• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA DAGING KERBAU SERTA IMPLIKASI NILAI EKONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA DAGING KERBAU SERTA IMPLIKASI NILAI EKONOMI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA

DAGING KERBAU SERTA IMPLIKASI NILAI EKONOMI

(Assessment of Residue and Pollutant of Microbes and its Economic Value)

INDRANINGSIH1,T.ARIYANTI1 dan A.PRIYANTI2 1Balai Besar Penelitian Veteriner, Jln. RE MartadinataNo. 30 Bogor 16114

2Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor ABSTRACT

This research was aimmed to study the characteristics of pesticide residu and bacterial contamination in buffalo meat and economical value of buffalo meat. Pesticide residu.was analized from meat sample taken from: upper part of the tigh, front tigh, shankel and mixed meat from: around neck, shoulder, ribs for about 50gram each. Analysis result showed that the most residu present in meat was organochlorine (linden, heptachlor and endosulfan) and oly one kind of organophosphate called chlofiros. The highest residue was found in mixed meat while the lowest residue pesent in sample from front tigh but the average level of residue that pesent in each sample was still below the allowance level according to Standar Nasional Indonesia (SNI) 2001, therefore those meat was edible. Meat ball was made out of 36 sample with 4 kinds of meat and 4 different level of tapioca used. The level of microbe in each of the meat samples was below the allowace level, while that in meat balls was higher than the allowace level of SNI. Economically this condition was not affected the selling of buffalo meat. Economical calculation from the butcher gave higher profit compared to farm gate price (based on live weight). It is concluded that food safety of buffalo meat did not affected selling price.

Key Words: Meat, Recidu, Economic

ABSTRAK

Suatu penelitian untuk mengetahui kualitas residu pestisida dan kontaminan mikroba pada daging kerbau disertai dengan implikasi nilai ekonomi telah dilakukan. Residu pestisida dianalisis berdasarkan sampel daging di bagian paha belakang atas, paha depan, shankel dan campuran daging leher, bahu dan rusuk, masing-masing sebanyak 50 gram. Sampel berjumlah 36 buah dengan perlakuan 4 macam jenis daging dengan 4 tingkatan jumlah tepung tapioka. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis pestisida yang terdeteksi paling banyak adalah dari golongan organoklorin (lindan, heptaklor dan endosulfan) dan hanya satu jenis pestisida golongan organofosfat (OP) yaitu klofirifos. Bagian karkas yang terdiri dari campuran daging leher, bahu dan rusuk mengandung residu paling tinggi. Residu pestisida yang paling rendah terdapat pada daging paha depan, namun secara keseluruhan residu pestisida yang terdeteksi pada tiap-tiap bagian karkas tersebut masih dibawah nilai batas maksimum residu yang diizinkan oleh Standar Nasional Indonesia 2001, sehingga daging tersebut masih aman untuk dikonsumsi. Hasil analisis residu pestisida sampel bakso yang dibuat dari bermacam-macam bagian karkas kerbau menunjukkan adanya penurunan residu pestisida golongan OP sehingga tidak terdeteksi lagi. Hasil pemeriksaan jumlah mikroba dari sampel daging segar menunjukkan bahwa jumlah cemaran mikroba pada daging paha belakang atas, daging paha depan, daging shankel dan daging campuran masih pada level batas maksimum cemaran yang diizinkan. Kontaminasi mikroba pada bakso lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kontaminasi dari daging segar. Hasil pemeriksaan cemaran mikroba pada semua sampel bakso pada level diatas batas maksimum residu yang dizinkan oleh SNI. Secara ekonomis, hal ini masih belum mempengaruhi terhadap tata niaga penjualan daging kerbau. Perhitungan ekonomi di tingkat pemotong (jagal) memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penjualan ternak kerbau berdasarkan berat hidup (farm gate). Hal ini menunjukkan bahwa status keamanan pangan produk kerbau belum mempengaruhi terhadap harga penjualan produk akhir daging kerbau maupun olahannya.

(2)

PENDAHULUAN

Populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2009 berjumlah 2,04 juta ekor, meningkat sebesar 5,9% dibandingkan dengan tahun 2008 (DITJENNAK, 2009). Kerbau ini

terutama terkonsentrasi di Propinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT yang mencapai 72,3% dari total populasi. Ternak kerbau yang banyak berkembang di Indonesia adalah jenis kerbau lumpur/rawa (95%), sedangkan sisanya (5%) adalah jenis kerbau sungai/Murrah yang banyak terdapat di Sumatera Utara dan dipelihara sebagai penghasil susu. Produksi daging kerbau meningkat sebesar 8% selama periode 2005 – 2009, dimana hal ini memberikan kontribusi sekitar 10% terhadap total produksi daging sapi.

