• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ekowisata

Ada berbagai definisi tentang konsep ekowisata yang dikemukakan oleh para ahli, dimana berbagai definisi tersebut menunjukkan masih terus berkembangnya konsep ekowisata. Pengertian ataupun ide yang terkandung dalam ekowisata telah lama dilakukan orang, namun pada banyak makalah disebutkan bahwa Hector Ceballos Lascurain adalah yang pertama kali mempergunakan frasa ecotourism pada tahun 1983, yaitu mendefinisikannya sebagai suatu perjalanan ke daerah yang relatif belum terganggu atau yang bersejarah, dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna serta atraksi budaya (Agrusa dan Guirdy 1999).

Cater (1993) dalam Agrusa dan Guidry (1999) juga menyatakan bahwa ekowisata mempunyai berbagai pengertian dari setiap orang yang berbeda latar belakang. Namun, pada prinsipnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah alami yang melindungi budaya dan lingkungan, juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata ini memberikan kesempatan pada negara-negara untuk memanfaatkan atraksi alam yang dimiliki guna menumbuhkan keuntungan ekonomi melalui pariwisata yang tidak merusak sumberdaya alam. Konsep ini didukung oleh Fennel (1999), yang mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab dari segi lingkungan ke alam yang relatif tidak terganggu, dalam rangka menikmati dan menghargai alam, mendukung konservasi, berdampak negatif pengunjung yang rendah dan memberikan manfaat bagi penduduk setempat melalui keterlibatan aktif mereka secara sosial ekonomi.

Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam. Sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 2001).

Sedangkan Boo (1992) membuat batasan ekowisata sebagai wisata alam yang mendorong usaha pelestarian dan pembangunan berkelanjutan, memadukan pelestarian dengan pembangunan ekonomi, membuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat serta memberikan pendidikan lingkungan

(2)

kepada pengunjung. Wood (2002) juga berpendapat bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang bukan semata-mata mencari kesenangan dan hiburan dari suguhan lingkungan alami yang ditontonnya, melainkan diharapkan untuk ikut berpartisipasi langsung dalam membantu konservasi lingkungan sekaligus memperoleh pemahaman lebih dalam tentang seluk beluk ekosistem alam dan budaya, yang pada akhirnya akan membangunkan kesadaran tentang bagaimana ia harus bersikap di masa yang akan datang agar alam dan budaya tetap lestari.

Cater dan Lowman (1994) menambahkan, ada empat gambaran wisata yang berlabel ekowisata, yaitu: (i) wisata berbasis alam (nature based tourism), (ii) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata (conservation supporting tourism) (iii) wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) dan (iv) wisata yang berkelanjutan (sustainabilty of tourism).

The International Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke daerah-daerah alami yang melindungi lingkungan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini berarti bahwa siapa saja yang melaksanakan dan berpartisipasi dalam aktivitas ekowisata harus mengikuti prinsip-prinsip berikut: (i) meminimalisir dampak; (ii) menghargai lingkungan dan budaya; (iii) memberikan pengalaman yang positif, baik pada pengunjung maupun penyelenggara; (iv) memberikan keuntungan dana secara langsung untuk konservasi; serta (v) memberikan keuntungan penghasilan dan memberdayakan masyarakat setempat [TIES- http://www.ecotourism.org].

Sementara itu, Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik dasar kegiatan ekowisata, yaitu:

1. Nature based, yakni ekowisata merupakan bagian atau keseluruhan dari alam itu sendiri, termasuk unsur-unsur budayanya, dimana besarnya keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan kekuatan utama dan sebagai nilai jual bagi pengembangan ekowisata;

2. Ecologically sustainable, yakni bersifat berkelanjutan secara ekologis, artinya semua fungsi lingkungan, baik biologi, fisik dan sosial selalu berjalan dengan baik, dimana perubahan–perubahan yang terjadi dijamin tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis;

3. Environmentally educative, yakni melalui kegiatan yang bersifat positif terhadap lingkungan, diharapkan dapat mempengaruhi perilaku wisatawan

(3)

dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap konservasi, sehingga membantu kelestarian dalam jangka panjang;

4. Bermanfaat untuk masyarakat lokal, yakni dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat, misalnya penjualan barang kebutuhan wisatawan, penyewaan sarana wisata, bertambahnya wawasan, biaya konservasi dan sebagainya;

5. Kepuasan wisatawan, yakni kepuasan akan pengalaman yang didapat dari fenomena-fenomena alam sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap konservasi alam dan budaya setempat.

