• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Proses Mengampuni pada Individu yang Mengalami Pengasuhan Buruk Orangtua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambaran Proses Mengampuni pada Individu yang Mengalami Pengasuhan Buruk Orangtua"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Gambaran Proses Mengampuni pada Individu

yang Mengalami Pengasuhan Buruk Orangtua

Sri Florina Laurence Zagötö Stefanus Soejanto Sandjaja1

Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Krida Wacana

Abstract.This study aimed to obtain a complete picture and will complete the real state of the individual in his suffering, discovery of meaning, and the process of forgiveness that has been going on self nurturing individuals who have bad parents. This study used qualitative methods and consisted of three women with the varied subject of different ages. The study explained that the process of forgiveness can take place because of the existence of a meaning that is found in an individual suffering, so as to bring to life meaningful.

Keywords: forgiveness, nurturing, parent

Pendahuluan

Pengalaman masa lampau, meskipun sudah berlalu tetap berperan penting di masa depan, sehingga masa lampau tidak dapat diabaikan. Seperti yang ditemukan dalam penelitian Finzi-Dottan dan Karu (2006), bahwa terdapat hubungan antara peristiwa penderitaan yang dialami di masa kecil dengan gangguan kepribadian dan perilaku menyimpang di usia dewasa. Temuan tersebut memperlihatkan cara pengasuhan orang tua terhadap perkembangan anak selanjutnya. Seperti ditegaskan oleh Bavolek (2000), pengasuhan orang tua merupakan proses penting dalam pertumbuhan anak karena akan memberikan pengalaman-pengalaman yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.

Lebih lanjut, Bavolek (2000) membedakan pengasuhan (nurturing) berdasarkan kualitas, yaitu baik (good) dan buruk (bad). Pengasuhan yang baik atau diinginkan (desirable) berwujud pada perlakuan-perlakuan yang melibatkan sentuhan dengan kasih sayang, empati dan pujian, serta dukungan tanpa syarat yang menimbulkan perasaan-perasaan positif pada anak. Di sisi lain, pengasuhan yang buruk atau tidak diinginkan (undesirable) dapat berbentuk penyiksaan seperti memukul,

meremehkan, mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar, dan tindakan lainnya yang dapat menurunkan harga diri anak, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap

(2)

kesehatan anak. Pengasuhan-pengasuhan semacam ini telah memberikan pengalaman-pengalaman negatif yang tersimpan dalam ingatan anak. Menurut Fletcher dan Clark (2000), pengalaman-pengalaman negatif yang disimpan tidak hanya berupa ingatan-ingatan akan kejadian di masa lalu tetapi juga meliputi emosi-emosi yang timbul dari pengalaman itu, bahkan hal-hal yang timbul kemudian seperti kekecewaan, kemarahan, dan mungkin dendam.

Dari temuan-temuan di atas dapat dipahami bahwa pengalaman buruk di awal kehidupan seorang anak akan menimbulkan pengaruh-pengaruh yang merugikan bagi perkembangannya. Menurut Smedes (1984) pada sejumlah anak-anak tertentu pengaruh-pengaruh itu berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya dan dapat berlangsung hingga akhir kehidupannya. Secara sadar atau tidak sadar, pengalaman dan emosi yang negatif menjadi kepedihan (pain) dan penderitaan bagi orang yang mengalaminya. Penderitaan ini bisa mengganggu individu yang mengalaminya dan pada prosesnya dapat mempengaruhi lingkungan individu itu (Bastaman, 1996). Pengalaman individu atas pengasuhan buruk orangtua juga dapat menjadi gangguan bagi hubungan individu dengan orangtua. Oleh sebab itu, diperlukan suatu cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan intrapsychic individu dan gangguan hubungan dengan orangtua, yaitu dengan cara memaafkan (forgiving) orangtua yang telah menyakiti. Lantas, bagaimanakah gambaran pengampunan pada individe yang mengalami pengasuhan buruk orang tua?