Beberapa provinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT peran kerbau menjadi sangat dominan atau lebih penting dibandingkan dengan ternak sapi. Di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, misalnya, kerbau selain berfungsi sebagai sumber protein hewani, juga mempunyai peran yang sangat presitigius dalam adat istiadat, tata kehidupan sosial dan budaya yang dapat mendukung sektor jasa dan pariwisata.

Secara umum usahaternak kerbau telah lama dikembangkan oleh masyarakat sebagai salah satu mata pencaharian dalam skala usaha yang masih relatif kecil. Usahaternak kerbau ini dilakukan untuk tujuan produksi daging, kulit dan tenaga kerja. Meskipun di beberapa wilayah tertentu produk daging kerbau sangat diminati masyarakat, seperti di daerah Sumatera Barat, Banten, dan wilayah lain, namun pada segmen pasar tertentu permintaan produk daging kerbau masih relatif terbatas. Pola usahaternak kerbau sebagian besar masih berskala relatif kecil dan merupakan bagian dari usahatani lain berbasis tanaman pangan. Pada umumnya peternak hanya mampu memelihara kerbau secara terbatas (2 – 3 ekor), kecuali pemeliharaan dengan sistem dilepas yang hanya dapat dilakukan pada daerah dengan padang penggembalaan yang luas seperti di NTB atau wilayah luar Pulau Jawa lainnya.

Produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih relatif rendah, karena secara teknis memang terdapat beberapa kendala yang masih memerlukan pemikiran untuk mengatasinya. Disamping itu, beberapa kendala yang dirasakan masih menjadi permasalahan adalah terbatasnya pasokan bakalan kerbau dan tataniaga antar pulau yang dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha. Wilayah Kawasan Timur Indonesia merupakan sumber utama pemasok bakalan ternak kerbau, namun para peternak tidak memiliki posisi tawar yang kuat dan belum sepenuhnya dapat menikmati peluang usaha penggemukan ternak kerbau yang cukup menjanjikan.

Potensi ke arah pengembangan produk ternak kerbau sebagai alternatif penghasil daging dapat diandalkan untuk menjadi suatu peluang usaha yang menjanjikan. Beberapa peluang untuk pengembangan kerbau adalah ternak tersebut mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, bertahan dalam lingkungan yang cukup ‘keras’ serta dapat dikembangkan dalam pola ekstensif maupun terintegrasi secara in-situ dengan tanaman lain (pertanian, perkebunan, HTI, dan lainnya).

Beberapa kendala yang dirasakan masih menjadi permasalahan dalam pengembangan usahaternak kerbau antara lain: (1) terbatasnya permintaan produk daging kerbau, (2) terbatasnya pasokan bakalan kerbau, dan (3) dominasi tataniaga ternak kerbau oleh sekelompok kecil pengusaha (PRIYANTI et al.,

2005). Terbatasnya permintaan produk daging kerbau yang disebabkan oleh kurangnya preferensi masyarakat untuk mengkonsumsi, daging kerbau, sehingga diperlukan promosi dan sosialisasi kepada masyarakat. Terbatasnya pasokan bakalan kerbau diduga disebabkan oleh penurunan populasi kerbau yang terjadi seiring dengan berkurangnya fungsi dan peranan kerbau dalam usahatani, serta berkurangnya lahan baik sebagai lahan garapan maupun sumber pakan (KUSNADIet al., 2005). Disamping itu minat peternak untuk memelihara kerbau masih kurang, karena nilai ekonominya relatif lebih rendah dibandingkan dengan sapi. Sehingga upaya untuk meningkatkan minat peternak dalam mengembangkan usahaternak kerbau harus dilakukan, terutama yang terkait dengan peningkatan keuntungan yang layak dan posisi tawar yang kuat bagi peternak.