Secara umum, tujuan ekowisata menurut Departemen Kehutanan (1993) dalam Arsyad (1999) adalah: (i) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas manusia, (ii) melindungi keanekaragaman genetis melalui perlindungan terhadap keutuhan kawasan konservasi, (iii) menjamin pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam beserta ekosistemnya melalui upaya pemeliharaan terhadap daya dukung dan biodiversity.

Ekosistem dan Sumberdaya Wilayah Pesisir

Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996), definisi wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami antara lain terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 1996).

Sumberdaya alam bisa diklasifikasikan berdasarkan tipenya, yaitu: (i) sumberdaya yang tidak pernah habis (renewable-perpetual resources), yakni sumberdaya yang selalu tersedia sepanjang kurun waktu kehidupan manusia, contohnya: energi gelombang, angin, pasut dan sebagainya; (ii) sumberdaya

(4)

yang tidak bisa diperbaharui atau tidak dapat pulih (non-renewable or exhaustible resources), contohnya: bahan bakar alam, logam dan non logam, dan mineral lainnya; serta (iii) sumberdaya yang secara potensial bisa diperbaharui (potentially renewable resources), yaitu sumberdaya yang bila pemanfaatannya tidak melampaui batas-batas daya dukung akan mampu secara alami memperbaharui diri, contohnya adalah: terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun (seagrass bed), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. (Dahuri et al. 1996; Kusumastanto 2000).

Ekosistem Mangrove. Ekosistem mangrove seringkali disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau, dimana merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Namun, akibat ketergantungan terhadap aliran air tawar menyebabkan penyebaran mangrove juga terbatas (Dahuri et al. 1996).

Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting, yaitu: (i) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen; (ii) sebagai penghasil detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan yang rontok;serta (iii) sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan dan daerah pemijahan berbagai biota perairan (Bengen 2004). Selanjutnya, pengelompokan komunitas mangrove menurut Macnae (1968) dalam Supriharyono (2000) dibagi dalam enam zona, yaitu: (i) zona perbatasan dengan daratan; (ii) zona semak-semak tumbuhan Ceriops; (iii) zona hutan Bruguiera; (iv) zona hutan Rhizopora; (v) zona Avicennia; dan (vi) zona Sonneratia.

Simbolon (1991) dalam Yahya (1999) membagi manfaat hutan mangrove menjadi dua, yaitu: (i) manfaat langsung, berupa bentuk hasil produksi kayu, buah, daun kulit dan getahnya, serta bentuk jasa sebagai sarana wisata yang saat ini dapat dijual; dan (ii) manfaat tidak langsung, dalam kaitannya sebagai sumber plasma nutfah, iklim dan hidrologis, serta sebagai sarana pendidikan dan penelitian. Sedangkan bagi wisata, mangrove mempunyai dua fungsi, yaitu: (i) sebagai penyaring polutan dari aliran air sebelum masuk ke laut, sehingga dapat melindungi kualitas air laut dan terumbu karang serta (ii) sebagai tempat

(5)

komunitas burung sehingga dapat bermanfaat langsung sebagai area birdwatching, fotografi, dan canoeing (Huttche et al. 2002)

Ekosistem Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur merupakan: (i) tempat tumbuh biota laut, yaitu sebagai tempat memijah, mencari makan, dan daerah asuhan berbagai biota laut; (ii) sumber plasma nutfah; (iii) sumber bahan baku berbagai macam kegiatan, yaitu bahan bangunan, perhiasan, dan penghias rumah; serta (iv) obyek wisata bahari. Selain itu, ekosistem ini berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan di laguna dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Nybakken 1992; Dahuri et al. 1996).