Pengampunan

Menurut Schimmel (2002) pemaafan atau pengampunan adalah tindakan sosial yang terjadi antara dua belah pihak dan merupakan suatu langkah pemulihan hubungan di antara mereka kepada keadaan semula sebelum terjadi kesalahan. Dengan mengampuni, berarti orang yang tersakiti tidak akan mencari pembalasan atau menuntut ganti rugi lebih lanjut. Menurut Grosskopf (dalam Mccullough, Sandage, Worthington, 1997), pengampunan juga memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan. Apabila tidak mau mengampuni, individu akan menyimpan rasa sakit. Perasaan sakit itu akan berlangsung terus dan tidak terhentikan (Smedes, 1984).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengampunan merupakan cara terbaik untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam diri dan memperbaiki hubungan

(3)

antara orangtua dan anak, akibat pengalaman pengasuhan buruk yang pernah dialami. Hasil penelitian yang diharapkan adalah penjelasan mengenai gambaran pengasuhan buruk yang dialami individu, nilai-nilai dan makna penting yang membawa individu kepada langkah pengampunan, serta proses pengampunan yang telah terjadi.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif sebagai metode yang mengacu pada pembahasan masalah dan fenomena yang telah dikemukakan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai proses pengampunan individu yang mengalami pengasuhan buruk orangtua melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan secara kualitatif dilakukan dan diupayakan untuk dapat mengenali kondisi sosial yang kompleks, bervariasi dan tidak statis, dengan memberi penekanan pada dinamika dan proses, serta lebih memfokuskan pada variasi pengalaman dari individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda (Patton, 1990). Dengan penelitian kualitatif, dapat ditangkap arti, definisi, dan deskripsi dari sisi pandang orang mengenai sebuah kejadian (Minichiello, Aroni, Timewell, & Alexander, 1996).

Jumlah subjek dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang. Tiga subjek tersebut dipilih karena merupakan individu dengan kasus yang sama, yaitu memiliki pengalaman pengasuhan buruk orangtua, diasuh oleh orangtua kandung atau wali sekurang-kurangnya lima tahun, dan sudah mengampuni. Lebih lanjut lagi, metode wawancara dan observasi digunakan dalam penggalian data. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara individu secara mendalam (individual depth interview) dengan pedoman wawancara terstruktur, agar tetap fokus pada persepsi partisipan terhadap pengalamannya, yaitu pengampunan atas pengasuhan buruk orangtua yang pernah dialami. Sementara itu, data-data yang dihasilkan dari observasi diharapakan mampu menjadi data penunjang untuk menganalisis data yang dihasilkan dari wawancara.

(4)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tabel 1

Gambaran Umum Subjek

Tabel 2

Analisa banding Proses Pengampunan Antar Subjek

PROSES PENGAMPUNAN Subjek Y Subjek E Subjek D

No. I. Fase Pengungkapan Diri

1. Pemeriksaan pertahanan diri (defenses) secara

psikologis. X x X

2. Konfrontasi kemarahan, melepaskan dan tidak

menahan kemarahan. ─ x ─

3. Pengakuan rasa malu bila diperlukan. X x X

4. Kesadaran akan cathexis. X x x

5. Kesadaran akan ingatan yang terus berulang. X x x

6.

Pemahaman bahwa orang yang terluka mungkin membandingkan dirinya dengan yang melukai.

X x x

7.

Kesadaran bahwa diri dapat berubah secara permanen karena kejadian yang melukai tersebut.

X x x

8. Pandangan yang terluka terhadap keadilan

dunia mungkin berubah. X x x

Keterangan Subjek

Y E D

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan Usia 21 tahun 21 tahun 27 tahun

Agama Kristen Kristen Kristen

Status Single Single Single

Pendidikan Akademi Universitas Universitas

Anak ke- dari Lama 7 dari 7 5 - 6 tahun 1 dari 2 8 – 9 tahun 1 dari 2 9 -10 tahun Pengasuhan buruk

(5)

No.

II. Fase Keputusan

9.

Terdapat perubahan pemahaman baru bahwa strategi penyelesaian masalah yang telah digunakan tidak berfungsi.

X x x

10. Kerelaan untuk mempertimbangkan

pengampunan sebagai pilihan. X x x

11. Janji untuk mengampuni pelaku. ─ x ─

No. III. Fase Kerja

12.

Perangkaan ulang melalui pengambilan peran pelaku dengan memandang pelaku dalam konteks dirinya.

X x x

13. Empati dan perasaan iba kepada pelaku. ─ x x

14. Penerimaan rasa sakit hati. X x x

15. Memberi pesan moral ke pelaku. ─ x x

No.

IV. Fase Pendalaman

16.

