• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bahasa sebagai sebuah sistem terdiri dari unsur-unsur atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bahasa sebagai sebuah sistem terdiri dari unsur-unsur atau"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa sebagai sebuah sistem terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk kesatuan (Chaer, 2007: 34). Setiap unsur atau komponen pembentuk bahasa saling berhubungan secara fungsional, sehingga terbentuklah tatanan yang sistematis dan sistemis. Bahasa bersifat sistematis karena tersusun menurut suatu pola beraturan dan tidak acak atau sembarangan (Chaer, 2007: 35). Sedangkan sistemis adalah bentuk system bahasa yang terdiri dari subsistem-subsistem yang tersusun secara linear dan dapat disegmentasikan menjadi struktur fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik (Chaer, 2007: 52 dan Suparno, 2002: 1)

Kajian sintaksis sebagai sistem dan struktur bahasa memiliki peran penting dalam menghasilkan konstruksi-konstruksi tatabahasa bersama dengan morfologi. Sintaksis mengkaji kata dalam proses hubungannya dengan bentuk kata lain dan memiliki cakupan yang lebih luas dari pada morfologi itu sendiri (Mackey, 1986: 64 dan Verhaar, 2006: 161). Dalam hal ini sintaksis adalah satuan kebahasaan terbesar dalam tatabahasa yang mengkaji struktur frase, klausa, dan kalimat dan menganalisa konstruksi-konstruksinya dengan mengikutkan bentuk-bentuk bebas (Asrori, 2004: 25 dan Suparno, 2002: 101).

(2)

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, merupakan mu’jizat yang turun atas Nabi Muhammad SWA dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa Arab fuscha merupaka bahasa yang memiliki kaedah peletakan kata sesuai dengan keilmuan bahasa yang sudah diciptakan sejak zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, yang peletak dasar ilmu bahasa Arab adalah Abu al-Aswad ad-Duali atas perintah dan anjuran Ali bin Abi Thalib. Dalam kaitanya konstruksi kata sangat berpengaruh pada tatanan makna kalimat tersebut, dalam bahasa Arab kaidah konstruksi kata sangat berperan penting dalam keshahihan bahasa Arab tersebut. Ada beberapa ayat dari al-Qur’an dan asalib ‘arobiyah yang tataletak kata beda dengan kaidah dalam sintaksis yang sudah ada tetapi tidak lepas dari makna yang sebenarnya.

Bahasa Arab dengan segala kelebihan dan keistimewaannya telah menjadi bagian terpenting dari sekian banyak bahasa-bahasa dunia. Bahasa Arab juga memiliki peran nyata di era global, baik dalam aspek pendidikan, aspek pekerjaan maupun aspek jurnalistik. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Arab memiliki berbagai macam huruf vokal maupun konsonan yang tidak dimilki oleh bahasa lain, bahasa Arab kaya akan kosakata dan makna yang senantiasa menjadikannya mudah ber-derivasi (Isytiqaq), aprefiasi (Nacht) dan arabisasi (Ta’rib) istilah-istilah asing, tentu hal ini memperkaya khazanah kata dalam bahasa Arab (As-Sami’, 2006:354-355). Diantara keistimewaan bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an yang senantisa dijamin tidak akan pernah punah dan binasa. An-nacht (Aprefiasi) yaitu satu lafazh yang masuk kepada pengertian yang tersusun dari dua kata atau sebuah

(3)

kalimat. Begitu juga sebuah kata kerja dalam bahasa Arab dapat mengandung pengertian ada orang pertama (saya) atau orang kedua (kamu) atau orang ketiga (dia) yang dinamakan dalam bahasa Arab dengan dhamir mustatir (abstrak pronoun) (Ja’far, 1987:45-47).

Bahasa Arab juga merupakan bahasa syi’ir, karena merupakan bahasa syi’ir maka unsur-unsur tatanan kata maupun kalimat tidak selalu berurutan sesuai dengan kaidah yang belaku, melainkan tatanan kata maupun kalimat sesuai dengan intonasi bait dalam syi’ir tersebut bukan seperti kaidah-kaidah dalam ilmu nahwu yang sudah ditetapkan, maka dari itu unsur-unsur kata maupun kalimat syi’ir terdahulu tidak pada tempatnya, kadang berada di awal kadang berada di akhir tanpa berurutan (Dhoif, 1995: 246).

