• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Semarang, Januari 2012 Penyusun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Semarang, Januari 2012 Penyusun"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SAW atas terselesaikannya penyusunan buku ini walaupun dalam jangka waktu yang tidak singkat. Dewasa ini pranata hukum ekstradisi mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama karena timbulnya pelbagai kejahatan atau tindak pidana lintas batas negara yang makin beragam.

Kerjasama penegakan hukum dalam hubungan internasional telah terbukti sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum nasional terhadap kejahatan transnasional. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan penuntutan dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik).

Ide penulisan buku diatas timbul karena wujud kepedulian yang besar terhadap masalah kejahatan atau tindak pidana lintas batas negara yang semakin canggih. Disamping itu untuk mempermudah para mahasiswa untuk memberikan kesempatan serta minat mahasiswa untuk mempelajari lebih dalam lagi.

Buku ini tersusun tentu saja tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu perlu kami sampaikan terimakasih atas bantuannya hingga diterbitkannya buku ini. Diakui pula oleh kami bahwa buku ini masih terdapat kekurangannya, maka dari itu kami membutuhkan saran-saran yang membangun terhadap kesempurnaan buku ini nantinya. Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan masalah hukum, khususnya hukum ekstradisi.

Akhir kata sekali lagi kami sampaikan terimakasih.

Semarang, Januari 2012 Penyusun

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

Bab I Latar belakang Ekstradisi, Pengertian dan Perkembangan

Ekstradisi 1

1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi 1 1.2

Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 3

1.2.1 Kerangka Dasar Konvensional 6

1.2.2 Kerangka Dasar Obyeksional 7

1.2.3 Kerangka Dasar Prosedural 9 1.3 Kelemahan dari Pengusiran 9 1.4 Kelemahan dari Ekstradisi 11

Bab II Ruang Lingkup Ekstradisi 13

2.1. Ruang Lingkup Ekstradisi 13

2.2 Unsur Ekstradisi 16

2.3 Ekstradisi sebagai Hukum Kebiasaan Internasional 19 2.4 Perjanjian Internasional tentang Ekstradisi 20

2.4.1 Perjanjian Ekstradisi Bilateral dan Multilateral 22 2.4.2 Hubungan antara Perjanjian Ekstradisi

Bilateral dan Multilateral 23

Bab III Sumber-sumber Hukum Dalam Arti Formal Dari Ekstradisi 24 3.1 Kaidah Hukum tentang Ekstradisi yang Bersumber Dari

Hukum Internasional 24 3.2 Kaidah Hukum tentang Ekstradisi atau yang Berkaitan

Dengan Ekstradisi yang Bersumber Dari Hukum Nasional 26 3.3 Hubungan antara Sumber-sumber Hukum Dalam Arti

Formal dari Ekstradisi yang Berasal dari Hukum

Internasional dan Hukum Nasional 28 3.4 Ekstradisi sebagai Hukum Kebiasaan Internasional 28

Bab IV Asas-asas Hukum Ekstradisi 30

4.1. Asas Kejahatan (Double Criminality) 30

4.2. Asas Kekhususan (Speciality) 31

4.3. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik

(3)

4.4. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara Sendiri 32

4.5. Asas Non Bis In Idem 32

4.6. Asas Daluarsa (Lapse of time) 33

ii

Halaman Bab V Kaidah-kaidah Hukum Materiil Substansial Dari Ekstradisi 34

5.1 Kewajiban untuk Melakukan Ekstradisi 34

5.2 Tempat Dilakukannya Kejahatan 35

5.3 Tentang Yurisdiksi 37

5.4 Bantuan Hukum dan Hak-hak Orang yang Diminta 38

5.5 Kejahatan Militer 38

5.6 Kejahatan Fiskal 39

5.7 Kejahatan yang Diancam dengan Hukuman Mati 40 5.8 Tentang Wilayah Masing-masing Pihak 41 5.9 Ruang Lingkup Teritorial Berlakunya Perjanjian

Ekstradisi 41

5.10 Tentang Pengampunan 42

Bab VI Kaidah Hukum Formal Prosedural Dari Ekstradisi 44 6.1 Proses Pelaksanaan Ekstradisi Bagi Warga Negara yang

Melanggar Hukum 44

6.1.1 Syarat yang Harus Dipenuhi Dalam Mengajukan

Permintaan Ekstradisi 46

6.1.2 Pemeriksaan Terhadap Orang yang Dimintakan 47 6.1.3 Ekstradisi Pencabutan dan Perpanjangan Penahanan 48 6.1.4 Keputusan Mengenai Permintaan Ekstradisi 48 6.1.5 Ada lebih dari Satu Negara Peminta 49 6.1.6 Penyerahan Orang yang Dimintakan Ekstradisinya 49 6.2 Perlindungan HAM bagi Warga Negara yang Melanggar Hukum

Dalam Proses Ekstradisi 50

6.3 Pelaksanaan Perjanjian Ekstradisi antara Negara-negara yang

Berbeda Sistem Hukumnya 51

6.4 Transit atau Melewati Wilayah Negara Ketiga 52 6.4.1 Pengaturan tentang Transit atau melewati

Dalam Perjanjian Ekstradisi Multilateral 52 6.4.2 Pengaturan tentang Transit di Dalam

Perjanjian Ekstradisi Bilateral 53 6.5 Pengekstradisian Orang yang Diminta Kepada Negara

Ketiga 53

6.6 Masalah Biaya 54

(4)

iii

Halaman Bab VII Kejahatan yang Diancam dengan Hukuman Mati 56

7.1 Hukuman Mati dalam Sejarah dan Perkembangannya 56

7.2 Prokontra terhadap Hukuman Mati 57

7.3 Pengaturan tentang Kejahatan yang Diancam dengan

Hukuman Mati di Dalam Perjanjian Ekstradisi 58 7.4 Posisi Negara Peminta dan Negara Diminta Dalam

Masalah Ekstradisi Atas Kejahatan yang Diancam dengan

Hukuman Mati 59

7.5 Dilema Kejahatan yang Diancam dengan Hukuman Mati

Dalam Teori dan Praktek Ekstradisi 63

Bab VIII Kejahatan Politik 66

8.1 Dimensi Historis dari Kejahatan Politik 66 8.2 Mengapa Perilaku Kejahatan Politik Tidak Boleh

Diekstradisikan 68

8.3 Apa Sebenarnya yang Dimaksud dengan Kejahatan Politik 69 8.4 Kejahatan Politik dalam Praktek Negara-negara dan Beberapa