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, Dahl (1981) dalam Ongkosongo (1988) membedakan bentuk hewan karang menjadi enam jenis, yaitu: (i) karang bercabang (Branching); (ii) karang padat (Massive); (iii) karang kerak (Encrusting); (iv) karang meja (Tabulate); (v) karang daun (Foliose) dan (vi) karang jamur (Mushroom). Formasi terumbu karang tersebut selanjutnya secara struktural oleh Odum (1971); Sheppard (1963) dalam Ongkosongo (1988); dikelompokkan menjadi tiga tipe umum, yaitu: (i) terumbu karang tepi (fringing reef/ shore reef), (ii) terumbu karang penghalang (barrier reef) dan (iii) terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga struktur tersebut, terumbu karang tepi yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia (Supriharyono 2000).

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan mempunyai produktvitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem serta berperan untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken 1992). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman spesies penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies tersebut adalah adanya variasi habitat yang terdapat di terumbu, dimana ikan merupakan sumberdaya yang paling banyak ditemui. Keunikan dan keindahan ekosistem terumbu karang tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata bahari (Dahuri et al. 1996).

Selain nilai estetika, terumbu karang juga mempunyai nilai ekonomi dari pengembangan wisata. Hasil studi White dan Cruz-Trinidad (1998), menyatakan bahwa di Philipina diperkirakan 1km2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan dari sektor wisata sebesar $2 000 sampai $20 000.

(6)

Perencanaan Pengembangan Ekowisata

Pengembangan ekowisata merupakan konsep wisata yang relatif baru, sehingga diperlukan perencanaan dan kebijakan agar upaya pengembangan yang dilakukan berjalan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Secara konsep, Depdagri (2000) menyatakan bahwa untuk mengembangkan produk kegiatan ekowisata perlu memperhatikan berbagai hal, antara lain:

(i) Tata ruang, aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam tata ruang daerah tujuan ekowisata adalah: peruntukan kawasan, kepemilikan, sarana menuju kawasan ekowisata, ambang batas kawasan terhadap dampak kegiatan ekowisata dan topografi.

(ii) Sarana dan prasarana; low invest-high value merupakan konsep dalam pengembangan sarana akomodasi ekowisata, yaitu dengan menggunakan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan.

(iii) Atraksi dan kegiatan; dimana keanekaragaman hayati dan ekosistem yang khas serta budaya yang unik merupakan kekuatan sekaligus nilai jual bagi pengembangan ekowisata.

(iv) Pendidikan dan penghargaan, dilakukan dalam rangka pengembangan kualitas SDM pelaksana kegiatan ekowisata, misalnya melalui pelatihan ecoguide, tour operator, perencanaan pemasaran dan lain-lain, yang bertujuan untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.

Sedangkan aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001) , diantaranya adalah:

(i) adanya konservasi sumberdaya alam yang sedang berlangsung;

(ii) tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan;

(iii) tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk-beluk ekosistem kawasan;

(iv) tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan;

(v) tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumberdaya alam di dalam kawasan; dan

(7)

(vi) tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata.

Hasil studi Isaacs (2000) mengemukakan bahwa ekowisata ditujukan sebagai kegiatan ekonomi yang dapat meminimalisir dampak negatif manusia pada habitat flora dan fauna serta memberikan insentif dalam menjaga alam lingkungan. Namun ternyata potensi ekowisata sebagai sebuah strategi konservasi flora-fauna tersebut dibatasi oleh ketidakmampuannya dalam melindungi kualitas lingkungan secara jangka panjang dan oleh kecenderungannya untuk secara langsung berkontribusi pada degradasi lingkungan. Hal ini dapat terjadi akibat kesalahan dalam menyelenggarakan jasa ekowisata yang cenderung berorientasi ekonomi. Keterbatasan tersebut dapat diatasi jika pemerintah dan pengusaha-pengusaha yang menyelenggarakan jasa ekowisata mampu untuk meminimalisir efek-efek kerusakan dari tingkah laku ekonomi manusia. Jadi dalam mempromosikan ekowisata sebenarnya harus lebih mengutamakan tentang perlindungan lingkungan.