Para pengkaji bahasa Arab menuturkan bahwa bahasa Arab memiliki berbagai macam dirasah (kajian) diantaranya adalah dirasah nachwiyah (kajian sintaksis Arab), dirasah sharfiyah (kajian morfologi Arab), dan dirasah balaghiyah (kajian semantik Arab). Bahkan, dirasah nachwiyah bermula sejak zaman permulaan Islam dan telah dilakukan oleh para tokoh abad tersebut, yaitu Ali bin Abi Thalib, Abu Aswad Ad-Dualy, Nashr bin Ashim dan Abdurrahman bin Hurmuz (Rawway, 2003:35). Dirasah nachwiyah memiliki berbagai macam pembahasan diantaranya adalah pembahasan tentang jumlah (klausa). Jumlah sebagaimana dikemukakan oleh nuchchat (para pakar nahwu Arab) adalah ujaran yang terdiri dari dua kata atau lebih dan mempunyai makna tertentu (Barakat,

(4)

2007:13). Jumlah dapat terkonstruksi atas beberapa hal: Pertama, nomina dan nomina. Contoh:

دٌ وْ مُ حَ دٌ مَّ حَ مُ

(Muchammadun Rasūlun) ‘Muhammad adalah seorang rasul’. Kedua, verba dan nomina. Contoh:

دٌ وْ إِ حَ حَ حَ حَ وْ إِ

(inthalaqa syarīfun) ‘telah pergi Syarif’. Ketiga, nomina dan frase verba. Contoh:

إِ إِ حَ حَ إِ حَ حَ وْ حَ مُ إِا حَ

(Chātim akhlasha fī ‘amalihi) ‘Hatim telah menyelesaikan pekerjaannya’. Jika dilihat secara seksama ketiga contoh di atas, tampak bahwa jumlah terdiri dari dua unsur pokok. Pertama, unsur mubtada’ (subjek atau unsur yang diberitakan). Kedua, unsur khabar (predikat atau unsur pemberita).

Meskipun penjelasan mengenai konsep Taqdim dan Ta’khir ini sudah banyak dilaukan oleh ulama’ lughah namun penulis masih perlu menambahkan beberapa tulisan guna menyempurnakan tulisan-tulisan maupun penelitian-penelitian sebelumnya.

Dari uraian diatas perlu untuk diteliti dan sangat menarik karena konstruksi kalimat atau pola susunan dalam bahasa Arab sangat jauh beda dengan konstruksi atau pola susunan dalam bahasa Indonesia, dan bahasa al-Qur’an yang merupakan bahasa Arab yang banyak sekali kandungan kaidah-kaidah sintaksis di dalamnya.

(5)

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang sudah diuraikan diatas, maka penulis membahas masalah yang berkaitan dengan Taqdim wa at-Ta’khir tinjauan sintaksis yang terfokus pada:

1. Bagaimanakah Taqdim dan Ta’khir dalam kalimat bahasa Arab?

2. Bagaimanakah pola susunan Taqdim dan Ta’khir dalam Jumlah Ismiyah (Klausa Nomina) dan Jumlah Fi’liyah (Klausa Verba)?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang peneliti harapakan dalam penelitian at-Taqdim wa at-Ta’khir dalam bahasa Arab adalah sebagaimana berikut:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan konsep Taqdim dan Ta’khir dalam kalimat bahasa Arab.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan konsep pola susunan Taqdim dan Ta’khir dalam Jumlah Ismiyah (Klausa Nomina) dan Jumlah Fi’liyah (Klausa Verba)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan untuk mengkaji sebuah konsep taqdim dan ta’khir dalam bahasa Arab dan konsep sintaksis ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam dua aspek utama, baik secara teoritis maupun

(6)

secara praktis. Manfaat secara teoritis mengacu kepada manfaat keilmuan sedangkan manfaat secara praktis lebih mengarah kepada telaah fungsional.

Peneliti mengharapkan penelitian ini dapa bermanfaat bagi pengetahuan dan pengembangan keilmuan yang terfokus pada linguistik Arab.

A. Manfaat teoritis

Penelitian terhadap untuk mengetahui konsep Taqdim wa at-Ta’khir dalam bahasa Arab, pola susunan, macamya dan sebab-sebabnya. Konsep pola susunan tersebut dalam bahasa Arab dengan tinjauan sintaksis diharapkan mampu memberikan paradigma baru dalam memahami konsep konsep pola susunan dalam bahasa Arab terutama dalam pola susunan jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah.

Selain itu diharapkan penelitian ini akan dapat memperkaya khazanah teori-teori linguistik Arab yang sudah ada khususnya dalam bidang sintaksis. Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk dapat menjadi bahan kajian, terutama bagi penelitian-penelitian selanjutnya dalam upaya pengembangan pengetahuan yang berhubungan dengan linguistik Arab.

B. Manfaat praktis

Secara praktis fungsional hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pemahaman baru dalam kajian sintaksis bahasa Arab serta dalam proses pengajaran bahasa Arab terutama

(7)

pengajaran bahasa Arab bagi non-penutur Arab dalam mempelajari sistem pola susunan kalimat dalam bahasa Arab.

1.5. Tinjauan Pustaka

Dalam suatu penelitian, telaah pustaka dihadirkan untuk mengetahui sejauh mana objek penelitian yang akan diteliti sudah pernah diteliti atau dibahas oleh peneliti lain. Tinjauan pustaka merupakan uraian-uraian sistematis tentang hasilhasil penelitian yang didapatkan dari penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki hubungan dengan satuan kebahasaan yang diteliti baik secara langsung ataupun tidak langsung (Mahsun, 2007: 42). Hal ini dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan mengenai masalah kebahasaan serta menegaskan kerangka teoritis yang dijadikan landasan atau kerangka pikiran.

Di samping itu tinjauan pustaka juga merupakan upaya untuk mempertajam konsep-konsep yang akan digunakan untuk mempermudah hipotesa dan untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian terhadap masalah kebahasaan (Mastoyo, 2007: 38).

Penelitian tentang taqdim dan ta’khir sudah sering dilakukan. Hampir di setiap buku nachwu yang menjelaskan tentang jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyah menjelaskan pula tentang pola susunan Ism, khabar, fi’il, fa’il maupun maf’ul. Namun, sejauh ini buku Barakāt (2007) yang berjudul an-Nachwul-‘Arabī memberikan penjelasan tentang pola susunan pada jumlah ismiyyah dan fi’liyah yang dapat ditaqdimkan, meskipun

(8)

begitu, pembahasan yang telah dilakukan Barakāt ini tidak menutup pintu adanya celah yang masih harus disempurnakan, misalnya dalam pengumpulan unsur-unsur yang terdapat pada jumlah ismiyyah dan jumlah fi‟liyyah menjadi satu komponen suatu jumlah bahasa Arab yang dapat ditaqdimkan, selain itu ditinjau dari kacamata linguistik umum.

Ahmad Kasyk (2006) dengan gaya yang lain juga membahas jumlah fi‟liyyah. Dalam pendahuluan bukunya, Min Qadhāyā al-Jumlah al-Fi‟liyyah, Kasyk secara gamblang mempertanyakan kenapa jumlah hanya terbatas pada dua klasifikasi, yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi‟liyyah. Kasyk juga menampilkan dan mengulas bagian-bagian yang membentuk jumlah fi‟liyyah. Kasyk memulainya dengan menjelaskan tentang fā‟il terlebih dahulu, baru kemudian fā‟il dan nā`ib fā‟il, disusul maf‟ūl bih.

Khaironi (2007) dalam bukunya Audhachul-Manāhij juga menerangkan tentang taqdim dan ta’khir atau pola susunan jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah. Metode Khaironi ini dapat dikatakan sebagai metode pembaharuan karena dalam pembahasan sangat sistematik dan menggunakan skema-skema sehingga memudahkan pembaca dalam mengklarifikasi suatu pembahasan. Khaironi dalam menjelaskan taqdim dan ta’khir juga memasukkan dalam poin pola susunan jumlah seperti halnya Barakāt, tetapi Khaironi lebih pada sistematis dan keringkasan pada pembahasan dan tidak mengupasnya secara mendalam hanya menyebutkan

(9)

definisi, unsur pembentuk, syarat, dan klasifikasinya serta contoh konkritnya secara singkat.

Hidayatulloh (2011) dalam Tesisnya dengan judul Konstruksi Klausa Yang Diawali Verba (Al-Jumlah Al-Fi’liyyah) Dalam Bahasa Arab dapat dijadikan tinjauan pustaka. Persamaan dengan penelitian kali ini adalah dalam tesis tersebut disebutkan pola urutan fi’il, fai’l dan maf’ul bih, Pembolehan mendahulukan Maf‟ūl Bih atas Fi‟il. Perbedaaannya adalah belum terincikannya jenis-jenis hukum-hukum taqdim dalam pola susunan unsur-unsur pembentuk jumlah ismiyyah maupun fi’liyyah, dalam tesis tersebut hanya penjabaran secara umum.

Setiyadi (2011) dalam Tesisnya dengan judul Al-Chal (Adverbia Circumstansial) dalam Bahasa Arab, dapat dijadikan tinjauan pustaka. Persamaan dengan penelitian kali ini adalah dalam tesis tersebut disebutkan macam-macam al-Chal (Adverbia) dan al-Mukammilat al-Manshubah (Complement Accusative) serta pola susunannya secara umum. Perbedaaannya adalah tidak diperinci pembagian hukum tentang pola susunan taqdim pada al-Chal (Adverbia) dan al-Mukammilat al-Manshubah (Complement Accusative).

Ma’ruf (2004) dalam Disertasinya yang berjudul Pola Urutan Kata dalam Bahasa Arab, dijelaskan jenis-jenis kalimat dalam bahasa Arab dan dijelaskan pula susunan kata yang terdapat pada kalimat tersebut sebagai basic structure.

(10)

Khodor (2009) dalam kitabnya yang berjudul Taqdim wa at-Ta’khir fi bina’ al-jumlah ‘inda Sibawaeh dapat pula dijadikan tinjauan pustaka, dalam kitab tersebut dipaparkan pembagian kalimat dalam bahasa Arab serta pembagian hukum taqdim dalam sebuah kalimat.

Nahar (2008) dalam buku an-Nahwu at-Tathbīqī, menjelaskan poin-poin penting mengenai mubtada’, khabar, fail dan al-maf’ūlāt dengan uraian ringkas beserta dengan contoh-contoh yang kebanyakan diambil dari ayat al-Qur’an.

Rājichī dalam At-Tathbīq an-Nachwī ini juga mempermudah pembaca dengan mengulas i‟rāb kata demi kata setiap contoh yang ia kemukakan. Jika Barakāt memilih untuk mengulasnya melalui catatan kaki, ar-Rājichī mengulasnya langsung setelah contoh yang ia sebutkan.

Mushthafā Ghalāyaini (2010) dalam Jāmi’u`d-Durūs al-‘Arabiyyah menyebutkan konsep marfu’at yang meliputi beberapa poin diantaranya mubtada’, khabar dan fa’il, dalam kaitannya dengan konsep marfu’at juga dipaparkan pula basic structure yang berada pada jumlah tersebut.

El-Dahdah (2001) dalam A Dictionary Of Arabic Grammar In Charts And Tables, juga menjabarkan mafā’īl (maf’ūlāt) melalui tabel-tabel dan bagan. Di dalamnya dijelaskan mengenai pengertian dari maf’ūlāt tersebut, beserta contoh dari masing-masing pembagian dan penjelasan dari contoh tersebut.

(11)

Dari paparan di atas pada dasarnya pembahasan pola susunan kata dalam kalimat sudah banyak terbahas, melainkan pembahasan tersebut masih tergolong pecahan dari subbab tertentu dalam pembahasan sintaksis Arab, maka dalam tesis kali ini, peneliti secara mendetail akan mengumpulkan unsur-unsur pola susunan taqdim kata dalam kalimat bahasa Arab menjadi satu serta mengklarifikasi pembagian hukum-hukumnya dan dengan pandangan linguistik umum.

1.6. Landasan Teori

Dalam kajian kebahasaan, teori adalah seperangkat hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriyah seperti bunyi bahasa ataupun yang bersifat bathiniyah seperti makna (Kridalaksana, 2001: 213).

Dalam bidang kebahasaan, teori adalah seperangkat hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik bersifat lahiriyah seperti bunyi bahasa maupun yang bersifat batiniyah seperti makna (Kridalaksana, 2008:213). Teori memegang peranan terpenting dalam ilmu pengetahuan. Mengingat obyek materialnya berupa naskah bahasa Arab sehingga teori yang digunakan adalah teori linguistik Arab atau an-nadloriyah al-lughawiyah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ilmu nahwu atau sintaksis, oleh karenanya penelitian ini menggunakan teori sintaksis.

Sintaksis adalah ilmu yang menyelidiki hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain, atau ilmu yang menyelidiki seluk-beluk frase, yaitu suatu konstruksi sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih (Manan,

(12)

1977:11). Ramlan (1981:1) menuturkan bahwa sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa dan frase. Sedangkan Zahran (2009:232) mengatakan bahwa sintaksis adalah ilmu yang mengkaji susunan kalimat, metode pembentukannya serta hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain. Sintaksis menurut Verhaar (2006:162) adalah cabang linguistik yang menyangkut susunan kata-kata di dalam kalimat. Ada tiga cara untuk menganalisis klausa secara sintaksis. Pertama ada fungsi-fungsi di dalam klausa. Kedua ada peran-peran. Ketiga ada kategori-kategori.

Dalam ilmu linguistik, klausa didefinisikan sebagai satuan gramatik berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat dan berpotensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 1993: 124). Definisi ini akan sangat cocok disepadankan dengan definisi jumlah dalam bahasa Arab menurut al-Ghalāyaini (2010: 32), yaitu konstruksi yang terdiri dari musnad ilaih (subjek) dan musnad (predikat).

Jika melihat strukturnya, jumlah atau klausa dalam bahasa Arab ini terdiri dari dua macam, yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah. Jumlah ismiyyah adalah jumlah yang diawali dengan mubtada’, sedangkan jumlah fi’liyyah adalah jumlah yang diawali dengan fi’il (Barakāt, 2007,I: 13).

Jika diterjemahkan secara etimologi ke dalam bahasa Indonesia, jumlah ismiyyah dapat disebut dengan klausa nominal dan jumlah fi’liyyah dapat dikatakan sebagai klausa verbal.

(13)

Meskipun begitu, terdapat perbedaan mencolok dalam definisi klausa nominal dan klausa verbal antara bahasa Arab dan bahasa lainnya, termasuk bahasa Indonesia. Hal itu karena menurut teori linguistik umum, klausa nominal adalah klausa yang predikatnya nomina dan klausa verbal adalah klausa yang predikatnya verba (Kridalaksana, 1993: 125). Ketidaksamaan persepsi dalam mendefinisikan klausa verbal dan klausa nominal ini lebih disebabkan perbedaan sudut pandang, yaitu definisi versi bahasa Arab melihat strukturnya, sementara definisi versi linguistik umum memandang unsur predikatnya.

Di sisi lain, sebenarnya ada juga teori linguistik umum yang menjelaskan adanya klausa yang diawali dengan verba. Selain bahasa Arab, rupanya terdapat beberapa bahasa lain yang memiliki urutan predikat-subjek dan subjek-predikat sekaligus. Perbedaan di antara subjek di depan (subjek praverbal) dan subjek di belakang (subjek posverbal) umumnya adalah pragmatis. Ambil contoh dalam bahasa Melayu Kuno, subjek posverbal lebih sering ditemukan, tetapi pada masa kini urutan subjek praverbal lebih biasa (Verhaar, 2008: 271).

Adapun dalam bahasa Indonesia, pada umumnya urutan fungsi kalimat atau klausa adalah subjek-predikat-(objek)-(pelengkap) dengan ketentuan bahwa yang ada dalam kurung merupakan unsur manasuka. Namun, sesungguhnya ada pula kalimat atau klausa bahasa Indonesia yang urutan fungsinya adalah predikat-subjek; disebut kalimat inversi. Kalimat inversi dalam bahasa Indonesia ini mirip sekali dengan jumlah fi’liyyah

(14)

dalam bahasa Arab. Hanya saja, kalimat inversi dalam bahasa Indonesia ini mensyaratkan bahwa subjeknya harus takdefinit (nakirah, tidak boleh ma’rifah). Contohnya adalah kalimat sebagai berikut.

a. Ada tamu.

b. Ada seorang tamu.

Kedua kalimat ini menunjukkan bahwa predikat ada mendahului subjeknya, yaitu tamu dan seorang tamu. Hal ini diperbolehkan karena memang subjeknya takdefinit. Adapun jika subjeknya definit, predikat tidak dapat mendahuluinya; dengan demikian tidak bisa dijadikan sebuah kalimat inversi. Ambil contoh berikut ini.

a. Ada tamu itu. b. Ada tamu tersebut.

Kedua kalimat ini tidak dapat berterima karena subjeknya definit (Alwi, 2003: 364).

Sementara itu, dalam bahasa Arab, tidak ada istilah pragmatis untuk urutan fungsi subjek-predikat ataupun predikat-subjek. Hal itu karena keduanya sama-sama dapat dan sering digunakan, baik masa klasik maupun masa sekarang. Perbedaan semantislah yang membuat penutur memilih struktur urutan subjek-predikat (jumlah ismiyyah) ataukah urutan predikat-subjek (jumlah fi’liyyah) (Barakāt, 2007,II: 4).

Demikian pula terdapat perbedaan mengenai persyaratan subjek takdefinit dalam kalimat inversi. Dalam jumlah fi’liyyah yang mirip dengan kalimat inverse itu, sama sekali tidak dipersyaratkan subjeknya harus definit,

(15)

justru dalam jumlah ismiyyah yang dipersyaratkan subjeknya harus definit. Jadi, jelas bahwa kajian jumlah fi’liyyah dalam bahasa Arab memiliki kekhasan tersendiri.

Melihat persoalan yang akan diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan usaha klarifikasi konsep at-Taqdim wa at-Ta’khir dalam bahasa Arab dengan tinjauan sintaksis, maka landasan teoritis dalam pemecahan masalah ini berkaitan dengan teori tentang Jumlah al-Ismiyah, al-Jumlah al-Fi’liyah, al-mubtada’, al-khabar, al-fi’l, al-fa’il, dan al-Maf’ulat.

1.7. Metode Penelitian

Metode dalam sebuah penelitian memiliki peran yang sangat penting sebagai cara bertindak yang sesuai dengan sistem dan aturan tertentu. Metode merupakan suatu cara untuk mengambil, menganalisis, mengidentifikasi variable (Arikunto, 2002: 126).

Dari pengertian metode di atas dapat disimpulkan bahwasanya metode yang digunakan dalam penelitian bahasa adalah cara kerja yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena objek ilmu bahasa atau cara mendekati, mengamati, menganalisa, dan menjelaskan masalah dalam objek ilmu bahasa (Kridalaksana, 2001: 106; Mastoyo, 2007: 2). Metode yang penulis gunakan dalam penelitian Taqdim dan Ta’khir dalam bahasa Arab, adalah metode studi pustaka. Pada bagian kali ini meliputi

(16)

literatur, analisis, dan penyajian data. Rujukan literatur yang ada kemudian dituangkan dalam pokok persoalan atau permasalahan yang diajukan.

Mengingat bahwa ilmu bahasa berobjekkan bahasa dan penjelasannya juga menggunakan bahasa, peneliti perlu berhati-hati dalam memilih dan menggunakan metode penelitian (Mastoyo, 2007: vii). Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisa, dan menjelaskan fenomena (Kridalaksana, 1983: 106).

Metode penelitian bahasa adalah cara kerja untuk memahami objek ilmu bahasa. Objek ilmu bahasa adalah bahasa itu sendiri. bahasa yang dimaksud adalah bahasa keseharian biasa yang digunakan manusia yang berkelompok-kelompok membentuk berbagai masyarakat penutur yang ada tersebar diseluruh dunia (Sudaryanto, 1995:1).

Data-data penelitian yang berwujud contoh-contoh pola susunan Taqdim dan Ta’khir Fungsi bahasa Arab dicatat secara teliti dan cermat. Dari data itu kemudian dilakukan analisis data dengan membuat kesimpulan umum yang merupakan sistem atau kaidah yang bersifat mengatur atau gambaran dari sumber yang dijadikan objek penelitian. Penelitian ini ditujukan untuk mencari ketentuan-ketentuan yang ada pada bahasa asing sehingga lebih bersifat eksploratif. Ada tiga tahapan dalam sebuah penelitian yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian laporan hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5).

(17)

1.7.1. Tahap Penyedian data

Tahap penyediaan atau pengumpulan data ini merupakan tahapan awal dan menjadi dasar bagi pelaksanaan tahapan analisis data. Tahapan analisis data hanya dimungkinkan untuk dilakukan jika data yang akan dianalisis sudah tersedia (Mahsun, 2006: 84-85)

Pada tahap ini akan digambarkan bagaimana data penelitian diperoleh. Sebagai sebuah penelitian yang mengumpulkan sumbernya dari buku-buku kepustakaan, maka jenis penelitian ini adalah studi literatur atau kepustakaan. Metode yang digunakan dalam penyediaan data adalah dengan metode simak, yaitu dengan menyimak pengguna bahasa dengan teknik catat. Istilah menyimak disini meliputi bahasa lisan dan bahasa tulisan (Mahsun, 2005: 92). Metode ini peneliti aplikasikan dengan membaca dan memahami sumber-sumber data.

Pada tahap penyediaan data digunakan teknik pustaka. Teknik pustaka adalah mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Sumber-sumber tertulis itu dapat berwujud majalah, surat kabar, karya sastra, buku bacaan umum, karya ilmiah, buku perundang-undangan (Subroto, 1992:42). Dalam penelitian ini data yang digunakan berupa konstruksi Jumlah Ismiyah (Klausa Nomina) dan Jumlah Fi'liyah (Klausa Verba) yang terdapat dalam literatur-literatur sebagaimana tersebut dalam tinjauan pustaka. Langkah selanjutnya adalah mencatat data-data tersebut dalam kartu data, kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi data (Sudaryanto, 1993:6).

(18)

Teknik terakhir dalam metode ini, peneliti menggunakan teknik catat yang dalam aplikasinya dengan mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitian dari penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2005: 94). Penggunaan teknik catat dimaksudkan untuk mencatat hasil-hasil penelitian dalam sintaksis Arab yang dituangkan dalam sebuah tulisan atau teks terkait dengan Taqdim dan Ta’khir (Anastrofe) Fungsi dalam bahasa Arab.

Adapun data kebahasaan diambil dari sumber-sumber pustaka dengan dibatasi pada kepentingannya terhadap maksud dan tujuan penelitian (Subroto, 1992: 52). Data yang diambil dalam penelitian ini berupa satuan kebahasaan yang membentuk Jumlah Ismiyah (Klausa Nomina) dan Jumlah Fi'liyah (Klausa Verba) .

Adapun sumber data yang digunakan merupakan karya-karya linguistik yang membahas Taqdim dan Ta’khir (Anastrofe) fungsi dalam bahasa Arab antara lain: A’n-Nahwu al-‘Arabī (Barakāt, 2007), Jāmi’ Al-Durūs Al-Arabiyyah (al-Ghulāyaini, 2010), At-Taqdim wa At-Ta’khir fi Bina’ al-Jumlah ‘inda Sibawaih (Khodor, 2009), Tajdid an-Nacwi (Dhoif, 1995), An-Nachwu Al-Asasi (‘Umar, 1994), An-Nachwu Al-‘Ashri (Fayadh, 1995), Al-Qawā’idu Al-Asāsiyyah Lillughati Al-‘Arabiyyah (Al-Hasyimi, 1354H), Miftachu Al-‘ulum (As-Sakaki, 1987)

1.7.2. Tahap Analisis Data

Tahap analisis data merupakan merupakan tahap yang paling penting dalam sebuah penelitian. Tahap ini merupakan puncak dari sebuah yang

(19)

mengikat erat semua tahap yang ada dalam penelitian dan menentukan ada tidaknya kaidah yang menjadi objek sasaran penelitian (Sudaryanto, 1993: 8). Analisa ini digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau rumusan masalah penelitian (Chaer, 2007: 46).

Pada tahap kedua, data dianalisis dengan menggunakan metode distribusional (distributional method) atau dalam bahasa Arab disebut dengan at-tariqah at-tauzi’iyah (Sulaiman, 2002:136) atau metode agih (Sudaryanto, 1993:15). Metode distribusional adalah metode yang menganalisis satuan lingual tertentu berdasarkan perilaku atau tingkah laku kebahasaan satuan itu dalam hubungannya dengan satuan lain (Subroto, 1992: 84). Dalam metode ini terdapat dua teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik bagi unsur langsung (BUL), dalam teknik bagi unsur langsung ini dilakukan dengan cara membagi suatu konstruksi sintaksis tertentu kedalam unsur-unsur langsung (Subroto, 1992:84). Kemudian teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik ganti (ath-thariqah at-tabdiliyah), teknik balik (ath-thariqah al-ihlaliyah) dan teknik perluasan (ath-thariqah at-tausi’iyah) (Sulaiman, 2002:148).

Teknik penggantian dilakukan dengan menggantikan satuan lingual atau unsur tertentu dari konstruksi sintaksis. Adapun tujuan teknik ini adalah untuk mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori satuan kebahasaan yang terganti dengan satuan kebahasaan penggantinya. Adapun teknik balik yang dimaksud adalah kemungkinannya unsur-unsur

(20)

(langsung) dari sebuah satuan atau konstruksi sintaksis dibalikkan urutannya. Teknik ini dapat dipakai untuk menguji tingkat keketatan relasi antar unsur suatu konstruksi atau satuan lingual tertentu. Barangkali suatu konstruksi tertentu memperlihatkan urutan antara unsur-unsur langsungnya secara tertentu atau tidak dapat dibalikkan. Teknik ini juga penting dalam rangka mengetahui apakah urutan merupakan kaidah yang bersifat wajib dalam suatu bahasa atau tidak, atau dengan kata lain apakah urutan itu merupakan tata bahasa dari sebuah bahasa atau tidak (Subroto, 1992:80).

Dalam tenik ini, mubtada’, khabar, fi’l, fa’il, dan maf’ul bih.yang berfungsi sebagai konstituen pengisi suatu fungsi dalam kalimat dibalik letaknya dalam susunan kalimat, baik itu ditaqdimkan ataupun dita’khirkan. Apabila pembalikan salah satu fungsi tersebut mengakibatkan konstruksi kalimat tidak gramatikal, dalam hal ini mengubah atau membuat ketidak-sempurnaan kalimat, maka tingkat keketatan kalimat tersebut tinggi. Namun, apabila konstruksi kalimat tersebut tetap gramatikal dan dapat membentuk fungsi baru maka tingkat keketatan kalimat tersebut rendah.

(21)

1.7.3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Pada tahap penyajian hasil analisis data merupakan upaya untuk menampilkan wujud laporan tertulis apa-apa yang telah dihasilkan dari kerja analisis, khususnya kaidah (Sudaryanto, 1993:7). Penyajian data hasil analisi data merupakan tahap akhir dari rangkaian penelitian yang berupa hasil penelitian data yang berupa kaedah-kaedah hasil proses induksi. Pada dasarnya penyajian data hasil analisis diusahakan dapat memenuhi prinsip-prinsip penyajian data yang meliputi tiga aspek yaitu:

descriptive adequacy (kepadaan deskripsi) yang berupa upaya deskripsi dan gambaran semua rincian permasalahan penelitian, explanatory adequacy (kepadaan penjelasan) sebagai bentuk bukti bahwasannya penelitian dapat menjelaskan semua permasalahan, exhaustic adequacy (kepadaan ketuntasan) yang menunjukkan analisis data yang komprehensif dalam mengkaji dan menyajikan data dengan teliti (Hadi, 2003: 76).

Hasil analisis ini diusahakan memenuhi tiga prinsip yaitu ketercukupan penjelasan, ketercukupan deskriptif dan ketuntasan. Ketercukupan penjelasan yaitu penelitian dapat menjelaskan semua permasalahan. Ketercukupan deskriptif adalah penyajian dapat mendeskripsikan semua rincian permasalahan dalam penelitian. Sedangkan ketuntasan adalah analisis dapat dilakukan secara tuntas dan komprehensif sehingga semua permasalahan dapat dikaji dan disajikan dengan teliti.

(22)

1.8. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dimulai dari Bab I, yaitu pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan

Pada Bab II, penulis memberikan penjelasan tentang Konsep Taqdim dan Ta’khir yang meliputi Batasan Taqdim, Penguat dan dalil Taqdim, serta Keistimewaan Taqdim dan Ta’khir.

Pada Bab III, penulis memberikan penjelasan tentang konsep Taqdim dan Ta’khir dalam Jumlah Ismiyah (Klausa Nomina) meliputi Konsep Wajib Taqdim (mendahulukan) Khabar, dan Konsep Jawaz Taqdim (boleh mendahulukan) Khabar.

Pada Bab IV, penulis memberikan penjelasan tentang Konsep Taqdim dan Ta’khir Jumlah Fi'liyah (Klausa Verba), dalam pembahasan tersebut meliputi Batasan Jumlah Fi’liyah (Klausa Verba), Susunan dan Unsur Kata Pembentuknya, serta Pola Urutan Fi’il, Fā’il, dan Maf’ūl Bih dalam Jumlah Fi'liyah meliputi Pola Urutan Reguler, Kaidah Pola Urutan Fi’il, Fā’il, dan Maf’ūl Bih, Wajib Mendahulukan Fā’il atas Maf’ūl Bih, Wajib Mendahulukan Maf’ūl Bih atas Fā’il, Wajib Mendahulukan Fi’il atas Maf’ūl Bih, Wajib Mendahulukan Maf’ūl Bih atas Fi’il, Jawaz Taqdim (Boleh Mendahulukan) Maf’ūl Bih atas Fi’il,

(23)

Pada Bab V, sebagai bab terakhir penulis memberikan penutup dalam bab ini mencakup kesimpulan dan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan pemanfaatan controller SDN, administrator jaringan dapat mengubah sifat dan prilaku jaringan secara riil time dan mendeploy aplikasi baru dan layanan

Undangan dalam acara Garuda Indonesia Corporate Travel Fair 2017 (GCTF) adalah perusahaan rekanan Garuda Indonesia yang memiliki kebutuhan dalam

Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dikelas, tidak hanya tergantung dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik

Abstrak—Berkembangnya dunia teknologi informasi tentu saja membawa dampak semakin besarnya data yang beredar dan terus bertambah besar secara signifikan, dan

Manifestasi panasbumi yang muncul berupa fumarol, mata air panas, dan batuan ubahan di daerah Candradimuka (lereng selatan Gunung Lawu) dengan temperatur antara 93 – 94 o C,

Fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam batasan orang Kristen, memperlihatkan hal yang secara normatif kurang sesuai. Perilaku-perilaku yang

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan kadar besi (fe) berdasarkan variasi dosis M-Bio pada leachate di tempat pembuangan akhir Ciangir