Masalahnya 72

8.4.1 Praktek Inggris 72

8.4.2 Praktek Amerika Serikat 73

8.4.3 Praktek negara-negara di kawasan Eropa

Kontinental 74

8.4.4 Praktek Indonesia 75

8.5 Keputusan Terakhir Ada Pada Negara Diminta 76 Bab IX Kewarganegaraan Orang Yang Diminta 78

9.1 Arti Pentingnya Kewarganegaraan Dalam Perjanjian

Ekstradisi 78

9.2 Pengaturan Tentang Kewarganegaraan Dalam

Perjanjian-Perjanjian Ekstradisi 78

9.2.1. Pengekstradisian Warganegara sebagai Larangan

Mutlak dan Sebagai Kebijaksanaan 79 9.2.2. Negara diminta Menolak untuk Mengekstradisikan

Warganegaranya dan Memiliki Yurisdiksi

Kriminal Atas Kejahatan Tersebut. 81 9.2.3. Negara diminta Menolak untuk Mengekstradisikan

Warganegaranya dan Tidak Memiliki Yurisdiksi

(5)

9.2.4. Negara yang Tidak Terikat pada Suatu Perjanjian Ekstradisi Tetapi Bersedia Melakukan

Pengekstradisian Atas Dasar Hubungan Baik Secara

Timbal Balik 82

iv

Halaman 9.3 Masalah Dwi Kewarganegaraan Tanpa Kewarganegaraan

Dan Pergantian Kewarganegaraan 83

9.3.1 Orang yang Diminta Berdwi-Kewarganegaraan 83

9.3.2 Orang yang Diminta Tanpa Kewarganegaraan 84 9.3.3 Orang yang Diminta Mengganti Kewarganegarannya 84

Bab X Tentang Wilayah Negara Sebagai Tempat Terjadinya Kejahatan 86 10.1 Pengertian Wilayah Sebagai Tempat Terjadinya Kejahatan

Di Dalam Perjalanan Ekstradisi 86

10.2 Pengaturan Tentang Wilayah Negara Sebagai Tempat

Terjadinya Kejahatan Di Dalam Perjanjian Ekstradisi 87

(6)
(7)

BAB I

Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi

Ekstradisi menurut UU RI No. 1 tahun 1979 adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang mengadili dan menghukumnya. Ekstradisi dilakukan atas dasar suatu ‘perjanjian´ (treaty) antara Negara Republik Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan denganUndang-undang. Jika belum ada perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atasdasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 dan 2). Sedangkan Mutual Legal Assistance (MLA) atau perjanjian saling bantuan hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal1.

Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu UU No 1 tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006. UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. Di samping itu, di dalam UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA pada Pasal 44 dan 44A.

Mutual Legal Assistance (MLA) pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar

1 I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm 20.

(8)

hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS.Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggarayang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia.

Kehadiran orang di suatu negara sebenarnya dapat dibedakan dalam dua kelompok. Pertama, mereka benar-benar tidak memiliki latar belakang buruk di negara asalnya. Kedua, mereka memiliki latar belakang tidak baik, misalnya telah melakukan kejahatan dan kemudia melarikan diri.

Terhadap kelompok pertama, bila yang bersangkutan melakukan tindakan yang melanggar hukum, atau perbuatan yang dapat meresahkan negara setempat, maka terhadap yang bersangkutan dapat dikenai hukuman misalnya menyidangkannya di Pengadilan, atau mengusirnya. Dengan tindakan-tindakan negara tersebut, dapat dikatakan selesailah persoalannya. Akan tetapi terhadap kelompok kedua, msalahnya berlainan. Kehadirannya di dalam suatu negara adalah untuk menghindari upaya penangkapan atas dirinya sehubungan dengan telah dilakukannya kejahatan di negara semula. Dengan larinya orang tersebut ke Negara lain, berarti ada dua Negara yang kepentingannya dirugikan karena tidak dapat menangkap orang yang bersangkutan, padahal orang tersebut telah melakukan pelanggaran hukum 2.

Dalam hal ini aparat Negara yang dirugikan tidak dapat begitu saja memasuki wilayah territorial Negara lain untuk menangkap pelaku kejahatan tersebut. Hal ini karena di dalam hukum internasional berlaku prinsip penghormatan kedaulatan masing-masing Negara, sehingga untuk memasuki Negara lainpun harus ada persetujuan terlebih dulu dari Negara yang akan dimasuki. Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap Negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan terbatas dalam wilayahnya sendiri. Kekuasaan suatu Negara berakhir dimana kekuasaan Negara lain dimulai. Oleh karena itu suatu Negara tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan di dalam wilayah Negara lain (tindakan penangkapan pelaku kejahatan oleh aparat penegak hukum adalah tindakan kedaulatan).

2 FX Adji Samekto dan Doddy Kridasaksana, Negara Dalam Tata Tertib Hukum Internasional, Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Internasional Lanjut, Fakultas Hukum Universitas Semarang, Semarang, hlm 68.

(9)

Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat yuridis it, maka didalam praktek antara Negara muncullah kebutuhan untuk menyerahkan pelaku kejahatan oleh negara satu kepada negara dimana kejahatan yang bersangkutan dilakukan. Praktek inilah yang disebut “ekstradisi”, yang secara singkat diartikan sebagai penyerahan penjahat oleh satu negara kepada negara yang lain. Dengan adanya lembaga ekstradisi ini, maka pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain tidak akan lepas dari jangkauan hukum. Hal ini merupakan implementasi adagium yang pertama kali diajukan Grotius, aut punere ant dedere (pelaku kejahatan diadili oleh negara dimana kejahatan dilakukan).

1.2 Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

Istilah ekstradisi menunjukkan proses dimana berdasarkan suatu asas timbal balik atau berdasarkan perjanjian antar negara, suatu negara menyerahkan kepada negara yang lain, atas permintaannya, seorang pelaku kejahatan atau tersangka, karena negara yang meminta berwenang untuk mengadili pelaku atau tersangka tersebut3. Adolf Huala menyebutkan, ekstradisi adalah proses penayerahan seorang atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. Jelasnya penyerahan tersebut dilakukan oleh negara tempat orang itu berlindung kepada negara yang meminta penyerahan4.

Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ekstradisi adalah “Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseoarng yang disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”.

Dari uraian tersebut, tampak tentang apa yang dinamakan ekstradisi. Ditinjau dari asal katanya, ekstradisi berasal dari bahasa Latin, “Extradere”, ex berarti keluar, sedangkan “tradere” berarti memberikan atau menyerahkan. Kata bendanya “extraditio”, berarti penyerahan. Tegasnya, yang dimaksud ekstradisi adalah penyerahan yang

3 J.G Starke, Introduction to International Law, 10th edition, Butterworths, London, 1989, hlm 352. Lihat juga dalam FX Adji Samekto dan Doddy Kridasaksana, op.cit, hlm 69.

(10)

dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik atas seorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukan (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi, untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili5.

Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapa t menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seseorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya. Hal ini semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Karena itulah patut dan tepat penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas penjahat tersebut6.

