BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kelapa
Kelapa merupakan tanaman tropis yang penting bagi negara-negara Asia dan Pasifik. Kelapa disamping dapat memberikan devisa bagi negara juga merupakan mata pencaharian jutaan petani, yang mampu memberikan penghidupan puluhan juta keluarga.
Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1976, negara-negara di Asia dan Pasifik menghasilkan 82% dari produksi kelapa dunia, sedangkan sisanya oleh negara di Afrika dan Amerika Selatan (Suhardiyono L.,1999).
Gambar 2.1. Pohon kelapa
nutrisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan, perkembangbiakan bakteri Acetobacter
xylinum. Untuk Pertumbuhan dan aktivitasnya, Acetobacter xylinum membutuhkan
unsur makro dan mikro. Unsur makro terdiri atas karbon dan nitrogen.
Sebagian dari kebutuhan akan karbon tersebut dapat diperoleh dari dalam air kelapa dalam bentuk karbohidrat sederhana, misalnya sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lainnya. Sementara nitrogen juga dapat diperoleh dari protein yang terkandung dalam air kelapa, meskipun dalam jumlah yang kecil.
Air kelapa yang baik adalah yang diperoleh dari kelapa setengah tua, yaitu tidak terlalu tua dan tidak pula terlalu muda. Dalam air kelapa yang terlalu tua, terkandung minyak dari kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bibit nata
Acetobacter xylinum.
Sebaliknya, air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral yang cukup di dalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan sebagai bahan pembuatan nata (Pambayun R.,2002).
Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua Sumber air kelapa
(dalam 100 g)
Air kelapa muda (%)
Air kelapa tua (%) Kalori 17,0 kal - Protein 0,2 g 0,14 g Lemak 1,0 g 1,50 g Karbohidrat 3,8 g 4,60 g Kalsium 15,0 mg - Fosfor 8,0 mg 0,50 g Besi 0,2 mg - Asam askorbat 1,0 mg - Air 95,5 g 91,50 g
Bagian yang dapat dimakan
100 g -
2.2 Acetobacter
Acetobacter sp. adalah bakteri yang digunakan untuk membuat cuka. Dalam
pembuatan cuka, gel seperti membran selalu ditemukan pada permukaan larutan. Material ini berkembang menjadi selulosa. Selulosa ini difermentasi oleh bakteri yang dinamakan selulosa bakteri (Philip G.O. dan William P.A.,2000).
2.2.1 Jenis-jenis Acetobacter
Adapun jenis-jenis bakteri Acetobacter adalah sebagai berikut :
a. Acetobacter acetii, ditemukan oleh Beijerinck pada tahun 1898. Bakteri ini penting dalam produksi asam asetat, yang mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat. Banyak terdapat pada ragi tapai, yang menyebabkan tapai yang melewati 2 hari fermentasi akan menjadi berasa masam.
b. Acetobacter xylinum, bakteri ini digunakan dalam pembuatan nata de coco.
Acetobacter xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang dikonsumsi.
Nata yang dihasilkan berupa pelikel yang mengambang dipermukaan substrat. Bakteri ini juga terdapat pada produk kombucha yaitu fermentasi dari teh (Hidayat,2007).
2.2.2 Acetobacter xylinum
Bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter, yang mempunyai ciri – ciri antara lain : ”sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospora, sel – selnya bersifat gram negatif, bekerja secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil (Pelczar dan Chan,1988).
Bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan berkembang membentuk nata (krim) karena adanya kandungan air sebanyak 91,23%, protein 0,29%, lemak 0,15%,
nutrisi-nutrisi berupa sukrosa, fruktosa, dan vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat 0,01 µg, asam patrotenat 0,52 µg, biotin 0,02 µg, riboflavin 0,01 µg, dan asam folat 0,003 µg per ml, nutrisi-nutrisi tersebut merangsang pertumbuhan
Acetobacter xylinum untuk membentuk nata de coco (Moss M.O., 1995).
Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Bakteri Acetobacter xylinum mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian. Adapun tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal dapat dilihat pada gambar 2.2
waktu
Gambar 2.2 Tahap-tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal
Keterangan:
a. Fase adaptasi
Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter xylinum tidak langsung tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase
a f d Bobot sel Bobot nata Pertumbuhan Acetobacter xylinum
Pembentukan nata b c e g a f
adaptasi bagi Acetobacter xylinum dicapai antara 0 – 24 jam atau ± 1 hari sejak inokulasi.
b. Fase pertumbuhan awal
Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam.
c. Fase pertumbuhan eksponensial
Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter xylinum, fase ini dicapai dalam waktu antara 1- 5 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyak – banyaknya, untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa.
d. Fase pertumbuhan diperlambat
Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi yang telah berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua.
e. Fase stasioner
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.
f. Fase menuju kematian
Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya.
g. Fase kematian
Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari dase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat di dalamnya (Nurwantoro,1977).
2.2.3. Sifat-sifat Acetobacter xylinum 1. Sifat Morfologi
Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai
panjang 2 mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 6 – 8 sel.
Bakteri ini tidak membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose.
2. Sifat Fisiologi
Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil alkohol, dan propil alkohol, tidak membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. Sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan mempolimerisasi glukosa hingga menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata. Faktor – faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan nata adalah ketersediaan nutrisi, derajat keasaman, temperatur, dan ketersediaan oksigen.
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum
Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi nutrisi, adalah sebagai berikut: a. Sumber karbon
Sumber karbon yang dapat digunakan dalam fermentasi nata adalah senyawa karbohidrat yang tergolong monosakarida dan disakarida. Sementara yang paling banyak digunakan berdasarkan pertimbangan ekonomis, adalah sukrosa atau gula pasir.
b. Sumber nitrogen
Sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan yang baik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum dan pembentukan nata adalah ekstrak yeast dan kasein. Namun, amonium sulfat dan amonium fosfat (di pasar dikenal dengan ZA) merupakan bahan yang lebih cocok digunakan dari sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan. Banyak sumber N lain yang dapat digunakan dan murah seperti urea.
c. Tingkat keasaman (pH)
Meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5 – 7,5 , bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH 4,3). Jika kondisi lingkungan dalam suasana basa, bakteri ini akan mengalami gangguan metabolisme selnya.
d. Temperatur
Adapun suhu ideal (optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum adalah 280C – 310C. Kisaran suhu tersebut merupakan suhu kamar. Pada suhu di bawah 280C, pertumbuhan bakteri terhambat. Demikian juga, pada suhu diatas 310C, bibit nata akan mengalami kerusakan dan bahkan mati, meskipun enzim ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata.
e. Udara (oksigen)
Bakteri Acetobacter xylinum merupakan mikroba aerobik. Dalam pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitasnya, bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami kematian. Oleh sebab itu, wadah yang digunakan untuk fermentasi nata de coco, tidak boleh ditutup rapat. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, pada ruang fermentasi nata harus tersedia cukup ventilasi.
2.2.5 Aktifitas Acetobacter xylinum pada fermentasi nata
Apabila ditumbuhkan dalam media yang kaya akan sukrosa (gula pasir), bakteri ini akan memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Senyawa – senyawa glukosa dan fruktosa tersebut baru dikonsumsi sebagai bahan bagi metabolisme sel.
Berdasarkan pada pengamatan morfologi, pembentukan nata oleh bakteri
Acetobacter xylinum diawali dengan pembentukan lembaran benang – benang
selulosa. Pembentukan benang tersebut, pada mulanya tampak seperti flagel (cambuk pada bakteri umumnya).
Selanjutnya, bakteri Acetobacter xylinum membentuk mikrofibril selulosa di sekitar permukaan tubuhnya hingga membentuk serabut selulosa yang sangat banyak dan dapat mencapai ketebalan tertentu. Pada akhirnya, susunan selulosa tersebut akan tampak seperti lembaran putih transparan dengan permukaan licin dan halus, yang disebut nata.
2.3. Nata de coco
Nata berasal dari Spanyol yang berarti krim (cream). Jadi nata de coco adalah krim yang berasal dari kelapa. Krim ini dibentuk oleh mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi. Mikroorganisme ini membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula (Palungkun,R.,1999).
Defenisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi. Nata de coco adalah jenis nata dengan
media fermentasi dari air kelapa. Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba (Hidayat, 2006).
Gambar 2.3 Nata de coco
Nata de coco adalah bahan padat seperti agar-agar tapi lebih kenyal, atau seperti kolang-kaling, tetapi lembek, berwarna putih transparan. Sejenis makanan penyegar atau pencuci mulut yang umumnya dikonsumsi sebagai makanan ringan (http://wordpress.com/2009/06/08/pohon-kelapa).
2.3.1. Pembuatan Nata de coco
Beberapa tahap kegiatan dalam pembuatan nata adalah sebagai berikut : 1. Preparasi
Tahap preparasi terdiri atas beberapa kegiatan sebagai berikut: a. Penyaringan
Penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau benda-benda asing yang tercampur dengan air kelapa, seperti misalnya sisa sabut. Penyaringan yang lebih baik apabila dilakukan dengan menggunakan kain penyaring.
b. Penambahan gula pasir dan urea
Ketersediaan karbohidrat dan protein yang terdapat dalam air kelapa belum mencukupi kebutuhan untuk pembentukan nata, kedalam air kelapa tersebut perlu ditambahkan gula pasir 10% dan urea 0,5%.
Jenis sumber karbon bisa berupa bahan seperti misalnya glukosa, laktosa, fruktosa. Demikian juga dengan jenis sumber nitrogen yang digunakan dapat berupa
nitrogen organik seperti misalnya protein, maupun nitrogen anorganik seperti misalnya ammonium fosfat, ammonium sulfat, dan urea.
c. Perebusan
Perebusan dilakukan sampai mendidih dan dipertahankan selama 5 – 10 menit untuk meyakinkan bahwa mikroba kontaminan telah mati, dan juga menyempurnakan pelarutan gula pasir yang ditambahkan.
d. Penambahan cuka
Tujuan penambahan cuka/asam asetat adalah untuk menurunkan pH air kelapa dari sekitar 6,5 sampai mencapai pH 4,3. Kondisi pH 4,3 merupakan kondisi optimal bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum.
e. Pendinginan
Pendinginan paling baik dilakukan dengan cara membiarkan cairan dalam nampan selama satu malam. Hal ini sekaligus untuk mengecek ada tidaknya kontaminan yang tumbuh pada cairan.
2. Inokulasi, fermentasi, dan pengendaliannya a. Pemberian bibit (inokulasi)
Pemberian bibit dilakukan apabila campuran air kelapa, urea, dan asam asetat/cuka telah benar-benar dingin. Bila pemberian bibit dilakukan pada waktu cairan air kelapa masih dalam keadaan panas atau hangat, maka bibit nata dapat mengalami kematian, sehingga proses fermentasi tidak bisa berlangsung.
b. Fermentasi atau pemeraman
Campuran air kelapa yang sudah diberi bibit, dibiarkan selama 14 hari agar terjadi proses fermentasi dan terbentuklah nata de coco (Pambayun R.,2002).
2.3.2 Fermentasi nata de coco
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan
sifat bahan pangan, sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba ( Winarno F.G.,1992 ).
2.4 Selulosa
Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantai – rantai atau mikrofibril dari D–glukosa sampai sebanyak 14000 satuan yang terdapat sebagai berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu sama lain oleh ikatan hidrogen (Fessenden J.R.,1986).
Gambar 2.4 Struktur selulosa
Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α-glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolisis ikatan β-glikosidik (Hart H.,2003).
2.4.1 Aplikasi Nata de coco
Aplikasi Nata de coco yaitu dalam bidang sebagai berikut : a. Aplikasi dalam bidang medis
Salah satu cara yang digunakan dalam proses cetak langsung tablet adalah mikrokristal selulosa, karena mempunyai daya ikat tablet yang sangat baik dan waktu hancur tablet relatif singkat. Mikrokristalin yang beredar di pasaran adalah produk impor yang mahal, sehingga berakibat pada mahalnya harga produk tablet yang dihasilkan. Mikrokristalin selulosa adalah hasil olahan dari selulosa alami yang dapat diperoleh dari berbagai sumber baik dari tumbuhan atau hasil fermentasi. Nata de coco merupakan sumber selulosa yang diproduksi sebagai hasil fermentasi Acetobacter
xylinum dalam substrat air kelapa. Untuk menghasilkan mikrokristal selulosa dengan
harga murah, maka dilakukan pemanfaatan nata de coco menjadi mikrokristal selulosa untuk pembuatan tablet (Yanuar A.,2003).
b. Aplikasi dalam makanan
Penambahan Nata de coco dalam jumlah yang sedikit akan memberikan dispersi dan stabilisasi emulsi makanan yang baik. Nata de coco dapat berfungsi demikian karena struktur tiga dimensi dari serat selulosa dan kestabilan terhadap perlakuan fisika dan kimia, seperti ketahanan terhadap panas, asam, dan garam. Karakteristik-karakteristik dari Nata de coco ini dapat diaplikasikan pada makanan sebagai stabilisasi dari bahan pengental, dispersi, suspensi, dan emulsi. Adapun aplikasi selulosa bakteri dalam makanan yaitu pada penggunaan minuman, sebagai makanan pencuci mulut, dan pada saus.
2.5 Vitamin C (Asam Askorbat)
Vitamin ini digolongkan sebagai vitamin yang larut dalam air. Susunan kimia vitamin C ditemukan pada tahun 1933 oleh ilmuwan Inggris dan Swiss. Isolasi asam askorbat mula-mula ditemukan oleh King dari USA dan Szent-Gyorgy dari Hungaria. Vitamin ini mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk oksidasi (bentuk dehidro) dan bentuk reduksi. Kedua bentuk ini mempunyai aktivitas biologi. Dalam makanan bentuk reduksi yang terbanyak. Bentuk dehidro dapat terus teroksidasi menjadi diketogulanik acid yang inaktif. Struktur vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.5 Struktur Vitamin C
Keadaan vitamin C inaktif sering terjadi pada proses pemanasan (bila sayur-sayuran dimasak), dalam suasana asam vitamin ini lebih stabil daripada dalam basa (Prawirokusumo, S., 1991).
2.5.1 Sifat – Sifat Umum Vitamin C
Vitamin C yang mempunyai rumus empiris C6H8O6 dalam bentuk murni merupakan Kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190-1920 C. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam. Vitamin C sangat mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan tidak larut dalam benzene, eter, khloroform, minyak dan sejenisnya. Walaupun vitamin C stabil dalam bentuk Kristal, tetapi mudah rusak atau terdegradasi jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti Cu dan Fe dan cahaya. Sifat utama dari vitamin C adalah kemampuan mereduksinya yang kuat dan mudah teroksidasi yang dikatalis oleh beberapa logam, terutama Cu dan Ag (Andarwulan, N., 1992).
2.5.2 Manfaat Vitamin C
Manfaat utama vitamin C adalah sebagai Anti Oksidan, pembentukan semua jaringan tubuh, terutama untuk pembentukan jaringan ikat. Jaringan ikat adalah bahan pembungkus terpisah yang melindungi dan menyangga berbagai organ. Asam
askorbat membantu absorpsi zat besi dalam usus (Gaman, M., & Sherrington K.B., 1981).
2.5.3 Defisiensi Vitamin C
Beberapa akibat dari kekurangan konsumsi vitamin C : 1. Skorbut, pendarahan gusi, kulit mengelupas.
2. Mudah terjadi luka dan infeksi tubuh, dan kalau sudah terjadi sukar disembuhkan.
3. Hambatan pertumbuhan pada bayi dan anak-anak.
Skorbut dalam bentuk berat sekarang jarang terjadi karena sudah diketahui cara mencegah dan mengobatinya. Tanda-tanda awal antara lain lelah, lemah, nafas pendek, kejang otot, tulang otot persendian sakit serta kurang nafsu makan, kulit menjadi kering , kasar dan gatal, warna merah kebiruan di bawah kulit, perdarahan gusi, kedudukan gigi menjadi longgar, mulut dan mata kering dan rambut rontok. Di samping itu luka sukar sembuh, terjadi anemia, kadang-kadang jumlah sel darah putih menurun, serta depresi dan timbul gangguan saraf. Gangguan saraf dapat terjadi berupa histeria, depresi diikuti oleh gangguan psikomotor. Gejala skorbut terlihat bila taraf asam askorbat dalam serum turun di bawah 0,20 mg/dl (Almatsier, S., 2001).
2.5.4 Sumber-Sumber Vitamin C
Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier, S., 2001).
Kebutuhan vitamin C harian yang dianjurkan berbeda-beda untuk beberapa Negara. Di Inggris (food Standard Agency) menganjurkan 40 mg sehari; di Kanada 60 mg sehari; di Amerika Serikat (National Academy of Sciences) 60-95 mg sehari.
Sedangkan WHO menganjurkan konsumsi vitamin C 45 mg sehari. Batas tertinggi konsumsi vitamin C yang masih bisa ditoleransi oleh tubuh menurut National
Academy of Science adalah 2000 mg (www.wartamedika.com).
2.6 Pati
Pati merupakan cadangan makanan dari sel tanaman. Pati merupakan sumber terpenting pada bahan makanan manusia berupa karbohidrat. Beberapa makanan pokok manusia (seperti kentang, beras, jagung, dan gandum) mengandung pati. Polisakarida yang terkandung di dalam pati yaitu amilosa dan amilopektin.
2.6.1 Amilosa
Amilosa memiliki struktur rantai panjang yang tidak bercabang yang tersusun atas monomer glukosa dengan ikatan α (1,4) glikosida. Molekul amilum yang mengandung ribuan gugus glukosa memiliki berat molekul dari 150.000 hingga 600.000. Struktur rantai polimer amilum lurus dan rapat, sehingga amilum dapat disimpan lama. Adanya enam unit glukosa perputaran heliks menyebabkan amilosa berbentuk tabung dan kompleks. Hal ini disebabkan bermacam molekul kecil dapat masuk ke dalam kumparannya. Bukti pembentukan kompleks tersebut adalah warna biru tua yang dihasilkan oleh pati bila ditambahkan iod (Fessenden, R.J. & Fessenden J.S., 1992).
Struktur amilosa dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
2.6.2. Amilopektin
Amilopektin, suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Rantai utama dalam amilopektin mengandung 1,4-α-D-glukosa. Amilopektin memiliki percabangan, sehingga terdapat satu glukosa ujung untuk kira – kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6-α-glikosida.
Gambar 2.6.2 Struktur Amilopektin
Pati dalam jaringan tanaman berbentuk granul (butir) yang berbeda – beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik dan juga dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi (Wurzburg, 1986).
2.7 Serat
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa serat-serat yang terdapat dalam bahan pangan yang tidak tercerna mempunyai sifat positif bagi gizi dan metabolisme. Nama atau istilah yang digunakan untuk serat tersebut adalah dietary fiber.
Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat-serat tersebut berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin,
dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin. Karena itu dietary fiber pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya banyak mengandung dietary fiber.
Walaupun demikian serat kasar tidaklah identik dengan dietary fiber. Menurut Scala (1975) kira-kira hanya seperlima sampai setengah dari seluruh serat kasar yang benar-benar berfungsi sebagai dietary fiber (Winarno,F.G., 1992).
2.8 Tablet
Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa - cetak, berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Untuk membuat tablet diperlukan zat tambahan berupa :
1. Bahan pengisi : ditambahkan untuk memperbesar volume tablet, biasanya digunakan Saccharum Lactis, Amylum Manihot, dan zat lain yang cocok.
2. Bahan pengikat : ditambahkan agar tablet tidak pecah atau retak dan dapat merekat, biasanya yang digunakan adalah Amylum Manihot.
Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat, zat-zat lain, kecuali zat pelicin dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak mengisi cetakan tablet dengan baik, maka dibuat granul agar mudah mengalir mengisi cetakan serta menjaga agar tablet tidak retak. Cara membuat granul ada 2 macam, yaitu cara basah dan cara kering (Anief, M., 1996).
2.8.1 Granulasi
Granulasi adalah proses pembesaran ukuran dimana partikel kecil bersama-sama menjadi besar, berupa agregat permanen dimana partikel asal masih dapat diidentifikasi. Granulasi digunakan terutama untuk produksi tablet atau kapsul. Sebagai produk antara digunakan granul dengan distribusi ukuran lebar. Granul dapat
Tujuan granulasi dalam manufaktur tablet :
1. Meningkatkan sifat aliran yang berarti uniformitas massa dari sediaan/dosis. 2. Mencegah pemisahan komponen campuran.
3. Meningkatkan karakteristik dari campuran.
2.8.2 Pembuatan Bahan Tablet Menggunakan Metode Granulasi Kering
Pada granulasi kering, partikel serbuk membentuk agregat karena tekanan tinggi. Semua partikel partikulat dapat membentuk agregasi jika dikempa pada tekanan tinggi. Tekanan tinggi berfungsi untuk meningkatkan daerah kontak antar permukaan dengan kekuatan secara menyeluruh. Dalam beberapa hal, ikatan cukup kuat tidak dapat terbentuk jika hanya tekanan saja, perlu ditambahkan bahan pengikat pada saat pencampuran serbuk. Pengikat polimer membentuk jembatan sangat kental antarpartikel dan berkontribusi pada kekuatan kompak. Granulasi kering tidak menggunakan panas atau air, dapat diaplikasikan terhadap bahan peka panas dan air. Dalam farmasi granulasi kering yang diaplikasikan adalah slugging dan roller
compaction, yaitu: a. Slugging
Slugging adalah kompresi serbuk kering menggunakan mesin tablet single atau rotary. Ukuran tablet slugging lebih besar dari tablet biasa. Slugging ini dipengaruhi oleh sifat bahan, seperti kohesivitas, bobot jenis, distribusi ukuran, dan karakteristik mesin cetak tablet, seperti tipe dan kapasitas mesin, diameter lumping (DIE), ketinggian isi, kecepatan pencetakan, tekanan slugging.
b. Roller Compaction
Prinsip tekanan roller
Dua silinder berputar menurut arah berlawanan, serbuk dimasukkan ke dalam ruang antara dari kedua roller yang berputar. Massa granul dikompresi menjadi lembaran atau potongan besar yang dinamakan “briquet”. Serbuk kering dimasukkan ke dalam ruangan antara roller secara gravitasi, atau juga dengan menggunakan “screw feeder”.
Sifat serbuk kompresi dipengaruhi oleh bobot jenis bahan dan kecepatan pemberian /pemasukan bahan. Untuk menjaga bobot jenis konstan, dilakukan deaserasi serbuk yang akan dikompresi. Dengan variabel kecepatan feed dan
screw feeder diatur pemberian bahan ke dalam ruang antara roller
(Agoes,G.,2008).
2.8.3 Bahan Pengikat
Merupakan bahan yang mempunyai sifat kohesif dan adhesif yang mampu mengaglomerasi partikel serbuk kering membentuk granul sesudah pengeringan. Ditambahkan pada campuran serbuk setelah dilarutkan dalam cairan penggranul.
Kadar tinggi pengikat, terutama turunan selulosa dapat menimbulkan masalah disintegrasi dan disolusi tablet karena membentuk lapisan musilago di sekitar permukaan partikel. Pada obat yang bersifat hidrofob, pengikat dapat mempercepat disolusi (Agoes, G., 2008).
2.9 Spektrofotometri Infra Merah
Konsep radiasi infra merah diajukan pertama kali oleh Sir William Herschel (1800) melalui percobaannya mendispersikan radiasi matahari dengan prisma. Ternyata pada daerah sesudah sinar merah menunjukkan adanya kenaikan temperatur tertinggi yang berarti pada daerah panjang gelombang radiasi tersebut banyak kalori (energi tinggi). Daerah spektrum tersebut selanjutnya disebut infra merah. Spektroskopi infra merah ditujukan untuk maksud penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa kualitatif disamping untuk tujuan analisis kuantitatif (Mulja, M., 1995).
2.9.1 Kegunaan Analisa Spektroskopi Infra Merah
Spektrofotometer infra merah pada umumnya digunakan untuk : 1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik.
2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.
Pengukuran pada spektrum infra merah dilakukan pada daerah cahaya infra merah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2,5 - 50 μm atau bilangan gelombang 4000 - 200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi infra merah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi.
Spektrum yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi infra merah.
2.9.2 Syarat – Syarat Interpretasi Spektrum
Tidak ada aturan yang pasti dalam menginterpretasikan spektrum IR. Tetapi beberapa syarat harus dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum :
1. Spektrum harus tajam dan jelas serta memiliki intensitas yang tepat. 2. Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni.
3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilkan pita atau serapan pada bilangan gelombang yang tepat.
4. Metode penyiapan sampel harus dinyatakan. Jika digunakan pelarut maka jenis pelarut, konsentrasi dan tebal sel harus diketahui.
Karakteristik frekuensi vibrasi IR sangat dipengaruhi oleh perubahan yang sangat kecil pada molekul sehingga sangat sukar untuk menentukan struktur
berdasarkan data IR saja. Spektrum IR sangat berguna untuk mengidentifikasikan suatu senyawa dengan membandingkannya dengan spektrum senyawa standar terutama pada daerah sidik jari. Secara praktikal, spektrum IR hanya dapat digunakan untuk menentukan gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).