• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Makrifat. Vol 5 Nomor 1. Januari 2021 ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Makrifat. Vol 5 Nomor 1. Januari 2021 ISSN:"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PERATURAN PERKAWINAN MENURUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DIPERBAHARUI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16

TAHUN 2019

(KANTOR URUSAN AGAMA KEC.MEDAN PERJUANGAN)

Oleh

Riri Silvia, M.A Dosen STAI Darul Arafah

riri@staidarularafah.ac.id

Abstract

Every teenager, a couple who has the direction and purpose of getting married, has the commitment to make a family. The family that is recognized in Islam is "usrahzaujiyyah", which is a family built on the basis of a valid marriage according to Islam. Household is an Islamic life, it must be husband and wife of Muslim men and women with the characteristics of istislaamlillaahi, thaa'atanlahuwanqiyaadaa, ittibaa'anlimanhajinwahtikmanilaakitaabih (fully surrender to llah obey and obey Him, follow Allah and punish His book Living in a household is human nature as a social being, the purpose of marriage is to form a happy and eternal family based on the Almighty God, where this marriage means (1) lasts a lifetime, (2) divorce requires strict conditions and is a last resort. , (3) husband and wife help to develop themselves. The family is said to be happy if it is fulfilled with clothing, food and shelter, health and education while from spiritual needs. Marriage is a very important institution in society, where the existence of this institution legalizes the legal relationship between a man and a woman. Marriage is a physical and mental bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family (household) based on the one and only God (article 1 of Law Number 1 of 1974)

Keywords: marriage, age, Law No.1 of 1974 A. PENDAHULUAN

Setiap remaja sepasang kekasih yang mempunyai arah dan tujuan untuk menikah, saling mempunyai komitmen menjadikan sebuah keluarga. Keluarga yang diakui dalam Islam ialah “usrah zaujiyyah”yaitu keluarga yang dibangun atas dasar perkawinan yang shah menurut Islam. Rumah Tangga merupakan kehidupan Islami haruslah suami istri dari laki-laki dan perempuan yang muslim dengan

ciri-ciri istislaam lillaahi,

thaa’atanlahuwanqiyaadaa, ittibaa’an limanhajin wahtikman ilaa kitaabih ( menyerah penuh kepada llah taat dan patuh kepada-Nya ikut Allah dan berhukum kepada kitab-Nya.(L. Rousydiy 1987) Perencanaan pernikahan tersebut melalui proses yang harus dilalui oleh pasangan yang akan menikah merupakan awal bagi kedua pasangan untuk saling mengikat ke dalam suatu ikatan yang sah dan diakui agama serta adat dari

(2)

masyarakat. Menurut fikih, persiapan perkawinan adalah faktor usia, kaena seseorang akan dapat ditentukan apakah dia cukup dewasa dalam bersikap dan berbuat atau belum dalam hukum. Di dalam suatu perkawinan dituntut sikap deasa dan matang dari masing-masing calon. Dilihat menurut kamus bahasa Indonesia yaitu sampai umur atau baligh. Dalam hukum Islam usia dewasa dikenal dengan kata baligh.

Dalam Al-Quran tidak ada batas usia perkawinan, tetapi adanya ayat dalam alquran yang memiliki kolerasi dengan usia baligh, dilihat dalam surah An-Nisa ayat 6

6. dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi

mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu.

Hidup berumah tangga merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial, tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, dimana perkawinan ini berarti (1) berlangsung seumur hidup,(2) cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, (3) suami-istri membantu untuk mengembangkan diri. Keluarga dikatakan bahagia jika terpenuhi sandang, pangan dan papan, kesehatan dan pendidikan sedangkan dari kebutuhan rohaniah. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat, dimana eksistensi institusi ini melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdsrkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974).(Salim 2014). Peran yang sangat besar terbentuknya keluarga yaitu mencetak dan menumbuhkan generasi masa

(3)

depan pilar penyangga bangunan umat dan perisai penyelamat bagi negara. (Masyhur 1999)