(3)

Mempertimbangkan sistem pemeliharaan ternak kerbau yang bersifat ekstensif dengan jenis pakan seadanya, dipandang perlu mengetahui seberapa besar dampak residu pestisida dan cemaran mikroba lainnya dalam produk daging kerbau. Jerami padi merupakan sumber pakan serat yang umum bagi ushaternak kerbau dan diberikan dalam bentuk segar secara ad libitum. Makalah ini membahas status residu pestisida dan cemaran mikroba lainnya pada daging kerbau dan produknya serta implikasi ekonomi yang dihasilkan.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan untuk mengetahui kualitas karkas daging kerbau dan produk olahannya (bakso), disamping untuk mengetahui residu pestisida, dan kontaminan mikroba pada daging kerbau dan olahannya (bakso). Analisis ekonomi dari usaha penggemukan ternak kerbau dengan memanfaatkan inovasi teknologi Balai Penelitian Ternak juga dilakukan dalam kegiatan ini.

Materi yang digunakan adalah daging kerbau yang baru dipotong, dan bahan-bahan pendukung lain yang digunakan untuk pembuatan bakso. Penelitian terhadap kualitas daging kerbau yang baru dipotong dilakukan untuk mengetahui kualitas karkas dan potongan primal karkas.

Pengukuran kualitas karkas meliputi ketebalan lemak subkutan, luas area mata rusuk (area longissimus dorsi) (inci kuadrat), persen lemak viseral (lemak penyelubung ginjal, pelvik dan jantung) terhadap berat karkas, dan berat karkas. Potongan primal karkas dikelompokkan sesuai dengan klasnya (prima/prime; pilihan/choice; baik/good; standart/standard; komersial; terpakai; dan ditolak/cutter), berdasarkan berat karkas, umur dan distribusi lemak marbling.

Adapun prosedur potongan komersial meliputi: (1) penimbangan bobot hidup kerbau; (2) penyembelihan kerbau; (3) penimbangan bobot karkas panas; (4) pemotongan karkas menjadi bagian-bagian komersial yaitu: bagian belakang (shankel/leg dan shin, silverside, topside, round/inside, rump, loin/fillet, sirloin, flank), dan bagian depan (chuck/chuck tender, blade, rib/cube roll, brisket); (5) penimbangan

masing-masing potongan komersial, dan (6) penimbangan bagian-bagian lain seperti lemak (ginjal, jantung), kepala, visceral (jantung, hati, limpa, ginjal, rumen dan usus), kaki bagian bawah, kulit, kepala serta tulang. Penelitian potongan komersial diukur melalui penimbangan bobot tiap potongan komersial yaitu:

Residu pestisida dianalisis berdasarkan sampel daging yang diambil pada waktu pemotongan dari masing–masing bagian yaitu paha belakang atas, paha depan, shankel dan campuran daging leher, bahu dan rusuk. Diperoleh 4 macam sampel daging, dimana masing-masing bagian diambil sampel sebanyak 50 g. Daging dimasukkan dalam plastik kemudian dalam esky dan disimpan di laboratorium dalam suhu – 20ºC sampai waktu dianalisis. Jumlah sampel bakso sesuai dengan perlakuan yang direncanakan yaitu ada 4 macam jenis daging dan 4 tingkatan jumlah tepung tapioka yang dicampurkan dengan persentase tepung 30, 40 dan 50%, sehingga total karena duplo menjadi 36 sampel.

Sampel daging dari masing-masing bagian karkas atau bakso sesuai dengan kelompok perlakuan digiling kemudian diambil subsampel sebanyak 2 x 2,5 g. Sampel kemudian ditambah dengan asetonitril sebanyak 25 ml dan dihomogenkan dengan alat hogenizer selama 30 detik dengan kecepatan 11000 putaran per menit. Larutan kemudian disentrifuge selama 10 menit dengankecepatan 3000 putaran per menit. Hasilnya disaring dan diukur volumenya. Dari filtrat tersebut diambil 5 ml untuk diencerkan dengan aquadest sampai mencapai volume 10 ml dan larutan itu dimasukkan ke Cartridge C18 (Sep Pack C18) yang telah dikondisikan dengan 6 ml petroleum eter, 6 ml aseton, 2 x 6 ml metanol dan 2 x 6 ml akuades dengan kecepatan alir 3 tetes per detik. Setelah itu cartridge dicuci dengan 2 x 5 ml akuades dan dibiarkan 5 menit.