Menemukan arti untuk diri sendiri dan orang lain dalam penderitaan dan dalam proses pengampunan. x x x x x ─

17. Kesadaran bahwa diri sendiri memerlukan

pengampunan dari orang lain di masa lalu. X x x

18. Pemahaman bahwa dirinya tidak sendiri

(universality, support). X x ─

19. Kesadaran bahwa diri dapat memperoleh suatu

tujuan hidup baru karena rasa sakit hati. X x x

20.

Kesadaran akan kemunculan afek negatif dan mungkin juga peningkatanafek positif terhadap pelaku; suatu kesadaran internal dan pelepasan emosi.

(6)

Kelangsungan proses pengampunan model pengembangan Enrich et al. (1998) pada ketiga subjek dapat terlihat melalui skema di atas bahwa terdapat tahapan-tahapan proses yang telah dilalui oleh ketiga subjek tersebut. Seluruh tahapan dalam model proses tersebut dapat terungkap pada ketiganya. Secara menyeluruh dapat dikatakan kelangsungan proses pada ketiganya memiliki kesamaan pola tahapan yang telah dilalui dari awal proses, yaitu fase pengungkapan hingga proses akhir pada fase pendalaman. Akan tetapi, secara rinci dapat terlihat adanya perbedaan pada ketiga subjek dalam keseluruhan tahapan tersebut.

Pada fase pengungkapan ketiga subjek menyadari akan kesakitannya dan situasi dirinya (Kiel dalam Worthington, 1998), kemarahan dan rasa benci serta dendam yang tersimpan (Droll, 1984, dalam Worthington, 1998) serta memahami keadaan dirinya atas pengasuhan buruk orangtua yang telah dialaminya. Dalam fase pengungkapan ini subjek Y dan subjek D tidak melepaskan kemarahan yang dimilikinya, sedangkan subjek E melakukan tindakan yang mencetuskan kesakitan dirinya sehingga pada waktu tersebut subjek E telah merasakan kebebasan dan kepuasannya.

Pada fase pengungkapan, ketiganya menyadari perlunya perubahan pada cara dirinya dalam menyelesaikan atau membersihkan kesakitan yang dimiliki tersebut. Pasa fase ini ketiganya juga memiliki kerelaan untuk mempertimbangkan pengampunan. Akan tetapi, dalam komitmen mengampuni hanya dilakukan oleh subjek E, tidak pada subjek Y dan D.

Dalam fase kerja, ketiganya dapat memahami keadaan orangtuanya sehingga ketiganya juga telah mampu mengatasi dan menerima kesakitan hatinya pada masa lalu (Bergin dalam Worthington, 1998). Akan tetapi, dalam berempati dan memiliki rasa kasihan, serta memberikan pandangan-pandangan kebenaran dirinya secara langsung kepada pelaku hanya dilakukan oleh subjek E dan D, sedangkan subjek Y tidak melakukannya.

Selanjutnya pada fase pendalaman, yakni ketiganya dapat menemukan arti dari penderitaannya bagi dirinya sendiri dan menemukan arti bagi orang lain hanya diperoleh oleh subjek Y dan E. Ketiganya juga meyakini adanya tujuan yang dapat mereka peroleh dalam pengalaman ini dan mengakui perlunya suatu pengampunan. Dukungan orang lain yang membantu dalam kelangsungan proses tersebut dimiliki oleh subjek Y dan E, sedangkan subjek D tidak merasakan dukungan orang lain yang dapat membantu dirinya.

(7)

Dari perbandingan ketiga subjek tersebut, maka dapat terlihat perbedaan masing-masing proses yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Proses pengampunan subjek Y berlangsung tanpa pelepasan kesakitan dan kemarahan yang dimiliki dan tanpa tumbuhnya komitmen dirinya untuk mengampuni. Selain itu, subjek Y tidak memiliki perasaan empati dan iba, sehingga ia tidak menunjukkan pesan moralnya kepada pelaku. Menurut pandangan dalam paduan dimensi pengampunan, maka subjek Y melaksanakan pengampunan intrapersonal tanpa interpersonal, yaitu menghilangkan kemarahan dan kesakitannya tanpa mengungkapkan pada pelaku kesalahan. Oleh karena itu, dapat dikategorikan berada dalam pengampunan Silent Forgiveness (Worthington, 1998).

Proses pengampunan subjek E berlangsung pada seluruh tahapan pada fase-fase pengampunan tersebut. Subjek E melakukan pelepasan kemarahannya dan kesakitan hatinya yang telah lama dipendamnya, sehingga subjek E merasakan keterbebasannya dari belenggu kesakitannya tersebut dan menyatakan komitmen dirinya untuk mengampuni. Pengampunan subjek E dilakukan di dalam dirinya (intrapersonal) dan dinyatakannya pada ayahnya (interpersonal), sehingga dapat dikategorikan dalam Total Forgiveness.

Sementara itu, proses pengampunan subjek D berlangsung tanpa pelepasan emosi rasa sakit hatinya, dan juga tidak muncul komitmen dirinya untuk mengampuni ibunya, serta tidak terdapatnya orang yang membantu mendukung dirinya. Sikap pengampunan yang dilakukan oleh subjek D didasari oleh rasa iba dan kasihan terhadap kondisi ibunya, sehingga pengampunan yang dilakukan belum sepenuhnya terjadi di dalam diri subjek D. Subjek D mengatakan pengampunan dirinya kepada pelaku (interpersonal), akan tetapi sesungguhnya dirinya (intrapersonal) tidak merasakan pengampunan tersebut. Pengampunan subjek D ini dikategorikan sebagai Hollow Forgiveness.

Dengan demikian, analisa proses pengampunan pada ketiga subjek tersebut dapat menunjukkan adanya keadaan yang menginginkan suatu proses pengampunan.

(8)

Suatu makna yang ditemukan dalam penderitaan seseorang merupakan suatu aspek pendorong bagi kelangsungan proses pengampunan yang pada akhirnya membawa seseorang tersebut kepada kehidupan bermakna. Dari data yang diperoleh pada ketiga subjek terlihat adanya penemuan makna, proses pengampunan, dan kehidupan bermakna subjek.

Secara keseluruhan perumusan proses penemuan makna penderitaan dan proses pengampunan serta kehidupan bermakna pada ketiga subjek dimulai pada waktu pengalaman pengasuhan buruk, yaitu keadaan menderita dan hidup tanpa makna. Pada ketiga subjek keadaan penderitaan diperoleh dari pengalaman pengasuhan buruk orangtua sejak masa pengasuhannya. Suatu pengalaman masa kecil merupakan suatu aspek penting dalam kehidupan mendatang seseorang. Suatu pengalaman masa kecil terutama pola asuh dan relasi dalam keluarga ternyata menentukan sikap dan pola tindakan seseorang dalam menghadapi berbagai pengalaman tragis dalam kehidupannya (Bastaman, 1996).

Dari data ketiga subjek yang diperoleh terungkap bahwa ketiga subjek memiliki waktu-waktu dalam usia yang sama ketika dimulainya pengalaman penderitaannya yakni usia antara 4 hingga 7 tahun, yaitu saat dimana perkembangan suatu ingatan dimulai. Kesadaran akan penderitaannya yang dimilikinya sejak kecil pada ketiga subjek juga timbul pada waktu atau masa yang sama, yakni masa remaja awal di usia 15 hingga 18 tahun.

Dalam penemuan makna terlihat adanya kecenderungan yang besar akan timbulnya pemahaman diri sebelum memunculkan makna dari penderitaan yang sedang dialami yang terlihat pada ketiga subjek. Demikian pula pada pengubahan sikap terdapat kecenderungan muncul setelah ditemukannya makna dalam penderitaan tersebut.

Dalam proses pengampunan pada ketiga subjek terlihat adanya kecenderungan bahwa proses pengampunan dimulai setelah adanya pengubahan sikap dan pada subjek D terlihat perbedaan dari kecenderungan tersebut, yakni dimulainya proses pengampunan tanpa munculnya pengubahan sikap dirinya. Pada subjek D proses pengampunannya dimulai karena adanya pengubahan sikap ibunya sebagai pelaku terhadap dirinya dan di waktu kemudian kondisi ibunya yang sakit parah yang akhirnya memunculkan proses pengampunan pada diri subjek D. Pada proses pengampunan yang berlangsung pada ketiga subjek terlihat adanya ketetapan akan munculnya perubahan kepada kehidupan bermakna.

(9)

Dengan demikian suatu proses pengampunan pada seseorang dapat dimulai setelah ditemukannya makna oleh orang tersebut pada waktu mengalami penderitaan akibat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Suatu makna yang ditemukan dapat membawa pada suatu pengaubahan sikap yang dapat menjadi pendorong mempercepat kelangsungan proses pengampunan pada dirinya. Ditemukannya suatu makna pada diri seseorang dapat didahului oleh terjadinya pemahaman-pemahaman orang tersebut akan dirinya dan orang lain serta lingkungan sekitarnya.

Pemahaman diri merupakan salah satu komponen penentu perubahan kehidupan bermakna (Bastaman, 1996). Komponen pemahaman diri ini adalah kesadaran individu akan penderitaannya merupakan juga salah satu unsur yang ada pada proses awal pengampunan, yakni pada fase pengungkapan diri. Dengan demikian unsur kesadaran akan penderitaan pada proses pengampunan dapat digabungkan ke dalam komponen pemahaman diri.

Di samping itu, komponen pengubahan sikap pada perubahan kehidupan bermakna pada awal penderitaan diartikan sebagai pengubahan sikap atas penderitaan yang dialami adalah kelanjutan dari komponen pemahaman diri dan komponen penemuan makna penderitaan. Maka ketiga komponen itu dapat dipahami sebagai suatu rangkaian yang saling berkaitan yang akhirnya membawa kepada proses pengampunan pada fase keputusan untuk mengampuni.

Kelangsungan proses pengampunan dalam fase-fase pengungkapan, fase keputusan, fase kerja, dan fase pendalaman pada akhirnya membawa kepada perubahan kehidupan bermakna melalui komponen selanjutnya, yakni keikatan diri, kegiatan terarah, dan dukungan sosial.

(10)

Daftar Pustaka

Bastaman, H. D. (1996). Meraih hidup bermakna. Jakarta: Paramadina.

Bavolek, S. J. (2000). The nurturing parenting program. Juvenile Justice and Delinquency Prevention Bulletin, 1-11.

Finzi-Dottan, R. & Karu, T. (2006). From emotional abuse in childhood to psychopathology in adulthood: A path mediated by immature defense mechanism and self-esteem. Journal of Nervous and Mental Disease, 194(8), 616-621.

Fletcher, G. J. O., & Clark, M. S. (2003). Interpersonal process. Massachusetts: Black Publisher.

McCullough, M. E. Sandage, S. J., & Worthington Jr., E. L. (1997). How to put your past in the past: to forgive is human. Illnionis: InterVarsity.

Minichiello, V., Aroni, R., Timewell, E., & Alexander, L. (1996). In-depth interviewing: principles, techniques, analysis (2nd ed.). Melbourne: Addison Wesley Longman

Australia.

Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods (2nd ed.). London: SAGE Publications.

Schimmel, S. (2002). Wounds-not-healed by time; the empower of repentance and forgiveness. New York: Oxford University.

Smedes, L. B. (1984). Forgive and forget; healing the hurts we don’t deserve. San Fransisco: Harper and Row.

Worthington, Jr., E. L. (1998). Empirical research in forgiveness: looking backward, looking forward. Dalam Worthington E. L. (Ed). Dimensions of forgiveness; psychological research & technological perspectives. Pennysylvania: Templeton Foundation.

(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengiriman ikan kerapu hidup dipengaruhi oleh sistem pengeluaran kotoran (zat amonia) yang dihasilkan oleh ikan, dimana suhu yang tinggi menyebabkan ikan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh subtitusi minyak sawit oleh minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam ransum ayam broiler terhadap

Artinya, bersama-sama mengembangkan program dan kegiatan untuk masyarakat luas makin peduli terhadap masalah-masalah sosial dan dengan kemampuan yang makin mandiri memberikan

Ekstrak buah mahkota dewa memberikan nilai zona hambat yang tinggi karena mampu menyaring senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin lebih banyak, sehingga mampu

[r]

acara silaturahmi Idul Fitri PDM Sumedang. Foto ini merupakan dokumen milik PDM Sumedang yang diambil pada tanggal 12 Oktober 2008. 20) Foto jamaah Muhammadiyah di acara

Jatinangor, 3 Juli 2011 a.n Dekan. Pembantu Dekan

Penggunaan yang tercantum dalam Lembaran Data Keselamatan Bahan ini tidak mewakili kesepakatan pada kualitas bahan / campuran atau penggunaan yang tercantum sesuai dalam kontrak.