Sedangkan studi Wall (1997) menyatakan bahwa kontribusi peranan pariwisata dalam pembangungan berkelanjutan tidak dapat dilihat sebagai aspek tunggal, tetapi harus dilihat keterkaitannya dengan aspek-aspek lainnya. Jika pariwisata ditujukan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus meningkatkan secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Dalam hal ini dipercaya bahwa suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan adalah ekowisata. Namun perlu diketahui bahwa pariwisata berkelanjutan dan ekowisata adalah tidak sama. Banyak ekowisata yang mungkin tidak dapat berkelanjutan, jika pengelolaannya tidak benar. Jika ekowisata diharapkan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang hati-hati.

Pengembangan ekowisata di suatu kawasan perlu mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung kawasan tersebut untuk menampung wisatawan. Menurut Wolters (1991) diacu dalam Ceballos-Lascurain (1996), daya dukung ekowisata tergolong spesifik serta lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan dan sosial terhadap kegiatan wisata dan pengembangannya. Daya dukung ekowisata diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh infrastruktur obyek wisata alam. Jika daya tampung tersebut dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, akibatnya

(8)

kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi ekonomi dan budaya masyarakat.

Kegiatan pembangunan dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata, akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata yang dibuang ke lingkungan pesisir hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, yaitu kemampuan sistem lingkungan untuk menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan atau bahaya kesehatan manusia. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resource) hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri 1993).

Setiap daerah mempunyai kemampuan tertentu untuk menerima wisatawan, yaitu yang disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Daya dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan, melainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana itu. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan perkembangan wisata itu (Soemarwoto 1997).

Kegiatan Ekowisata

Kegiatan ekowisata merupakan hal tentang menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan, serta mencegah dampak negatif terhadap ekosistem, kebudayaan dan keindahan (Western 1993 dalam Lindberg dan Hawkins 1993). Ada beberapa bidang dalam kegiatan ekowisata yang berkaitan dengan bidang konservasi, yaitu tentang pengelolaan kawasan yang dilindungi, pembangunan berkelanjutan dan pendidikan lingkungan untuk konsumen (Boo 1993).

Berdasarkan hasil penelitian Yahya (1999) dan Fitriani (2004), kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan meliputi:

(9)

(i) Kegiatan ilmiah, merupakan kegiatan ekowisata yang ditujukan menambah pengetahuan tentang ekowisata. Kegiatan ini dapat berupa pengenalan: vegetasi mangrove, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan pengenalan satwa liar.

(ii) Kegiatan penelitian, merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan suatu kawasan dan proses pengendalian dalam sistem pengelolaan ekowisata, karena melalui penelitian bisa dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan ekowisata.

(iii) Kegiatan rekreasi, merupakan kegiatan ekowisata yang diharapkan memberikan pengalaman yang berarti dan menyenangkan bagi wisatawan, misalnya: menikmati pemandangan (sight seeing), memotret (photo hunting), mengamati burung (bird watching), board walking, jogging, hiking, camping, panjat tebing, berjemur, olahraga pantai, menyelam, berenang, berlayar dan memancing.

(iv) Kegiatan budaya, merupakan kegiatan pengenalan budaya masyarakat setempat, berupa upacara-upacara adat, atau melihat kehidupan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan budidaya dan pengolahan hasil perikanan.

Sediaan Wisata

Kawasan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang memperhatikan tentang keberlanjutan, perlindungan lingkungan dan konservasi sumberdaya alam, serta ekosistemnya (Fandelli 2000). Analisa sediaan wisata diperlukan untuk mencapai suatu pengelolaan areal wisata yang baik, hal ini karena kompleksnya komponen yang ada dalam sistem kepariwisataan. Analisa tersebut akan memberikan informasi kepada publik tentang kemungkinan pengembangan yang akan dijadikan tempat-tempat wisata (Gold 1980 dalam Maryadi 2003).

Menurut Gunn (1994) dalam Maryadi (2003), komponen sediaan wisata terdiri dari: atraksi, pelayanan, transportasi, promosi dan informasi. Masing-masing komponen tersebut saling berkaitan dan mempunyai sifat yang independen, dinamis dan sulit dikelola. Oleh karena itu, pemahaman tentang komponen sediaan atau penawaran wisata perlu dipertimbangkan bagi setiap sektor yang akan terlibat dalam sistem kepariwisataan.

