and Walfare (1972); Kim et al. (2009)

Pre-rigor merupakan peristiwa lepasnya lendir dari kelenjar di bawah kulit ikan. Keadaan tersebut terjadi pada saat jaringan otot lembut dan lentur, ditandai dengan menurunnya ATP dan kreatin fosfat. Lendir sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Lendir membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Jumlah lendir yang terlepas dapat mencapai 1-2,5% dari bobot tubuh ikan. Pada tahap pre-rigor, terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga menurunkan pH (Eskin 1990).

Rigormortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Rigormortis terjadi pada saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen (Eskin 1990). Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dan suhu lingkungan yang rendah akan menunda terjadinya rigor (Huss 1995).

Tahap autolisis dimulai dengan terjadinya pemecahan senyawa penyusun ikan menjadi senyawa lain dengan berat molekul yang lebih kecil oleh kerja enzim. Pemecahan penyusunan jaringan akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik, seperti bau, rasa, tekstur, dan terkadang warna (Huss 1986; Clucas & Ward 1996).

Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigormortis selesai. Bakteri yang semula hanya berada di insang, jeroan, dan kulit, mulai masuk ke

(5)

otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi, seperti protein, lemak, dan karbohidrat menjadi senyawa pembusuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lainnya. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang terberat dan dianggap paling bertanggung jawab dalam kebusukan ikan (Huss 1986).

2.3 Histidin dan Histamin

Histidin merupakan asam amino bebas yang terdapat pada daging ikan merah segar, seperti tuna, cakalang, dan sardin. Secara umum, kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis horse mackerel. Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6% histidin, bahkan cakalang, yellowtail, madidihang, daging bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al. 2011). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya, sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan penanganan yang salah (Keer et al. 2002).

Menurut Abe et al. (1986), kandungan histidin cakalang lebih banyak terdapat pada daging putih daripada daging merah. Kandungan histidin pada ikan yang lelah berenang akan meningkat pada daging putih, sedangkan tetap pada daging merah. Hal tersebut terkait dengan kemampuan tuna dalam berenang cepat. Kemampuan tuna berenang cepat didukung dengan peningkatan kapasitas glikolisis secara anaerob pada daging putih, yang dapat dilihat dari aktivitas dehidrogenase laktat (Guppy & Hochachka 1978, diacu dalam Abe et al. 1986). Selama berenang cepat, sejumlah besar laktat, sekitar 100 µmol/g daging terakumulasi sebagai produk akhir pada daging putih, diikuti dengan produksi proton, yang menimbukan efek bahaya (Guppy et al. 1979, diacu dalam Abe et al.

1986). Untuk itu dibutuhkan peran penyangga intraseluler, yakni kelompok imidazol L-histidin, yang berubah menjadi residu histidin pada protein, L-histidin, dan histidin yang mengandung dipeptida (anserine, carnosine, balenine atau

orphidine) (Crush 1970, diacu dalam Abe et al. 1986).

Histidin pada ikan dapat diubah menjadi histamin oleh enzim histidin dekarboksilase. Histamin merupakan kelompok dari amin biogenik, yaitu bahan

(6)

aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi (Keer et al. 2002). Amin biogenik adalah basa organik dengan bobot molekul rendah yang secara normal dapat membantu fungsi fisiologis tubuh, seperti pH dan volume lambung, aktivitas otak, pengaturan suhu tubuh, dan pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan alergi (Allen 2004). Histamin disebut juga sebagai scrombotoksin.

Histamin adalah salah satu penyebab paling signifikan dari foodborne illness yang terkait dengan pangan laut, walaupun terkadang terjadi kesalahan diagnosis sebagai infeksi Salmonella spp. Histamin terbentuk pada ikan rusak/busuk oleh bakteri tertentu yang memiliki enzim histidin dekarboksilase (Frank et al. 1981), sehingga dapat mendekarboksilasi asam amino histidin. Walaupun bakteri tersebut secara normal terdapat pada flora mikroba ikan hidup, sebagian besar berasal dari kontaminasi pasca penangkapan pada kapal, industri pengolahan, atau distribusi (Lehane & Olley 2000). Proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 2. Satuan kadar histamin dalam daging ikan dapat dinyatakan dalam mg/100g atau ppm (mg/kg). Uni Eropa menentukan satuan standar histamin yang dinyatakan dalam mg/kg (Etienne 2005a).

Gambar 2 Proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002). Laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25 ºC oleh Morganella morganii dan Proteus vulgaris, tetapi pada suhu 15 ºC histamin masih diproduksi dalam level yang signifikan pada daging (Kim et al. 2001). Menurut Fletcher et al. (1995) pembentukan histamin pada suhu 0–5 ºC sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian

(7)

Price et al. (1991) menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 C atau lebih rendah. Menurut Craven et al. (2000), pada suhu 4,4 ºC dengan es curai terbentuk histamin sebanyak 0,5-1,5 mg/100g ikan. Konsentrasi tersebut memenuhi aturan FDA, yakni tidak melampaui 5 mg/100 g. Oleh karena itu, FDA menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada ikan sebesar 4,4 ºC (FDA 2011).

Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada Tabel 3. FDA mengatur tentang kadar maksimum histamin, yakni tidak melebihi 50 ppm (FDA 2002), sedangkan peraturan dari EC menyatakan bahwa histamin yang dianalisis dari 9 sampel pada masing-masing batch, memiliki rataan tidak melebihi 100 ppm, dan tidak ada sampel yang melebihi 200 ppm (EU 2005).

Pembentukan histamin pada produk ikan, terkait langsung dengan konsentrasi histidin dalam jaringan, jumlah dan jenis bakteri yang mengandung enzim histamine decarboxylase (hdc) atau bakteri pembentuk histamin, lokasi daging dan kondisi lingkungan (Lehanne & Olley 1999;Barceloux 2008).

Tabel 3 Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan Kadar histamin per 100 g Tingkatan bahaya < 5 mg 5-20 mg 20-100 mg > 100 mg Aman dikonsumsi Kemungkinan toksik Berpeluang toksik Toksik

Sumber:Shalaby (1996), diacu dalam Sumner et al. (2004)

2.4 Bakteri Pembentuk Histamin

Mikroorganisme ditemukan di seluruh permukaan tubuh (kulit dan insang) serta di dalam usus pada ikan hidup dan ikan yang baru ditangkap. Flora bakteri pada ikan yang baru ditangkap lebih bergantung pada lingkungan ikan tersebut dibandingkan dengan spesies ikan. Ikan yang ditangkap di perairan sangat dingin dan tidak tercemar mengandung sejumlah kecil flora bakteri, sebaliknya ikan yang ditangkap di perairan hangat mengandung flora bakteri sedikit lebih banyak dan ikan yang ditangkap di perairan hangat dan tercemar mengandung sejumlah besar flora bakteri, yakni 107 cfu/cm2 (Huss 1995).

Pembentukan histamin terjadi selama penanganan ikan yakni pada proses

(8)

lama. Selain itu, bila jeroan tidak dikeluarkan sebelum pembekuan, beberapa jenis bakteri di usus berperan dalam dekomposisi dan akumulasi histamin (Frank & Yoshinaga 1987).

Histamin diproduksi oleh mikroorganisme tertentu yang mengandung enzim hdc. Banyak jenis bakteri yang dapat menghasilkan histamin, tetapi penghasil utama histamin pada ikan adalah bakteri Gram negatif jenis enterik mesofilik dan bakteri laut (Middlebrooks et al. 1988; Butler et al. 2010).

Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada otot, insang, dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri tersebut karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling) dan penyiangan (gutting) (Sumner et al. 2004). Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 ºC) daripada temperatur rendah (7,2 ºC) (FDA 2011).

Kung et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat lima jenis bakteri ditemukan pada tuna sandwiche yang dapat menghasilkan 42,1-595,4 ppm histamin dalam media trypticase soy broth dengan 1% L-histidin (TSBH), yakni

Hafnia alvei, Raoultella ornithinolytica dan Raoultella planticola. Hafnia alvei

diidentifikasi sebagai pembentuk histamin yang lemah, sedangkan Raoultella ornithinolytica dan Raoultella planticola dapat menghasilkan histamin lebih dari 500 ppm dalam media TSBH. Taylor & Speckhard (1983) menemukan Proteus morganii dari media TSA dan NA dan Citrobacter freundii dari media TSA pada insang skipjack tuna beku.

Histamin dihasilkan oleh berbagai jenis bakteri, penghasil utama histamin adalah bakteri Gram negatif mesofil, yakni Morganella morganii, Enterobacter aerogenes, Raoultella planticola, Raoultella ornithinolytica dan Photobacterium damselae yang dapat menghasilkan lebih dari 1000 ppm histamin dalam kaldu ketika dikultur dalam kondisi optimal. Hafnia alvei, Citrobacter freundi, Vibrio alginolyticus dan Escherichia coli adalah penghasil histamin yang rendah dengan konsentrasi kurang dari 500 ppm di bawah kondisi kultur yang sama (Butler et al. 2010).

(9)

2.5 Standar, Regulasi Teknis, dan Risk Assessment

Berdasarkan PP RI nomor 15 tahun 1991 tentang SNI, standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya (Departemen Perindustrian 1992).

Standar dalam pelayanan publik bermanfaat untuk mengurangi variasi proses, sehingga meningkatkan konsistensi pelayanan publik, mengurangi terjadinya kesalahan, meningkatkan efisiensi pelayanan, dan memudahkan petugas dalam memberikan pelayanan. Pelaksanaan standar tidak bersifat wajib

(World Trade Organisation WTO 2003). Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN. Agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yaitu: terbuka, transparan, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pembangunan (BSN 2011).