Perkembangan ekstradisi mengalami perubahan semakin baik, terutama setelah kehidupan bernegara sudah mulai tampak agak lebih maju, khususnya mulai abad ke-17. Apalagi setelah Perjanjian Perdamaian Westphalia tahun 1648, dengan lahirnya negara-negara yang berdasarkan prinsip kewilayahan kebangsaan kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat, yang kemudian terus bertambah kokoh memasuki abad 18, 19, sampai awal abad 20 hingga perang dunia ke-2 (1939-1945). Hubungan dan pergaulan internasionalpun menemukan bentuk dan substansinya yang baru dan berbeda dengan jaman sebelum Perjanjian Perdamaian Westphalia tahun 16487.

Negara-negara yang berdasarkan atas prinsip kemerdekaan kedaulatan dan kedudukan sederajat mulai menata dirinya masing-masing terutama masalah domestik dengan membentuk dan mengembangkan hukum nasionalnya, yang salah satunya di bidang hukum pidana nasional. Hukum pidana nasional masing-masing negara, terutama jenis-jenis kejahatan atau tindak pidananya, disamping pula ada kesamaan dan perbedaannya.

5 C.Oppenheim, International Law, a Treastie, 8th edition, 1960, hlm 696.

6 M.Budhiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14.

7 I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern,Cetakan I, Yrama Widya,Bandung, 2009, hlm 27.

(11)

Semakin menguat batas wilayah dan kedaulatan teritorial masing-masing negara, semakin menguat pula penerapan hukum nasionalnya di dalam batas wilayah negara masing-masing. Demikian pula dengan identitas kebangsaan atau kewarganegaraan dari tiap orang semakin jelas, sehingga menjadi lebih mudah bagi suatu negara untuk membedakan antara orang yang tergolong sebagai warganegaranya dan yang bukan warganegaranya atau orang asing. Berkenaan dengan pelaku kejahatan juga akan lebih mudah dapat dikenali kewarganegarannya.

Pada pihak lain, hubungan-hubungan internasionalpun mengalami perkembangan yang dukup pesat. Hal ini antara lain ditandai oleh semakin banyaknya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara baik bilateral ataupun multilateral untuk mengatur suatu masalah tertentu yang sudah, sedang, dan akan dihadapi. Dalam pembuatan perjanjian tersebut mulai dilakukan pengkhususan atas substansinya, jadi tidak lagi satu perjanjian mancakup pelbagai macam substansi yang berbeda-beda.

Salah satu bidang yang tidak luput dari perhatian internasional adalah tentang pelaku kejahatan pelarian lintas batas negara, yang sebenarnya sudah ada sejak jaman dulu. Dalam kehidupan negara-negara pada masa abad 17, 18, dan 19, tentang pelaku kejahatan pelarian lintas batas negara inipun mulai menemukan bentuk dan subtansi hukumnya baru, yang belakangan lebih banyak dikenal dengan nama ‘ekstradisi’. Ekstradisi sebelumnya lebih banyak berupa penerapan praktek-praktek yang sudah umum dan disadari sebagai suatu kaidah hukum atau dengan kata lain berwujud sebagai hukum kebiasaan internasional, kemudian mulai dirumuskan dalam bentuk perjanjian perdamaian bilateral. Kaidah hukumnyapun berkembang secara luas. Namun, eksistensinya sebagai hukum kebiasaan internasional masih tetap, bahkan substansinya yang baru dirumuskan di dalam perjanjian internasional yang sebelumnya belum pernah ada, juga kemudian berkembang terus menjadi hukum kebiasaan internasional karena diterima dan dipraktekkan secara luas dan umum. Beberapa diantaranya bahkan sudah berkembang menjadi prinsip atau asas yang diakui dan diterima secara umum. Ekstradisi dengan demikian telah tumbuh dan berkembang menjadi suatu pranata hukum yang mandiri dengan asas-asas dan kaidah-kaidah hukumnya semakin mapan8.

(12)

Dalam hal ekstradisi ada dua unsur yang sangat memegang peranan penting pada pelaksanaanya, yaitu kedaulatan negara dan hak asasi manusia9. Berdasarkan kedua aspek ini maka ada tiga hal yang menjadi kerangka dasar dalam pelaksanaan ekstradisi yaitu: 1) kerangka dasar konvensional; 2) kerangka dasar obyeksional; 3) kerangka dasar prosedural.

1.2.1 Kerangka Dasar Konvensional

Kerangka dasar konvensional adalah landasan yang digunakan berbentuk perjanjian antar negara. Bentuk perjanjian ekstradisi ada yang bilateral maupun multilateral. Beberapa contoh perjanjian ekstradisi yang bersifat bilateral, misalnya:

a. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia 1974 (telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 9 Tahun 1974).

b. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Filipina 1976 (telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 10 Tahun 1976).

c. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand 1978 (telah diratifikasi oleh pemerintah dengan UU Nomor 2 Tahun 1978).

Di dalam praktek, setiap negara dapat mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain walaupun negara itu sendiri belum memiliki Undang-Undang Ekstradisi Nasional. Demikian pula sebaliknya, setiap negara dapat saja membuat Undang-undang ekstradisi walaupun belum pernah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara lain10. Mengingat masalah ekstradisi kadang-kadang melibatkan lebih dari dari dua negara, terutama negara-negara yang secara geografis berdekatan letaknya, maka perjanjian ekstradisi diadakan secara multilateral. Beberapa contoh perjanjian ekstradisi multilateral misalnya:

a. Perjanjian ekstradisi Liga Arab tanggal 14 september 1952; b. Konvensi ekstradisi negara-negara eropa 13 Desember 1957;

9 Sulaiman Nitiatma, Hukum Internasional Teritorialitas (Buku Pedoman Mahasiswa S1 Ilmu Hukum), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm 78.

1 0 I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm 23.

(13)

c. Konvensi ekstradisi negara-negara Benelux (Belgia, Nederland, dan Luxemburg) 27 Juni 1962.

Negara-negara yang sudah terikat dalam perjanjian ekstradisi multilateral, tetap masih bisa membuat perjanjian ekstradisi bilateral dengan sesama negara yang juga terikat dalam perjanjian ekstradisi multilateral, atau sebaliknya dua negara yang telah terikat pada perjanjian ekstradisi bilateral juga tetap masih bisa ikut serta dalam perjanjian ekstradisi multilateral yang diadakan kemudian.

1.2.2 Kerangka Dasar Obyeksional

Kerangka dasar obyeksional pada pelaksanaan ekstradisi itu adalah hal-hal (kejahatan-kejahatan) apa saja yang dijadikan obyek pengaturan perjanjian ekstradisi tersebut11. Praktek yang ada diantara negara-negara mengenai ekstradisi ialah menyusun daftar kejahatan-kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan dalam perjanjian. Pada umumnya perjanjian ekstradisi menentukan bahwa ekstradisi hanya berlaku untuk kejahatan-kejahatan berat12. Dengan demikian kejahatan yang tidak tercantum di dalam daftar itu merupakan kejahatan yang tidak dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan. Contoh perjanjian ekstradisi yang menganut sistem seperti ini misalnya Perjanjian ekstradisi Indonesia – Malaysia yang didalam lampirannya menentukan 27 jenis kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan. Di antara jenis kejahatan dimaksud adalah:

1. Pembunuhan berencana 2. Pembunuhan

3. Perkosaan

4. Penculikan dan penculikan anak

5. Kejahatan yang dilakukan terhadap wanita

6. Pemalsuan dan tindak pidana yang berkaitan dengan pemalsuan 7. Penipuan

8. Penyuapan dan korupsi 9. Penyelundupan

11 Sulaiman Nitiatma, op.cit, hlm 79. 12 J.G. Starke, op.cit, hlm 354.

(14)

10.Bajak laut dan seterusnya

Selain sistem daftar sebagaimana disebut di atas, di dalam praktek juga terdapat sistem tanpa daftar atau eliminative system13. Menurut sistem ini, jenis kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan hanyalah kejahatan-kejahatan yang diancam sanksi pidana dalam batas minimum tertentu yang pasti, baik di negara yang meminta ekstradisi maupun di negara yang diminta ekstradisi. Dengan sistem ini maka hanya dengan melihat ancaman hukumnya saja, segera dapat dipastikan apakah kejahatan tersebut tergolong ke dalam jenis kejahatan yang pelakunya dapat dimintakan ekstradisi.

Lebih lanjut, setiap jenis kejahatan baru yang telah dipenalisasi ke dalam masing-masing negara bersangkutan, dan ancamannya lebih dari batas minimum dalam perjanjian ekstradisi, dengan sendirinya termasuk dalam ruang lingkup perjanjian ekstradisi, sehingga pelakunya dapat diekstradisikan. Contoh perjanjian ekstradisi dalam jenis ini adalah perjanjian ekstradisi Italia-Panama tahun 1930, yang menentukan bahwa kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi adalah kejahatan yang ancaman hukumannya minimal 2 (dua) tahun. Demikian pula perjanjian ekstradisi Afrika Selatan-Rhodesia (sekarang Zimbabwe) tahun 1962, yang menentukan bahwa kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi adalah kejahatan yang ancaman hukumannya minimal 6 (enam) bulan.

Akan tetapi dalam praktek telah diterima suatu pengaturan umum bahwa pelanggaran-pelanggaran, seperti 1). Kejahatan politik; 2). Kejahatan keagamaan, merupakan kejahatan yang pelakunya tidak dapat diekstradisikan. Dalam pengertian kejahatan politik ini bisa dimasukkan tindakan terorisme internasional. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politil didasarkan atas penghormatan hak asasi manusia untuk menganut suatu keyakinan politik, walaupun berbeda dengan politik penguasa yang sah14.

Pada sebena sekarang ini sebenarnya sulit untuk membedakan secara tegas mana yang termasuk kejahatan politik dan yang bukan kejahatan politik. Hal ini karena pengaruh perkembangan hubungan internasional, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pengaruh-pengaruh itu berkaitan begitu rumitnya sehingga isi dan ruang

13 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm 32-33. 14 Ibid, hlm 61.

(15)

lingkup kejahatan politik menjadi meluas bahkan menjadi kabur. Maka suatu kejahatan disamping mengandung unsur kejahatan biasa, juga memuat unsur kejahatan politik, sehingga sangat sukar ditarik garis pembedanya. Kesulitan ini semakin bertambah karena secara teoritik tidak ada rumusan yang berlaku umum untuk kejahatan politik ini, yang dapat diterima oleh negara-negara. Usaha maksimal yang sampai saat ini masih dipegang adalah dengan menyerahkan kepada masing-masing negara untuk menentukan sendiri mana yang termasuk kejahatan politik dan mana yang merupakan kejahatan biasa15.

1.2.3 Kerangka Dasar Prosedural

Kerangka dasar prosedural dalam pelaksanaan ekstradisi maksudnya adalah bagaimana tata cara menuntut pelaku kejahatan yang diekstradisikan. Jelas dalam ekstradisi ini tuntutan untuk menyerahkan pelaku kejahatan tersebut sifatnya tidak mutlak. Hal ini berarti permintaan untuk menyerahkan pelaku kejahatan tersebut tidak harus dipenuhi oleh pihak yang diminta, meskipun ada landasan perjanjiannya. Bila pihak yang diminta menganggap perlu berdasarkan pertimbangan yang wajar maka negara yang diminta boleh saja menolak untuk mengekstradisikan pelaku kejahatan tersebut16. Bila ditarik lebih dalam, hal ini merupakan refleksi dari kedaulatan negara. Dengan adanya kedaulatan, maka ada kesederajatan, sehingga suatu negara tidak dapat dipaksa oleh negara lain untuk melaksanakan perbuatan tertentu.

1.3. Kelemahan dari Pengusiran

Di bawah ini dapat dikemukakan beberapa kelemahan dari tindakan pengusiran sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan, yaitu:

Pertama, individu si pelaku kejahatan yang diusir itu sedapat mungkin akan berusaha mencari negara lain yang mau menerimanya dan kalau bisa untuk selama mungkin, untuk menghindari tuntutan pidana dari negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya. Dengan demikian dia akan tetap lolos dari tuntutan pidana namun pada lain pihak akan mengakibatkan rasa keadilan dan kesadaran hukum dari rakyat negara yang memiliki yurisdiksi tetap belum terpulihkan.

15 FX Adji Samekto dan Doddy Kridasaksana, op.cit, hlm 73. 16 Sulaiman Nitiatma, op.cit, hlm 81.

(16)

Kedua, tindakan pengusiran itu tidaklah membantu untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas batas negara sebab orang-orang pelarian semacam ini lolos dari proses peradilan pidana dan atau penghukuman atas kejahatannya. Dia justru menikmati impunitas, yaitu bebas dari tuntutan hukum atas kejahatannya. Bahkan bisa mendorong para pelaku kejahatan lainnya untuk melarikan diri dan mencari perlindungan ke negara lain. Meskipun dia bisa dikenakan tindakan pengusiran, dia merasa aman untuk memilih negara lain untuk mencari perlindungan.

Ketiga, bagi si pelaku kejahatan itu sendiri, walaupun pengusiran mungkin dalam batas-batas tertentu, lebih menguntungkan dirinya seperti telah dikemukakan di atas. Tetapi bila negara tempatnya melarikan diri juga memiliki yurisdiksi atas kejahatannya kemudian ternyata mengadili sendiri orang tersebut dan jika terbukti bersalah akan dijatuhi hukuman. Setelah selesai menjalani hukumannya, dia merasa bebas untuk kembali ke negara asalnya ataupun ke negara lain yang juga memiliki yurisdiksi atas kejahatannya tersebut. Akan tetapi negara yang bersangkutan bermaksud untuk mengadilinya atas kejahatan yang sama tersebut. Negara itu dengan suatu alasan tertentu, tidak mau mengakui putusan dari pengadilan negara yang terdahulu, dengan kata lain menolak penerapan asas non/ne bis in idem. Dengan demikian, si pelaku kejahatan itu sendirilah yang akan memikul resiko karena dia diadili lebih dari satu kali atas kejahatan yang dilakukannya tersebut17.

Para pelaku kejahatan di suatu negara yang memiliki niat untuk melarikan diri ke negara lain mungkin akan berpikir dua kali untuk melaksanakan niat tersebut. Alasanya karena dia akan dibayang-bayangi kemungkinan untuk diekstradisikan ke negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya. Bagi yang bersangkutan akan sia-sia untuk melarikan diri ke negara lain sebab kemungkinan besar dia akan diekstradisikan ke negara yang memiliki yurisdiksi. Jika negara tempatnya mencari perlindungan kebetulan juga memiliki yurisdiksi atas kejahatannya kemungkinan besar dia akan diadili dan atau dihukum di negara tersebut. Teganya dia tidak akan luput dari tuntutan hukum atas kejahatan yang telah dilakukannya.

1.4. Kelemahan dari Ekstradisi

1 7 I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya,Bandung 2009, hlm 32.

(17)

Adapun kelemahan dari ekstradisi tersebut setdak-tidaknya ditinjau dari segi peranannya sebagai sarana pemberantasan kejahatan lintas batas negara, antara lain18:

Pertama, persyaratan materiilnya yng terlalu banyak dan jika salah satu saja tidak terpenuhi, meskipun yang lain semuanya terpenuhi, maka pengekstradisian tidak akan bisa dilakukan. Hampir sebagian besar asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi berisi persyaratan yang harus dipenuhi terutama oleh negara peminta untuk sampai pada keputusan apakah akan peminta semua persyaratan ataukah tidak. Meskipun menurut negara peminta semua persyaratan sudah terpenuhi tetapi belum tentu dikabulkan oleh negara peminta.

Kedua, prosedu dan mekanismenya yang terlalu panjang birokratis, yaitu melalui saluran diplomatik mengingat masalah ekstradisi adalah masalah antar negara. Mulai dari maksud negara peminta untuk meminta pengekstradisian orang yang diminta. Selanjutnya, pemenuhan atas segala persyaratan materiil yang dibutuhkan kemudian mengenai prosedur untuk mengajukan permintaan sampai dengan keputusan dari negara diminta terhadap permintaan negara peminta yang ditindaklanjuti dengan pemberitahuannya oleh negara diminta kepada negara peminta yang juga harus dilakukan melalui saluran diplomatik, proses penyerahan orang yang diminta bila permintaan negara peminta dikabulkan oleh negara diminta.

Ketiga, sebagai konsekuensi dari pertama dan kedua diatas dibutuhkan biaya, tenaga, dan pikiran yang cukup nesar terutama karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi serta lamanya waktu yang dibutuhkan dari awal hingga akhir proses esktradisi. Mengenai waktu yang dibutuhkan kadang-kadang bisa lebih dari satu tahun. Apalagi jika hukum nasional negara diminta mewajibkan proses yang harus ditempuh melalui pemeriksaan oleh badan peradilan nasionalnya, dari badan peradilan tingkatan yang paling rendah hingga paling tinggi.

Keempat, dalam beberapa hal, implementasi ekstradisi sangat dipengaruhi oleh faktor politik subyektif dari negara diminta sebagai tempat beradanya orang yang diminta. Bagaimanapun juga harus disadari bahwa kenyataannya orang yang diminta berada di dalam wilayah negara diminta sehingga negara diminta memainkan posisi kunci dalam memutuskan apakah permintaan dari negara peminta akan dikabulkan atau

(18)

tidak. Meskipun sudah ada persyaratan yang tegas, namun tidak terlepas dari faktor politik yaitu pertimbangan-pertimbangan politik dari negara diminta dalam mengambil keputusan (mengabulkan ataupun menolak) terhadap permintaan dari negara peminta

(19)

BAB V

Kaidah-kaidah Hukum Materiil Substansial Dari Ekstradisi 5.1 Kewajiban untuk Melakukan Ekstradisi

Ketentuan ini diletakkan bagian awal, yaitu dalam pasal 1 dari perjanjian-perjanjian ekstradisi. Pasal ini sebagai pembuka dari ketentuan-ketentuan selanjutnya dari suatu perjanjian ekstradisi. Sebagai contoh lihat dari perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia sebegai berikut38:

PEMERINTAH MALAYSIA DAN REPUBLIK INDONESIA:

Berhasrat untuk memperkuat ikatan persahabatan yang telah terjalin lama antara kedua negara. Mengingat bahwa kerja sama yang efektif antara kedua negara dalam melaksanakan peradilan memerlukan diadakannya perjanjian tentang ekstradisi.

TELAH MENCAPAI PERSETUJUAN SEBAGAI BERIKUT: Pasal 1

KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI

Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Republik Indonesia bersepakat untuk saling menyerahkan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Perjanjian ini. Orang-orang yang dituntut oleh pejabat-pejabat yang berwenang dari pihak peminta karena melakukan kejahatan atau yang dicari oleh pejabat-pejabat tersebut untuk menjalani hukuman.

Sebagai pembuka, pasal ini pada dasarnya berisi kesepakatan dan tekad para pihak untuk saling mengesktradisikan setiap orang yang ditemukan di dalam wilayah masing-masing untuk dituntut atas kejahatan yang dilakukannya ataupun untuk pelaksanaan hukuman atau sisa hukuman atas kejahatan yang dilakukannya berdasarkan putusan dari badan peradilan yang berwenang yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Namun patut ditekankan bahwa semuanya itu dilakukan berdasarkan atas ketentuan-ketentuan dari perjanjian ekstradisi itu sendiri39.

Bahwa orang yang dicari atau dibutuhkan oleh negara peminta ternyata berada atau diduga berada dalam wilayah negara diminta. Dalam kenyataannya, ada banyak

38 Lihat di National International Bureau Indonesia, www.interpol.go.id, 13 Januari 2012.

3 9 I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya, Bandung, 2009, hlm 167.

(20)

macam faktor penyebab mengapa orang yang diminta bisa berada di dalam wilayah negara diminta. Dengan keberadaannya di wilayah negara diminta berarti dia tunduk pada kedaulatan teritorial dari negara diminta. Oleh karena itu, negara diminta memiliki yurisdiksi untuk menerapkan hukum nasionalnya terhadap orang yang diminta, misalnya mengambil tindakan terhadapnya antara lain, memberikan perlindungan kepadanya ataupun mengekstradisikannya kepada negara peminta, bahkan mengusirnya ke luar bila keberadaannya di negara diminta tidak dikehendaki. Tentang tempat dilakukannya kejahatan bisa saja dilakukan di wilayah negara peminta, atau di wilayah negara diminta, atau sebagian dilakukan di wilayah negara ketiga atau di suatu tenpat di luar wilayah negara manapun. Terpenting dalam hal ini adalah negara peminta memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan atau untuk melaksanakan hukuman atau sisa hukuman atas orang yang bersangkutan yang telah dijatuhkan oleh badan yang berwenang dari negara peminta.

Namun patut diingt bahwa semuanya itu harus memenuhi ketentuan-ketentuan ataupun persyaratan-persyaratan yang ditentukan di dalam perjanjian ekstadisi antara para pihak yang bersangkutan. Jika salah satu ketentuan atau persyaratan saja yang tidak terpenuhi meskipun yang lain terpenuhi maka pengesktradisian atas orang yang diminta itu tidak akan bisa dilakukan. Hal ini perlu ditekankan sebab masalah ekstradisi ini berkenaan dengan nasib seseorang yang tetap harus dijamin hak-hak asasinya dengan memberikan jaminan kepastian hukum baginya.

Penegasan tentang kewajiban untuk pengesktadisian ini di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi di tempat pada Pasal 1 meskipun dengan rumusan yang berbeda namun mengandung jiwa dan semangat yang sama, para pihak sepakat untuk saling megesktradisikan setiap orang yang diduga telah melakukan kejahatan atau setiap orang yang sudah dijatuhi hukuman dengan kekuatan mengikat yang pasti atas kejahatan telah dilakukannya yang tunduk pada yurisdiksi dari negara peminta.

(21)

5.2 Tempat Dilakukannya Kejahatan

Mengenai pengaturan tentang tempat dilakukannya kejahatan di dalam perjanjian ekstradisi, sebenarnya berkaitan dengan hak negara diminta untuk mengekstradisikan ataupun menolak mengekstradisikan orang yang diminta. Misalnya tempat dilakukan kejahatan di dalam wilayah negara diminta baik seluruhnya atau sebagian. Adapun substansi dari rumusan di dalam pasal yang mengaturnya adalah negara diminta dapat menolak untuk mengekstradisikan orang yang diminta jika berdasarkan hukum nasional negara diminta, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang diminta dan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengekstradisianya oleh negara peminta, seluruhnya ataupun sebagian dilakukan di wilayah negara diminta atau di suatu tempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya.

Tentang tempat terjadinya kejahatan, apakah seluruhnya atau sebagian dari kejahatan itu terjadi di dalam wilayah negara diminta, berkaitan erat dengan kemungkinan adanya yurisdiksi teritorial dari negara diminta terhadap kejahatan tersebut. Oleh karena itu, jika kejahatan terjadi baik seluruhnya ataupun sebagian di wilayah negara diminta dan negara diminta tentu saja memiliki yurisdiksi teritorial atas kejahatan itu, maka negara diminta ada kemungkinannya akan mengadili sendiri si pelakunya atau orang yang diminta, berdasarkan hukum pidana nasionalnya. Untuk itu, maka negara diminta berhak untuk menolak pengekstradisikan orang yang diminta kepada negara peminta, dengan kata lain tentangtempat dilakukannya kejahatan ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk menolak permintaan dari negara peminta.

Namun demikian ada pula kemungkinannya bahwa berdasarkan suatu pertimbangan tertentu negara diminta tidak akan mengadili sendiri pelakunya itu dan berpendapat sebaliknya, bahwa orang yang diminta akan lebih baik diadili oleh negara peminta. Jadi dalam hal ini, negara diminta memiliki dua alternatif yaitu menolak untuk memenuhi permintaan negara peminta dan dengan demikian akan mengadili sendiri orang yang diminta atau mengabulkan permintaan negara peminta dan mengekstradisikan orang yang diminta kepada negara peminta untuk selanjutnya diadili sendiri oleh negara peminta.

(22)

Sebagai contoh perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Malaysia yang mengatr tentang tempat dilakukannya kejahatan, sebagai berikut:

Pasal 5

TEMPAT KEJAHATAN DILAKUKAN

Pihak yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta karena kejahatan yang menurut hukum pihak yang diminta dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayahnya atau di tempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya.

Di dalam pasal jika tidak menegaskan tentang wilayah ini lebih rinci, maka pengertian wilayah secara umum harus didasarkan pada hukum internasional yaitu meliputi wilayah daratan dan tanah di bawahnya, wilayah perairan dan dasar laut dan tah di bawahnya dan wilayah ruang udara yaitu ruang udara di atas wilayah daratan dan wilayah perairan tersebut. Sedangkan secara khusus, pengertian wilayah adalah berdasarkan hukum nasional negara diminta, khususnya peraturan perudnang-undangannya yang berkenaan dengan wilayah negaranya jika negara itu sudah memilikinya.

5.3 Tentang Yurisdiksi

Tentang yurisdiksi kebanyakan perjanjian ekstradisi tidak mencantumkannya secara tegas dan khusus di dalam salah satu pasalnya. Akan tetapi secara tersimpul memang dapat ditemui adanya substansi tentang yurisdiksi di dalam beberapa ketentuan tertentu dari perjanjian ekstradisi. Hanya beberapa saja yang mencantumkan secara tegas dan khusus di dalam salah satu pasalnya.

Salah satu perjanjian ekstradisi yang secara tegas dan khusus mengatur tentang yurisdiksi adalah Konvensi Ekstradisi Antar Amerika 1981 pasal 2, ayat 1,2, dan 3. Dari pasal 2 ayat 1,2, dan 3 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ayat 1, supaya permintaan untuk pengekstradisian atas orang yang diminta dikabulkan oleh negara diminta, kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengekstradisiannya haruslah dilakukan di dalam wilayah dari negara peminta. Hal ini sudah selayaknya sebab dengan terjadinya kejahatan di dalam wilayahnya, maka negara peminta memiliki yurisdiksi teritorial untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya terhadap si pelaku dan atau atas kejahatannya itu.

(23)

Ayat 2, pengekstradisian juga akan dijamin oleh negara diminta bila kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan pengekstradisiannya kepada negara diminta dilakukan di luat wilayah negara peminta dengan ketentuan negara peminta harus memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut. Syarat keharusan adanya yurisdiksi dari negara peminta adalah penting, sebab dengan adanya yurisdiksi yang dimiliki oleh negara peminta maka negara peminta dapat menerapkan hukum pidana nasionalnya terhadap orang yang diminta dan atau kejahatannya. Jika negara peminta tidak memiliki yurisdiksi, dia tidak akan mengajukan permintaan untuk pengekstradisian orang yang diminta. Jika dia tetap mengajukan permintaan maka permintaan tersebut akan sia-sia karena negara diminta tentu akan menolaknya.

5.4 Bantuan Hukum dan Hak-hak Orang yang Diminta

Tentang bantuan hukum dan hak-hak orang yang diminta juga sangat jarang diatur di dalam perjanjian ekstradisi sebab masalah ini pada umumnya sudah diatur di dalam hukum nasional dari masing – masing negara, meskipun mungkin ada satu atau dua negara yang tidak mengaturnya. Akan tetapi jika ada perjanjian ekstradisi yang secara khusus mengaturnya, tentu sangat positif sebab hak-hak dari orang yang diminta maupun bantuan hukum yang diberikan oleh negara diminta secara tegas diakui di dalam perjanjian itu. Seyogyanya akan lebih baik lagi jika hukum nasional negara diminta juga sudah mengaturnya baik secara langsung atapun tidak langsung. Andaikata tidak atau belum ada pengaturannya di dalam hukum nasional negara diminta mengenai hak dan bantuan hukum bagi orang yang diminta, ketentuan dalam perjanjian ekstradisi itu dapat dijadikan sebagai landasan hukumnya.

5.5 Kejahatan Militer

Tentang kejahatan militer dikecualikan dari ekstradisi. Jadi, pelaku kejahatan militer tidak boleh diekstradisikan. Hal ini sudah lazim dicantumkan di dalam perjanjian ekstradisi atapun peraturan perundang-undangan nasional negara-negara tentang ekstradisi. Negara diminta jika menerima permintaan dari negara peminta dan ternyata menurut penilaian negara diminta, kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta pengekstradisian orang yang diminta oleh negara peminta adalah kejahatan militer, maka

(24)

negara diminta harus menolak permintaan negara peminta. Dengan kata lain orang yang diminta tidak boleh diekstradisikan.

5.6 Kejahatan Fiskal

Istilah fiskal berarti hal-hal yang berhubungan dengan keuangan40. Hal-hal yang berhubungan dengan keuangan, misalnya perpajakan, bea cukai, dan pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah di luar pajak dan bea cukai yang juga didasarkan pada peraturan perundang-undangan, seperti retribusi hasil bumi, hasil pertambangan, perpakiran, dan lainnya.

Masalah fiskal sepenuhnya merupakan masalah domestik masing-masing negara yang diatur dalam hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya. Dalam prakteknya terdapat pelbagai macam fiskal atau hal yang berhubungan dengan keuangan, sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Dalam bidang perpajakan,misalnya ada pajak bumi dan bangunan, pajak pendapatn, pajak penjualan, pajak pembelian, pajak kendaraan bermotor, dan lainnya.

Oleh karena masalah perpajakan sepenuhnya merupakan masalah nasional masing-masing negara, maka ada kemungkinan bahwa suatu obyek dikenakan pajak di suatu negara dan diatur di dalam undang-undanga pajak sedangkan di negara lain obyek yang sama tidak dikenakan pajak ataupun sebaliknya. Singkatnya meskipun semua negara mengenal hukum dan peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan tetapi obyek yang dikenakan pajak bisa saja berbeda antara negara yang satu dengan lainnya.

Demikian pula dalam masalah bea cukai, ada yang namanya bea masuk atas barang yang berasal dari luar negeri dan bea keluar atas barang dari dalam negeri yang keduanya disebut bea impor dan ekspor. Ada pula bea cukai yang dikenakan terhadap produk jenis barang tertentu, seperti Indonesia adalah rokok. Walaupun setiap negara memiliki kebijakan dalam masalah fiskal ini yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya masing-masing, tetapi jenis barang yang dikenakan bea atau cukai tersebut bisa saja berbeda antara negara yang satu dengan lainnya.

4 0 John M Ehols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia Utama, Cet.XXVIII, Jakarta, 2006, Hlm 244.

(25)

Sebagai contoh Indonesia mengenakan bea masuk ats barang-barang impor yang berupa buku-buku ilmu pengetahuan sedangkan negara lain ada yang sama sekali tidak mengenakan bea masuk sebab sangat dibutuhkan dalam rangka penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula Indonesia mengenakan cukai atas rokok sedangkan negara lain tidak mengenakannya sebab sama sekali tidak memproduksi rokok.

5.7 Kejahatan yang Diancam dengan Hukuman Mati

Tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati kini sudah lazim dicantumkan di dalam perjanjian dan peraturan perundangan nasional tentang ekstradisi. Pada dasarnya isi pokok pengaturannya adalah permintaan untuk pengekstradisian orang yang diminta oleh negara peminta harus ditolak oleh negara diminta, bila kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengekstradisian orang yang diminta diancam dengan hukuman mati menurut hukum negara diminta.

Bahkan kini penolakan untuk pengekstradisian berdasarkan alasan hukuman mati sudah diperluas, yaitu tidak saja karena kejahatan itu tidak diancam hukuman mati menurut hukuman pidana negara diminta, teteapi juga bila hukuman pidana negara diminta sama-sama mengancamnya dengan hukuman mati. Hukuman mati tersebut tetapi sudah agak jarang dijatuhkan terhadap si pelakunya. Dengan kata lain, ancaman hukuman mati secara de facto sudah dihapuskan dari hukuman pidananya, meskipun secara de jure

belum dihapuskan. Dengan ketentuan ini, maka orang yang diminta terhindarkan dari ancaman ataupun penjatuhan hukuman mati oleh negara peminta.

Dengan penolakan ini, berarti orang yang diminta mendapat perlindungan atau suaka dari negara diminta. Jika negara diminta juga memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang yang diminta atas kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengekstradisiannya oleh negara peminta, seharusnyalah negara diminta mengadili sendiri orang yang bersangkutan dan jika terbukti bersalah akan dijatuhi hukuman pidana yang bukan hukuman mati. Dengan demikian, maka pulihkanlah kesadaran hukum dan rasa keadilan dari korban dan anggota keluarganya serta masyakarat luas di negara

(26)

tempat terjadinya kejahatan itu atau negara peminta, walaupun dalam prakteknya kadang-kadang tidak sepenuhnya memuaskan mereka41.

5.8 Tentang Wilayah Masing-masing Pihak

Tidak setiap perjanjian ekstradisi mengatur secara khusus tentang ruang lingkup wilayah negara ini. Hanya ada beberapa saja yang mengaturnya. Pengertian wilayah negara peserta tidak selalu sama dengan pengertian wilayah negara dalam pengertian hukum internasional pada umumnya. Dalam hukum internasional, wilayah negara meliputi wilayah daratan dan tanah di bawahnya, wilayah perariran yaitu bagian perairan (laut) yang berdasarkan Konvensi Hukum teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di bawah perairan teritorial serta ruang udara di atas wilayah daratan dan wilayah perairan tersebut. Sedangkan dalam perjanjian ekstradisi pengertian wilayah itu bisa saja lebih luas ataupun sempit, tergantung pada kesepakatan antara para pihak.

Arti penting dari adanya penegasan tentang wilayah negara ini adalah berkaitan dengan tempat terjadinya kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengekstradisian orang yang diminta. Di samping itu, tempat terjadinya kejahatan itu berkaitan dengan adanya yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi teritorial dari negara peminta untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya. Oleh karena memiliki yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi teritorial atas suatu kejahatan maka negara peminta berhak untuuk mengajukan permintaan untuk pengektradisian orang yang diminta.

5.9 Ruang Lingkup Teritorial Berlakunya Perjanjian Ekstradisi

Mengenai ruang lingkup teritorial berlakunya perjanjian ekstradisi, memang untuk sebagian ada kaitannya dengan pengertian wilayah. Hubungan itu tampak apabila berkenaan dengan terjadinya kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengektradisianya oleh negara peminta kepada negara diminta, yaitu kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya dimana pada obyek-obyek yang diperlakukan sebagai wilayahnya dimana negara peminta memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut. Sedangkan jika kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengekstradisian

(27)

terjadi di luar wilayah atau di luar dari obyek-obyek yang diperlakukan sebagai wilayah dari negara peminta tetapi negara peminta memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut, maka dalam hal ini jelas tidak terkait dengan ruang lingkup teritorial dari berlakunya perjanjian ekstradisi.

5.10 Tentang Pengampunan

Beberapa perjanjian ekstradisi mencantumkan pengampunan sebagai salahs atu alasan oleh negara diminta untuk menolak mengeksrradisikan orang yang diminta kepada negara peminta. Dalam konteks hukum, pengampunan diberikan oleh pemerintah yang sedang berkuasa dalam suatu negara kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan baik atas kejahatannya tersebut orang yang bersangkutan belum dijatui hukuman ataupun sudah dijatuhi hukuman bahkan hukumannya itupun kemungkinan juga sudah dijalaninya.

Dengan demikian ada dua kategori seseorang yang bisa diberikan pengampunan oleh pemerintah suatu negara, yaitu:

a.Seseorang yang dituduh atau didakwa telah melakukan suatu kejahatan apapun peranannya, apakah membantu, turut serta melakukan suatu kejahatan ataupun percobaan melakukan kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau;

b. Seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti dan dalam beberapa kasus, hukuman itu juga sudah dan sedang dijalani oleh orang yang bersangkutan (terhukum).

Syarat paling utama yang harus dipenuhi suatu negara untuk dapat memberikan pengampunan adalah negara tersebut, haruslah memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dituduhkan ataupun didakwakan ataupun kejahatannya yang telah dijatuhi hukuman. Jika negara itu tidak memiliki yurisdiksi tentu saja tidak bisa memberikan pengampunan.

Oleh karena pengampunan diberikan oleh pemerintah suatu negara kepada seseorang pelaku kejahatan maka pengaturannyapun berada dalam ruang lingkup hukum nasional masing-masing negara. Dalam hukum nasional negara, dikenal pelbagai macam pengampunan yang bisa diberikan oleh pemerintah negara itu kepada seseorang pelaku

(28)

kejahatan. Misalnya, di dalam hukum nasional Indonesia dikenal apa yang disebut dengan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Adolf Huala,1990, Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Grafindo, Bandung. Antaranews, Indonesia Inginkan Terwujudnya Perjanjian Ekstadisi antar ASEAN,

22 Mei 2007.

B.A Wortley,1971, Political Crime in English Law and in International Law dalam The British year Book of International Law.

Chairul Anwar, 1988, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan,Jakarta.

Cristine van der Wyngaert, 2000, International Criminal Law: A Collection of International and European Instruments, Second Revised Edition, Kluwer Law International, The Hague, London, Boston.

C.Oppenheim, 1960, International Law, a Treastie, 8th edition.

FX Adji Samekto dan Doddy Kridasaksana, Negara Dalam Tata Tertib Hukum Internasional, Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Internasional Lanjut, Fakultas Hukum Universitas Semarang, Semarang.

In Re Westerling: Singapore Supreme Court 1951, Bahan Case Study Hukum Internasional, Pendidikan Lanjutan Hukum Internasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1975.

Ivan Anthony Sherarer, 1971, Extradition in International Law, Manchester University Press, Oceana Publication Inc.

I Wayan Parthiana, 1990, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung.

I Wayan Parthiana,2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Cetakan I, Yrama Widya, Bandung.

I Wayan Parthiana, 2009, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern,Cetakan I, Yrama Widya,Bandung.

JE Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, disertasi, Alumni Bandung, Bandung.

J.G Starke, 1989, Introduction to International Law, 10th edition, Butterworths, London.

(30)

John M Ehols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia Utama, Cet.XXVIII, Jakarta, 2006,

M.Budhiarto, 1980, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

M Cherif Bassiouni, 1986, International Criminal Law, Vol I, Crimes, Transnational Publishers Inc, Dobbs Ferry, New York.

May Rudi, 2001, Internasional, Refika, Bandung.

National International Bureau Indonesia, www.interpol.go.id, 13 Januari 2012. O’Connell, DP, 1965, International Law, Volume II, Butterworths, London.

Roberto Novrianto, 2005, Perlindungan Hukum dan HAM Bagi Warga Negara Terhadap Masalah Ekstradisi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Semarang, Semarang.

Sugeng Istanto, Hukum Inernasional, Universitas Atmajaya, Jogyakarta, 1994

Sulaiman Nitiatma, 1996, Hukum Internasional Teritorialitas (Buku Pedoman Mahasiswa S1 Ilmu Hukum), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Referensi

Dokumen terkait

Strukturisasi elemen sistem kelembagaan jaminan mutu pasokan bahan baku industri gelatin menggunakan pendekatan teknik Interpretive Structural Modeling (ISM). Proses strukturisasi

18 Kita tahu bahwa orang yang telah menerima hidup baru dari Allah tidak terus-menerus berbuat dosa; Dia yang datang dari Allah memelihara dirinya dan si jahat tidak dapat

Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki

Pada tahun 2011 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang, melalui program beasiswa dari Pusat Pembinaan

perusahaan tempat bekerja kepala rumah tangga/anggota rumah tangga baik dengan membayar sewa maupun tidak. Jika kepala rumah tangga/anggota rumah tangga tidak bekerja lagi pada

- Melakukan dispersi sampel 1:10, disperse dapat dilanjutkan apabila diperlukan (jika jumlah koloni sebelumnya diduga tinggi) dengan menyiapkan plate-plate dari suatu

Ketika seseorang bisa menjaga lima indra, menjaga pikiran dan menjaga hati, ia mampu melawan godaan yang mencoba masuk ke dalam hati, memiliki kekuatan untuk mengendalikan

Perusahaan (warnet P@S.NeT), diharapkan agar hasil penelitian dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan terhadap Harga yang harus diberlakukan serta memperbaiki