(10)

Permintaan Wisata

Permintaan terhadap suatu komoditas timbul dari kemauan dan kemampuan dalam membeli komoditas tersebut. Teori permintaan mengatakan bahwa jumlah yang diminta (quantity demanded) dari suatu komoditas dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut, pendapatan konsumen, harga komoditas lain yang berkaitan (substitusi atau komplemen) dan selera konsumen (Kusumastanto 1995). Selanjutnya, hukum permintaan (law of demand) menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga meningkat (Gaspersz 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan wisata menurut Yoeti (1990) adalah: (i) pendapatan, (ii) harga, (iii) struktur keluarga, (iv) kualitas obyek wisata sangat mempengaruhi apakah jasa tersebut akan dibeli orang atau tidak; (v) perubahaan cuaca; dan (vi) faktor hari libur. Sedangkan menurut Douglass (1970) diacu dalam Hermawan (1993) mengemukakan bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, keuangan atau tingkat pendapatan, dan komunikasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Penawaran wisata yang unsur-unsurnya terdiri dari ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) dapat mempengaruhi dalam permintaan wisata alam terbuka.

Menurut Lindberg dan Huber (1993) dalam Lindberg dan Hawkins (1993), konsep dasar untuk mengevaluasi pasar atau permintaan adalah tingkat kunjungan dan kesanggupan wisatawan untuk membayar suatu atraksi wisata. Faktor-faktor permintaan secara umum ditentukan oleh:

i. Pendapatan. Wisatawan yang lebih kaya akan melakukan perjalanan yang lebih banyak dan mampu membayar lebih.

ii. Populasi. Semakin banyak populasi akan semakin banyak permintaan wisata.

iii. Selera. Permintaan liburan ekowisata tergantung pada tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap konservasi lingkungan.

iv. Kesan mengenai lokasi tujuan. Suguhan atraksi yang memberi kesan positif akan mendatangkan lebih banyak wisatawan.

(11)

v. Kompetisi antar obyek wisata. Semakin unik suatu obyek wisata, semakin tinggi biaya yang ditetapkan.

vi. Biaya perjalanan. Semakin rendah biaya perjalanan, semakin tinggi permintaan.

vii. Kualitas obyek wisata yang disuguhkan. Tempat-tempat yang menyuguhkan atraksi wisata yang menarik, beraneka ragam dan mudah untuk dilihat, akan lebih banyak permintaan.

viii. Kualitas pengalaman perjalanan. Perjalanan yang memberikan kualitas pengalaman, seperti: kondisi penginapan, makanan, guide dan lain-lain berpengaruh pada permintaan.

ix. Stabilitas politik dan ekonomi. Wisatawan cenderung memilih lokasi wisata ke negara yang memiliki kondisi politik dan ekonomi stabil.

x. Obyek wisata pendukung. Akan lebih banyak permintaan pada tempat-tempat yang memiliki banyak lokasi wisata.

Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam

Secara umum nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay = WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam pengukuran nilai sumberdaya alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan di sini adalah pengukuran seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari suatu sumberdaya (Fauzi 2004).

Kusumastanto (2000) menambahkan bahwa, nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaanya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Secara garis besar nilai ini dibagi dua macam, yaitu: pertama, nilai manfaat (use value), terdiri dari (i) nilai manfaat langsung (direct use value); (ii) nilai manfaat tidak langsung (indirect use value); dan (iii) nilai manfaat pilihan (option value). Kedua, bukan nilai manfaat (non use value), terdiri dari (i) nilai pewarisan (baquest value) yaitu nilai yang berkaitan dengan perlindungan suatu sumberdaya agar dapat diwariskan pada generasi mendatang; dan (ii) nilai keberadaan (existence value) yaitu nilai

(12)

keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil.

Teknik penilaian atau valuasi ekonomi sumberdaya alam yang tidak dipasarkan (non market valuation) menurut Fauzi (2004) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, teknik pengukuran tidak langsung (revealed WTP), yang meliputi travel cost, hedonic pricing, dan random utility process. Kedua, teknik valuasi secara langsung dari survei (expressed WTP), yaitu contingent valuation method (CVM), random utility model, dan contingent choice.