Dalam sistem hukum positif di Indonesia, keluarga dan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, untuk mengetahui hakikat perkawinan maka perlu dijabarkan Undang-Undang dari aspek yuridis, sosiologis maupun filosofisnya. Undang-undang tersebut merupakan norma hukum yang berlaku mengikat untuk warga negara Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan hukum Islam tidak melihat dari aspek formal saja melainkan juga melihat dari aspek agama dan sosial. Dimana aspek agama menetapkan mengenai keabsahan perkawinan sedangkan dilihat dari aspek formal adalah menyangkut aspek adminitrasi yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Perkawinan dilihat pada pasal 26 Burgelijk Wetboek adalah pertalian yang sah antar seorang laki dan seorang perempuan untuk waktu lama, undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan. (Subekti 1995) Negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, serta

memberikan perlindungan, hak dan jaminan kelangsungan hidup.

Qanun atau perundang-undangan yaitu peraturan yang dibuat oleh suatu badan Legislatif (al-sulthan al-tasyri’yah) yang mengikat setiap warga dimana Undang-undang tersebut diberlakukan yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Undang-undang merupakan konsensus bersama (ijtihad jama’i) yang dinamikanya relatif lamban, karena untuk mengubah suatu undang-undang memerlukan waktu, biaya, dan persiapan yang tidak sederhana. (Anwar Rachman 2020)

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan, mengenai ketentuan, tata cara dan sahnya suatu perkawinan bagi orang Indonesia umumunya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat masing-masing. Undang-undang Perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.” Ketentuan tersebut menggambarkan

(4)

prinsip perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dapat dilihat pada penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan bahwa suatu perkawinan menurut agama masing-masing merupakan prinsip yang utama dari suatu perkawinan yang sah. (Anwar Rachman 2020) Perkembangan zaman ketentuan usia perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu disesuaikan lagi. Hal ini sangat dipandang perlu melakukan upaya-upaya pembaharuan usia perkawinan di Indonesia.

Masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 yang teridiri dari 14 bab dan terbagi dalam 67 pasal. Undang-Undang tersebut dibuat untuk mempertimbangkan falsafah negara yakni Pancasila, maka dibuat Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Dengan adanya aturan tersebut masalah yang berhubungan dengan perkawinan di Indonesia dapat teratasi dengan baik dan benar . Untuk umat Islam di Indonesia meskipun undang-undag tersebut tidak sama persis dengan

hukum pernikahan dalam fikih Islam namun tetap tidak bertentangan dengan hukum Islam. Untuk kelancaraan pelaksanaan Undang-undang maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang terdiri atas 10 bab dan 49 pasal yang merupakan penjabaran dan petunjuk pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.

Keluarnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 1 ayat (1) yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dibawah kandungan artinya setiap orang yang masih dibawah umur 18 tahun adalah masih masuk dalam kategori anak. Adanya upaya yang kemudian dilakukan untuk mengajukan

Judical Review ke Mahkamah

Konstitusi terkait masalah batas usia perkawinan di Indonesia, yakni dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, namun pada putusan ini Majelis Hakim memutuskan perkara menolak seluruh permohonan pemohon. Pada tanggal 20 April 2017 diajukan kembali Judical

(5)

Review ke Mahkamah Konstitusi oleh tiga orang pemohon yang mengajukan permohonan yang sama yaitu perubahan batas usia perkawinan di Indonesia. Akhirnya pada upaya yang kedua ini ternyata Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pemohon untuk melakukan pembaharuan batas usia perkawinan di Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 yang mengabulkan permohonan dan memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang (DPR RI) untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan pemerintah menyepakati perubahan pasal 7 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terkait ketentuan batas usia menikah laki-laki dan perempuan.

1. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses hukum keluarga tentang batas usia perkawinan menurut Undang-Undang

Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974?

2. Bagaimana ketentuan pelaksanan batas usia perkawinan Undang-undang No 1 tahun 1974 diperbaharui oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 di Kantor Urusan Agama Medan Perjuangan?

3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang No. 1 tahun 1974?

2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis untuk mengadakan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui proses hukum keluarga tentang batas usia perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.

2. Untuk mengetahui ketentuan pelaksanan batas usia perkawinan Undang-undang No 1 tahun 1974 diperbaharui oleh Undang-undang

(6)

Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 di kantor urusan agama Medan Perjuangan

3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang No. 1 tahun 1974.