Tahap berikutnya adalah pemurnian sampel dengan menggunakan florisil dalam syringe volume 10 ml. Syringe diisi dengan glass wool dan florisil yang sudah diaktifkan sebanyak 4 gram. Lapisan atas ditutup dengan sodium sulfat anhidrat setinggi 2 cm. Kolom florisil ini dibasahi dengan 5 ml petroleum eter, untuk selanjutnya siap untuk pemurnian sampel. Kolom florisil dan cartridge dihubungkan

(4)

kemudian dielusi lagi dengan 2% dietil eter dalam petroleum eter sebanyak 2 x 6 ml. Hasil elusi ditampung dan dievaporasi dengan rotavapor sampai kering. Hasil evaporasi ditambah dengan n-heksan sebanyak 2 ml kemudian diinjek ke dalam Gas Chromatography (GC) dengan elektron capture detector untuk mendeteksi residu pestisida. Kondisi operasional GC adalah sebagai berikut: Suhu kolom 200ºC, suhu injektor 220ºC, suhu detektor 300ºC, kecepatan gas Nitrogen HP 30 ml/menit, isi kolom campuran 1,5% OV 17, 1,95% OV 210 dan Chromocorb WHP (SHENCK et al., 1996a;

SHENCK et al., 1996b).

Pemeriksaan cemaran mikroba dianalisis berdasarkan sampel 25 g daging atau bakso yang dipotong kecil-kecil dalam plastik kemudian dihancurkan dalam stomacher dan selanjutnya ditambahkan media cair Buffer Pepton Water (BPW) sebanyak 225 ml. Larutan tersebut diencekan bertingkat dari 10-1 sampai pengenceran 10-5 dalam BPW 9 ml. Dari masing-masing sampel yang sudah diencerkan tersebut diambil sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam cawan petri dan ditambahkan media plate count agar (PCA) pada suhu 50oC sebanyak 15 ml. Untuk meratakan sampel, cawan digoyang dengan arah membentuk angka delapan dan diulang sampai lima kali. Setelah agar mengeras cawan petri disusun terbalik dengan tutup diatas dan diinkubasikan dalam inkubator dengan suhu 37°C selama 24 – 48 jam. Sel mikroba yang telah tumbuh dalam media tersebut akan membentuk koloni yang dapat dihitung dengan menggunakan tally counter, dan dilakukan pada petri yang terdapat koloni antara 25 sampai 250 koloni. Jumlah bakteri diketahui dengan mengalikan jumlah koloni terhitung dengan faktor pengenceran (SWANSON et al.,

1992). Cara penghitungan jumlah bakteri adalah:

Jumlah koloni/g sampel

= koloni pada Jumlah cawan petri

x Faktor 1 pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengelompokan daging kerbau berdasarkan bobot potongan komersial.

Pengujian residu pestisida (Tabel 2 dan 3)

Residu pestisida yang terdeteksi pada bermacam-macam bagian karkas menunjukkan bahwa pestisida yang terdeteksi paling banyak dari golongan organoklorin (OC) yaitu lindan, heptaklor dan endosulfan dan hanya satu jenis pestisida golongan organofosfat (OP) yaitu klorofirifos (Tabel 2). Dilihat dari total residu yang terdeteksi pada karkas yang dianalisis, maka bagian karkas yang terdiri dari campuran daging leher, bahu dan rusuk mengandung residu paling tinggi (15,91 ppb). Jika dilihat dari golongan pestisida yang terdeteksi pada daging campuran maka hasil tersebut menunjukkan bahwa pestisida golongan OC (0,34 ppb) juga paling tinggi dibandingkan dengan residu pada bagian karkas yang lain, begitu juga untuk golongan OP (15,97 ppb). Hal ini disebabkan karena disposisi residu pestisida lebih banyak pada karkas yang mengandung lemak, seperti pada daging campuran kandungan lemaknya lebih tinggi dibanding bagian karkas yang lain. Terdeteksinya residu ini kemungkinan berasal dari pakan yang diberikan terkontaminasi dengan residu pestisida sehingga produk yang dihasilkan juga masih mengandung residu tersebut (INDRANINGSIH dan SANI, 2005).

Residu pestisida yang paling rendah terdapat pada daging paha depan, namun secara keseluruhan residu pestisida yang terdeteksi pada tiap-tiap bagian karkas tersebut masih dibawah nilai batas maksimum residu (BMR) yang diizinkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI, 2001), sehingga daging tersebut masih aman untuk dikonsumsi.

Hasil analisis residu pestisida sampel bakso (Tabel 3) yang dibuat dari bermacam-macam bagian karkas kerbau menunjukkan adanya penurunan residu pestisida golongan OP sehingga tidak terdeteksi pada bakso sesuai dengan sifat pestisida golongan OP akan terdegradasi dengan perebusan sampai 70% (LEE et al., 1991; CAULIBALY dan SMITH, 1993). Berdasarkan total residu pestisida golongan OC maka dalam proses pembuatan bakso dengan penambahan tapioka 30 dan 40% terjadi penurunan residu rata-rata mencapai 2,9 dan 38,2% tanpa dibedakan bagian-bagian karkas (Tabel 2). Penurunan ini mungkin disebabkan oleh adanya pengurangan jumlah daging, sehingga semakin kecil jumlah daging

(5)

digunakan semakin kecil residu yang terdeteksi. Sementara itu, pada bakso dengan tambahan 50% tapioka menunjukkan kenaikan residu rata-rata sebesar 40%. Kenaikan jumlah residu organoklorin ini perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan sumber kontaminan

yang menambah residu tersebut. Residu pestisida tersebut kemungkinan berasal dari tepung yang ditambahkan, dari waktu proses pembuatan tepung atau dari bahan dasar tepung (singkong) yang terkontaminasi residu pestisida.

Tabel 1. Pengelompokan daging berdasarkan bobot potongan komersial

Bobot (kg) Persentase (%) Potongan daging Kelas I:

Tenderloin Sirloin Topside Inside Silverside Rump 3,4486 3,5175 9,6247 7,2903 9,1648 8,6714 2,74 2,79 7,64 5,79 7,28 6,89 Total 41,7173 33,13

Potongan daging Kelas II:

Chuck Shank Blade Rib 16,8819 9,0358 28,0000 13,6776 13,41 7,18 22,24 10,86 Total 67,5953 53,68

Potongan daging Kelas III:

Flank Brisket Oxtail 3,7669 12,000 0,8383 2,99 9,53 0,67 Total 16,6052 13,19

Total potongan komersial 125,9178 100

Trim daging 3,9178 -

Tabel 2. Residu pestisida sampel daging kerbau

Jenis daging Lindan Heptaklor Klorfirifos Total residu

Daging paha belakang Tt 0,07 0,43 0,5

Daging paha depan 0,04 0,06 Tt 0,10

Daging shankel Tt tt 2,63 2,63

Daging campuran 0,34 tt 15,57 15.91

BMR (ppb) 200 200 100

(6)

Tabel 3. Residu pestisida dalam bakso daging kerbau

Tapioka (%) + daging Lindan heptaklor endosulfan Total residu Tapioka 30%:

Daging paha belakang 0,02 tt tt 0,02

Daging paha depan 0,10 tt tt 0,10

Shakel 0,0006 0,0002 tt 0,0008

Daging campuran 1,16 tt tt 1,16

Tapioka 40%:

Daging paha belakang 0,02 tt tt 0,02

Daging paha depan 0,03 tt tt 0,03

Shankel 0,0002 tt tt 0,0002

Daging campuran 0,084 0,092 0,12 0,296

Tapioka 50%:

Daging paha belakang 0,10 tt tt 0,10

Daging paha depan Tt tt tt 0

Shankel 0,268 tt tt 0,268

Daging campuran 0,272 tt 0,511 0,783

BMR (ppb) 200 200 200

Pengujian cemaran mikroba (Tabel 4 dan 5)

Hasil pemeriksaan jumlah mikroba dari sampel daging segar menunjukkan bahwa jumlah cemaran mikroba pada daging paha belakang atas (silver side), daging paha depan (blade), daging shankel dan daging campuran (bahu, leher, dan rusuk) masih pada level batas maksimum cemaran yang diizinkan (SNI, 2001), yaitu berturut turut 1; 1,4; 1,3 dan 1,2 x 104 CFU/ g. Pada umumnya kontaminasi mikroba terjadi karena kontak dengan lingkungan atau benda yang tidak higienis. Tingkat kontaminasi mikroba tersebut dapat

dipengaruhi oleh jumlah mikroba yang ada pada saat kontak berlangsung, atau frekuensi kontak yang terjadi dengan benda-benda yang tidak higienis. Tabel 4 menunjukkan bahwa pengambilan sampel daging dari bermacam-macam bagian dari karkas kerbau tidak berpotensi mempengaruhi jumlah kontaminasi mikroba yang mencemari daging tersebut. Namun pada beberapa penelitian melaporkan bahwa karkas dapat terkontaminasi bakteri pada saat proses pemotongan hewan. Kontaminasi tersebut dapat berasal dari hewan yang terinfeksi, fasilitas yang dipergunakan

maupun dari lingkungan sekitarnya (BENDERet al., 2004; GILL, 2004; SARTIKA, 2005)

Kontaminasi mikroba pada bakso lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kontaminasi dari daging segar. Hasil pemeriksaan cemaran mikroba pada semua sampel bakso pada level diatas batas maksimum residu yang dizinkan oleh SNI. Rata-rata pada jumlah 1,1 sampai dengan 2,5 x 106 CFU/ g, dimana tingkat cemaran tidak dipengaruhi oleh jumlah (persentase) tapioka yang ditambahkan (Tabel 5). Dengan demikian perlu perebusan yang sempurna sebelum bakso dikonsumsi untuk membunuh mikroba tersebut sehingga tidak membahayakan kesehatan. Kemungkinan bertambahnya cemaran mikroba ini berasal dari kontaminasi mikroba pada waktu proses pembuatan bakso. Sumber kontaminan kemungkinan dari alat ataupun bahan yang ditambahkan (tapioka, bumbu atau bahan lain) pada proses pengolahan yang juga dapat berasal dari cara pengolahan yang kurang higienis. Menurut SARTIKA et al. (2005)

menyatakan bahwa kontaminasi dapat terjadi apabila makanan jadi yang diproduksi berhubungan langsung dengan permukaan meja atau alat pengolah makanan selama proses persiapan yang sebelumnya telah

(7)

terkontaminasi oleh mikroba patogen. MANTIS

et al. (2005) menambahkan bahwa

bertambahnya jumlah mikroba pada karkas tergantung pada penanganan/pengolahan karkas tersebut melalui pekerja, penyimpanan yang tidak tepat dan perlakuan pemanasan yang tidak efektif sebelum dijual atau dikonsumsi.

Tabel 4. Cemaran mikroba dari sampel daging kerbau

Jenis daging TPC ( CFU/g) Daging paha belakang 1 x 104 Daging paha depan 1 x 104

Shankel 1,3 x 104

Daging campuran 1,2 x 104

BMCM 1,4 x 104 CFU/g

Campuran : Daging bahu, leher dan rusuk CFU : Colony forming unit

BMCM : Batas maksimum cemaran mikroba TPC : Total plate count

Analisis ekonomi

Estimasi perhitungan usahaternak kerbau dapat dilakukan berdasarkan penjualan ternak hidup maupun karkas daging. Pada umumnya penjualan dilakukan berdasarkan berat hidup yang diperoleh selama periode penggemukan dengan komponen input dan output sesuai harga pasar yang berlaku saat itu. Rata-rata pertambahan bobot hidup harian yang diperoleh pada PT Kariyana Gita Utama adalah 0,71 kg/ekor dengan periode penggemukan

selama 83 hari, serta rata-rata tingkat kematian mencapai 2%. Perhitungan harga pokok penjualan terhadap harga pokok produksi memberikan nilai sebesar 5,7%, dimana keuntungan yang diperoleh mencapai 2,05% (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa usaha penggemukan ternak kerbau memberikan keuntungan atas biaya produksi yang layak. Perhitungan ekonomi di tingkat pemotong (jagal) memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penjualan kerbau berdasarkan berat hidup (farm gate). Rata-rata berat karkas yang diperoleh sebesar 43%, maka keuntungan di tingkat pemotong Rp. 295.500/ekor lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan berdasarkan berat hidup. Hal ini disebabkan hampir setiap bagian/potongan ternak diluar karkas mempunyai nilai yang relatif cukup besar (Tabel 7). Hal ini belum termasuk perhitungan upah pemotong, yang bervariasi antara Rp. 75.000 – Rp. 150.000 per ekor ternak tergantung dari besar kecilnya ternak tersebut Estimasi keuntungan ekonomi baik di tingkat petani maupun pemotong ternyata tidak dipengaruhi oleh kualitas daging kerbau yang dihasilkan akibat perlakuan pakan jerami padi. Pada umumnya, pedagang daging kerbau di pasar maupun jagal belum memperhatikan aspek residu pestisida maupun cemaran mikroba lainnya. Hal utama yang menjadi dasar pertimbangan pemotongan ternak kerbau adalah jumlah karkas yang dihasilkan dan komponen lain yang tergolong dalam limbah daging, namun mempunyai nilai ekonomi, seperti hati, paru, jerohan, dan lain sebagainya.

Tabel 5. Cemaran mikroba (TPC) dari sampel bakso daging kerbau

Jenis daging bakso TPC ( CFU/ g) dari bakso pada % tapioka yang ditambahkan

30 40 50

Daging paha belakang 1,1 x 106 > 2,5 x 106 1,8 x 106 Daging paha depan > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106

Shankel > 2,5 x 106 2,5 x 106 1,6 x 105

Daging campuran > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106

(8)

Tabel 6. Analisis ekonomi usahaternak kerbau di tingkat petani

Parameter Nilai (Rp)

Perhitungan harga pokok Pembelian ternak: 336 kg Transportasi (Rp/ekor) Biaya over head (Rp/ekor) Biaya pemeliharaan (Rp/ekor) Biaya pakan (Rp/ekor/hari) Mortalitas: 2% 4.704.00 50.000 150.000 705.500 8.500 109.190

Total biaya produksi 5.718.690

Total penerimaan 6.043.500

Keuntungan (Rp/ekor) 324.810

Harga pokok produksi (Rp/kg) 14.098

Harga pokok penjualan (Rp/kg) 14.478

Harga pokok penjualan (%) 5,7

Keuntungan terhadap harga pokok (%) 2,05

Tabel 7. Analisis ekonomi usahaternak kerbau di tingkat pemotong

Jenis potongan Jumlah (kg) Harga (Rp) Jumlah nilai (Rp)

Daging 120 42.000 5.040.000 Kepala 18 10.000 180.000 Kaki 4 23.000 92.000 Kulit 25 9.000 225.000 Hati 4 19.000 76.000 Jantung 3 22.000 66.000 Paru-paru 3 18.000 54.000

Jeroan (babat dan usus) 17 10.000 170.000

Limpa 2 18.000 36.000

Tulang (buntut, iga) 50 8.000 400.000

Penerimaan 6.339.000

KESIMPULAN

Residu pestisida berdasarkan jenis pestisida yang terdeteksi pada daging atau bagian dari karkas kerbau kebanyakan dari golongan organoklorin (lindan, heptaklor dan endosulfan) sedangkan golongan organofosfat yang terdeteksi hanya klorfirifos.

Residu pestisida pada umumnya terdeteksi pada karkas yang banyak mengandung lemak sesuai dengan sifat dari pestisida golongan organoklorin yang terdeposit pada jaringan

lemak terbukti residu tersebut level terendah terdapat pada daging kaki depan.

Secara keseluruhan residu pestisida yang terdeteksi masih dibawah Batas Maksimum Residu (BMR) yang diizinkan dari SNI sehingga masih aman untuk dikonsumsi. Jumlah cemaran mikroba pada daging paha, daging shankel, dan daging campuran menurut SNI masih pada batas aman untuk dikonsumsi.

Kontaminasi mikroba pada bakso lebih tinggi dari pada daging segar kemungkinan bertambahnya mikroba berasal dari proses

(9)

pembuatan bakso, peralatan yang tidak hygenis, atau dari bahan yang ditambahkan.

Secara ekonomis, adanya residu dan cemaran mikroba dalam daging ataupun bakso belum mempengaruhi tata niaga penjualan daging kerbau. Perhitungan ekonomi di tingkat pemotong (jagal) memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penjualan kerbau berdasarkan berat hidup (farm gate). Hal ini menunjukkan bahwa status keamanan pangan produk kerbau belum mempengaruhi harga penjualan produk akhir daging kerbau maupun olahannya.

DAFTAR PUSTAKA

BENDER, J. B.,K. E. SMITH, A. A. MCNEES, T.R. RABATSKY-HER, S. D. SEGLER, M. A.HAWKINS, N. L.SPINA, W. E.KEENE, M. H.KENNDY, T. J. VAN GILDER and C. W. HEDBERG.2004. Factors affecting surveillance data on Escherichia coli O157 infections collected from FoodNet sites, 1996 – 1999. Emerging Infections Program Food NetWorking Group. Clinical Infectious Diseases, 38, Suppl. 3: 157 – 164.

CAULIBALY,K. and SMITH 1993. Thermostability of organophosphate pesticides and some of their major metabolites in water and beef muscle. J. Agric. Food. Chem. 67(2):56 – 58

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2009. Statistik Peternakan 2009. Direktorat Jenderal Peternakan Jakarta.

GILL,C.O. 2004. Visible contamination on animals and carcasses and the microbiological condition of meat. J. of Food Protection, 67: 413 – 419.