Travel Cost Method. Kusumastanto (2000) mengemukakan beberapa

konsep dalam metode valuasi dengan biaya perjalanan (Travel Cost Method), yaitu: (i) dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam; (ii) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (iii) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan; serta (iv) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut.

Pada dasarnya, prinsip kerja Travel Cost Method (TCM) menurut Fauzi (2004) cukup sederhana, yakni untuk mengetahui nilai sumberdaya alam yang atraktif dari suatu tempat rekreasi, misalnya pantai, dimana dilakukan melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut.

Lebih lanjut Fauzi (2004) menjelaskan, secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Pertama, pendekatan TCM melalui zonasi, yaitu pendekatan TCM yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Kedua, pendekatan individual TCM, dimana secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisa lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif lebih akurat daripada metode zonasi.

Sedangkan menurut Grigalunas et al. (1998) pada dasarnya ada tiga model travel cost, yaitu (i) zonal travel cost; (ii) individual travel cost; dan (iii) discrete choice travel cost yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi perjalanan yang tidak kontinyu, dimana individu mengunjungi suatu lokasi sekali

(13)

per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak lokasi yang dipilih.

Fauzi (2004) menambahkan, dalam menentukan fungsi permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata, pendekatan TCM menggunakan regresi sederhana. Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan (travel cost) dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif.

Contingent Value Method. Merupakan metode valuasi ekonomi

sumberdaya yang didasarkan atas preferensi atau penghargaan manusia terhadap sumberdaya yang disediakan oleh alam. Preferensi ini sangat tergantung pada karakteristik manusianya, seperti pendapatan, umur, pendidikan dan sebagainya. CVM merupakan suatu teknik yang potensial untuk mengukur nilai barang-barang dan jasa yang tidak dipertukarkan di pasar atau yang tidak mempunyai harga pasar (Adrianto 2006).

Fauzi (2004) menambahkan bahwa Contingent Value Method (CVM) merupakan salah satu metode pengukuran nilai ekonomi sumberdaya secara langsung, dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan mereka membayar (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Pendekatan CVM secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi komputer dan kedua, melalui teknik survei. Secara operasional terdapat lima tahap dalam penerapan pendekatan CVM, yaitu: (i) membuat hipotesis

pasar; (ii) mendapatkan nilai lelang; (iii) menghitung rataan WTP; (iv) memperkirakan kurva lelang dan (v) mengagregatkan data.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mudah dipahami sebab pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu aspek yang penting dalam usaha meningkatkan keunggulan bersaing organisasi

Konsep matematika dalam Al-4XU¶DQ telah banyak yang dimasukkan dalam kurikulum matematika madrasah, namun ada beberapa konsep matematika dalam Al- 4XU¶DQ yang

Pada dasarnya setiap perusahaan yang didirikan mempunyai harapan bahwa di kemudian hari akan mengalami perkembangan yang pesat di dalam lingkup usaha dari

Oleh karena itu hasil perhitungan yang menunjukkan nilai p < 0,05 pada nyeri saat bangkit dari posisi duduk dan nyeri saat naik tangga 3 trap, artinya terdapat

Artinya Isma’il ingin menyampaikan hal lain di balik kalimatnya itu bahwa perintah apa pun yang diperintahkan Allah SWT kepada ayahnya terhadap dirinya hendaknya

Pengembangan media interaktif berbasis adobe flash pada tema 8 subtema 3 “Aku Bangga Dengan Daerah Tempat Tinggalku” pada siswa kelas IV SD/MI ini telah divalidasi oleh ahli

Yang dimaksud dengan asas “tanggung jawab” adalah bahwa Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab pengelolaan sampah dalam mewujudkan hak masyarakat terhadap

Ka-ruang Ruang Lantai TT Kls Tgl-snsus Norm Pasien Umur Pindah-d Kamar Dokter Pindah-k Jam-msk Tgl-mgl Jam-mgl Jam-klr Status-klr Norm Pasien Umur Staf-ptgs Ruang Lantai TT