3. Metode Penelitian

Dalam rangka penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian tentang Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diperbaharui oleh Undang-Undang Republik Nomor 16 Tahun 2019 untuk mempermudah dalam pengumpulan, pembahasan dan menganalisa data. Adapun penulis menggunakan penelitian pustaka (Libarray Reseach) melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif, yaitu suatu metode yang datanya dinyatakan dalam keadaan yang sewajarnya dengan tidak dibuat dalam bentuk simbol-simbol, bilangan, ataupun rumus. Metode penelitian digunakan dengan cara pendekatan sejarah hukum. Sebagai metode, maka sejarah hukum berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap

tahap-tahap perkembangan hukum, yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah peraturan perundang-undangan. Disamping kajian terhadap perkembangan, juga diadakan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan peraturan perundang-undangan(Bambang Sunggono 2015).Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi aturan hukum dari waktu ke waktu dan memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan itu.

2. Sumber Data

Adapun sumber data hukum dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Sumber data primer: yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. b. Sumber data sekunder: segala bahan

tulisan buku-buku terkait pembahasan usia perkawinan dan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang usia perkawinan. 3. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan alat pengumpulan data dengan studi

(7)

dokumen, seperti putusan Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, penelitian dan buku-buku terkait sejarah pembaharuan hukum Islam tentang usia perkawinan di Indonesia, dan mengambil data – data dari Kantor Urusan Agama di Medan Perjuangan.

4. Analisis Data

Pengumpulan data-data diperoleh dilakukan secara analisis deskriptif (Analitical Discription) terhadap data-data tersebut, yaitu menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan secara sistematik dan menyimpulkan fakta-fakta sejarah perubahan hukum Islam dari masa ke masa.

B. PEMBAHASAN

Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 maupun KHI orang-orang yang diperbolehkan melakukan pernikahan baik ketentuannya sama yaitu bagi calon mempelai laki-laki berusia 19 tahun dan bagi calon mempelai perempuan berusia 16 tahun. Dilihat pada Pasal 7 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dilihat pada Pasal 15 KHI.

Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang prinsip di dalam UU Perkawinan adalah sebagai berikut:

1) Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia pada saat sekarang ini.

2) Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman

3) Memuat tujuan dari pernikahan yaitu: membentuk keluarga yang kekal

4) Kesadaran akan hokum agama dan keyakinan masing-masing. 5) Menganut asas monogami tetapi

masih terbuka untuk melakukan poligami

6) Perkawinan dilaksanakan oleh orang yang matang jiwa dan raganya

7) Persamaan kedudukan antara suami dan istri dalam rumah tanggan maupun dalam pergaulan di masyarakat

Perkawinan menurut fikih tidak mengatur tentang batas usia perkawinan dan tidak mempunyai ketentuan tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melaksanakan

(8)

perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk

mengaturnya. Al-Qur’an

mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. Dalam kitab-kitab fikih para ulama mendefinisikan perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Dalam firman Allah QS An-Nuur :32

32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas

(pemberian-Nya) lagi Maha

mengetahui

Melaksanakan perkawinan merupakan suruhan Allah dan Nabi, maka perkawinan adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Untuk melangsungkan perkawinan tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan yang terdapat dalam hadis Nabi dari Abdullah bin Mas’ud muttafaq alaih yang bunyinya

Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan dari segi “al-baah” hendaklah kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari pengliatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu

Kata – kata al-baah mempunyai arti kemampuan melakukan hubungan kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup perkawinan. Kedua tersebut merupakan persyaratan suatu perkawinan. Menurut Wahbah al-Zuhaily “Akad yang membolehkan terjadinya al-istita (persetubuhan) dengan seorang wanit, atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamakan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.”

Perkawinan menurut Tahir Mahmood adalah perkawinan yang merupakan sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami istri dalam rangka memperoleh kebahagaiaan hidup dan membangun

(9)

kelurga dalam sinaran Ilahi. Ia menyatakan :

Marriage ia a relationship of body and soul between a man and woman as husband and wife fot the purpose of establishing a happy and lasting family founded on belief in God Almighty.