Berdasarkan Annex I perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT), regulasi teknis merupakan suatu dokumen yang ditetapkan berdasarkan karakteristik produk atau proses yang terkait dan cara produksi, termasuk ketentuan administrasi aplikatif yang pemberlakuannya bersifat wajib. Regulasi teknis juga berisi tentang terminologi, simbol atau label yang dibutuhkan untuk produk, proses atau cara produksi (WTO 2003). Oleh karena suatu regulasi teknis mencakup persyaratan yang mengikat, maka penetapannya harus memenuhi sejumlah kaidah sebagai berikut (BSN 2003).

a. tujuan dari regulasi tersebut dapat dimengerti oleh pihak-pihak yang terikat;

b. regulasi teknis tersebut dapat diberlakukan kepada semua pihak yang terikat tanpa diskriminasi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan iklim usaha yang kompetitif dan persaingan yang sehat;

(10)

c. semua ketentuan yang dipersyaratkan dapat dipenuhi oleh pihak yang terikat olehnya dalam kurun waktu yang wajar;

d. penetapan regulasi teknis memberi tenggang waktu yang cukup sebelum diberlakukan secara efektif, agar pihak yang terikat olehnya dapat mempersiapkan penerapannya;

e. regulasi teknis yang telah berlaku secara efektif dapat ditegakkan, baik melalui penyediaan prasarana yang memadai untuk memfasilitasi pihak-pihak yang mematuhi semua ketentuan yang diatur maupun melalui pengawasan pasar untuk mengkoreksi dan/atau menindak pihak-pihak yang tidak mematuhinya;

f. regulasi teknis ditetapkan oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan koreksi dan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi regulasi tersebut.

Risk analysis merupakan suatu pendekatan berbasis risiko dalam mengendalikan bahaya kesehatan masyarakat terkait dengan pangan (WHO 2005).

Risk analysis terdiri dari tiga komponen, yakni risk assessment, risk management, dan risk communication. Risk assessment adalah karakterisasi potensial risiko bahaya menggunakan pendekatan ilmiah, termasuk perkiraan besarnya risiko dan efek dari hasil yang ada. Risk management merupakan proses mempertimbangkan alternatif kebijakan yang sesuai dan dapat diterapkan berdasarkan hasil risk assessment, sehingga dapat mengendalikan potensi bahaya. Risk communication

merupakan proses interaksi berupa diskusi dan pertukaran informasi antara pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengawasan keamanan pangan untuk memastikan pelaksanaan kebijakan dan konsep keamanan pangan berjalan dengan baik dan benar.

Aplikasi risk assessment terdiri dari empat komponen, yakni identifikasi bahaya (hazard identification), penilaian paparan (exposure assessment), karakterisasi bahaya (hazard characterization), dan karakterisasi risiko (risk characterization) (Sumner et al. 2004).

a. Identifikasi bahaya, merupakan identifikasi agen biologi, kimia, dan fisik yang memiliki efek merugikan terhadap kesehatan bila terdapat dalam

(11)

makanan. Proses ini merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumber bahaya, misalnya: bahaya histamin pada ikan scromboid.

b. Penilaian paparan, merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari kemungkinan adanya agen biologi, kimia, dan fisik yang masuk melalui makanan. Pada tahap ini diperlukan data konsumsi makanan yang berpotensi bahaya dan tingkat kontaminasi dari mikroorganisme atau toksin pada saat konsumsi.

c. Karakterisasi bahaya, merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari efek yang merugikan kesehatan dalam hubungannya dengan agen biologi, kimia, dan fisik yang mungkin terdapat dalam makanan. Dua faktor penting dalam tahap ini adalah gambaran efek bahaya dan dosis yang dapat diterima.

d. Karakterisasi risiko, merupakan proses penentuan secara kualitatif dan atau kuantitatif yang mencakup ketidakpastian, kemungkinan kejadian, dan keparahan dari potensi yang merugikan kesehatan yang diketahui dalam suatu populasi yang ditentukan berdasarkan identifikasi bahaya, penilaian paparan, dan karakterisasi bahaya.

Gambar

Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus sp) (Destin Florida Fishing 2005).
Tabel 2 Komposisi asam amino ikan tuna per 100 g

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen impor Non Aplicable Dari hasil verifikasi diketahui PT Tri Tunggal Laksana Bukan sebagai importir dan tidak menerima bahan baku kayu

Namun, juga terdapat perbedaan antara data yang di dapat dengan penelitian ini, terbukti dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada pembelajaran Bahasa Arab, khususnya

Jarak Ibukota Kecamatan ke Pusat Pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Gunungkidul adalah Km. Kecamatan Tepus mempunyai luas wilayah 1.485,35 Km. Kecamatan Tepus memiliki desa,

Data training dengan prosentase kebenaran 100% digunakan pada sistem analisis sentimen sebagai data training dan data testing berupa data tweet dari responden pada

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang di evaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk Tak Orientasi

7 Histogram sebaran grey scale benih ikan gurame 9 8 Histogram sebaran grey scale pada satu nampan 10 9 Contoh hasil thresholding pada beberapa persentil nilai threshold 11

a. Nilai Pagu Dana s.d. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana