• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA. 2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA. 2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara

Sejarah Aceh Utara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara).

Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu :

(2)

1. Onder Afdeeling Bireuen 2. Onder Afdeeling Lhokseumawe 3. Onder Afdeeling Lhoksukon.

Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik. Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia Serikat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku Undang-Undang Sementara 1950 seluruh Negara bagian bergabung dan statusnya berubah menjadi propinsi. Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, digabungkan dengan Propinsi Sumatera Utara. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, terbentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara.

(3)

Keberadaan Aceh di bawah Propinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang menuntut agar Aceh tetap berdiri sendiri sebagai propinsi dan tidak berada di bawah Sumatera Utara. Tetapi ide ini kurang didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh. Keadaan ini menimbulkan kemarahan tokoh Aceh dan memicu terjadinya pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah datang Wakil Perdana Menteri Mr Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh. Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu:

1. Kewedanan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan 2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan 3. Kewedanan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan

Dua tahun kemudian keluar Undang-Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan

(4)

Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi Kabupaten Bireuen. Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen. Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.

Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang menegaskan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II maka pernerintah melaksanakan proyek percontohan otonomi daerah. Aceh Utara ditunjuk sebagai daerah tingkat II percontohan otonomi daerah. Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999. Seiring dengan

(5)

pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang-Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen. Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan berpenduduk sebanyak 477.745 jiwa membawahi 27 kecamatan.

Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan, yang terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan dataran dan 72 desa di kawasan berbukit. Desa yang terletak di daerah berbukit dijumpai di 12 kecamatan. Yang paling banyak desanya di kawasan perbukitan adalah di Kecamatan Sawang, Syamtalira Bayu, Nisam, Kuta Makmur, dan Muara Batu. Disamping itu, terdapat 40 buah desa yang berada dikawasan pesisir. Aceh Utara yang beriklim tropis, musim kemarau berlangsung antara bulan Februari sampai Agustus, sedangkan musim penghujan antara bulan September sampai Januari. Suhu dimusim kemarau rata-rata 32.8oC dan pada musim penghujan rata-rata 28oC.

Flora dan fauna, flora yang terdapat di daerah ini terdiri dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan antara lain: kayu merbau, damar, damar laut, semantok, meranti, cemara, kayu bakau, rotan dan sebagainya. Semua jenis tumbuh-tumbuhan hidup subur dikawasan hutan merupakan kekayaan dan potensi yang

(6)

dapat mendukung pembangunan ekonomi jika mampu dikelola dengan baik tanpa merusak kelestarian alam dan lingkungan.

Sedangkan fauna, Aceh Utara juga memiliki kekayaan dengan berbagai jenis hewan liar seperti gajah, harimau, badak, rusa, indus¬ kijang, orang hutan, babi, ular dan lain-lain sebagainya.

2.2 Tinjauan geografis desa Jambo Aye kota Panton labu Aceh Utara

Kabupaten Aceh Utara merupakan bagian dari Provinsi Aceh yang berada di sebelah utara. Berdasarkan Peta Bakosurtanal skala 1 : 50.000, maka secara geografis Kabupaten Aceh Utara terletak pada posisi 960 47’ – 970 31’ Bujur Timur dan 040 43’ – 050 16’ Lintang Utara. Batas wilayah Kabupaten Aceh Utara dengan wilayah lainnya adalah:

(7)

- Sebelah utara - Sebelah timur - Sebelah selatan - Sebelah barat : : : : Kota Lhokseumawe Kabupaten Aceh Timur Kabupaten Bener Meuriah Kabupaten Bireuen

Luas wilayah Kabupaten Aceh Utara yang tercatat adalah 3.296,86 km2, atau 329.686 Ha. Dengan panjang garis pantai 51 km, dan kewenangan kabupaten adalah sampai 4 mil laut, maka luas wilayah laut kewenangan ini adalah 37.744 Ha atau 3.774,4 km2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1

No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Persentase

1 Sawang 384,65 11,67 2 Nisam 42,74 3,48 3 Nisam Antara 84,38 2,56 4 Bandar Baro 42,35 1,28 5 Kuta Makmur 151,32 4,59 6 Simpang Keramat 79,78 2,42 7 Syamtalira Bayu 77,53 2,35 8 Geurudong Pase 269,28 8,17 9 Meurah Mulia 202,57 6,14 10 Matang Kuli 56,94 1,73 11 Paya Bakong 418,32 12,69 12 Pirak Timu 67,70 2,05 13 Cot Girek 189,00 5,73

(8)

15 Langkahan 150,52 4,98 16 Seunuddon 100,63 3,05 17 Baktiya 158,67 4,81 18 Baktiya Barat 83,08 2,52 19 Lhoksukon 243,00 7,37 20 Tanah Luas 30,64 0,93 21 Nibong 44,91 1,36 22 Samudera 43,28 1,31 23 Syamtalira Aron 28,13 0,85 24 Tanah Pasir 20,38 0,62 25 Lapang 19,27 0,58 26 Muara Batu 33,34 1,01 27 Dewantara 39,47 1,20 Kabupaten 3.296,86 100,00

Sumber Data : Aceh Utara Dalam Angka 2012

2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu

Kabupaten Aceh Utara dipimpin oleh seorang Bupati dan mempunyai wakil Bupati, secara admisnistrasi pemerintahan Aceh utara diatur oleh seorang sekretatis daerah (Sekda) kota dengan sistim pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang pemerintah Republik Indonesia.

(9)

2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu

2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa jambo aye kota Panton Labu

Berdasarkan pendekatan historis baik pada sebelum maupun sesudah kemerdekaan, stratifikasi masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia Umara dapat diartikan sebagai pemerintahan atau pejabat pelaksana pemerintahan dalam satu unit wilayah kekuasaan, contonhnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Ulee balang sebagai pimpinan unit pemerintah Nanggro (negri), Panglima Sago (Panglima Segi) yang memimpin unit pemerintah Segi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintah Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintah gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagi lapisan pimpinan adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler. Hal ini berlaku juga di Kota Panton Labu, namun dalam perkembangannya saat setelah perang kemerdekaan usai dan Indonesia sebagi sebuah Negara Merdeka dan Berdaulat, mempunyai tata pemerintahannya sendiri dalam hal ini kedudukan sultan, Ulee balang maupun panglima sagoe, ditiadakan karena Aceh termasuk dalam wilayah Negara kesultanan Republik Indonesia yang semuanya di atur oleh sistem pemeritahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang 1945, melalui Departemen Dalam Negeri sedangkan bentuk pimpinan unit pemerintah seperti Imeum, Mukim, Keuchik, Kepala gampong dan sebagainya merujuk pada

(10)

undang-undang otonomi khusus dan keistimewaan daerah Aceh, sementara kedudukan geuchik, kepala mukim, tuha peut masih dipertahankan sebagai sistem Pemerintahan tradisional dilapisan bawah masyarakat yang setara dengan lurah, kepala dusun, dan sebagainya.

2.4.2 Agama

Mayoritas penduduk kota Panton labu merupakan penganut agama Islam. Meskipun yang dominan adalah pemeluk agama Islam, namun kita juga dapat menjumpai beberapa tempat ibadah bagi agama-agama non Muslim sepeti Gereja dan Klenteng ditempat tertentu dan terbatas.

2.4.3. Jumlah penduduk kota Panton Labu

Menurut data dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil berdasarkan laporan kependudukan Kota Panton labu, menurut jumlah Kartu keluarga, jumlah penduduk dan jumlah wajib KTP pada bulan April 2014, diperoleh data jumlah penduduk kota Panton labu keseluruhan adalah berjumlah 41.032.