Definisi tersebut terlihat lebih lengkap dan tampak telah bergerak dari definisi fikih kovensional melihat perkawinan sebagai sebuag ikatan fisik kearah ikatan yang lebih bersifat batniah. Tahir Mahmood juga mengatakan tujuan dari perkawinan secara aksplisit tujuan perkawinan, tidaklah terlalu jauh dari definisi yang diberikan undang-undang perkawinan.

Dalam hukum perdata diatur hubungan-hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele. Hukum Islam di Indonesia merupakan tatanan nilai dan hukum yang merupakan pedoman yang ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Sejak awal keberadaan hukum Islam sangat besar di Indonesia dilihat dari undang-undang atau aturan hukum yang ada seperti Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. (Saebani 2011).

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (B. A. Saebani 2011)

Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam dilihat BAB II Dasar-dasar perkawinan pada pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5.1Pembaharuan hukum Islam dalam hal ini diperjelas makna kata “pembaharuan” sebagai berikut “Pembaharuan” adalah sebuah

1 Pasal 2 perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat , Pasal (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pengawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-undang nomor 32 Tahun 1954.

(10)

kata bahasa Indonesia berasal dari kata “baru” atau “baharu” yang mendapat penambahan awalan “pe” dan akhiran “an”. Nurcholish Madjid mengatakan pembaharuan itu dengan istilah modernisasi dan mengartikannya dengan “proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional) dan menggantinya dengan pola beroikir dan tata kerja baru yang akan akliah kegunaannya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Menurut Harun Nasution mengatakan bahwa “ pembaharuan adalah pikiran, aliran, gerakan dan usaha merubah faham-faham, adat istiadat, institut-institut lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi moderen.(Pagar 2007).

Ada beberapa definisi perkawinan menurut :

1. Wahbah al-Zuhaily: Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang dihamramkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan”

2. Hanafiah : “ nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja “ artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidk ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i”.

3. Menurut Hanabilah “nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.” 4. Muhammad Abu Zahrah di dalam

kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, salong tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.(Amiur Nuruddin, Azhari Akmal 2004)

Hukum sebagai seperangkat aturan-aturan dan norma-noram yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik yang ditetapkan oleh penguasaan maupun tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Sejak diundangkannya Undang-undang Perkawinan tahun

(11)

1974, masyarakat menjadikan undang-undang tersebut pedoman melangsungkan perkawinan. Undang-undang perkawinan di Indonesia dimana calon suami dan istri harus matang dari segi kejiwaan untuk melangsungkan perkawinan, dalam arti matang adalah secara fisik maupun psikis (rohani) atau sudah siap secara rohani dan jasmani.

Usia matang dilihat dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu perkawinan diukur berdasarkan kematangan jiwa dan raga untuk melakukan perkawinan ketika telah berusia 21 tahun. Ketentuan ini terdapat di dalam Bab II pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan bahwasannya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.(Armia 2018).

Pada hari Senin 15 Oktober 2019 yang lalu ada peristiwa penting yang luput dari pengamatan sebagian besar masyarakat. Peristiwa itu tidak lain, diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang yang diundangkan hanya berselang sehari

setelah disahkan ini, yaitu diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186, tidak begitu popular mungkin disebabkan oleh 2 hal. Pertama, karena maraknya demonstrasi mahasiswa yang masif di berbagai kota di Indonesia menentang revisi Undang-Undang KPK yang dibarengi pula dengan kerusuhan berbau SARA di Papua. Kedua, hampir seluruh mata rakyat Indonesia waktu itu sedang tertuju kepada hari “H” pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih yang telah berhasil memenangkan pilpres dengan penuh dramatis.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan adanya pertimbangan mengenai batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak menimbulkan dikriminasi dalam pelaksanaannya hak untuk membentuk keluarga dalam pasal 28B ayat (1) UUD 1945, namun telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana telah diajamin dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Usia minimal perkawinan bagi perempuan lebih rendah

(12)

dibandingkan laki-laki maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.