HARDJOSUBROTO, W. 2006. Kerbau, mutiara yang terlupakan. Pros. Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas Tahun 2006. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 17 Juli 2006. hlm. 56 – 102. INDRANINGSIH dan Y.SANI. 2005. Residu pestisida

dalam susu segar dan pakan dari beberapa daerah di Jawa. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan. hlm. 956 – 962

KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.G. SIANTURI dan E. TRIWULANINGSIH. 2005. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Propinsi Banten. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. Puslitbang Peternakan. hlm. 316 – 322.

LEE,S.R.,C.R.MOURER dan T.SHIBAMOTO 1991. Analysis before and after cooking processes of trace chlorpyrifos spiked polished rice. J. Agric. Food. Chem. 39: 906 – 908.

MANTIS, F.N., I. TSACHEV, O. SABATAKOU, A. R. BURRIEL, A. VACALOPOULOS and S. B. RAMANTANIS. 2005. Safety and shelf-life of widely distributed vacuum packed, heat treated sausages. Bulg. J. Med., 4: 245 – 2 54 PRIYANTI, A., L. H. PRASETYO, E. WINARTI, Y.C.

RAHARJO,B.BRAMANTYO,INDRANINGSIH dan S.USMIATI 2005. Laporan Penelitian Demand Driving. Puslitbang Peternakan. Bogor PANGALINAN, V. 2005. Prospek Sosial Ekonomi

Peternakan Kerbau di Indonesia. Makalah disajikan dalam Lokakarya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Makassar, 22 – 23 Oktober 2005. SARTIKA R.A.D.,Y.M.INDRAWATI danT.SUDIARTI.

2005. Analisis Mikrobiologi Escherichia coli O157 H7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya, Makara, Kesehatan 9(1): 23 – 28.

STANDAR NASIONAL INDONESIA. 2001. Batas Maximum Cemaran Mikroba dan Batas Maximum Residu dalam bahan makanan asal hewan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian.

SCHECNK,F.J.,L.CALDERON and L.V.PODHORNIAK 1996a. Florisil Solid-Phase Extraction cartriges for Cleanup of organochlorine Pestcide residues in Foods. J.A.O.A.C. Int. 79(6): 1454 – 1458

SCHECNK, F.J., L. CALDERON and D.E. SAUGARG 1996b. Determination of organochlorine pesticide and polychlorinated residues in fatty fish by tandem sholid phase extraction clean up. J.A.O.A.C. Int. 79(5): 1209 – 1213 SWANSON,K.M.J.,F.F.BUSTA,E.H.PETERSON and

M.G. JOHNSON 1992. Colony Method in Conpendium. Copendium of Method for the Microbial Examination of Food. 3rd Ed. C. VANDERZANT and D.F. SPLITTSTOESSER (Eds). pp. 75 – 95.

Gambar

Tabel 1. Pengelompokan daging berdasarkan bobot potongan komersial
Tabel 3. Residu pestisida dalam bakso daging kerbau
Tabel 5.  Cemaran mikroba (TPC) dari sampel bakso daging kerbau
Tabel 7. Analisis ekonomi usahaternak kerbau di tingkat pemotong

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan pada tanggal 23 dan 25 februari tentang tingkat kecemasan pra operasi di paviliun mawar RSUD Jombang, bahwa dari 10 orang responden yang akan

PLS dibanding dengan CBSEM memiliki beberapa keunggulan, diantaranya PLS merupakan metode yang bebas asumsi baik mengenai sebaran data maupun ukuran sampel yang tidak

Kondisi itu dapat menggerakkan perempuan untuk turut mencari penghasilan keluarganya (Suman, 2007). Program Secercah Hati dirancang untuk dilaksanakan selama tiga tahun, mulai

sebesar kuku ibu jari, letakkan secara terpisah pada salah satu sisi sehelai kertas tapis, kemudian kedua bongkah tanah tadi dibasahi dengan larutan HCI 10Vo.. -

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, yaitu kegiatan percobaan secara langsung untuk melihat hasil yang memberikan perlakuan terhadap

Suatu pemandangan indah ketika kita berada di pantai adalah gulungan gelombang laut yang datang dari tengah dan akhirnya pecah di tepi pantai, indah sekali,

Dengan kerangka pikir seperti itu, menjadi sangat jelas bahwa mestinya tidak tepat da’i disebut sebagai suatu profesi, begitu pula sebutan lembaga dakwah mestinya juga tidak ada,