2.4.4. Masyarakat kesenian di desa Jambo Aye kota Panton Labu

Yang di maksud dengan masyarakat adalah sekumpulan manusia, yang dalam kehidupannya melakukan kerjasama secara kolektif, karena saling ketergantungan sosial diantara mereka12

12 M.takari,dkk, op.cit hal, 1

, kesenian merupakan hasil karya, karsa, dan cipta manusia baik berupa wujud maupun gagasan atau ide yang mengandung

(11)

unsur keindahan yang digunakan dalam kehidupan manusia. Maka masyarakat kesenian di Kota Panton Labu adalah sekelompok masyarakat yang beraktifitas dibidang kesenian baik sebagai pelaku maupun sebagi penontonnya, yang ada di Kota Panton labu, yang di kelompokkan menjadi dua kelompok masyarakat kesenian diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat kesenian yang ada pada masyarakat umum, di sekitar Kota Panton Labu (gampong, desa, ataupun kecamatan) seperti sanggar-sanggar,

komunitas-komunitas seni dan sebagainya, misalnya Sanggar Jeumpa Aceh dan Sanggar Pocut Meurah Insen.

2. Masyarakat kesenian yang ada di institusi sekolah (SD,SMP,SMA), dan perguruan Tinggi (seperti, Sanggar seni sekolah, atau unit kegiatan mahasiswa).

2.4.5. Unsur Kesenian Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu 2.4.6 Tari

a. Tari Ranup Lampuan

Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu Sirih, sedangkan Puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup Lampuan bisa diartikan "Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai tanda penghormatan atas kedatangannya.

(12)

b. Tari Likok Pulo

Tarian Likok Pulo ini lahir sekitar tahun 1949 yang diciptakan oleh seorang Ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar.Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir kepada Allah SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan kebawah, dengan tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan energi yang tinggi.

c. Tari Tarek Pukat

Tarek Pukat ini menggambarkan aktifitas para nelayan yang menangkap ikan dilaut.Tarek yang berarti "Tarik", dan Pukat adalah alat sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.

d. Tari Rapa’i Geleng

Rapa`i Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir

Pantai Selatan. Nama Rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan Rapa`i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal

kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan

(13)

(lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial.

e. Tari Saman

Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh ataupun Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh.Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada kenyataannya nama "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.Tari Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech.Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna.Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.

f. Tari Laweut

Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati Inong", karena tarian ini khusus ditarikan oleh para wanita. Gerak tarian ini, yaitu

(14)

penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

g. Tari Pho

Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat. Hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

h. Tari Seudati.

Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan ratoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan

(15)

tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah.Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

2.4.7 Musik a. Serunee Kalee

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu nangka, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tem baga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang dan Rapa’i dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.

b. Gendang (Geundrang)

Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune

(16)

kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara lainnya.

Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit.Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.

c. Rapa’i

Rapa’i merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama

halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang tuwalang) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak).

Rapa’i digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan Rapa’i dengan cara memukulnya dengan

(17)

tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil percobaan pembuatan pernis dari damar abu dan asalan menunjukan bahwa pernis yang dihasilkan mempunyai sifat yang baik dan sama dengan contoh pernis kualitas pasaran

Rektor (sebagai laporan) melalui DAKD;. 2)

Pada saat ini yang bersangkutan menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Direktorat Buah dan Florikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian

Pelaksanaan pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu melalui Program Pantai Lestari perlu dilakukan dengan konsisten serta dilaksanakan secara berkesinambungan,

‘Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah daripada yang munkar, dan beriman kepada Allah.’... Dakwah

Tegangan melingkar ( Circumferential Stress ) pada dinding bejana tekan lebih kecil 58,9 MPa dari pada tegangan ijin material yang digunakan (174,8 MPa), maka bejana

Jangan melakukan sinkronisasi dengan laptop/pc sendiri (bukan server yang akan dipakai ujian/simulasi), jika server sekolah belum tersedia, tidak perlu ikut simulasi.. Pada

Seperti yang dikatakan oleh Linton, 1990 (dalam pradanti 2014) Peran uang dalam kehidupan seseorang adalah untuk menopang cara hidup kelas ekonomi tertentu.Kelas ekonomi