Perubahan undang-undang yang hanya mengatur batas usia tersebut sebenarnya lahir dalam rangka sinkronisasi dengan undang-undang lain. Sebagaimana kita ketahui menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yang disebut anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berumur 19 tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 Tahun. Bagi pihak laki-laki menurut Undang-Undang Perlindungan Anak tentu tidak masalah karena sudah melebihi garis demarkasi antara anak, di satu pihak, dan bukan anak, di pihak lain.

Yang menjadi persoalan adalah batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan. Kebolehan melakukan pernikahan bagi perempuan yang baru berusia 16 tahun jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 sebab usia 16 tahun menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 adalah masih masuk

kategori anak-anak. Dengan kata lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sama halnya memberikan legalisasi terjadinya perkawinan anak-anak di bawah umur.

Pendekatan kuantitatif mengenai kematangan jiwa raga seorang anak ini memang tidak terlepas dari stigmatisasi bernada pesimistis, bahwa perkawinan yang terjadi di kalangan anak-anak cenderung akan berdampak buruk, seperti mudah cerai, melahirkan keturunan yang kurang sehat dan sejumlah stigma negatif lainnya.

Perkawinan dari segi ikatan berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu menurut ulama Hanafiah. Ulama Hanafiah membagi rukun perkawinan akad nikah yang dilakukan oleh pihak yang melangsungkan pernikahan dikelompokkan dengan syarat sebagai berikut :

1. Syuruth al-in’iqad yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung pada akad, maka syarat di sini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia

(13)

sendiri. Bila syarat-syarat itu tertinggal maka akad perkawinan disepakati batalnya. Umpamanya pihak-pihak yang melakukan akad adalah orang yang memiliki kemampuan untuk bertindak hukum.

2. Syuruth al-shihhah yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan itu tidak sah, seperti adanya mahar dalam setiap perkawinan.

3. Syuruth al-nufuz yaitu syarat yang menentukan kelangsungan suatu perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawinan tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi menyebabkan fasad -nya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan akad perkawinan adalah seseorang yang berwenang untuk itu.

4. Syuruth al-luzum, syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan

berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi perkawinan dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya (lihat Wahbah al-Zuhaili VII, 6533).

Hal itulah yang menjadi pertimbangan kenapa penyimpangan usia minimal nikah itu dapat disimpangi dengan “lembaga dispensasi kawin” dan menurut Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menjadi kewenangan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang beragama selain Islam. Secara khusus, Mahkamah Agung tampaknya juga memandang serius perkara ini. Melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 yang mulai berlaku sejak 20 November 2019, secara khusus memberikan petunjuk teknis penanganan perkara dispensasi kawin ini. Dalam Perma ini, antara

(14)

lain, diatur persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh pemohon ( Pasal 5), siapa yang boleh mengajukan perkara (Pasal 6), dan teknis pemeriksaan ( Pasal 10 s.d Pasal 18). Perma ini juga mengatur pemohon untuk mengajukan upaya hukum apabila permohonannya ditolak (Pasal 19). Akan tetapi, secara umum ruh Perma tersebut adalah agar dispensasi kawin ditangani tidak saja serius dan hati-hati, tetapi juga selektif.

Penulis melakukan wawancara dengan pengawai Kantor Urusan Agama di Medan Perjuangan, meningkatnya perkawinan pada usia dini yang terjadi ditengah masyarakat disebabkan percintaan terlarang (zina), dan menyebabkan pihak perempuan serta keluarga perempuan merasa dipermalukan. Pihak keluarga terpaksa menikahkan anak tersebut dengan laki-laki yang menodainya. Kedua belah pihak keluarga laki-laki dan wanita melangsungkan perkawinan, yang mana terlebih dahulu keluarga kedua belah pihak menandatangai surat persetujuan pernikahan yang diperoleh dari KUA setempat.

Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang prinsip di

dalam UU Perkawinan adalah sebagai berikut:

1) Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia pada saat sekarang ini.

2) Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman

3) Memuat tujuan dari pernikahan yaitu: membentuk keluarga yang kekal

4) Kesadaran akan hokum agama dan keyakinan masing-masing. 5) Menganut asas monogami tetapi

masih terbuka untuk melakukan poligami

6) Perkawinan dilaksanakan oleh orang yang matang jiwa dan raganya

7) Persamaan hkedudukan antara suami dan istri dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan di masyarakat.(Yahya harahap 1975)

KESIMPULAN

Hukum sebagai seperangkat aturan-aturan dan norma-noram yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik yang ditetapkan

(15)

oleh penguasaan maupun tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Usia matang dilihat dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu perkawinan diukur berdasarkan kematangan jiwa dan raga untuk melakukan perkawinan ketika telah berusia 21 tahun. Ketentuan ini terdapat di dalam Bab II pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan bahwasannya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan adanya pertimbangan mengenai batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak menimbulkan dikriminasi dalam pelaksanaannya hak untuk membentuk keluarga dalam pasal 28B ayat (1) UUD 1945, namun telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana telah diajamin dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Usia minimal perkawinan bagi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.

Perubahan undang-undang yang hanya mengatur batas usia tersebut sebenarnya lahir dalam rangka sinkronisasi dengan undang-undang lain. Sebagaimana kita ketahui menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yang disebut anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berumur 19 tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 Tahun. Bagi pihak laki-laki menurut Undang-Undang Perlindungan Anak tentu tidak masalah karena sudah melebihi garis demarkasi antara anak, di satu pihak, dan bukan anak, di pihak lain. Hal ini akan mempercepat perceraian yang disebabkan seperti tidak memenuhi kebutuhan lahir dan batin, adanya kekerasan dalam rumah tangga dll.

DAFTAR PUSTAKA

Armia, Fikih Munakahat, 2018, Manhaji: Medan.

Hamzani, Achmad Irwan, 2020, Hukum Islam (dalam sistem hukum di Indonesia), Kencana, Jakarta

(https://radarjember.jawapos.com/opini

(16)

/03/12/2019/perkara-dispensasi- kawin-pasca-amandemen- undang-undang-nomor-1-tahun-1974/)

Nuruddin, Amiur, Akmal

TariganAzhari, 2004, Hukum Perdata islam di Indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih UU

No.1/1974 sampai KHI,

Prenada Media, Jakarta.

Nuruddin, Amiur, Akmal

TaringanAzhari, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta.

Rachman Anwar, 2020, Hukum Perkawinan Indonesia, (Dalam Perspektif HukuPerdata, Hukum Islam Dan Hukum Administrasi),Kencana,Jakarta Subekti, 1995, Pokok-Pokok Hukum

Perdata, PT.Intermasa, Jakarta. Sulistiani, Siska Lis, 2018, Hukum

Perdata Islam, (Penerapan Hukum Keluarga dan Hukum Bisnis Islam di Indonesia), Sinar Grafika,Jakarta.

Sunggono,Bambang, 2015, Metodologi Penelitian Hukum ,Rajawali Press, Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmatnya, Taufiq dan Hidayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang

an  padi  selengkapnya  dapat  dilihat  pada:    edangkan vegetatif 2 mendominasi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yaitu               

[21] Prognosis dari penyakit/damage diisi sesuai dengan prognosis yang dibuat berdasarkan penilaian terhadap jejas atau damage (diagnosis/gambaran klinis pada saat

Berdasarkan dari definisi di atas dapat dimaknai bahwa kebijakan publik itu berisi sejumlah keputusan yang terangkai (tidak tunggal tetapi banyak keputusan dan

Karena itulah tema Seminar Nasional (SIMNASIPTEK) kami yang ketiga kali ini berkaitan dengan Inovasi dan Tren yang dapat meningkatkan perekonomian dalam mendukung daya saing

(1988) menyatakan bahwa unsur P yang tersedia dalam jumlah yang cukup menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan akar yang baik, sehingga dapat meningkatkan daya

Penerapan konsep interaktif natural tipografi pada desain interior ruang kelas SDLB-B Karya Mulia Surabaya diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa-siswi tunarungu

Tujuan penyelenggaraan Sayembara Desain Arsitektur Gedung LKPP yaitu untuk mewujudkan ide atau gagasan paling optimal sesuai dengan program ruang yang dibutuhkan serta dapat